Allah SWT menciptakan
malaikat dengan akal tanpa syahwat; menciptakan binatang dengan syahwat tanpa
akal dan menciptakan Anak Adam dengan menyertakan akal dan syahwat. Barangsiapa
akalnya dapat mengalahkan syahwatnya, maka termasuk golongan malaikat, dan barangsiapa
akalnya dikalahkan oleh syahwatnya, maka termasuk golongan binatang.
Setiap manusia pasti terdiri dari
jasmani dan juga ruhani. Jasmani asalnya dari sari pati tanah sedangkan ruhani
asalnya dari Nur Allah SWT. Adanya perbedaan asal usul dari keduanya maka dapat
dipastikan antara jasmani dan ruhani pasti memiliki sifat, perbuatan dan
kemampuan yang berbeda.Jasmani memiliki sifat yang di dalam Al Qur’an
diistilahkan sebagai insan. Perbuatan dari sifat jasmani (insan) disebut juga
dengan ahwa/hawa nafsu, sedangkan kemampuan jasmani untuk melakukan
perbuatannya disebut juga dengan basyar. Adapun sifat sifat alamiah jasmani
mencerminkan nilai nilai keburukan yang berasal dari alam yang kesemuanya
sangat dikehendaki oleh syaitan.
Lalu bagaimana dengan ruhani? Ruhani
juga memiliki sifat yang di dalam Al Qur’an dikemukakan sebagai Nass. Lalu
perbuatan dari Nass itu disebut juga dengan Nafs/Anfuss sedangkan kemampuan
dari ruhani disebut juga dengan Ruh. Adapun sifat sifat alamiah ruhani
mencerminkan nilai nilai kebaikan yang berasal dari Allah SWT yaitu cerminan
dari asmaul husna.
kemudian
Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia
menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit
sekali bersyukur.
(surat
As Sajdah (32) ayat 9)
Adanya ketentuan berdasarkan surat As
Sajdah (32) ayat 9 di atas, setiap manusia pasti terdiri jasmani dan ruhani. Ini
menunjukkan bahwa di dalam diri manusia termasuk di dalam diri kita, pasti terdapat
dua buah sifat, yaitu adanya nilai nilai keburukan yang berasal dari jasmani
dan juga adanya nilai nilai kebaikan yang berasal dari ruhani. Lalu dengan
adanya dua buah sifat yang berlainan ini maka akan memiliki dampak yang sangat
berbeda dalam kehidupan manusia jika terpengaruh dari keduanya.
Lalu bisakah kita menghindarkan diri
dari ketentuan dalam surat As Sajdah (32) ayat 9 di atas? Sepanjang diri kita
masih disebut manusia maka sepanjang itu pula kita tidak bisa melepaskan
ketentuan yang berlaku. Sehingga kita harus tetap berhadapan dengan nilai nilai
keburukan (ahwa/hawa nafsu) yang ada di dalam jasmani manusia. Inilah yang kami
istilahkan dengan musuh dalam selimut. Adanya musuh di dalam selimut yang
terdapat di dalam jasmani, disinilah salah satu letak dari permainan yang
sesungguhnya dimana diri kita yang sesungguhnya adalah ruh/ruhani harus mampu
memanfaatkan dan mendayagunakan jasmani yang sesuai dengan kehendak Allah SWT
dengan ketentuan gunakan dan manfaatkan jasmani untuk kepentingan ruhani tetapi
sifat sifat alamiahnya harus dihilangkan lalu diganti dengan sifat sifat
alamiah ruhani sehingga yang tampil menjadi perilaku kehidupan kita adalah
nilai nilai kebaikan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Di lain sisi, hidup adalah saat
dipersatukannya Ruhani dengan Jasmani. Sehingga pada saat hidup itulah terjadi
apa yang dinamakan dengan tarik menarik antar dua buah sifat yang saling
bertentangan dikarenakan berasal dari asal usul yang berbeda. Lalu dengan
adanya tarik menarik di antara keduanya maka manusia dapat dibagi menjadi dua
golongan, yaitu:
1. Golongan yang dikalahkan, diperbudak,
dibinasakan dan senantiasa berada di bawah perintah nafsunya (suatu keadaan
dimana Jasmani mampu mengalahkan Ruhani) sehingga nilai nilai kebaikan mampu
dikalahkan oleh nilai nilai keburukan (jiwa fujur) sehingga nilai nilai
keburukan yang menjadi perilaku manusia.
dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya),
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu,
dan Sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya.
(surat Asy Syams (91) ayat 7 sampai
10)
2. Golongan yang dapat mengalahkan dan
menundukkan nafsunya sehingga nafsunya taat dan menjalankan perintahnya (suatu
keadaan dimana Jasmani mampu dikalahkan oleh Ruhani) sehingga nilai nilai
kebaikan mampu mengalahkan nilai nilai keburukan (jiwa taqwa) sehingga nilai
nilai kebaikan yang menjadi perilaku manusia
Lalu di posisi manakah diri kita,
apakah yang termasuk di dalam jiwa fujur ataukah yang termasuk di dalam jiwa
taqwa? Semoga jiwa taqwa adalah jiwa diri kita.
Ketahuilah bahwa ahwa/hawa nafsu dapat
dipastikan akan menjerumuskan manusia kepada kebinasaan, menolong musuh, rakus
terhadap sesuatu yang buruk, dan mengikuti kejahatan. Ahwa/hawa nafsu, sesuai
dengan tabiatnya menyukai pelanggaran. Karena itu, nikmat yang tidak ada
bandingnya adalah dapat lari darinya dan membebaskan diri dari perbudakan
ahwa/hawa nafsu. Ahwa/hawa nafsu juga adalah hijab terbesar antara hamba dengan
Allah SWT. Manusia yang paling mengetahui nafsunya adalah manusia yang paling
keras menegur dan membencinya. Disinilah letak dari pentingnya kita berjihad
melawan hawa nafsu yang sesuai dengan
ketentuan hadits di bawah ini.
“Jihad
yang paling utama adalah seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa
nafsunya” (Hadits shahih diriwayatkan
oleh ibnu Najjar dari Abu Dzarr).
Selain daripada itu, berdasarkan surat
An Nazi’at (79) ayat 37 sampai 41 di bawah ini, ahwa/hawa nafsu pada hakekatnya
menyeru manusia untuk berbuat melampaui batas dan mengutamakan kehidupan dunia.
Sedangkan Allah menyeru untuk bertaqwa dan tidak menuruti keinginan hawa nafsu.
Adanya kondisi ini menunjukkan di dalam diri manusia ada sesuatu yang saling kontroversial
namun dibalik kontroversial ini terdapat sebuah permainan yang harus kita
laksanakan, yaitu mampukah diri kita berada sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Adapun
orang yang melampaui batas,dan lebih mengutamakan kehidupan dunia,
Maka
Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).dan Adapun orang-orang yang takut
kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka
Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).
(surat
An Nazi’at (79) ayat 37 sampai 41)
Di dalam ahwa/hawa nafsu juga terdapat
perilaku binatang, seperti keserakahan burung gagak, ketamakan anjing,
kebodohan burung merak, kedurhakaan biawak, kedengkian unta, keganasan singa,
kefasikan tikus, kekejian ular, kesiasiaan kera, penghimpunan lebar, makarnya srigala,
kepandiran kupu kupu, dan tidurnya anjing hutan. Adanya perilaku binatang yang
kami kemukakan di atas ini, bukanlah isapan jempol melainkan sesuatu yang
nyata. Lihatlah orang yang mempertuhankan ahwa/hawa nafsunya perilakunya telah
berubah tidak ubahnya seperti perilaku binatang.
Sebagai khalifah di muka bumi,
ketahuilah bahwa dalam jiwa setiap manusia, ada tiga penyeru yang saling tarik
menarik, yaitu:
1. Penyeru yang mendorong seseorang untuk
berperilaku seperti perilaku syaitan, misalnya congkak, dengki, tinggi hati,
melampaui batas, suka berbuat jahat, suka mencela, merusak dan suka menipu.
2. Penyeru yang mendorong seseorang untuk
berperilaku seperti perilaku binatang, yaitu penyeru yang menuntutnya untuk
memenuhi tuntutan syahwat.
3. Penyeru yang mendorong seseorang untuk
berperilaku seperti perilaku malaikat, misalnya suka berbuat kebajikan, gemar
memberi dan menerima nasehat, berbakti, cinta ilmu, dan selalu bersikap taat.
Melatih nafsu (mengendalikan ahwa/hawa
nafsu) lebih sulit daripada melatih singa. Singa, jika sudah dimasukkan ke
dalam kerangkeng oleh pemiliknya, amanlah kita dari bahayanya. Adapun hawa
nafsu, walaupun sudah dipenjarakan, belum tentu kita aman dari bahayanya.
Jihad melawan ahwa/hawa nafsu wajib
hukumnya bagi setiap manusia tanpa terkecuali. Jihad melawan ahwa/hawa nafsu
terdiri dari empat tahapan, yaitu:
1. Melawannya dengan mempelajari petunjuk
dan Agama yang benar. Agama yang keberuntungan dan kebahagiaan dalam hidup dan
mati hanya dapat diraih dengan agama ini, Jika tidak mengetahui ajaran agama
ini, maka seseorang akan merana di dunia dan akhirat.
2. Melawannya dengan mengamalkan ajaran
Islam setelah mengetahuinya. Jika tidak diamalkan, agama hanya menjadi
pengetahuan yang tidak bermanfaat atau bahkan menjadi pengetahuan yang
berbahaya.
3. Melawanya dengan mengajak manusia
kepada agama yang benar dan mengajarkannya kepada yang belum mengetahui. Jika
tidak melakukan hal ini, seseorang dapat dituduh telah menyembunyikan petunjuk
dan keterangan yang diturunkan oleh Allah SWT. Ilmunya tidak bermanfaat, dan
karenanya tidak dapat menyelamatkannya dari siksa api neraka.
4. Melawanya dengan kesabaran dalam
menghadapi kesulitan dan celaan ketika mengajak manusia ke jalan Allah dan
semuanya harus dilakukan karena Allah semata.
Agar diri kita mampu sukses melawan
ahwa/hawa nafsu, Allah SWT berfirman dalam surat Al Ankabuut (29) ayat 69 di
bawah ini, kesuksesan melawan ahwa/hawa nafsu sangatt tergantung kepada
jihadnya (kesungguhannya) di dalam memerangi ahwa/hawa nafsu. Oleh karena itu,
orang yang paling sempurna pencapaiannya adalah orang yang paling keras
jihadnya.
dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
(surat
Al Ankabuut (29) ayat 69)
Adapun jihad yang diwajibkan, secara
berurutan dapat kami kemukakan adalah: (1) jihad melawan hawa nafsu; (2) jihad
melawan ego; (3) jihad melawan syaitan dan; (4) jihad melawan dunia.
Barangsiapa berjihad melawan hal ini, Allah SWT akan membentangkan baginya
jalan untuk meraih ridhaNya yang akan menghantarkannya ke syurga. Sementara
orang yang meninggalkan jihad secara sengaja, akan kehilangan petunjuk sebesar
jihad yang ditinggalkannya. Rasulullah SAW bersabda: “Jihad yang paling utama adalah
orang yang berjihad melawan nafsunya karena Allah SWT”.
Orang
yang berjihad adalah orang yang menerangi nafsunya dalam taat kepada Allah,
sedangkan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan larangan Allah.
(Hadits
Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah)
Oleh karena itu, selama belum mampu menundukkan
dan memaksa nafsunya untuk melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan,
seseorang tidak mungkin dapat memerangi musuh yang berada di luar dirinya. Tidak mungkin ia dapat memerangi dan berada di
tengah tengah musuh jika musuh yang berada di depannya masih menguasai dirinya.
Sekedar keluar untuk menghadapinya, ia pun tidak akan mampu, kecuali jika ia
menundukkan nafsunya terlebih dahulu. Dan menurut hadits yang diriwayatkan oleh
Ahmad dan Ath Thirmidzi di atas ini, manusia terbagi dua kelompok, yaitu : orang
yang cerdas dan orang yang lemah akalnya.
Orang
yang cerdas adalah orang yang dapat menundukkan nafsunya kemudian bekerja untuk
kehidupan setelah mati. Sementara orang yang lemah akalnya adalah orang yang
menuruti hawa nafsunya kemudian berharap kepada Allah.”
(Hadits
Riwayat Ahmad dan Ath Thirmidzi)
Orang yang cerdas adalah orang yang
cerdik yang berpendirian teguh dan selalu memperhatikan akibat segala sesuatu. Ia dapat menundukkan dan menggunakan
nafsunya untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan di akhirat. Orang
yang lemah akalnya adalah orang yang dungu yang tidak berpengetahuan, yang
tidak pernah memikirkan buah dari perbuatannya. Orang tersebut lebih
suka mengikuti nafsunya yang cenderung kepada sesuatu yang membawa kenikmatan
duniawi, meskipun sebenarnya kenikmatan itu membawa malapetaka bagi
kehidupannya di akhirat, bahkan juga bagi kehidupannya di dunia.
Selain daripada itu, orang yang mengikuti
keinginan ahwa/hawa nafsunya, dan ini yang biasanya terjadi, akan segera
mendapatkan aib di dunia, akan segara jatuh martabatnya di mata Allah dan
manusia, dan akan segera mendapatkan kehinaan. Dia tidak akan mendapatkan
kebaikan dunia dan akhirat yang berupa ilmu yang bermanfaat dan rezeki yang
luas lagi berkah. Sedangkan orang yang melawan nafsunya serta tidak menuruti
keinginannya, akan segera mendapatkan balasan di dunia serta berkahnya yang
berupa ilmu, iman dan rezeki. Atau dengan kata lain, siapa saja yang mampu
menguasai, mengalahkan dan menundukkan nafsunya, maka ia akan menjadi orang
yang mulia karena ia telah mengalahkan dan menawan musuhnya yang paling kuat
serta mencegah kejahatannya.
Ia yang mengenal pihak
lain (musuh) dan mengenal dirinya sendiri,
tidak akan dikalahkan
dalam seratus pertempuran. Ia yang tidak mengenal pihak lain (musuh) tetapi
mengenal dirinya sendiri memiliki suatu peluang yang seimbang untuk menang atau
kalah. Ia yang tidak mengenal pihak lain (musuh) dan dirinya sendiri cenderung
kalah dalam setiap pertempuran.
Jika Anda mengenal diri
dan musuh Anda, Anda tidak akan kalah dalam seratus pertempuran.
(sun tzu dalam the art
of war)
Agar diri kita mudah mengalahkan ahwa/nafsu
atau sukses jihad melawan hawa nafsu, hal yang pertama yang harus kita ketahui
adalah mengetahui hakekat dan sifat sifat jasmani itu sendiri sehingga dengan kita mengetahui
hal yang paling mendasar ini maka langkah untuk melawan atau mengalahkan hawa
nafsu menjadi lebih mudah (kenali terlebih dahulu apa yang dinamakan dengan
musuh dalam selimut itu) yang dibarengi dengan diri kita tahu tentang diri
sendiri.
Untuk lebih memudahkan diri kita
belajar tentang ahwa/hawa nafsu. Ada baiknya kita terlebih dahulu mempelajari sebuah pernyataan dari ‘Dorothy Law Nolte, Phd’ tentang anak
anak yang belajar dari lingkungannya.
a.
Jika anak tumbuh di lingkungan yang
sering mengkritik, ia belajar untuk menyalahkan.
b.
Jika anak tumbuh di lingkungan yang
penuh kekerasan, ia belajar untuk berkelahi.
c. Jika anak tumbuh di lingkungan yang sering menakutnatuki, ia belajar untuk
mudah khawatir.
d.
Jika anak tumbuh di lingkungan yang
penuh kesedihan, ia belajar untuk mengasihi diri.
e.
Jika anak tumbuh di lingkungan yang sering
mempermalukan, ia belajar menjadi pemalu.
f.
Jika anak tumbuh di lingkungan yang
penuh kecemburuan, ia belajar untuk mendendam.
g.
Jika anak tumbuh di lingkungan yang
sering menyalahkan, ia dihantui rasa bersalah.
h.
Jika anak tumbuh di lingkungan yang
memberi semangat, ia belajar untuk percaya diri.
i.
Jika anak tumbuh di lingkungan yang
penuh toleransi, ia belajar untuk bersabar.
j.
Jika anak tumbuh di lingkungan yang
memberi pujian, ia belajar untuk menghargai.
k.
Jika anak tumbuh di lingkungan yang
menerima apa adanya, ia belajar untuk mencintai.
l. Jika anak tumbuh di lingkungan yang
memberikan dukungan, ia belajar untuk menyenangi dirinya.
m. Jika anak tumbuh di lingkungan yang
memberikan penghargaan, ia belajar memiliki tujuan dan cita cita.
n. Jika
anak tumbuh di lingkungan yang menjunjung tinggi kejujuran, ia belajar untuk
mencintai kebenaran.
o. Jika
anak tumbuh di lingkungan yang menghargai keadilan, ia belajar untuk bersikap
adil.
p. Jika
anak tumbuh di lingkungan yang baik hati dan penuh tanggung jawab, ia belajar untuk
menghormati.
q. Jika
anak tumbuh di lingkungan yang penuh rasa aman, ia belajar untuk memiliki
keyakinan dan berbaik sangka.
r. Jika anak tumbuh di lingkungan yang
bersahabat, ia belajar untuk merasa bahwa dunia ini indah dan hidup ini begitu
berharga.
Jika
anak saja bisa berubah perilakunya dikarenakan adanya pengaruh lingkungan. Hal
yang samapun berlaku pada diri kita jika selalu berada di dalam lingkungan yang
sama dengan anak tersebut.
Sekarang
mari kita perhatikan diri kita. Saat diri kita masih hidup berarti kita sedang
berhadapan langsung dengan dua buah lingkungan, yaitu lingkungan yang
bercirikan nilai nilai keburukan (insan) yang berasal dari jasmani dan juga
lingkungan yang bercirikan nilai nilai kebaikan (nass) yang berasal dari
ruhani. Lalu di posisi manakah diri kita saat ini, apakah yang sesuai dengan
kehendak syaitan ataukah yang sesuai dengan kehendak Allah SWT!.Untuk bisa
menentukan dimana posisi kita saat ini, mari kita pelajari salah satu
lingkungan yang melingkungi diri kita dalam hal ini adalah lingkungan yang
berasal dari dalam jasmani diri kita sendiri yang bercirikan nilai nilai
keburukan (insan), yaitu :
A. Diciptakan Dengan Keadaan Lemah
(Terbatas).
Berdasarkan surat An Nisaa’ (4) ayat
28 dan surat Ar Ruum (30) ayat 54 di bawah ini, disebutkan bahwa salah satu
sifat dari jasmani manusia adalah lemah atau bersifat lemah atau disebut juga
dengan dhaif. Adanya sifat lemah dalam jasmani menunjukkan bahwa jasmani
memiliki keterbatasan sehingga jasmani tidak mampu selamanya kuat sehingga
jasmani memiliki penurunan fungsi setelah mencapai titik optimalnya.
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan
manusia dijadikan bersifat lemah.
(surat An Nisaa’ (4) ayat 28)
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia
menjadikan (kamu) sesudah Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia
menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan
apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa. (surat
Ar Ruum (30) ayat 54)
,
Jika jasmani memiliki sifat lemah
(dhaif) berarti perbuatan jasmani (ahwa yang ada pada diri kita) adalah
melemahkan diri kita. Sedangkan kekuatan untuk melemahkan sangat tergantung
dengan kemampuan sifat lemah mempengaruhi manusia. Adanya sifat lemah di dalam jasmani,
ini menandakan kepada kita bahwa kemampuan jasmani manusia ada batasnya
(terbatas). Jika sifat jasmani adalah lemah atau mempunyai keterbatasan,
sekarang bagaimana dengan sifat Allah SWT dan juga dengan sifat ruh/ruhani yang
juga berasal dari Allah SWT? Allah SWT tidak mempunyai sedikitpun sifat lemah dan juga kelemahan dan
demikian pula dengan ruh/ruhani. Ruh/Ruhani juga tidak mempunyai kelemahan
sepanjang ruh/ruhani dapat dijaga dan dirawat dengan baik dan benar atau tidak
dijajah oleh jasmani.
Sekarang adakah sifat lemah di dalam
diri kita? Sifat lemah pasti ada di dalam diri kita sebab diri kita sama-sama
lemah dibandingkan alam karena keduanya ada karena ada yang mengadakan atau ada
yang menciptakan. Pencipta pasti ada sebelum ciptaannya ada serta pencipta
lebih kuat dan lebih mampu dari yang diciptakan. Ini berarti diri kita dan alam
sama-sama diciptakan dalam kondisi lemah.
Jika setiap jasmani telah memiliki
sifat lemah lalu bagaimanakah ahwa dari sifat lemah ini mempengaruhi diri kita
atau mempengaruh sifat ruh/ruhani? Jika sifat lemah mampu mempengaruhi atau mampu
mengalahkan sifat ruh/ruhani maka manusia dibuat malas untuk beraktifitas,
hanya berorientasi jangka pendek, rendah motivasi, selalu bersikap pesimis dan
lain sebagainya yang akhirnya manusia berada di dalam koridor nilai-nilai
keburukan atau berada di dalam suatu
keadaan yang paling dikehendaki oleh syaitan.
Hal ini sangat
bertentangan kehendak Allah SWT kepada diri kita yang selalu memerintahkan diri
kita untuk selalu aktif berbuat kebaikan dimanapun dan kapanpun, beriorientasi
jangka panjang (maksudnya tidak hanya untuk duniawi semata), selalu memiliki
motivasi untuk maju dengan selalu bersikap optimis. Dan jika sampai diri kita
mampu dipengaruhi oleh ahwa berarti kita sendirilah yang memberikan kesempatan
bagi syaitan untuk melaksanakan aksinya kepada diri kita.
B. Keluh Kesah dan Kikir (Bakhil).
Berdasarkan
surat Al Ma’aarij (70) ayat 19-20-21 di bawah ini, dikemukakan salah
satu sifat jasmani manusia selalu berkeluh
kesah dan selalu kikir (bakhil). Jika jasmani memiliki sifat berkeluh kesah dan
selalu kikir (bakhil) berarti perbuatan jasmani (ahwa yang ada pada diri kita)
adalah selalu merasa dirinya kekurangan sehingga memilitkan diri untuk tidak
berbagi kepada orang yang membutuhkan. Pada akhirnya orang seperti ini hanya
mementingkan diri sendiri, keluarga dan kelompoknya saja.
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
Apabila ditimpa kesusuahan ia berkeluh kesah. Dan apabila dapat kebaikan ia
amat kikir.
(surat Al Ma’aarij (70) ayat 19-20-21)
Hal ini terlihat jika manusia ditimpa
kesusahan ia selalu berkeluh kesah dan jika ia mendapat kebaikan selalu merasa
kurang dan akan kikir untuk berbagi kepada sesama. Jika di dalam diri kita
sudah ada sifat demikian, bagaimanakah kita harus bersikap sedangkan di lain
sisi kita harus berbagi kepada fakir miskin atau wajib menunaikan hak Allah SWT
melalui zakat, infaq, shadaqah. Kedua keadaan tersebut di atas akan ada selama ruhani
dan jasmani masih bersatu maka tarik menarik keduanya akan terjadi. Jika Nilai-Nilai
Ilahiah yang berasal dari ruhani dapat mengalahkan sifat-sifat jasmani yang
berasal dari alam maka kita akan menjadi dermawan dan jika sebaliknya yang
terjadi maka kikir dan bakhil serta mementingkan diri sendiri yang terjadi.
Selanjutnya apa yang akan terjadi jika
sifat keluh kesah dan kikir sampai mempengaruhi diri kita atau jika ahwa
mempengaruhi diri kita melalui sifat keluh kesah dan kikir? Jika
sifat ini mempengaruhi diri kita maka kita selalu merasa kekurangan sehingga tidak
bisa menerima sesuatu secara ikhlas, selalu iri melihat orang lain sukses dan
juga selalu mementingkan diri sendiri, susah untuk diajak berbagi untuk
kepentingan bersama, demikian seterusnya yang kesemuanya berkesesuaian dengan
kehendak syaitan. Kondisi ini sangat bertentangan dengan perintah Allah
SWT kepada diri kita, seperti kita diharuskan ikhlas menerima sesuatu, mau
berbagi, tidak mendahulukan kepentingan pribadi serta selalu bersyukur.
Sekarang yang manakah perbuatan kita?
C. Loba, Tamak Akan Harta.
Berdasarkan
surat Al Fajr (89) ayat 17-18-19-20 yang kami kemukakan di bawah ini, sifat jasmani adalah loba, tamak atau rakus akan harta benda. Jika
jasmani memiliki sifat loba, tamak atau rakus akan harta benda berarti
perbuatan jasmani (ahwa yang ada pada diri kita) adalah selalu merasa dirinya
kekurangan sehingga semua ingin dimilikinya yang pada akhirnya ia berbuat tanpa
memikirkan dari mana harta ataupun benda itu berasal, apakah halal ataupun
haram semuanya dianggap sama rata. Pernahkah anda merasakan sifat ini di dalam
diri kita atau adakah sifat ini di dalam diri kita? Jika saat ini kita merasa memiliki sifat loba,
tamak apakah akan kita pertahankan atau jika kita merasa tidak memiliki sifat
loba, tamak apakah kita akan tetap mempertahankannya? Ingat, tangan di
atas selalu lebih baik dari tangan di bawah.
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu
tidak memuliakan anak yatim. Dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang
miskin. Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal
dan yang bathil) dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang
berlebihan. (surat Al Fajr (89) ayat 17-18-19-20)
Lalu, apa yang terjadi jika sifat loba,
tamak akan harta sampai mempengaruhi diri manusia atau seperti apakah kondisi
ahwa di dalam mempengaruhi diri kita melalui sifat loba, tamak? Jika sampai perbuatan loba, tamak akan
harta menjadi perbuatan kita maka ahwa dari itu semua membuat diri kita
melakukan segala cara untuk mendapatkan sesuatu, halal dan haram bukanlah
ukuran, melanggar hukum bukanlah masalah, yang penting apa yang diinginkan
dapat tercapai.
Selanjutnya kondisi inilah yang paling dikehendaki oleh syaitan sang laknatullah
dan yang paling tidak disukai/dibenci oleh Allah SWT.
D. Selalu Berburuk Sangka Dengan Allah
SWT.
Berdasarkan
surat Al Fajr (89) ayat 15-16 yang kami kemukakan di bawah ini, sifat jasmani adalah selalu buruk
sangka tidak hanya kepada manusia saja tetapi ia juga berburuk sangka kepada Allah SWT. Jika ini
adalah sifat jasmani berarti perbuatan dari sifat jasmani ini adalah memandang
sesuatu hal dari sisi keburukan semata tanpa pernah mampu melihat dari sisi
kebaikan/sisi positif sesuatu hal. Sehingga menjadikan seseorang menjadi orang
yang pesimis. Dan saking pesimisnya ia berani untuk berburuk sangka kepada Allah
SWT.
Adapun
manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu memuliakanNya dan diberiNya
kesenangan, maka dia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila
TuhanNya mengujinya lalu membatasi rezkinya maka dia berkata: “Tuhanku
menghinakanku”.
(surat Al
Fajr (89) ayat 15-16)
Sekarang pejamkan mata dan renungkan
adakah sifat ini di dalam diri kita? Jika sifat itu ada di dalam diri kita,
baikkah jika sifat negatif kita pelihara dan kita lestarikan? Sekarang apa yang
terjadi jika sifat buruk sangka sampai mempengaruhi perbuatan manusia melalui
ahwa? Jika sifat buruk sangka menyerang diri kita maka diri kita akan
selalu berprasangka negatif kepada siapapun, merasa diri kita benar sehingga
orang lain selalu salah, merasa orang lain ingin mencelakakan diri kita padahal
orang tersebut ingin menolong diri kita. Dan jika sifat ini terus
mengendap di dalam diri maka ketenangan bathin di dalam diri sirna dikarenakan
prasangka-prasangka buruk selalu menghantui diri, padahal apa yang kita
sangkakan belum tentu benar adanya.
E. Selalu Bermaksiat Terus Menerus.
Berdasarkan
surat Al Qiyamah (75) ayat 5 yang kami kemukakan di bawah ini, sifat jasmani
yang lainnya adalah selalu
ingin berbuat maksiat terus menerus. Jika ini adalah sifat dari jasmani maka
perbuatan dari sifat jasmani (ahwa) ini adalah tidak pernah mau bersyukur atas
apa apa yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada diri kita yang ada hanyalah
kurang dan kurang. Selain tidak mau bersyukur, juga tidak mau mengalah atau
selalu mau menang sendiri seperti halnya hukum alam yang lemah selalu
dikalahkan oleh yang kuat.
Bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus
menerus. (surat Al Qiyaamah (75) ayat 5)
Selama di alam itu ada maka hukum alam
akan tetap berlaku dan terus berlaku. Adanya hukum alam maka sifat alam juga
akan ada di dalam jasmani manusia. Jika manusia melakukan tindakan berbuat
zhalim kepada sesama atau selalu menganiaya yang lemah atau selalu berbuat
maksiat dengan tidak mau bersyukur maka hukum alam yang telah berlaku dan
juga merupakan sunnatullah telah menjadi
perbuatan diri kita. Selanjutnya jika hal ini terjadi di dalam diri kita,
bagaimana kita harus menyikapinya? Jika kita ingin selalu berada di dalam kehendak Allah
SWT maka tidak ada jalan lain kecuali kita menolak atau meniadakan atau tidak
menjadikan hukum alam tersebut berlaku bagi diri kita.Sekarang apa
jadinya jika sampai sifat Jasmani yang selalu bermaksiat terus menerus sampai
mempengaruhi diri manusia? Jika ini yang terjadi maka kenyamanan, ketentraman,
kerukunan hidup di dalam masyarakat hilang, yang ada perasaan untuk mengintimidasi
orang lain, tingginya rasa permusuhan di antara sesama, serta hilangnya
kepercayaan di tengah masyarakat. Adanya kondisi ini memudahkan syaitan
memecah belah umat dan serta memudahkan syaitan menghancurkan persatuan dan
kesatuan bangsa.
F. Selalu Minta Perlindungan Kepada
Makhluk.
Berdasarkan
surat Al Jin (72) ayat 6 yang kami kemukakan di bawah ini, dikemukakan bahwa
sifat jasmani adalah yang kuat selalu menjadi komandan bagi yang lemah
(perhatikan di dalam dunia hewan). Adanya kondisi ini menimbulkan yang lemah
akan selalu meminta perlindungan atau akan selalu minta untuk dilindungi oleh
yang kuat sehingga terjadilah adu kuat di antara mereka. Sekarang adakah
kondisi yang terjadi di alam juga terjadi di dalam diri manusia?
Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki diantara jin, maka jin-jin itu menambah
bagi mereka dosa dan kesalahan.
(surat Al Jin (72) ayat 6)
Di dalam diri setiap manusia juga
terjadi hal yang sama jika terjadi pertentangan ataupun di dalam keadaan
tertentu yang mengakibatkan manusia terjepit. Untuk itu manusia biasanya akan
selalu meminta perlindungan kepada makhluk tertentu yang dianggap mampu untuk
melindunginya. Di lain sisi Allah SWT sudah menyatakan dengan tegas bahwa Allah
SWT akan menjadi penolong dan pelindung bagi hamba-Nya yang beriman. Sekarang
jika kita mengalami hal tersebut di atas kemanakah kita mencari perlindungan?
Semuanya terpulang kepada diri kita sendiri.
Selanjutnya apa yang terjadi jika
sifat jasmani yang selalu meminta perlindungan kepada makhluk sampai
mempengaruhi diri kita melalui jalan ahwa?Jika ini yang terjadi maka akan ada
manusia-manusia yang merasa dirinya jagoan, akan ada apa yang dinamakan
jawara-jawara yang dapat dimintakan tolong baik untuk kebaikan maupun untuk
keburukan. Adanya kondisi ini maka akan timbul di dalam masyarakat apa
yang dinamakan rasa kebencian terhadap kelompok masyarakat tertentu, rasa
mementingkan kelompok tertentu tumbuh di dalam masyarakat, stigma negatif
kepada kelompok tertentu tumbuh subur, yang pada akhirnya akan menghancurkan
sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.
G. Suka Membantah, Menantang dan
Membangkang
Berdasarkan
surat Al Nahl (16) ayat 4 dan surat Al Kahfi (18) ayat 54 yang kami kemukakan
di bawah ini, dikemukakan bahwa sifat jasmani suka membantah, suka menentang serta
suka menjadi pembangkang. Kenapa timbul
sifat ini di dalam diri manusia, padahal sebelumnya manusia itu tidak mempunyai
kemampuan apa-apa pada waktu dilahirkan?
Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah
yang nyata.
(surat An Nahl (16) ayat 4)
Timbulnya sifat pembantah, penentang dan pembangkang di dalam diri
setiap orang disebabkan di dalam diri manusia juga terdapat hawa panas yang
berasal dari api. Sifat api atau hawa panas biasanya selalu ingin menang
sendiri dan tidak mau tunduk kepada siapapun. Api atau hawa panas biasanya akan
langsung keok atau tidak dapat berbuat apa-apa jika api bertemu dengan air.
Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Qur’an ini bermacam-macam perumpamaan. Dan
manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.
(surat Al Kahfi (18) ayat 54)
Sekarang perhatikan orang pembangkang dan pembantah dia baru akan
terdiam jika sudah tersudutkan atau setelah di skak-mat baru tidak dapat
membantah lagi. Pernahkah anda merasakan hal tersebut di atas. Sekarang apa
jadinya jika sifat Jasmani yang suka membantah, membangkang dan juga suka
menantang sampai mempengaruhi diri manusia? Jika ini yang terjadi maka akan
di dalam diri dan juga masyarakat rasa untuk memberontak, rasa tidak puas serta
merasa diri jagoan, merasa diri benar orang lain salah dan seterusnya yang pada
akhirnya akan selalu berada di dalam kehendak Syaitan, tetapi tidak
sesuai dengan kehendak Allah SWT.
H. Suka Ingkar.
Berdasarkan
surat Az Zukhruf (43) ayat 15 yang kami
kemukakan di bawah ini, dikemukakan bahwa sifat jasmani suka ingkar atau
tidak mau mengakui rahmat dan kebaikan yang berasal dari Allah SWT atau kufur
terhadap nikmat Allah SWT. Sekarang pernahkah anda merasakan atau mengalami hal
tersebut di atas? Setiap manusia pasti mengalami apa yang dinamakan dengan ingkar, merasa
kufur atas nikmat yang telah diberikan Allah SWT. Hal ini
terjadi karena kurangnya kesadaran diri akibat selalu mementingkan jasmani
dibandingkan mementingkan ruhani (ruhani nomor sepatu, jasmani nomor satu).
Dan mereka menjadikan sebahagian dari hamba-hambaNya sebagai bahagian
dari padaNya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata
(terhadap) rahmat Allah).
(surat Az Zukhruf (43) ayat 15)
Sekarang apa jadinya jika sifat jasmani
yang suka ingkar atau suka kufur nikmat sampai mempengaruhi diri manusia? Jika ini yang
terjadi maka di dalam diri dan juga di dalam masyarakat, akan timbul rasa tidak pernah puas dengan apa yang
telah diperoleh, susah untuk bersyukur atau susah untuk mengakui kekalahan
walaupun sudah menyatakan siap menang dan siap kalah. Hal ini
sangat bertentangan dengan kehendak Allah SWT namun sesuai dengan kehendak syaitan.
Sebagai khalifah di muka bumi yang baik, tentu kita tidak diperkenankan berbuat
seperti apa yang kami kemukakan di atas, terkecuali diri kita merasa nyaman
dengan kehendak syaitan.
I. Suka Zhalim dan Tidak Mensyukuri
Nikmat.
Berdasarkan
surat Ibrahim (14) ayat 34 yang kami kemukakan di bawah ini, dikemukakan bahwa
sifat jasmani suka bertindak zhalim serta sulit untuk bersyukur. Timbul
pertanyaan, dari manakah asalnya sifat ini?Untuk itu lihatlah dan perhatikanlah
dunia hewan, seekor hewan buas ditolong
oleh manusia apakah hewan tersebut berterima kasih kepada manusia yang telah
menolongnya? Hewan buas setelah ditolong bukannya berterima kasih malah
menyerang balik manusia yang telah menolongnya. Jika sekarang di dalam diri manusia
terjadi hal yang serupa, apakah ini berarti manusia mengambil contoh dari apa
yang terjadi di alam? Jasmani yang berasal dari alam tentunya mempunyai
nilai-nilai tertentu yang diturunkan dari alam (ingat, kita juga senang
mengkonsumsi hewan).
Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu)
dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung ni’mat
Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat
zalim dan sangat mengingkari (ni’mat Allah).
(surat Ibrahim (14) ayat 34)
Timbul pertanyaan manusiakah yang mengambil contoh atas perilaku hewan
ataukah hewan yang mengikuti perilaku manusia? Sekarang
apa jadinya jika sifat jasmani yang suka berbuat zhalim dan tidak suka
bersyukur sampai mempengaruhi diri manusia? Jika ini yang terjadi maka di
dalam diri dan juga di dalam masyarakat maka akan terjadilah apa yang dinamakan
yang kuat menindas yang lemah, yang berkuasa menindak yang membutuhkan sesuatu,
aparatur yang seharusnya melayani justru ingin dilayani serta rendahnya tingkat
kesadaran di dalam masyarakat untuk berbuat kebaikan. Jika sampai hal
ini terjadi rusaklah tatanan hidup di masyarakat bangsa dan negara dan kondisi
ini sangat dinantikan oleh syaitan namun sangat dibenci oleh Allah SWT.
J. Dalam Bahaya Ingat Allah SWT, Jika
Selamat Lupa Untuk Bersyukur.
Berdasarkan
surat Al israa' (17) ayat 67 yang kami kemukakan di bawah ini, dikemukakan bahwa
sifat jasmani akan ingat kepada Allah SWT saat dalam bahaya atau dalam posisi
susah, setelah selesai lupa kepada Allah SWT. Sifat jasmani yang seperti ini
tidak ubahnya dengan sifat hewan buas, setelah ditolong menyerang balik
penolongnya. Sekarang bagaimana dengan manusia dalam hidupan sehari-hari?
Manusia juga sering lupa siapa yang menolongnya.
Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya
hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu
ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih. (surat
Al Israa’ (17) ayat 67)
Sekarang apa jadinya jika
sifat jasmani yang ingat kepada Sekarang
apa jadinya jika sifat Jasmani yang ingat kepada Allah SWT hanya pada saat ada
perlunya saja sampai mempengaruhi diri manusia? Jika ini yang terjadi maka di
dalam diri dan juga di dalam masyarakat maka akan terjadi budaya pamrih, hilang
rasa ikhlas di dalam bekerja dan berbuat sesuatu, tumbuh subur budaya udang di
balik batu, tingkat produktifitas rendah karena kurang ikhlas di dalam bekerja
dan berkarya. Kondisi sangat disukai oleh syaitan sang laknatullah
namun sangat dibenci oleh Allah SWT dan semoga kita tidak termasuk orang-orang
yang melakukan itu semua.
K. Tergesa-gesa Tidak Sabaran dan Ingin
Cepat.
Adapun sifat lainnya yang ada di dalam
diri manusia atau jasad adalah suka tergesa-gesa, tidak sabaran dan selalu
ingin cepat. Keinginan ini biasanya akan tercermin pada saat kita diharuskan
untuk mengantri atau berbaris satu persatu untuk mengambil sesuatu atau pada
waktu terjadi kemacetan lalu lintas. Selanjutnya apa yang terjadi pada tubuh
kita setelah kita melakukan hal tersebut diatas? Biasanya kita akan mengumpat,
menggerutu dan seterusnya dan sebaliknya kita akan senang jika orang lain
dibuat susah.
dan manusia mendoa untuk kejahatan
sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.
(surat Al Isra’ (17) ayat 11)
Sekarang adakah sifat tergesa-gesa dan
tidak sabaran serta ingin cepat dalam diri kita? Sekarang bagaimana jika Ahwa
yang berasal dari sifat Tergesa-gesa atau tidak sabaran atau ingin cepat
mempengaruhi sifat Ruhani atau mempengaruhi perbuatan manusia? Jika sifat
jasmani yang seperti ini sampai mempengaruhi perbuatan manusia maka manusia
tersebut tidak akan mau disuruh mengantri, selalu meminta perlakuan khusus jika
harus mengantri, tidak mau di atur di dalam kepentingan bersama secara urutan,
sehingga apa yang dilakukan harus ia dahulu yang dilayani, harus ia dahulu yang
memperoleh sesuatu sedangkan secara urutan ia memperoleh belakangan.
Jangan sampai diri kita melakukan hal seperti ini dan jika sampai kita
laksanakan berarti diri telah dipengaruhi oleh Ahwa.
L. Tidak Mau Mensyukuri Nikmat Allah SWT.
Dalam kehidupan sehari-hari hukum
penjumlahan dan hukum perkalian merupakan hal yang sangat di-inginkan oleh
manusia sedangkan hukum pengurangan dan pembagian merupakan hal yang sulit dilakukan. Jika
ini yang terjadi dalam kehidupan diri kita berarti sifat Jasmani yang
dikemukakan di dalam surat Al Hajj (22)
ayat 66 ada pada diri kita, yaitu tidak mau bersyukur atau tidak mau
mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada kita atau kepada
keluarga kita merupakan sesuatu yang susah dilakukan oleh manusia.
Dan dialah Allah yang telah menghidupkan kamu,
kemudian mematikan kamu, sesungguhnya manusia itu, benar-benar sangat
mengingkari ni’mat.((surat Al Hajj (22) ayat 66)
Selanjutnya yang kami maksudkan dengan
hukum
pembagian dan pengurangan adalah manusia sangat sulit untuk berbagi kepada
sesama atau manusia paling tidak suka untuk mengurangi haknya kepada orang
lain. Manusia lebih senang dan suka untuk selalu menambah dan mengalikan
apa yang dimilikinya, dimana kondisi ini
sangat bertentangan dengan hukum pembagian dan pengurangan.
Sekarang yang manakah yang anda miliki apakah hukum pembagian dan pengurangan
yang anda miliki ataukah hukum perkalian dan penjumlahan yang anda miliki?
M. Ditimpa
Bahaya Berdoa, Senang Kafir.
Berdasarkan
surat Asy Syuura (42) ayat 48 dan surat Yunus (10) ayat 12 yang kami kemukakan
di bawah ini, sifat Jasmani
yang lainnya adalah jika ditimpa bahaya atau mengalami kekurangan atau dalam
posisi terjepit, ia akan akan selalu
berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah SWT namun setelah doanya
dikabulkan, ia lupa, ia lalai, merasa apa yang telah diperolehnya bukan atas
bantuan Allah SWT.
Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus
kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan
(risalah). Sesungguhnya apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat
dari Kami dia bergembira ria karena rahmat itu. Dan jika mereka ditimpa
kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar)
karena sesungguhnya manusia itu amat ingkar (kepada ni’mat).
(surat Asy Syuura (42) ayat 48)
Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo’a
kepada kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami
hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat),
seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang
telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik
apa yang selalu mereka kerjakan. (surat Yunus (10) ayat 12)
Di dalam kehidupan, terutama di dalam
kehidupan binatang, coba anda perhatikan pada waktu kita menolong seekor hewan
buas yang terjepit, pada saat ditolong hewan tersebut menurut dan tidak
menunjukkan gelagat yang tidak baik. Akan tetapi setelah semuanya berakhir maka
hewan tersebut akan menyerang kita yang telah menyelamatkannya. Selanjutnya jika
perbuatan yang kita lakukan seperti di atas ini, berarti apa yang kita lakukan
sama dengan hewan yang telah kita tolong. Sekarang
hewankah yang meniru kita atau kita kah yang meniru tingkah laku hewan?
N. Selalu Dalam Kerugian.
Berdasarkan surat Al ‘Ashr (103) ayat 1-2 yang
kami kemukakan di bawah ini, salah satu sifat jasmani yang lainnya adalah
selalu menghambur-hamburkan waktu atau melalaikan waktu. Jika ini adalah sifat
dari jasmani berarti perbuatan dari jasmani (ahwa) adalah menghabiskan waktu
dengan cara cara yang tidak berguna atau menganggap waktulah yang menunggunya. Manusia
berpikir bahwa waktu adalah
sesuatu yang dapat dikendalikannya atau bahkan dapat dibelinya sehingga pada
saat waktu itu telah habis atau akan berakhir barulah manusia itu sadar dan
berharap waktu akan kembali lagi.
Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada
dalam kerugian.
(surat Al ‘Ashr (103) ayat 1-2)
Di sinilah letaknya jika manusia
dikatakan selalu berada di dalam kerugian. Kerugian yang terjadi akibat
kelalaian di dalam memanfaatkan waktu atau tidak mampunya kita memanfaatkan saat
bersatunya ruh/ruhani dengan jasmani sehingga fungsi dari kekhalifahan yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT kepada diri kita tidak dapat terlaksana dengan
baik dan benar.
Berdasarkan apa-apa yang kami kemukakan tentang sifat-sifat alamiah jasmani, yang di dalam Al-Qur'an
disebut dengan Insan, tidak ada satupun sifat-sifat alamiah jasmani atau
perbuatan insan yang sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari
Nilai-Nilai Ilahiah termasuk juga perbuatan dari sifat insan itu sendiri yang
dinamakan dengan ahwa. Sifat-sifat jasmani dan juga ahwa kesemuanya
mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan yang sangat dikehendaki oleh syaitan sang
laknatullah. Lalu perlukah
kita meratapi dan mempertanyakan kembali sifat-sifat jasmani?
Sifat jasmani yang telah kami sebutkan diatas merupakan sunnatullah
yang harus berlaku di muka bumi ini sama seperti sifat garam yaitu asin dan mengasinkan atau sifat gula
yaitu manis dan memaniskan. Kita semua tidak dapat merubah sifat gula maupun sifat
garam, yang dapat kita lakukan adalah meramu atau mencampur sifat gula dan sifat
garam menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi hidup dan kehidupan. Jika sekarang sifat-sifat
jasmani sudah ada di dalam diri setiap manusia dapatkah sifat-sifat itu dirubah
atau ditiadakan? Sifat-sifat jasmani tidak dapat dirubah dan ditiadakan, akan tetapi
harus kita jadikan rambu-rambu atau larangan-larangan yang tidak boleh
dilanggar jika kita ingin selamat dan sukses menjadi khalifah di muka bumi sehingga
mampu menghantarkan diri kita pulang kampung ke syurga.
Jika saat ini kita masih hidup tentu
kondisi ini sedang kita alami, tinggal bagaimana kita menyikapi hal ini yang
sunnatullah sudah berlaku di alam semesta ini. Perjalanan masih panjang. Jangan
berhenti belajar.
dan orang-orang yang berjihad untuk
(mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik.
(surat Al Ankabuut (29) ayat 69)
Setelah diri kita mengetahui tentang
sifat sifat jasmani yang kesemuanya bercirikan nilai nilai keburukan yang berasal
dari sifat sifat alam dan sekarang ada di dalam jasmani diri kita. Adanya hal ini menunjukkan kepada diri kita
bahwa kita selalu berada di dalam lingkungan tersebut. Untuk itu ketahuilah
kondisi ini jika diperturutkan oleh diri kita, inilah yang dinamakan dengan memperturutkan
hawa nafsu. Dan kondisi ini tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT namun sangat
disukai oleh syaitan sang laknatullah. Selanjutnya kita harus mengetahui pola
kerja sifat sifat jasmani atau cara kerja ahwa/hawa nafsu di dalam mempengaruhi
diri manusia.
1. MENGETAHUI
CARA KERJA AHWA (HAWA NAFSU) MEMPENGARUHI DIRI MANUSIA.
Seperti kita telah ketahui bersama,
bahwa lingkungan sangat berpengaruh di dalam kehidupan manusia. Apabila
lingkungan bercirikan nilai nilai keburukan berarti nilai nilai keburukan yang
ada di dalam lingkungan bisa merubah diri kita dari yang baik bisa menjadi
buruk dan bisa juga dari yang buruk menjadi lebih buruk lagi. Hal yang samapun
berlaku dengan lingkungan yang bercirikan nilai nilai kebaikan. Lingkungan ini
bisa merubah orang yang berperilaku buruk menjadi baik dan juga bisa membuat
orang baik menjadi lebih baik lagi.
Saat ini, kita tidak bisa melepaskan
diri dari jasmani dikarenakan hidup harus terdiri dari jasmani dan ruhani. Jika
ini kondisinya berarti sepanjang diri kita masih hidup maka kita tidak bisa
keluar dari lingkungan jasmani (lingkungan insan) dan juga lingkungan ruhani
(lingkungan nass). Jika kita berada dan masuk serta terpengaruh di dalam
lingkungan jasmani maka kita sangat dikehendaki oleh syaitan namun dibenci oleh
Allah SWT. Demikian pula sebaliknya, jika kita berada dan masuk serta
terpengaruh di dalam lingkungan ruhani maka kita sangat dibenci oleh syaitan
namun sesuai dengan kehendak Allah SWT. Pilihan untuk menjadikan diri kita
sesuai dengan kehendak Allah SWT atau sesuai dengan kehendak syaitan ada pada
diri kita masing masing.
Lingkungan kebaikan (nass) ataupun
lingkungan keburukan (insan) tidak akan pernah memberikan dampak kepada diri
kita jika kita sendiri tidak pernah meresponnya, atau kita tidak terpengaruh
oleh keberadaannya, atau kita tidak pernah memperturutkannya. Jika kita mulai terpengaruh dengan nilai nilai
keburukan saat hidup, dari sinilah mulai timbul adanya nafsu untuk berbuat
sesuatu. Dan jika sampai keadaan ini terjadi maka nafsu ini menjadi pintu masuk
bagi syaitan untuk melaksanakan aksinya kepada diri kita. Sehingga nafsu yang
semula hanya berkekuatan kecil setelah dipengaruhi oleh syaitan memiliki
kekuatan besar di dalam mempengaruhi tingkah laku manusia. Lalu berlakulah
ketentuan di bawah ini, yaitu mempertuhankan hawa nafsu.
Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan
Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[1384] dan Allah telah mengunci mati
pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka
siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat).
Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
(surat
Al Jaatsiyah (45) ayat 23)
[1384] Maksudnya Tuhan
membiarkan orang itu sesat, karena Allah telah mengetahui bahwa Dia tidak
menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya.
Setelah diri
kita mengetahui tentang sifat alamiah jasmani (insan) dan juga perbuatan dari jasmani
(ahwa/hawa nafsu), lalu adakah hubungan antara sifat alamiah jasmani (insan)
dengan perbuatan dari jasmani (ahwa)? Sifat-sifat alamiah jasmani dan perbuatan
jasmani keduanya tidak bisa dipisahkan begitu saja, karena keduanya saling
berhubungan erat dimana keduanya sangat tergantung dari kemampuan dari jasmani
itu sendiri. Apa maksudnya? Seperti
telah kita ketahui bersama sifat-sifat alamiah jasmani yang berasal dari alam,
termasuk di dalamnya perbuatan dari sifat-sifat alamiah jasmani (Ahwa) di dalam
mempengaruhi perbuatan manusia sangat dipengaruhi oleh kemampuan dari jasmani
itu sendiri, yang disebut juga di dalam Al-Qur’an sebagai Basyar.
Untuk itu perhatikanlah garam yang
memiliki sifat asin, dimana garam baru bisa mengasinkan apa-apa yang ada
disekitarnya jika kemampuan garam melebihi kemampuan dari apa-apa yang ada
disekelilingnya. Semakin tinggi kemampuan garam maka semakin tinggi pula
perbuatan garam di dalam mengasinkan sesuatu, demikian pula sebaliknya. Hal
yang samapun terjadi pada sifat-sifat alamiah jasmani (insan) yang berasal dari
alam di dalam mempengaruhi perbuatan manusia (ahwa).
Semakin tinggi kualitas sifat-sifat
alamiah jasmani (kualitas insan) maka semakin tinggi pula kualitas ahwa di
dalam mempengaruhi perbuatan manusia, demikian pula sebaliknya.Timbul
pertanyaan, apa dasarnya? Jika kita berbicara tentang kemampuan dari
sifat-sifat alamiah jasmani yang asalnya dari alam dan juga perbuatan dari
sifat-sifat alamiah jasmani di dalam mempengaruhi perbuatan manusia, maka hal
ini tidak terlepas dari asal-usul dari jasmani itu sendiri. Sekarang
darimanakah asal usul dari jasmani manusia?
Maka
hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.
(surat
Abasa (80) ayat 24)
Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
(surat
Al Baqarah (2) ayat 168)
Kemampuan
alamiah jasmani manusia tidak terlepas dari makanan dan minuman yang dikonsumsi
oleh manusia itu sendiri, apakah sudah sesuai dengan kriteria yang sudah di
tetapkan oleh Allah SWT dalam hal ini Halal dan Thayib (Halal dan juga sesuai
dengan kecukupan gizi), serta dibacakan Basmallah dan doa serta mempertemukan
sel telur dengan sperma sesuai dengan syariat.
Semakin kita memenuhi syarat dan
ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT semakin baik pula kemampuan
Jasmani. Demikian pula sebaliknya, semakin jelek kita memenuhi syarat dan
ketentuan yang telah ditetapkan semakin jelek pula kemampuan jasmani. Kondisi
ini sangat bertolak belakang dengan kondisi yang dikehendaki oleh syaitan yaitu
Haram lagi Syaiat (tidak sesuai dengan kecukupan gizi), tidak dibacakan
Basmallah dan doa serta mempertemukan sel telur dengan sperma tidak sesuai
dengan syariat.
Hal yang harus kita perhatikan adalah
ketentuan Halal dan Thayib serta dibacakan Basmallah dan doa sewaktu
mengkonsumsi makanan dan minuman serta mempertemukan sel telur dengan sperma
sesuai dengan syariat tidak bisa menghilangkan begitu saja sifat-sifat alamiah jasmani
(sifat Insan) yang sesuai dengan koridor nilai-nilai keburukan yang sangat
dikehendaki oleh syaitan. Akan tetapi, kondisi di atas mampu mengurangi
kemampuan sifat-sifat alamiah jasmani (sifat Insan) di dalam mempengaruhi
perbuatan diri kita sehingga kemampuan ahwa berkurang kualitasnya.
Sekarang coba kita bayangkan Halal dan
Thayib serta dibacakan Basamallah dan Doa saja tidak mampu menghilangkan
sifat-sifat alamiah Jasmani (sifat Insan), sekarang bagaimana jika makanan dan
minuman yang kita konsumsi, yang anak keturunan kita konsumi, memenuhi konsep
Haram dan Syaiat? Jawaban dari pertanyaan ini sudah pasti yaitu sifat Insan
tetap utuh yang diikuti dengan kemampuan Ahwa yang sangat besar.
Adanya keadaann yang kami kemukakan di
atas memang sudah seharusnya kita harus memperhatikan segala apa yang kita
makan dan segala apa yang kita minum karena akan berdampak langsung kepada Ahwa
yang akan mempengaruhi diri kita dan juga memberikan kesempatan bagi syaitan
untuk memiliki pintu masuk untuk mengganggu dan menggoda manusia melalui pintu
ahwa. Sekarang tergantung diri kita sendiri mau makan dan minum yang seperti
apa, karena dampak dari kualitas insan dan kualitas ahwa yang ada pada diri
kita, bukan orang lain yang menentukan melainkan kita sendiri yang menentukan.
Selain daripada itu masih ada hal lain
yang harus pula kita perhatikan yaitu sifat-sifat alamiah jasmani yang berasal
dari alam, termasuk di dalamnya perbuatan dari sifat-sifat alamiah jasmani (ahwa)
kesemuanya adalah sunnatullah atau sudah menjadi ketetapan Allah SWT yang wajib
berlaku bagi jasmani setiap manusia yang menjadi khalifah di muka bumi.
Sehingga setiap orang yang ada di muka bumi ini, tanpa terkecuali, siapapun
orangnya, apapun kedudukannya, apapun jabatannya, baik laki-laki ataupun
perempuan, termasuk Nabi Muhammad SAW, juga
memiliki sifat-sifat alamiah jasmani yang berasal dari alam, juga
memiliki ahwa dan juga memiliki kemampuan sifat insan dan ahwa seperti
manusia-manusia lainnya yang ada di muka bumi.
Perbuatan
sifat jasmani (ahwa) yang telah kami kemukakan di atas, bukanlah sesuatu yang
menakutkan, akan tetapi sunnatullah yang harus kita terima. Hal ini dikarenakan
melalui ahwa yang didukung syaitan kita dapat menikmati apa yang dinamakan syurga
dan neraka atau yang dapat menghantarkan diri kita menjadi pemenang ataupun
pecundang. Sebagai
khalifah di muka bumi, kita tidak boleh apriori dengan adanya sifat alamiah jasmani
yang paling disukai oleh syaitan. Hal ini dikarenakan jika keduanya tidak ada
(maksudnya ahwa dan syaitan tidak ada) maka hambarlah hidup yang kita
laksanakan atau monotonlah kehidupan yang ada di muka bumi atau kita tidak akan
dapat merasakan apa yang dinamakan dengan kemenangan jika tidak ada musuh dalam
suatu permainan.
2. HUBUNGAN
ANTARA AHWA (HAWA NAFSU) DENGAN SYAITAN SANG LAKNATULLAH.
Perbuatan
sifat jasmani (ahwa) yang telah kami kemukakan di atas, bukanlah sesuatu yang
menakutkan, akan tetapi sunnatullah yang harus kita terima. Hal ini dikarenakan
melalui ahwa yang didukung syaitan kita dapat menikmati apa yang dinamakan syurga
dan neraka atau yang dapat menghantarkan diri kita menjadi pemenang ataupun
pecundang. Sebagai
khalifah di muka bumi, kita tidak boleh apriori dengan adanya sifat alamiah jasmani
yang paling disukai oleh syaitan. Hal ini dikarenakan jika keduanya tidak ada
(maksudnya ahwa dan syaitan tidak ada) maka hambarlah hidup yang kita laksanakan
atau monotonlah kehidupan yang ada di muka bumi atau kita tidak akan dapat
merasakan apa yang dinamakan dengan kemenangan jika tidak ada musuh dalam suatu
permainan.
Maka Kami berkata: “Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh
bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu
berdua dari surga yang menyebabkan kamu menjadi celaka”. (surat
Thaaha (20) ayat 117)
Benar iblis/syaitan telah ditetapkan
oleh Allah SWT sebagai musuh yang nyata bagi manusia, termasuk musuh bagi diri
kita. Syaitan pada dasarnya tidak bisa melaksanakan aksinya secara langsung untuk
mengganggu, menggoda, merayu diri kita sepanjang diri kita tidak memberikan
kesempatan bagi syaitan untuk melaksanakan aksinya tersebut.
kemudian
saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan
dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur
(taat).
(surat
Al A’raf (7) ayat 17)
Di lain sisi, berdasarkan surat Al
A’raf (7) ayat 17 di atas ini, syaitan sudah berada di depan diri kita, di
belakang diri kita, di kiri diri kita dan di kanan diri kita, sehingga diri
kita selalu di dalam pantauan syaitan atau syaitan selalu mengitari dan
mengelilingi diri kita sebelum melaksanakan aksinya. Lalu jika ada kesempatan
ia akan melaksanakan aksinya. Sekali lagi kami ingatkan, syaitan walaupun sudah
ada dihadapan (mengelilingi) diri kita, namun ia belum bisa melaksanakan
aksinya kepada diri kita sepanjang pintu masuk untuk melaksanakan aksinya tidak
ada. Salah satu pintu masuk yang harus kita waspadai adalah saat diri kita
mulai terpengaruh baik langsung ataupun tidak langsung dari adanya nilai nilai
kebaikan yang berasal dari ruhani ataupun dari nilai nilai keburukan yang
berasal dari jasmani.
Jika kita terpengaruh dengan nilai
nilai kebaikan lalu berusaha untuk berbuat kebaikan maka syaitan mulai
melancarkan aksinya agar diri kita jangan sampai berbuat hal hal yang sesuai
dengan kehendak Allah SWT dan jika sampai kita melaksanakannya (maksudnya
syaitan tidak mampu mempengaruhi diri kita) maka langkah yang dilakukan oleh
syaitan berikutnya adalah merubah besaran atau merubah kualitas niat seseorang
dalam berbuat, atau mengaburkan keikhlasan di dalam berbuat sehingga hasilnya
tidak maksimal. Lalu bagaimana jika nilai nilai keburukan mulai mempengaruhi
diri kita?
Jika kita mulai terpengaruh dengan
nilai nilai keburukan maka syaitan seperti diberikan bahan bakar yang hebat
untuk melaksanakan aksinya kepada diri kita. Syaitan langsung menyuruh kita
untuk berbuat tanpa harus memikirkan akibatnya. Syaitan berupaya jangan sampai
hal yang sudah dihadapannya gagal dilaksanakan oleh manusia. Syaitan akan
berusaha terus dan terus mempengaruhi manusia untuk melaksanakan apa apa yang
berasal dari nilai nilai keburukan dan bahkan akan menunjukkan jalan bagaimana
hal itu bisa dilaksanakan oleh manusia yang sudah terpengaruh dengan nafsunya.
Hal yang harus kita perhatikan adalah
akhir dari pekerjaan syaitan untuk menggoda dan mengganggu serta merayu
manusia, ada pada firman Allah SWT di bawah ini. Syaitan lepas tangan dengan
segala perbuatannya kepada manusia, dengan mengatakan “janganlah kamu mencerca
aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri.” Jika ini jawaban syaitan kepada
manusia manusia yang telah terpengaruh oleh ahwa/hawa nafsunya, lalu apa yang
bisa kita perbuat saat hari berhisab kelak, selain menyesali diri sendiri!
dan
berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan:
"Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan
akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. sekali-kali tidak
ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu
mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku akan tetapi
cercalah dirimu sendiri. aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun
sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan
perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu". Sesungguhnya
orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih. (surat Ibrahim (14) ayat
22)
Ingat, syaitan berbuat dan
melaksanakan aksinya sudah disetujui oleh Allah SWT jadi jadilkah orang yang
cerdas yaitu orang yang memiliki
kesadaran tentang tahu diri, tahu aturan dan tahu tujuan akhir saat hidup di
muka bumi ini. Amien.
“SEBAB BUKANLAH KARENA AKIBAT, AKIBAT PASTI BERASAL DARI
SEBAB”.
C.
SIFAT-SIFAT PENGIKUT AHWA (HAWA NAFSU).
Dalam kehidupan yang kita jalani saat
ini memiliki hukum yang dinamakan hukum kausalitas. Dimana hukum ini mengatur
tentang apa yang kami istilahkan dengan sebab bukanlah karena akibat, melainkan
akibat berawal dari adanya sebab. Hal yang samapun berlaku jika kita mengikuti,
terpengaruh, memperturutkan ahwa/hawa nafsu yang berasal dari sifat sifat
alamiah jasmani sehingga diri kita mengalami sesuatu yang bertentangan dengan
kehendak Allah SWT namun sesuai dengan kehendak syaitan sang laknatullah.
Berikut ini akan kami kemukakan beberapa akibat yang berawal dari
terpengaruhnya diri kita sehingga memperturutkan ahwa/hawa nafsu, yaitu:
1. Pengikut Ahwa Suka Menolak Yang Haq.
Sifat pengikut ahwa/hawa nafsu, berdasarkan
surat Al Baqarah (2) ayat 120 yang kami kemukakan di bawah ini, selalu menolak
kebaikan atau akan sulit menerima sebuah kebenaran walaupun telah datang
petunjuk yang benar dihadapan mereka. Hal ini dikarenakan pengaruh nilai nilai
keburukan yang berasal dari jasmani yang begitu dominan yang dikendalikan oleh
syaitan lalu merubah nilai nilai kebaikan yang berasal dari ruhani. Jika ini
sampai terjadi berarti kita sudah merasa hebat karena sudah tidak memerlukan
perlindungan dan pertolongan dari Allah SWT sehingga Allah SWTpun tidak akan
mau menjadi pelindung dan penolong diri kita lagi.
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang
kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya
petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu
mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak
lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.
(surat Al Baqarah (2) ayat 120)
Sebagai khalifah yang juga makhluk yang
terhormat, tentu kita tidak bisa melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh
Allah SWT. Untuk itu sebelum kita bertindak dan berbuat sesuatu, pikirkanlah
segala sesuatunya dengan cermat. Jika kita berharap untuk memperoleh kebaikan tidak
akan bisa diperoleh melalui jalan keburukan. Dikarenakan sesuatu yang bersifat
keburukan tidak akan dapat menghasilkan sesuatu yang bersifat kebaikan sebab
keduanya saling bertolak belakang. Untuk mendapatkan atau menghasilkan
sesuatu yang baik harus di mulai dari niat yang baik melalui proses yang baik pula. Hal ini dikarenakan
ukuran dan parameter dari kebaikan yang kita lakukan bukanlah parameter dari
diri kita sendiri, akan tetapi parameter yang dari sisi Allah SWT.
Jika di dalam diri manusia tidak
mempunyai atau tidak mengakui adanya kebaikan, mungkinkah manusia tersebut
dapat memperoleh dan menghasilkan sebuah kebaikan? Jika apa yang kami kemukakan
di atas merupakan parameter dari ketetapan Allah SWT untuk memperoleh kebaikan,
sekarang bisakah, mampukah, berhasilkah manusia memperoleh dan mendapatkan
kebaikan dan kesuksesan hidup melalui Jiwa Fujur atau menjadikan Jiwa Fujur
sebagai alat bantu saat diri kita hidup di dunia? Jawabannya bisa berhasil,
tetapi di dalam koridor Nilai-Nilai Syaitani yang menghantarkan kita ke Neraka.
2. Mengikuti Ahwa berarti Mendzalimi Diri
Sendiri.
Sifat pengikut ahwa/hawa nafsu, berdasarkan
surat Al Baqarah (2) ayat 145 yang kami kemukakan di bawah ini, selalu mendzalimi
dirinya sendiri. Tindakan Dzalim terutama kepada diri sendiri merupakan tindakan bodoh
dan tidak dapat dibenarkan sebab hanya manusia yang gila, hilang ingatan yang
mau mendzalimi dirinya sendiri.Hal ini dikarenakan di dalam diri kita sendiri ada sesuatu yang
terbaik yang Allah SWT berikan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain seperti
Ruh/Ruhani, Amanah yang 7, Hati Ruhani, untuk kepentingan manusia itu sendiri.
Akan tetapi apa-apa yang telah diberikan oleh Allah SWT justru menjadi bumerang
bagi manusia itu sendiri, justru tidak memberikan dampak yang positif/berguna
bagi bagi manusia itu sendiri, yang pada akhirnya tidak mampu
dipertanggungjawabkan kelak dihadapan Allah SWT.
Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada
orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua
ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan
mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat
sebahagian yang lain. Sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah
datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan
orang-orang yang zalim.
(surat Al Baqarah (2) ayat 145)
Jika saat ini kita
termasuk orang yang telah tahu diri, tahu aturan serta tahu tujuan akhir, dan
juga sehat, normal, berilmu, dan telah mendapatkan petunjuk dan anugrah dari Allah
SWT tentu kita tidak akan pernah sekalipun menjadikan sifat sifat alamiah
jasmani yang mencerminkan nilai nilai keburukan menjadi perilaku diri kita
sehari hari. Inilah kedzaliman yang kita lakukan kepada diri sendiri. Lalu jika
kita sendiri yang berbuat zhalim kepada diri sendiri, maka sesuailah diri kita dengan kehendak syaitan
sang laknatullah.
3. Pengikut Awa Sulit Diatur.
Berdasarkan surat Al Furqaan (25) ayat
43 dan 44 yang kami kemukakan di bawah ini, orang yang
telah terpengaruh oleh ahwanya sehingga
berbuat sesuai dengan nilai nilai keburukan akan sulit dan susah di atur,
maunya menang sendiri dan bandel, tidak disiplin, bebal, hanya mementingkan
diri dan kelompoknya saja, selalu mementingkan kepentingan pribadi dibandingkan
kepentingan umum, yang kesemuanya sangat dikehendaki oleh syaitan.
Terangkanlah
kepadaku tentang orang yang menjadikan ) hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka
Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?,
atau
Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. mereka
itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
jalannya (dari binatang ternak itu).
(surat
Al Furqaan (25) ayat 43, 44)
Hasil akhir dari ini semua akan
mengakibatkan kita pulang kampung ke Neraka. Lain halnya jika sifat sifat
alamiah ruhani (nass) mampu menjadi perilaku diri kita maka akan menghasilkan manusia-manusia yang
taat, mau dan mudah diatur, mau ditertibkan, tidak egois, mengedepankan
kepentingan umum dibandingkan dengan kepentingan pribadi, dermawan, selalu
berfikiran jernih dikarenakan sifat dasar dari Ruhani itu sendiri sudah berada
di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan. Hal yang harus kita perhatikan
adalah sesuatu yang berasal dari Allah SWT tidak akan mengakibatkan keburukan
atau mempunyai sifat jahat apalagi sampai membahayakan dan mencelakakan orang
lain. Sadarilah hal ini, lalu jadilah khalifah yang dikehendaki oleh Allah SWT
mulai saat ini juga.
4. Pengikut Ahwa selalu Mendustakan
Ayat-Ayat Allah SWT.
Berdasarkan surat Al Qamar (54) ayat 3
dan ayat 42 yang kami kemukakan di bawah ini, manusia yang memperturutkan ahwanya
akan melakukan apapun guna mencapai tujuan yang di-inginkannya, termasuk kalau
perlu mendustakan ayat-ayat Allah SWT, sepanjang ia dapat meraih tujuan atau
dapat mempertahankan kedudukannya atau dapat memperjuangkan kepentingan diri
dan kelompoknya saja.
Dan mereka mendustakan (Nabi) dan mengikuti hawa
nafsu mereka, sedang tiap-tiap urusan telah ada ketetapannya. (surat Al Qamar
(54) ayat 3)
Mereka mendustakan mu’jizat-mu’jizat Kami
semuanya, lalu Kami azab mereka sebagai azab dari Yang Maha Perkasa lagi Maha
Kuasa. (surat Al Qamar (54) ayat 42)
Manusia yang telah mengabdi kepada ahwanya
akan menganggap Allah SWT tidak ada sehingga diapun berani mendustakan
ayat-ayat Allah SWT. Jika manusia sudah berani mendustakan ayat-ayat Allah SWT atau berani mendustakan kalam Allah
SWT maka orang seperti ini pasti lebih berani mendustakan ketentuan-ketentuan
yang berlaku, mengakali hukum-hukum positif
berlaku di masyarakat.
Jika berdusta, mendustakan ayat-ayat Allah
SWT sudah kita laksanakan maka apa yang kita lakukan adalah sesuatu yang paling
disukai oleh syaitan, yang paling dikehendaki syaitan, yang paling dimuliakan
oleh syaitan serta paling tidak disukai oleh Allah SWT. Sekarang pilihan ada di
tangan diri kita sendiri mau yang disukai dan yang dicintai oleh syaitan atau
yang disukai oleh Allah SWT. Selamat memilih.
5. Pengikut Ahwa suka Melalaikan Shalat.
Berdasarkan surat Maryam (19) ayat 59
yang kami kemukakan di bawah ini, orang yang telah menggadaikan memperturutkan
ahwanya suka melalaikan shalat atau suka meninggalkan shalat tanpa alasan yang
jelas atau suka menjadikan shalat sebagai alasan bagi keterlambatan suatu
aktivitas tertentu. Kenapa shalat sampai ditinggalkan atau dilalaikan manusia? Orang
yang telah mengikuti ahwanya akan selalu merasa kurang waktu atau akan merasa
sibuk terus menerus sehingga dia merasa tidak mempunyai waktu untuk shalat.
Akan tetapi ia mempunyai waktu untuk berbuat dusta, untuk menipu, untuk
memperkaya diri, untuk memprovokasi demi tujuan yang akan dicapainya.
Maka
datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.
(surat
Maryam (19) ayat 59)
Shalat adalah kesempatan bagi manusia untuk berkomunikasi kepada Allah
SWT, shalat adalah saat yang tepat mengajukan permohonan, shalat adalah sarana
bagi manusia untuk bertemu dengan Allah
SWT, shalat adalah kesempatan bagi manusia untuk meminta perlindungan kepada Allah
SWT. Sekarang jika sampai diri kita melalaikan shalat atau bahkan meninggalkan shalat
berarti diri kita sudah merasa lebih hebat dibandingkan dengan Allah SWT
dikarenakan diri kita sudah tidak membutuhkan bantuan dan pertolongan Allah SWT
serta menyianyiakan kesempatan berharga yang telah diberikan oleh Allah SWT
kepada diri kita melalui shalat yaitu berkomunikasi dan mengajukan doa kepada Allah
SWT.
Selain daripada itu alangkah tidak
tahu dirinya kita yang telah menjadi perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi
jika tidak mau berkomunikasi, tidak mau
melaporkan segala aktifitas yang dilaksanakannya padahal Allah SWT yang
mengutus diri kita ke muka bumi dan Allah SWT pula yang memiliki langit dan
bumi. Semoga kita tidak melakukan hal ini.
6. Ahwa
Suka Membikin-bikin Syariat Tanpa Tuntunan dari Allah SWT.
Berdasarkan surat Al Jaatsiyah (45)
ayat 18 dan ayat 20 yang kami kemukakan di bawah ini, orang yang sudah
memperturutkan ahwanya akan berbuat dengan segala cara termasuk di dalamnya
membuat ketentuan-ketentuan baru atau membuat dan membikin syariat baru tanpa
tuntunan dari Allah SWT asalkan ia dapat meloloskan keinginannya ataupun
mencapai tujuannya tersebut.
kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu
syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan
janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
(surat Al Jaatsiyah (45) ayat 18)
Al Quran ini adalah pedoman
bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini.
(surat Al Jaatsiyah (45) ayat 20)
Jika sampai diri kita memperturutkan ahwa
demi mengejar keinginan tertentu melalui cara-cara yang tidak terhormat,
seperti membuat syariat-syariat baru atau membuat ketentuan untuk kepentingan
sesaat, berarti diri kita memang sudah tidak layak lagi menyandang status
terhormat. Dan jika ini sudah terjadi atau kita sudah melakukannya berarti kita
tidak akan pernah sampai ke tempat yang terhormat dengan cara yang terhormat,
untuk bertemu dengan yang Maha Terhormat dalam suasana yang saling hormat
menghormati, karena kita pulang kampung ke Neraka Jahannam.
7. Bila Yang Haq Kalah oleh Ahwa maka
Binasalah Langit dan Bumi.
Berdasarkan
surat Al Mu’minuun (23) ayat 71 yang kami kemukakan di bawah ini, orang yang
telah memperturutkan ahwanya akan membuat langit, bumi beserta isinya hancur, rusak, punah atau
binasa tanpa mengindahkan Allah SWT selaku pencipta dan pemilik alam.
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu
mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya.
Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggan mereka tetapi mereka
berpaling dari kebanggaan itu.
(surat Al Mu’minuun (23) ayat 71)
Lihatlah hutan yang semakin gundul, lihatlah kerusakan lingkungan
akibat eksplorasi yang mengabaikan amdal, lihatlah flora dan fauna yang telah
punah karena hobbi yang tidak berguna, lihatlah sisa-sisa penambangan yang
ditinggalkan begitu saja tanpa direstorasi kembali, yang kesemuanya terjadi
akibat keserakahan manusia yang hanya
memikirkan keuntungan sesaat, yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa
memikirkan siapa yang menciptakan itu semua.
Jika sampai diri kita menjadi pelaku
kerusakan alam berarti diri kita sudah gagal melaksanakan tugas sebagai khalifah
di muka bumi. Hal ini dikarenakan tujuan dari diciptakannya kekhalifahan di
muka bumi adalah untuk menjaga, merawat, memelihara alam serta terciptanya
kedamaian dan keteraturan di muka bumi melalui kekhalifahan yang diciptakan Allah
SWT. Hal lain yang harus kita perhatikan adalah keserakahan, tamak, loba tidak
akan bisa menjadikan diri kita tetap menjadi makhluk terhormat serta tidak akan
bisa pula menghantarkan diri kita ke Tempat yang Terhormat dengan Cara yang
Terhormat.
8.
Pengikut Ahwa Suka Berlebih-lebihan.
Berdasarkan surat Al Maaidah (5) ayat
77 yang kami kemukakan di bawah ini, orang-orang yang telah menjadikan ahwanya
sebagai tujuan hidupnya maka tindak tanduknya selalu berada di dalam koridor
Nilai-Nilai Keburukan yang sesuai dengan kehendak syaitan. Salah satu yang
paling disukai oleh Syaitan adalah suka berlebih-lebihan atau pemboros atau
suka melakukan kegiatan mubazir tetapi pelit untuk berbagi.
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu
berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya
(sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan
(manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.
(surat Al Maa-Idah (5) ayat 77)
Jika sampai diri kita suka
berlebih-lebihan atau senang menjadi pemboros atau suka melakukan kegiatan
mubazir yang dibarengi dengan pelit untuk berbagi maka kondisi ini merupakan
hal yang paling disukai, yang paling dikehendaki oleh Syaitan sang
laknattullah. Untuk itu bersiap-siaplah menjadi tetangga yang baik bagi Syaitan
di Neraka Jahannam kelak.
9. Pengikut Ahwa Dikunci Hatinya.
Berdasarkan surat Muhammad (47) ayat
16 yang kami kemukakan di bawah ini, orang yang telah dipengaruhi oleh ahwanya,
akan dikunci mati hati ruhaninya oleh Allah SWT. Apa maksudunya? Setiap manusia
tanpa terkecuali diberikan oleh Allah SWT apa yang dinamakan dengan perasaan,
yang diletakkan di dalam hati ruhani. Adanya perasaan yang ada di dalam hati,
maka kita dapat merasakan rasa sedih ataupun gembira ataupun kecewa. Dan
melalui perasaan kita dapat juga mengungkapkan rasa syukur atau rasa penyesalan
atas apa-apa yang telah kita perbuat. Sekarang jika kondisi itu dicabut oleh
Allah SWT apa yang dapat kita rasakan?
Dan diantara mereka ada orang yang mendengarkan
perkataanmu sehingga apa bila mereka ke luar dari sisimu mereka berkata kepada
orang yang telah diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi): “Apakah yang
dikatakannya tadi?” Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka
oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka.
(surat Muhammad (47) ayat 16)
Dapatkah kita menangis setelah
merasakan kesedihan atau mengungkapkan rasa syukur atau dpatkah kita tertawa
setelah merasakan kebahagiaan atau setelah bergurau? Selain daripada itu, jika
sampai Allah SWT menutup hati kita berarti kita tidak akan dapat berkomunikasi
dengan Allah SWT, kita tidak akan dapat merasakan kebesaran Allah SWT, kita
tidak dapat merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT. Kenapa hal ini
bisa terjadi? Ingat, hanya hati ruhanilah yang dapat menjangkau Allah SWT.
Di dalam kehidupan sehari-hari hanya
orang yang hilang ingatan atau yang tidak waras atau hanya orang gila saja yang
disebut dengan orang tidak mempunyai perasaan. Sekarang jika kita tidak mau
kehilangan perasaan yang telah diletakkan oleh Allah SWT di dalam Hati Ruhani
maka jangan serahkan atau jangan perturutkan Ahwa saat menjadi khalifah di muka
bumi, terkecuali jika kita ingin menjadi pengikut Syaitan yang ingin merasakan
pulang kampung ke Neraka.
10. Pengikut
Ahwa Suka Memutar Balikkan Fakta.
Berdasarkan surat Muhammad (47) ayat
14 yang kami kemukakan di bawah ini, orang yang telah memperturutkan ahwanya akan
melakukan cara apapun jika ingin mencapai sebuah tujuan yang dikehendakinya.
Salah satu cara yang favorit dipergunakan oleh orang yang telah memperturutkan ahwa
adalah melalui menipu, memutar balikkan fakta, menyebarkan berita bohong maupun
mengintimidasi orang-orang yang lemah.
Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan
yang datang dari Tuhannya sama dengan orang yang (syaitan) menjadikan dia
memandang baik perbuatannya yang buruk
itu dan mengikuti hawa nafsunya?
(surat Muhammad (47) ayat 14)
Sebagai khalifah berarti diri kita
adalah perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi. Jika ini adalah kondisinya
maka sudah sepatutnya dan sepantasnya kita harus memiliki prinsip untuk
mencapai sesuatu yang kebaikan yaitu harus dimulai dari niat yang baik serta
cara yang baik untuk mencapainya. Untuk itu jika kita ingin sukses, apakah itu
promosi jabatan atau sukses di dalam berbisnis, tidak ada cara lain kecuali
melakukannya dengan niat yang tulus dan dengan cara yang baik pula. Pilihan
menjadi baik atau memperoleh kebaikan dan pilihan menjadi buruk atau memperoleh
ketidakberhasilan atau keterpurukan ada di tangan kita sendiri. Yang pasti Allah
SWT tidak membutuhkan kebaikan atau keberhasilan dari diri kita, akan tetapi Allah
SWT akan meminta pertanggungjawaban atas hidup kita ini.
11. Pengikut Ahwa suka Melupakan Tuhan.
Berdasarkan surat Al Kahfi (18) ayat
28-29 yang kami kemukakan di bawah ini, orang yang telah memperturutkan
ahwanya, sering melupakan adanya Tuhan di dalam hidup dan kehidupannya. Hal ini
dimungkinkan sebab jalan yang ditempuh oleh manusia tersebut adalah jalan yang
berada di dalam koridor nilai-nilai keburukan atau nilai-nilai kejahatan yang
dikehendaki syaitan. Sedangkan Allah SWT berada dan akan menyertai manusia yang
selalu berjalan di dalam koridor nilai-nilai Ilahiah.
Dan
bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap
keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari dari mereka (karena)
mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang
yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa
nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.Dan katakanlah: “Kebenaran
itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya
Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya
mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi
minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah
minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
(surat Al
Kahfi (18) ayat 28-29)
Adanya
kondisi ini berarti jalan yang memenuhi kriteria Nilai-Nilai Keburukan adalah
jalan yang berlawanan dengan jalan yang memenuhi kriteria Nilai-Nilai Kebaikan.
Apabila kita mengambil jalan yang berada di dalam koridor Nilai-Nilai Keburukan
maka itulah jalan yang menjauhkan diri kita kepada Allah SWT atau dapat membuat
diri kita lupa kepada Allah SWT. Akan tetapi jika kita mengambil jalan yang
memenuhi kriteria Nilai-Nilai Kebaikan maka itulah jalan yang mendekatkan diri
kita kepada Allah SWT. Pilihan selanjutnya ada di tangan kita masing-masing.
12. Pengikut
Ahwa Suka Membuat Hukum Seenaknya.
Berdasarkan surat Al An’aam (6) ayat
150 yang kami kemukakan dibawah ini, orang yang selalu memperturutkan ahwanya, paling suka membuat hukum seenaknya saja,
tanpa mengindahkan orang lain. Membuat
hukum, aturan, ketentuan yang seenaknya saja tanpa memperdulikan
kepentingan khalayak atau membuat ketentuan dan peraturan yang mementingkan
diri sendiri serta kelompok tertentu saja.
Katakanlah:
“Bawalah ke mari saksi-saksi kamu yang dapat mempersaksikan bahwanya Allah
telah mengharamkan (makanan yang kamu) haramkan ini.” Jika mereka
mempersaksikan, maka janganlah kamu ikut (pula) menjadi saksi bersama mereka;
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
Kami, dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, sedang
mereka mempersekutukan Tuhan mereka.
(surat Al
An’aam (6) ayat 150)
Disinilah letak nilai perjuangan
seorang manusia atau seorang khalifah yang sekaligus makhluk pilihan yaitu
apakah akan memperturutkan ahwanya, atau berdamai dengan ahwa atau apakah mau
melakukan jihad melawan ahwa. Jika anda khalifah yang sesuai dengan kehendak Allah
SWT pasti anda tahu, pilihan mana yang tepat bagi kesuksesan hidup di dunia dan
akhirat.
13. Pengikut
Ahwa Disamakan Dengan Anjing.
Berdasrkan surat Al A’raaf (7) ayat 176 yang kami kemukakan dibawah ini,
orang yang memperturutkan ahwanya, disamakan dengan Anjing oleh Allah SWT.Untuk
itu lihatlah anjing, dari sisi negatifnya yaitu “setiap orang dicela dan diolok-olok
(maksudnya tuan rumah digonggong, tamu juga digonggong), anjing tak tahu yang
baik dan buruk (maksudnya diberi bangkai dimakan, diberi makanan enak dimakan),
anjing kemana-mana selalu menjulurkan lidah (maksudnya senang berkeluh kesah,
susah berkeluh kesah).” Di lain sisi anjing juga memiliki sifat-sifat positif
yaitu “kesetiaan dan amanah”.
Sekarang Allah SWT berdasarkan surat
Al A'raaf (7) ayat 176 menyatakan bahwa orang yang memperturutkan Ahwanya
disamakan dengan Anjing. Timbul pertanyaan, jika manusia disamakan dengan
Anjing, sisi manakah dari Anjing yang disamakan dengan manusia, apakah sisi
yang negatif ataukah sisi yang positif?
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya kami
tinggikan (derjat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia
dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing
jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia
mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu
agar mereka berfikir.
(surat Al
A’raaf (7) ayat 176)
Allah SWT menyamakan manusia dengan anjing, bukan dilihat dari sisi
positif yang dimiliki oleh anjing melainkan dari sisi negatif dari anjing. Jika
sekarang manusia hanya dapat memberi komentar tanpa dapat memberi solusi, jika
manusia hanya melihat kejelekan seseorang tanpa bisa melihat kebaikan
seseorang, jika manusia hanya bisa mencela tanpa dapat melihat kebaikan
seseorang, jika manusia hanya mampu memberikan opini miring tanpa melihat
masalah secara seutuhnya, jika manusia hanya selalu berburuk sangka kepada
siapapun tanpa mau tahu apa latarbelakang dari itu semua, itulah sisi buruk dari anjing yang
dipakai oleh manusia akibat memperturutkan ahwa/hawa nafsu.
Coba kita renungkan kenapa Allah SWT menyamakan manusia dengan Anjing,
padahal awalnya manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai Makhluk yang
Terhormat yang mampu menjadi menjadi perpanjangan tangan Allah SWT di muka
bumi? Jika pencipta dan
penggagas dari Manusia sudah seperti itu penilaiannya kepada ciptaannya sendiri
yang telah diangkat menjadi khalifah, berarti manusia tersebut sudah keluar dari konsep
awal penciptaan manusia atau ada sesuatu yang salah di dalam diri manusia
tersebut.
Sekarang siapakah yang meniru, apakah anjing yang meniru manusia, ataukah manusia
yang meniru anjing? Yang
pasti anjing tidak meniru manusia, akan
tetapi manusialah yang meniru anjing. Jika ini yang terjadi, jadi siapakah yang
lebih hebat, manusiakah atau anjingkah? Mudah-mudahan hal ini tidak terjadi
pada diri kita, dan juga pada anak dan keturunan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar