Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Senin, 18 Juni 2018

MELIHAT/BERTEMU ALLAH SWT


Ikhsan berdasarkan hadits di bawah ini diartikan sebagai menyembah Allah SWT seakan akan melihat Nya, dan jika kita tidak dapat melihat Nya, ketahuilah bahwa Allah SWT pasti melihatmu. Inilah pengertian dasar dari ibadah Ikhsan yang tidak bisa dipisahkan dengan pelaksanaan Rukun Iman dan pelaksanaan Rukun Islam dalam satu kesatuan (kaffah) sehingga ketiga ketentuan ini tidak bisa dipisahkan oleh sebab apapun juga.  

Abu Hurairah r.a. berkata: Pada suatu hari ketika Nabi SAW duduk bersama sahabat, tiba-tiba datang seorang bertanya: Apakah Iman? Jawab Nabi SAW: Iman ialah percaya pada Allah, dan Malaikat-Nya, dan akan berhadapan kepada Allah, dan pada Nabi utusan-Nya dan percaya pada hari bangkit dari kubur. Lalu ditanya; Apakah Islam? Jawab Nabi SAW; Islam ialah menyembah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan mendirikan sembahyang. Lalu bertanya: Apakah Ihsan? Jawab Nabi SAW: Ihsan ialah menyembah pada Allah seakan-akan anda melihat-Nya, maka jika tidak dapat melihat-Nya, ketahuilah bahwa Allah melihatmu. Lalu bertanya: Bilakah hari qiyamat? Jawan Nabi SAW: Orang yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang menanya, tetapi saya memberitakan padamu beberapa syarat (tanda-tanda) akan tibanya hari qiyamat, yaitu jika budak sahaya telah melahirkan majikannya, dan jika penggembala onta dan ternak lainnya telah berlomba membangun gedung-gedung, termasuk dalam lima macam yang tidak dapat mengetahuinya kecuali Allah, yang tersebut dalam ayat: "Sesungguhya hanya Allah yang mengetahui, bilakah hari qiyamat, dan Dia pula yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang di dalam rahim  ibu, dan tiada seorangpun yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari, dan tidak seorang pun yang mengetahui di manakah ia akan mati. Sesungguhnya Allah maha mengetahui sedalam-dalamnya".Kemudian pergilah orang itu. Lalu Nabi SAW menyuruh sahabat: Kembalikanlah orang itu! Tetapi sahabat tidak melihat bekas orang itu. Maka Nabi SAW bersabda: Itu Malaikat Jibril datang untuk mengajarkan agama kepada manusia.
(Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Al-Lu'lu Wal Marjan: No.5)

Selanjutnya agar diri kita mampu melaksanakan ibadah Ikhsan dengan sebaik mungkin serta semaksimal mungkin, ada baiknya kita melihat Allah SWT terlebih dahulu seperti pengertian Ikhsan yang telah kami kemukakan di atas. Lalu apakah bisa kita melihat Allah SWT saat hidup di muka bumi?

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.
(surat Al An’am (6) ayat 103)

dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya Menampakkan diri kepada gunung itu[565], dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: "Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman".
(surat Al A’raf (7) ayat 143)

[565] Para mufassirin ada yang mengartikan yang nampak oleh gunung itu ialah kebesaran dan kekuasaan Allah, dan ada pula yang menafsirkan bahwa yang nampak itu hanyalah cahaya Allah. Bagaimanapun juga nampaknya Tuhan itu bukanlah nampak makhluk, hanyalah nampak yang sesuai sifat-sifat Tuhan yang tidak dapat diukur dengan ukuran manusia.

Berdasarkan surat Al An’am (6) ayat 103 dan surat Al A’raf (7) ayat 143 yang kami kemukakan di atas ini, manusia tidak akan bisa melihat Allah SWT secara langsung. Akan tetapi Allah SWT mampu melihat segala apapun yang ada di alam semesta ini karena Allah SWT Dzat yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Sekarang jika manusia termasuk diri kita tidak bisa melihat Allah SWT lalu untuk apa kita disuruh melihat Allah SWT sebelum melaksanakan ibadah Ikhsan? Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita pelajari tingkatan tingkatan dari arti yang termaktub dalam Al Qur’an. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa arti dan makna yang terkandung yang termaktub di dalam Al Qur’an dapat terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu:

a.      Adanya Arti dan Makna Secara Tersurat

Allah SWT adalah pencipta dari apa apa yang ada di antara langit dan bumi. Salah satu yang diciptakan Allah SWT adalah pohon. Lihatlah salah satu pohon, yaitu pohon durian atau tumbuhan yang tumbuh di lingkungan kita, dimana pohon durian atau tumbuhan itu memiliki arti dan makna secara tersurat yaitu ciptaan Allah SWT.

Kebanyakan manusia, kemungkinan termasuk diri kita hanya mampu melihat sesuatu yang tersurat semata, yaitu sesuatu yang terlihat secara lahiriah. Hal ini dikarenakan hanya sedikit saja orang yang mampu melihat secara tersirat apalagi melihat secara tersembunyi. Padahal inilah salah satu modal yang sangat penting agar diri kita bisa melaksanakan Diinul Islam secara kaffah atau melaksanakan ibadah Ikhsan.

Untuk bisa melihat secara tersurat kita tidak perlu belajar karena Allah SWT sudah melengkapi diri kita dengan sepasang mata yang secara otomatis bisa langsung dipergunakan untuk melihat. Sedangkan untuk bisa melihat secara tersirat dan juga secara tersembunyi tidak bisa didapatkan begitu saja. Untuk bisa melihat secara tersirat harus diperjuangkan dengan memadukan akal dan pikiran yang jernih serta melihat dengan hati yang bening. Sedangkan untuk bisa melihat secara tersembunyi lebih berat lagi karena harus melibatkan keimanan barulah kita bisa mencapainya. 

b.      Adanya Arti dan Makna Secara Tersirat

Pohon durian atau tumbuhan yang tumbuh di lingkungan kita selain bermakna arti dan makna secara tersurat adalah ciptaan Allah SWT juga memiliki arti dan makna secara tersirat sebagai tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT. Jika pohon durian dan semua tumbuhan itu adalah ciptaan Allah SWT dan juga tanda tanda dari kebesaran dan kemahaan Allah SWT ini berarti bahwa Allah SWT pasti ada karena ada ciptaanNya dan juga ada tanda tanda dari kemahaan dan kebesaranNya sehingga mustahil di akal jika Allah SWT sampai tidak ada.

Untuk mengetahui diri kita apakah sudah mampu melihat secara tersirat atau tidak, berikut ini akan kami kemukakan 7(tujuh) buah pertanyaan yang harus kita jawab, yaitu:

a.      Apakah kita sering terpana dengan penampilan lahiriah/phisik seseorang?
b.      Apakah kita sering tenggelam dalam fakta?
c.    Apakah kita sering terfokus pada hadiah yang diperoleh bukan pada siapa yang memberinya?
d.     Apakah ketika anak kita berbuat kesalahan kita masih terfokus pada perbuatannya?
e.  Apakah kita masih terpana pada pemandangan indah yang kita lihat, lupa siapa yang menciptakannya?
f.   Apakah hati kita masih terfokus pada kezaliman yang menimpa kita, bukan pada transfer pahala yang akan kita terima?
g.     Apakah kita masih terfokus pada musibahnya buka pada hikmah di balik musibah?

Apabila ketujuh jawaban dari pertanyaan di atas adalah ya, berarti diri kita masih di dalam kondisi terendah, yaitu baru bisa melihat dengan mata sehingga sesuatu yang tersurat saja yang bisa kita lihat. Untuk itu segera lakukan perjuangan untuk meningkatkan kemampuan agar kita bisa melihat sesuatu yang tersirat dengan selalu mempergunakan akal dan hati saat melihat sesuatu atau saat mendengar sesuatu sehingga modal dasar untuk menuju melihat sesuatu yang tersembunyi sudah kita miliki.

c.      Adanya Arti dan Makna Secara Tersembunyi

Selanjutnya jika ciptaan itu juga bermakna sebagai tanda tanda dari kebesaran dan kemahaan Allah SWT selaku pencipta berarti antara Allah SWT dengan apa apa yang diciptakanNya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Lalu dimanakah Allah SWT itu berada? Allah SWT tidak bisa dipisahkan dengan apa apa yang telah diciptakanNya serta Allah SWT tidak bisa dipisahkan dengan tanda tanda dari kebesaran dan kemahaanNya sehingga  Allah SWT selalu berada di balik keberadaan ciptaanNya, Allah SWT selalu menyertai apa apa yang telah diciptakanNya sampai dengan kapanpun juga.

Jika saat ini kita masih hidup berarti kita bisa melihat dan mendengar karena kita telah dianugerahi mata dan telinga oleh Allah SWT. Kita bisa berfikir karena kita telah diberi Ilmu yang diletakkan di otak oleh Allah SWT. Kita juga telah diberi af’idah (perasaan) dan akal yang diletakkan di kalbu oleh Allah SWT untuk memudahkan diri kita beraktifitas. Kita juga telah diberikan Qudrat, Iradat, Kalam dan Hayat oleh Allah SWT sebagai modal dasar kita menjadi khalifah di muka bumi. Lalu dimanakah letaknya melihat Allah SWT?

Allah SWT secara kasat mata memang tidak akan bisa dilihat oleh mata manusia. Lalu apa yang bisa dilihat dari Allah SWT? Yang bisa dilihat secara langsung dari Allah SWT adalah melalui apa apa yang telah diciptakanNya, dalam hal ini melihat melalui arti dan makna secara tersurat seperti melihat burung, melihat pohon, melihat bulan, melihat matahari dan lain sebagainya. Adapun salah satu tujuan dari melihat melalui mata secara langsung diharapkan terciptalah apa yang dinamakan dengan rasa takjub (kagum) atas kebesaran dan kemahaan Allah SWT yang mampu menciptakan segala sesuatu yang pada akhirnya mampu menghantarkan diri kita mengetahui arti dan makna yang tersirat dan yang tersembunyi dari apa apa yang dikemukakan dalam Al Qur’an.  

Sekarang bagaimana dengan tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT yang tidak bisa dipisahkan dengan apa apa yang telah diciptakanNya? Ingat, tanda tanda kemahaan dan kebesaran Allah SWT bukanlah Allah SWT atau tanda tanda kemahaan dan kebesaran Allah SWT tidaklah sama dengan Allah SWT. Selanjutnya jika ada tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT maka dapat dipastikan Allah SWT pasti ada karena tidak akan mungkin ada tanda tanda kebesaran dan kemahaan jika tidak ada Allah SWT nya. Lalu bisakah tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT ini dilihat dan didengar melalui mata dan telinga? Tanda Tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT  tidak bisa dilihat dengan mata secara langsung, tidak bisa didengar melalui telinga secara langsung. Tanda Tanda Kebesaran dan Kemahaan Allah SWT hanya hanya bisa dirasakan melalui ilmu, melalui akal dan melalui af’idah (perasaan)  yang ada di dalam diri kita atau hanya bisa dilihat dan dirasakan melalui mata hati yang terdapat di dalam sanubari.   

Lalu bagaiman dengan kebesaran Allah SWT yang berada di balik setiap apa apa yang telah diciptakanNya dan yang juga tidak bisa dipisahkan dengan tanda tanda dari kemahaan dan kebesaranNya? Kebesaran Allah SWT yang selalu berada dibalik setiap apa apa yang telah diciptakannya tidak akan bisa dilihat dan didengar secara langsung  namun  hanya bisa dirasakan dan diyakini dengan rasa keimanan yang tertanam di dalam hati. Hal yang harus kita ketahui bersama adalah jika kita sudah mampu merasakan tanda tanda kebesaran dan kemahaan Allah SWT melalui akal, melalui ilmu, melalui af’idah (perasaan), melalui mata hati, akan memudahkan diri kita merasakan rasa keimanan yang selalu ada didekat diri kita. Disinilah letak pentingnya keimanan dalam diri karena faktor keimanan inilah yang mampu merasakan rasa bertuhankan kepada Allah SWT. Sekarang sudah dimanakah posisi diri kita? Semoga dengan adanya buku ini kita sudah berada di dalam rasa keimanan kepada Allah SWT.

Adanya perbedaan melihat Allah SWT baik secara tersurat (melihat melalui ciptaanNya) dan melihat Allah SWT secara tersirat melalui Tanda Tanda Kebesaran dan Kemahaan Allah SWT serta melihat Allah SWT secara tersembunyi mengharuskan diri kita memiliki keimanan yang tertanam di dalam hati atau mewajibkan kita untuk melaksanakan Diinul Islam secara kaffah sehingga akan memudahkan diri kita melaksanakan ibadah Ikhsan yang merupakan cerminan dari diri kita sendiri. Hal yang harus kita jadikan pedoman, saat diri kita hanya mampu melihat mempergunakan atau merasakan dengan panca indera baik itu telinga ataupun hidung berarti kondisi dasar dari pemahaman kita masih tergolong rendah. Jika ini terjadi maka apa yang kita lihat dengan mata, apa yang kita dengar melalui telinga, apa yang kita cium dengan hidung masih bisa diintervensi oleh syaitan sehingga kita bisa tertipu olehnya. Ingat, syaitan mampu merubah pandangan, merubah pendengaran serta merubah penciuman kita dengan konsep memandang baik perbuatan buruk.

Selanjutnya jika kita sudah mampu merasakan segala ciptaan Allah SWT merupakan tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT berarti posisi pemamaham diri kita sudah meningkat dari yang hanya ada di mata, di telinga dan di hidung sekarang sudah mulai melibatkan hati saat melihat, melibatkan hati saat mendengar, melibatkan hati saat merasakan sesuatu dikarenakan di dalam hati terdapat alat alat ruhaniah seperti akal dan perasaan. Sehingga saat diri kita melihat dengan hati maka akal  kita libatkan untuk melihat sesuatu yang pada akhirnya kita akan dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah melalui akal. 

Jika kita sudah bisa melihat apa apa yang diciptakan Allah SWT sebagai tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT, maka kondisi ini harus terus ditingkatkan menjadi merasakan, melihat, mendengar sesuatu dengan rasa keimanan. Hal ini dikarenakan jika posisi kita masih dalam posisi melihat, mendengar, merasakan dengan hati hal  ini belum bisa dikatakan sebagai posisi aman karena masih akan terjadi apa yang dinamakan dengan gamang, ragu, kadang terasa kadang tidak. Akan tetapi jika kita mampu sampai menyatakan ada Allah SWT dibalik ciptaanNya dan ada Allah SWT dibalik tanda tanda kebesaran dan kemahaanNya yang dirasakan melalui keimanan maka kondisi inilah yang terbaik. Semoga kita mampu mencapai hal ini secepat mungkin dan lalu merasakan betapa nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT.

Berikut ini akan kami ajak pembaca buku ini untuk melihat dan bertemu Allah SWT melalui hal hal sebagai berikut sehingga kita selalu bersama Allah SWT dimanapun dan kapanpun juga dan Allah SWT akan memberikan pertolongan dan penjagaanNya kepada diri kita.

A.   LIHATLAH SEGALA CIPTAAN NYA DI ALAM SEMESTA INI

Berdasarkan surat Ibrahim (14) ayat 19 di bawah ini, Allah SWT lah yang menciptakan langit dan bumi dengan segala isinya. Lalu Allah SWT menegaskan bahwa apa yang diciptakannya itu dilakukan dengan hak, dengan sungguh sungguh, dengan mempertimbangkan segala sesuatu yang menunjukkan kebesaran dan kemahaan dari Allah SWT itu sendiri. Jika sekarang Allah SWT sudah menyatakan bahwa langit dan bumi adalah ciptaanNya ini berarti hanya Allah SWT sajalah yang paling menguasai, yang paling tahu, yang paling mengerti dan yang paling ahli tentang langit dan bumi. Di lain sisi, Allah SWT melalui surat Al Hajj (22) ayat 64  di bawah ini juga menegaskan bahwa Allah SWT adalah pemilik dari langit dan bumi sehingga Allah SWT sangat berkuasa kepada langit dan bumi yang telah diciptakannya.

tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan hak[784]? jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan mengganti(mu) dengan makhluk yang baru,
(Surat Ibrahim (14) ayat 19)

[784] Maksudnya: Allah menjadikan semua yang disebutkan itu bukanlah dengan percuma, melainkan dengan penuh hikmah.

kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi. dan Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
(surat Al Hajj (22) ayat 64)

Adanya ketentuan yang tertuang di dalam surat Ibrahim (14) ayat 19 dan surat Al Hajj (22) ayat 64 di atas, ini berarti Allah SWT adalah pencipta dan juga pemilik dari  langit dan bumi. Jika sekarang kita telah mengimani Allah SWT adalah pencipta dan pemilik dari langit dan bumi berarti  kitapun wajib mengimani pula segala ketentuan, segala hukum, segala aturan yang berlaku di langit dan di bumi adalah ketentuan, hukum, aturan Allah SWT selaku pencipta dan pemilik. Selain daripada itu dengan kita mengimani Allah SWT selaku pencipta dan pemilik berarti kita wajib mengimani bahwa Allah SWT yang paling berkuasa di alam semesta ini.

Sekarang di muka bumi ada Al Qur’an lalu apakah itu Al Qur’an? Jika kita mengakui dan mengimani bahwa Allah SWT adalah pencipta dan pemilik dari langit dan bumi ini berarti kita juga harus mengimani bahwa Al Qur’an adalah kumpulan ketentuan, kumpulan peraturan, kumpulan undang undang, kumpulan hukum yang berlaku di langit dan di muka bumi ini sampai dengan hari kiamat kelak yang berasal dari Allah SWT. Selanjutnya kita harus mengimani Al Qur’an, mempelajari Al Qur;an, melaksanakan isi dan kandungan Al Qur’an sesuai dengan kehendak Allah SWT serta menjadikan Al Qur’an sebagai akhlaq bagi diri kita saat hidup di muka bumi ini.

Sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi ketahuilah dengan seksama bawha  Allah SWT sudah menunjukkan kepada diri kita inilah ciptaanNya lalu mampukah kamu menciptakan seperti yang Allah SWT ciptakan? Jika diri kita Allah SWT yang ciptakan lalu siapakah kamu? Jika kita termasuk orang yang memiliki akal sehat, memiliki hati yang bersih, maka kita pasti mengakui kebesaran dan kemahaan Allah SWT dan dibuktikan dengan pernyataan beriman kepada Allah SWT. Jika hal ini tidak terjadi berarti ada sesuatu yang salah dalam diri kita dikarenakan komponen diri kita tidak berfungsi sebagai mana mestinya seperti akal yang tidak bisa lagi membedakan benar atau salah, ilmu yang tidak bisa menjalankan fungsinya untuk berfikir dan perasaan (af’idah) yang hilang arah karena sudah terpengaruh atau dipengaruhi oleh Ahwa dan juga syaitan.

Saat ini kita hidup di langit dan di muka bumi yang bukan kita ciptakan dan bukan kita miliki, lalu harus bagaimana kita bersikap kepada pemilik dan penciptanya? Jika kita termasuk orang yang tahu diri berarti kita harus bisa menyenangkan hati Tuan Rumah (maksudnya Allah SWT) dengan mengimani Allah SWT, mempelajari ketentuan yang telah ditetapkannya, lalu  melaksanakan apa apa yang telah ditetapkan berlaku oleh Allah SWT tanpa dibantah, tanpa ditambah, tanpa dikurangi.

Sekarang gunakan mata dan telinga serta perasaan kita dengan rasa keimanan  lalu renungkan dan rasakan dengan kalbu kita dengan melihat segala apa yang telah diciptakanNya. Lalu apa perasaan kita dengan apa yang kita lihat, dengan apa yang kita dengar, dengan apa yang kita rasakan, apakah menjadikan diri kita sombong atau merasa hebat di rumah orang lain? Adanya kondisi ini seharusnya menjadikan diri kita tawadhu, rendah hati baik dihadapan Allah SWT maupun dihadapan manusia dan jika sampai kita menjadi sombong dan angkuh di muka bumi berarti ada yang salah dalam diri kita atau kita sudah keluar dari keftrahan diri.

Allah SWT sudah memerintahkan kepada diri kita untuk melaksanakan ibadah Ikhsan, dengan menyembah Allah SWT seakan akan kita melihat Nya, dan jika kita tidak dapat melihatNya, ketahuilah bahwa Allah SWT pasti melihatmu, lalu apa yang anda rasakan saat melaksanakan ibadah seakan akan dapat melihat Allah SWT? Jika pada saat beribadah kita hanya mampu melihat ciptaan Allah SWT maka ibadah yang kita laksanakan sebatas rutinitas belaka tanpa ada rasa kenikmatan bertuhankan kepada Allah SWT dan itulah yang disebut ibadah hampa.

Ibadah baru terasa menjadi sebuah kebutuhan jika kita mampu menempatkan dan merasakan tanda tanda kebesaran dan kemahaan Allah SWT disetiap ciptaanNya dan ibadah baru terasa sangat nikmat jika rasa keimanan mendominasi saat diri kita beribadah karena kita tidak bisa dipisahkan dengan Allah SWT. Yang menjadi persoalan saat ini adalah di posisi manakah diri kita, apakah baru mampu melihat Allah SWT atau sudah mampu merasakan tanda tanda kebesaran dan kemahaan Allah SWT melalui hati ataukah sudah bisa merasakan keberadaan Allah SWT melalui keimanan yang ada di dalam hati? Hal ini penting kita ketahui karena posisi ini akan sangat menentukan hasil akhir dari ibadah yang kita laksanakan.

Di lain sisi, diri kita juga adalah ciptaan Allah SWT; diri kita juga tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT dan kebesaran Allah SWT tidak bisa dipisahkan dengan ciptaanNya dan juga tanda tandaNya. Lalu jika ini kondisi dan keadaan diri kita dihadapan Allah SWT lalu punya apakah diri kita yang saat ini  hidup menumpang di langit dan di bumi Allah SWT? Sebagai orang yang tidak memiliki apapun, sebagai orang yang dalam posisi lemah sudah sepatutnya dan sepantasnya beriman kepada Allah SWT dengan mematuhi segala perintah dan larangannya saat ini juga. Lalu jadilah makhluk yang dibanggakan oleh Allah SWT baik di dunia maupun di akhirat kelak, terkecuali kita sendiri memilih hal lain yaitu berada di dalam kehendak Syaitan.


B.   ALLAH SWT BERADA DI MANA SAJA

Sekarang mari kita lihat dimanakah Allah SWT berada? Apakah Allah SWT itu Ghaib sehingga tidak bisa dilihat oleh mata? Allah SWT bukanlah sesuatu yang bersifat Ghaib hal ini dikarenakan apa apa yang diciptakan oleh Allah SWT dapat kita lihat dengan mata dan dapat kita rasakan melalui adanya tanda tanda kebesaran dan kemahaan Allah SWT melalui hati serta Allah SWT selalu berada di balik ciptaan dan tanda tandaNya melalui rasa keimanan yang ada dalam diri kita. Apa yang kami kemukakan akan menjadi sesuatu yang mustahil terjadi jika ada suatu ciptaan dan jika ada suatu tanda tanda dari kebesaran dan kemahaan tanpa ada yang menciptakan dan tanpa ada yang memberikan tanda tanda sebagai manifestasi kemahaan dan kebesaran pemilik tanda. Kenyataan yang terjadi adalah ciptaannya dapat kita lihat dengan mata, tanda tanda kebesaran dan kemahaannya dapat kita lihat melalui hati. Adanya hal ini menunjukkan kepada diri kita melalui keimanan bahwa Allah SWT pasti ada dibalik ciptaannya dan Allah SWT pasti ada dibalik tanda tandanya serta Allah SWT tidak bisa dipisahkan dengan kedua hal tersebut sampai kapanpun juga.

dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah[83]. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.
(surat Al Baqarah (2) ayat 115)

[83] Disitulah wajah Allah maksudnya; kekuasaan Allah meliputi seluruh alam; sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan Allah.


Jika disetiap ciptaan yang ada di langit dan di muka bumi ini berlaku ketentuan seperti yang kami kemukakan di atas maka dapat dipastikan Allah SWT pasti berada di mana saja karena Allah SWT tidak bisa dipisahkan dengan apa apa yang telah diciptakanNya dan Allah SWT tidak bisa dipisahkan dengan apa apa yang dimilikiNya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan dalam surat Al Baqarah (2) ayat 115 di atas ini. Allah SWT berada di manapun, ada di barat, ada di timur, ada di utara, ada di selatan sehingga Allah SWT tidak bisa dipisahkan dengan segala apa yang diciptakanNya.

Hal yang harus kita pahami tentang hal ini adalah yang berada di manapun dari Allah SWT bukanlah Dzatnya karena DzatNya Allah SWT berada di Arsy. Sedangkan yang ada di mana mana adalah kemahaan Allah SWT, kebesaran Allah SWT, pengawasan Allah SWT kekuasaan Allah SWT yang kesemuanya tidak bisa dipisahkan dengan apa apa yang diciptakanNya oleh sebab apapun juga. Jika sekarang Allah SWT berada di setiap apa apa yang diciptakanNya lalu diposisi manakah Allah SWT pada diri kita? Sepanjang manusia termasuk diri kita adalah ciptaan Allah SWT maka sepanjang itu pula keberadaan Allah SWT tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan diri kita.  Yang menjadi persoalan adalah diri kita sendiri yang sering melepaskan diri dari Allah SWT dan jika sudah demikian berarti kita sendiri pula yang memberikan kesempatan bagi Syaitan melaksanakan aksinya kepada diri kita.

Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi Saw bersabda: Allah ta’ala berfirman:” Wahai anak Adam, jika engkau ingat kepadaKu pasti Aku juga akan ingat kepadamu, dan bila engkau lupa kepadaKu Akupun akan ingat kepadamu. Dan jika engkau taat padaKu pergilah kemana saja engkau suka, pada tempat dimana Aku berkawan dengan engkau dan engkau berkawan dengan Aku. Engkau berpaling dariKu padahal Aku menghadap padamu. Siapakah yang memberimu makan di kala engkau masih janin dalam perut ibumu. Aku selalu mengurusmu dan memeliharamu sampai terlaksanalah kehendakKu atas dirimu, maka setelah Aku keluarkan engkau kea lam dunia engkau berbuat banyak maksiat. Apakah demikian seharusnya pembalasan kepada orang yang telah berbuat kebaikan kepadamu.
(diriwayatkan oleh Abu Nashr Rabi’ah bin Ali Al Ajli dan Ar Rafii’: 272:182)

Sekarang sudahkah kita mampu melihat dan merasakan Allah SWT yang sudah berada di manapun sepanjang ada ciptaanNya? Semoga kita mampu merasakan kehadiran Allah SWT melalui rasa keimanan yang ada di dalam dada sehingga saat diri kita beribadah terasa nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT selalu menyertai diri kita. Kondisi ini baru akan terjadi jika ibadah yang kita lakukan bukanlah untuk melepaskan kewajiban semata dan juga bukan untuk mencari pahala melainkan kita melaksanakan ibadah karena ibadah itu kebutuhan diri kita. 

Adanya keberadaan Allah SWT yang tidak bisa dipisahkan dengan segala apa yang diciptakanNya berarti keberadaan Allah SWT sangat dekat dengan diri kita dan juga siap memberikan pertolongan kepada diri kita sepanjang kita memohon kepada Allah SWT. Untuk itu tolong perhatikan apa yang dikemukakan oleh Allah SWT yang terdapat di dalam surat Al Ankabuut (29) ayat 41 di bawah ini.


perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.
(surat Al Ankabuut (29) ayat 41)

Allah SWT yang keberadaanNya tidak bisa dipisahkan dengan ciptaanNya telah menyatakan bahwa pelindung pelindung selain Allah SWT seperti melindungi diri dengan perlindungan sarang laba laba. Lalu jauhkah Allah SWT selalu pelindung diri kita? Jauh dekatnya perlindungan Allah SWT sangat tergantung kepada diri kita sendiri. Jika Allah SWT tidak bisa dipisahkan dengan ciptaanNya berarti perlindungan Allah SWT kepada ciptaanNya juga sangat dekat dengan diri kita sepanjang diri kita mengimani perlindungan itu dekat dengan diri kita dan siap diberikan Allah SWT sepanjang syarat dan ketentuan dapat kita penuhi.

Disinilah letaknya melaksanakan ibadah yang diikuti dengan ibadah Ikhsan yaitu melihat Allah SWT. Alangkah nikmatnya jika kita mampu beribadah dengan kemampuan melihat Allah SWT melalui rasa keimanan bahwa Allah SWT selalu bersama diri kita serta dekat dengan diri kita dan kitapun mampu menempatkan Allah SWT pada posisi yang sebenarnya, yaitu dekat yang tidak bisa terpisahkan dengan diri kita. Lalu rasakanlah nikmat bertuhankan kepada Allah SWT dari waktu ke waktu. Namun apa yang dikehendaki oleh Allah SWT belum tentu mampu kita laksanakan karena pengaruh Ahwa dan Syaitan yang mengakibatkan diri kita melakukan kesalahan atau berdosa. Tidak ada orang yang ada di muka bumi ini yang tidak melakukan kesalahan dan dosa. Lalu apa yang bisa kita perbuat dengan kondisi ini?

Agar diri kita mampu lebih baik lagi dari waktu ke waktu, ada baiknya kita memperhatikan apa yang dikemukakan Allah SWT dalam surat Faathir (35) ayat 45 yang kami kemukakan di bawah ini. Dimana Allah SWT tidak hendak menyiksa manusia saat ini melainkan Allah SWT menangguhkan penyiksaan sampai waktu tertentu. Untuk apa Allah SWT menunda hal ini?

dan kalau Sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun[1262] akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; Maka apabila datang ajal mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.
(surat Faathir (35) ayat 45)

[1262] Daabbah artinya ialah makhluk yang melata. tetapi yang dimaksud di sini ialah manusia.

Allah SWT menunda karena Allah SWT sayang kepada manusia dengan memberikan kesempatan untuk bertaubat meminta ampunan atau memberikan kesempatan kedua bagi yang memohon ampun kepadanya sampai batas waktu yang ditentukan. Jika ini kondisinya berarti saat ini Allah SWT sedang menunggu taubat kita, Allah SWT sedang menunggu doa dan harapan yang kita panjatkan kepadaNya. Hal yang harus kita jadikan pedoman adalah saat ini sampai dengan hari yang telah ditentukan, Allah SWT sudah dekat sedekat dekatnya dengan diri kita dan Allah SWT tidak hanya menunggu taubat semata seperti ayat diatas. Namun Allah SWT menunggu segala permohonan yang dimohonkan kepadaNya tanpa ada batasnya sepanjang kita mau mengajukan doa dan permohonan. Alangkah sayangnya Allah SWT kepada diri kita namun sangat disayangkan kita tidak mengerti kalau kita disayang oleh Allah SWT.


C.   SUJUD KEPADA ALLAH SWT SELURUH ALAM

Sekarang mari kita melihat Allah SWT melalui patuh, tunduk, sujud dan bertasbihnya seluruh alam kepada Allah SWT seperti yang dikemukakan dalam surat Al Hajj (22) ayat 18 dan surat Al Hadiid (57) ayat 1 di bawah ini. Berdasarkan ayat di bawah ini seluruh apa apa yang ada di langit, apa apa yang ada di bumi, apa apa yang ada di bulan, apa apa yang ada di bintang, apa apa yang ada di galaksi, apa apa yang ada di gunung gunung, di pohon pohon, di binatang binatang termasuk udara dan air semuanya  tunduk patuh, bersujud dan bertasbih kepada Allah SWT.  


Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.
(surat Al Hajj (22) ayat 18)

semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(surat Al Hadiid (57) ayat 1)

langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.
(surat Al Israa’ (17) ayat 44)


Berdasarkan surat Al Israa’ (17) ayat 44 di atas ini, dikemukakan bahwa tasbihnya segala apa apa yang diciptakan oleh Allah SWT tidak dimengerti oleh manusia. Manusia hanya bisa melihat sisi keteraturan dari ciptaan Allah SWT semata. Untuk itu lihatlah keteraturan matahari, bulan, bumi yang beredar sesuai dengan garis edarnya masing masing sebagai bentuk ketertundukkan mereka kepada Allah SWT terhadap apa apa yang telah ditetapkan berlaku kepadanya. Tidak ada satupun yang keluar jalur dari apa apa yang telah  ditetapkan Allah SWT berlaku kepada seluruh apa apa yang telah diciptakannya.

Saat ini kita hidup di muka bumi ini, dimana bumi beserta apa apa yang ada di dalamnya bertasbih, sujud serta patuh kepada Allah SWT, lalu apa yang terjadi jika tempat kediaman kita, udara yang kita hirup, air yang kita konsumsi, yang kesemuanya diciptakan oleh Allah SWT sehingga kesemuanya tidak bisa melepaskan diri dari kebesaran dan kemahaan Allah SWT melakukan ketertundukan kepada Allah SWT sedangkan kita bersikap bertolak belakang dengan melakukan keengkaran kepada Allah SWT?

Jika sampai ini terjadi pada diri kita berarti terjadilah apa yang dinamakan dengan ketidakridhaan dari bumi, dari udara, dari air kepada diri kita. Air yang seharusnya membawa berkah justru membawa bencana. Udara yang seharusnya nyaman justru menjadi bencana atau bumi yang seharusnya tenang menjadi bergejolak karena ulah kita yang berseberangan dengan apa yang dilakukan yaitu tunduk, patuh, bertasbih kepada Allah SWT. Jangan pernah salahkan padi yang lebih suka dimakan wereng dan tikus dikarenakan keduanya bertasbih kepada Allah SWT dibandingkan dengan petaninya yang bersikap sesuai dengan kehendak Syaitan. Jangan pernah salahkan air yang menjadi bencana karena ulah manusia yang merusak sunnatullah yang berlaku pada air, yaitu air selalu turun dari atas ke bawah.

Jika kita menyadari bahwa kita bukan yang menciptakan apa apa yang ada di langit dan di bumi tidak ada jalan lain kitapun harus menyesuaikan diri dengan apa apa yang ada di langit di bumi yaitu tunduk, patuh serta berstasbih kepada Allah SWT seperti tunduk, bertasbihnya makhluk makhluk Allah SWT yang ada di muka bumi saat ini juga. Jangan pernah menunda nunda untuk berbuat hal seperti ini karena kesempatan untuk berbuat hanya ada pada sisa usia kita.

Alangkah nikmatnya saat diri kita merasakan betapa nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT saat diri kita melaksanakan ibadah yang telah diperintahkan Allah SWT, apakah itu mendirikan Shalat, apakah itu menunaikan Zakat, apakah itu melaksanakan Puasa Ramadhan, apakah itu menunaikan ibadah Haji selaras dengan apa yang air, udara, pohon lakukan yaitu  bertasbih, tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Adanya kesamaan antara diri kita dengan apa apa yang dilakukan oleh makhluk lainnya yang diciptakan oleh Allah SWT maka udara, air, pohon akan ridha kepada diri kita saat udara, air, pohon kita ambil manfaatnya untuk kepentingan diri kita. Semoga kita mampu menempatkan diri kita dan juga anak keturunan kita selalu di dalam kesesuaian dengan bumi, dengan air, dengan udara yang selalu bertasbih, selalu sujud dan selalu patuh kepada Allah SWT.   


D. MENURUNKAN AIR MELALUI HUJAN DARI LANGIT DAN MENYUBURKAN TANAH

Sekarang mari kita lihat Allah SWT melalui hujan dari langit yang dikemukakan dalam surat Al Hajj (22) ayat 63 dan surat Al Zumar (39) ayat 21 di bawah. Secara kasat mata kita tidak bisa melihat Allah SWT, akan tetapi kita bisa secara kasat mata mampu melihat Allah SWT melalui salah satu ciptaanNya yaitu Allah SWT menurunkan air melalui hujan yang turun dari langit. Hujan bisa kita lihat dan kita rasakan secara langsung saat kita hidup di muka bumi ini, namun hujan yang kita lihat  dan rasakan bukanlah semata mata ciptaan Allah SWT. Hujan juga merupakan tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT. Adanya hujan yang tidak lain adalah tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT berarti Allah SWT pasti ada dan tidak ghaib keberadaannya, hal ini terbukti dari adanya hujan yang merupakan tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT.

Apakah kamu tiada melihat, bahwasanya Allah menurunkan air dari langit, lalu jadilah bumi itu hijau? Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.
(surat Al Hajj (22) ayat 63)

Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, Maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.
(surat Al Zumar (39) ayat 21)

Lalu dimanakah Allah SWT itu? Allah SWT pasti ada di balik keberadaan air yang turun melalui hujan (Allah SWT tersembunyi dibalik keberadaan air yang turun melalui hujan) sehingga disetiap air yang turun melalui hujan dapat dipastikan ada Allah SWT yang menyertainya. Sekarang ada apa dibalik turunnya air melalui hujan? Air yang turun melalui hujan bukanlah semata mata turunnya air dari langit untuk menyuburkan tanah. Air yang turun melalui hujan juga merupakan cara Allah SWT untuk mensirkulasi air dari satu tempat ke tempat lain serta method Allah SWT untuk menambah jumlah air yang ada dan yang dibutuhkan di muka bumi untuk seluruh makhluknya. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT sangat berkuasa kepada air dan juga kepada hujan, termasuk di dalamnya berkuasa terhadap air yang sudah ada di bumi.

Ibn Mas’ud ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Sesungguhnya barangsiapa berkata: Hujan telah turun kepada kami karena bintang ini atau bintang itu, maka sungguh ia telah kufur kepadaKu dan beriman kepada bintang itu. Sebaliknya barangsiapa berkata: Allah telah menurunkan hujan kepada kami, maka ia telah beriman kepadaKu dan kufur kepada bintang itu.
(Hadits Qudsi Riwayat Ath Thabrani; 272:33)

Jika hal ini sudah ditunjukkan oleh Allah SWT melalui air yang turun melalui hujan dan juga melalui air yang ada di muka bumi, lalu bisakah kita menciptakan hujan dan juga air? Sampai dengan kapanpun juga manusia termasuk diri kita tidak akan mampu menurunkan hujan dan juga menciptakan air dan hal ini juga dibuktikan dengan tidak adanya produk substitusi atau produk pengganti yang bisa menggantikan air.

Kita hanya bisa melihat, menyaksikan, mendengar, merasakan turunnya air melalui hujan serta hanya bisa mempergunakan air untuk kepentingan hidup dan kehidupan kita. Lalu apa yang harus kita sikapi dengan kondisi ini? Hal yang pertama yang harus kita sikapi adalah kita harus bersikap dan berbuat serta melakukan seperti air yang air lakukan kepada Allah SWT yaitu sujud, patuh dan tunduk serta bertasbih kepada Allah SWT. Jika sampai kita berseberangan dengan air maka air tidak akan pernah ridha jika kita konsumsi dan pergunakan untuk kepentingan hidup dan kehidupan kita sehingga air lebih suka menjadi banjir ketimbang diambil manfaatnya oleh diri kita. 

semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(surat Al Hadiid (57) ayat 1)

Di lain sisi, walaupun diri kita sudah berkesesuaian dengan perilaku dan perbuatan air tidak serta merta kita bisa memperlakukan air dengan sekehendak hati kita. Agar air mau memberikan manfaat secara sukarela atau ridha dimanfaatkan oleh diri kita maka kita diwajibkan oleh Allah SWT untuk membaca Basmallah sebelum memanfaatkan air. Dengan diri kita membaca Basmallah berarti kita telah mengatakan kepada Air yaitu atas nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang, engkau ku konsumsi (engkau ku pergunakan) maka ridhalah air kepada diri kita.

Sekarang lihatlah tubuh kita yang sebahagian besar terdiri dari unsur air yang berarti kita tidak bisa melepaskan diri dari air sedangkan kita tidak bisa menciptakan air. Jika sudah seperti ini keadaannya maka kita harus menghargai air, menghormati air sebagai bagian yang tidak bisa dilepaskan dari Allah SWT selaku penciptanya. Terkecuali jika kita tidak lagi membutuhkan air, berbuatlah semena mena dengan air lalu bersiaplah merasakan betapa tidak enaknya, betapa susahnya hidup tanpa air.

Air sangat kita butuhkan, namun jika sesuatu yang kita butuhkan justru kita berlakukan tidak sesuai dengan apa yang dilakukan oleh air kepada Allah SWT berarti kita juga telah  mengabaikan atau tidak memperdulikan Allah SWT yang selalu menyertai air. Kondisi inilah yang paling berbahaya yaitu kita butuh kepada air namun meniadakan atau mengabaikan Allah SWT selaku pencipta air dan juga yang selalu menyertai air. Jika ini yang terjadi Allah SWT menjadi murka kepada diri kita dan air yang seharusnya bermanfaat bagi kita tetapi justru menyerang diri kita. Ayo sadari dengan sesadar sadarnya bahwa Allah SWT selalu berada di balik keberadaan air sampai kapanpun juga lalu bijaklah untuk mempergunakan air dalam hidup dan kehidupan kita.  

E. YANG MENCIPTAKAN, YANG MENGHIDUPKAN DAN YANG MEMATIKAN MANUSIA

Sekarang mari kita lihat Allah SWT berdasarkan surat Al Mu’min (40) ayat 67 sampai 69 dan surat Al Hajj (22) ayat 66 yang kami kemukakan di bawah ini, dimana kita tidak bisa melihat Allah SWT secara kasat mata, namun kita hanya  bisa melihat Allah SWT melalui penciptaan manusia, menghidupkan dan mematikan manusia yang ada di muka bumi ini. Kita bisa melihat secara kasat mata orang yang sedang mengandung anak, kita bisa juga melihat bayi yang baru dilahirkan dan juga kita bisa melihat secara langsung orang yang meninggal dunia. Lalu siapakah diri kita? Apakah diri kita juga termasuk yang dikemukakan dalam surat Al Mu’min (40) ayat 67, 68, 69 di bawah ini?


Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya).
Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, Maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya bekata kepadanya: "Jadilah", Maka jadilah ia.
Apakah kamu tidak melihat kepada orang-orang yang membantah ayat-ayat Allah? Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan?
(surat Al Mu’min (40) ayat 67, 68, 69)

Jawaban dari pertanyaan ini adalah kita termasuk yang diciptakan oleh Allah SWT yang lalu diangkat menjadi khalifahNya di muka bumi. Kita juga merupakan tanda tanda dari kebesaran dan kemahaan Allah SWT serta keberadaan diri kita tidak bisa dilepaskan dari Allah SWT karena Allah SWT selalu menyertai diri kita dimanapun kita berada. Dan ingat kita juga yang akan dimatikan oleh Allah SWT dengan cara memisahkan Ruh/Ruhani dengan Jasmani. Ruh/Ruhani akan pulang sementara waktu kea lam barzah sedangkan Jasmani akan dimakamkan di tanah.


Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: “Wahai anak Adam, jika engkau ingat kepadaKu pasti Aku juga akan ingat kepadamu, dan bila engkau lupa kepadaKu Akupun akan ingat kepadamu. Dan jika engkau taat kepadaKu pergilah kemana saja engkau suka, pada tempat dimana Aku berkawan dengan engkau dan engkau berkawan dengan Aku. Engkau berpaling dariKu padahal Aku menghadap kepadamu. Siapakah yang memberimu makan di kala engkau masih janin di dalam perut ibumu. Aku selalu mengurusmu dan memeliharamu sampai terlaksanalah kehendakKu atas dirimu, maka setelah Aku keluarkan engkau ke alam dunia engkau banyak berbuat maksiat. Apakah demikian seharusnya pembalasan kepada yang telah berbuat kebaikan kepadamu”.
(Hadits Riwayat Abu Nashr Rabiah bin Ali al Ajli dan Ar Rafi’i; 272:182)

Untuk mempertegas tentang keberadaan diri kita di muka bumi sebagai tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT, berikut ini akan kami kemukakan hakekat dari diri kita yang tidak lain adalah Simbol dari penampilan Allah SWT di muka bumi; Simbol dari keghaiban Allah SWT (terutama tentang Ruh); Simbol dari pemandangan bagi penampilan keindahan Allah SWT; Simbol dari gudang perbendaharaan Allah SWT selalui ibadah Zakat, Infaq dan Shadaqah; Simbol dari gambaran dari sifat dan AsmaNya Allah SWT serta Simbol dari Eksistensi Allah SWT bagi tersingkapNya hijab Allah SWT. Jika kita menyadari hal ini betapa mulianya diri kita karena mampu menunjukkan Islam Rahmat bagi semua.


dan Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi), Sesungguhnya manusia itu, benar-benar sangat mengingkari nikmat.
(surat Al Hajj (22) ayat 66)

Di lain sisi, kita juga bisa melihat Allah SWT melalui orang yang meninggal dunia. Adanya orang yang meninggal dunia menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT Maha Berkuasa di muka bumi, yaitu selain mampu menghidupkan juga mampu mematikan. Lalu apakah ketentuan ini hanya berlaku untuk orang lain kepada diri kita tidak? Ketentuan mematikan berlaku kepada seluruh umat manusia termasuk di dalamnya diri kita pasti akan dimatikan oleh Allah SWT.

Jika saat ini kita masih hidup di muka bumi ini berarti saat ini kita sedang menuju ke liang kubur (menuju kematian). Hal yang harus kita yakini adalah kecepatan menuju liang kubur bersifat konstan yaitu berkecapatan 60 (enam puluh) menit per jam serta kita juga telah diingatkan oleh Allah SWT untuk memanfaatkan sisa usia yang ada pada saat ini terkecuali jika kita bermaksud mengingkari nikmat Allah SWT. Jangan sampai terlambat memanfaatkan sisa usia yang tersedia karena kita tidak tahu kapan Malaikat Maut datang kepada diri kita serta yang pasti adalah pesan pesan dari Malaikat Maut sudah sampai kepada diri kita melalui mata yang sudah tidak awas lagi, melalui semangat yang sudah mengendur, melalui kaki dan tangan yang sekarang sudah mulai gemetar dan lemah serta melalui rambut yang sudah tidak hitam lagi.

Sekarang semuanya sangat terpulang kepada diri kita sendiri, mampukah kita melihat kebesaran dan kemahaan Allah SWT melalui kematian manusia serta yang juga pasti terjadi pada diri kita. Jika saat ini kita masih hidup berarti kita sedang menuju kepada kematian namun  nomor urut belum sampai kepada diri kita. Ayo segera persiapkan kematian dengan sebaik baiknya karena kecepatan menuju kematian memiliki rumus kecepatan  60 (enam puluh) menit per jam. Rumus ini berlaku konstan dan akan mengurangi dengan pasti sisa usia yang kita miliki.

Hal yang harus kita ingat adalah mati atau suatu kematian adalah kepastian yang tidak bisa kita hindari. Tidak harus kaya dahulu baru mati, tidak harus tua dahulu baru mati, tidak harus memiliki jabatan dahulu baru mati, tidak harus sarjana dahulu baru mati, tidak harus berhaji dahulu baru mati, tidak harus berkeluarga dahulu baru mati. Mati adalah rahasia Allah SWT  lalu sudahkah diri kita mempersiapkan diri untuk menuju kematian? Ayo gunakan waktu yang tersisa dengan manajemen waktu yang baik dan benar karena waktu tidak bisa diputar ulang dan jangan sampai diri kita menjadi yang merugi di akhirat kelak. 

F.    MEMPERGANTIKAN SIANG DAN MALAM

Sekarang mari kita lihat Allah SWT melalui mata telanjang. Kita bisa melihat terjadinya silih bergantinya malam dan siang seperti yang terdapat di dalam surat Ali Imran (3) ayat 190 dan surat Yunus (10) ayat 6 di bawah ini. Di lain sisi, masih berdasarkan ayat di bawah ini dikemukakan bahwa terjadinya pertukaran malam dan siang merupakan tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran serta kekuasaan Allah SWT bagi orang yang berakal dan juga bagi orang yang bertaqwa.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(surat Ali Imran (3) ayat 190)

Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang bertakwa.
(surat Yunus (10) ayat 6)


Adanya syarat yang dikemukakan oleh Allah SWT tentang silih bergantinya siang dan malam di atas, menunjukkan kepada diri kita hanya orang orang yang berakal dan hanya orang orang yang bertaqwa yang mampu menyatakan bahwa adanya siang dan malam merupakan adalah tanda tanda kebesaran dan kemahaan serta kekuasaan Allah SWT. Sekarang bagaimana dengan orang yang tidak memenuhi kriteria di atas? Adanya perbedaan kriteria akan menghasilkan pernyataan yang berbeda pula. Orang yang tidak memenuhi kriteria di atas akan menyatakan silih bergantinya malam dan siang adalah proses alam.

Silih bergantinya siang dengan malam akan melahirkan apa yang dinamakan dengan waktu. Lahirnya waktu akan memudahkan diri kita melaksanakan ibadah ibadah yang telah diperintahkan Allah SWT berlaku,  yang kesemuanya sangat berhubungan erat dengan waktu. Mendirikan shalat lima waktu terikat dengan waktu, melaksanakan puasa Ramadhan terikat dengan waktu, menunaikan Zakat terikat dengan waktu (dalam hal ini haul), melaksanakan ibadah Haji juga terikat dengan waktu seperti Wukuf di Arafah, mabid di Muzdalifah, melontar Jumroh, serta berkurban.  Sekarang apa jadinya jika Allah SWT tidak mempergantikan siang dan malam? Dapat dipastikan kita akan susah untuk melaksanakan ibadah yang telah diperintahkan Allah SWT. 

Jika saat ini kita masih hidup di muka bumi ini berarti kita akan berhadapan dengan waktu waktu untuk beribadah. Dimana waktu waktu ibadah tidak bisa terlepas dari kebesaran dan kemahaan Allah SWT serta Allah SWT bersama dengan waktu tersebut. Untuk itu sadarilah sejak saat ini juga bahwa pada saat diri kita melaksanakan atau menunaikan ibadah selalu berada di dalam waktu yang Allah SWT miliki lalu apakah kita akan menyianyiakan ibadah dengan berlaku tergesa gesa, terburu buru serta tanpa kekhusyuan? Alangkah ruginya jika kita tidak mampu beribadah sesuai dengan kehendak Allah SWT pada waktu untuk beridah hanya ada pada sisa usia kita. 

Bicara waktu, maka kita akan berhadapan dengan ketentuan tentang waktu yang menyatakan waktu adalah uang (maksudnya waktu sangat berharga laksana uang) dan jika kita termasuk orang yang berakal maka kita harus mengetahui dan menyadari bahwa kehidupan dunia tidak digunakan untuk bersenang senang. Oleh karena itu kita harus berhati hati dalam mempergunakan dan memanfaatkan waktu dalam setiap kesempatan. Ingat, di dalam ketentuan waktu juga berlaku ketentuan “ waktu tidak bisa diputar ulang serta menyesal adanya di kemudian hari”. Jika kita termasuk orang yang beriman dan beramal shaleh maka kita harus memanfaatkan waktu karena yang singkat adalah waktu.  

Hal yang harus pula kita ketahui dengan kesadaran yang tinggi adalah waktu adalah harta yang paling berharga saat kita hidup di dunia ini. Hal ini dikarenakan hanya di dalam waktu yang tersisalah kita bisa melakukan apa apa yang dikehendaki Allah SWT dan hanya di dalam waktu itupula kita bisa menikmati apa yang dinamakan dengan harta kekayaan, kesenangan dunia serta merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT dan juga bisa berbuat kebaikan. Jangan sampai kita lalai saat masih berusia muda serta menyesal di hari tua akibat tidak bisa memanfaatkan waktu. Menyesal dan penyesalan tidak ada gunanya jika waktu telah berlalu karena jika waktu habis berarti selesai sudah hidup kita di dunia ini. Ayo segera manfaatkan waktu itu sebelum diri kita ditinggalkan oleh sang waktu. 

  
G.  YANG MENJADIKAN MANUSIA BERMACAM MACAM SUKU, RAS DAN BAHASA.

Kita juga bisa melihat Allah SWT melalui bermacam macam bangsa, melalui bermacam suku, melalui bermacam macam ras, melalui harta, melalui pangkat dan jabatan, melaui keturunan, melalui warna kulit dan juga melalui berbagai macam bahasa yang dipergunakan oleh umat manusia. Hal ini seperti yang termaktub dalam surat Al Hujurat (49) ayat 13 dan surat Ar Ruum (30) ayat 22 di bawah ini. Allah SWT menciptakan hal ini bukanlah tanpa maksud dan tujuan yang tertentu, terutama untuk saling kenal mengenal diantara satu dengan yang lainnya.  

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
(surat Al Hujurat (49) ayat 13)

dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.
(surat Ar Ruum (30) ayat 22)

Hal yang harus kita jadikan pedoman saat hidup di muka bumi ini adalah adanya perbedaan bangsa, suku, ras, harta, pangkat dan jabatan, keturunan, warna kulit, bahasa bukanlah parameter yang dipergunakan oleh Allah SWT untuk menilai keberhasilan manusia saat menjadi khalifah di muka bumi. Allah SWT memiliki parameter tersendiri di dalam menilai keberhasilan kekhalifahan di muka bumi, dalam hal ini adalah parameter ketaqwaan.  Adanya parameter ketaqwaan yang diterapkan oleh Allah SWT maka Allah SWT tidak akan pernah memandang bangsa, tidak akan pernah memandang suku, tidak akan pernah memandang ras, tidak akan pernah memandang keturunan, tidak akan penah memandang harta, tidak akan pernah memandang pangkat dan jabatan, tidak akan pernah memandang warna kulit dan juga tidak akan pernah memandang bahasa yang dipergunakan, untuk menilai keberhasilan kekhalifahan yang ada di muka bumi.

Jika sudah seperti ini maka tidak ada jalan lain bagi diri kita yang saat ini masih diberi kesempatan hidup di muka bumi untuk segera membuang jauh jauh paham dan  pengertian hanya bangsa tertentu, suku tertentu, ras tertentu, warna kulit tertentu, pangkat dan jabatan tertentu, memiliki kekayaan tertentu, keturunan tertentu, bahasa tertentu yang lebih baik dibandingkan dengan yang lain. Disinilah letak adanya  prinsip heterogen dalam hidup dan kehidupan manusia dan ketentuan ini sudah menjadi ketetapan Allah SWT dan dari sini pulalah kita bisa melihat Allah SWT secara kasat mata Allah SWT melalui prinsip heterogenitas manusia dan prinsip heterogenitas ini menjadi tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT. Serta di balik keberadaan prinsip heterogenitas ini ada Allah SWT yang selalu menyertainya.

Allah SWT selaku pencipta kekhalifahan di muka bumi, sudah menetapkan adanya prinsip  heterogen dalam hidup dan kehidupan manusia sehingga konsep ini harus kita jalankan dengan sebaik baiknya. Kita tidak bisa merubah konsep heterogen menjadi konsep homogen karena adanya kepentingan tertentu, seperti kepentingan politik praktis.


Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada bentuk tubuh dan harta benda kalian, tetapi memandang kepada hati dan amal perbuatan kalian”.
(Hadits Riwayat Muslim dan Ibnu Majah)

Disinilah letak betapa hebat dan luar biasanya Allah SWT menciptakan kekhalifahan di muka bumi. Betapa heterogennya manusia, namun prinsip ini tidak dijadikan Allah SWT untuk menilai kekhalifahanNya yang ada di muka bumi. Jika sekarang ada kelompok tertentu tidak bisa menerima konsep heterogenitas sehingga menyatakan hanya golongannya saja yang terbaik, hanya kelompoknya saja yang diterima oleh Allah SWT yang lain tidak. Bertanyalah kepada hati nurani kita sendiri, siapakah diri kita dan siapakah Allah SWT? Jangan sampai kita yang menumpang di langit dan di bumi Allah SWT menjadi tuan rumah menggantikan Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari langit dan bumi.
  
Sekarang kita sudah bisa melihat Allah SWT berdasarkan 7(tujuh) hal yang kami kemukakan di atas ini berarti modal utama untuk melaksanakan ibadah Ikhsan yang tidak lain cerminan diri kita sudah kita miliki.Ingat, kemampuan melihat Allah SWT bukanlah perkara mudah untuk melakukakannya. Untuk itu hal yang pertama yang harus kita miliki adalah sudahkah kita memiliki Ilmu tentang Diinuil Islam yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Hanya dengan proses belajar yang berkesinambungan yang dibarengi dengan melaksanakan Diinul Islam secara kaffah barulah kita bisa melihat Allah SWT seperti yang telah kami uraikan di atas.

Sebagai Khalifah di muka bumi ketahuilah masih banyak hal yang bisa kita lakukan untuk melaksanakan ibadah Ikhsan. Agar ibadah Ikhsan mampu kita laksanakan sebaik baiknya mari kita lanjutkan pembahasan ini. Diinul Islam dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu Iman,Islam, dan Ikhsan. Oleh karena itu, seorang mukmin hendaknya tidak hanya  memandang Ikhsan itu hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari akidah dan bagian terbesar dari keimanan seseorang. Lalu bagaimana caranya?

Dalam rangka mengejawantahkan ibadah Ikhsan bagi makhluk sosial seperti manusia, khususnya kaum muslim ialah dengan cara berbuat baik. Karena dengan pemahaman Ikhsan ini kita merasa selalu diawasi oleh Allah Yang Maha Melihat, dengan begitu kita tidak akan mau melakukan perbuatan buruk, kalaupun sampai terbersit maka tetap saja kita tidak akan mau mengerjakannya disebabkan Ihsan tadi. Selain berbuat baik, Ikhsan juga merupakan salah satu cara agar kita bisa khusyuk dalam beribadah kepada Allah. Kita beribadah seolah-olah kita melihat Allah SWT. Jika tidak bisa, kita harus yakin bahwa Allah SWT yang Maha Melihat selalu melihat kita.


dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,
(yaitu) ketika dua orang Malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.
tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir.
(surat Qaaf (50) ayat 16 sampai 18)

“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.”
(Surat Al Fajr (89) ayat 14)

kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
(surat Al Baqarah (2) ayat 284)

Setiap orang yang mampu melaksanakan ibadah Ikhsan dalam kerangka melaksanakan Diinul Islam secara kaffah, akan rajin berbuat kebaikan karena dia berusaha membuat senang Allah SWT (membuat Allah SWT tersenyum) karena selalu melihatnya. Sebaliknya dia malu berbuat kejahatan karena dia selalu yakin Allah SWT pasti melihat segala perbuatan yang dilakukannya.

Di dalam Al-Qur`an, terdapat ayat ayat yang berbicara tentang ibadah Ikshan dan implementasinya. Dari sini kita dapat menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga mendapat porsi yang sangat istimewa dalam Al-Qur`an. Rasulullah pun sangat memberi perhatian terhadap permasalahan Ikhsan ini. Hal ini dikarenakan ibadah Ikhsan merupakan puncak harapan dan perjuangan seorang hamba. Puncak semua pengajaran yang dilakukan Rasul pun mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia. Bahkan, di antara hadits-hadits mengenai ibadah Ikhsan tersebut, ada beberapa yang menjadi landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah saw. menerangkan mengenai Ikhsan ketika ia menjawab pertanyaan Malaikat Jibril tentang Ikhsan dimana jawaban tersebut dibenarkan oleh Jibril, dengan mengatakan, “Engkau menyembah Allah seakan- akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”(HR. Muslim )

Ibadah Ikhsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah SWT. Sebab, Ikhsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat di hadapan Allah SWT dan juga menjadikan Allah SWT tersenyum kepada diri kita.  


“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu, maka jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu menyembelih, sembelihlah dengan baik.”(HR. Muslim )

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
(surat An Nahl (16) ayat 90)

Ibadah Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ikhsan dalam bentuk ibadah, ikhsan dalam bentuk muamalah, dan ikhsan dalam bentuk akhlak, yang akan kami kemukakan di bawah ini.

1.  Ibadah Ikhsan Dalam Bentuk Ibadah

Kita berkewajiban melaksanakan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar seperti menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah SWT senantiasa memantaunya hingga kita merasa bahwa kita sedang dilihat dan diperhatikan oleh Allah SWT. Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah SWT senantiasa memantaunya, karena dengan inilah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi, “Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.

Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap usaha untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika kita ingin mewujudkan ibadah Ikhsan dalam ibadahnya.



2. Ibadah Ikhsan Dalam Bentuk Muamalah


Ibadah Ikhsan dalam hal muamalah, telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat An Nisaa (4) ayat 36 yang kami kemukakan di bawah ini.

sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, Ibnu sabil[295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,
(surat An Nisaa’ (4) ayat 36)

[294] Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang Muslim dan yang bukan Muslim.
[295] Ibnus sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan ma'shiat yang kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya.

Adapun hal hal yang termasuk di dalam ibadah Ikhsan dalam hal muamalah dapat kami kemukakan sebagai berikut, yaitu Ikhsan kepada kedua orang tua; Ikhsan kepada karib kerabat; Ikhsan kepada anak yatim dan fakir miskin; Ikhsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman sejawat; Ikhsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya; Ikhsa dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia; Ikhsan dengan berlaku baik kepada binatang.


3. Ibadah Ikhsan Dalam Bentuk Akhlak

Ibadah Ikhsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat Ikhsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah SWT seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah SWT senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak Ikhsan dalam ibadah.

Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap Ikhsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.Jika kita ingin melihat nilai ibadah Ikhsan pada diri seseorang yang diperoleh dari hasil maksimal ibadahnya maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia, dengan lingkungannya, dengan pekerjaannya, dengan keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah SAW. mengatakan dalam sebuah hadits, “Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Adapun orang orang yang mampu melaksanakan ibadah Ikhsan maka orang tersebut dapat dipastikan mampu mentaati perintah dan larangan Allah SWT dengan ikhlas; senantiasa amanah, jujur dan menepati janji; mampu merasakan nikmat dan haus akan ibadah; selalu mewujudkan keharmonisan masyarakat yang pada akhirnya mampu mendapatkan ganjaran amal kebaikan dari Allah SWT.

Selanjutnya agar diri kita mampu melaksanakan ibadah Ikhsan dalam kerangka melaksanakan Diinul Islam secara kaffah maka kita harus menyembah dan beribadah kepada Allah SWT semata; memelihara kesucian aqidah; selalu mengerjakan ibadah yang sesuai dengan syariat yang berlaku; selalu menjaga hubungan baik dengan keluarga, tetangga dan masyarakat; selalu melakukan perkara-perkara yang baik; selalu bersyukur atas nikmat Allah SWT. Akhirnya Ibadah Ikhsan dapat kita katakan sebagai puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak seorang hamba saat hidup di muka bumi ini. Oleh karena itu, semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai pada tingkat tersebut. Siapapun kita, apapun profesi kita, di mata Allah SWT tidak ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik ketingkat Ikhsan dalam seluruh sisi dan nilai hidupnya. Semoga kita semua dapat mencapai hal ini, sebelum Allah SWT memisahkan Ruhani dengan Jasmani.