Ikhsan berasal dari bahasa Arab yaitu “hasana yuhsinu”, yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk masdarnya adalah “ihsanan”, yang artinya kebaikan. Ikhsan adalah sebuah ibadah kebaikan yang harus kita laksanakan dalam kerangka melaksanakan Diinul Islam secara kaffah seakan akan kita melihat Allah SWT dan jika kita tidak bisa melihatnya pasti Allah SWT melihat kebaikan yang kita lakukan dan pada akhirnya kebaikan yang kita perbuat ini menjadi cerminan diri kita dalam kehidupan yang kita jalani saat ini.
Ikhsan adalah kebaikan dan jika ikhsan adalah kebaikan lalu kebaikan yang seperti apakah Ikhsan itu? Berdasarkan surat Al Israa’ (17) ayat 7 berikut ini: “jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.” dan juga berdasarkan surat Al Qashash (28) ayat 77 yang kami kemukakan berikut ini: “dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Kebaikan di dalam pelaksanaan ibadah Ikhsan bukan hanya untuk kebaikan diri sendiri, melainkan juga untuk kedua orang tua dan mertua, untuk kebaikan keluarga, untuk kebaikan anak keturunan, untuk kebaikan masyarakat, bangsa dan negara serta kepada seluruh makhluk Allah SWT yang ada di muka bumi ini yang tidak hanya saat ini saja namun bisa dinikmati oleh generasi yang datang di kemudian hari. Adanya kebaikan untuk masa saat ini maupun saat akan datang, dalam hal ini generasi yang datang dikemudian hari, mengharuskan diri kita untuk bisa selalu berbuat kebaikan dalam skala yang besar seperti yang dicontohkan oleh ibunda Siti Hajar dengan air zam zamnya yang bisa dinikmati sampai dengan hari kiamat kelak. Adanya kondisi ini menunjukkan betapa banyaknya dan betapa panjangnya kebaikan kebaikan yang akan diterima oleh ibunda Siti Hajar. Lalu bagaimana dengan diri kita, sudahkah kita berbuat kebaikan seperti yang telah dicontohkan oleh ibunda Siti Hajar?
Ibadah Ikhsan meliputi tiga aspek yang fundamental yaitu ibadah, muamalah, dan ahklak dalam satu kesatuan, sehingga ibadah yang kita lakukan (habblum minallah) tercermin dalam muamallah (habblum minannas) yang pada akhirnya kebaikan itu menjadi akhlak atau kepribadian diri kita yang tidak lain adalah cerminan dari diri kita sendiri. Adanya tiga aspek fundamental dari ibadah Ikhsan maka kita berkewajiban melaksanakan ikhsan dalam beribadah, ikhsan dalam bermuamalah, dan ikhsan dalam akhlak yang mulia selama hayat masih di kandung badan.
Selanjutnya agar diri kita mampu melaksanakan ibadah Ikhsan dalam bentuk ibadah, dalam bentuk muamalah dan juga menjadi akhlak kepribadian diri kita secara konsisten dari waktu ke waktu. Ada beberapa hal penting yang harus kita ketahui saat melaksanakan kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan yaitu: (1) kebaikan yang kita lakukan tanpa disuruh suruh lagi oleh siapapun melainkan dilakukan karena kesadaran diri sendiri; (2) kebaikan yang kita lakukan tanpa ada paksaan dari siapapun serta tanpa ada pamrih kecuali ikhlas hanya karena Allah SWT semata; (3) kebaikan yang kita lakukan bukan untuk unjuk diri atau untuk dipandang orang lain melainkan karena melaksanakan cerminan diri kita saat hidup di dunia; (4) kebaikan yang kita lakukan haruslah konsisten dari waktu ke waktu walaupun kecil atau sedikit dan yang terakhir adalah setelah berbuat kebaikan jangan pernah diungkit kembali agar orang lain tahu bahwa kita telah berbuat sesuatu atau dengan kata lain apa yang pernah kita lakukan jangan pernah diingat kembali. Contohnya adalah jadilah gula dan jangan pernah menjadi semut. Dan jika kita telah mampu menjadi gula, maniskanlah masyarakat dengan kemampuan, minat dan bakat yang kita miliki kepada orang orang yang membutuhkan baik langsung maupun tidak langsung.
Jangan pernah berniat untuk melaksanakan segala perintah Allah SWT atau berbuat kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan menunggu tua, atau nanti saja setelah kaya, atau kalau sudah pensiun baru kita mulai serius menjalankan perintah Allah SWT sedangkan resiko yang kita hadapi sangatlah besar yaitu kita tidak tahu sampai kapan kita bisa hidup di muka bumi ini serta adanya musuh abadi berupa ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan baik dalam bentuk aslinya maupun manusia yang telah berubah bentuk menjadi syaitan yang siap mengganggu dan menggoda diri kita. Untuk itu manfaatkanlah, pergunakanlah, dengan baik-baiknya waktu yang kita jalani saat ini, jangan sampai menyesal setelah ruh tiba dikerongkongan. Selain daripada itu, jangan sampai kita berbuat kebaikan bersifat musiman seperti pohon yang berbuah musiman, atau bahkan kadang kadang saja berbuat kebaikan atau mungkin kita berbuat kebaikan karena ingin dipuja orang atau untuk tujuan tertentu katakan untuk tujuan politik praktis tertentu.
Berbuatlah kebaikan seperti pohon yang
selalu berbuah setiap waktu tanpa mengenal musim. Setelah diri kita berbuat
kebaikan jangan kita rusak kebaikan itu, dan jika bisa lupakan apa yang telah
kita perbuat. Namun jagalah kebaikan itu dengan selalu berbuat kebaikan lagi
yang baru sepanjang hayat masih di kandung badan, sebagaimana firmanNya berikut
ini: “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan
benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali, kamu
menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan
adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain[838].
Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. dan Sesungguhnya di hari
kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu. (surat
An Nahl (16) ayat 92)
[838] Kaum muslimin yang jumlahnya masih sedikit itu telah Mengadakan Perjanjian yang kuat dengan Nabi di waktu mereka melihat orang-orang Quraisy berjumlah banyak dan berpengalaman cukup, lalu timbullah keinginan mereka untuk membatalkan Perjanjian dengan Nabi Muhammad s.a.w. itu. Maka perbuatan yang demikian itu dilarang oleh Allah s.w.t. .
Lihatlah pohon belimbing sayur yang selalu berbuah tanpa mengenal waktu, tidak peduli musim panas ataupun musim hujan ia selalu berbuah. Hal yang samapun harus kita lakukan saat diri kita berbuat kebaikan yaitu berbuatlah kebaikan sepanjang waktu sepanjang diri kita mampu melaksanakannya dengan tulus dan ikhlas untuk menggapai ridha Allah SWT. Lalu jangan pernah pedulikan omongan orang lain yang mengomentari secara negatif atas apa yang kita lakukan. Ingat, omongan ataupun komentar negatif jangan dibalas dengan omongan atau komentar pula. Omongan ataupun komentar negatif hanya bisa dikalahkan dengan buah dari hasil kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan yang kita laksanakan. Jangan sampai kita hanya bisa menyatakan salah dan rusak tanpa bisa memperbaiki yang salah dan yang rusak, yang akhirnya menghantarkan diri kita hanya pintar omong tanpa bukti.
Sesungguhnya membalas sebuah kebaikan
dengan kebaikan itu sudah biasa dan sangat biasa. Membalas keburukan dengan
keburukan juga hal yang biasa dan tidak bisa dibanggakan. Hal yang luar biasa
adalah jika kita mampu membalas keburukan dengan kebaikan seperti yang
dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Ayo segera kita membalas keburukan dengan berbuat
kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan atau selalu berbuat kebaikan kepada
siapapun juga, sekarang juga, dengan mengambil peran masing masing yang sesuai
dengan bakat dan kemampuan yang kita miliki.
Untuk memudahkan diri kita melaksanakan ibadah Ikhsan dimaksud, berikut ini akan kami kemukakan ilustrasi tentang perintah mandi. Perintah mandi bukanlah tujuan akhir melainkan sarana atau alat bantu bagi yang melaksanakan mandi memperoleh tujuan akhir dari perintah mandi, dalam hal ini adalah menjadikan diri kita menjadi sehat, bersih dan segar. Hal yang harus kita jadikan pedoman adalah setelah sehat, bersih dan segar, maka penampilan dari hasil dari mandi itu yang harus menjadi cerminan diri kita. Apakah itu? Seseorang yang telah sehat, bersih dan segar maka ia harus berpenampilan semangat, ceria, wangi serta optimis sehingga siap beraktivitas kembali. Akan menjadi sebuah kegagalan jika sehabis mandi jika kita masih garuk garuk kegatalan ataupun berpenampilan loyo, kurang semangat. Jika mandi saja mengharuskan diri kita berpenampilan seperti ini, maka hal yang samapun berlaku setelah diri kita mampu melaksanakan shalat khusyu’, haji mabrur, atau mampu melaksanakan Diinul Islam secara kaffah.
Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas berarti tujuan akhir dari ibadah yang kita laksanakan baru akan bermakna bagi diri kita atau baru akan menjadi menjadi cerminan dari diri kita sepanjang diri kita mampu mempertunjukkan tujuan hasil akhir dalam perilaku kita sehari hari. Sebagai contoh jika kita mampu melaksanakan shalat khusyu’ maka perilaku kita adalah selalu berbuat kebaikan kepada sesama sebagai bentuk dari mencegah perbuatan keji lagi munkar. Dan jika kita mampu menjadikan diri kita orang yang berpunya (memiliki harta kekayaan) maka perilaku kita bukan tercermin dari penampilan phisik maupun saldo tabungan yang banyak melainkan selalu memberi infaq dan shadaqah (selalu menjadi muzakki) sehingga akan terasa dalam diri kebahagiaan memiliki harta kekayaan setelah memberi kepada sesama. Ayo menjadi muzakki muzakki di tengah masyarakat lalu kita berusaha untuk menjadikan mustahik mustahik menjadi muzakki muzakki baru.
Berikut ini akan kami kemukakan bentuk bentuk penampilan diri kita setelah mampu melaksanakan ibadah Ikhsan dalam kerangka melaksanakan Diinul Islam secara kaffah, yaitu:
A. BERPERILAKU ASMAUL HUSNA.
Sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah Allah SWT di muka bumi berarti diri kita adalah duta besar duta besar Allah SWT di muka bumi yang harus mencerminkan dari keberadaan Allah SWT itu sendiri, dalam hal ini adalah Asmaul Husna yang tidak lain akhlak Allah SWT yang termaktub di dalam nama namaNya yang indah sebagaimana firmanNya berikut ini:“Hanya milik Allah asmaa-ul husna[585], Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya[586]. nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (surat Al A’raf (7) ayat 180)
[585] Maksudnya:
Nama-nama yang Agung yang sesuai dengan sifat-sifat Allah.
[586] Maksudnya: janganlah dihiraukan orang-orang yang menyembah Allah dengan Nama-nama yang tidak sesuai dengan sifat-sifat dan keagungan Allah, atau dengan memakai asmaa-ul husna, tetapi dengan maksud menodai nama Allah atau mempergunakan asmaa-ul husna untuk Nama-nama selain Allah.
Di lain sisi, setiap dzat memiliki sifat, dimana sifat yang dimiliki dzat akan menjadi perbuatan dari dzat itu sendiri. Sebagai contoh garam memiliki sifat asin, jika sifat garam adalah asin maka perbuatan garam adalah mengasinkan apa apa yang diliputinya sesuai dengan kemampuan garam sehingga lahirlah ikan asin, telur asin atau sawi asin. Hal yang samapun berlaku kepada jasmani dan juga ruhani. Jasmani dan ruhani juga memiliki sifat, juga memiliki perbuatan dan juga memiliki kemampuan. Ruh/Ruhani akan dinamakan dengan “Nass”, jika ditinjau dari sisi sifat alamiah Ruhani yang berasal dari Allah SWT. Ruhani akan dinamakan dengan “Nafs/Anfuss” jika ditinjau dari sisi perbuatan di dalam mempengaruhi perbuatan serta aktivitas kehidupan manusia. Sedangkan Ruh/Ruhani jika ditinjau dari sisi kemampuannya disebut juga dengan “Ruh”. Sifat-sifat alamiah ruh/ruhani (nass) sangat berbeda dan juga sangat bertolak belakang dengan sifat-sifat alamiah jasmani (insan) dikarenakan asal muasal dari keduanya berbeda. Ruh/Ruhani berasal dari Allah SWT sedangkan jasmani asalnya dari alam atau dari tanah melalui sari pati makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia. Apa buktinya ruh/ruhani berasal dari Allah SWT? Dasarnya ada pada surat Shaad (38) ayat 72-73 berikut ini: “Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya. Lalu seluruh malaikat itu bersujud semuanya.” yang menerangkan bahwa ruh/ruhani yang ada pada diri manusia semuanya berasal dari Allah SWT tanpa ada campur tangan dari pihak manapun juga serta tanpa ada bantuan dari siapapun juga.
Jika ruh/ruhani berasal dan diciptakan hanya oleh Allah SWT semata, timbul pertanyaan, apakah sesuatu yang berasal langsung dari Allah SWT memiliki sifat buruk atau membawa nilai-nilai keburukan? Sesuatu yang berasal langsung dari Allah SWT dapat dipastikan memiliki sifat yang sangat berkesesuaian dengan nilai-nilai kebaikan yang berasal dari sifat-sifat Ilahiah. Sesuatu yang berasal dari Allah SWT dapat dipastikan pula tidak mempunyai sifat-sifat buruk, tidak mempunyai sifat jahat, tidak mempunyai sifat tercela, tidak mempunyai sifat munafik, tidak mempunyai sifat kejam dan seterusnya, atau dengan kata lain apa yang berasal dari Allah SWT pasti memiliki Nilai-Nilai Ilahiah.
Sekarang seperti apakah sifat ruh/ruhani itu yang akan menjadi perilaku diri kita? Hal yang harus kita ketahui adalah sifat ruh/ruhani manusia tidak sama dengan sifat Ma’ani Allah SWT, walaupun sifat Ma’ani Allah SWT telah dijadikan oleh Allah SWT sebagai modal dasar bagi setiap manusia. Selanjutnya jika sifat Ma’ani telah menjadi modal dasar manusia saat menjadi khalifah bukanlah sifat ruh/ruhani, lalu yang manakah sifat ruh/ruhani itu? Sifat ruh/ruhani memiliki sifat yang mencerminkan nama-nama Allah SWT yang indah lagi baik yang berjumlah sembilan puluh sembilan perbuatan (Asmaul Husna), yang diberikan Allah SWT melalui proses shibghah atau proses pencelupan. Sehingga setiap manusia tanpa terkecuali, tanpa memandang agamanya apa, tanpa memandang siapa orangnya ataupun keturunannya, pasti memiliki celupan Asmaul Husna yang akan menjadi perilakunya sebagaimana firmanNya berikut ini: “Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepadaNya-lah kami menyembah. (surat Al Baqarah (2) ayat 138).
Adanya proses shibghah kepada ruh maka dapat dipastikan bahwa sifat dari ruh/ruhani dari setiap manusia, ternasuk di dalamnya ruh/ruhani diri kita adalah sesuai dengan konsep Asmaul Husna yang dimiliki Allah SWT. Adanya kondisi ini berarti setiap ruh/ruhani, termasuk di dalamnya ruh/ruhani diri kita sendiri, pasti mempunyai perbuatan Ar Rakhman (Maha Pengasih); Ar Rahiem (Maha Penyayang); Ar Maalik (Maha Merajai, Maha Memiliki); As Salam (Maha Penyelamat); Al Mu’min (Maha Pemelihara Keamanan); Al Muhaimin (Maha Penjaga, Maha Pemberi Kebahagiaan); Al Wahhaab (Maha Pemberi); dan seterusnya sampai dengan sembilan puluh sembilan perbuatan Allah SWT.
Sekarang mari kita perhatikan diri kita sendiri, apakah sibghah dari Allah SWT yang berasal dari Af’al (perbuatan) Allah SWT atau perbuatan-perbuatan Allah SWT itu ada dalam diri kita? Untuk itu kita dapat merasakannya sendiri dengan menyatakan adakah rasa pengasih dalam diri kita? Adakah rasa penyayang dalam diri kita? Adakah rasa memiliki dalam diri kita? Adakah rasa penyelamat dalam diri kita? Lalu tanyakan lagi kepada diri sendiri, apakah rasa pengasih dan penyayang, rasa memiliki dan rasa penyelamat yang ada dalam diri kita itu Ada dengan sendirinya tanpa ada yang mengadakannya, ataukah rasa itu semua datang begitu saja? Siapakah yang sanggup menciptakan seluruh rasa yang ada di dalam diri kita? Jawaban dari pertanyaan ini adalah seluruh rasa yang ada di dalam diri berasal dari pencipta semua rasa, lalu siapakah dia? Jawaban dari pertanyaan ini adalah Allah SWT sebagaimana termaktub dalam surat Al Hasyr (59) ayat 22-23-24 berikut ini: “Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia-lah Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik, bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Sekarang jika di dalam diri kita saat ini sudah ada Nilai-Nilai Ilahiah yang berasal dari Af’al (perbuatan) Allah SWT atau perbuatan-perbuatan Allah SWT yang termaktub dalam Asmaul Husna maka kita dapat memastikan bahwa sifat-sifat kebaikan adalah sifat yang paling dominan di dalam ruh/ruhani kita. Hal ini dikarenakan sesuatu yang bersifat buruk apalagi sifat tercela tidak akan mungkin berasal dari Allah SWT.
Sekarang bagaimana dengan perbuatan ruh/ruhani yang berasal dari sifat-sifat alamiah ruh/ruhani yang berasal dari Af’al Allah SWT, yang disebut juga dengan “Nafs/Anfuss”? Perbuatan yang dilakukan oleh sifat-sifat alamiah ruh/ruhani yang berasal dari Nur Allah SWT, pada prinsip kerjanya hampir sama dengan prinsip kerja perbuatan dari sifat alamiah jasmani yang berasal dari alam. Apa contoh konkretnya? Salah satu contoh dari sifat alamiah ruh/ruhani adalah sifat dermawan. Jika sifat dermawan tumbuh dalam diri kita, atau sifat dermawan menjadi perilaku diri kita sehari-hari maka perbuatan diri kita menjadi mudah berbagi kepada sesama, tidak hanya pada sesuatu yang bersifat materiil dan juga pada sesuatu yang bersifat immaterial, seperti ilmu dan pengajaran serta bimbingan. Adanya kondisi ini akan menghantarkan diri kita menjadi pribadi-pribadi yang tidak mau mementingkan diri sendiri, atau kelompok tertentu saja, atau menjadikan diri kita menjadi pribadi-pribadi yang hanya tahunya menang sendiri tanpa mau memikirkan orang lain.
Lalu bagai bagaimana jika sifat sabar mempengaruhi diri kita? Jika sifat sabar mempengaruhi diri kita maka akan menjadikan diri kita berbuat dan bertindak dalam koridor keteraturan, atau akan menjadikan diri kita menjadi pribadi-pribadi yang tidak cepat putus asa, tidak mau merugikan dan mencelakakan orang lain baik sengaja ataupun tidak. Demikian seterusnya kita harus mampu untuk berperilaku sesuai dengan konsep Asmaul Husna sepanjang hayat masih di kandung badan. Dan apabila manusia selalu mampu menampilkan sifat alamiah ruhani yang mencerminkan nilai nilai kebaikan sebagai perilaku dan perbuatannya maka inilah yang disebut dengan jiwa taqwa. Selanjutnya jika saat ini kita masih suka saling berantam, masih suka saling menghasut, masih suka saling memfitnah, masih suka berbuat tidak adil, masih suka berbuat ingkar janji, masih suka korupsi, masih suka menyakiti sesama dan seterusnya dari manakah itu semua dan kemana larinya Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari Nilai-Nilai Ilahiah yang telah Allah SWT berikan kepada kita? Jika sifat ruh/ruhani yang seharusnya menjadi perbuatan diri manusia tidak bisa tercermin di dalam perbuatan dan perilaku manusia berarti ada sesuatu yang luar biasa yang menghalangi perbuatan itu, dalam hal ini dikarenakan mampunya ahwa (hawa nafsu) dan syaitan mengalahkan nilai nilai kebaikan yang menjadi sifat dasar diri manusia sehingga dengan kalahnya nilai nilai kebaikan karena pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan syaitan maka tampillah nilai nilai keburukan sebagai perilaku manusia dan inilah yang disebut dengan jiwa fujur.
Lalu, untuk apakah Allah SWT sampai memberikan sibghah atau celupan yang berasal dari Af’al (perbuatan) Allah SWT itu sendiri kepada setiap ruh/ruhani manusia yang kemudian menjadi sifat ruh/ruhani? Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam kerangka rencana besar untuk dijadikan khalifah di muka bumi. Sebagai seorang khalifah di muka bumi, maka manusia tidak lain adalah perpanjangan tangan Allah SWT untuk mengurus, untuk memelihara serta untuk menjaga apa-apa yang telah Allah SWT ciptakan di muka bumi sehingga terciptalah kehidupan yang aman, tenteram, sejahtera serta dalam suasana keadilan oleh sebab adanya kekhalifahan. Untuk memudahkan tugas tersebut maka setiap manusia yang telah diberikan sibghah oleh Allah SWT yang berasal dari Af’al-Nya maka setiap manusia wajib menjadikannya sebagai perbuatannya sehari hari atau wajib mendayagunakannya dalam koridor nilai-nilai kebaikan kepada sesama yang membutuhkannya. Adanya kondisi saling memberi dan saling menerima maka salah satu tujuan adanya khalifah di muka bumi dapat terlaksana karena mampunya manusia menampilkan penampilan Allah SWT di muka bumi yang akhirnya terpeliharalah dan terjagalah apa apa yang diciptakan Allah SWT.
Saat ini kita telah mengetahui perbuatan jasmani yang di dalam AlQuran dikatakan dengan istilah “ahwa” dan juga kita telah pula mengetahui perbuatan ruh yang di dalam AlQuran dikatakan dengan istilah “nafs/anfuss”. Lalu bisakah kita membedakannya? Jika kita termasuk orang yang telah tahu diri, maka kita akan mudah mengetahui perbedaan yang mencolok antara “ahwa” (hawa nafsu) dengan “nafs/anfuss”. Hal ini dikarenakan perbuatan keduanya sangat bertolak belakang. Ahwa (hawa nafsu) sangat berkesesuaian dengan nilai-nilai keburukan yang sangat dikehendaki syaitan, sedangkan nafs/anfus sangat berkesesuaian dengan nilai-nilai kebaikan yang sangat dikehendaki Allah SWT. Adanya kondisi ini seharusnya dapat menyadarkan diri kita untuk berhati-hati di dalam bertindak, dalam berbuat karena hasil akhir dari apa yang kita lakukan, kita jugalah yang akan menikmatinya dan juga kita juga pula yang akan merasakan akibatnya.
Jika ruh/ruhani diri kita telah disifati oleh Allah SWT dengan Ar Rachman (Yang Maha Pengasih) dan Ar Rahiem (Yang Maha Penyayang) berarti perbuatan dan perilaku diri kita harus pula mencerminkan perilaku pengasih dan penyayang pula, dalam hal ini saling tolong menolong dalam kebaikan, saling hormat menghormati. Jika hal ini mampu kita laksanakan berarti kita sudah bertindak apa yang dinamakan dengan Layyin (sesuai kata dengan perbuatan). Sekarang bagaimana jika ruh/ruhani diri kita telah disifati dengan Asmaul Husna Ar Razaaq melalui proses shibghah berarti perilaku diri kita setelah memperoleh Rezeki dari Allah SWT maka rezeki itu tidak untuk kepentingan diri sendiri, melainkan harus pula dibelanjakan di jalan Allah melalui infaq, shadaqah ataupun wakaf sehingga jika kita tidak memberi sesuatu akan terasa ada yang mengganjal di dalam diri. Disinilah letaknya penampilan dari orang yang berpunya yaitu selalu memberi atau menempatkan dirinya sebagai muzakki dari waktu ke waktu. Jika tidak berarti perilaku diri kita seperti garam yang sudah tidak asin lagi. Demikian seterusnya dengan sifat sifat ruh/ruhani yang lainnya yang telah disifati oleh Allah SWT dengan Asmaul Husna sehingga diri kita mampu menampilkan penampilan Allah SWT di muka bumi ini.
Untuk itu mari kita renungkan apa yang
dinamakan dengan sambal lado, dimana sambal lado merupakan gabungan dari bumbu
bumbu yang disatukan seperti cabai, garam, tomat, terasi, gula dan lain
sebagainya. Setiap dzat yang dipersatukan semuanya mempertontonkan dan
mempertunjukkan sifat sifat yang dimilikinya, seperti cabai dengan pedasnya,
garam dengan asinnya, tomat dengan rasa tomatnya, gula dengan rasa manisnya.
Hasil akhir dari itu semua adalah sambal lado yang enak dan lezat. Sekarang apa
jadinya jika garam yang memiliki sifat asin menahan rasa asinnya? Kurang asin
atau kurang garam akan menyebabkan sambal lado menjadi kurang enak, padahal
nilai (harga) dari garam dibandingkan harga cabai sangatlah kecil. Jadi tidak
usah takut berbuat kebaikan walaupun kecil lagi sedikit, namun buatlah diri
kita laksana garam.
Hal yang samapun berlaku dalam kehidupan manusia, jika sampai sifat ruh/ruhani ditahan dalam pergaulan sehari hari atau jika sampai sifat pengasih dan penyayang tidak ada di dalam kehidupan bermasyarakat maka hidup terasa hambar dan terjadilah apa yang dinamakan kebencian, kecurigaan serta tindas menindas karena hilangnya rasa welas asih di antara sesama manusia. Demikian seterusnya dengan Asmaul Husna yang lain yang harus menjadi perilaku diri kita saat hidup di muka bumi ini.Inilah salah satu bentuk kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan yang utama dalam kehidupan kita. Ingat, kondisi ini baru bisa kita lakukan jika kita tahu dan mengerti bahwa ruh/ruhani adalah jati diri manusia yang sesungguhnya yang telah disifati oleh Allah SWT dengan Asmaul Husna. Sekarang semuanya tergantung kepada diri kita sendiri, maukah menjadikan sifat alamiah ruh/ruhani (nass) menjadi perbuatan diri kita seperti garam yang mampu yang berperilaku mengasinkan apa apa yang diliputinya sehingga lahirlah ikan asin, telur asin atau sawi asin. Jika kita tidak mampu berarti diri kita sama dengan garam yang sudah tidak asin lagi. Jika garam sudah tidak asin lagi maka tidak pantas ia mengaku garam atau disebut sebagai garam. Hal yang samapun jika kita tidak mampu menjadikan sifat ruh/ruhani menjadi sifat dan perbuatan kita maka kitapun sudah tidak pantas lagi disebut sebagai Abd’ (hamba) yan sekaligus khalifah di muka bumi.
Ayo buktikan jika kita memang pantas menyandang status sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi dengan selalu berbuat kebaikan sebagai wujud dari pelaksanaan Rukun Iman dan Rukun Islam sekarang juga melalui perbuatan diri kita yang mencerminkan nilai nilai ilahiah yang berasal dari Asmaul Husna. Jika sampai ini terjadi berarti salah satu tujuan dari kekhalifahan di muka bumi berhasil yaitu diri kita mampu menjadi menampilkan penampilan Allah SWT di muka bumi melalui nilai nilai ilahiah yang berasal dari Asmaul Husna. Semoga kita dan anak keturunan kita mampu melakukan hal ini dari waktu ke waktu sepanjang hayat masih di kandung badan.
B. MENTAATI ALLAH SWT & RASUL NYA.
Salah satu bentuk kebaikan yang harus kita laksanakan sebagai wujud dari pelaksanaan ibadah Ikhsan adalah mentaati Allah SWT dan RasulNya sebagaimana ketentuan surat Al Anfaal (8) ayat 46 yang kami kemukakan berikut ini: “dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” Adanya ketentuan ini berarti Allah SWT telah menegaskan bahwa mentaati Rasul merupakan bagian daripada mentaati Allah SWT. Jika kita tidak mau mentaati Rasul berarti bertentangan dengan apa yang kehendaki Allah SWT atau keluar dari kehendak Allah SWT.
Allah SWT berfirman: “Muhammad itu sekali kali bukanlah bapak dari seseorang diantara kamu, tetap dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (surat Al Ahzab (33) ayat 40). Ayat ini mengemukakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir berarti sesudah Nabi Muhammad SAW tiada maka sudah tidak ada lagi risalah baru sehingga risalah yang ada sudah final dan sempurna, sehingga apabila ada nabi baru setelah Nabi Muhammad SAW tiada maka dapat dipastikan orang yang mengaku ngaku nabi adala nabi palsu. Dan jika sekarang kita diwajibkan untuk mentaati Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai RasulNya berarti kita wajib mentaati segala risalah yang sudah final dan sempurna dalam hal ini adalah AlQuran tanpa bisa ditambah lagi, tanpa bisa dikurangi lagi dan tidak bisa dipilah dan dipilih lagi, apalagi disesuaikan dengan keadaan tertentu.
Sekali lagi kami tegaskan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW tiada, tidak ada lagi nabi nabi baru yang berarti tidak ada lagi risalah baru sebagai pengganti ataupun penyempurna risalah yang sudah ada. Selain daripada itu, adanya orang orang yang ditetapkan oleh lembaga tertentu sebagai keturunan nabi berdasarkan metode tertentu bukan berarti orang tersebut merupakan penerus dari sistem kenabian (penerus dari Nabi Muhammad SAW). Yang ada pada saat ini setelah Nabi Muhammad SAW tiada adanya ketentuan ulama sebagai pewaris nabi. Untuk itu Rasulullah SAW telah banyak menerangkan perihal ulama di akhir zaman, sebagaimana hadits berikut ini: “Dari Abu Dzar berkata, “Dahulu saya pernah berjalan bersama Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda, “Sungguh bukan dajjal yang aku takutkan atas umatku.” Beliau mengatakan tiga kali, maka saya bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah selain dajjal yang paling Engkau takutkan atas umatmu?” Beliau menjawab, para tokoh yang menyesatkan.” (Musnad Ahmad (35/222))
Anas ra. meriwayatkan, “Ulama adalah kepercayaan Rasul selama mereka tidak bergaul dengan penguasa dan tidak asyik dengan dunia. Jika mereka bergaul dengan penguasa dan asyik terhadap dunia, maka mereka telah mengkhianati para Rasul, karena itu jauhilah mereka.” (Hadits Riwayat al Hakim) Hadits ini menggambarkan kemuliaan ulama terletak pada kehati-hatian mereka terhadap harta, kekuasaan, dan ilmu yang mereka sampaikan. Jika salah menyampaikan berakibat fatal. Ilmunya bisa menyesatkan manusia. Maka dari itu, ulama semestinya tidak boleh terjebak dengan narasi yang membingungkan umat. Ulama harus mewaspadai upaya mengaburkan dan memisahkan Islam dari ajaran yang sesuai risalah Nabi SAW. Ulama juga tidak boleh terjebak dalam politik pragmatis demokrasi. Terkungkung dalam arus kepentingan penguasa. Terbawa alur demokrasi yang penuh tipu daya.
Ibnu Abbas ra, juga berkata, “Ulama ialah orang-orang yang mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Berkuasa atas setiap sesuatu.” Dan tambahnya lagi, “Orang alim ialah mereka yang tidak melakukan syirik kepada Allah dengan sesuatu pun, serta dia menghalalkan apa yang dihalalkan-Nya dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya.” Dan Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Hadits Riwayat al-Imam at-Tirmidzi, Ahmad, ad Darimi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). Pewaris Nabi adalah mereka yang menyeru tegaknya hukum Allah sebagaimana seruan para Nabi dan Rasul. Merekalah para ulama yang mewarisi ilmu dengan berpegang teguh pada AlQuran dan Hadits dan ingat bahwa ulama sebagai pewaris nabi siapapun orangnya bukanlah penerus dari kenabian Nabi Muhammad SAW.
Adanya kondisi di atas, maka tidak semua manusia di muka bumi ini bisa menjadi seorang pewaris Nabi. Hanya orang-orang tertentu yang bisa terpilih karena seorang pewaris nabi harus memiliki sifat-sifat tertentu.Adapun ciri ulama pewaris Nabi dapat kami kemukakan sebagai berikut:
(a) ciri pertama dari ulama pewaris nabi ialah seseorang yang takut akan Allah SWT, sebagaimana firmanNya berikut ini: “….. Sesungguhnya golongan yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya ialah para ulama’. Sesungguhya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,”(surat Al Fathir (35) ayat 28). Dan agar seseorang bisa menjadi orang yang takut kepada Allah SWT maka orang tersebut haruslah orang yang memiliki ilmu sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Abbas ra, “siapa yang takut akan Allah, maka dia adalah orang alim”.
(b) ciri kedua ialah beramal dengan segala ilmunya. Sebagaimana sebuah hadist dalam Sunan Ad-Darimi : “Sesungguhnya orang alim itu adalah orang yang beramal dengan apa yang dia ketahui.” Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib ra, yang berkata, “Wahai orang yang mempunyai ilmu! beramallah kamu dengannya karena sesungguhnya orang yang alim itu adalah orang yang beramal dengan ilmu yang dia ketahui, serta selaras antara ilmunya dengan amalannya”.
(c) ciri ketiga adalah hatinya bersih daripada syirik dan maksiat, serta tidak tamak kepada makhluk di dunia. Ibnu Umar berkata, “Tiadalah seseorang lelaki itu dianggap alim sehingga dia tidak hasad dengki kepada orang yang lebih alim daripadanya, tidak menghina orang yang kurang daripadanya serta tidak mencari dengan ilmunya upahan kebendaan”.
(d) ciri keempat dari ulama pewaris nabi adalah mampu meneruskan tugas nabi, yaitu mengajar, mendidik, membersihkan hati umat daripada syirik dan maksiat serta berdakwah dan memerintah mengikuti perintah Allah. Hal ini sebagaimana kita fahami dalam surat Al Jumuah (62) ayat 2 sebagaimana berikut ini: “Dialah (Allah) yang telah mengutuskan kepada kalangan orang-orang arab yang buta huruf seorang rasul dari bangsa mereka sendiri yang membacakan ayat-ayat Allah yang membuktikan keesaan Allah dan kekuasaanNya. Dan membersihkan mereka daripada aqidah yang sesat serta mengajarkan mereka kitab Allah dan hikmat pengetahuan yang mendalam mengenai hukum-hukum syariat. Dan sesungguhnya mereka sebelum kedatangan nabi Muhammad SAW adalah dalam kesesatan yang nyata.”
Itulah 4 (empat) buah ciri-ciri ulama sang pewaris Nabi, mereka akan senantiasa mengajak kebaikan dibanding dengan sesuatu hal yang sia-sia. Lalu bisa batalkah keulamaan seseorang? Jika kita berpedoman kepada syarat sahnya sebuah ibadah, katakan kita kentut maka shalat yang kita dirikan menjadi batal, atau kita sengaja makan saat berpuasa maka batallah puasa yang kita laksanakan. Dengan memakai analogi seperti ini maka apabila seorang ulama pewaris nabi sudah tidak memiliki lagi salah satu atau lebih dari ciri ulama di atas, maka dapat dikatakan batallah keulamaan seseorang sebagai pewaris nabi. Untuk siapa saja yang ingin menjadi ulama pewaris Nabi, pegang erat eratlah sifat di atas jangan sampai batal.
Di lain sisi, Allah SWT adalah pencipta dan pemilik dari alam semesta ini dan jika ini kondisi Allah SWT berarti segala hukum, segala undang undang, segala peraturan, segala ketentuan yang berlaku di alam semesta ini adalah ketentuan Allah SWT. Dan jika kita tidak pernah merasa menciptakan dan memiliki alam semesta ini berarti kita wajib mempelajari, wajib mentaati, wajib melaksanakan segala ketentuan yang berlaku di alam semesta ini sesuai dengan kehendak Allah SWT. Ini adalah kondisi dasar yang harus kita ketahui jika kita tahu diri. Tahu siapa Allah SWT yang sesungguhnya dan Tahu siapa diri kita yang sebenarnya. Sekarang Allah SWT selaku tuan rumah telah mengeluarkan perintah dan larangan, maka kita wajib melaksanakan perintah dan larangan dimaksud karena di balik perintah ataupun larangan pasti ada kebaikan yang siap diberikan kepada siapapun yang mau mematuhi perintah dan akan menimpakan keburukan bagi yang melanggar larangan Allah STW. Sebagaimana firmanNya berikut ini: “(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka[574]. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (AlQuran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung. (surat Al A’raaf (7) ayat 157)
[574] Maksudnya: dalam syari'at yang dibawa oleh Muhammad itu tidak ada lagi beban-beban yang berat yang dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya: mensyari'atkan membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan kisas pada pembunuhan baik yang disengaja atau tidak tanpa membolehkan membayar diat, memotong anggota badan yang melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain yang kena najis.
Berdasarkan surat Al A’raaf (7) ayat 157 Allah SWT memberikan contohnya, jika Allah SWT melarang untuk berbantah bantahan maka jangan lakukan itu karena akan mengakibatkan diri kita menjadi gentar menghadapi sesuatu serta hilang kekuatan. Selanjutnya jika Allah SWT telah menetapkan adanya larangan maka kita wajib menghentikan atau jangan pernah melanggar larangan dimaksud karena dibalik larangan pasti ada keburukan yang siap diberikan kepada yang melanggar aturan. Ingat, Allah SWT mengeluarkan perintah dan juga larangan kepada diri kita karena Allah SWT sayang kepada diri kita. Sekali lagi, Allah SWT sangat sayang kepada diri kita.
Agar setiap larangan dan perintah berjalan sesuai dengan kehendak Allah SWT maka Allah SWT menurunkan Nabi dan Rasulnya untuk memberikan contoh secara langsung atas apa apa yang dikehendakinya tersebut. Disinilah salah satu letak dari pentingnya keberadaan Nabi atau Rasul serta adanya ketentuan ulama adalah pewaris nabi dalam kerangka rencana besar Allah SWT tentang kekhalifahan di muka bumi. Bayangkan jika sampai Allah SWT tidak menurunkan Nabi dan Rasul ke muka bumi, kita tidak akan tahu bagaimana cara bersikap kepada Allah SWT dan tidak tahu cara untuk beribadah kepada Allah SWT?
Saat ini, kita telah disiapkan oleh Allah SWT apa yang dinamakan dengan Diinul Islam yang tidak lain konsep Ilahiah untuk kepentingan kekhalifahan di muka bumi yang kesemuanya sudah lengkap. Lalu apakah yang sudah disiapkan oleh Allah SWT untuk diri kita kemudian kita tidak pergunakan untuk kesuksesan hidup di dunia dan akhirat? Berdasarkan surat Ar Ra’d (13) ayat 18 di atas, “Bagi orang-orang yang memenuhi seruan Tuhannya, (disediakan) pembalasan yang baik. dan orang-orang yang tidak memenuhi seruan Tuhan, Sekiranya mereka mempunyai semua (kekayaan) yang ada di bumi dan (ditambah) sebanyak isi bumi itu lagi besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan kekayaan itu. orang-orang itu disediakan baginya hisab yang buruk dan tempat kediaman mereka ialah Jahanam dan Itulah seburuk-buruk tempat kediaman.” yaitu adalah pulang kampung ke Neraka Jahannam. Sekarang bertanyalah ke hati nurani diri kita sendiri, mampukah kita menahan panasnya api neraka yang panasnya 70 (tujuh puluh) kali dari panasnya api yang ada dunia sebagaimana dikemukakan hadits berikut ini: Nabi SAW bersabda, “(Panasnya) api yang kalian (Bani Adam) nyalakan di dunia ini merupakan sebagian dari tujuh puluh (70) bagian panasnya api Neraka Jahannam.” Para sahabat bertanya: “Demi Allah! Apakah itu sudah cukup wahai Rasulullah?” Beliau SAW bersabda: “(Belum), sesungguhnya panasnya sebagian yang satu melebihi sebagian yang lainnya sebanyak enam puluh (60) kali lipat.”(Hadits Riwayat Muslim no. 2843).
Hadits ini menerangkan tentang kondisi dasar dari api neraka lalu sanggupkah diri kita menahan panasnya api neraka itu? Jika kita merasa sanggup untuk merasakan panasnya api neraka, maka lakukanlah keburukan sebagaimana dikehendaki oleh syaitan. Dan jika kita tidak sanggup merasakan panasnya api neraka segeralah menerima dan melaksanakan Diinul Islam secara kaffah saat ini juga sampai ruh tiba di kerongkongan.
C. PERSATUAN VS PERPECAHAN.
Persatuan adalah sebuah kebaikan, sedangkan perpecahan adalah sebuah keburukan. Inilah salah satu pelajaran yang utama yang terdapat di balik cerita Nabi Yakub as, beserta anak anaknya, hal ini sebagaimana diceritakan oleh Allah SWT yang tertuang di dalam surat Yusuf (12) ayat 100 dan 101 yang kami kemukakan di bawah ini, “Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. dan berkata Yusuf: "Wahai ayahku Inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu; Sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. dan Sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaKu, ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari dusun padang pasir, setelah syaitan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir mimpi. (ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam Keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” Ayat ini mengemukakan tentang adanya perpecahan diantara anak anak Nabi Yakub as, yang pada akhirnya terpisahlah Nabi Yusuf as, dengan Nabi Yakub as, oleh sebab anak anaknya yang tidak mau bersatu dalam suatu persatuan.
Persatuan adalah alah satu bentuk dari kebaikan yang harus diraih dan dirasakan serta selalu dipelihara oleh setiap manusia yang ada di muka bumi. Perpecahan bisa diibaratkan dengan adanya lidi sebatang yang tidak bisa berbuat apa apa, namun apabila lidi yang satu itu dipersatukan menjadi sebuah kumpulan yang menjadi sapu lidi, maka sapu lidi bisa berguna dan bermanfaat untuk membersihkan sesuatu. Sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi, sudahkah persatuan dapat kita wujudkan dalam masyarakat?
Jika perpecahan yang kita wujudkan
atau perpecahan yang kita usahakan berarti kita harus belajar kepada lidi
sebatang yang tidak berguna jika hanya terdiri dari satu lidi saja. Lalu
belajarlah untuk menjadi sapu lidi yang bisa bermanfaat setelah dipersatukan
dalam satu ikatan. Persatuan tidak akan bisa diraih dan dirasakan manfaatnya jika hanya
dilakukan sendiri sendiri. Persatuan mengharuskan kesadaran masyarakat untuk
melakukan suatu persatuan dalam sebuah ikatan yang kuat berupa pernyataan sikap
untuk selalu bersatu dalam satu kesatuan. Contoh nyata untuk Indonesia
adalah kemerdekaan Indonesia dapat diraih melalui ikatan terlebih dahulu yaitu
adanya Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda merupakan ikatan bagi seluruh rakyat
Indonesia untuk berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu,
Indonesia. Adanya ikatan Sumpah Pemuda ini akhirnya mampu menghantarkan
Indonesia meraih kemerdekaan.
Sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi maka kita harus bisa menjadikan diri ini penjaga dari persatuan dan kesatuan, perawat dari persatuan dan kesatuan, pelopor dalam rangka mempertahan persatuan dan kesatuan. Hal ini dikarenakan persatuan dan kesatuan bukan sesuatu yang bersifat statis, namun bersifat dinamis. Persatuan dan kesatuan harus terus dipupuk secara bersama sama karena ia mengikat secara bersama sama pula. Persatuan dan kesatuan bukan pula bersifat individual sehingga tergantung kepada individu tertentu saja. Persatuan dan kesatuan adalah tangggung jawab bersama. Sekarang apa yang terjadi jika persatuan dan kesatuan dibiarkan berjalan tanpa ada perawatan, tanpa ada penjagaan, tanpa ada pertahanan?
Persatuan dan kesatuan bisa hilang atau bahkan hancur ditelan perubahan jaman, dihantam oleh ketidaksenangan serta dirubah karena pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan syaitan. Disinilah letak pentingnya mempertahankan persatuan dan kesatuan yang harus dijaga dan dirawat secara bersama sama secara konsisten dari waktu ke waktu. Lalu dimanakah letaknya ibadah Ikhsan dalam persoalan persatuan dan kesatuan? Persatuan dan kesatuan adalah sesuatu yang dikehendaki oleh Allah SWT sehingga di dalam persatuan dan kesatuan tidak bisa dilepaskan dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT dan Allah SWT sendiri selalu berada bersama persatuan dan kesatuan. Jika kondisi ini sudah terjadi pada persatuan dan kesatuan maka sudah sepatutnya kita mampu berbuat dan bertindak untuk selalu menjadi pelopor, pelaku, penjaga, perawat dari persatuan dan kesatuan dalam hidup dan kehidupan ini. Ingat, kita tidak bisa berbuat sesuatu sendiri seperti halnya lidi hanya satu. Semakin kuat persatuan dan kesatuan maka hasil akhir dari persatuan dan kesatuan menjadi sangat luar biasa.
D. BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA DAN MERTUA.
Salah satu bentuk kebaikan yang harus kita laksanakan sebagai wujud dari pelaksanaan ibadah Ikhsan yaitu berbakti kepada kedua orang tua dan mertua tanpa terkecuali. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Ahqaaf (46) ayat 16 dan 17 sebagaimana berikut ini: “mereka Itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka. dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi kamu keduanya, Apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, Padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan: "Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar". lalu Dia berkata: "Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka".
Dan juga berdasarkan ketentua surat Al Ankabuut (29) ayat 8 yang kami kemukakan berikut ini: “dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya. hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” serta berdasarkan surat Al Israa’ (17) ayat 23 sampai 25 berikut ini: “dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia[850]. dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, Maka Sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.”
[850] Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama
apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar
daripada itu.
Berdasarkan 3 (tiga) ketentuan ayat di atas, Allah SWT sangat menghormati kedudukan orang tua dan mertua, dimana setiap anak tanpa terkecuali wajib untuk menghomati dan selalu berbuat kebaikan kepadanya. Allah SWT melarang kepada diri kita untuk berkata “Cis” kepada orang tua dan mertua. Bayangkan Allah SWT saja melarang berkata “Cis” kepada orang tua dan mertua, apalagi berbuat keburukan kepadanya. Saat ini Allah SWT sudah mewajibkan kepada diri kita untuk berbuat kebaikan kepada kedua orang tua dan mertua, lalu sudahkah kita mampu melaksanakan kewajiban itu dengan baik dan benar?
Selain daripada itu, Allah SWT juga sudah mengingatkan kepada diri kita agar berbuat kebaikan kepada kedua orang tua dan mertua dengan sebaik baiknya. Akan tetapi jika kedua orang tua dan mertua memaksa kita untuk mempersekutukan Allah SWT dengan sesuatu maka kita dilarang mengikuti perintah orang tua dan mertua tersebut. Dan jika antara diri kita dengan orang tua atau dengan mertua berbeda agama maka kita tetap diwajibkan untuk menghormatinya dan wajib tetap berbuat kebaikan kepadanya. Lalu jika sampai usia ke dua orang tua dan mertua kita berusia lanjut dalam pemeliharaan kita, kita dilarang mengatakan perkataan “ah” dan jangan pernah membentak mereka melainkan ucapkan kepada mereka perkataan yang mulia serta selalu merendahkan diri dihadapan mereka.
Untuk itu mari kita pelajari apa yang dikemukakan hadits yang kami kemukakan di atas, Anas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah Ta’ala berfirman: Allah SWT telah mewahyukan kepada Nabi Musa: “Jika saja tidak karena mereka yang mengucapkan Syahadat La illaha illa Allah niscaya telah kutimpakan Jahannam di atas dunia. Wahai Musa, jika saja tidak karena mereka yang beribadah kepada Ku niscaya tidaklah Aku lepaskan mereka yang berbuat maksiat sekejap matapun. Wahai Musa, sesungguhnya orang orang beriman kepada Ku mereka itulah makhluk yang termulia dalam pandangan Ku. Wahai Musa, sesungguhnya sepatah kata dari seorang yang durhaka (terhadap kedua orangtuanya) adalah sama beratnya dengan seluruh pasir bumi. Bertanya Nabi Musa: “Siapakah orang durhaka itu wahai Tuhan Ku?” Yaitu orang berkata kepada kedua orang tuanya: Tidak…..tidak” ketika dipanggil.” (Hadits Qudsi Riwayat Abu Nu’aim; 272:225). Dimana Allah SWT telah melarang kepada diri kita untuk tidak berkata tidak….. tidak ketika dipanggil oleh orang tua dan mertua karena sama beratnya dengan seluruh pasir bumi. Berapakah jumlah pasir yang ada di muka bumi ini lalu sanggupkah kita menghitungnya? Inilah suatu perumpamaan yang sangat luar biasa yang dikemukakan oleh Allah SWT kepada umat manusia agar selalu berbakti kepada kedua orang tua dan mertua, jika kita tidak sanggup menghitung jumlah pasir yang ada di muka bumi maka kita harus berbakti kepada keduanya saat ini juga.
Selain itu, Allah SWT juga telah meletakkan ridhaNya di bawah ridha orang tua dan mertua sebagaimana hadits berikut ini: “Ridha Allah itu tergantung ridha kedua orang tua dan murka Allah juga tergantung kepada murka kedua orang tua.” (Hadits Riwayat Ath Thirmidzi) dan jika ketentuan ini telah ditetapkan oleh Allah SWT berarti salah satu prasyarat untuk memperoleh ridha Allah SWT maka kita harus bisa mendapatkan dan memperoleh ridha orang tua dan mertua. Sepanjang orang tua dan mertua ridha kepada diri kita maka insya Allah keridhan Allah SWT terbuka untuk diri kita. Hal lain yang harus kita perhatikan adalah “murka Allah juga tergantung kepada murka kedua orang tua”. Untuk itu berhati hatilah kita dengan ketentuan yang telah berlaku ini. Selanjutnya dengan adanya ketentuan ini terlihat dengan jelas bahwa Allah SWT sangat menghormati kedudukan orang tua dan mertua di dalam rencana besar kekhalifahan yang ada di muka bumi ini.
Untuk itu jangan pernah berharap memperoleh ridha Allah SWT jika kita durhaka kepada orang tua dan mertua, jika kita menghardik orang tua dan mertua, jika kita memperbudak orang tua dan mertua atau menjadikan orang tua dan mertua sebagai penerima pembayaran zakat kita. Berbuat baik kepada kedua orang tua dan mertua bukanlah sesuatu yang memberatkan diri kita apalagi menjadi beban dalam hidup dan kehidupan ini. Hasil akhir dari mampunya diri kita berbakti kepada orang tua dan mertua adalah mampu menghantarkan diri kita bahagia di dunia dan bahagia di akhirat kelak. Jika saat ini kita mampu berbakti kepada orang tua dan mertua maka hal itu harus kita syukuri karena kesempatan ini tidak bisa dinikmati oleh setiap anak. Adanya kesempatan berbuat baik kepada orang tua dan mertua haruslah menjadikan diri kita berbahagia karena Allah SWT memberikan kesempatan yang langka kepada diri kita serta secara tidak langsung melaksanakan apa apa yang dikehendaki oleh Allah SWT melalui orang tua dan mertua kita. Jangan sampai diri kita menyesal tidak bisa berbakti kepada orang tua setelah orang tua dan mertua tiada.
E. PERDAMAIAN.
Salah bentuk kebaikan sebagai bagian dari pelaksanaan ibadah ikhsan adalah adanya perdamaian antar suami dengan istri. Sebagaimana dikemukakan Allah SWT dalam surat An Nisaa’ (4) ayat 128 yang kami kemukakan berikut ini: “dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz[357] atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya[358], dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir[359]. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[357] Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari
pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. nusyuz dari pihak
suami ialah bersikap keras terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak
mau memberikan haknya.
[358] Seperti isteri bersedia beberapa haknya dikurangi Asal suaminya
mau baik kembali.
[359] Maksudnya: tabi'at manusia itu tidak mau melepaskan sebahagian haknya kepada orang lain dengan seikhlas hatinya, Kendatipun demikian jika isteri melepaskan sebahagian hak-haknya, Maka boleh suami menerimanya.
Berdasarkan ayat di atas, Allah SWT telah menunjukkan tanpa ada kedamaian antara suami dengan istri maka tidak akan ada pula kebahagiaan rumah tangga serta anak shaleh dan shalehah hanyalah mimpi belaka. Kehancuran rumah tangga ada di depan mata. Adanya kedamaian akan menghantarkan kita kepada kehidupan keluarga yang sakinah ma waddah wa rahmah. Adanya kedamaian keluarga, maka akan melahirkan kedamaian lingkungan sekitar, yang pada akhirnya mampu menghantarkan kedamaian suatu daerah dan seterusnya mampu menjadikan suatu negara yang aman dan damai. Sekarang bagaimana mungkin kita berharap suatu kedamaian jika pertengkaran yang selalu terjadi, baik dalam skala rumah tangga ataupun dalam skala nasional? Ingat, perdamaian bukanlah input melainkan ouput dari serangkaian input yang diproses dengan cara yang baik dan benar.
Untuk maksud tersebut diatas, Allah SWT melalui surat Al Mu’minuun (23) ayat 96 berikut ini: “Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan[1020]. (surat Al Mu’minuun (23) ayat 96).”
[1020] Maksudnya: perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan kaum musyrikin yang tidak baik itu hendaklah dihadapi oleh Nabi dengan yang baik, umpama dengan memaafkannya, Asal tidak membawa kepada Kelemahan dan kemunduran dakwah.
Berdasarkan ayat di atas ini, Allah SWT telah mengemukakan salah satu caranya, yaitu jangan pernah membalas perbuatan buruk dengan perbuatan buruk. Api hanya bisa dipadamkan dengan Air. Jika kuku kita panjang jangan jari yang dipotong tetapi potonglah kukunya saja. Jika ada persoalan dengan orang lain, selesaikan persoalannya, bukan orangnya yang diselesaikan. Balaslah perbuatan buruk dengan perbuatan baik yang diikuti dengan memaafkan orang yang berbuat keburukan tersebut lalu berdamailah dengan mereka.
Sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi yang membutuhkan ibadah Ikhsan yang tidak lain adalah cerminan diri kita, berarti kita harus bisa menjadi pelopor pelopor perdamaian, kita harus bisa menjadi penengah penengah pertengkaran, serta harus menjadi pemelihara, perawat dari perdamaian selama hayat masih di kandung badan. Jika sampai diri kita justru menjadi pembuat keonaran, pembuat kerusakan, perusak persatuan, berarti kitalah menjadi sumber masalah dalam masyarakat. Dan jangan salahkan syaitan jika kita menjadi kawan yang dikehendaki oleh syaitan sang laknatullah. Sekarang apa yang bisa kita nikmati jika kita hidup dalam suatu negara jika di dalam negara itu tidak ada kedamaian dan perdamaian? Jika kita tidak menghendaki kondisi hidup dalam suasana tidak ada kedamaian dan perdamaian maka tidak ada jalan lain kita harus mampu menjadi pelopor, perawat, penjaga dari perdamaian yang sudah ada saat dan berusaha untuk meningkatkan kualitas perdamaian. Ayo segera bertindak dan berbuat sebelum segala sesuatunya terlambat.
F. MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH SWT.
Salah satu bentuk kebaikan yang harus kita laksanakan sebagai wujud dari pelaksanaan ibadah Ikhsan adalah membelanjakan harta kekayaan ataupun penghasilan yang kita peroleh dan miliki. Bisa melalui jalan infaq, melalui jalan shadaqah, atau melalui jalan wakaf, sebagaimana termaktub dalam surat Al Baqarah (2) ayat 195 yang kami kemukakan berikut ini: “dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (surat Al Baqarah (2) ayat 195).
Hal yang harus kita pahami dengan benar adalah kita datang ke muka bumi tidak memiliki apa apa, lalu mempergunakan dan mendayagunakan apa apa yang dimiliki oleh Allah SWT seperti udara, air, tanah, tumbuhan, ruh, jasmani dan lain sebagainya dengan cuma cuma. Sekarang coba kita bayangkan jika sampai Allah SWT selaku pemilik dan pencipta oksigen yang kita hirup meminta bayaran kepada kita, apakah kita sanggup membayarnya? Disinilah letaknya bagaimana kita wajib mengetahui dengan pasti tentang kondisi dasar diri kita yang tidak bisa berbuat apa apa dan juga tidak memiliki apa apa saat hadir di muka bumi, lalu setelah kita memiliki apa apa karena mempergunakan dan mendayagunakan apa apa yang dimiliki Allah SWT lalu kita diam saja dengan itu semua? Sebagai orang yang telah mampu melaksanakan Diinul Islam secara kaffah, tentunya kita harus bisa menunjukkan rasa bersyukur kita kepada Allah SWT dengan melakukan ibadah Ikhsan melalui membelanjakan harta kekayaan ataupun penghasilan di jalan Allah SWT melalui infaq, melalui shadaqah atau melalui wakaf.
Lalu kapankah kita harus membelanjakan harta kekayaan atau penghasilan diri kita di jalan Allah SWT tersebut? Allah SWT melalui surat Ali Imran (3) ayat 134 berikut ini: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (surat Ali Imran (3) ayat 134). Ayat ini telah menunjukkan harta dan kekayaan yang kita miliki tidak hanya saat diri kita lapang, namun kita juga harus membelanjakannya di saat sempit, atau saat kekurangan. Adanya dua buah kondisi yang berbeda (lapang dan sempit) maka dampak bagi yang melakukannya pun akan berbeda pula, terutama nilai kebaikan yang akan kita peroleh sangat tergantung dengan kondisi lapang ataupun kondisi sempit.
Hal yang harus kita jadikan pedoman adalah belum pernah ada di dalam kehidupan di dunia ini, seseorang jatuh miskin atau jatuh sakit karena ia membelanjakan harta atau penghasilannya setelah melakukan infaq, setelah bersedekah ataupun setelah menunaikan wakaf. Jika kondisi ini tidak pernah terjadi kenapa kita harus takut berbuat kebaikan melalu infaq, melalui shadaqah dan melalui wakaf dalam kerangka melaksanakan ibadah Ikhsan? Sepanjang harta kekayaan atau penghasilan di dapat dengan cara cara halal lagi diridhai Allah SWT tidak ada alasan untuk tidak mau berbagi kepada sesama umat manusia melalui infaq, shadaqah dan wakaf. Terkecuali jika harta kekayaan ataupun penghasilan itu berasal dari yang haram lagi dikehendaki oleh syaitan maka kesemuanya akan berakhir dengan kemudharatan, untuk berfoya foya, untuk berjudi dan lain sebagainya. Sekarang bertanyalah kepada diri sendiri, halalkah atau haramkah harta kekayaan atau penghasilan yang kita miliki saat ini, karena dampaknya sangat berbeda.
Berdasarkan surat Al Hadiit (57) ayat 10 berikut ini: “dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, Padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekkah). mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Ayat ini mengemukakan bahwa Allah SWT membedakan derajat seseorang yang menafkahkan harta kekayaan yang dimiliki jika ditinjau dari situasi keadaan suatu negeri. Katakan sebelum pandemi covid 19 dengan setelah covid 19 menjadi pandemi, atau sebelum adanya bencana dibandingkan dengan saat tanggap bencana dan sesudah bencana. Kesemuanya memiliki penilaiaan tersendiri sehingga hasilnya pun akan berbeda beda.
Sekarang jika sampai diri kita tidak mau menafkahkan atau membelanjakan harta kekayaan atau penghasilan di jalan Allah SWT saat hidup di muka bumi, bertanyalah kepada diri sendiri siapakah yang mempusakai atau yang memiliki langit dan bumi ini, lalu siapakah yang lebih tinggi derajatnya apakah diri kita ataukah Allah SWT? Jika kita termasuk orang yang tahu diri berarti kita harus mentaati segala ketentuan dan hukum Allah SWT saat hidup di muka bumi ini lalu membelanjakan harta kekayaan atau penghasilan di jalan Allah SWT semaksimal mungkin, apalagi jika saat masyarakat banyak sedang mengalami kesulitan hidup akibat pandemi covid 19 yang melanda seluruh negeri.
G. MEMOHON HANYA KEPADA ALLAH SWT SAJA.
Salah satu bentuk kebaikan yang harus kita laksanakan sebagai wujud dari pelaksanaan ibadah Ikhsan adalah hanya memohon kepada Allah SWT semata, sebagaimana surat Ali Imran (3) ayat 147 dan 148 yang kami kemukakan berikut ini: “tidak ada doa mereka selain ucapan: "Ya Tuhan Kami, ampunilah dosa-dosa Kami dan tindakan-tindakan Kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami[235] dan tetapkanlah pendirian Kami, dan tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir". karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia[236] dan pahala yang baik di akhirat. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan. Ingat, memohon hanya kepada Allah SWT semata, jangan pernah memohon kepada selain Nya. Hal ini dikarenakan hanya Allah SWT yang berkuasa di alam semesta ini karena Allah SWTlah pencipta dan pemilik dari alam semesta sehingga hanya Allah SWT sajalah yang mampu dan siap menolong diri kita sepanjang diri kita mau memohon kepada Nya.
[235] Yaitu melampaui batas-batas hukum yang telah ditetapkan Allah
s.w.t.
[236] Pahala dunia dapat berupa kemenangan-kemenangan, memperoleh harta
rampasan, pujian-pujian dan lain-lain.
Saat diri kita memohon kepada Allah SWT ini menunjukkan bahwa diri kita lemah, menunjukkan bahwa diri kita tidak mampu, menunjukkan bahwa diri kita butuh pertolongan dan perlindungan, menunjukkan bahwa diri kita bodoh, menunjukkan bahwa diri kita miskin dan seterusnya. Adanya kondisi ini sudah barang tentu kita harus keluar dari permasalahan yang kita alami. Lalu kepada siapakah kita meminta pertolongan? Berdasarkan ketentuan Diinul Islam berlaku hanya Allah SWT sajalah yang mampu menolong dan yang mampu memberikan jalan keluar atas permasalahan yang kita alami. Yang menjadi persoalan adalah sebuah permohonan baru akan dikabulkan sepanjang memenuhi syarat dan ketentuan yang Allah SWT kehendaki. Adapun syarat dan ketentuan yang dikehendaki oleh Allah SWT ada pada surat Al A’raaf (7) ayat 156 berikut ini: “dan tetapkanlah untuk Kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; Sesungguhnya Kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami". yaitu kita harus bertaqwa, kita harus menunaikan zakat dan kita harus beriman kepada ayat ayat Allah SWT. Tanpa adanya pemenuhan syarat dan ketentuan yang berlaku jangan pernah berharap Allah SWT mengabulkan apa yang kita mohonkan kepadaNya.
Sekarang mari kita perhatikan firman Allah SWT berikut ini: "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan Kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. dan ampunilah Kami Ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (Surat Al Mumtahanah (60) ayat 5). Ayat ini menerangkan bahwa permohonan yang kita mohonkan kepada Allah SWT tidak hanya terbatas memohon ampunan atas dosa dan kesalahan yang pernah kita lakukan, atas keteledoran, atas berlebih lebihan dan lain sebagainya. Akan tetapi juga bisa memohon perlindungan dari fitnah orang orang yang kafir, dari marabahaya, bencana, penyakit, niat jahat dan busuk baik yang berasal dari jin dan juga manusia.
Dan yang harus kita jadikan pedoman saat memohon kepada Allah SWT, apa yang kita minta dan yang minta mohonkan adalah bukanlah sesuatu yang sudah dialamkan atau yang sudah berada di alam, atau yang menjadi tanda tanda keberadaan Allah SWT melainkan sesuatu yang masih di Allah SWT (maksudnya mintalah kepada Allah SWT sesuatu yang masih di Allah SWT)
Saat diri kita hidup di muka bumi yang dimiliki oleh Allah SWT, bisa saja kita berbuat maksiat dengan melanggar aturan, hukum dan ketentuan Allah SWT yang telah ditetapkan berlaku. Berbuat maksiat belum tentu melanggar hukum positif. Berbuat maksiat akan menimbulkan dosa yang pada akhirnya menjadi bintik hitam di dalam hati. Setelah bintik hitam makin banyak di hati, akhirnya orang yang berbuat maksiat itu melakukan kejahatan karena melanggar hukum positif. Adanya pelanggaran hukum positif akan menghantarkan pelakunya di penjara dalam kurun waktu tertentu. Hal yang harus kita jadikan pedoman adalah masuk penjaranya seseorang tidak otomatis bisa menghapus dosa akibat perbuatan maksiat yang telah dilakukannya dan menghapus pula perkara hisab kelak. Hal ini dikarenakan masuk penjara adalah akibat dari pelanggaran hukum positif negara sedangkan berhisab berkenaan dengan ketentuan Allah SWT selaku pemilik dan pencipta alam semesta ini. Jadi jangan pernah berharap dengan masuk penjara maka urusan kepada Allah SWT telah selesai. Jika ini yang terjadi pada diri kita maka perbanyaklah memohon ampunan kepada Allah SWT dan semoga Allah SWT memberikan ampunan atas segala maksiat, khilaf, dosa dan salah baik yang melanggar hukum positif ataupun hukum Allah SWT yang pernah kita buat.
H. BERLAKU ADIL.
Salah satu bentuk kebaikan yang harus kita laksanakan sebagai wujud dari pelaksanaan ibadah Ikhsan adalah berlaku adil, berbuat adil, menjaga keadilan, memelihara keadilan serta merawat keadilan yang ada di dalam masyarkat. Sebagaimana surat Al An’am (6) ayat 152 yang kami kemukakan berikut ini, “dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu)[519], dan penuhilah janji Allah[520]. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” Berbuat keadilan bukan hanya sebatas mengadili suatu perkara atau memutuskan suatu permasalahan secara adil semata.
[519] Maksudnya mengatakan yang sebenarnya meskipun merugikan Kerabat
sendiri.
[520] Maksudnya penuhilah segala perintah-perintah-Nya.
Membalas suatu penghormatan dengan suatu penghormatan yang lebih baik juga termasuk perbuatan adil. Hal ini termaktub di dalam surat An Nisaa ‘(4) ayat 86 berikut ini: “apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa)[327]. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” Untuk itu jika seseorang memberikan salam dengan mengucapkan “Assalamu’alaikum” maka kita harus membalas salam tersebut “Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh”. Inilah salah satu bentuk keadilan yang harus kita jadikan pedoman dalam hidup dan kehidupan. Jika semua orang yang ada di muka bumi ini mampu berbuat adil yang tidak hanya saat mengadili seseorang, alangkah indahnya hidup ini.
[327] Penghormatan dalam Islam Ialah: dengan mengucapkan Assalamu'alaikum.
Selanjutnya apakah berbuat adil hanya sebatas itu saja? Berbuat adil memiliki makna yang luas. Adil bisa bermakna berbuat sesuatu kebaikan yang sesuai dengan kebutuhan bagi penerimanya. Sebagai contoh adalah sebuah keburukan jika kita berbuat sebuah kebaikan berupa memberikan uang kepada seseorang padahal kebutuhannya utamanya adalah pendidikan atau keahlian. Sehingga hasil akhir dari pada ini adalah orang tersebut menjadi malas karena ikan yang kita berikan padahal yang terbaik adalah kail dan pancing. Disinilah letaknya kita harus bijaksana sebelum berbuat suatu kebaikan. Kebaikan baru bisa bermakna kebaikan jika dilakukan dengan cara cara yang baik. Untuk itu bersegeralah berbuat kebaikan kepada siapapun jika kita telah mengaku beriman kepada Allah SWT.
Hal ini dikarenakan bukti orang yang beriman adalah orang yang berguna dan yang bermanfaat bagi orang lain. Agar diri kita mampu berbuat adil atau bijaksana di dalam bertindak dan berbuat, kita bisa berpedoman kepada Asmaul Husna yang menjadi Nama Nama Allah SWT yang indah seperti yang kami kemukakan di bawah ini. Lalu bagaimana pedoman ini kita laksanakan? Untuk menjadi orang yang adil dan bijaksana maka kita wajib memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berpandangan luas serta memiliki wawasan yang luas. Untuk itu perhatikanlah Asma Allah SWT yang menyatakan “Al Aliem Al Hakim” (Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana). Adanya Asma Allah SWT ini menunjukkan kepada diri kita untuk menjadi orang yang adil dan bijaksana harus diimbangi dengan ilmu dan pengetahuan yang luas, tanpa itu maka kita tidak bisa menampilkan hal tersebut sebagai penampilan diri kita.
A S M A
U L H U S N A
|
1 |
Al Aliem Al Hakim |
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana |
|
2 |
Al Azis Al Hakim |
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana |
|
3 |
Al Waasi Al Hakim |
Maha Luas lagi Maha Bijaksana |
|
4 |
Al Hakam Al Hakim |
Maha Menetapkan Hukum lagi Maha
Bijaksana |
|
5 |
At Tawwaab Al Hakim |
Maha Penerima Taubat lagi Maha
Bijaksana |
|
6 |
Al Aliyy Al Hakim |
Maha Tinggi/Maha Luhur lagi Maha
Bijaksana |
|
7 |
Al Hakim Al Khoobir |
Maha Pemaaf lagi Maha Waspada |
|
8 |
Al Hakim Al Aliem |
Maha Pemaaf lagi Maha Mengetahui |
|
9 |
Al Hakim Al Hamid |
Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji |
Di lain sisi, seorang yang mampu adil dan bijaksana akan menjadikan orang tersebut menjadi orang yang terpuji, seperti Asma Allah SWT yang berbunyi “Al Hakim Al Hamid.” Seorang yang menjadi terpuji jika ia mampu berbuat adil dan bijaksana. Sekarang sudahkah kondisi ini menjadi perilaku kita saat menjadi khalifah di muka bumi ataukah kita hanya ingin dipuji saja tanpa menjadi orang yang bijaksana? Pilihan ada di tangan diri kita sendiri, bukan pada orang lain. Ingat, Allah SWT tidak akan rugi atau berkurang kebesaran dan kemahaanNya jika kita tidak mau berbuat kebaikan.
Sebagai orang orang yang akan dihisab oleh Allah SWT berdasarkan konsep keadilan apa yang sudah kita lakukan saat ini? Apa yang sudah kita perjuangkan sampai hari ini? Apa yang sudah seberapa jauh kita berbagi kepada sesama melalui harta kekayaan yang kita miliki? Kebaikan apakah yang sudah kita perbuat untuk kebaikan umat manusia? Sudah sampai mana pemahaman yang kita miliki terhadap Diinul Islam? Keburukan apakah yang sudah kita perbuat? Dan masih banyak lagi.
Allah SWT selaku Dzat Yang Maha Adil akan melaksanakan konsep keadilan sebagaimana nama namaNya yang indah lagi baik yang termaktub di dalam tabel Asmaul Husna di atas. Lalu apa yang akan Allah SWT lakukan melalui konsep keadilan saat berhisab? Inilah konsep keadilan yang akan Allah SWT laksanakan yaitu: (a) Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban kepada diri kita sesuai dengan kadar pemahaman yang kita miliki sehingga jika kita hanya mampu melaksanakan ibadah hanya sebatas pahala semata maka sebatas itu pula Allah SWT akan memperhitungkannya; (b) Allah SWT hanya akan bertindak dan berbuat kepada diri kita sesuai dengan apa yang pernah kita buat dan kita lakukan serta kita kerjakan saat hidup di muka bumi ini; (c) Allah SWT pasti akan menunjukkan keadilannya terhadap diri kita sesuai dengan niatnya serta nilai perjuangannya sehingga Allah SWT tidak berpedoman kepada jumlah (kuantitas) perbuatan seseorang melainkan berdasarkan kualitasnya.
Berdasarkan ketiga hal inilah Allah SWT akan melaksanakan keadilanNya kepada diri kita sehingga jangan pernah berharap Allah SWT akan salah di dalam melaksanakan proses berhisab sehingga Allah SWT menghisab seseorang berdasarkan perbuatan orang lain. Kondisi ini tidak akan pernah terjadi. Itulah batasan dan prinsip keadilan yang akan dilakukan oleh Allah SWT kepada seluruh umat manusia. Lalu sudahkah kita mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik dan benar untuk kepentingan hisab yang pasti akan kita hadapi.
I. BERDAKWAH DENGAN RASA KASIH SAYANG.
Salah satu bentuk kebaikan yang harus kita laksanakan sebagai wujud dari pelaksanaan ibadah Ikhsan adalah berdakwah atau menggembirakan seseorang dengan rasa kasih sayang. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Asy Syuura (42) ayat 23 yang kami kemukakan berikut ini: “Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan". dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri[1344].” Api tidak akan mungkin padam dengan Api. Api hanya akan padam dengan Air. Hal yang samapun kita harus gunakan saat diri kita berdakwah atau menyampaikan pelajaran kepada orang yang membutuhkan. Kita tidak bisa menyampaikan sesuatu yang baik dengan cara cara yang tidak baik. Hal ini dikarenakan suatu ouput tidak akan mungkin bisa dipisahkan dengan input serta proses, sebab ketiganya tidak bisa dipisahkan.
[1344] Ialah huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan sebagian dari surat-surat Al Quran seperti: Alif laam miim, Alif laam raa, Alif laam miim shaad dan sebagainya. diantara Ahli-ahli tafsir ada yang menyerahkan pengertiannya kepada Allah karena dipandang Termasuk ayat-ayat mutasyaabihaat, dan ada pula yang menafsirkannya. golongan yang menafsirkannya ada yang memandangnya sebagai nama surat, dan ada pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik perhatian Para Pendengar supaya memperhatikan AlQuran itu, dan untuk mengisyaratkan bahwa AlQuran itu diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf abjad. kalau mereka tidak percaya bahwa AlQuran diturunkan dari Allah dan hanya buatan Muhammad s.a.w. semata-mata, Maka cobalah mereka buat semacam AlQuran itu.
Setelah berlaku kasih sayang, Allah SWT masih mempertegas lagi yaitu harus menyeru manusia menuju jalan kebaikan dengan hikmah dan pelajaran yang baik pula serta bantahlah mereka denga cara cara yang baik lagi dibenarkan oleh Allah SWT serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Allah SWT berfirman: “serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan Balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu[846]. akan tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. bersabarlah (hai Muhammad) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. (surat An Nahl (16) ayat 125 s/d 128)
[845] Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat
membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
[846] Maksudnya pembalasan yang dijatuhkan atas mereka janganlah melebihi dari siksaan yang ditimpakan atas kita.
Dalam sirah Nabawiyah yang telah kita ketahui bersama, Nabi Muhammad SAW tidak pernah sekalipun berbuat kasar atau membalas kekasaran yang diterimanya dengan kekasaran. Nabi Muhammad SAW tidak pernah pula berkata kasar lagi menyakitkan hati. Nabi Muhammad SAW selalu sabar di dalam menghadapi umatnya yang tidak senang kepadanya. Nabi Muhammad SAW selalu berperilaku dan berakhlak mulia sehingga dengan perilaku dan akhlak mulia yang menjadi perilaku Nabi Muhammad SAW lah banyak orang orang memeluk Agama Islam. Sekarang apakah kita yang telah mengakui dan telah menyatakan bersyahadat justru berperilaku yang tidak sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW?
Sekarang mari kita perhatikan apa yang dikemukakan dalam surat Fushshilat (41) ayat 34 berikut ini: “dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” dikemukakan bahwa tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan (keburukan). Untuk itu tolaklah kejahatan (keburukan) bukan dengan jalan kejahatan (keburukan). Namun tolaklah dengan kebaikan karena api tidak akan mungkin padam dengan api melainkan hanya dengan air lah api padam. Kondisi inilah yang dilakukan dan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada diri kita, lalu sudahkah kita berbuat seperti apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW? Jika belum berarti ada sesuatu yang salah di dalam diri kita. “Kejahatan yang dibalas dengan kejahatan adalah akhlak ular. Kebajikan yang dibalas dengan kejahatan adalah akhlak buaya. Kebajikan yang dibalas dengan kebajikan adalah akhlak anjing. Kejahatan yang dibalas dengan kebajikan adalah akhlak manusia yang bertaqwa.”
Allah SWT adalah tuan rumah karena Allah SWTlah yang menciptakan dan yang memiliki langit dan bumi ini. Sedangkan diri kita termasuk seluruh manusia hanyalah tamu atau orang yang menumpang di langit dan di muka bumi ini. Sebagai tamu, sebagai orang yang menumpang, tentu kita harus tahu batasan batasan yang tidak boleh kita langgar saat hidup di muka bumi ini. Sebagai tamu, sebagai orang yang menumpang kita harus melaksanakan segala hukum, peraturan, undang undang, ketentuan yang telah ditentukan oleh tuan rumah dan selalu berbuat agar tuan rumah senang kepada tamunya sehingga dapat dibanggakan oleh tuan rumah.
Hal yang harus kita hindari adalah sesama tamu, sesama orang yang menumpang justru saling caci maki, membuat gaduh diantara sesama tamu dan orang yang menumpang dengan menyatakan bahwa ia lebih baik dibandingkan dengan yang lain. Bahkan berani menilai dan berani menghakimi sesama tamu dengan sebutan kafir dan munafik yang bukan domain sesama tamu atau bahkan membuat peraturan baru di langit dan di bumi yang tidak pernah mereka ciptakan.
Jika ini yang terjadi maka terjadilah apa yang dinamakan tamu yang tidak tahu diri karena berani mengambil hak tuan rumah dengan berani menilai tamu yang lainnya. Jika kita termasuk tamu yang tahu diri, maka jangan pernah mengambil hak Allah SWT karena baik dan buruknya tamu atau orang yang menumpang bukan ditentukan oleh tamu melainkan oleh Tuan Rumah. Sekarang ayo menjadi tamu yang dibanggakan Tuan Rumah dengan selalu berbuat yang menyenangkan Tuan Rumah yang dilanjutkan untuk selalu menghormati sesama tamu tanpa memandang latar belakang tamu itu siapa. Akhirnya kita mampu membuat Allah SWT tersenyum bangga kepada diri kita sepanjang hayat masih di kandung badan.
J. BAIK BURUK ADALAH UNTUK UJIAN.
Salah satu bentuk kebaikan yang harus kita laksanakan sebagai wujud dari pelaksanaan ibadah Ikhsan adalah baik dan buruk adalah ujian dari Allah SWT sehingga setiap manusia tanpa terkecuali akan diuji dalam hidup dan kehidupannya, sebagaimana dikemukakan dalam surat Al A’raaf (7) ayat 168 berikut ini: “dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” Adanya ujian yang diberikan oleh Allah SWT kepada diri kita, maka terjadilah apa yang dinamakan dengan seleksi alamiah secara adil sehingga akan diketahui siapa yang lebih baik amalnya dibandingkan dengan yang lainnya.
Semakin baik amalnya semakin baik hasilnya, semakin buruk amalnya semakin buruk hasilnya. Ingat, tidak sama antara yang buruk dengan yang baik sehingga tidak sama pula syurga dengan neraka. Kondisi ini dipertegas oleh Allah SWT di dalam surat Al Mulk (67) ayat 2 berikut ini: “yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” di atas dan juga dipertegas surat Huud (11) ayat 7 berikut ini: “dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya[711], dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini[712] tidak lain hanyalah sihir yang nyata".
[711] Maksudnya: Allah menjadikan langit dan bumi untuk tempat berdiam
makhluk-Nya serta tempat berusaha dan beramal, agar nyata di antara mereka
siapa yang taat dan patuh kepada Allah.
[712] Maksud mereka mengatakan bahwa kebangkitan nanti sama dengan sihir ialah kebangkitan itu tidak ada sebagaimana sihir itu adalah khayalan belaka. menurut sebagian ahli tafsir yang dimaksud dengan kata ini ialah Al Quran ada pula yang menafsirkan dengan hari berbangkit.
Allah SWT menetapkan adanya ujian atau
akan menguji siapapun juga tanpa terkecuali. Hal yang harus kita jadikan
pedoman tentang adanya ujian berarti akan adanya peningkatan status seseorang.
Semakin tinggi status seseorang maka semakin berat ujiannya. Ingat, syurga ada
tujuh lapis dan neraka juga ada tujuh lapis, sehingga syarat dan ketentuan
untuk masuk syurga dan neraka pasti berbeda beda pula, sebagaiman firmanNya
berikut ini: “Sesungguhnya
Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami
menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (surat Al
Kahfi (18) ayat 7). Adanya
hasil baik dan adanya hasil buruk adalah sunnatullah yang sudah berlaku di muka
bumi ini. Allah SWT telah menetapkan adanya sunnatullah lalu menyerahkan kepada
diri kita untuk memilih apa apa yang baik dan apa apa yang buruk. Allah SWT
sangat demokratis kepada diri kita. Allah SWT memberikan kebebasan memilih lalu
berbuatlah dengan pilihan dimaksud lalu bersiaplah menerima akibatnya jika kita
salah di dalam memilih pilihan karena resiko tanggung sendiri.
Sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah Allah SWT di muka bumi tentunya kita harus paham dan mengerti dengan sebaik baiknya ketentuan sunnatullah ini, jangan sampai sesal di kemudian hari akibat kebodohan diri kita yang tidak mau belajar dan memahami apa apa yang dikehendaki Allah SWT terutama di dalam melaksanakan ibadah Ikhsan. Untuk itu, berfikirlah sebelum bertindak, berbuat baiklah jika ingin menikmati kebaikan. Ingat, tidak akan ada keburukan yang akan menghasilkan kebaikan. Kebaikan hanya akan dapat dirasakan jika kita berbuat kebaikan. Kebaikanlah yang akan mendatangkan kebaikan selanjutnya kebaikan inilah yang menjadikan diri kita bernilai dihadapan Allah SWT.
K. SABAR DAN TAWAKKAL.
Salah satu bentuk kebaikan yang harus kita laksanakan sebagai wujud dari pelaksanaan ibadah Ikhsan adalah “kesabaran yang diikuti dengan perbuatan” dan juga “ketaqwaan yang diikuti dengan kesabaran”, sebagaimana ketentuan dalam surat Huud (11) ayat 115“dan bersabarlah, karena Sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.” dan juga berdasarkan surat Yusuf (12) ayat 90 yang kami kemukakan di bawah ini, “mereka berkata: "Apakah kamu ini benar-benar Yusuf?". Yusuf menjawab: "Akulah Yusuf dan ini saudaraku. Sesungguhnya Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami". Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik." Adanya ketentuan ini maka kita diwajibkan untuk memiliki hujjah tentang kesebaran yaitu kesabaran atau sabar tidak akan menghasilkan sesuatu jika tanpa diiringi dengan perbuatan, demikian pula suatu perbuatan ataupun aktivitas tertentu tidak akan berhasil jika tanpa adanya kesabaran. Jika kita hanya sabar di dalam menghadapi sesuatu persoalan, maka persoalan yang kita hadapi tidak akan bisa dipecahkan.Kesabaran memang dibutuhkan untuk menyelesaikan sesuatu namun kesabaran bukanlah cara untuk menyelesaikan sesuatu persoalan.
Kesabaran adalah proses untuk menyelesaikan sesuatu persoalan yang diikuti dengan aktivitas untuk berbuat sesuatu, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya[560] yang telah Kami beri berkah padanya. dan telah sempurnalah Perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir'aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka[561]. (surat Al A’raaf (7) ayat 137)
[560] Maksudnya: negeri Syam dan Mesir dan negeri-negeri sekitar
keduanya yang pernah dikuasai Fir'aun dahulu. sesudah kerjaan Fir'aun runtuh,
negeri-negeri ini diwarisi oleh Bani Israil.
[561] Yang dimaksud dengan Bangunan-bangunan Fir'aun yang dihancurkan
oleh Allah ialah Bangunan-bangunan yang didirikan mereka dengan menindas Bani
Israil, seperti kota Ramses; menara yang diperintahkan Hamaan mendirikannya dan
sebagainya.
Katakan kita memiliki persoalan belajar lalu kita hanya sabar menunggu untuk diberi pelajaran, maka hal ini tidak akan menyelesaikan masalah belajar. Cari guru, cari sekolah lalu belajar dengan kesabaran tertentu maka barulah persoalan belajar teratasi. Hal yang samapun berlaku dengan apa yang kita hadapi saat menjadi khalifah di muka bumi, kita tidak bisa hanya diam dalam kesabaran untuk mendapat pertolongan Allah SWT tanpa pernah berbuat sesuatu seperti bekerja dan berdoa.
Sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah Allah SWT di muka bumi, tentunya kita harus bisa meletakkan dan menempatkan sabar dan tawakkal dalam posisinya masing masing. Hal ini dikarenakan keduanya tidak bisa dipisahkan saat diri kita melaksanakan tugas di muka bumi. Dalam kondisi tertentu kesabaran dibutuhkan terlebih dahulu yang dilanjutkkan dengan tawakkal dalam perbuatan, dan dilain sisi tawakkal dalam perbuatan dalam kondisi tertentu bisa saja terlebih dahulu kita lakukan lalu diikuti dengan kesabaran. Keduanya harus berjalan seiring dan sejalan. Tawakkal dalam perbuatan tidak ada gunanya tanpa ada kesabaran, demikian pula kesabaran tanpa diiringi dengan tawakkal dalam perbuatan tidak akan berhasil guna.
Agar sabar/kesabaran sebagai salah bentuk kebaikan bagi diri kita ketahuilah bahwa sabar itu adalah ilmu tingkat tinggi. Belajarnya setiap hari. Latihannya setiap saat. Ujiannya pun tak pernah kita tahu kapan. Bahkan seringkali mendadak. Sang pengujinya pun bisa siapa saja.Mulai dari keluarga yang kita kenal sampai orang yang belum kita kenal sekalipun. Bahkan ada diantaranya yang baru kita temui pertama kali seumur hidup. Lama sekolahnya pun tidak tanggung tanggung seumur hidup. Namun kita tidak usah bersedih hati karena ketika lulus dari ujian kesabaran, hadiahnya adalah kebahagiaan dan keselamatan serta kemenangan dalam hidup di dunia dan akhirat kelak sebagaimana dua buah firmanNya berikut ini:
Allah SWT berfirman: “apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. dan Sesungguhnya Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (surat An Nahl (16) ayat 96)
Allah SWT berfirman: “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu". orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (surat Az Zumar (39) ayat 10)
Sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi ketahuilah bahwa jika kita berbicara tentang sabar maka kita harus berbicara tentang Allah SWT yang memiliki nama Ash Shabur. Ash Shabur adalah salah satu Af’al atau perbuatan Allah SWT yang termaktub dalam nama nama Allah SWT yang indah lagi baik. Menurut bahasa, sabar berasal dari kata benda “Shabr” artinya: menahan diri untuk tidak mengungkapkan kesedihan atau dukacitanya. Ash Shabur adalah Yang Maha Sabar, Yang kesabaranNya jauh lebih besar dibanding siapapun. Ash Shabur, Allah SWT adalah Maha Pemurah, Yang tidak mengejutkan orang orang yang durhaka kepadaNya dengan tiba tiba menghukum mereka. Dia justru memberikan maaf dan menangguhkan pelaksanaan hukuman. Ash Shabur tidak pernah tergesa gesa, Dia mengelola urusan berdasarkan perhitungan tertentu. Dia menangani urusan berdasarkan rencanaNya yang jelas. Dia tidak memundurkan dan tidak memajukan sesuatu. Dia justru melakukan sesuatu pada waktunya, dengan sebaik baiknya, seperti yang semestinya.
Semua ini Allah SWT lakukan tanpa sedikitpun menghadapi kesulitan yang dapat merintangi kehendakNya. Ash Shabur tetap memberimu sekalipun kamu bersikap kurang ajar kepadaNya. Dia memaafkan meskipun kamu menjauh dari Nya dan durhaka kepadaNya. Ash Shabur tidak buru buru menghukum orang orang yang durhaka kepadaNya atau orang orang yang berdosa. Allah SWT tak akan melakukan sesuatu, kecuali bila menurut kearifanNya, kemuliaanNya dan keagunganNya, sudah tepat. Dan Allah SWT tidak dirugikan sedikitpun oleh orang orang yang berbuat dosa.sebagaimana firmanNya berikut ini: “dan kalau Sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun[1262] akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; Maka apabila datang ajal mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. (surat Faathir (35 ayat 45)
[1262] Daabbah artinya ialah makhluk yang melata. tetapi yang dimaksud di sini ialah manusia.
Ash Shabur memberikan perintah dan kelonggaran kepada hamba hambaNya yang diperintahNya. Kalau melakukan apa saja, selalu pada waktunya, dan tidak pernah gegabah. PerintahNya selalu didasarkan pada perhitungan tertentu. Allah SWT menangguhkan pemberian hukuman, bahkan setelah sudah waktunya hukuman itu dijatuhkan. Ash Shabur mendorong makhluk makhlukNya untuk sabar dan tabah. Makna sifat Ash Shabur sangat dekat dengan makna sifat Al Halim. Perbedaan antara Ash Shabur dan Al Halim adalah, kalau terhadap Ash Shabur tidak ada yang merasa aman dari hukumanNya. Dan agar sifat sabar yang sudah ada di dalam diri selalu tumbuh dari waktu ke waktu, makin berkualitas dari waktu ke waktu, ada baiknya kita mempelajari ilmu tentang sabar secara lebih mendalam lagi, sebagaimana berikut ini:
1. Apa itu Sabar/Kesabaran. Sekarang mari kita bahas tentang sabar/kesabaran yang dilihat dari dua sisi, yaitu:
a. Sabar dari Sisi Allah SWT. Ash Shabar (Yang Maha Sabar) adalah salah satu dari af’al Allah SWT yang tertuang dalam nama nama Allah SWT Yang Indah (Asmaul Husna). Jika kita melihat tata urutan Nama Nama Allah SWT Yang Indah dimulai dari Ar Rahman, Ar Rahiem yang diakhiri dengan Ash Shabur. Posisi Ash Shabur berada di posisi ke 99 (sembilan puluh sembilan), posisi paling atas dibandingkan dengan yang lainnya. Adanya posisi af’al Ash Shabur yang dimiliki Allah SWT yang berada paling atas, menunjukkan Allah SWT sangat sayang kepada diri kita. Allah SWT masih memberikan kesempatan ke dua bagi diri kita untuk berbuat kebaikan dan kebaikan atau membuat diri kita menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Allah SWT tidak berkehendak kepada diri kita untuk tetap dalam keburukan karena Allah SWT masih menunda keputusan akhir atau belum melaksanakan keputusan akhirnya kepada diri kita. Apakah hal ini akan kita sia siakan begitu saja berlalu tanpa kesan. Sekarang coba bayangkan jika sampai Allah SWT terburu buru, tergesa gesa untuk melaksanakan ketetapan yang berlaku bagi diri kita maka tamatlah diri kita. Hilang sudah visi akhirat yang kita cita citakan, sia sia karya nyata di dunia, akhirnya kita masuk neraka.
Sekarang Allah SWT sudah menyatakan bahwa Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang serta Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, lalu bagaimana mungkin Allah SWT bisa merealisasikan ke dua hal tersebut jika Allah SWT tidak memiliki Af’al Ash Shabur sehingga Allah SWT terburu buru untuk merealisasikan keputusanNya? Disinilah Allah SWT menunjukkan kebesaran yang sesuai dengan kemahaan yang dimilikiNya, yaitu Allah SWT mampu mengasihi dan menyayangi, Allah SWT mampu mengampuni lagi maha menyayangi, dikarenakan Allah SWT tidak tergesa gesa dalam merealisasikan keputusan yang menjadi hak mutlakNya. Sehingga manusia masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri sebelum akhirnya ketentuan itu diberlakukan oleh Allah SWT.
b. Sabar dari Sisi Manusia. Sifat sabar adalah fitrah manusia. Hal ini dikarenakan sifat sabar merupakan sifat yang melekat pada setiap Ruh/Ruhani manusia melalui proses shibghah sehingga setiap Ruh/Ruhani harus mencerminkan sifat sabar atau kesabaran harus menjadi perilaku Ruh/Ruhani di dalam mengarungi hidup dan kehidupan. Jika tidak berarti ada sesuatu yang salah dengan Ruh/Ruhani, dikarenakan kondisinya sudah tidak fitrah lagi atau kalah karena dipengaruhi oleh ahwa (hawa nafsu) dan syaitan. Sekarang mari kita perhatikan sifat sabar yang dimiliki oleh diri kita, yang mana sifat sabar harus kita jadikan perilaku diri kita yang sesungguhnya. Agar sifat sabar dalam diri tetap ada dan tetap dalam kondisi fitrahnya mari kita perhatikan hal hal sebagai berikut:
(1) Bayangkan jika kita tidak memiliki sifat sabar, apa yang bisa kita lakukan saat menghadapi ahwa (hawa nafsu) dan syaitan yang begitu sabar, konsisten, tanpa pernah menyerah kalah untuk mengalahkan diri kita? Sabar adalah senjata rahasia yang diberikan Allah SWT untuk menghadapi ahwa (hawa nafsu) dan syaitan yang dengan penuh kesabaran menunggu kita lengah untuk ditipu, digelincirkan, dipengaruhi untuk keluar dari kehendak Allah SWT. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim al Jauziyah, “syaitan selalu mengitari seseorang hamba untuk mengetahui lewat jalan mana ia dapat masuk ke dalam hatinya. Biasanya ia menemukan jalan masuk hanya melalui hawa nafsunya. Maka dari itu, orang yang menentang hawa nafsunya berarti ia telah membuat syaitan berputus asa terhadapnya”.
(2) Pernahkah terbayang oleh diri kita sewaktu hidup berumah tangga tanpa dibarengi dengan kesabaran, apa yang terjadi pada rumah tangga kita? Sabar adalah kekuatan yang tersembunyi di dalam diri manusia untuk menghadapi sesuatu hal yang tidak mengenakkan sewaktu kita hidup berumah tangga.
(3) Sewaktu kita hidup bermasyarakat, berinteraksi dengan masyarakat, tentu kita akan menghadapi masyarakat dengan karakter berbeda beda, lalu jika sampai kita tidak memiliki kesabaran, maka terjadilah apa yang dinamakan kegaduhan. Sabar adalah obat atau kekuatan dalam diri untuk menghilangkan ego sehingga terciptalah hidup rukun, aman, damai dan bersahaja dalam perbedaan.
(4) Sabar adalah energi positif untuk bangkit dari bencana, ujian, cobaan yang kita hadapi sehingga kita mampu keluar dari itu semua dalam kondisi sehat, semangat dan siap untuk kembali hidup normal. Bayangkan jika sabar atau kesabaran tidak kita miliki saat bencana alam terjadi, lalu apa yang bisa kita perbuat? Semua kacau balau, semua mementingkan diri, keluarga, anak dan keturunan semata, tanpa mengindahkan orang lain yang juga membutuhkan bantuan, kondisi inilah yang paling disukai syaitan.
Selanjutnya mari kita perhatikan dengan seksama 5 (lima) buah ayat AlQuran yang sangat berhubungan erat dengan sifat sabar/kesabaran sebagaimana berikut ini:
(1) Allah SWT berfirman: “tetapi orang yang bersabar dan mema'afkan, Sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diutamakan. (surat Asy Syuura (42) ayat 43)
(2) Allah SWT berfirman: dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (surat Ali Imran (3) ayat 146)
(3) Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung. (surat Ali Imran (3) ayat 200)
(4) Allah SWT berfirman: “dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (surat Al Anfaal (8) ayat 46)
(5) Allah SWT berfirman: “dan bersabarlah kamu, Sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu. (surat Ar Ruum (30) ayat 60).
Berdasarkan 5 (lima) buah firman Allah SWT yang kami kemukakan di atas, tidak terlihat sedikitpun keburukan dari sifat sabar (kesabaran) yang kita lakukan saat hidup di muka bumi ini. Sabar adalah ibadah yang diutamakan. Sabar adalah ibadah yang mulia. Allah SWT menyukai orang yang sabar. Allah SWT beserta orang yang sabar. Orang yang sabar adalah orang yang beruntung atau yang akan memperoleh keuntungan yang besar. Orang yang sabar hatinya tenang lagi menyenangkan orang lain. Semoga kita mampu menjadi orang yang sabar yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Amiin.
2. Dalam Hal Apa Kita Harus Sabar. Sabar berdasarkan definisi umum diartikan sebagai suatu sikap menahan emosi dari keinginan, serta bertahan dalam situasi sulit dengan tidak mengeluh. Sabar merupakan kemampuan untuk mengendalikan diri yang juga dipandang sebagai sikap yang mempunyai nilai tinggi dan mencerminkan kekokohan jiwa orang yang memilikinya. Semakin tinggi kesabaran seseorang maka semakin kokoh ia dalam menghadapi segala macam masalah yang terjadi dalam kehidupan. Sabar juga sering dikatakan sebagai tingkah laku positif yang ditonjolkan oleh seseorang. Lalu dalam hal apakah kita harus sabar?
a. Sikap sabar harus kita lakukan saat
diri kita mencari keridhaan Allah SWT, saat diri kita mendirikan shalat, atau
saat melaksanakan perintah Allah SWT, saat menafkahkan atau saat membelanjakan
sebahagian rezeki dijalan Allah Swt seperti saat berinfaq, saat bersedekah,
atau saat membuat karya nyata untuk merealisasikan visi akhirat dan juga saat
menolak kejahatan dengan kebaikan, sebagaimana dikemukakan dalam surat Ar Rad
(13) ayat 22 berikut ini: “dan orang-orang yang sabar karena mencari
keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami
berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak
kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan
(yang baik).”
b. Sikap sabar juga harus kita tunjukkan saat mendirikan shalat, saat menyuruh orang lain mengerjakan perbuatan yang baik, saat mencegah perbuatan mungkar serta saat diri kita tertimpa musibah ataupun bencana, sebagaimana termaktub dalam surat Luqman (31) ayat 17 yang kami kemukakan berikut ini: “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”.
c. Kesabaran juga sangat dibutuhkan saat diri kita mengalami ujian dan cobaan yang berasal dari Allah SWT berupa sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah buahan (makanan dan minuman) sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Baqarah (2) ayat 155, 156, 157 berikut ini: “dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"[101]. mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (surat Al Baqarah (2) ayat 155,156,157).
[101] Artinya: Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali. kalimat ini dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah). Disunatkan menyebutnya waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil.
d. Sikap sabar juga sangat dibutuhkan saat ditimpa musibah, atau ditimpa atau menderita sakit (penyakit), ataupun saat mengalami problem rumah tangga, seperti yang dialami oleh Nabi Ayyub as, sebagaimana dikemukakan dalam surat Shaad (38) ayat 44 berikut ini: “dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), Maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati Dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah Sebaik-baik hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat (kepada Tuhan-nya)[1303].”
[1303] Nabi Ayyub a.s. menderita penyakit kulit beberapa waktu lamanya dan Dia memohon pertolongan kepada Allah s.w.t. Allah kemudian memperkenankan doanya dan memerintahkan agar Dia menghentakkan kakinya ke bumi. Ayyub mentaati perintah itu Maka keluarlah air dari bekas kakinya atas petunjuk Allah, Ayyub pun mandi dan minum dari air itu, sehingga sembuhlah Dia dari penyakitnya dan Dia dapat berkumpul kembali dengan keluarganya. Maka mereka kemudia berkembang biak sampai jumlah mereka dua kali lipat dari jumlah sebelumnya. pada suatu ketika Ayyub teringat akan sumpahnya, bahwa Dia akan memukul isterinya bilamana sakitnya sembuh disebabkan isterinya pernah lalai mengurusinya sewaktu Dia masih sakit. akan tetapi timbul dalam hatinya rasa hiba dan sayang kepada isterinya sehingga Dia tidak dapat memenuhi sumpahnya. oleh sebab itu turunlah perintah Allah seperti yang tercantum dalam ayat 44 di atas, agar Dia dapat memenuhi sumpahnya dengan tidak menyakiti isterinya Yaitu memukulnya dengan dengan seikat rumput.
e. Kita juga wajib memiliki sifat sabar saat diri kita memohon pertolongan, memohon ampunan, memohon perlindungan kepada Allah SWT, sebagaimana dikemukakan dalam surat Al A’raaf (7) ayat 128 berikut ini: “Musa berkata kepada kaumnya: "Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa."
f. Sifat sabar sangat diperlukan saat
diri kita melakukan dakwah atau saat menyampaikan risalah Allah SWT kepada
pihak ke tiga dengan berlaku sabar atas apa yang mereka katakan, termasuk di
dalamnya saat diri kita belajar untuk meningkatkan kemampuan diri kita,atau
untuk menjadikan diri kita menjadi lebih baik melalui proses belajar. Hal ini
sebagaimana dikemukakan dalam surat Shaad (38) ayat 17 berikut ini: “bersabarlah
atas segala apa yang mereka katakan; dan ingatlah hamba Kami Daud yang
mempunyai kekuatan; Sesungguhnya Dia Amat taat (kepada Tuhan).”
g. Kesabaran juga harus kita miliki saat diri kita melaksanakan urusan rumah tangga yang serba kekurangan atau saat mengalami cobaan hidup, termasuk di dalamnya persoalan pekerjaan, persoalan rumah tangga, persoalan anak dan lain sebagainya. Sebagaimana dikemukakan dalam surat An Nisaa’ (4) ayat 25 berikut ini: “dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain[285], karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (surat An Nisaa’ (4) ayat 25).
[285] Maksudnya: orang merdeka dan budak yang dikawininya itu adalah sama-sama keturunan Adam dan hawa dan sama-sama beriman.
h. Kesabaran sangat dibutuhkan saat diri kita menghadapi/memerangi musuh (dalam hal ini syaitan) yang tidak pernah menyerah untuk menggoda, mengganggu atau mengalihkan perhatian kita. Untuk itu kita diperkenankan oleh Allah SWT untuk memperbanyak dzikir dan doa untuk menghadapinya. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Anfaal (8) ayat 45, 46 berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), Maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Itulah 8 (delapan) keadaan yang mengharuskan diri kita harus memiliki sifat sabar dan berperilaku sabar.
3. Untuk Apa Sifat Sabar Bagi Diri Kita. Sekarang mari kita bahas tentang untuk apa kita harus bersabar saat hidup di muka bumi. Jika kita mengacu bahwa sifat sabar sudah menjadi sifat ruh diri kita berarti sifat sabar harus menjadi perilaku diri kita. Dan ini berarti ada sesuatu yang luar biasa jika kita mampu sabar. Lalu untuk apakah sifat sabar itu? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa tujuan utama dari kita bersabar, yaitu:
a. Salah satu tujuan dari kita mampu sabar yaitu agar kita menjadi ahli ahli syurga yang bermartabat tinggi serta disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat saat memasuki syurga. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Furqaan (25) ayat 75 dan 76 berikut ini: “mereka Itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang Tinggi (dalam syurga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan Ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. syurga itu Sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman.”
b. Orang yang mampu sabar akan diberikan oleh Allah SWT kebaikan hidup di dunia atau Allah SWT akan memberikan tempat, kedudukan, posisi tang bagus kepada orang yang mampu bersabar dan bertawakkal hanya kepada Allah SWT semata. Hal ini berdasarkan surat An Nahl (16) ayat 41 dan 42 berikut ini: “dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. dan Sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal.”
c. Sikap sabar yang diikuti dengan shalat yang dilandasi keimanan akan dapat menghantarkan diri kita ditolong oleh Allah SWT. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Allah SWT beserta atau bersama dengan orang orang yang sabar. Ingat, sabar dan shalat, bukan shalat tetapi tidak sabar atau sabar tetapi tidak shalat. Hal ini berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 45 dan ayat 153 yang kami kemukakan di bawah ini, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (surat Al Baqarah (2) ayat 45); Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (surat Al Baqarah (2) ayat 153).”
d. Tujuan lain dari kita mampu bersabar yang diiringi dengan ketakwaan, untuk menolak tipu daya yang ditujukan kepada diri kita sehingga kita terhindar dari kemudharatan yang bersumber dari tipu daya tersebut. Ingat, gangguan yang kita hadapi tidak hanya dari manusia semata, namun juga ada yang berasal dari jin serta manusia yang sudah berubah wujud menjadi jin. Hal ini berdasarkan surat Ali Imran (3) ayat 120 berikut ini: “Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.”
e. Orang yang bersabar yang diiringi dengan mengerjakan amal amal yang shaleh akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar dari Allah SWT. Hal ini berdasarkan surat Huud (11) ayat 11 berikut ini: “kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.”
f. Tujuan berikutnya dari berperilaku sabar yang diikuti dengan menolak kejahatan dengan kebaikan akan memperoleh balasan dari Allah SWT dua kali lipat. Hal ini berdasarkan surat Al Qashash (28) ayat 54 berikut ini: “mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka, mereka nafkahkan.”
g. Orang orang yang sabar dalam kesempitan yang diikuti tetap teguh di dalam keimanan (tetap dalam hidup yang berkeseimbangan) itulah bukti dari orang orang yang bertaqwa (bukti taqwa). Hal ini berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 177 berikut ini: “bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.”
Itulah tujuh buah tujuan untuk apa kita sabar dalam hidup dan kehidupan kita saat ini, lalu sudahkah kita mampu merasakan buah dari kesabaran yang telah kita lakukan? Semoga kita mampu merasakan buah dari kesabaran yang kita lakukan dari waktu ke waktu. Amien.
3. Penyebab Diri Ini Tidak Mampu Sabar. Setelah diri kita tahu dan paham tentang untuk apa kita harus sabar saat hidup di dunia ini, sekarang kita harus tahu pula penyebab kita tidak mampu untuk sabar dalam kehidupan ini, yaitu:
a. Hal yang menyebabkan kita tidak mampu untuk bersabar adalah tidak merasa puas dalam hidup atau tidak mau bersyukur terhadap apa yang telah kita miliki. Sehingga mementingkan diri sendiri, keluarga, kelompok tertentu menjadi dominan tanpa mengindahkan orang lain yang berbeda pemahaman. Hal ini dikemukakan dalam surat Al Baqarah (2) ayat 61 berikut ini: “dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, Kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah untuk Kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi Kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, Yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya". Musa berkata: "Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik ? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta". lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi yang memang tidak dibenarkan. demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.”
b. Ketidaksabaran dalam diri timbul karena diri kita mengharapkan perhiasaan dunia; karena memperturutkan ahwa (hawa nafsu); serta dipengaruhi oleh orang orang yang telah dilalaikan dari mengingat Allah SWT. Hal ini Berdasarkan surat Al Kahfi (18) ayat 28 berikut ini: “dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (surat Al Kahfi (18) ayat 28).”
c. Ketidaksabaran dalam diri timbul karena adanya sikap egois, individualism serta tidak ingat akan kekuasaan Allah SWT sehingga hidup dalam kesombongan, tanpa bisa memandang adanya perbedaan karakter, budaya yang berbeda beda di tengah tengah heterogenitas. Hal ini berdasarkan surat Al Balad (90) ayat 1 sampai 7 berikut ini:“aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah), dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Mekah ini,dan demi bapak dan anaknya.Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.Apakah manusia itu menyangka bahwa sekali-kali tiada seorangpun yang berkuasa atasnya? dan mengatakan: "Aku telah menghabiskan harta yang banyak". Apakah Dia menyangka bahwa tiada seorangpun yang melihatnya?”.
d. Salah satu penyebab yang menyebabkan diri kita tidak mampu sabar (tidak memiliki kesabaran) dikarenakan tertipu bujuk dan rayuan syaitan sang laknatullah. Hal ini berdasarkan surat Ibrahim (14) ayat 22 berikut ini: “dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: "Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu". Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih.”
e. Ketidaksabaran timbul dalam diri dikarenakan kita ingin mencapai sesuatu cepat tercapai/cepat terpenuhi tanpa harus menunggu waktu yang lama (tidak mau berlama lama untuk mencapai tujuan). Hal ini berdasarkan surat Al Qalam (68) ayat 44 sampai 48 berikut ini: “Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan Perkataan ini (Al Quran). nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, dan aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku Amat tangguh. Apakah kamu meminta upah kepada mereka, lalu mereka diberati dengan hutang? ataukah ada pada mereka ilmu tentang yang ghaib lalu mereka menulis (padanya apa yang mereka tetapkan)?Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang yang berada dalam (perut) ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam Keadaan marah (kepada kaumnya).”
f. Ketidaksabaran dalam diri kita timbul karena sikap sombong dengan apa apa yang telah dimilikinya seperti harta, jabatan, pangkat, kedudukan, sehingga hidup dalam kemaksiatan, termasuk di dalamnya merasa pintar, merasa terhormat, dan lain sebagainya sehingga orang lain dianggap kecil dan tidak ada apa apanya dibandingkan dengan dirinya. Hal ini berdasarkan surat Al Mu’min (40) ayat 75,76,77 berikut ini: “yang demikian itu disebabkan karena kamu bersuka ria di muka bumi dengan tidak benar dan karena kamu selalu bersuka ria (dalam kemaksiatan). Dikatakan kepada mereka): "Masuklah kamu ke pintu-pintu neraka Jahannam, sedang kamu kekal di dalamnya. Maka Itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong ". Maka bersabarlah kamu, Sesungguhnya janji Allah adalah benar; Maka meskipun Kami perlihatkan kepadamu sebagian siksa yang Kami ancamkan kepada mereka ataupun Kami wafatkan kamu (sebelum ajal menimpa mereka), Namun kepada Kami sajalah mereka dikembalikan.”
4. Sabar Hanya Bisa Dilakukan Dengan.. Agar diri kita selalu mampu sabar dalam hidup dan kehidupan ini, ketahuilah sabar/kesabaran tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus diiringi dengan hal hal sebagai berikut:
a. Sikap sabar atau kesabaran harus diiringi dengan ilmu yang cukup dikarenakan dengan ilmu inilah kita tahu cara sabar yang dikehendaki Allah SWT, untuk apa kita bersabar, apa yang akan kita raih dan rasakan dari sabar serta tahu atau paham harus bagaimana keluar dari ketidaksabaran yang terjadi pada diri kita. Hal ini berdasarkan surat Al Kahfi (18) ayat 67 dan 68 berikut ini: “Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku.dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" serta berdasarkan surat Al Kahfi (18) ayat 82 berikut ini: “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".
b. Kesabaran yang kita miliki juga harus diiringi dengan mentaati ketetapan, ketentuan, aturan, hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dengan tidak mengabaikan hukum positif yang berlaku. Dengan kata lain, orang yang sabar harus melaksanakan hukum yang berasal dari Allah SWT dan juga hukum positif yang berlaku di suatu negeri. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Insaan (76) ayat 24,25,26 berikut ini: “Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antar mereka.dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang.dan pada sebagian dari malam, Maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari.”.
c. Saat diri kita sabar maka kita harus mengingat bahwa dibalik kesabaran yang kita lakukan ada ganjaran yang siap diberikan Allah SWTkepada diri kita lalu jadikan hal ini sebagai memotivasi diri untuk mencapai hasil atau merasakan buah dari kesabaran. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Qashash (28) ayat 80 berikut ini: “berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar".
d. Saat diri kita bersabar maka kita harus tetap melaksanakan ibadah yang sesuai dengan kehendak Allah SWT (melaksanakan Diinul Islam secara kaffah) yang diiringi dengan komitmen untuk tidak tergoda akan kehidupan dunia. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Thaahaa (20) ayat 130, 131, 132 berikut ini: “Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang, dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal. dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”
e. Kesabaran baru akan berbuah kebahagiaan sepanjang diri kita yang bersabar mengiringi kesabaran dengan menyerahkan diri kita kepada Allah SWT semata. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Hajj (22) ayat 34, 35 berikut ini: “dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah), (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka.”
f. Kesabaran tidak akan bisa berbuah kemenangan tanpa ada pertolongan dari Allah SWT melalui doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT. Ini berarti sabar harus diiringi dengan doa dan permohonan kepada Allah SWT. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Baqarah (2) ayat 250 berikut ini: “tatkala Jalut dan tentaranya telah nampak oleh mereka, merekapun (Thalut dan tentaranya) berdoa: "Ya Tuhan Kami, tuangkanlah kesabaran atas diri Kami, dan kokohkanlah pendirian Kami dan tolonglah Kami terhadap orang-orang kafir." dan berdasarkan surat An Nahl (16) ayat 127 yang kami kemukakan berikut ini: “bersabarlah (hai Muhammad) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.”
g. Kesabaran yang kita laksanakan harus diiringi dengan menjauhkan diri dari orang orang yang suka berdusta dengan cara yang baik. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Muzzammil (73) ayat 10,11,12,13 berikut ini: “dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik. dan biarkanlah aku (saja) bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, orang-orang yang mempunyai kemewahan dan beri tangguhlah mereka barang sebentar.karena Sesungguhnya pada sisi Kami ada belenggu-belenggu yang berat dan neraka yang menyala-nyala.dan makanan yang menyumbat di kerongkongan dan azab yang pedih.”
h. Saat diri kita melakukan kesabaran maka pada saat yang bersamaan kita harus pula memohon ampunan dan perlindungan kepada Allah SWT karena syaitanpun berusaha agar kita gagal untuk sabar/melakukan kesabaran saat berbuat dan bertindak bagi kebaikan diri, keluarga, anak dan keturunan. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Mu’min (40) ayat 55,56 berikut ini: “Maka bersabarlah kamu, karena Sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.Sesungguhhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, Maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha mendengar lagi Maha melihat.”
Berdasarkan uraian yang kami kemukakan di atas, sifat sabar atau kesabaran tidak bisa dibiarkan berdiri sendiri. Sikap sabar harus dipasangkan dengan sikap dan sifat lainnya sehingga sabar yang kita miliki mampu berhasil guna bagi diri kita saat menghadapi segala ujian dan cobaan hidup dan kehidupan ini.
5.
Ciri Ciri Orang Yang Sabar. Berikut ini akan kami kemukakan
beberapa ciri ciri dari orang yang mampu sabar dalam hidup dan kehidupannya,
yaitu: (a) tidak mudah tersinggung
oleh perlakuan atau perkataan orang lain yang berbeda pandangan, berbeda
karakteristik dan latar belakang budaya; (b) Selalu tegar dalam menghadapi ujian atau cobaan dari Allah SWT; (c) Tekun dan terus berusaha untuk meraih apa yang ingin diraih, dalam hal
ini berani membayar mahal karya nyata saat hidup di dunia untuk mewujudkan visi
akhirat; (d) Orang yang sabar tidak pengecut atau lemah mental; (e) Berpendirian teguh,
Tidak lesu dari sisi penampilan; Tidak menyerah atau tunduk dari segi
aktivitas; selalu meminta perlindungan dari gangguan syaitan kepada Allah SWT.
Selain 5 (lima) buah ciri orang yang
sabar yang telah kami kemukakan di atas, orang yang sabar juga memiliki ciri lainnya
yaitu:
a. Orang yang sabar adalah orang yang tetap memiliki etika, adab, sopan santun dalam hidup dan kehidupannya, sehingga ia tahu diri dan tahu aturan main yang berlaku serta tahu tujuan akhir yang hendak dicapainya. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Hujuraat (49) ayat 1 sampai 5 berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya[1407] dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu[1408], sedangkan kamu tidak menyadari. Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka Itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti. dan kalau Sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka Sesungguhnya itu lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
[1407] Maksudnya
orang-orang mukmin tidak boleh menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan
dari Allah dan RasulNya.
[1408] Meninggikan suara lebih dari suara Nabi atau bicara keras terhadap Nabi adalah suatu perbuatan yang menyakiti Nabi. karena itu terlarang melakukannya dan menyebabkan hapusnya amal perbuatan.
b. Orang yang sabar adalah selalu menjaga persatuan sehingga tidak mementingkan diri, keluarga maupun kelompok tertentu. Hal ini berdasarkan ketentuann surat An Anfaal (8) ayat 46 berikut ini: “dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
c. Orang yang mampu sabar adalah selalu memberi nasehat menasehati dalam hidup dan kehidupan. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Ashr (103) ayat 3 berikut ini: “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
d. Orang yang sabar yaitu adalah orang yang pemaaf, sabar dalam suka dan duka, seperti yang dimiliki dan yang ditunjukkan oleh Nabi Yusuf as, kepada saudara saudaranya. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Yusuf (12) ayat 90,91,92 berikut ini: ”mereka berkata: "Apakah kamu ini benar-benar Yusuf?". Yusuf menjawab: "Akulah Yusuf dan ini saudaraku. Sesungguhnya Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami". Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik"mereka berkata: "Demi Allah, Sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas Kami, dan Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)". Dia (Yusuf) berkata: "Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, Mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara Para Penyayang".
Sebagai abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi, sudahkah kita memiliki ciri ciri dari orang yang sabar? Jika belum kapan lagi kita memilikinya dan kapan lagi kita merasakan nikmatnya kebahagiaan dibalik sabar. Ayo segera kita memilikinya.
6. Kekuatan Orang Yang Sabar. Kekuatan orang sabar melebihi ketentuan orang normal. Kekuatan orang sabar adalah satu berbanding sepuluh. Memang tidak mudah menjadi sabar, namun sabar (kesabaran) harus tetap kita lakukan sepanjang hayat masih di kandung badan, dikarenakan sifat sabar sudah menjadi sifatnya ruh/ruhani (ruh/ruhani sudah dishibgah dengan sabar oleh Allah SWT) sehingga perilaku sabar harus menjadi perilaku dan perbuatan selama hayat masih di kandung badan. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Anfaal (8) ayat 65 berikut ini: “Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.”
Lalu kenapa dikatakan sabar adalah ilmu tingkat tinggi?. Perilaku sabar yang telah menjadi sifat ruh/ruhani tidak bisa menjadi perilaku diri kita begitu saja (maksudnya hanya sabar semata). Sabar (kesabaran) harus diimbangi, harus diiringi dengan upaya lain, atau kemampuan lain yang luar biasa, barulah sabar dan kesabaran bisa berbuah manis. Sabar harus diperjuangkan tanpa pernah berhenti, apalagi diri kita terikat dengan ketentuan baik sebagai abd’ (hamba) dan juga terikat sebagai khalifahNya di muka bumi. Namun ketahuilah bahwa hasil atau buah dari sabar tidak bisa berbohong karena hasilnya sepadan dengan perjuangan yang kita laksanakan. Ayo kita realisasikan visi akhirat kita dengan berani membayar mahal untuk membuat karya nyata dengan penuh kesabaran sehingga kita bisa berkumpul bersama keluarga besar kita di syurga kelak. Lalu bisa melihat wajah Allah SWT, yang dilanjutkan dengan bertemu muka dengan Nabi Muhammad SAW kelak, Amiin.
Di lain sisi, cobaan atau ujian harus kita hadapi dengan sikap sabar. Lalu kita menahan diri sejenak untuk memikirkan permasalahan yang kita hadapi dengan pikiran dan hati yang jernih, dilanjutkan dengan mencari solusinya. Kemudian berikhtiar lagi dengan cara cara lain yang lebih baik lagi. Nabi SAW bersabda: “Siapa saja yang bersabar maka Allah menjadikan dirinya penyabar dan tiada pemberian yang Allah berikan kepada seseorang yang lebih baik dan lebih luas manfaatnya daripada kesabaran” (Hadits Riwayat Bukhari Muslim). Dengan bersabar, seseorang akan terbentuk jiwanya menjadi kuat dan sanggup menghadapi berbagai macam problem dan polemik kehidupannya. Ia akan menjadi sosok manusia yang tidak mudah terguncang, tidak lekas bingung atau panik dan akan selalu dapat mengontrol dirinya untuk tidak cepat putus asa dan kehilangan keseimbangan ketika menerima ujian dari Allah SWT. Pada dasarnya, sabar itu akan menjadi senjata ampuh dan juga kekuatan dalam menghadapi berbagai macam halangan, rintangan dan tantangan hidup. Sabar juga merupakan tanda dari keimanan dan ketaqwaan seorang manusia terhadap Allah SWT.
Lalu mengapa Allah SWT memerintahkan makhlukNya untuk sabar? Tiada lain karena sifat sabar dikaruniakan Allah SWT hanya kepada makhlukNya yang bernama manusia. Sifat sabar tidak diberikan kepada hewan, sehingga binatang selalu memperturutkan hawa nafsunya. Sabar juga tidak diberikan kepada malaikat, dikarenakan malaikat diciptakan Allah SWT dengan tidak ada nafsu kecuali hanya melaksanakan apa apa yang Allah SWT telah perintahkan kepada mereka. Meski demikian, ada satu makhluk selain manusia yang juga mempunyai sifat sabar, yaitu syaitan. Syaitan sangat sabar ketika mengganggu, menggoda, mengalihkan perhatian manusia agar menjalankan keinginannya demi memasukkan manusia itu ke dalam neraka. Dan ingat, kesabaran syaitan sangat berbeda dengan apa yang telah Allah SWT fitrahkan kepada manusia, yaitu sabar dalam menghadapi ujian atau cobaan yang Allah SWT titipkan kepada manusia. Bagi hamba hambaNya yang sabar, Allah SWT akan memberikan pahala dan kemuliaan seperti yang dikemukakan dalam surat An Nahl (16) ayat 96 berikut ini: “apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. dan Sesungguhnya Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (surat An Nahl (16) ayat 96)
L. MEMELIHARA RASA TAKUT DALAM DIRI.
Salah satu bentuk kebaikan yang harus
kita laksanakan sebagai wujud dari pelaksanaan ibadah Ikhsan adalah tetap
menjaga rasa takut dalam diri. Rasa takut dalam diri tidak
bisa kita biarkan begitu saja tanpa ada pengarahan dan pembelajaran. Agar rasa
takut dalam diri bisa sesuai dengan kehendak Allah SWT maka rasa takut dalam
diri harus dijaga, dirawat, dipelihara dari waktu ke waktu melalui hal hal
sebagai berikut : (a) Mengingat
betapa lemahnya kita dan betapa Allah SWT Maha Perkasa; (b) Memupuk rasa cinta
kepada Allah SWT; (c) membayangkan Adzab Allah SWT yang sangatlah
pedih; (d) Jangan pernah merasa aman dengan apa yang kita raih; (e) Jangan pernah putus asa.
Rasa takut adalah salah satu perasaan yang paling mendasar pada diri manusia. Ketika disebut rasa takut maka yang pertama kali terlintas adalah takut kepada gelap, takut kepada kecelakaan, takut mati, takut darah, takut penyakit yang menyebabkan kepedihan, takut miskin, takut kelaparan, takut kehilangan kerabat dekat, takut akan bencana alam, dan takut akan masa depan dan lain sebagainya sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Baqarah (2) ayat 155 berikut ini: “dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (surat Al Baqarah (2) ayat 155). Takut atau perasaan takut, berdasarkan ketentuan surat Al Baqarah (2) ayat 155 di atas merupakan sebuah sunnatullah yang tidak dapat dipisahkan dengan skenario kekhalifahan yang ada di muka bumi sehingga dapat diketahui kualitas dari masing masing khalifah yang telah diutusNya ke muka bumi.
Adanya rasa takut yang berasal dari Allah SWT melengkapi skenario mempergilirkan semua orang dalam suatu keadaan apa yang dinamakan dengan susah dengan senang, bahagia dengan celaka, tertawa dengan menangis, dermawan dengan pelit, beriman dengan kafir dan lain sebagainya. Seperti termaktub dalam surat Ali Imran (3) ayat 140 berikut ini: “jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, Maka Sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'[231]. dan Allah tidak menyukai orang-orang yang dzalim.”
[231] Syuhada' di sini ialah orang-orang Islam yang gugur di dalam peperangan untuk menegakkan agama Allah. sebagian ahli tafsir ada yang mengartikannya dengan menjadi saksi atas manusia sebagai tersebut dalam ayat 143 surat Al Baqarah.
Berdasarkan uraian di atas, rasa takut dalam diri tidak datang dengan sendirinya. Rasa takut diberikan oleh Allah SWT kepada manusia adalah demi keberlangsungan hidup manusia serta untuk dijadikan alat bantu untuk melihat kualitas manusia. Manusia diberikan rasa takut untuk menghindari segala hal yang akan mengancam dan akan mengganggu keberlangsungan hidupnya. Sehingga manusia bisa menyelamatkan diri dan merasa aman. Katakan, seorang yang yang takut kepada binatang buas, katakan takut kepada ular, akan dipaksa untuk melakukan usaha (upaya) pencegahan dan pengamanan sehingga dapat terhindar dari serangan ular.
Membaca doa adalah ajaran agama, seperti yang dikemukakan oleh sahabat Abdullah bin Umar dalam suatu hadits, yaitu: “Rasulullah SAW bersabda: Jika salah satu diantaramu merasa takut saat tidur maka bacalah “Aku berlindung kepada Allah dari murka dan azabNya, dari kejahatan makhluk, dari desas desus dan godaan syaitan, sehingga tidak ada sesuatu yang menyakitinya”. Bagi setiap hamba yang senantiasa memanjatkan doa kepada Allah SWT, yang memahami kalau segala apa yang menimpanya adalah merupakan ujian yang datang dari sisi Allah, kemudian dia bertawakkal kepadanya maka ia akan lebih mudah keluar dari permasalahannya (ketakutannya).
Rasulullah SAW juga telah menerangkan jika kepedihan seseorang dapat menjadikan tubuhnya sakit melalui sabdanya: “Barangsiapa yang sifatnya jelek, maka ia akan berada dalam kesulitan nafsunya sendiri, dan barangsiapa yang penderitaannya berlarut larut maka ia akan membuatnya jatuh sakit”.Ingat, “Allah SWT tidaklah memberikan suatu penyakit sebelum menciptakan penawarnya. Barangsiapa bisa menemukan penawarnya itu, maka ia dapat mengobatinya sehingga sembuh dan barangsiapa tidak tahu penawarnya maka ia akan berada dalam penderitaan, namun kematian tidaklah ada obatnya” Kondisi ini sesuai dan sejalan dengan firmanNya berikut ini; “atau siapakah yang memimpin kamu dalam kegelapan di dataran dan lautan dan siapa (pula)kah yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira sebelum (kedatangan) rahmat-Nya[1105]? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya). (surat An Naml (27) ayat 63)
[1105] Yang dimaksud dengan rahmat Tuhan di sini ialah air hujan yang menyebabkan suburnya tumbuh-tumbuhan.
Allah SWT mengemukakan bahwa dibalik angin yang dikirim terdapat rahmatNya, dibalik ketakutan, atau dibalik kesusahaan, atau dibalik ujian akan ada sesuatu yang sangat menggembirakan setelah kita mampu melewatinya. Apakah hal ini tidak kita sadari!
Hidup yang penuh dengan kesusahan dan ketakutan adalah akibat dari kehidupan yang jauh dari iman atau jauh dari kehendak Allah SWT atau hidup yang dekat dengan hawa nafsu dan syaitan. Pada abad ini para dokter telah menyampaikan bahwa jalan keluar dari stress, galau, resah dan gelisah adalah dengan memiliki pola hidup yang lebih tenang, lebih nyaman, aman dan psikologi yang jauh dari perasaan takut. Akan tetapi kehidupan yang tenang, nyaman hanyalah mungkin dicapai dengan menjadikan Allah SWT sebagai sahabat.
Seseorang yang takut akan suatu hal, maka ia akan selalu berada dalam bayangan perasaan, prasangka, dan khayalannya yang akan membuatnya selalu merasa risau (galau) dstnya. Lalu selalu merasa khawatir oleh hal hal yang diada-adakan di dalam akalnya, sehingga dalam keadaan seperti ini manusia telah menggunakan rasa takut pada tempat yang tidak semestinya. Terlebih jika perasaan takut ini disalahgunakan, yaitu takut tanpa ada sebab yang jelas, maka hal inilah yang tidak dibenarkan, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu".kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. (surat Fushilat (41) ayat 30 dan 31)
Hanya Allah SWT lah yang seharusnya kita takuti. Lebih lebih tidak takut kepada Allah SWT dan justru takut kepada makhlukNya adalah sebuah tindakan salah, yang pada akhirnya akan membawa manusia ke dalam kesesatan, sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Maa’idah (5) ayat 44 berikut ini: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (surat Al Maaidah (5) ayat 44)
Ingat, semua perasaan takut kepada kehidupan dunia adalah bersumber dari godaan syaitan. Namun syaitan hanya dapat menakut nakuti manusia yang menjadikannya sebagai teman dengan bisikan seperti bagaimana kalau nanti jatuh miskin, kalau nanti kelaparan, kalau nanti ditinggalkan orang, kepada siapa harus meminta pertolongan, bagaimana masa depan anak anak? Semua kekhawatiran ini adalah bersumber dari nafsu dan godaan syaitan. Dalam keadaan ini janganlah lupa kalau kehidupan adalah berada dalam kekuasaan dan kehendak Allah SWT. Bukan ada pada daya manusia atau daya yang lainnya.
Manusia tidak ditugaskan ke dunia ini untuk menciptakan rezekinya sendiri, melainkan untuk mencarinya. Jika kita adalah seorang yang rajin beribadah kepada Allah, seorang yang taat dan selalu menyibukkan diri dengan mengabdi kepada sesama, maka sama sekali tidak perlu merisaukan rezeki kita di masa depan. Jika kita tetap teguh dan bersabar, kemungkinan rezeki bahkan akan datang dengan sendirinya kepada kita. Demikian pula dengan rasa takut akan kesendirian juga hanya dapat dihilangkan dengan mengenal dan mencintai Sang Pencipta kita. Ketika Allah SWT yang menjadi pencipta telah menjadi sahabat dan kekasih kita, maka apalah artinya jika seisi alam menjadi musuh kita? Demikian pula jika manusia tidak mencintaiNya, lalu apalah gunanya meski seisi alam mencintainya?
Sebenarnya sebagaimana cinta, rasa takut adalah sebuah keharusan agar kehidupan ini dapat berjalan dengan seimbang. Pendidikan dan keseimbangan kehidupan manusia bisa dicapai dengan adanya rasa takut. Tentu saja rasa takut ini harus dijaga keseimbangannya, karena merasa takut pada hal hal yang tidak perlu ditakuti adalah sebuah kenistaan dan kelemahan. Sedangkan merasa acuh terhadap hal hal yang semestinya kita takuti dan waspada terhadapnya adalah sebuah kebodohan yang nyata.
Bagi seseorang yang senantiasa bersama dan dekat kepada Allah SWT, maka Allah SWT akan menjadi sahabat dekatnya. Ingat, semua hal yang kita takuti adalah ciptaanNya, maka begitu terbersit perasaan takut di dalam hati kita sikap yang benar adalah bukannya takut terhadap hal hal yang menakuti kita, melainkan kepada Dzat yang menciptakannya. Dengan demikian rasa takut akan hilang dengan sendirinya. Dan seorang yang menyerahkan taqdir hidupnya hanya kepada Allah semata akan terhindar dari segala perasaan takut.
Hanya saja perlu diingat bahwa terhindar dari rasa takut bukanlah berarti menceburkan diri ke dalam kubangan berbahaya dengan keberanian buta. Hal ini dikarenakan Allah SWT telah menganugerahkan akal dan kekuatan kepada manusia. Dengan pemberian akal dan kekuatan ini Allah SWT berkehendak agar manusia menggunakannya untuk melindungi diri dari segala macam bahaya. Sehingga dalam penggunaannya kita harus berusaha semaksimal mungkin, namun menyerahkan hasilnya hanya kepada Allah semata. Adanya kondisi ini manusia dapat terhindar dari rasa takut atau sebaliknya menerjang bahaya tanpa menggunakan akal dan kekuatan hanyalah akan merugikan diri sendiri.
Untuk mempertegas tentang apa itu takut, mari kita perhatikan surat An Nahl (16) ayat 50 berikut ini: ““mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka). (surat An Nahl (16) ayat 50).” Takut adalah ibadah hati yang diikuti dengan melaksanakan apa apa yang telah diperintahkan kepada mereka. Takut sebagai bentuk ibadah hati yang memiliki kedudukan agung dan mulia di dalam agama, bahkan mencakup seluruh ibadah. Takut adalah salah satu dari rukun ibadah dan merupakan syarat dari iman.Takut kepada Allah SWT juga merupakan salah satu bentuk amalan hati seorang hamba kepada RabbNya. Adalah satu hal yang sangat menyedihkan dan pantas menjadi renungan bagi kita semua bahwa masih banyak dari kita yang masih menyepelekan bahkan menganggap remeh amalan hati dibandingkan dengan amalan dzahir. Padahal amalan dzahir sangat tergantung kepada kualitas amalan hati. Semakin tinggi kualitas amalan hati maka makin berkualitas pula amalan dzahir.
Takut kepada Allah SWT bukanlah sebuah ketakutan yang merugikan. Melainkan ia adalah ibarat perisai yang akan melindungi manusia dari kubangan nerakanya sendiri, dari kobaran apinya sendiri semenjak di dunia ini. Dalam makna yang lain takut kepada Allah, tidak lain adalah menunjukkan pertanda cinta Allah kepada seorang hamba. Karena bukankah jika seorang hamba meluap rasa cinta kepada Allah, maka baginya tidak lagi terlihat baik syurga maupun neraka. Karena jika seorang hamba yang sangat mencintai dalam cinta Ilahi, ia tidak akan mungkin berbuat dosa. Demikian pula cintanya akan mampu mengalahkan ketakutannya, sehingga ia melayang, mengarungi samudra kehidupan dalam luapan cintanya kepada Allah SWT.
Agar ketakutan yang ada dalam diri sesuai dengan kehendak Allah SWT atau agar diri kita mampu hanya takut kepada Allah SWT semata (bukan takut kepada selainNya). Berikut ini akan kami kemukakan beberapa hal yang bisa kita lakukan agar takut termanajemeni dengan baik, yaitu:
1. Ketakutan dalam diri akan sirna jika kita bertuhankan kepada Allah SWT semata, dikarenakan Allah SWT adalah pelindung diri kita dalam kehidupan dunia dan akhirat. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Fushilaat (41) ayat 30, 31 berikut ini: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.”
2. Segala ketakutan, segala kekhawatiran, segala duka cita akan sirna dengan meyakini bahwa Allah SWT selalu bersama kita, sepanjang kita meyakini Allah SWT bersama kita. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Thaahaa (20) ayat 46 berikut ini: “Allah berfirman: "Janganlah kamu berdua khawatir, Sesungguhnya aku beserta kamu berdua, aku mendengar dan melihat".
3. Segala ketakutan akan sirna jika kita mentaati Allah SWT dan RasulNya yang pada akhirnya akan menghantarkan kita kepada kemenangan. Sebagaimana dikemukakan dalam surat An Nuur (24) ayat 52 berikut ini: “dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, Maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan[1046].
[1046] Yang dimaksud dengan takut kepada Allah ialah takut kepada Allah disebabkan dosa-dosa yang telah dikerjakannya, dan yang dimaksud dengan takwa ialah memelihara diri dari segala macam dosa-dosa yang mungkin terjadi.
4. Ketakutan yang ada dalam diri akan sirna jika kita mengimani wahyu Allah SWT lalu menjadikan Al Qur’an menjadi tuntunan hidup. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Jin (72) ayat 13 berikut ini: “dan Sesungguhnya Kami tatkala mendengar petunjuk (Al Quran), Kami beriman kepadanya. Barangsiapa beriman kepada Tuhannya, Maka ia tidak takut akan pengurangan pahala dan tidak (takut pula) akan penambahan dosa dan kesalahan.”
5. Ketakutan, kekhwatiran akan hilang dalam diri jika kita mampu menjadikan Allah SWT sebagai wali kita saat hidup di dunia ini. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Yunus (10) ayat 62 berikut ini: “Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
6. Segala bentuk ketakutan dan juga kekhawatiran akan hilang dalam diri jika kita mampu menjadi orang Taqwa yang beramal shaleh. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al A’raaf (7) ayat 35 berikut ini: “Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu Rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, Maka Barangsiapa yang bertakwa dan Mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Sebagai abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi, ketahuilah bahwa Allah SWT berdasarkan uraian diatas sudah sangat tegas tidak boleh ada ketakutan jika tak disandarkan pada Allah SWT semata. Dan jika ada seseorang dengan segala kekuasaannya menyuruh orang lain berbuat maksiat, ketakutan yang ada pada diri orang yang diperintah berbuat maksiat lebih tinggi kepada Allah SWT maka akan menahannya untuk berbuat maksiat. Karena ia tidak mau menuruti perintah manusia sementara harus mengingkari Allah SWT. Pemahaman dan keyakinan yang benar atas rasa takaut akan membuat manusia menjadi kuat. Meski secara lahir ia tidak memiliki kekuatan dibandingkan dengan manusia yang lainnya.
Takut di dalam diri sejatinya adalah sebuah manifestasi dari sifat para nabi, dimana para nabi yang diutus selalu memupuk (memelihara) rasa takut kepada Allah SWT sebagai salah satu sumber kekuatan dalam melaksanakan tugas. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firmanNya berikut ini: "Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami." (surat Al-Anbiyaa (21) ayat 90)
Takut (rasa takut) dalam diri juga harus menjadi alarm bagi seseorang dikala hendak berbuat aniaya, berbuat curang, berbuat yang melukai perasaan orang lain karena manusia memang cenderung berbuat kerusakan. Namun dengan rasa takut yang dimiliki seseorang, maka keinginan untuk melawan perintah dan larangan Allah SWT tersebut bisa ditahan. Takut akhirnya mampu membuat seseorang yang hendak berbuat maksiat berpikir ulang. Apakah ia akan meneruskan perbuatan hawa nafsunya ataukah hendak menuruti kata nuraninya, atau memperturutkan ajakan dan bujukan syaitan?
Lihatlah takut bukan soal cengeng dan lemah (takut akan kelemahan diri). Takut harus menjelma menjadi kekuatan dan keutamaan diri seseorang. Tak disebut orang beriman hingga ia menyatakan ketakutannya hanya kepada Allah SWT. Ia meyakini benar jika Allah SWT penggenggam segalanya. Ia tak lagi takut mati bersebab ia paham ajal sudah digariskan kapan dan tempatnya oleh Allah SWT. Akhirnya takut harus dipelihara. Tentu saja takut yang benar. Takut yang membuat seseorang berhati-hati melangkah. Ia takut malnya tak diterima hingga ia memperbanyak dan melatih ikhlas berbuat karena Allah SWT semata. Ia takut azab Allah yang sangat pedih hingga ia melarutkan diri dalam istighfar. Ia takut tak berkumpul dengan Rasulullah SAW di surga kelak maka ia melaksanakan sunnah sunnahnya serta melantunkan shalawat secara isthiqamah dan tidak berlebihan jika kita katakana bahwa takut adalah salah satu sayap bagi orang yang beriman.
M. JIHAD KE DALAM DIRI.
Bentuk lain dari kebaikan yang harus kita laksanakan sebagai wujud dari pelaksanaan ibadah Ikhsan adalah berjihad ke dalam diri dalam kerangka mempertahankan kefitrahan diri. Hal ini menjadi penting dalam kehidupan ini karena berpuas diri dengan apa yang telah diraih adalah wujud kehinaan diri. Jadilah seorang lelaki atau perempuan yang tapak kakinya berpijak di atas tanah namun obsesi dan cita citanya menggantung di atas bintang kejora.”
Umat manusia, termasuk diri kita, diutus Allah SWT menjadi abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi waktunya hanya sebentar saja dibandingkan dengan kehidupan di akhirat kelak. Dalam waktu yang sebenatar (sekejab) itu setiap manusia dituntut untuk mampu menyelesaikan semua masalah dunia dan mengenal akhirat, mengenal sang pencipta dalam arti yang sebenarnya.Oleh sebab itu manusia harus berusaha mengatasi permasalahan dunia dengan ilmunya. Kemudian dia harus berusaha menemui Tuhan yang disembahnya, sebelum kembali kepadaNya. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Ankabuut (29) ayat 5 berikut ini: “Barangsiapa yang mengharap Pertemuan dengan Allah, Maka Sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Untuk merealisasikan diri kita menjadi manusia besar yang dibanggakan oleh Allah SWT bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah dan untuk itulah dibutuhkan jihad atau kesungguh sungguhan untuk merealisasikannya, sebagaimana firmanNya berikut ini: “dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu[993], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong. (surat Al Hajj (22) ayat 78).”
[993] Maksudnya: dalam Kitab-Kitab yang telah diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w.
Ketika Nabi Muhammad SAW ditanya oleh sahabatnya: apakah yang harus kita perbuat sesudah menyelesaikan perang ini (maksudnya perang Badar) ya Rasulullah? Nabi SAW menjawab, bahwa perang yang sudah kita lakukan dengan senjata dan fisik ini belum berarti apa apa, sesudah ini kita akan menghadapi perang yang paling berat, yaitu ke dalam diri. Perang ke dalam diri ialah memerangi ahwa (hawa nafsu) yang sesuai dengan kehendak syaitan. Untuk itu Allah SWT melalui surat Ar Ra’d (13) ayat 11 berikut ini: “bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
[767] Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa
Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat
yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah
Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah.
[768] Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.
Allah SWT mengemukakan bahwa perubahan untuk menjadi lebih baik tidak akan pernah terjadi kita sendiri tidak mau merubah apa apa yang ada pada diri kita sendiri. Katakan dari sifat malas menjadi rajin, dari sifat pelit menjadi dermawan, dari sifat tergesa gesa menjadi sabar. Untuk merubah kondisi ini dibutuhkan jihad atau kesungguhan untuk melakukan suatu terobosan dalam diri untuk menuju suatu keadaan yang lebih baik
Ingat, berjihad untuk kepentingan apapun, apalagi untuk kepentingan diri sendiri bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Ia laksana mengubah pasir terapung untuk menjadi batu karang yang kuat membutuhkan zat kimia tertentu dan jumlah yang tertentu pula. Hal yang samapun berlaku saat diri kita ingin merubah kebiasaan pribadi yang kadung tersandera oleh ahwa/hawa nafsu, serta cinta dunia pun tidak mudah. Solusi yang bisa kita lakukan adalah melalui apa yang dinamakan dengan etos ala Zainudin MZ dengan penuh humoris “Allahummapaksa” artinya Ya Allah paksa hamba untuk mengubah kebiasaan hamba. Setelah diri kita memiliki senjata ampuh berupa ‘Alllahummapaksa” maka pergunakanlah senjata ini untuk berjihad bagi kepentingan jasmani dan juga jihad untuk kepentingan ruhani.
1. Jihad Untuk Kepentingan Jasmani. Sebelum kami membahas jihad untuk kepentingan jasmani, ada baiknya kita mempelajari dahulu apa yang dinamakan dilema kesuksesan bagi masyarakat yang hidup di zaman modern ini. Ada sebuah cerita yang dikemukakan oleh Prof Hung Zhao Guang, seorang pakar kesehatan dunia.
Rumah sakit tempat saya bertugas, pernah merawat seorang yang kaya raya. Pada usianya yang baru 38 tahun sudah menderita ‘mycordial necrosis’ yang gawat, dan juga dinding jantung yang tipis. Suatu hari ia mengeluh kepada saya, “Prof Hung, saya ingin bertanya suatu hal, “mengapa Tuhan memperlakukan saya tidak adil, mengapa orang lain tidak menderita sakit seperti saya, kenapa saya usia 38 tahun sudah kena penyakit terkutuk ini? Kenapa nasib saya begini sial?” Saya menjawabnya: “Menurut pendapat saya, Tuhan itu paling adil! Dalam kehidupan duniawi memang banyak ditemui hal hal yang tidak adil. Akan tetapi Tuhan adalah Maha Adil. Lantas mengapa anda bisa menderita seperti ini? Jawabannya adalah sederhana saja. Anda telah melanggar hukum kesehatan empat fondasi kesehatan. Yaitu:”(1) makan dengan sepantasnya; (2) olahraga dengan takaran nya yang pas. Lalu lihatlah anda ke rumah sakit naik mobil, menuju kantor ke lantai dua saja naik lift, singkatnya anda sama sekali tidak berolahraga; (3) tidak merokok dan batasi alkohol. Lihatlah kehidupan anda, setiap hari merokok dua pak, tiap kali bersantap selalu diiringi dengan alkohol yang diminum tanpa batas ; (4) mental bathin seimbang. Mana mungkin mental bathin anda bisa tenang seimbang. Bila transaksi dagang mendatangkan untung, anda bergairah, bila rugi, anda menjadi gelisah dan muruh.Tiada hari yang dilewatkan dengan mental bathin yang seimbang!” Semuanya telah Anda langgar. Sehingga hidup anda bertentangan dengan 4 fondasi kesehatan tersebut. Tidak heran, kalau anda dihinggapi penyakit. Contoh hidup ini dengan jelas dapat memperlihatkan Tuhan itu Maha Adil. Dihadapan hukum kesehatan setiap manusia diperlakukan sama. Siapa yang patuh terhadapnya, dia pasti akan sehat, selamat sepanjang hayatnya.” (tulisan ini kami diambil dari buku 9 Kebiasaan Manusia Super Bahagia karya Ismail Al Faruqi dan Syahrial Yusuf, Lentera Ilmu Cendekia, Jakarta, 2013)
Berdasarkan kisah di atas, terlihat dengan jelas tentang penderitaan hidup manusia modern yang berlimpah kekayaan tapi miskin secara kesehatan jiwa (kefitrahan ruhani). Adanya kondisi ini mengharuskan diri kita tidak hanya fokus untuk menjaga kesehatan jasmani semata. Namun harus diimbangi dengan menjaga kesehatan ruhani (jiwa) yang pada akhirnya kita harus seimbang menjaga keduanya.
Jihad untuk kepentingan jasmani adalah sebuah sikap harus kita ambil dengan tegas yaitu bagaimana jasmani yang telah diberikan oleh Allah SWT dijaga, dipelihara dan dirawat dan dimanfaatkan sesuai dengan kehendak Allah SWT yang sesuai dengan ilmu kesehatan dan juga ilmu gizi. Dalam kerangka berjihad untuk kepentingan jasmani diri kita sendiri, kita dapat melakukan hal hal sebagai berikut:
a. Jihad untuk memperoleh atau mendapatkan penghasilan dan juga pekerjaan yang halal. Bukan dari menipu, bukan dari korupsi dan juga bukan dari usaha yang melanggar hukum Allah SWT dan juga ketentuan negara. Lalu lanjutkan dengan selalu menjaga kebersihan dari penghasilan dan harta kita melalui program zakat, infaq dan sedekah. Sebagaimana dikemukakan dalam firmanNya berikut ini: Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (surat Al Baqarah (2) ayat 168)
Allah SWT berfirman: “Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. (surat Abasa (80) ayat 24).”
b. Jihad kepada jasmani melalui memberikan asupan makanan yang sesuai dengan ketentuan “halalan wa thayyiban. Halal dari sisi jenis makanan dan minuman yang kita konsumsi, sedangkan tayyiban sesuai dengan ketentuan ilmu gizi.
c. Jihad kepada jasmani melalui menjaga tata cara mengkonsumsi makanan dan minuman yang telah diatur oleh Allah SWT melalui NabiNya dengan selalu membaca Basmallah, doa sebelum mengkonsumsi sesuatu dan tidak berlebihan di dalam mengkonsumsi sesuatu. Makanlah di kala lapar berhenti sebelum kenyang.
d. Jihad kepada jasmani melalui menjaga keseimbangan antara makanan dan minuman yang dikonsumsi dengan sesuatu yang harus dikeluarkan dari jasmani,yaitu melalui udara kotor, melalui cairan kotor, melalui kotoran dari usus besar serta melalui aktivitas bekerja dan berolah raga untuk membakar karbohidrat dan juga lemak dalam tubuh.
e. Jihad kepada jasmani melalui membuang pikiran pikiran negatif yang berasal dari olah pikir otak seperti gampang marah, membenci orang, suka mengkritisi dan menilai orang lain, berprasangka buruk dan suka berdebat tidak akan bisa menjadikan pikiran dan tubuh yang sehat. Pikiran negatif adalah kotoran dalam pikiran yang paling ampuh merusak kesehatan tubuh dan juga kesehatan ruhani seseorang. Maka pikiran negatif yang kotor itu perlu dibersihkan sesegara mungkin dan setuntas tuntasnya. Selain daripada itu, ketahuilah ada 3 (tiga) racun yang bisa mendatangkan penderitaan, yaitu keserakahan, kebencian dan kebodohan. Orang yang suka marah besar dan dendam kepada orang lain, hidupnya selalu tegang dan pikirannya tidak bisa senang.
Ingat Rasulullah SAW pernah berkata: Ada segumpal daging yang jika ia baik maka seluruh tubuh akan baik. Dan kalau ia buruk maka seluruh tubuh akan buruk. Itulah HATI. Seharusnya ia selalu dalam kondisi indah dan baik. Selalu ikhlas, menerima ketentuan Allah SWT, bersyukur, tulus berbagi dan bahagia bersama.Seperti anak yang selalu bahagia dan tertawa, seperti itulah kondisi hati kita seharusnya.Pada saat kita sudah tidak lagi seperti itu, itulah saat penyakit muncul. Dan deteksi dini harus dilakukan. Akar permasalahan harus diatasi. Dan jika ke lima hal yang kami kemukakan di atas mampu kita lakukan dalam kerangka jihad untuk kepentingan jasmani, alangkah nikmatnya hidup ini dan alangkan indahnya kita beribadah karena ditunjang dengan jasmani yang sehat.
2. Jihad Untuk Kepentingan Ruhani. Jihad untuk kepentingan ruhani adalah suatu tindakan nyata guna mempertahankan dan menjaga konsep kefitrahan ruhani, yaitu: datang fitrah, dalam perjalanan fitrah dan kembali fitrah, untuk bertemu Allah SWT di tempat yang fitrah. Dalam perjalanan kehidupan manusia, ruhani bisa menjadi tidak fitrah dikarenakan kita melakukan maksiat karena tidak melakukan perintah dan larangan Allah SWT atau memperturutkan ahwa/hawa nafsu atau karena pengaruh buruk dari penghasilan dan kekayaan yang haram.
Berikut ini akan kami kemukakan beberap tindakan nyata yang bisa kita lakukan untuk menjaga kefitrahan atau mengembalikan kesucian diri atau mempertahankan kefitrahan, melalui hal hal sebagai berikut:
a. Mengadu dan Berlindung Kepada Allah Dari Kejahatan Nafsunya. Seseorang tidak akan kuat menghadapi ahwanya/hawa nafsunya tanpa pertolongan dari Allah SWT. Oleh karena itu, orang yang dilindungi dan dijaga oleh Allah SWT berarti telah dibantu dan dipelihara dari kekikiran dan kejahatan nafsunya, serta diberi kekuatan untuk melawan dan memeranginya. Sedangkan orang yang menjadikan nafsunya sebagai pemimpin berarti telah dikuasai, ditundukkan, ditawan, dan akan digiring kepada kehancuran dan ia tidak bisa berbuat apa apa, akhirnya sengsara hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Rasulullah SAW memberikan arahan, agar membaca doa berikut ini: “Ya Allah, beri aku petunjuk dan lindungi aku dari kejahatan nafsuku.” (Hadits Riwayat An Nassai, Ath Thirmidzi, Hakim dan Ibnu Hibban)
Rasulullah SAW senantiasa mengawali khutbahnya dengan mengucapkan, “Segala puji hanya bagi Allah, KepadaNya kami menyampaikan pujian, meminta pertolongan, dan meminta ampunan. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan nafsu kami dan kebusukan perbuatan kami”. (Hadits Riwayat Muslim).
Ketika Abu Bakar berkata kepadanya, “Wahai Rasulullah, ajari aku doa yang kubaca setiap pagi dan petang!. Rasulullah SAW bersabda, “Bacalah, Ya Allah Pencipta langit dan bumi, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang tampak, Yang Mengatur dan Memiliki segala sesuatu, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan nafsuku dan dari kejahatan syaitan dan kemusyrikan, dan dari melakukan kejahatan atas diriku atau diri seorang muslim.” Bacalah doa itu di saat pagi dan petang dan ketika hendak tidur.” (Hadits Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ath Thirmidzi)
Oleh karena itu, hal penting yang harus dilakukan oleh seorang hamba bila ingin selamat dari gangguan ahwa (hawa nafsu) adalah memohon kepada Allah SWT agar tidak menyerahkan dirinya kepada nafsunya meski hanya sebentar.
Ibnul Qayyim al Jauziah juga berpendapat bahwa orang bodoh adalah orang yang mengeluhkan ketidakadilan Allah kepada manusia. Ini puncak kebodohan dan bukti konkret bahwa dirinya tidak mengenal Allah dan siapa manusia. Jika ia mengenal Tuhannya, ia tidak akan mengeluh; jika ia mengenal siapa manusia, ia tidak akan mengadu kepada mereka. Sedangkan orang yang bijak hanya mengadu kepada Allah. Orang yang paling bijak adalah orang yang mengeluhkan kesalahan dari dirinya sendiri kepada Allah, bukan kepada orang lain. Ingat, setiap manusia itu sangat tergantung bagaimana dia mendisain dirinya, apakah menempuh jalan kefasikan ataukah menempuh jalan ketaqwaan. Jika seseorang ingin beruntung dan tinggi derajatnya maka ia harus mampu mensucikan jiwanya melalui jalan ketaqwaan. Sebaliknya, jika dia ingin merendahkan derajatnya sehingga menjadi orang yang merugi maka kotorilah jiwanya melalui jalan kefasikan atau berbuat maksiat dengan melakukan tindakan melanggar perintah dan larangan Allah SWT.
Allah SWT berfirman: “dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (surat Asy Syams (91) ayat 7, 8, 9, 10)
Sekarang pilihan hidup ada di tangan diri kita sendiri. Namun apabila kita mengalami kekotoran jiwa akibat diri kita memperturutkan ahwa/hawa nafsu jangan pernah berharap sukses di dunia dan di akhirat kelak. Ingat, Allah SWT sudah menunjukkan adanya dua pilihan jalan kehidupan, yaitu jalan taqwa atau jalan fujur. Dan jika kita salah memilih maka resiko tanggung sendiri.
b. Evaluasi Diri. Sesungguhnya kesucian dan kebersihan jiwa bergantung pada evaluasi yang dilakukan terhadap jiwa. Jiwa tidak akan menjadi suci, bersih dan baik jika tidak diperhatikan. Perhatian ini dilakukan dengan melihat aib dan kekurangan yang ada padanya. Dengan demikian, memperbaikinya dapat dimungkinkan.Imam Ahmad mengatakan bahwa Umar ibn Khattab ra, berkata, “Perhatikanlah dirimu sebelum engkau diperhatikan. Timbanglah dirimu sebelum engkau ditimbang. Dengan memperhatikan diri sekarang, kelak engkau akan mendapat kemudahan ketika diadili di akhirat kelak. Persiapkanlah dirimu untuk menghadapi datangnya hari perhitungan. Hari itu, semua perbuatanmu ditampakkan dan tidak ada satupun yang dapat disembunyikan.”
Agar upaya evaluasi diri dapat kita lakukan dengan baik, ada baiknya kita mempelajari terlebih dahulu faktor faktor penyebab dari kegagalan yang akan menghambat diri kita melakukan jihad untuk kepentingan jasmani dan ruhani, yang bersumber dari dalam diri kita sendiri, yaitu:
|
Tidak
punya tujuan pasti dalam hidupnya |
Tidak
punya disipilin diri |
|
Tidak
ada ambisi untuk membidik sasaran yang lebih tinggi |
Keinginan
tidak terkendali terhadap sesuatu secara gratis. |
|
Kesehatan
yang buruk |
Sering
menunda pekerjaan. |
|
Tidak
gigih |
Kepribadian
negative. |
|
Tidak
dapat mengendalika dorongan birahi |
Keliru
memilih pasangan perkawinan. |
|
Khawatir
berlebihan |
Keliru
memilih rekan bisnis |
|
Takhayul
atau prasangka |
Keliru
memilih jenis pekerjaan |
|
Kurang
konsentrasi dalam berusaha |
Kebiasaan
menghabiskan uang |
|
Tidak
memiliki antusiasme |
Tidak
toleran atau berpikiran tertutup |
|
Berlebihan
makan dan minum |
Tidak
dapat bekerjasama dengan orang lain |
|
Ketidakjujuran
yang disengaja |
Egoisme
dan kesombongan |
|
Menebak
bukan memikirkan |
Pendidikan
kurang |
|
Memiliki
kekuasaan yang tidak diperoleh dengan usaha sendiri |
|
Setelah diri kita menemukan dan mengindentifikasi faktor faktor yang akan menggagalkan diri untuk memulai berjihad memerangi sifat sifat alamiah jasmani yang berkesesuaian dengan nilai nilai keburukan. Ingat, jihad ini sangatlah berat, oleh sebab itu kita perlu berjihad dalam arti yang sesungguhnya jika mengalaminya. Perjuangan ini harus dimulai dengan renungan suci, mengagungkan namaNya, AsmaNya dalam tekad yang kuat. Cara memeranginya agar memperoleh sifat terpuji yang sesuai dengan kehendak Allah SWT adalah:
1.
Jika kita memperturutkan
sifat malas lawanlah dengan aktifitas karena berdiam diri adalah musuh kesuksesan
nomor satu.
2.
Jika kita memperturutkan
sifat pelit lawan sifat pelit dengan berbagi, lakukan secara rutin walaupun
rutin.
3.
Jika kita memperturutkan
sifat tergesa gesa lawan dengan mulai belajar sabar, katakan biasakan untuk
mengantri.
4.
Jika kita memperturutkan
sifat tamak diperangi dengan rasa cukup dari hasil usaha yang diperoleh.
5.
Jika kita memperturutkan
sifat marah, emosi, dendam diubah menjadi sabar/penyabar dalam menghadapi
sesuati.
6.
Jika kita memperturutkan
nafsu hewani/jiwa fujur harus dilawan dengan sifat malu berbuat seperti
binatang.
7.
Jika kita memperturutkan
sifat iri dan dengki perangi sifat ini dengan sifat kepoloson, berterus terang
dan koreksi diri.
8.
Jika kita memperturutkan
sifat sombong dan angkuh perangi sifat ini dengan sifat merendahkan diri.
9. Jika kita memperturutkan sifat riya perangi sifat ini dengan berpindah menjadi ikhlas dalam berbuat.
Selain sembilan hal yang telah kami kemukakan di atas, lanjutkan dengan apa yang kami istilahkan dengan kurangi untuk menambah.
|
Kurangi
analisa perbanyak usaha |
Kurangi
berfikir perbanyak rasa. |
|
Kurangi
menilai perbanyak perhatian |
Kurangi
kata lidah tingkatkan kata hati. |
|
Kurangi
kertas perbanyak pohon |
Kurangi
makan perbanyak puasa |
|
Kurangi
asap perbanyak udara bersih |
Kurangi
gadget perbanyak silaturahmi. |
|
Kurangi
mengkritik perbanyak memuji. |
Kurangi
pembelian tingkatkan berbagi. |
|
Kurangi
perbedaan perbanyak pengertian. |
Kurangi
bicara perbanyak diam. |
|
Kurangi
meminta perbanyak memberi. |
Kurangi
keinginan perbanyak bersyukur |
|
Kurangi
penjelasan perbanyak perbuatan. |
Kurangi
stress perbanyak tertawa. |
|
Kurangi
jam bersama tv tingkatkan jam bersama membaca Al Qur’an. |
Kurangi
mencari keluar perbanyak pencarian diri ke dalam |
|
Kurangi
batasan perbanyak kebebasan. |
Kurangi
bicara tingkatkan mendengar. |
|
Kurangi
kepemilikan tingkatkan kreatifitas. |
Kurangi
ketergantungan tingkatkan kesadaran. |
Manusia hidup di dunia ini dituntut untuk selalu berusaha dan bekerja keras baik untuk kehidupan di dunia maupun perbekalan untuk akhirat. Bila kita malas untuk berdayung maka tidak mungkin akan sampai ke seberang. Bila kita belum tahu jalan hendaklah rajin bertanya agar tidak sesat di jalan. Orang yang beriman adalah orang yang paling bertanggungjawab atas dirinya, Ia memperhatikannya karena Allah. Orang orang yang memperhatikan dirinya di dunia ini, kelak di akhirat akan dihisab dengan mudah. Sedangkan orang orang yang melakukan sesuatu tanpa perhatian terlebih dahulu, kelak di akahirat akan dihisab dengan penuh kesulitan. Dan sesungguhnya orang orang yang beriman adalah mereka yang dihentikan oleh AlQuran dari kehancurannya. Di Dunia ini, orang beriman adalah tawanan yang berusaha membebaskan dirinya. Ia tidak merasa aman hingga berjumpa denganNya. Ia mengetahui bahwa ia akan dimintai pertanggungjawaban atas pendengarannya, atas penglihatannya, atas lisannya dan atas organ tubuhnya yang lain. Ia mengetahui bahwa ia benar benar akan dimintai pertanggungjawaban atas semuanya.
c. Meninggalkan Sesuatu yang Meragukan. Orang yang menganggap remeh segala sesuatu yang syubhat (tidak jelas halal dan haramnya) hampir dapat dipastikan suka meremehkan sesuatu yang haram. Dengan demikian ia telah mendekatinya. Sebagaimana hadits berikut ini: “Nu’man ibn Basyir ra, menyatakan bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Di antara keduanya ada sesuatu yang syubhat. Barangsiapa menjauhi sesuatu yang syubhat berarti telah membebaskan agama dan kehormatannya. Barangsiapa terperosok ke dalam sesuatu yang syubhat, berarti telah terperosok ke dalam sesuatu yang haram, seperti orang yang menggembala di sekitar tanah larangan, hampir pasti ia terperosok ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai batasan, dan ketahuilah bahwa batasan Allah adalah laranganNya.” (Muttafaq’Alaih). Berdasarkan hadits ini, Rasulullah mengemukakan bahwa orang yang terperosok ke dalam sesutau yang syubhat berarti telah terperosok ke dalam sesuatu yang haram.
Orang yang terperosok ke dalam sesuatu yang syubhat diumpamakan seperti orang yang mengembalakan di sekitar tanah larangan. Ia pasti mendekatinya. Barangsiapa menjauhi batasan, berarti telah menghindar dari yang haram. Orang yang membahas suatu permasalahan kemudian tidak menemukan hukumnya yang pasti, sehingga ia ragu antara boleh dan tidak maka sikap yang tepat terhadap masalah tersebut adalah mengerjakannya apabila permasalahan tersebut berada di antara mubah dan wajib, dan meninggalkannya apabila permasalahan tersebut berada di antara halal dan haram.
d. Menjauhi Sikap Ingin Tahu Rahasia Orang Lain. Ahwa (hawa nafsu) diciptakan dengan sifat ingin mengetahui dan menyelidiki segala sesuatu. Ia ingin mengetahui dan terlibat di dalam percakapan manusia dan isu isu yang beredar diantara mereka, baik itu berupa isu seputar harga barang, makanan, hal hal yang baru dan segala sesuatu yang tidak ada kaitan dengannya. Ia juga memperhatikan dan mencurahkan pikiran untuk hal hal yang demikian. Itu semua merupakan tindakan yang berlebihan dan tidak bermanfaat, karena di situ tidak ada sesuatu yang dibutuhkannya. Perbuatan tersebut hanya membuang buang waktu, memperlemah tekad, dan menyebabkan kelalaian, sebagaimana dikemukakan dalam hadits berikut ini: Rasulullah SAW bersabda: “Salah satu tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat.” (Hadits Riwayat Ath Thirmidzi dan Ibnu Madjah)
Sesuatu yang tidak bermanfaat disini bersifat umum, bisa melihat, mendengar, berjalan, berpikir, dan seluruh aktivitas lahir maupun bathin yang lain. Hadits di atas sudah cukup untuk menjelaskan makna wara’ yang sebenarnya. Wara’ adalah meninggalkan setiap yang tidak jelas, yang tidak bermanfaat dan yang berlebihan. Apabila seseorang meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat dan mengerjakan sesuatu yang bermanfaat, maka telah sempurna dan baik Islamnya.
Selanjutnya agar diri kita terhindar dari perbuatan perbuatan yang tidak bermanfaat, hal hal sebagai berikut bisa kita jadikan patokannya, yaitu hindari berbicara secara berlebihan serta banyak tertawa; jangan berlebihan dalam melihat sesuatu; jangan berlebihan dalam mendengar sesuatu; jaga pikiran; jangan sampai makan berlebihan; jangan kebanyakan tidur; jangan kebanyakan bergaul. Waspadalah, karena jalan yang kita lalui penuh dengan bahaya, sementara ahwa (hawa nafsu) diciptakan dengan watak zhalim dan bodoh serta memiliki sifat yang menampilkan nilai nilai keburukan. Jika seorang hamba bertekad menempuh perjalanan menuju Allah, ahwa (hawa nafsu) siap memperdaya dan menghadangnya. Setelah diri kita mampu untuk berjihad untuk kepentingan jasmani dan ruhani diri kita sendiri, jangan lupa kita wajib berjihad pula untuk kepentingan keluarga, anak dan keturunan serta untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara secara bersamaan sebagai bukti kita pernah ada di muka bumi ini.
Jihad untuk kepentingan keluarga, anak dan keturunan, dapat kita lakukan melalui hal hal sebagai berikut: (1) selalu memberikan nafkah yang halal lagi bersih dari pekerjaan dan penghasilan serta diiringi dengan selalu menunaikan zakat, infaq dan sedekah; (2) menjadikan diri kita sebagai suri tauladan utama bagi keluarga sendiri; (3) tidak menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak dan keturunan kepada sekolah, melainkan jadikan pendidikan di dalam keluarga nomor satu; (4) anak shaleh dan shalehah ada karena kita sendiri yang merencanakannya menjadi ada, buang jauh jauh konsep anak shaleh dan shalehah turun dari langit untuk kita; (5) didik anak dan keturunan kita sesuai dengan masanya (sesuai dengan jamannya) dengan mengedepankan pendidikan akhlak (pendidikan mengenal diri dan Allah SWT) dibandingkan dengan pendidikan jasmani dan lain sebagainya.
Sebagai kepala keluarga, sebagai suami/istri ada baiknya kita memperhatikan nasehat yang kami kemukakan berikut ini sebagai bentuk pedoman di dalam mendidik anak dan keturunan kita: “Kita tidak ingin membangun fatamorgana, secara kasat mata, anak anak terlihat baik baik saja, rajin belajar, bersikap ramah, tenang mengikuti pelajaran, nilainya juga bagus, namun ketika kita melihat dengan mata hati kita jauh ke dalam diri anak, ternyata itu hanya ada dipermukaan saja. Mereka anak yang rapuh, mudah menyerah, mudah putus asa, gandrung jalan pintas, mahir menjawab soal ujian, namun gamang menjawab persoalan kehidupan. (Zukfikri Anas, dalam bukunya Kurikulum Untuk Kehidupan, AMP Press, Jakarta, 2017). Sudahkah kita menyadarinya!
Sedangkan jihad untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, juga harus kita lakukan sebagai wujud dari pelaksanaan ibadah ikhsan yang tidak terpisahkan dengan pelaksanaan rukun iman dan rukun islam; atau juga bisa sebagai pembuktian dari pelaksanaan napak tilas perjuangan keluarga Ibrahim as (ibadah sa’i); atau bisa juga melalui pembuktian dari hasil telah dibuangnya nilai nilai syaitaniah dalam diri sebagai wujud pelaksanaan ibadah jumroh; atau bisa juga sebagai bukti dari selalu ihram dan thawafnya diri kita di tanah halal, sebagai berikut: (1) melakukan bakti sosial sesuai profesi masing masing secara teratur dari waktu ke waktu; (2) mengambil peran di masyarakat sesuai dengan kemampuan, bakat dan profesi masing masing; (3) menjadi donator rutin untuk dana pemeliharaan masjid, atau menjadi orang tua asuh dan lain sebagainya secara jangka panjang; (4) mewakafkan waktu selama satu jam untuk kepentingan masyarakat setiap seminggu sekali seperti mengajar, memberikan bimbingan, memberikan motivasi untuk komunitas komunitas tertentu dalam masyarakat secara terstruktur secara jangka panjang, dan lain sebagainya. Intinya buat Allah SWT tersenyum bangga kepada diri kita. Jika ke empat hal yang kami kemukakan di atas ini bisa kita lakukan berarti kesempatan diri kita berumur panjang sudah kita miliki, yaitu dikenangnya diri kita melalui perbuatan baik yang dapat dinikmati oleh generasi yang datang kemudian hari. Hal yang harus kita pegang teguh agar selalu berumur panjang adalah jadikan niat ikhlas dalam mencari ridha sebagai pedoman kita
Jika kita ingin memperoleh kemakmuran satu tahun, tanamlah benih. Jika kita ingin memperoleh kemakmuran sepuluh tahun, tanamlah pohon. Jika kita ingin kemakmuran seratus tahun, didiklah manusia. (Kong Fu Tze (Confusius)
Dalam pelaksanaan jihad untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara ini, jangan pernah menunggu waktu yang tepat, jangan pernah menunggu ada teman yang akan membantu teman. Lakukan sekarang juga. Lakukan sendirian agar yang lain termotivasi dengan apa apa yang kita lakukan. Jangan pernah mendengarkan ocehan, omongan orang lain atas apa yang kita lakukan. Biarkan para pencemooh mencemooh kita, biarkan kritikus mengkritisi kita. Terus dan terus berkarya dengan tetap menjaga niat ikhlas untuk mengejar dan memperoleh ridha Allah SWT. Jika hal ini mampu kita lakukan sekarang ini berarti kita berani membayar mahal atas tiket masuk ke SyurgaNya Allah SWT.
Syurga itu mahal. Syurga bukanlah sesuatu yang bisa dikonversi dengan pahala. Syurga adalah bentuk penghargaan Allah SWT kepada umatnya yang telah sukses melaksanakan misinya sebagai khalifahNya di muka bumi. Sehingga masuk syurga hanya bisa terealisir melalui ridha dan rahmatNya semata. Semoga kita bisa bertemu, berkumpul dengan anak, keturunan kita masing masing. Dan sebagai tambahan tentang jihad yang telah kami kemukakan di atas. Jihad juga bisa dibedakan menjadi beberapa kriteria, yaitu: “Dari Ka’bah bin Ujrah ia berkata: Telah berlalu seorang lelaki dihadapan Nabi SAW lalu para sahabat Rasulullah melihat kekuatan dan ketangkasan orang itu, maka mereka berkata: Alangkah baik dan hebatnya orang itu, jika orang ini berjihad pada jalan Allah, Maka Rasulullah bersabda: Jika ia keluar berusaha untuk anaknya yang masih kecil kecil maka ia pada jalan Allah, dan apabila ia keluar berusaha untuk ke dua orang tuanya yang telah lanjut umurnya, maka ia pada jalan Allah, dan jika ia keluar berusaha untuk dirinya agar terpelihara kehormatannya, maka ia pada jalan Allah, dan jika keluar berusaha karena riya’ dan bermegah diri, maka ia pada jalan syaitan”. (Hadits Riwayat Ath Thabrani)
a. Jihad kepada nafsu (jihad kepada diri sendiri). Jihad ini wajib dan yang pertama tama dilaksanakan oleh tiap tiap orang yang beriman.“Seutama utamanya jihad ialah orang yang berjihad terhadap nafsunya dalam berbakti kepada Allah yang Maha Mulia dan Maha Menang”. (Hadits Riwayat Ath Thabrani). Jihad kepada diri sendiri terdiri dari empat tingkatan, yaitu : (a) Diri supaya rajin mempelajari kebenaran atau agama yang benar, berdasarkan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW; (b) Diri supaya rajin dengan sekuat kuatnya menjalankan kebenaran yang telah di dapatnya dan dipelajarinya itu, karena kebenaran yang telah diperolehnya itu tidak akan berguna sama sekali, jika tidak dijalankan sebagaimana mestinya dan menurut kadar kekuatan dan kesungguhannya; (c) Diri supaya rajin menyerukan dan mensyiarkan kebenaran itu kepad orang banyak yang tidak atau belum mengetahuinya, sebab jika pengetahuan tentang kebenaran itu tidak disebarluaskan, sudah tentu tidak akan berguna, lagi pula dirinya tidak akan terlepas dari siksaan Tuhan; (d) Dalam menyerukan dan mensyiarkan kebenaran itu diri harus sanggup menahan berbagai rasa sakit, harus berani menderita bermacam macam kepayahan dan penderitaan, serta harus berani menghadapi ancaman dan rintangan yang diperbuat orang orang yang tidak atau belu mau menerima kebenaran.
b. Jihad kepada syaitan. Jihad kepada syaitan ini adalah juga wajib dan utama, hal ini dikarenakan bersungguh sungguh mencurahkan segenap tenaga dan upaya untuk mengalahkan syaitan yang terutama memerangi segala tipu muslihatnya yang menimbulkan keraguraguan.
c. Jihad terhadap ahli ahli penganiaya, ahli ahli berbuat jahat, dan ahli ahli bid’ah (pengubah peraturan peraturan agama Allah yang telah pasti). Jihad ini wajib dilakukan oleh setiap orang yang beriman jika ia telah berjihad terhadap dirinya (hawa nafsunya) dan terhadap syaitan. Jihad ini ada tingkatannya, yaitu dengan tangan atau anggota tubuh lainnya; dengan lisan atau semisalnya, dan dengan hati.
Allah SWT berfirman: “Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (surat At Taubah (9) ayat 41)
Nabi SAW bersabda: “Seutama utamanya jihad itu ialah perkataann yang benar di hadapan raja yang durhaka (menganiaya) (Hadits Riwayat Ibnu Madjah)
Nabi SAW bersabda: “Berjihadlah kamu terhadap orang orang musyrik dengan harta bendamu, dan tanganmu dan lidahmu”. (Hadits Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan An Nassa’i)
d.
Jihad terhadap orang kafir dan musyrik. Orang orang yang
beriman wajib melaksanakan jihad ini setelah mereka sempurna melaksanakan jihad
kepada hawa nafsu, jihad kepada syaitan dan jihad kepada ahli penganiaya. Jihad
ini ada empat tingkatannya, yaitu: (a) Dengan tangan atau anggota badan
lainnya; (b) Jika tidak kuasa dengan tangan, dengan lisan; (c) jika tidak kuasa
dengan lisan, dengan hartanya atau yang serupa dengannya; (d) jika tidak pula
kuasa dengan harta benda, dengan hati. Sebagai penutup, berdasarkan uraian yang
kami kemukakan di atas, berjihad itu sangat luas cakupannya yang berarti luas
pula kesempatannya. Maukah kita memanfaatkannya.
N. KEMBALIKAN SEGALA URUSAN KEPADA ALLAH SWT.
Bentuk lain dari kebaikan yang harus kita laksanakan sebagai wujud dari pelaksanaan ibadah Ikhsan adalah mengembalikan segala urusan kepada Allah SWT apabila kita berlainan pendapat tentang sesuatu hal akibat tidak tercapainya suatu musyawarah untuk mufakat. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat An Nisaa’ (4) ayat 59 berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (AlQuran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” Adapun yang dimaksud dengan kembalikan kepada Allah SWT adalah mengembalikan persoalan yang terjadi kepada ketentuan AlQuran dan juga hadits yang berlaku.
Selain daripada itu, masih melalui surat An Nisaa’ (4) ayat 59 adalah suatu kebaikan jika kita mampu mentaati Allah SWT, mentaati Rasul serta mentaati Ulil Amri (pemimpin yang telah disepakati untuk memimpin) diantara kita. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT agar diri kita memiliki pemimpin di masyarakata sehingga umat ada yang mengarahkan, umat ada yang bertanggung jawab, umat ada yang mengatur sehingga terciptalah kesejahteraan dan ketentraman di dalam masyarakat oleh sebab adanya pemimpin yang kita pilih. Adapun yang dimaksud dengan ulil amri bukanlah dalam arti imam dalam shalat, melainkan pemimpin yang berlaku di dalam masyarakat seperti ketua Rt, Ketua Rw, Lurah, Camat, Walikota/Bupati, Gubernur, Menteri, dan juga Presiden.
Jamaah sekalian, selain apa apa yang telah kami kemukakan tentang kebaikan di atas, masih ada satu hal yang juga termasuk kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan yaitu mengetahui, mempelajari, lalu memenuhi segala hak hak Allah SWT sebelum diri kita meminta hak hak kita kepada Allah SWT atau merasakan apa apa yang telah dijanjikan Allah SWT kepada diri kita. Berikut ini akan kami kemukakan beberapa hak hak Allah SWT yang paling utama yang harus kita ketahui dan lalu kita pelajari yang selanjutnya wajib kita laksanakan sebagai sebuah kebutuhan, yaitu:
1. Hak Allah SWT adalah Penentu Ketentuan, Hukum, Undang Undang, Peraturan yang berlaku di alam semesta ini yang kesemuanya termaktub di dalam AlQuran. Hal ini dikarenakan Allah SWT adalah pemilik dan pencipta alam semesta ini. Sehingga AlQuran adalah kumpulan dari ketentuan, hukum, undang undang, peraturan yang berlaku di alam semesta ini, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (surat Ali Imran (3) ayat 190)
Allah SWT berfirman: “Allah-lah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih, (surat Ibrahim (14) ayat 2)
Allah SWT berfirman: “Katakanlah: "Terangkanlah kepada-Ku tentang sekutu-sekutumu yang kamu seru selain Allah. perlihatkanlah kepada-Ku (bahagian) manakah dari bumi ini yang telah mereka ciptakan ataukah mereka mempunyai saham dalam (penciptaan) langit atau Adakah Kami memberi kepada mereka sebuah kitab sehingga mereka mendapat keterangan-keterangan yang jelas daripadanya? sebenarnya orang-orang yang zalim itu sebahagian dari mereka tidak menjanjikan kepada sebahagian yang lain, melainkan tipuan belaka". (surat Fathir (35) ayat 40)
AlQuran adalah hak prerogratif Allah SWT sehingga segala ketentuan, segala hukum, segala undang undang, segala peraturan yang wajib berlaku di alam semesta ini adalah ketentuan, hukum, undang undang, peraturan yang berasal dari Allah SWT. Jika ini kondisinya berarti kita yang ada di alam semesta ini memiliki kewajiban untuk mempelajari, melaksanakan ketentuan, hukum, undang undang, peraturan sesuai dengan kehendak Allah SWT. Selain daripada itu, kita hanyalah penyampai dari apa apa yang ada di dalam AlQuran tanpa harus menjadikan diri kita seperti Allah SWT. Katakan jika Allah SWT marah kepada orang yang syirik dan musyrik atau tidak suka kepada orang yang munafik maka kita tidak boleh mengambil hak Allah SWT dengan marah dan tidak suka kepada orang yang bersangkutan. Kita harus tetap santun dan menghormati kepada sesama umat manusia, urusan syirik, musyrik atau munafik bukanlah urusan kita melainkan urusan yang melakoninya.
2. Hak Allah SWT adalah Penilai dari pelaksanaan dari segala Ketentuan, Hukum, Undang Undang, Peraturan yang termaktub di dalam AlQuran. Adanya kondisi ini maka kita harus mampu melaksanakan segala apa yang telah ditetapkan berlaku sehingga kita dapat dinilai oleh Allah SWT dengan hasil yang baik. Kita tidak pernah diperkenankan untuk melakukan penilaian kepada orang lain karena kita dan orang lain adalah sama sama yang akan dinilai oleh Allah SWT.
3. Hak Allah SWT adalah Penentu Hasil Akhir dari Pelaksanaan Ketentuan, Hukum, Undang Undang, Peraturan yang wajib berlaku di alam semesta ini. Menentukan, menilai dan penentu hasil akhir dari pelaksanaan segala ketentuan, hukum, undang undang, peraturan merupakan hak mutlak dari Allah SWT semata. Kita yang menumpang, kita yang menjadi tamu tidak memiliki hak dimaksud kecuali mempelajari dan melaksanakan ketentuan itu. Kita juga tidak diperkenankan menambah, mengurangi apa apa yang menjadi hak Allah SWT. Jangan sampai kita mengambil hak Allah SWT ini terutama di dalam menilai orang lain yang sama sama menumpang di alam semesta ini dan yang sama sama akan dinilai oleh Allah SWT. Orang yang menumpang tidak memiliki hak sama sekali untuk memberikan penilaian karena ia bukanlah pencipta dan pemilik dari alam semesta ini. Hal yang harus kita ketahui pula adalah bahwa Allah SWT memiliki hak mutlak pula untuk memberikan sanksi kepada siapapun yang tidak mau melaksanakan segala ketentuan yang telah ditetapkannya berlaku.
4. Hak Allah SWT adalah Sembahlah Allah SWT Semata. Berdasarkan surat Thahaa (20) ayat 14 berikut ini: “Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.” kewajiban pertama seorang manusia termasuk diri kita adalah harus mengenal Allah SWT. Untuk itu maka kita harus memiliki ilmu tentang Allah SWT yang sesuai dengan kehendak Allah SWT seperti: Apa itu Allah SWT; Siapa Allah SWT; Bagaimana Allah SWT; Ada dimana Allah SWT; Ada berapa Allah SWT; Apa yang dikehendaki Allah SWT; Apa yang harus diimani dari Allah SWT, Apa yang membatalkan keimanan kepada Allah SWT; Lalu siapakah diri kita serta ada hubungan apakah diri kita dengan Allah SWT dan lain sebagainya.
Setelah diri kita mampu mengenal Allah SWT dengan segala sifat dan kekuasaan yang dimiliki Nya serta tahu siapa diri kita yang sesungguhnya. Lalu Allah SWT mewajibkan kepada diri kita untuk hanya menyembah kepada Nya. Inilah loyalitas mutlak yang harus diberikan hanya kepada-Nya. Tidak dibenarkan seorang hamba melakukan loyalitas ganda kepada selain Allah SWT dan jika ini kita lakukan berarti kita telah menyekutukan Allah SWT di langit dan di bumi Allah SWT. Ingat, menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu adalah dosa yang tidak diampuni oleh Allah SWT.
5.
Hak Allah SWT adalah Mengabdi Hanya
KepadaNya. Berdasarkan
surat Az Zaariyaat (51) ayat 56 berikut ini: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” hak Allah SWT selanjutnya adalah mengabdi hanya kepada Allah SWT semata yang
tidak lain merupakan kewajiban diri kita kepada Allah SWT. Ingat, beribadah
hanya kepada Allah SWT atau mengabdi hanya kepada Allah SWT tidak hanya berlaku
untuk manusia saja, tetapi juga untuk jin. Jika ini kondisinya sudahkah kita
hanya mengabdi kepada Allah SWT karena hanya dengan mengabdi kepada Allah SWT
lah kita akan selamat hidup di dunia dan di akhirat kelak. Jika belum
bertanyalah kepada diri kita sendiri, patutkah kita berbuat kepada Allah SWT
seperti itu? Semoga hal ini tidak
terjadi pada diri kita dan juga pada anak dan keturunan kita. Amien.
Selanjutnya, untuk menambah wawasan tentang hak dan kewajiban manusia. Berikut ini akan kami kemukakan nasehat dari “Imam Syafie” kepada murid muridnya sebelum ia meninggal dunia terutama mengenai hak yang harus ditunaikan dan dijaga oleh seseorang yaitu :
a. Hak kamu kepada diri sendiri, yaitu kurangi tidur. Tidur berlebihan mengurangkan keberkahan umur dan menambah kemalasan dalam urusan agama dan urusan dunia; kurangi makan. Makan berlebihan mengundang penyakit seperti sabda Nabi SAW: “Perut itu rumah segala penyakit”. Makan berlebihan juga menyebabkan mata mengantuk (berkaitan juga dengan berlebihan tidur), mengeraskan hati dan menambah kemalasan dalam urusan agama dan urusan dunia; kurangi berbicara. Banyak berbicara banyak mengundang maksiat mulut; bersyukur dengan rezeki yang ada.
b. Hak kamu kepada Malaikat Maut yaitu memohon maaf kepada orang yang didzalimi; membuat persediaan amalan untuk menghadapi kematian dengan memperbanyak ibadah wajib dan sunnah.
c. Hak kamu kepada kubur yaitu menjauhi perbuatan menebar fitnah, menjaga kebersihan, membiasakan shalat shalat sunnah, membantu orang yang tidak mampu.
d. Hak kamu kepada Malaikat Mungkar dan Malaikat Nakir (malaikat yang menyoal manusia di dalam kubur), yaitu berkata benar dan tidak berdusta; meninggalkan maksiat, nasihat menasihati kepada sesama.
e. Hak kamu kepada mizan (neraca timbangan di hari akhirat) yaitu menahan ahwa (nafsu yang mengajak kepada kejahatan); selalu berzikir; mengaji Al-Quran, Tahlil, Tahmid dan seumpamanya; ikhlas melakukan segala amalan dan di dalam segala pekerjaan; ridha ketika menghadapi kesusahan; bersyukur ketika mendapat nikmat.
f. Hak kamu kepada Siratul Mustaqim (titian yang merentangi syurga dan neraka) yaitu mematuhi segala perintah, jauhi segala larangan Allah seperti mengumpat, menghina orang lain dan lain-lain; suka membantu orang-orang beriman dan orang-orang yang memerlukan pertolongan tanpa melihat bangsa dan agama; selalu shalat berjemaah di surau dan masjid.
g. Hak kamu kepada Malaikat Malik Zabaniah (malaikat penjaga neraka, yaitu menangis karena takut akan azab Allah di hari Mahsyar (hari perhimpunan); berbuat baik kepada ibu bapak; memperbanyakkan sedekah baik dalam bentuk uang, tenaga, buah fikiran dan lain-lain; memperbaiki akhlak terhadap Allah SWT, Rasullulah SAW, masyarakat dan lain-lain.
h. Hak kamu kepada Malaikat Ridwan (malaikat penjaga syurga), yaitu bersabar ketika menerima musibah/bencana; bersyukur atas nikmat Allah SWT; bertaubat sebelum tibanya ajal, jangan menangguhkan taubat karena mati itu akan datang; jangan mengulangi maksiat setelah bertaubat; sntiasa mengharap rahmat, ridha dan ampunan AllahSWT; sentiasa muhasabah diri supaya sentiasa berada di landasan yang betul;
i. Hak kamu kepada Nabi SAW yaitu memperbanyakkan shalawat kepada Rasullulah SAW, berpegang kepada syariat Islam , berpegang teguh kepada hadis yang sahih, berlumba-lumba mencari keredhaan Allah.
j.
Hak
kamu kepada Allah SWT,
yaitu hendaklah mengajak manusia ke arah kebaikan, mencegah masyarakat daripada
melakukan kemungkaran, mengasihi perkara-perkara yang baik dalam ketaatan
kepada Allah SWT, membenci segala bentuk maksiat terhadap Allah SWT,
mendamaikan saudara kamu yang bermusuhan, menjalin silaturrahim di kalangan
kamu, kasih kepada saudara kamu sebagaimana kamu kasih kepada diri kamu
sendiri, kasih kepada tetangga tanpa melihat bangsa dan agama.
Katakan saat ini kita telah kita mampu berbuat kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan, namun apa yang kita lakukan belum memberikan hasil yang optimal baik kepada diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Jika ini sampai terjadi pada diri kita, ada baiknya kita merenungi nasehat dari Ibrahim bin Adham di bawah ini sehingga diri kita selalu berada di dalam kehendak Allah SWT:
“Kalian mengenal Allah, tetapi kalian tidak menunaikan hak-Nya; Kalian mengaku mencintai Nabi dan Rasul-Nya, tetapi kalian meninggalkan Sunnahnya; Kalian membaca AlQuran, tetapi kalian tidak mengamalkan isinya; Kalian banyak diberi nikmat karunia, tetapi kalian tidak mensyukurinya; Kalian mengatakan bahwa syaitan adalah musuh, tetapi kalian justru mengikuti langkahnya; Kalian mengaku bahwa syurga adalah benar adanya, tetapi kalian tidak melakukan amal-amal yang mengantar kesana; Kalian mengaku bahwa neraka adalah benar adanya, tetapi kalian tidak lari dari panas siksanya; Kalian mengaku bahwa kematian adalah benar adanya, namun kalian tidak mempersiapkan diri ke sana; Kalian sibuk mengurusi kekurangan orang lain, tetapi kalian lupa akan kekurangan diri sendiri; Kalian menguburkan jenazah, akan tetapi tidak mau mengambil pelajaran dari peristiwa kematian. (Nasehat Ibrahim bin Adham).”
Untuk itu sadarilah dengan sesadar sadarnya bahwa saat kita hidup di dunia itu adalah satu satunya kesempatan bagi diri kita untuk melaksanakan kebaikan dalam kerangka Ibadah Ikhsan. Perbaiki apa yang harus kita perbaiki saat ini juga. Lakukan apa yang harus kita lakukan saat ini juga. Jangan pernah menunda nunda apa yang seharusnya kita lakukan. Ingat, waktu yang tersedia tidak bisa diputar ulang, tidak bisa ditambah ataupun dikurangi. Berbuatlah kebaikan secara ikhlas. Lakukan kebaikan sekarang juga. Ingat, lakukan sekarang juga dan ingat pula kebaikan itu untuk diri kita sendiri.