Ikhsan berdasarkan hadits
di bawah ini diartikan sebagai menyembah Allah SWT seakan akan melihat Nya, dan
jika kita tidak dapat melihat Nya, ketahuilah bahwa Allah SWT pasti melihatmu.
Inilah pengertian dasar dari ibadah Ikhsan yang tidak bisa dipisahkan dengan pelaksanaan
Rukun Iman dan pelaksanaan Rukun Islam dalam satu kesatuan (kaffah) sehingga
ketiga ketentuan ini tidak bisa dipisahkan oleh sebab apapun juga.
Abu Hurairah r.a. berkata: Pada suatu hari ketika Nabi SAW duduk
bersama sahabat, tiba-tiba datang seorang bertanya: Apakah Iman? Jawab Nabi
SAW: Iman ialah percaya pada Allah, dan Malaikat-Nya, dan akan berhadapan
kepada Allah, dan pada Nabi utusan-Nya dan percaya pada hari bangkit dari
kubur. Lalu ditanya; Apakah Islam? Jawab Nabi SAW; Islam ialah menyembah kepada
Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan mendirikan
sembahyang. Lalu bertanya: Apakah Ihsan? Jawab Nabi SAW: Ihsan ialah menyembah
pada Allah seakan-akan anda melihat-Nya, maka jika tidak dapat melihat-Nya,
ketahuilah bahwa Allah melihatmu. Lalu bertanya: Bilakah hari qiyamat? Jawan
Nabi SAW: Orang yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang menanya,
tetapi saya memberitakan padamu beberapa syarat (tanda-tanda) akan tibanya hari
qiyamat, yaitu jika budak sahaya telah melahirkan majikannya, dan jika
penggembala onta dan ternak lainnya telah berlomba membangun gedung-gedung,
termasuk dalam lima macam yang tidak dapat mengetahuinya kecuali Allah, yang
tersebut dalam ayat: "Sesungguhya hanya Allah yang mengetahui, bilakah
hari qiyamat, dan Dia pula yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang di
dalam rahim ibu, dan tiada seorangpun
yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari, dan tidak seorang pun yang
mengetahui di manakah ia akan mati. Sesungguhnya Allah maha mengetahui
sedalam-dalamnya".Kemudian pergilah orang itu. Lalu Nabi SAW menyuruh
sahabat: Kembalikanlah orang itu! Tetapi sahabat tidak melihat bekas orang itu.
Maka Nabi SAW bersabda: Itu Malaikat Jibril datang untuk mengajarkan agama
kepada manusia.
(Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Al-Lu'lu Wal Marjan: No.5)
Selanjutnya agar diri kita
mampu melaksanakan ibadah Ikhsan dengan sebaik mungkin serta semaksimal
mungkin, ada baiknya kita melihat Allah SWT terlebih dahulu seperti pengertian
Ikhsan yang telah kami kemukakan di atas. Lalu apakah bisa kita melihat Allah
SWT saat hidup di muka bumi?
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat
segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.
(surat Al An’am (6) ayat 103)
dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang
telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah
Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat
melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak
sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya
(sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya
Menampakkan diri kepada gunung itu[565], dijadikannya gunung itu hancur luluh
dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata:
"Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang
pertama-tama beriman".
(surat Al A’raf (7) ayat 143)
[565] Para mufassirin ada yang mengartikan yang nampak
oleh gunung itu ialah kebesaran dan kekuasaan Allah, dan ada pula yang
menafsirkan bahwa yang nampak itu hanyalah cahaya Allah. Bagaimanapun juga
nampaknya Tuhan itu bukanlah nampak makhluk, hanyalah nampak yang sesuai
sifat-sifat Tuhan yang tidak dapat diukur dengan ukuran manusia.
Berdasarkan surat Al An’am
(6) ayat 103 dan surat Al A’raf (7) ayat 143 yang kami kemukakan di atas ini, manusia
tidak akan bisa melihat Allah SWT secara langsung. Akan tetapi Allah SWT mampu
melihat segala apapun yang ada di alam semesta ini karena Allah SWT Dzat yang
Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Sekarang jika manusia termasuk diri kita tidak
bisa melihat Allah SWT lalu untuk apa kita disuruh melihat Allah SWT sebelum
melaksanakan ibadah Ikhsan? Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita pelajari
tingkatan tingkatan dari arti yang termaktub dalam Al Qur’an. Seperti telah
kita ketahui bersama bahwa arti dan makna yang terkandung yang termaktub di
dalam Al Qur’an dapat terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu:
a.
Adanya Arti dan Makna Secara Tersurat
Allah SWT adalah pencipta
dari apa apa yang ada di antara langit dan bumi. Salah satu yang diciptakan
Allah SWT adalah pohon. Lihatlah salah satu pohon, yaitu pohon durian atau
tumbuhan yang tumbuh di lingkungan kita, dimana pohon durian atau tumbuhan itu memiliki
arti dan makna secara tersurat yaitu ciptaan Allah SWT.
Kebanyakan manusia,
kemungkinan termasuk diri kita hanya mampu melihat sesuatu yang tersurat
semata, yaitu sesuatu yang terlihat secara lahiriah. Hal ini dikarenakan hanya
sedikit saja orang yang mampu melihat secara tersirat apalagi melihat secara
tersembunyi. Padahal inilah salah satu modal yang sangat penting agar diri kita
bisa melaksanakan Diinul Islam secara kaffah atau melaksanakan ibadah Ikhsan.
Untuk bisa melihat secara
tersurat kita tidak perlu belajar karena Allah SWT sudah melengkapi diri kita
dengan sepasang mata yang secara otomatis bisa langsung dipergunakan untuk
melihat. Sedangkan untuk bisa melihat secara tersirat dan juga secara tersembunyi
tidak bisa didapatkan begitu saja. Untuk bisa melihat secara tersirat harus
diperjuangkan dengan memadukan akal dan pikiran yang jernih serta melihat
dengan hati yang bening. Sedangkan untuk bisa melihat secara tersembunyi lebih
berat lagi karena harus melibatkan keimanan barulah kita bisa mencapainya.
b.
Adanya Arti dan Makna Secara Tersirat
Pohon durian atau tumbuhan
yang tumbuh di lingkungan kita selain bermakna arti dan makna secara tersurat
adalah ciptaan Allah SWT juga memiliki arti dan makna secara tersirat sebagai
tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT. Jika pohon durian dan semua
tumbuhan itu adalah ciptaan Allah SWT dan juga tanda tanda dari kebesaran dan
kemahaan Allah SWT ini berarti bahwa Allah SWT pasti ada karena ada ciptaanNya
dan juga ada tanda tanda dari kemahaan dan kebesaranNya sehingga mustahil di
akal jika Allah SWT sampai tidak ada.
Untuk mengetahui diri kita
apakah sudah mampu melihat secara tersirat atau tidak, berikut ini akan kami
kemukakan 7(tujuh) buah pertanyaan yang harus kita jawab, yaitu:
a. Apakah kita sering terpana dengan
penampilan lahiriah/phisik seseorang?
b. Apakah kita sering tenggelam dalam
fakta?
c. Apakah kita sering terfokus pada
hadiah yang diperoleh bukan pada siapa yang memberinya?
d. Apakah ketika anak kita berbuat
kesalahan kita masih terfokus pada perbuatannya?
e. Apakah kita masih terpana pada
pemandangan indah yang kita lihat, lupa siapa yang menciptakannya?
f. Apakah hati kita masih terfokus pada
kezaliman yang menimpa kita, bukan pada transfer pahala yang akan kita terima?
g. Apakah kita masih terfokus pada
musibahnya buka pada hikmah di balik musibah?
Apabila ketujuh jawaban
dari pertanyaan di atas adalah ya, berarti diri kita masih di dalam kondisi
terendah, yaitu baru bisa melihat dengan mata sehingga sesuatu yang tersurat
saja yang bisa kita lihat. Untuk itu segera lakukan perjuangan untuk
meningkatkan kemampuan agar kita bisa melihat sesuatu yang tersirat dengan
selalu mempergunakan akal dan hati saat melihat sesuatu atau saat mendengar
sesuatu sehingga modal dasar untuk menuju melihat sesuatu yang tersembunyi
sudah kita miliki.
c.
Adanya Arti dan Makna Secara Tersembunyi
Selanjutnya jika ciptaan itu
juga bermakna sebagai tanda tanda dari kebesaran dan kemahaan Allah SWT selaku
pencipta berarti antara Allah SWT dengan apa apa yang diciptakanNya tidak bisa
dipisahkan satu dengan yang lainnya. Lalu dimanakah Allah SWT itu berada? Allah
SWT tidak bisa dipisahkan dengan apa apa yang telah diciptakanNya serta Allah
SWT tidak bisa dipisahkan dengan tanda tanda dari kebesaran dan kemahaanNya
sehingga Allah SWT selalu berada di
balik keberadaan ciptaanNya, Allah SWT selalu menyertai apa apa yang telah
diciptakanNya sampai dengan kapanpun juga.
Jika saat ini kita masih
hidup berarti kita bisa melihat dan mendengar karena kita telah dianugerahi
mata dan telinga oleh Allah SWT. Kita bisa berfikir karena kita telah diberi
Ilmu yang diletakkan di otak oleh Allah SWT. Kita juga telah diberi af’idah
(perasaan) dan akal yang diletakkan di kalbu oleh Allah SWT untuk memudahkan
diri kita beraktifitas. Kita juga telah diberikan Qudrat, Iradat, Kalam dan
Hayat oleh Allah SWT sebagai modal dasar kita menjadi khalifah di muka bumi. Lalu
dimanakah letaknya melihat Allah SWT?
Allah SWT secara kasat
mata memang tidak akan bisa dilihat oleh mata manusia. Lalu apa yang bisa
dilihat dari Allah SWT? Yang bisa dilihat secara langsung dari Allah SWT adalah
melalui apa apa yang telah diciptakanNya, dalam hal ini melihat melalui arti dan
makna secara tersurat seperti melihat burung, melihat pohon, melihat bulan,
melihat matahari dan lain sebagainya. Adapun salah satu tujuan dari melihat melalui
mata secara langsung diharapkan terciptalah apa yang dinamakan dengan rasa takjub
(kagum) atas kebesaran dan kemahaan Allah SWT yang mampu menciptakan segala
sesuatu yang pada akhirnya mampu menghantarkan diri kita mengetahui arti dan
makna yang tersirat dan yang tersembunyi dari apa apa yang dikemukakan dalam Al
Qur’an.
Sekarang bagaimana dengan tanda
tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT yang tidak bisa dipisahkan dengan
apa apa yang telah diciptakanNya? Ingat, tanda tanda kemahaan dan kebesaran
Allah SWT bukanlah Allah SWT atau tanda tanda kemahaan dan kebesaran Allah SWT
tidaklah sama dengan Allah SWT. Selanjutnya jika ada tanda tanda dari kemahaan
dan kebesaran Allah SWT maka dapat dipastikan Allah SWT pasti ada karena tidak
akan mungkin ada tanda tanda kebesaran dan kemahaan jika tidak ada Allah SWT
nya. Lalu bisakah tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT ini dilihat
dan didengar melalui mata dan telinga? Tanda Tanda dari kemahaan dan kebesaran
Allah SWT tidak bisa dilihat dengan mata
secara langsung, tidak bisa didengar melalui telinga secara langsung. Tanda
Tanda Kebesaran dan Kemahaan Allah SWT hanya hanya bisa dirasakan melalui ilmu,
melalui akal dan melalui af’idah (perasaan) yang ada di dalam diri kita atau hanya bisa
dilihat dan dirasakan melalui mata hati yang terdapat di dalam sanubari.
Lalu bagaiman dengan kebesaran
Allah SWT yang berada di balik setiap apa apa yang telah diciptakanNya dan yang
juga tidak bisa dipisahkan dengan tanda tanda dari kemahaan dan kebesaranNya?
Kebesaran Allah SWT yang selalu berada dibalik setiap apa apa yang telah
diciptakannya tidak akan bisa dilihat dan didengar secara langsung namun
hanya bisa dirasakan dan diyakini dengan rasa keimanan yang tertanam di
dalam hati. Hal yang harus kita ketahui bersama adalah jika kita sudah mampu
merasakan tanda tanda kebesaran dan kemahaan Allah SWT melalui akal, melalui
ilmu, melalui af’idah (perasaan), melalui mata hati, akan memudahkan diri kita
merasakan rasa keimanan yang selalu ada didekat diri kita. Disinilah letak
pentingnya keimanan dalam diri karena faktor keimanan inilah yang mampu
merasakan rasa bertuhankan kepada Allah SWT. Sekarang sudah dimanakah posisi
diri kita? Semoga dengan adanya buku ini kita sudah berada di dalam rasa
keimanan kepada Allah SWT.
Adanya perbedaan melihat
Allah SWT baik secara tersurat (melihat melalui ciptaanNya) dan melihat Allah
SWT secara tersirat melalui Tanda Tanda Kebesaran dan Kemahaan Allah SWT serta
melihat Allah SWT secara tersembunyi mengharuskan diri kita memiliki keimanan
yang tertanam di dalam hati atau mewajibkan kita untuk melaksanakan Diinul
Islam secara kaffah sehingga akan memudahkan diri kita melaksanakan ibadah
Ikhsan yang merupakan cerminan dari diri kita sendiri. Hal yang harus kita
jadikan pedoman, saat diri kita hanya mampu melihat mempergunakan atau
merasakan dengan panca indera baik itu telinga ataupun hidung berarti kondisi
dasar dari pemahaman kita masih tergolong rendah. Jika ini terjadi maka apa
yang kita lihat dengan mata, apa yang kita dengar melalui telinga, apa yang
kita cium dengan hidung masih bisa diintervensi oleh syaitan sehingga kita bisa
tertipu olehnya. Ingat, syaitan mampu merubah pandangan, merubah pendengaran
serta merubah penciuman kita dengan konsep memandang baik perbuatan buruk.
Selanjutnya jika kita
sudah mampu merasakan segala ciptaan Allah SWT merupakan tanda tanda dari
kemahaan dan kebesaran Allah SWT berarti posisi pemamaham diri kita sudah meningkat
dari yang hanya ada di mata, di telinga dan di hidung sekarang sudah mulai melibatkan
hati saat melihat, melibatkan hati saat mendengar, melibatkan hati saat
merasakan sesuatu dikarenakan di dalam hati terdapat alat alat ruhaniah seperti
akal dan perasaan. Sehingga saat diri kita melihat dengan hati maka akal kita libatkan untuk melihat sesuatu yang pada
akhirnya kita akan dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah melalui
akal.
Jika kita sudah bisa
melihat apa apa yang diciptakan Allah SWT sebagai tanda tanda dari kemahaan dan
kebesaran Allah SWT, maka kondisi ini harus terus ditingkatkan menjadi
merasakan, melihat, mendengar sesuatu dengan rasa keimanan. Hal ini dikarenakan
jika posisi kita masih dalam posisi melihat, mendengar, merasakan dengan hati
hal ini belum bisa dikatakan sebagai posisi
aman karena masih akan terjadi apa yang dinamakan dengan gamang, ragu, kadang
terasa kadang tidak. Akan tetapi jika kita mampu sampai menyatakan ada Allah
SWT dibalik ciptaanNya dan ada Allah SWT dibalik tanda tanda kebesaran dan
kemahaanNya yang dirasakan melalui keimanan maka kondisi inilah yang terbaik.
Semoga kita mampu mencapai hal ini secepat mungkin dan lalu merasakan betapa
nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT.
Berikut ini akan kami ajak
pembaca buku ini untuk melihat dan bertemu Allah SWT melalui hal hal sebagai
berikut sehingga kita selalu bersama Allah SWT dimanapun dan kapanpun juga dan
Allah SWT akan memberikan pertolongan dan penjagaanNya kepada diri kita.
A.
LIHATLAH SEGALA CIPTAAN NYA DI ALAM
SEMESTA INI
Berdasarkan surat Ibrahim
(14) ayat 19 di bawah ini, Allah SWT lah yang menciptakan langit dan bumi
dengan segala isinya. Lalu Allah SWT menegaskan bahwa apa yang diciptakannya itu
dilakukan dengan hak, dengan sungguh sungguh, dengan mempertimbangkan segala
sesuatu yang menunjukkan kebesaran dan kemahaan dari Allah SWT itu sendiri. Jika
sekarang Allah SWT sudah menyatakan bahwa langit dan bumi adalah ciptaanNya ini
berarti hanya Allah SWT sajalah yang paling menguasai, yang paling tahu, yang
paling mengerti dan yang paling ahli tentang langit dan bumi. Di lain sisi,
Allah SWT melalui surat Al Hajj (22) ayat 64 di bawah ini juga menegaskan bahwa Allah SWT
adalah pemilik dari langit dan bumi sehingga Allah SWT sangat berkuasa kepada
langit dan bumi yang telah diciptakannya.
tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah telah menciptakan
langit dan bumi dengan hak[784]? jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan
kamu dan mengganti(mu) dengan makhluk yang baru,
(Surat Ibrahim (14) ayat 19)
[784] Maksudnya: Allah menjadikan semua yang
disebutkan itu bukanlah dengan percuma, melainkan dengan penuh hikmah.
kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan segala yang ada di
bumi. dan Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
(surat Al Hajj (22) ayat 64)
Adanya ketentuan yang
tertuang di dalam surat Ibrahim (14) ayat 19 dan surat Al Hajj (22) ayat 64 di
atas, ini berarti Allah SWT adalah pencipta dan juga pemilik dari langit dan bumi. Jika sekarang kita telah
mengimani Allah SWT adalah pencipta dan pemilik dari langit dan bumi berarti kitapun wajib mengimani pula segala ketentuan,
segala hukum, segala aturan yang berlaku di langit dan di bumi adalah ketentuan,
hukum, aturan Allah SWT selaku pencipta dan pemilik. Selain daripada itu dengan
kita mengimani Allah SWT selaku pencipta dan pemilik berarti kita wajib
mengimani bahwa Allah SWT yang paling berkuasa di alam semesta ini.
Sekarang di muka bumi ada
Al Qur’an lalu apakah itu Al Qur’an? Jika kita mengakui dan mengimani bahwa
Allah SWT adalah pencipta dan pemilik dari langit dan bumi ini berarti kita
juga harus mengimani bahwa Al Qur’an adalah kumpulan ketentuan, kumpulan
peraturan, kumpulan undang undang, kumpulan hukum yang berlaku di langit dan di
muka bumi ini sampai dengan hari kiamat kelak yang berasal dari Allah SWT. Selanjutnya
kita harus mengimani Al Qur’an, mempelajari Al Qur;an, melaksanakan isi dan
kandungan Al Qur’an sesuai dengan kehendak Allah SWT serta menjadikan Al Qur’an
sebagai akhlaq bagi diri kita saat hidup di muka bumi ini.
Sebagai khalifah Allah SWT
di muka bumi ketahuilah dengan seksama bawha Allah SWT sudah menunjukkan kepada diri kita
inilah ciptaanNya lalu mampukah kamu menciptakan seperti yang Allah SWT
ciptakan? Jika diri kita Allah SWT yang ciptakan lalu siapakah kamu? Jika kita
termasuk orang yang memiliki akal sehat, memiliki hati yang bersih, maka kita
pasti mengakui kebesaran dan kemahaan Allah SWT dan dibuktikan dengan
pernyataan beriman kepada Allah SWT. Jika hal ini tidak terjadi berarti ada
sesuatu yang salah dalam diri kita dikarenakan komponen diri kita tidak
berfungsi sebagai mana mestinya seperti akal yang tidak bisa lagi membedakan
benar atau salah, ilmu yang tidak bisa menjalankan fungsinya untuk berfikir dan
perasaan (af’idah) yang hilang arah karena sudah terpengaruh atau dipengaruhi
oleh Ahwa dan juga syaitan.
Saat ini kita hidup di
langit dan di muka bumi yang bukan kita ciptakan dan bukan kita miliki, lalu
harus bagaimana kita bersikap kepada pemilik dan penciptanya? Jika kita
termasuk orang yang tahu diri berarti kita harus bisa menyenangkan hati Tuan
Rumah (maksudnya Allah SWT) dengan mengimani Allah SWT, mempelajari ketentuan
yang telah ditetapkannya, lalu
melaksanakan apa apa yang telah ditetapkan berlaku oleh Allah SWT tanpa
dibantah, tanpa ditambah, tanpa dikurangi.
Sekarang gunakan mata dan
telinga serta perasaan kita dengan rasa keimanan lalu renungkan dan rasakan dengan kalbu kita
dengan melihat segala apa yang telah diciptakanNya. Lalu apa perasaan kita
dengan apa yang kita lihat, dengan apa yang kita dengar, dengan apa yang kita
rasakan, apakah menjadikan diri kita sombong atau merasa hebat di rumah orang
lain? Adanya kondisi ini seharusnya menjadikan diri kita tawadhu, rendah hati
baik dihadapan Allah SWT maupun dihadapan manusia dan jika sampai kita menjadi
sombong dan angkuh di muka bumi berarti ada yang salah dalam diri kita atau
kita sudah keluar dari keftrahan diri.
Allah SWT sudah
memerintahkan kepada diri kita untuk melaksanakan ibadah Ikhsan, dengan menyembah
Allah SWT seakan akan kita melihat Nya, dan jika kita tidak dapat melihatNya,
ketahuilah bahwa Allah SWT pasti melihatmu, lalu apa yang anda rasakan saat
melaksanakan ibadah seakan akan dapat melihat Allah SWT? Jika pada saat
beribadah kita hanya mampu melihat ciptaan Allah SWT maka ibadah yang kita
laksanakan sebatas rutinitas belaka tanpa ada rasa kenikmatan bertuhankan kepada
Allah SWT dan itulah yang disebut ibadah hampa.
Ibadah baru terasa menjadi
sebuah kebutuhan jika kita mampu menempatkan dan merasakan tanda tanda
kebesaran dan kemahaan Allah SWT disetiap ciptaanNya dan ibadah baru terasa
sangat nikmat jika rasa keimanan mendominasi saat diri kita beribadah karena
kita tidak bisa dipisahkan dengan Allah SWT. Yang menjadi persoalan saat ini adalah
di posisi manakah diri kita, apakah baru mampu melihat Allah SWT atau sudah
mampu merasakan tanda tanda kebesaran dan kemahaan Allah SWT melalui hati
ataukah sudah bisa merasakan keberadaan Allah SWT melalui keimanan yang ada di
dalam hati? Hal ini penting kita ketahui karena posisi ini akan sangat
menentukan hasil akhir dari ibadah yang kita laksanakan.
Di lain sisi, diri kita
juga adalah ciptaan Allah SWT; diri kita juga tanda tanda dari kemahaan dan
kebesaran Allah SWT dan kebesaran Allah SWT tidak bisa dipisahkan dengan
ciptaanNya dan juga tanda tandaNya. Lalu jika ini kondisi dan keadaan diri kita
dihadapan Allah SWT lalu punya apakah diri kita yang saat ini hidup menumpang di langit dan di bumi Allah
SWT? Sebagai orang yang tidak memiliki apapun, sebagai orang yang dalam posisi
lemah sudah sepatutnya dan sepantasnya beriman kepada Allah SWT dengan mematuhi
segala perintah dan larangannya saat ini juga. Lalu jadilah makhluk yang
dibanggakan oleh Allah SWT baik di dunia maupun di akhirat kelak, terkecuali
kita sendiri memilih hal lain yaitu berada di dalam kehendak Syaitan.
B.
ALLAH SWT BERADA DI MANA SAJA
Sekarang mari kita lihat
dimanakah Allah SWT berada? Apakah Allah SWT itu Ghaib sehingga tidak bisa
dilihat oleh mata? Allah SWT bukanlah sesuatu yang bersifat Ghaib hal ini
dikarenakan apa apa yang diciptakan oleh Allah SWT dapat kita lihat dengan mata
dan dapat kita rasakan melalui adanya tanda tanda kebesaran dan kemahaan Allah
SWT melalui hati serta Allah SWT selalu berada di balik ciptaan dan tanda
tandaNya melalui rasa keimanan yang ada dalam diri kita. Apa yang kami
kemukakan akan menjadi sesuatu yang mustahil terjadi jika ada suatu ciptaan dan
jika ada suatu tanda tanda dari kebesaran dan kemahaan tanpa ada yang
menciptakan dan tanpa ada yang memberikan tanda tanda sebagai manifestasi
kemahaan dan kebesaran pemilik tanda. Kenyataan yang terjadi adalah ciptaannya
dapat kita lihat dengan mata, tanda tanda kebesaran dan kemahaannya dapat kita
lihat melalui hati. Adanya hal ini menunjukkan kepada diri kita melalui
keimanan bahwa Allah SWT pasti ada dibalik ciptaannya dan Allah SWT pasti ada
dibalik tanda tandanya serta Allah SWT tidak bisa dipisahkan dengan kedua hal
tersebut sampai kapanpun juga.
dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap
di situlah wajah Allah[83]. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
mengetahui.
(surat Al Baqarah (2) ayat 115)
[83] Disitulah wajah Allah maksudnya; kekuasaan
Allah meliputi seluruh alam; sebab itu di mana saja manusia berada, Allah
mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan Allah.
Jika disetiap ciptaan yang
ada di langit dan di muka bumi ini berlaku ketentuan seperti yang kami
kemukakan di atas maka dapat dipastikan Allah SWT pasti berada di mana saja
karena Allah SWT tidak bisa dipisahkan dengan apa apa yang telah diciptakanNya
dan Allah SWT tidak bisa dipisahkan dengan apa apa yang dimilikiNya. Hal ini
sesuai dengan apa yang dikemukakan dalam surat Al Baqarah (2) ayat 115 di atas
ini. Allah SWT berada di manapun, ada di barat, ada di timur, ada di utara, ada
di selatan sehingga Allah SWT tidak bisa dipisahkan dengan segala apa yang
diciptakanNya.
Hal
yang harus kita pahami tentang hal ini adalah yang berada di manapun dari Allah
SWT bukanlah Dzatnya karena DzatNya Allah SWT berada di Arsy. Sedangkan yang
ada di mana mana adalah kemahaan Allah SWT, kebesaran Allah SWT, pengawasan
Allah SWT kekuasaan Allah SWT yang kesemuanya tidak bisa dipisahkan dengan apa
apa yang diciptakanNya oleh sebab apapun juga. Jika sekarang Allah SWT berada
di setiap apa apa yang diciptakanNya lalu diposisi manakah Allah SWT pada diri
kita? Sepanjang manusia termasuk diri kita adalah ciptaan Allah SWT maka
sepanjang itu pula keberadaan Allah SWT tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan
diri kita. Yang menjadi persoalan adalah
diri kita sendiri yang sering melepaskan diri dari Allah SWT dan jika sudah
demikian berarti kita sendiri pula yang memberikan kesempatan bagi Syaitan
melaksanakan aksinya kepada diri kita.
Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi Saw bersabda: Allah ta’ala berfirman:”
Wahai anak Adam, jika engkau ingat kepadaKu pasti Aku juga akan ingat kepadamu,
dan bila engkau lupa kepadaKu Akupun akan ingat kepadamu. Dan jika engkau taat
padaKu pergilah kemana saja engkau suka, pada tempat dimana Aku berkawan dengan
engkau dan engkau berkawan dengan Aku. Engkau berpaling dariKu padahal Aku
menghadap padamu. Siapakah yang memberimu makan di kala engkau masih janin
dalam perut ibumu. Aku selalu mengurusmu dan memeliharamu sampai terlaksanalah
kehendakKu atas dirimu, maka setelah Aku keluarkan engkau kea lam dunia engkau
berbuat banyak maksiat. Apakah demikian seharusnya pembalasan kepada orang yang
telah berbuat kebaikan kepadamu.
(diriwayatkan oleh Abu Nashr Rabi’ah bin Ali Al Ajli dan Ar Rafii’:
272:182)
Sekarang
sudahkah kita mampu melihat dan merasakan Allah SWT yang sudah berada di
manapun sepanjang ada ciptaanNya? Semoga kita mampu merasakan kehadiran Allah
SWT melalui rasa keimanan yang ada di dalam dada sehingga saat diri kita
beribadah terasa nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT selalu menyertai diri
kita. Kondisi ini baru akan terjadi jika ibadah yang kita lakukan bukanlah
untuk melepaskan kewajiban semata dan juga bukan untuk mencari pahala melainkan
kita melaksanakan ibadah karena ibadah itu kebutuhan diri kita.
Adanya
keberadaan Allah SWT yang tidak bisa dipisahkan dengan segala apa yang
diciptakanNya berarti keberadaan Allah SWT sangat dekat dengan diri kita dan
juga siap memberikan pertolongan kepada diri kita sepanjang kita memohon kepada
Allah SWT. Untuk itu tolong perhatikan apa yang dikemukakan oleh Allah SWT yang
terdapat di dalam surat Al Ankabuut (29) ayat 41 di bawah ini.
perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah
adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan Sesungguhnya rumah yang paling
lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.
(surat Al Ankabuut (29) ayat 41)
Allah SWT yang keberadaanNya tidak bisa dipisahkan
dengan ciptaanNya telah menyatakan bahwa pelindung pelindung selain Allah SWT
seperti melindungi diri dengan perlindungan sarang laba laba. Lalu jauhkah
Allah SWT selalu pelindung diri kita? Jauh dekatnya perlindungan Allah SWT
sangat tergantung kepada diri kita sendiri. Jika Allah SWT tidak bisa
dipisahkan dengan ciptaanNya berarti perlindungan Allah SWT kepada ciptaanNya
juga sangat dekat dengan diri kita sepanjang diri kita mengimani perlindungan
itu dekat dengan diri kita dan siap diberikan Allah SWT sepanjang syarat dan
ketentuan dapat kita penuhi.
Disinilah letaknya
melaksanakan ibadah yang diikuti dengan ibadah Ikhsan yaitu melihat Allah SWT.
Alangkah nikmatnya jika kita mampu beribadah dengan kemampuan melihat Allah SWT
melalui rasa keimanan bahwa Allah SWT selalu bersama diri kita serta dekat
dengan diri kita dan kitapun mampu menempatkan Allah SWT pada posisi yang
sebenarnya, yaitu dekat yang tidak bisa terpisahkan dengan diri kita. Lalu
rasakanlah nikmat bertuhankan kepada Allah SWT dari waktu ke waktu. Namun apa
yang dikehendaki oleh Allah SWT belum tentu mampu kita laksanakan karena
pengaruh Ahwa dan Syaitan yang mengakibatkan diri kita melakukan kesalahan atau
berdosa. Tidak ada orang yang ada di muka bumi ini yang tidak melakukan
kesalahan dan dosa. Lalu apa yang bisa kita perbuat dengan kondisi ini?
Agar diri kita mampu lebih
baik lagi dari waktu ke waktu, ada baiknya kita memperhatikan apa yang
dikemukakan Allah SWT dalam surat Faathir (35) ayat 45 yang kami kemukakan di
bawah ini. Dimana Allah SWT tidak hendak menyiksa manusia saat ini melainkan
Allah SWT menangguhkan penyiksaan sampai waktu tertentu. Untuk apa Allah SWT
menunda hal ini?
dan kalau Sekiranya
Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan
di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun[1262] akan tetapi Allah
menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; Maka apabila
datang ajal mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.
(surat Faathir (35) ayat
45)
[1262]
Daabbah artinya ialah makhluk yang melata. tetapi yang dimaksud di sini ialah
manusia.
Allah SWT menunda karena
Allah SWT sayang kepada manusia dengan memberikan kesempatan untuk bertaubat
meminta ampunan atau memberikan kesempatan kedua bagi yang memohon ampun
kepadanya sampai batas waktu yang ditentukan. Jika ini kondisinya berarti saat
ini Allah SWT sedang menunggu taubat kita, Allah SWT sedang menunggu doa dan
harapan yang kita panjatkan kepadaNya. Hal yang harus kita jadikan pedoman
adalah saat ini sampai dengan hari yang telah ditentukan, Allah SWT sudah dekat
sedekat dekatnya dengan diri kita dan Allah SWT tidak hanya menunggu taubat semata
seperti ayat diatas. Namun Allah SWT menunggu segala permohonan yang dimohonkan
kepadaNya tanpa ada batasnya sepanjang kita mau mengajukan doa dan permohonan.
Alangkah sayangnya Allah SWT kepada diri kita namun sangat disayangkan kita
tidak mengerti kalau kita disayang oleh Allah SWT.
C.
SUJUD KEPADA ALLAH SWT SELURUH ALAM
Sekarang mari kita melihat
Allah SWT melalui patuh, tunduk, sujud dan bertasbihnya seluruh alam kepada
Allah SWT seperti yang dikemukakan dalam surat Al Hajj (22) ayat 18 dan surat
Al Hadiid (57) ayat 1 di bawah ini. Berdasarkan ayat di bawah ini seluruh apa
apa yang ada di langit, apa apa yang ada di bumi, apa apa yang ada di bulan,
apa apa yang ada di bintang, apa apa yang ada di galaksi, apa apa yang ada di
gunung gunung, di pohon pohon, di binatang binatang termasuk udara dan air
semuanya tunduk patuh, bersujud dan
bertasbih kepada Allah SWT.
Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada
di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan,
binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? dan banyak
di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang
dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah
berbuat apa yang Dia kehendaki.
(surat Al Hajj (22) ayat 18)
semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada
Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
(surat Al Hadiid (57) ayat 1)
langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada
Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu
sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun
lagi Maha Pengampun.
(surat Al Israa’ (17) ayat 44)
Berdasarkan surat Al
Israa’ (17) ayat 44 di atas ini, dikemukakan bahwa tasbihnya segala apa apa
yang diciptakan oleh Allah SWT tidak dimengerti oleh manusia. Manusia hanya
bisa melihat sisi keteraturan dari ciptaan Allah SWT semata. Untuk itu lihatlah
keteraturan matahari, bulan, bumi yang beredar sesuai dengan garis edarnya
masing masing sebagai bentuk ketertundukkan mereka kepada Allah SWT terhadap
apa apa yang telah ditetapkan berlaku kepadanya. Tidak ada satupun yang keluar
jalur dari apa apa yang telah ditetapkan
Allah SWT berlaku kepada seluruh apa apa yang telah diciptakannya.
Saat ini kita hidup di
muka bumi ini, dimana bumi beserta apa apa yang ada di dalamnya bertasbih,
sujud serta patuh kepada Allah SWT, lalu apa yang terjadi jika tempat kediaman
kita, udara yang kita hirup, air yang kita konsumsi, yang kesemuanya diciptakan
oleh Allah SWT sehingga kesemuanya tidak bisa melepaskan diri dari kebesaran
dan kemahaan Allah SWT melakukan ketertundukan kepada Allah SWT sedangkan kita
bersikap bertolak belakang dengan melakukan keengkaran kepada Allah SWT?
Jika sampai ini terjadi
pada diri kita berarti terjadilah apa yang dinamakan dengan ketidakridhaan dari
bumi, dari udara, dari air kepada diri kita. Air yang seharusnya membawa berkah
justru membawa bencana. Udara yang seharusnya nyaman justru menjadi bencana
atau bumi yang seharusnya tenang menjadi bergejolak karena ulah kita yang
berseberangan dengan apa yang dilakukan yaitu tunduk, patuh, bertasbih kepada
Allah SWT. Jangan pernah salahkan padi yang lebih suka dimakan wereng dan tikus
dikarenakan keduanya bertasbih kepada Allah SWT dibandingkan dengan petaninya
yang bersikap sesuai dengan kehendak Syaitan. Jangan pernah salahkan air yang
menjadi bencana karena ulah manusia yang merusak sunnatullah yang berlaku pada
air, yaitu air selalu turun dari atas ke bawah.
Jika kita menyadari bahwa
kita bukan yang menciptakan apa apa yang ada di langit dan di bumi tidak ada
jalan lain kitapun harus menyesuaikan diri dengan apa apa yang ada di langit di
bumi yaitu tunduk, patuh serta berstasbih kepada Allah SWT seperti tunduk,
bertasbihnya makhluk makhluk Allah SWT yang ada di muka bumi saat ini juga.
Jangan pernah menunda nunda untuk berbuat hal seperti ini karena kesempatan
untuk berbuat hanya ada pada sisa usia kita.
Alangkah nikmatnya saat
diri kita merasakan betapa nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT saat diri
kita melaksanakan ibadah yang telah diperintahkan Allah SWT, apakah itu
mendirikan Shalat, apakah itu menunaikan Zakat, apakah itu melaksanakan Puasa
Ramadhan, apakah itu menunaikan ibadah Haji selaras dengan apa yang air, udara,
pohon lakukan yaitu bertasbih, tunduk
dan patuh kepada Allah SWT. Adanya kesamaan antara diri kita dengan apa apa
yang dilakukan oleh makhluk lainnya yang diciptakan oleh Allah SWT maka udara,
air, pohon akan ridha kepada diri kita saat udara, air, pohon kita ambil
manfaatnya untuk kepentingan diri kita. Semoga kita mampu menempatkan diri kita
dan juga anak keturunan kita selalu di dalam kesesuaian dengan bumi, dengan
air, dengan udara yang selalu bertasbih, selalu sujud dan selalu patuh kepada
Allah SWT.
D. MENURUNKAN AIR MELALUI HUJAN DARI
LANGIT DAN MENYUBURKAN TANAH
Sekarang mari kita lihat
Allah SWT melalui hujan dari langit yang dikemukakan dalam surat Al Hajj (22)
ayat 63 dan surat Al Zumar (39) ayat 21 di bawah. Secara kasat mata kita tidak
bisa melihat Allah SWT, akan tetapi kita bisa secara kasat mata mampu melihat
Allah SWT melalui salah satu ciptaanNya yaitu Allah SWT menurunkan air melalui hujan
yang turun dari langit. Hujan bisa kita lihat dan kita rasakan secara langsung
saat kita hidup di muka bumi ini, namun hujan yang kita lihat dan rasakan bukanlah semata mata ciptaan
Allah SWT. Hujan juga merupakan tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah
SWT. Adanya hujan yang tidak lain adalah tanda tanda dari kemahaan dan
kebesaran Allah SWT berarti Allah SWT pasti ada dan tidak ghaib keberadaannya,
hal ini terbukti dari adanya hujan yang merupakan tanda tanda dari kemahaan dan
kebesaran Allah SWT.
Apakah kamu tiada melihat, bahwasanya Allah menurunkan air dari langit,
lalu jadilah bumi itu hijau? Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha
mengetahui.
(surat Al Hajj (22) ayat 63)
Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah menurunkan
air dari langit, Maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian
ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu
menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya
hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.
(surat Al Zumar (39) ayat 21)
Lalu dimanakah Allah SWT
itu? Allah SWT pasti ada di balik keberadaan air yang turun melalui hujan (Allah
SWT tersembunyi dibalik keberadaan air yang turun melalui hujan) sehingga
disetiap air yang turun melalui hujan dapat dipastikan ada Allah SWT yang
menyertainya. Sekarang ada apa dibalik turunnya air melalui hujan? Air yang
turun melalui hujan bukanlah semata mata turunnya air dari langit untuk
menyuburkan tanah. Air yang turun melalui hujan juga merupakan cara Allah SWT
untuk mensirkulasi air dari satu tempat ke tempat lain serta method Allah SWT
untuk menambah jumlah air yang ada dan yang dibutuhkan di muka bumi untuk
seluruh makhluknya. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah
SWT sangat berkuasa kepada air dan juga kepada hujan, termasuk di dalamnya
berkuasa terhadap air yang sudah ada di bumi.
Ibn Mas’ud ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman:
Sesungguhnya barangsiapa berkata: Hujan telah turun kepada kami karena bintang
ini atau bintang itu, maka sungguh ia telah kufur kepadaKu dan beriman kepada
bintang itu. Sebaliknya barangsiapa berkata: Allah telah menurunkan hujan
kepada kami, maka ia telah beriman kepadaKu dan kufur kepada bintang itu.
(Hadits Qudsi Riwayat Ath Thabrani; 272:33)
Jika hal ini sudah ditunjukkan oleh Allah SWT melalui air yang turun
melalui hujan dan juga melalui air yang ada di muka bumi, lalu bisakah kita
menciptakan hujan dan juga air? Sampai dengan kapanpun juga manusia termasuk
diri kita tidak akan mampu menurunkan hujan dan juga menciptakan air dan hal
ini juga dibuktikan dengan tidak adanya produk substitusi atau produk pengganti
yang bisa menggantikan air.
Kita hanya bisa melihat, menyaksikan, mendengar, merasakan turunnya air
melalui hujan serta hanya bisa mempergunakan air untuk kepentingan hidup dan
kehidupan kita. Lalu apa yang harus kita sikapi dengan kondisi ini? Hal yang
pertama yang harus kita sikapi adalah kita harus bersikap dan berbuat serta melakukan
seperti air yang air lakukan kepada Allah SWT yaitu sujud, patuh dan tunduk
serta bertasbih kepada Allah SWT. Jika sampai kita berseberangan dengan air
maka air tidak akan pernah ridha jika kita konsumsi dan pergunakan untuk
kepentingan hidup dan kehidupan kita sehingga air lebih suka menjadi banjir
ketimbang diambil manfaatnya oleh diri kita.
semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada
Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
(surat Al Hadiid (57) ayat 1)
Di lain sisi, walaupun
diri kita sudah berkesesuaian dengan perilaku dan perbuatan air tidak serta
merta kita bisa memperlakukan air dengan sekehendak hati kita. Agar air mau
memberikan manfaat secara sukarela atau ridha dimanfaatkan oleh diri kita maka
kita diwajibkan oleh Allah SWT untuk membaca Basmallah sebelum memanfaatkan
air. Dengan diri kita membaca Basmallah berarti kita telah mengatakan kepada
Air yaitu atas nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang, engkau ku
konsumsi (engkau ku pergunakan) maka ridhalah air kepada diri kita.
Sekarang lihatlah tubuh
kita yang sebahagian besar terdiri dari unsur air yang berarti kita tidak bisa
melepaskan diri dari air sedangkan kita tidak bisa menciptakan air. Jika sudah seperti
ini keadaannya maka kita harus menghargai air, menghormati air sebagai bagian
yang tidak bisa dilepaskan dari Allah SWT selaku penciptanya. Terkecuali jika
kita tidak lagi membutuhkan air, berbuatlah semena mena dengan air lalu
bersiaplah merasakan betapa tidak enaknya, betapa susahnya hidup tanpa air.
Air sangat kita butuhkan,
namun jika sesuatu yang kita butuhkan justru kita berlakukan tidak sesuai
dengan apa yang dilakukan oleh air kepada Allah SWT berarti kita juga
telah mengabaikan atau tidak
memperdulikan Allah SWT yang selalu menyertai air. Kondisi inilah yang paling
berbahaya yaitu kita butuh kepada air namun meniadakan atau mengabaikan Allah
SWT selaku pencipta air dan juga yang selalu menyertai air. Jika ini yang
terjadi Allah SWT menjadi murka kepada diri kita dan air yang seharusnya
bermanfaat bagi kita tetapi justru menyerang diri kita. Ayo sadari dengan
sesadar sadarnya bahwa Allah SWT selalu berada di balik keberadaan air sampai
kapanpun juga lalu bijaklah untuk mempergunakan air dalam hidup dan kehidupan
kita.
E. YANG MENCIPTAKAN, YANG MENGHIDUPKAN
DAN YANG MEMATIKAN MANUSIA
Sekarang mari kita lihat Allah SWT berdasarkan surat Al Mu’min
(40) ayat 67 sampai 69 dan surat Al Hajj (22) ayat 66 yang kami kemukakan di
bawah ini, dimana kita tidak bisa melihat Allah SWT secara kasat mata, namun
kita hanya bisa melihat Allah SWT
melalui penciptaan manusia, menghidupkan dan mematikan manusia yang ada di muka
bumi ini. Kita bisa melihat secara kasat mata orang yang sedang mengandung
anak, kita bisa juga melihat bayi yang baru dilahirkan dan juga kita bisa
melihat secara langsung orang yang meninggal dunia. Lalu
siapakah diri kita? Apakah diri kita juga termasuk yang dikemukakan dalam surat
Al Mu’min (40) ayat 67, 68, 69 di bawah ini?
Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani,
sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang
anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa),
kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang
diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal
yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya).
Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, Maka apabila Dia menetapkan
sesuatu urusan, Dia hanya bekata kepadanya: "Jadilah", Maka jadilah
ia.
Apakah kamu tidak melihat kepada orang-orang yang membantah ayat-ayat
Allah? Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan?
(surat Al Mu’min (40) ayat 67, 68, 69)
Jawaban
dari pertanyaan ini adalah kita termasuk yang diciptakan oleh Allah SWT yang
lalu diangkat menjadi khalifahNya di muka bumi. Kita juga merupakan tanda tanda
dari kebesaran dan kemahaan Allah SWT serta keberadaan diri kita tidak bisa
dilepaskan dari Allah SWT karena Allah SWT selalu menyertai diri kita dimanapun
kita berada. Dan ingat kita juga yang akan dimatikan oleh Allah SWT dengan cara
memisahkan Ruh/Ruhani dengan Jasmani. Ruh/Ruhani akan pulang sementara waktu
kea lam barzah sedangkan Jasmani akan dimakamkan di tanah.
Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman:
“Wahai anak Adam, jika engkau ingat kepadaKu pasti Aku juga akan ingat
kepadamu, dan bila engkau lupa kepadaKu Akupun akan ingat kepadamu. Dan jika
engkau taat kepadaKu pergilah kemana saja engkau suka, pada tempat dimana Aku
berkawan dengan engkau dan engkau berkawan dengan Aku. Engkau berpaling dariKu
padahal Aku menghadap kepadamu. Siapakah yang memberimu makan di kala engkau
masih janin di dalam perut ibumu. Aku selalu mengurusmu dan memeliharamu sampai
terlaksanalah kehendakKu atas dirimu, maka setelah Aku keluarkan engkau ke alam
dunia engkau banyak berbuat maksiat. Apakah demikian seharusnya pembalasan
kepada yang telah berbuat kebaikan kepadamu”.
(Hadits Riwayat Abu Nashr Rabiah bin Ali al Ajli dan Ar Rafi’i;
272:182)
Untuk
mempertegas tentang keberadaan diri kita di muka bumi sebagai tanda tanda dari
kemahaan dan kebesaran Allah SWT, berikut ini akan kami kemukakan hakekat dari
diri kita yang tidak lain adalah Simbol dari penampilan Allah SWT di muka bumi;
Simbol dari keghaiban Allah SWT (terutama tentang Ruh); Simbol dari pemandangan
bagi penampilan keindahan Allah SWT; Simbol dari gudang perbendaharaan Allah
SWT selalui ibadah Zakat, Infaq dan Shadaqah; Simbol dari gambaran dari sifat
dan AsmaNya Allah SWT serta Simbol dari Eksistensi Allah SWT bagi tersingkapNya
hijab Allah SWT. Jika kita menyadari hal ini betapa mulianya diri kita karena
mampu menunjukkan Islam Rahmat bagi semua.
dan Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu,
kemudian menghidupkan kamu (lagi), Sesungguhnya manusia itu, benar-benar sangat
mengingkari nikmat.
(surat Al Hajj (22) ayat 66)
Di lain sisi, kita juga
bisa melihat Allah SWT melalui orang yang meninggal dunia. Adanya orang yang
meninggal dunia menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT Maha Berkuasa di
muka bumi, yaitu selain mampu menghidupkan juga mampu mematikan. Lalu apakah
ketentuan ini hanya berlaku untuk orang lain kepada diri kita tidak? Ketentuan
mematikan berlaku kepada seluruh umat manusia termasuk di dalamnya diri kita
pasti akan dimatikan oleh Allah SWT.
Jika saat ini kita masih
hidup di muka bumi ini berarti saat ini kita sedang menuju ke liang kubur
(menuju kematian). Hal yang harus kita yakini adalah kecepatan menuju liang kubur
bersifat konstan yaitu berkecapatan 60 (enam puluh) menit per jam serta kita
juga telah diingatkan oleh Allah SWT untuk memanfaatkan sisa usia yang ada pada
saat ini terkecuali jika kita bermaksud mengingkari nikmat Allah SWT. Jangan
sampai terlambat memanfaatkan sisa usia yang tersedia karena kita tidak tahu
kapan Malaikat Maut datang kepada diri kita serta yang pasti adalah pesan pesan
dari Malaikat Maut sudah sampai kepada diri kita melalui mata yang sudah tidak
awas lagi, melalui semangat yang sudah mengendur, melalui kaki dan tangan yang
sekarang sudah mulai gemetar dan lemah serta melalui rambut yang sudah tidak
hitam lagi.
Sekarang semuanya sangat terpulang
kepada diri kita sendiri, mampukah kita melihat kebesaran dan kemahaan Allah
SWT melalui kematian manusia serta yang juga pasti terjadi pada diri kita. Jika
saat ini kita masih hidup berarti kita sedang menuju kepada kematian namun nomor urut belum sampai kepada diri kita. Ayo segera
persiapkan kematian dengan sebaik baiknya karena kecepatan menuju kematian
memiliki rumus kecepatan 60 (enam puluh)
menit per jam. Rumus ini berlaku konstan dan akan mengurangi dengan pasti sisa
usia yang kita miliki.
Hal yang harus kita ingat
adalah mati atau suatu kematian adalah kepastian yang tidak bisa kita hindari.
Tidak harus kaya dahulu baru mati, tidak harus tua dahulu baru mati, tidak
harus memiliki jabatan dahulu baru mati, tidak harus sarjana dahulu baru mati,
tidak harus berhaji dahulu baru mati, tidak harus berkeluarga dahulu baru mati.
Mati adalah rahasia Allah SWT lalu
sudahkah diri kita mempersiapkan diri untuk menuju kematian? Ayo gunakan waktu
yang tersisa dengan manajemen waktu yang baik dan benar karena waktu tidak bisa
diputar ulang dan jangan sampai diri kita menjadi yang merugi di akhirat kelak.
F.
MEMPERGANTIKAN SIANG DAN MALAM
Sekarang mari kita lihat
Allah SWT melalui mata telanjang. Kita bisa melihat terjadinya silih
bergantinya malam dan siang seperti yang terdapat di dalam surat Ali Imran (3)
ayat 190 dan surat Yunus (10) ayat 6 di bawah ini. Di lain sisi, masih
berdasarkan ayat di bawah ini dikemukakan bahwa terjadinya pertukaran malam dan
siang merupakan tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran serta kekuasaan Allah
SWT bagi orang yang berakal dan juga bagi orang yang bertaqwa.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(surat Ali Imran (3) ayat 190)
Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang
diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda
(kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang bertakwa.
(surat Yunus (10) ayat 6)
Adanya
syarat yang dikemukakan oleh Allah SWT tentang silih bergantinya siang dan
malam di atas, menunjukkan kepada diri kita hanya orang orang yang berakal dan
hanya orang orang yang bertaqwa yang mampu menyatakan bahwa adanya siang dan
malam merupakan adalah tanda tanda kebesaran dan kemahaan serta kekuasaan Allah
SWT. Sekarang bagaimana dengan orang yang tidak memenuhi kriteria di atas?
Adanya perbedaan kriteria akan menghasilkan pernyataan yang berbeda pula. Orang
yang tidak memenuhi kriteria di atas akan menyatakan silih bergantinya malam
dan siang adalah proses alam.
Silih
bergantinya siang dengan malam akan melahirkan apa yang dinamakan dengan waktu.
Lahirnya waktu akan memudahkan diri kita melaksanakan ibadah ibadah yang telah
diperintahkan Allah SWT berlaku, yang
kesemuanya sangat berhubungan erat dengan waktu. Mendirikan shalat lima waktu
terikat dengan waktu, melaksanakan puasa Ramadhan terikat dengan waktu,
menunaikan Zakat terikat dengan waktu (dalam hal ini haul), melaksanakan ibadah
Haji juga terikat dengan waktu seperti Wukuf di Arafah, mabid di Muzdalifah,
melontar Jumroh, serta berkurban.
Sekarang apa jadinya jika Allah SWT tidak mempergantikan siang dan
malam? Dapat dipastikan kita akan susah untuk melaksanakan ibadah yang telah
diperintahkan Allah SWT.
Jika
saat ini kita masih hidup di muka bumi ini berarti kita akan berhadapan dengan
waktu waktu untuk beribadah. Dimana waktu waktu ibadah tidak bisa terlepas dari
kebesaran dan kemahaan Allah SWT serta Allah SWT bersama dengan waktu tersebut.
Untuk itu sadarilah sejak saat ini juga bahwa pada saat diri kita melaksanakan
atau menunaikan ibadah selalu berada di dalam waktu yang Allah SWT miliki lalu
apakah kita akan menyianyiakan ibadah dengan berlaku tergesa gesa, terburu buru
serta tanpa kekhusyuan? Alangkah ruginya jika kita tidak mampu beribadah sesuai
dengan kehendak Allah SWT pada waktu untuk beridah hanya ada pada sisa usia
kita.
Bicara waktu, maka kita
akan berhadapan dengan ketentuan tentang waktu yang menyatakan waktu adalah
uang (maksudnya waktu sangat berharga laksana uang) dan jika kita termasuk
orang yang berakal maka kita harus mengetahui dan menyadari bahwa kehidupan
dunia tidak digunakan untuk bersenang senang. Oleh karena itu kita harus
berhati hati dalam mempergunakan dan memanfaatkan waktu dalam setiap
kesempatan. Ingat, di dalam ketentuan waktu juga berlaku ketentuan “ waktu
tidak bisa diputar ulang serta menyesal adanya di kemudian hari”. Jika kita
termasuk orang yang beriman dan beramal shaleh maka kita harus memanfaatkan waktu
karena yang singkat adalah waktu.
Hal yang harus pula kita
ketahui dengan kesadaran yang tinggi adalah waktu adalah harta yang paling
berharga saat kita hidup di dunia ini. Hal ini dikarenakan hanya di dalam waktu
yang tersisalah kita bisa melakukan apa apa yang dikehendaki Allah SWT dan
hanya di dalam waktu itupula kita bisa menikmati apa yang dinamakan dengan
harta kekayaan, kesenangan dunia serta merasakan nikmatnya bertuhankan kepada
Allah SWT dan juga bisa berbuat kebaikan. Jangan sampai kita lalai saat masih
berusia muda serta menyesal di hari tua akibat tidak bisa memanfaatkan waktu.
Menyesal dan penyesalan tidak ada gunanya jika waktu telah berlalu karena jika
waktu habis berarti selesai sudah hidup kita di dunia ini. Ayo segera
manfaatkan waktu itu sebelum diri kita ditinggalkan oleh sang waktu.
G.
YANG MENJADIKAN MANUSIA BERMACAM MACAM
SUKU, RAS DAN BAHASA.
Kita juga bisa melihat
Allah SWT melalui bermacam macam bangsa, melalui bermacam suku, melalui bermacam
macam ras, melalui harta, melalui pangkat dan jabatan, melaui keturunan,
melalui warna kulit dan juga melalui berbagai macam bahasa yang dipergunakan
oleh umat manusia. Hal ini seperti yang termaktub dalam surat Al Hujurat (49)
ayat 13 dan surat Ar Ruum (30) ayat 22 di bawah ini. Allah SWT menciptakan hal
ini bukanlah tanpa maksud dan tujuan yang tertentu, terutama untuk saling kenal
mengenal diantara satu dengan yang lainnya.
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
(surat Al Hujurat (49) ayat 13)
dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan
bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang
demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.
(surat Ar Ruum (30) ayat 22)
Hal yang harus kita
jadikan pedoman saat hidup di muka bumi ini adalah adanya perbedaan bangsa,
suku, ras, harta, pangkat dan jabatan, keturunan, warna kulit, bahasa bukanlah parameter yang dipergunakan oleh Allah SWT
untuk menilai keberhasilan manusia saat menjadi khalifah di muka bumi. Allah
SWT memiliki parameter tersendiri di dalam menilai keberhasilan kekhalifahan di
muka bumi, dalam hal ini adalah parameter ketaqwaan. Adanya parameter ketaqwaan yang diterapkan
oleh Allah SWT maka Allah SWT tidak akan pernah memandang bangsa, tidak akan
pernah memandang suku, tidak akan pernah memandang ras, tidak akan pernah
memandang keturunan, tidak akan penah memandang harta, tidak akan pernah
memandang pangkat dan jabatan, tidak akan pernah memandang warna kulit dan juga
tidak akan pernah memandang bahasa yang dipergunakan, untuk menilai
keberhasilan kekhalifahan yang ada di muka bumi.
Jika sudah seperti ini
maka tidak ada jalan lain bagi diri kita yang saat ini masih diberi kesempatan
hidup di muka bumi untuk segera membuang jauh jauh paham dan pengertian hanya bangsa tertentu, suku
tertentu, ras tertentu, warna kulit tertentu, pangkat dan jabatan tertentu,
memiliki kekayaan tertentu, keturunan tertentu, bahasa tertentu yang lebih baik
dibandingkan dengan yang lain. Disinilah letak adanya prinsip heterogen dalam hidup dan kehidupan
manusia dan ketentuan ini sudah menjadi ketetapan Allah SWT dan dari sini
pulalah kita bisa melihat Allah SWT secara kasat mata Allah SWT melalui prinsip
heterogenitas manusia dan prinsip heterogenitas ini menjadi tanda tanda dari
kemahaan dan kebesaran Allah SWT. Serta di balik keberadaan prinsip
heterogenitas ini ada Allah SWT yang selalu menyertainya.
Allah SWT selaku pencipta
kekhalifahan di muka bumi, sudah menetapkan adanya prinsip heterogen dalam hidup dan kehidupan manusia
sehingga konsep ini harus kita jalankan dengan sebaik baiknya. Kita tidak bisa
merubah konsep heterogen menjadi konsep homogen karena adanya kepentingan
tertentu, seperti kepentingan politik praktis.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada
bentuk tubuh dan harta benda kalian, tetapi memandang kepada hati dan amal
perbuatan kalian”.
(Hadits Riwayat Muslim dan Ibnu Majah)
Disinilah letak betapa
hebat dan luar biasanya Allah SWT menciptakan kekhalifahan di muka bumi. Betapa
heterogennya manusia, namun prinsip ini tidak dijadikan Allah SWT untuk menilai
kekhalifahanNya yang ada di muka bumi. Jika sekarang ada kelompok tertentu
tidak bisa menerima konsep heterogenitas sehingga menyatakan hanya golongannya
saja yang terbaik, hanya kelompoknya saja yang diterima oleh Allah SWT yang
lain tidak. Bertanyalah kepada hati nurani kita sendiri, siapakah diri kita dan
siapakah Allah SWT? Jangan sampai kita yang menumpang di langit dan di bumi
Allah SWT menjadi tuan rumah menggantikan Allah SWT selaku pencipta dan pemilik
dari langit dan bumi.
Sekarang kita sudah bisa
melihat Allah SWT berdasarkan 7(tujuh) hal yang kami kemukakan di atas ini
berarti modal utama untuk melaksanakan ibadah Ikhsan yang tidak lain cerminan
diri kita sudah kita miliki.Ingat, kemampuan melihat Allah SWT bukanlah perkara
mudah untuk melakukakannya. Untuk itu hal yang pertama yang harus kita miliki
adalah sudahkah kita memiliki Ilmu tentang Diinuil Islam yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT. Hanya dengan proses belajar yang berkesinambungan yang
dibarengi dengan melaksanakan Diinul Islam secara kaffah barulah kita bisa
melihat Allah SWT seperti yang telah kami uraikan di atas.
Sebagai Khalifah di muka
bumi ketahuilah masih banyak hal yang bisa kita lakukan untuk melaksanakan
ibadah Ikhsan. Agar ibadah Ikhsan mampu kita laksanakan sebaik baiknya mari
kita lanjutkan pembahasan ini. Diinul Islam dibangun di atas tiga landasan
utama, yaitu Iman,Islam, dan Ikhsan. Oleh karena itu, seorang mukmin hendaknya
tidak hanya memandang Ikhsan itu hanya
sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari
akidah dan bagian terbesar dari keimanan seseorang. Lalu bagaimana caranya?
Dalam rangka mengejawantahkan
ibadah Ikhsan bagi makhluk sosial seperti manusia, khususnya kaum muslim ialah
dengan cara berbuat baik. Karena dengan pemahaman Ikhsan ini kita merasa selalu
diawasi oleh Allah Yang Maha Melihat, dengan begitu kita tidak akan mau
melakukan perbuatan buruk, kalaupun sampai terbersit maka tetap saja kita tidak
akan mau mengerjakannya disebabkan Ihsan tadi. Selain berbuat baik, Ikhsan juga
merupakan salah satu cara agar kita bisa khusyuk dalam beribadah kepada Allah.
Kita beribadah seolah-olah kita melihat Allah SWT. Jika tidak bisa, kita harus
yakin bahwa Allah SWT yang Maha Melihat selalu melihat kita.
dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,
(yaitu) ketika dua orang Malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang
duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.
tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat
Pengawas yang selalu hadir.
(surat Qaaf (50) ayat 16 sampai 18)
“Sesungguhnya
Tuhanmu benar-benar mengawasi.”
(Surat Al
Fajr (89) ayat 14)
kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang
perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa
siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
(surat Al Baqarah (2) ayat 284)
Setiap orang yang mampu
melaksanakan ibadah Ikhsan dalam kerangka melaksanakan Diinul Islam secara
kaffah, akan rajin berbuat kebaikan karena dia berusaha membuat senang Allah SWT
(membuat Allah SWT tersenyum) karena selalu melihatnya. Sebaliknya dia malu
berbuat kejahatan karena dia selalu yakin Allah SWT pasti melihat segala perbuatan
yang dilakukannya.
Di dalam Al-Qur`an,
terdapat ayat ayat yang berbicara tentang ibadah Ikshan dan implementasinya.
Dari sini kita dapat menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan
sifat ini, hingga mendapat porsi yang sangat istimewa dalam Al-Qur`an.
Rasulullah pun sangat memberi perhatian terhadap permasalahan Ikhsan ini. Hal
ini dikarenakan ibadah Ikhsan merupakan puncak harapan dan perjuangan seorang
hamba. Puncak semua pengajaran yang dilakukan Rasul pun mengarah kepada satu
hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia. Bahkan, di
antara hadits-hadits mengenai ibadah Ikhsan tersebut, ada beberapa yang menjadi
landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah saw. menerangkan mengenai Ikhsan
ketika ia menjawab pertanyaan Malaikat Jibril tentang Ikhsan dimana jawaban
tersebut dibenarkan oleh Jibril, dengan mengatakan, “Engkau menyembah Allah
seakan- akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya,
maka sesungguhnya Dia melihatmu.”(HR. Muslim )
Ibadah Ikhsan adalah
puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah SWT.
Sebab, Ikhsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT.
Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan
kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat di hadapan Allah
SWT dan juga menjadikan Allah SWT tersenyum kepada diri kita.
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu, maka
jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu menyembelih,
sembelihlah dengan baik.”(HR. Muslim )
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.
(surat An Nahl (16) ayat 90)
Ibadah Ihsan meliputi tiga
aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ikhsan dalam bentuk ibadah, ikhsan
dalam bentuk muamalah, dan ikhsan dalam bentuk akhlak, yang akan kami kemukakan
di bawah ini.
1. Ibadah
Ikhsan Dalam Bentuk Ibadah
Kita berkewajiban melaksanakan
ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya dengan cara yang
benar seperti menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini
tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika saat
pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat
(menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah SWT senantiasa
memantaunya hingga kita merasa bahwa kita sedang dilihat dan diperhatikan oleh
Allah SWT. Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah SWT senantiasa
memantaunya, karena dengan inilah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut
dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang
diharapkan. Inilah maksud dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi, “Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau
melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu.”
Kini jelaslah bagi kita
bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain
jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga
jenis ibadah lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan
isteri, meniatkan setiap usaha untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak
lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam
keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika kita ingin mewujudkan ibadah
Ikhsan dalam ibadahnya.
2. Ibadah Ikhsan Dalam Bentuk Muamalah
Ibadah Ikhsan dalam hal
muamalah, telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat An Nisaa (4) ayat 36 yang
kami kemukakan di bawah ini.
sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.
dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman
sejawat, Ibnu sabil[295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,
(surat An Nisaa’ (4) ayat 36)
[294] Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan
dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang Muslim dan yang
bukan Muslim.
[295] Ibnus sabil ialah orang yang dalam
perjalanan yang bukan ma'shiat yang kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang
tidak diketahui ibu bapaknya.
Adapun hal hal yang
termasuk di dalam ibadah Ikhsan dalam hal muamalah dapat kami kemukakan sebagai
berikut, yaitu Ikhsan kepada kedua orang tua; Ikhsan kepada karib kerabat;
Ikhsan kepada anak yatim dan fakir miskin; Ikhsan kepada tetangga dekat,
tetangga jauh, serta teman sejawat; Ikhsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya;
Ikhsa dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia; Ikhsan dengan
berlaku baik kepada binatang.
3. Ibadah Ikhsan Dalam Bentuk Akhlak
Ibadah Ikhsan dalam akhlak
sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai
tingkat Ikhsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi
harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini,
yaitu menyembah Allah SWT seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat
melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah SWT senantiasa melihat kita. Jika hal ini
telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak Ikhsan dalam
ibadah.
Pada akhirnya, ia akan
berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap
Ikhsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.Jika
kita ingin melihat nilai ibadah Ikhsan pada diri seseorang yang diperoleh dari
hasil maksimal ibadahnya maka kita akan menemukannya dalam muamalah
kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia, dengan lingkungannya,
dengan pekerjaannya, dengan keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri.
Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah SAW. mengatakan dalam sebuah hadits,
“Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Adapun orang orang yang
mampu melaksanakan ibadah Ikhsan maka orang tersebut dapat dipastikan mampu mentaati
perintah dan larangan Allah SWT dengan ikhlas; senantiasa amanah, jujur dan
menepati janji; mampu merasakan nikmat dan haus akan ibadah; selalu mewujudkan
keharmonisan masyarakat yang pada akhirnya mampu mendapatkan ganjaran amal
kebaikan dari Allah SWT.
Selanjutnya agar diri kita
mampu melaksanakan ibadah Ikhsan dalam kerangka melaksanakan Diinul Islam
secara kaffah maka kita harus menyembah dan beribadah kepada Allah SWT semata;
memelihara kesucian aqidah; selalu mengerjakan ibadah yang sesuai dengan
syariat yang berlaku; selalu menjaga hubungan baik dengan keluarga, tetangga
dan masyarakat; selalu melakukan perkara-perkara yang baik; selalu bersyukur
atas nikmat Allah SWT. Akhirnya Ibadah
Ikhsan dapat kita katakan sebagai puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan
akhlak seorang hamba saat hidup di muka bumi ini. Oleh karena itu, semua orang
yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri
yang dimilikinya agar sampai pada tingkat tersebut. Siapapun kita, apapun
profesi kita, di mata Allah SWT tidak ada yang lebih mulia dari yang lain,
kecuali mereka yang telah naik ketingkat Ikhsan dalam seluruh sisi dan nilai
hidupnya. Semoga kita semua dapat mencapai hal ini, sebelum Allah SWT
memisahkan Ruhani dengan Jasmani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar