Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Selasa, 16 November 2021

RUANG LINGKUP IBADAH IKHSAN

 

 Kepada siapa kita harus berbuat ibadah ikhsan (kebaikan)? Inilah salah satu pertanyaan yang sangat mendasar yang harus kita pahami tentang ibadah ikhsan. Ibadah ikhsan jika dilihat dari konsep tahu diri, konsep tahu aturan main dan konsep tahu tujuan akhir, maka kita harus bisa berbuat ikhsan kepada Allah SWT; berbuat ikhsan kepada diri sendiri; berbuat ikhsan kepada orang tua dan kepada mertua; berbuat ikhsan kepada makhluk ciptaanNya sebagaimana hadits berikut ini: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat Ikhsan (kebaikan) atas segala sesuatu.” (Hadits Riwayat  Muslim). Sekarang mari kita bahas ruang lingkup ibadah ikhsan berdasarkan ketentuan hadits di atas ini, yaitu: 

A.     IKHSAN KEPADA ALLAH SWT.  

Berdasarkan hadits tentang Ikhsan yang k ami kemukakan di atas, Ikhsan kepada Allah SWT mengandung dua tingkatan berikut ini; (1) Beribadah kepada Allah SWT seakan akan diri kita melihatNya. Kondisi ini merupakan tingkatan ibadah ikhsan yang paling tinggi, karena dia berangkat dari sikap membutuhkan, harapan, dan kerinduan. Dia menuju dan berupaya mendekatkan diri kepada-Nya; (2) Beribadah dengan penuh keyakinan bahwa Allah SWT pasti melihatnya. Kondisi ini lebih rendah tingkatannya daripada tingkatan yang pertama, karena sikap Ikhsannya didorong dari rasa diawasi dan takut akan hukuman. Kedua jenis ibadah ikhsan inilah yang akan mampu menghantarkan pelakunya kepada puncak keikhlasan dalam beribadah kepada Allah SWT. Tanpa ada unsur riya’ ataupun terpaksa, semuanya dilakukan secara ikhlas untuk mencari ridha Allah SWT semata. 

Lalu ibadah ikhsan yang seperti apa yang bisa kita lakukan kepada Allah SWT? Ibadah Ikhsan kepada Allah SWT dapat kita lakukan melalui: 

Pertama, mampu menempatkan dan meletakkan Allah SWT adalah satu satunya Tuhan yang berhak disembah di alam semesta ini yang diiringi dengan mampunya diri kita menempatkan Allah SWT sebagai “Rabb” dan diri kita adalah “Abd” (hamba) yang kedudukannya tidak mungkin sejajar; 

Kedua, mampu mengimani bahwa Allah SWT adalah  pencipta dan pemilik langit dan bumi serta apa apa yang ada diantara keduanya sehingga segala ketentuan, segala hukum, segala peraturan, segala undang undang yang berlaku di langit dan di muka bumi ini pasti berasal dari Allah SWT dan AlQuran adalah kumpulan dari ketentuan, hukum yang berlaku;   

Ketiga, mampu mengimani bahwa AlQuran adalah wahyu Allah SWT yang tidak lain adalah buku manual bagi kekhalifahan yang ada di muka bumi ini sehingga wajib diimani, dipelajari, dipahami, dilaksanakan, diajarkan, disebarluaskan dan dijadikan akhlak bagi diri kita; 

Keempat, mampu mengimani bahwa Allah SWT adalah penguasa hari akhir dan juga yang akan menetapkan siapa siapa saja yang akan menjadi penghuni neraka dan siapa siapa saja yang akan menjadi penghuni syurga; 

Kelima, mampu menyembah (beribadah) kepada Allah SWT baik dalam bentuk ibadah khusus yang disebut ibadah mahdah (murni, ritual), seperti syahadat, shalat, puasa, zakat, haji dan sejenisnya, ataupun ibadah umum yang disebut dengan ibadah gairu mahdah (ibadah sosial), seperti belajar-mengajar, berdagang, makan, tidur, dan semua perbuatan manusia yang tidak bertentangan dengan aturan agama. 

Selain daripada itu, sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi maka kita harus bisa melaksanakan konsep tahu diri (tahu diri dan tahu Allah SWT yang diikuti dengan tahu siapa Nabi Muhammad SAW dan siapa orang tua/mertua diri kita); yang diiringi dengan tahu konsep aturan main dan juga tahu konsep tujuan akhir, dalam satu kesatuan. Sehingga apabila hal ini mampu kita lakukan dengan baik dan benar maka konsep datang fitrah kembali fitrah untuk bertemu dengan Dzat Yang Maha Fitrah di tempat yang fitrah (syurga) dapat kita laksanakan. Namun apabila diri kita tidak mampu datang fitrah kembali fitrah, ada dua hal yang bisa kita lakukan, yaitu memasukkan onta ke dalam lubang jarum, atau menjalani proses dikembalikan fitrah oleh Allah SWT melalui proses dibakar di neraka jahannam terlebih dahulu yang tentunya sangat menyakitkan. Akhirnya sebagai makluk yang terhormat maka sudah sepatutnya diri kita mampu menunjukkan kehormatan yang kita miliki dihadapan Allah SWT baik saat hidup di dunia dan di akhirat kelak. 

B.      IKHSAN KEPADA DIRI SENDIRI. 

Ikhsan kepada diri sendiri adalah melakukan segala perbuatan baik untuk kepentingan diri sendiri. Dimana kondisi ini merupakan sesuatu yang kerap terlupakan. Kita sering begitu mudah berbuat baik kepada orang lain, tetapi sering lupa berbuat baik untuk kepentingan diri sendiri. Agar perbuatan baik kepada diri sendiri tidak terlupakan maka biasakanlah dirimu dengan kebaikan sebab sesungguhnya kebaikan itu adalah suatu kebiasaan. Adanya kebiasaan baik walaupun sering dianggap sepele dapat memberikan dampak positif kepada diri yang efeknya mampu mengatasi stress dan kecemasan, mampu meningkatan motivasi diri serta mampu pula meningkatkan imun tubuh menjadi lebih baik, sebagaimana Allah SWT berfirman berikut ini: “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang orang yang berbuat kerusakan. (surat Al Qashash (28) ayat 77). 

Berikut ini akan kami kamukakan enam cara berbuat ikhsan (kebaikan) kepada diri sendiri, seperti diulas oleh laman Independent yang terdapat di “www.republika.co.id”, yaitu: 

1.    Memuji diri sendiri. Mungkin terdengar aneh, tapi memuji diri sendiri tidak selalu berarti narsis. Pujilah kelebihan pada diri sendiri agar tergerak untuk terus mengembangkannya serta mensyukuri semua keunggulan yang kita miliki serta melalui kelebihan yang kita miliki inilah kita wajib berbuat sesuatu karya nyata yang menunjukkan siapa diri kita melalui jejak jejak kebaikan yang akan kita tinggalkan kelak. Sebagai contoh, jika kita memiliki kemampuan mengajar maka wakafkanlah waktu yang kita miliki untuk mengajar berdasarkan minat, bakat dan kemampuan yang kita miliki atau yang sesuai dengan profesi masing masing tanpa dibayar kepada komunitas tertentu seperti mengajar di lapas atau di rutan, menjadi pengajar lembaga rehabilitasi narkoba, memberikan konseling hukum secara gratis, menjadi pengacara/penasihat hukum secara gratis bagi narapidana yang tidak mampu, atau membuka pengobatan gratis dan lain sebagainya. 

2.    Jadwalkan waktu untuk sendirian (tafakur). Tidak masalah menginginkan waktu sendirian tanpa siapapun. Jadwalkan waktu khusus untuk diri sendiri untuk melakukan hal favorit. Membaca buku, memakai masker wajah, atau menuliskan apapun yang ada dipikiran untuk dijadikan buku, atau merenungkan perjalanan hidup, atau membereskan buku buku lalu mengumpulkan apa yang sudah tidak terpakai lalu disumbangkan ke perpustakaan umum, atau merenungkan alam sekitar yang diikuti dengan melakukan aksi nyata untuk kebaikan diri, masyarakat dan lingkungan sekitar. 

3.    Meditasi. Berdasarkan sederet studi, meditasi telah terbukti meningkatkan kesehatan mental. Kita bisa melakukan meditasi spiritual melalui shalat tahajud (shalat malam) atau mengikuti kegiatan meditasi seperti kelas yoga yang kini sangat mudah diakses, ditambah konten pembelajaran yang tersedia via laman daring. Untuk bisa melakukan hal ini maka kita harus bisa memaksa diri untuk melakukannya. 

4.    Kurangi aktivitas media sosial. Pada era digital seperti sekarang, penyakit terbesar yang menjangkiti adalah 'scrolling' yang tidak perlu. Berhenti mengakses media sosial sepanjang waktu karena bisa memicu komparasi dengan orang lain dan membuat diri kita tidak nyaman dengan komentar komentar miring yang ada tentang sesuatu. 

5.    Coba hal baru. Beranjak dari zona nyaman dan mencoba hal baru terasa mengerikan di awal awal kita melakukan sesuatu yang baru. Kabar baiknya, hal itu akan memaksa pribadi kita berkembang menjadi lebih baik serta menambah keterampilan dan pengetahuan yang pada akhirnya akan membuka cakrawala baru dalam hidup yang kita jalani. 

6.    Memberi hadiah kepada diri sendiri. Sesekali memberi hadiah untuk diri sendiri seperti cupcake lezat, pakaian baru, atau perjalanan liburan sangat disarankan. Semua itu penting dilakukan karena mengingatkan bahwa kita adalah sosok istimewa. Sebagai sosok yang istimewa ambillah peristiwa atau saat saat yang berharga dalam hidup ini, seperti saat kita merayakan ulang tahun pernikahan, hadiahkan diri kita dan suami/istri kita dengan menyedekahkan sesuatu kepada kaum dhuafa yang membutuhkan, atau memberikan tambahan modal kepada orang yang sedang berwiraswasta, atau membiayai orang yang sedang berobat di rumah sakit, atau menyekolahkan orang yang tidak mampu sampai tamat sekolahnya. Kita juga bisa menghadiahkan diri sendiri saat ulang tahun dengan melakukan khatam AlQuran yang disesuaikan dengan saat ulang tahun. Demikian juga saat istri/suami, anak dan keturunan berulang tahun, kita manfaatkan momentum itu dengan berbuat kebaikan kepada sesama dan jangan lupa melaksanakan wasiat Nabi SAW yaitu memberikan kepada setiap anak anak yang kita miliki berupa AlQuran dan  hadits. 

C. IKHSAN KEPADA KEDUA ORANG TUA/MERTUA, KELUARGA DAN KARIB KERABAT. 

Setelah diri kita mampu berbuat ikhsan untuk kepentingan diri sendiri, maka kita juga harus mampu berbuat ikhsan kepada kedua orang tua/mertua dan juga kepada karib kerabat, sebagaimana dikemukakan oleh bacaanmadani.com berikut ini: Berdasarkan surat Isra’ (17) ayat 23, 23 berikut ini: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekalikali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan .” dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua mendidik aku di waktu kecil.”  Allah SWT melalui surat  Al Isra’ (17) ayat 23, 24 telah memerintahkan kepada diri kita untuk berbuat ikhsan (kebaikan) kepada kedua orang tua kita, termasuk kepada kedua orang mertua kita secara adil, tidak berat sebelah. 

Hal ini penting kita ketahui karena dalam sebuah hadits riwayat Ath Thirmidzi, dari Abdullah bin Umar, Rasulullah SAW bersabda: “Keridhaann Allah berada pada keridhaan orangtua, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orangtua.”  Berbuat baik kepada kedua orangtua dan kedua mertua ialah dengan cara mengasihi, memelihara, dan menjaga mereka dengan sepenuh hati serta memenuhi semua keinginan mereka selama tidak bertentangan dengan aturan Allah SWT. Kedua orang tua dan mertua telah berkorban untuk kepentingan anak mereka sewaktu masih kecil dengan perhatian penuh dan belas kasihan. Mereka mendidik dan mengurus semua keperluan anak-anak ketika masih lemah, yang didalamnya ada istri/suami kita. Selain itu, orangtua dan mertua telah memberikan kasih sayang yang tidak ada tandingannya. Jika demikian, apakah tidak semestinya orangtua dan mertua mendapat perlakuan yang baik pula sebagai bukti bakti diri kita kepadanya yang tulus itu? Sedangkan Allah SWT  juga telah menegaskan dalam firman-Nya sebagaimana berikut ini: “Tidak ada balasan untuk kebaikan kecuali kebaikan (pula). (surat Ar Rahman (55) ayat 60). Untuk itu  kita harus bisa melaksanakan ibadah ikhsan kepada kedua orang tua dan mertua melalui hal hal sebagai berikut: (a) Berbuat baik kepada keduanya; (b) Mematuhi perintah keduanya selama tidak melanggar aturan Allah; (c) Memohon kepada Allah agar dosa keduanya diampuni; (d) Melaksanakan amanah keduanya; (e) Memuliakan teman-teman keduanya; (f) Mencari ridha dari keduanya dan lain sebagainya. Dan semoga kita mampu melaksanakannya dengan baik dan benar. 

Selanjutnya, dalam kerangka untuk lebih mempertegas ibadah ikhsan terutama yang berhubungan dengan kepentingan keluarga, anak dan keturunan, maka kita dapat melakukannya melalui hal hal sebagai berikut: (1) selalu memberikan nafkah yang halal lagi bersih dari pekerjaan dan penghasilan serta diiringi dengan selalu menunaikan zakat, infaq dan sedekah; (2) menjadikan diri kita sebagai suri tauladan utama bagi keluarga sendiri; (3) tidak menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak dan keturunan kepada sekolah, melainkan jadikan pendidikan di dalam keluarga nomor satu; (4) anak shaleh dan shalehah ada karena kita sendiri yang merencanakannya menjadi ada, buang jauh jauh konsep anak shaleh dan shalehah turun dari langit untuk kita; (5) didik anak dan keturunan kita sesuai dengan masanya (sesuai dengan jamannya) dengan mengedepankan pendidikan akhlak (pendidikan mengenal diri dan Allah SWT) dibandingkan dengan pendidikan jasmani dan lain sebagainya. 

Selain berbuat ikhsan kepada kedua orang tua dan mertua, kepada anak dan keturunan, kita juga harus bisa berbuat ibadah ikhsan kepada karib kerabat. Menjalin hubungan baik dengan karib kerabat adalah bentuk ikhsan kepada mereka, bahkan Allah SWT menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan silaturahmi dengan perusak di muka bumi, sebagaimana firmanNya berikut ini: Maka apakah sekiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? (surat Muhammad (47) ayat 22). Silaturahmi merupakan kunci mendapatkan keridhaan Allah SWT hal ini dikarenakan penyebab paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah karena terputusnya hubungan silaturahmi, baik kepada keluarga sendiri ataupun dengan orang lain sebagaimana hadits quds berikuti ini: “Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan Aku telah menciptakan rahim yang Kuberi nama bagian dari nama-Ku. Maka, barangsiapa yang menyambungnya, akan Kusambungkan pula baginya dan barangsiapa yang memutuskannya, akan Kuputuskan hubunganKu dengannya.” (Hadits Riwayat  Ath Thirmidzi).  Semoga hal ini tidak terjadi pada diri kita dan keluarga besar kita. 

D.     IKHSAN KEPADA MAKHLUK CIPTAANNYA. 

Berdasarkan surat Al Qashash (28) ayat 77 berikut ini: “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang orang yang berbuat kerusakan.”  Melakukan ibadah ikhsan (kebaikan) juga harus kita lakukan kepada makhluk ciptaan Allah SWT, dalam hal ini ke sesama manusia dan juga lingkungan alam sekitar kita. Adapaun ikhsan kepada makhluk ciptaan Allah SWT dapat dibedakan menjadi beberapa kriteria yaitu: 

1.    Ikhsan kepada Anak Yatim. Berbuat baik kepada anak yatim ialah dengan cara mendidiknya dan memelihara hak-haknya. Banyak ayat dan hadis menganjurkan berbuat baik kepada anak yatim, di antaranya adalah sabda Rasulullah SAW: “Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti ini…(seraya menunjukkan jari telunjuk jari tengahnya).” (Hadits Riwayat Bukhari, Abu Dawud, dan Ath Thirmidzi). 

2.    Ikhsan kepada Fakir Miskin. Berbuat Ikhsan kepada orang miskin ialah dengan memberikan bantuan kepada mereka terutama pada saat mereka mendapat kesulitan tanpa harus mereka meminta kepada diri kita. Rasulullah SAW bersabda: “Orang-orang yang menolong janda dan orang miskin, seperti orang yang berjuang di jalan Allah.” (Hadits Riwayat Muslim dari Abu Hurairah ra,). 

3.    Ikhsan Kepada Tetangga. Ikhsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang berada di dekat rumah, serta tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah. Teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar pekerjaan, pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, dan sebagainya. Mereka semua masuk ke dalam kategori tetangga. Seorang tetangga non muslim mempunyai hak sebagai tetangga saja, tetapi tetangga muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim, sedang tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga, sebagai muslim, dan sebagai kerabat. Rasulullah SAW bersabda: “Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman.” Para sahabat bertanya: “Siapakah yang tidak beriman, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Seseorang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya.” (Hadits Riwayat Al-Syaikhani). Pada hadis yang lain, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak beriman kepadaku barangsiapa yang kenyang pada suatu malam, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia megetahuinya.”(Hadits Riwayat Ath Thabrani). 

4.    Ikhsan kepada Tamu. Ikhsan kepada tamu, secara umum adalah dengan menghormati dan menjamunya. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya.” (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim).  Tamu yang datang dari tempat yang jauh, termasuk dalam sebutan ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan jauh). Cara berbuat ikhsan terhadap ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan) adalah dengan memenuhi kebutuhannya, menjaga hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya jalan jika ia meminta. 

5.    Ikhsan kepada Karyawan/Pekerja. Kepada karyawan atau orang-orang yang terikat perjanjian kerja dengan kita, termasuk pembantu, tukang, dan sebagainya, kita diperintahkan agar membayar upah mereka sebelum keringat mereka kering (segera), tidak membebani mereka dengan sesuatu yang mereka tidak sanggup melakukannya. Secara umum kita juga harus menghormati dan menghargai profesi mereka. 

6.    Ikhsan kepada Sesama Manusia. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim). Wahai manusia, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling menghargai satu sama lain dalam pergaulan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Menunjuki jalan jika ia tersesat, mengajari mereka yang memerlukan perhatian khusus, mengakui hak-hak mereka, dan tidak mengganggu mereka dengan tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta melukai mereka. 

Adapun ibadah ikhsan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dapat kami kemukakan sebagai berikut: (1) melakukan bakti sosial sesuai profesi masing masing secara teratur dari waktu ke waktu; (2) mengambil peran di masyarakat sesuai dengan kemampuan, bakat dan profesi masing masing; (3) menjadi donator rutin untuk dana pemeliharaan masjid, atau menjadi orang tua asuh dan lain sebagainya secara jangka panjang; (4) mewakafkan waktu selama satu jam untuk kepentingan masyarakat setiap seminggu sekali seperti mengajar, memberikan bimbingan, memberikan motivasi untuk komunitas komunitas tertentu dalam masyarakat secara terstruktur secara jangka panjang, dan lain sebagainya. Intinya buat Allah SWT tersenyum bangga kepada diri kita. Jika ke empat hal yang kami kemukakan di atas ini bisa kita lakukan berarti kesempatan diri kita berumur panjang sudah kita miliki, yaitu dikenangnya diri kita melalui perbuatan baik yang dapat dinikmati oleh generasi yang datang kemudian hari. Hal yang harus kita pegang teguh agar selalu berumur panjang adalah jadikan niat ikhlas dalam mencari ridha sebagai pedoman kita

Dalam pelaksanaan ibadah ikhsan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara ini, jangan pernah menunggu waktu yang tepat, jangan pernah menunggu ada teman yang akan membantu. Lakukan sekarang juga. Lakukan sendirian agar yang lain termotivasi dengan apa apa yang kita lakukan. Jangan pernah mendengarkan ocehan, omongan orang lain atas apa yang kita lakukan. Biarkan para pencemooh mencemooh kita, biarkan kritikus mengkritisi kita. Terus dan terus berkarya dengan tetap menjaga niat ikhlas untuk mengejar dan memperoleh ridha Allah SWT. Jika hal ini mampu kita lakukan sekarang ini berarti kita berani membayar mahal atas tiket masuk ke syurgaNya Allah SWT. Syurga itu mahal. Syurga bukanlah sesuatu yang bisa dikonversi dengan pahala. Syurga adalah bentuk penghargaan Allah SWT kepada umatnya yang telah sukses melaksanakan misinya sebagai Abd’ (hamba)Nya dan juga sebagai khalifahNya di muka bumi. Sehingga masuk syurga hanya bisa terealisir melalui ridha dan rahmatNya semata. Semoga kita bisa bertemu, berkumpul dengan anak, keturunan kita masing masing di syurga. Amiin. 

7.    Ikhsan kepada Binatang. Berbuat Ikhsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia lapar, mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya di luar kemampuannya, tidak menyiksanya jika ia bekerja, dan mengistirahatkannya jika ia lelah. Bahkan, pada saat menyembelih, hendaklah dengan menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam. Sebagaimana hadits berikut ini: “Maka apabila kamu membunuh hendaklah membunuh dengan cara yang baik, dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik dan hendaklah menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya”. (Hadits Riwayat Muslim).  

8.    Ikhsan kepada Alam Sekitar. Alam raya beserta isinya diciptakan untuk kepentingan manusia. Untuk kepentingan kelestarian hidup alam dan manusia sendiri, alam harus dimanfaatkan secara bertanggungjawab, tidak merusaknya, sebagaimana termaktub dalam  surat Al Qashash (28) ayat 77 berikut ini: “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang orang yang berbuat kerusakan.” 

Ibadah Ikhsan juga bisa ditinjau dari sisi yang lainnya, yang kemudian dapat dibedakan menjadi tiga aspek fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ikhsan dalam bentuk ibadah, ikhsan dalam bentuk muamalah, dan ikhsan dalam bentuk akhlak, yang akan kami kemukakan di bawah ini. 

1.    Ibadah Ikhsan Dalam Bentuk Ibadah. Kita berkewajiban melaksanakan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar seperti menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah SWT senantiasa memantaunya hingga kita merasa bahwa kita sedang dilihat dan diperhatikan oleh Allah SWT. Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah SWT senantiasa memantaunya, karena dengan inilah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. 

Inilah maksud dari perkataan Rasulullah SAW yang berbunyi, “Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Selain jenis ibadah yang telah kami sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya seperti jihad, sopan dan hormat terhadap sesama manusia, mendidik anak, menyenangkan istri, meniatkan setiap usaha untuk mendapat ridha Allah SWT, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah SAW menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika kita ingin mewujudkan ibadah Ikhsan dalam ibadahnya. 

2. Ibadah Ikhsan Dalam Bentuk Muamalah. Ibadah Ikhsan dalam hal muamalah, telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat An Nisaa (4) ayat 36 yang kami kemukakan berikut ini:“sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, Ibnu sabil[295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” Adapun hal hal yang termasuk di dalam ibadah Ikhsan dalam hal muamalah dapat kami kemukakan sebagai berikut, yaitu: (a) Ikhsan kepada kedua orang tua;  (b) Ikhsan kepada karib kerabat; (c) Ikhsan kepada anak yatim dan fakir miskin; (d) Ikhsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman sejawat; (e) Ikhsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya; (f) Ikhsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia; (g) Ikhsan dengan berlaku baik kepada binatang dan tumbuhan atau kepada sesama makhluk Allah yang lainnya. 

[294] Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang Muslim dan yang bukan Muslim.

[295] Ibnus sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan ma'shiat yang kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya. 

3. Ibadah Ikhsan Dalam Bentuk Akhlak. Ibadah Ikhsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat Ikhsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah SWT seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah SWT senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak Ikhsan dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap Ikhsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.Jika kita ingin melihat nilai ibadah Ikhsan pada diri seseorang yang diperoleh dari hasil maksimal ibadahnya maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia, dengan lingkungannya, dengan pekerjaannya, dengan keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah SAW. mengatakan dalam sebuah hadits, “Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia.”  

Adapun orang orang yang mampu melaksanakan ibadah Ikhsan maka orang tersebut dapat dipastikan mampu mentaati perintah dan larangan Allah SWT dengan ikhlas; senantiasa amanah, beriman, jujur dan menepati janji; mampu merasakan nikmat dan haus akan ibadah; selalu mewujudkan keharmonisan masyarakat yang pada akhirnya mampu mendapatkan ganjaran amal kebaikan dari Allah SWT. 

Selanjutnya agar diri kita mampu melaksanakan ibadah Ikhsan dalam kerangka melaksanakan Diinul Islam secara kaffah maka kita harus menyembah dan beribadah kepada Allah SWT semata; memelihara kesucian aqidah; selalu mengerjakan ibadah yang sesuai dengan syariat yang berlaku; selalu menjaga hubungan baik dengan keluarga, tetangga dan masyarakat; selalu melakukan perkara-perkara yang baik; selalu bersyukur atas nikmat Allah SWT. Akhirnya, Ibadah Ikhsan dapat kita katakan sebagai puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak seorang hamba saat hidup di muka bumi ini. Oleh karena itu, semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai pada tingkat tersebut. Siapapun kita, apapun profesi kita, di mata Allah SWT tidak ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik ke tingkat Ikhsan dalam seluruh sisi dan nilai hidupnya. Semoga kita semua dapat mencapai hal ini.


IKHSAN: INILAH CERMINAN DARI DIRI KITA

 

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan limpahan rahmat kepada kami, yang tidak bisa dihitung dan diukur dengan apapun juga. Tak lupa shalawat dan salam senantiasa kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW uswah kami sepanjang hayat beserta keluarga dan para sahabatnya. Buku yang sedang jamaah baca dan pelajari dengan seksama, kami tulis dan kami sajikan dengan semangat untuk mengamalkan ajaran Islam yang berlaku seperti yang kami kemukakan berikut ini: “Rasulullah SAW bersabda: “Bila seseorang telah meninggal, terputus untuknya pahala segala amal kecuali tiga hal yang tetap kekal: Shadaqah Jariah, Ilmu yang bermanfaat yang diajarkan, dan anak shaleh yang senantiasa mendoakannya”. (Hadits Riwayat Bukhari-Muslim).

 Selain berdasarkan hadits di atas, masih ada ajaran Islam yang kami amalkan sebagaimana hadits berikut ini: Rasulullah SAW bersabda: “Wahai orang yang berilmu! Ketahuilah bahwa jika engkau tidak mengamalkan ilmu yang engkau miliki, maka ia tidak akan membelamu kelak dihadapan (pengadilan) Rabbmu. (Hadits Riwayat Ad-Darimi).” Dan ada pula nasehat dari alim ulama yang juga kami amalkan sebagaimana berikut ini: “Tiap-tiap sesuatu ada zakatnya (penyuciannya). Zakat harta ialah sedekah kepada fakir miskin dan yang membutuhkan lainnya. Zakat kekuatan ialah membela kaum dhuafa yang teraniaya. Zakat argumentasi dan kefasehan lidah ialah mengokohkan hujjah dan dalil-dalil agama. Dan Zakat ilmu pengetahuan adalah dengan mengajarkan ilmunya kepada orang lain”. (Alim Ulama).”

Alangkah hebatnya umat Islam jika mampu menjalankan apa apa yang tertuang dalam hadits dan nasehat alim ulama di atas ini, yaitu: (1) Memberi bukanlah sebatas sedekah yang berasal dari harta kekayaan atau penghasilan semata; (2) Memberi juga bisa kita lakukan dengan cara membela kaum dhuafa yang teraniaya melalui zakat (sedekah) yang berasal kekuatan atau kekuasaan yang kita miliki; (3). Memberi juga bisa kita lakukan dalam kerangka untuk mengokohkan hujjah dan dalil dalil agama melalui zakat/sedekah argumentasi dan kefasehan lidah yang kita miliki; (4). Dan yang terakhir memberi juga bisa kita lakukan dengan cara mengajarkan ilmu pengetahuan yang melalui jalan zakat/sedekah ilmu pengetahuan yang kita miliki. Apalagi jika apa apa yang kami kemukakan ini terlaksana tanpa diketahui oleh tangan kiri sewaktu tangan kanan memberi (maksudnya adalah berbuat dan bertindak secara ikhlas karena Allah SWT semata), yang mana kekuatannya sangat luar biasa dan hasil yang akan kita rasakan juga sepadan yaitu sangat luar biasa pula, sebagaimana hadits berikut ini: “Abu Said ra, berkata: Nabi bersabda; “Seseorang yang memberi sedekah satu dirham selama hidupnya, lebih baik baginya daripada memberi seratus dirham di waktu matinya”. (Hadits Riwayat Abu Dawud).” . Adanya semangat mengamalkan ajaran Islam sebagaimana telah kami kemukakan di atas, maka tersajilah buku ini kepada jamaah sekalian dan kami berharap buku ini bisa menjangkau generasi yang datang dikemudian hari dan mampu tersebar ke berbagai tempat yang ada di muka bumi ini.

 Buku ini kami tulis dengan semangat untuk memberikan jawaban (solusi) atas dua kondisi yaitu: Pertama, untuk memberikan jawaban atas pernyataan sikap orang kafir terhadap AlQuran sebagaimana termaktub dalam surat Fushilaat (41) ayat 26 berikut ini: Dan orang orang yang kafir berkata, “Janganlah kamu mendengarkan (bacaan) AlQuran ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya agar kamu dapat mengalahkan mereka.” Dan semoga dengan adanya buku ini mampu menjadi motivasi yang mendalam bagi umat Islam untuk mengalahkan dan menggagalkan upaya dari orang orang tertentu yang sengaja membuat kegaduhan terhadap AlQuran sehingga umat Islam mudah dikalahkan, mudah diadu-domba, mudah dipengaruhi dengan iming iming tertentu oleh ulah mereka yang tidak bertanggungjawab. Kedua, untuk memberikan jawaban dan juga tanggapan atas sebuah analisa yang dilakukan oleh satu tokoh yang bernama “Moshe Dayan” terhadap umat Islam. “Moshe Dayan” adalah salah seorang jenderal Angkatan Darat yang sekaligus juga ex Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri Israel, yang pernah menulis tentang 3 (tiga) buah kelemahan umat Islam, sebagaimana telah dikemukakan dalam laman “mediakontroversi.co.id” berikut ini: 

1.        Umat Islam umumnya tidak peduli dengan sejarah bahkan dengan sejarah umatnya sendiri.

2.  Kebanyakan umat Islam malas, bahkan tidak suka merancang sesuatu dengan detail (terperinci), termasuk untuk mengalahkan kita, negara Israel.

3.        Umat Islam sangat malas untuk membaca buku bahkan untuk membaca kitabnya sendiri. 

Saat artikel analisanya ini dipublikasikan, banyak  warga Yahudi, terutama yang ada di Palestina dan Amerika Serikat protes keras. Mereka khawatir umat Islam akan segera membenahi kelemahan kelemahan yang diungkap oleh “Moshe Dayan”. Tetapi apa yang diungkap perwira senior Israel tersebut? Dia mengatakan “Jangan khawatir….umat Islam tetap akan lemah selamanya, karena mereka tetap dengan kemalasannya untuk membaca buku, malas baca kitabnya sendiri malah, malah ada yang sinis terhadap ajaran agamanya sendiri.” Dan walaupun “Moshe Dayan” sudah tiada sejak 1981, analisa tersebut bisa dibilang akurat dengan kondisi yang terjadi pada sebagian umat Islam saat ini. Apakah kita termasuk yang di dalamnya!

 

Adanya dua hal yang kami kemukakan di atas, hal ini bisa terjadi dikarenakan rendahnya pemahaman umat Islam terhadap kitabnya sendiri, termasuk terhadap agamanya sendiri serta masih banyaknya umat  Islam yang masih berkutat dengan urusan cara membaca AlQuran yang tidak pernah selesai (sibuk dengan urusan tajwid). Sehingga umat hanya sibuk urusan membaca AlQuran tanpa pernah tahu makna yang terkandung dari apa yang dibacanya. Adanya kondisi ini sangat memudahkan orang orang yang membenci Islam untuk melaksanakan kegaduhan, lalu  memanfaatkan energi umat Islam untuk kepentingan mereka dalam kerangka melemahkan umat Islam lewat umat Islam itu sendiri. Akhirnya energi umat ini terbuang  hanya untuk mengatasi kegaduhan yang seharusnya tidak terjadi yang pada akhirnya isi dan kandungan dari AlQuran tetap utuh di dalam kitab AlQuran itu sendiri. 

Buku ini merupakan sebuah karya nyata ilmiah dalam kerangka untuk memulai setahap demi setahap untuk menjadikan buku sebagai jembatan untuk menyeimbangkan “Budaya Tutur” yang sudah melanda sebahagian masyarakat dengan “Budaya Tulis” yang telah mulai hilang. “Budaya Tutur” akan hilang setelah Penuturnya tiada. Akan tetapi jika “Budaya Tulis” yang terjadi, walaupun penulisnya telah tiada, tulisannya akan tetap ada sepanjang jaman, sehingga dapat dipelajari oleh generasi yang datang dikemudian hari. Sekarang apa jadinya jika sampai Bukhari dan Muslim atau perawi hadits lainya, tidak pernah menulis hadits-hadits yang dikumpulkannya menjadi sebuah buku? 

Tentu kita tidak akan pernah tahu apa yang dinamakan dengan hadits yang perawinya Bukhari dan Muslim atau perawi hadits lainnya dan bahkan tidak pernah terbayangkan oleh para perawi haditsnya sendiri bahwa perjuangannya dalam mengumpulkan dan menuliskan hadits, akan dipakai oleh umat Islam sampai dengan hari kiamat. Adanya kondisi seperti ini, berarti umur dari Bukhari dan Muslim dan perawit hadits lainnya akan tetap ada sampai dengan hari kiamat, walaupun usia beliau sudah tidak ada lagi. Yang menjadi persoalan sekarang adalah maukah kita berumur panjang seperti umur Bukhari dan Muslim? Jika kita bercita cita untuk berumur panjang seperti halnya Bukhari dan Muslim, menulislah atau lakukanlah perbuatan baik dengan melakukan suatu karya nyata yang besar yang dapat dinikmati masyarakat luas dan bisa dinikmati oleh generasi yang datang di kemudian hari atau amalkanlah ilmu yang bermanfaat melalui tulisan atau jadikan “Budaya Tulis” menjadi kebiasaan di tengah masyarakat. Dan semoga buku yang kami tulis ini juga mampu menjadi buku rujukan bagi umat yang bukan beragama Islam (non Muslim) yang berniat untuk mempelajari Diinul Islam yang tidak lain adalah konsep Ilahiah bagi kepentingan rencana besar penghambaaan dan kekhalifahan yang ada di muka bumi secara baik dan benar. Semoga hal ini menjadi kenyataan. 

Selanjutnya, perlu kami kemukakan bahwa di dalam pembahasan buku ini dan juga buku buku lainnya yang kami tulis, kami mengambil hujjah, atau berhujjah, atau mengambil asumsi dasar sebagai berikut: 

1.    Setiap manusia adalah makhluk dwifungsi. Untuk dapat menggambarkan peran dan maksud dan tujuan dari diciptakannya manusia, Untuk itu mari kita pelajari 3 (tiga) buah firman Allah SWT berikut ini: Pertama, Allah SWT berfirman: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh. (surat Adz-Dzaariyaat (51) ayat 56-57-58). Berdasarkan ketentuan ayat ini setiap manusia siapapun orangnya adalah seorang abd’ (hamba) yang harus mengabdi kepada Allah SWT selaku Rabb bagi setiap umat manusia. Adanya peran sebagai seorang abd’ (hamba) menunjukkan bahwa seorang abd’ (hamba) terikat dengan ketentuan penghambaan seorang hamba kepada Allah SWT selaku Tuhan bagi dirinya. 

Kedua, setiap manusia selain terikat sebagai seorang abd’ (hamba), ia juga terikat dengan ketentuan sebagai seorang khalifah Allah SWT di muka bumi, yang bermakna perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi sebagaimana dikemukakan dalam firmanNya berikut ini: ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:” Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata:” Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (surat Al Baqarah (2) ayat 30).” Adanya kekhalifahan di muka bumi maka diharapkan terciptalah apa yang dinamakan dengan ketenteraman, ketertiban, serta terpeliharanya apa apa yang diciptakan oleh Allah SWT di muka bumi sehingga terciptalah kehidupan “toto tenterem, gemah ripah loh jinawi” oleh sebab keberadaan diri kita. Dan yang Ketiga, berdasarkan firmanNya berikut ini: “Dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tiada memperhatikan. (surat Adz-Dzariyaat (51) ayat 21). Allah SWT berkehendak kepada setiap manusia, termasuk kepada diri kita, baik sebagai abd’ (hamba) yang juga khalifah untuk berpikir lalu memperhatikan dengan seksama tentang keberadaan diri ini melalui pernyataanNya yang berbunyi “apakah kamu tiada memperhatikan” akan dirimu sendiri!. Ketahuilah bahwa Kamu adalah hambaKu dan kamu juga adalah khalifahKu. Adanya konsep abd’ (hamba) dan juga adanya konsep khalifah yang melekat pada diri setiap manusia, termasuk diri kita menunjukkan diri kita adalah makhluk yang memiliki peran “dwifungsi.

 

Lalu sudahkah kita tahu dan memahami konsep dasar ini saat hidup di muka bumi ini!  yaitu sebagai abd’ (hamba)Nya yang harus menghambakan diri kepada Allah SWT dan juga sebagai khalifahNya di muka bumi sehingga setiap orang harus menjadi perpanjangan tangan Allah SWT, atau menjadi agen agen Allah SWT di muka bumi. Adanya konsep dwifungsi di muka bumi maka terjadilah ketentraman, keteraturan, kebersamaan serta terpeliharanya apa apa yang diciptakan oleh Allah SWT serta penampilan Allah SWT di muka bumi terlihat dengan nyata.

 

2.    Setiap manusia adalah makhluk dwidimensi. Setiap manusia dikatakan sebagai makhluk dwidimensi dikarenakan setiap manusia siapapun orangnya pasti terdiri dari unsur jasmani dan unsur ruh. Jasmani berasal dari saripati tanah sedangkan ruh berasal dan diciptakan oleh Allah SWT dan mulai dipersatukan ke duanya saat masih di dalam rahim seorang ibu. Sebagaimana dikemukakan dalam surat As Sajdah (32) ayat 7-8-9 berikut ini: Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya  dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurna kannya dan meniupkan ruh (ciptaan)Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.” Adanya konsep dwidimensi maka kita harus bisa merawat dan menjaga kesehatan jasmani dan juga kefitrahan ruh dengan sebaik baiknya. 

3.    Jasmani asalnya dari sari pati tanah yang berasal makanan dan minuman yang dikonsumsi dari seorang bapak dan seorang ibu. Yang mana setiap makanan dan minuman yang akan dikonsumsi terikat dengan ketentuan yaitu: halal lagi baik (thayyib), membaca Basmallah dan doa sebelum makan dan minum sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Baqarah (2) ayat 168 berikut ini: ‘Wahai orang orang yang beriman! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah langkah syaitan. Sungguh, syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”  Selain daripada itu, jasmani memiliki sifat sifat yang mencerminkan nilai nilai keburukan (insan) dan yang juga memiliki perbuatan (ahwa) yang berasal dari alam yang paling dikehendaki oleh syaitan. Sedangkan kemampuan fungsi fungsi jasmani sangat berhubungan erat dengan posisi usia seseorang. Semakin tua usia seseorang maka kemampuan fungsi fungsi jasmani pasti akan mengalami penurunan kemampuan. Inilah sunnatullah yang pasti berlaku kepada jasmani manusia.  

4.    Ruh diciptakan oleh Allah SWT. Ruh asalnya dari Allah SWT dan dipersatukan dengan jasmani melalui proses peniupan. Ruh memiliki sifat yang mencerminkan nilai nilai kebaikan (nass) dan juga memiliki perbuatan (nafs/anfuss) yang mencerminkan nama nama Allah yang indah lagi baik (Asmaul Husna) melalui proses sibghah. Ruh juga terikat dengan ketentuan “datang fitrah, kembali harus fitrah untuk dapat bertemu dengan Allah SWT di tempat yang fitrah (syurga)” yang mengharuskan diri kita mampu menjalankan konsep “Tahu Diri, Tahu Aturan Main dan Tahu Tujuan Akhir.”. Kemampuan ruh tidak berhubungan langsung dengan tua atau mudanya seseorang, melainkan sejauh mana diri kita mampu melaksanakan Diinul Islam secara kaffah. Semakin kaffah (khusyu’) kita melaksanakan Diinul Islam maka semakin berkualitas atau semakin fitrah kualitas ruh seseorang. 

Untuk itu jangan pernah menjadikan kualitas (kefitrahan) ruh mengikuti sunnatullah yang berlaku bagi jasmani, yaitu semakin tua jasmani semakin berkurang kefitrahan ruh. Cukup jasmani saja yang menjadi tua atau berkurang kemampuannya namun ruh haruslah tetap muda (maksudnya tetap berkualitas, harus tetap fitrah sesuai dengan kehendak Allah SWT). Ruh yang tetap dalam kondisi fitrah akan sangat membantu kondisi dan keadaan jasmani yang sedang mengalami penurunan kemampuan, sehingga kita tetap mampu hidup berkualitas dari waktu ke waktu serta mampu bermanfaat bagi orang banyak walaupun usia sudah tidak muda lagi bahkan sudah berada di persimpangan jalan, yaitu dari waktu maghrib menjelang waktu isya. 

Selain daripada itu, ketahuilah bahwa ruh inilah menjadi jati diri manusia yang sesungguhnya. Adanya pernyataan ini maka yang menjadi abd’ (hamba)Nya dan yang menjadi khalifahNya serta yang menjadi diri kita yang sesungguhnya adalah ruh. Sehingga ruh adalah subyek sedangkan jasmani adalah obyek yang harus dikhalifahi (dimanage) oleh ruh, termasuk di dalamnya yang harus dikhalifahi oleh ruh adalah industri 4.0 dan society 5.0 dan juga reformasi serta bumi tempat kalifah melaksanakan tugas. Dan ingat ruh yang akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan diri kita saat menjadi abd’ (hamba) dan juga saat menjadi khalifah muka bumi ini. 

5.    Hidup adalah saat mulai dipersatukannya ruh dengan jasmani sampai dengan saat dipisahkannya kembali keduanya. Lalu jasmani akan dikembalikan ke tanah sedangkan ruh untuk sementara waktu ditempatkan di alam barzah. Saat ruh dan jasmani dipersatukan (saat hidup) maka terjadilah tarik menarik antara sifat sifat alamiah jasmani yang mencerminkan nilai nilai keburukan dengan sifat sifat alamiah ruh yang mencerminkan nilai bilai kebaikan. Jika sifat sifat alamiah jasmani mampu mengalahkan sifat sifat alamiah ruh maka jiwa kita dikelompokkan menjadi jiwa fujur (jiwa hewani; jiwa amarah; jiwa musawwilah) sehingga yang tampil sebagai cerminan diri kita adalah nilai nilai keburukan yang dikehendaki oleh syaitan. Sedangkan jika sifat sifat ruh mampu mengalahkan sifat sifat jasmani maka jiwa kita dikelompokkan menjadi jiwa taqwa (jiwa lawwamah; jiwa muthamainah) sehingga yang tampil sebagai cerminan diri kita adalah nilai nilai kebaikan yang dikehendaki oleh Allah SWT. Untuk itu jangan sampai kita salah menempatkan diri kita dihadapan Allah SWT yang pada akhirnya membawa diri kita pada penyesalan yang tiada berujung sehingga menghantarkan kita menjadi penghuni neraka. Untuk itu sadarilah delapan hal yang kami kemukakan di atas dengan sebaik baiknya.

 

Sebagai abd’ (hamba)Nya yang sekaligus juga khalifahNya di muka bumi ketahuilah bahwa setelah dipisahkannya ruhani dengan jasmani, yang ada dan yang tertinggal dari diri kita di muka bumi ini adalah 2(dua) hal yaitu: jejak jejak kebaikan ataukah jejak jejak keburukan. Adanya jejak jejak kebaikan ataukah jejak jejak keburukan yang tertinggal di muka bumi merupakan tanda mata bahwa kita pernah ada dan pernah hidup di muka bumi ini. Dan melalui jejak jejak kehidupan yang tertinggal inilah maka akan diketahui secara nyata kualitas diri kita yang sesungguhnya. Jika jejak jejak kebaikan yang kita tinggalkan dan jejak tersebut mampu dinikmati oleh generasi yang datang dikemudian hari berarti kita telah berumur panjang dan juga kita telah mampu menjadi kebanggaan bagi anak keturunan kita yang datang di kemudian hari, yang akhirnya doa akan terus dipanjatkan untuk kita oleh sebab karya nyata berupa kebaikan yang kita tinggalkan. Namun, jika yang terjadi adalah jejak jejak keburukan yang kita tinggalkan setelah diri kita tiada berarti berumur pendeklah diri kita serta hilanglah rasa bangga kepada diri kita yang berasal dari anak keturunan kita sendiri yang pada akhirnya menjadikan diri kita menjadi orang yang terlupakan, atau jika disebut nama kita yang diingat oleh kebanyakan orang adalah keburukan. Semoga kita semua tidak seperti ini.

 

Dan untuk itu ketahuilah bahwa semua ini (baik kebaikan atau keburukan) hanya bisa terjadi di sisa usia kita yang kita miliki. Dimana di sisa usia inipun kita masih dibatasi dengan adanya ketentuan yang lainnya, yaitu: “waktu tidak bisa diputar ulang; kesempatan hanya datang satu kali; serta menyesal adanya dibelakang hari.” Jadi jangan pernah menunda nunda jika kita sudah berniat untuk berbuat kebaikan dalam bentuk karya nyata. Lakukan saat ini juga karena kita tidak pernah dibatasi oleh Allah SWT untuk melakukan perbuatan baik. Semoga Allah SWT memudahkan diri kita untuk berbuat kebaikan dalam bentuk karya nyata di sisa usia yang kita miliki. Amiin. 

 

Adanya kondisi yang telah kami kemukakan di atas, inilah yang mendorong kami untuk terus berkarya melalui tulisan-tulisan yang berkenaan dengan Aqidah Islam atau tentang Ketauhidan sepanjang Allah SWT menghendaki ini terjadi, yang pada akhirnya masyarakat akan selalu memiliki buku-buku pembanding atas buku-buku yang telah terbit terlebih dahulu, sehingga mampu menjadikan masyarakat dan generasi yang akan datang menjadi dinamis dengan perkembangan ilmu maupun perkembangan zaman melalui buku yang kami tulis. Apalagi saat ini, diri kita dan juga anak keturunan kita sedang dan akan menghadapi tantangan berat, yaitu: (1) adanya informasi dari Nabi Muhammad SAW tentang kondisi umat akhir zaman; (2) adanya tantangan reformasi yang belum menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan tujuan reformasi itu sendiri; (3) adanya tantangan revolusi industri 4.0 serta adanya tantangan society 5.0. (4) adanya bahaya laten Narkoba dan Dzat Dzat Adiktif lainnnya; (5) adanya pengaruh LGBTQQIAAP termasuk di dalamnya ancaman dari pornografi dan porno aksi serta adanya pandemi covid 19 yang terjadi di seluruh dunia. Dimana ke lima tantangan ini sudah ada dihadapan diri kita, namun selaku orang tua (selaku nenek ataupun kakek) belum tentu sepenuhnya akan mengalami hal itu semuanya. Lalu bagaimana dengan anak dan keturunan kita nanti?  Ke lima hal yang kami kemukakan di atas pasti akan menjadi tantangan, hambatan, rintangan, ujian, cobaan bagi anak keturunan kita sendiri sebab merekalah yang akan menghadapinya dan mengalaminya.

 

Sebagai orang tua, sebagai kakek atau nenek, sudah seharusnya kita mempersiapkan anak keturunan kita siap menghadapi itu semua, namun ingat tidak boleh keluar dari konsep kefitrahan yang telah ditetapkan berlaku oleh Allah SWT, yaitu “datang fitrah kembali fitrah untuk bertemu dengan Dzat Yang Maha Fitrah di tempat yang fitrah melalui suatu proses tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir”. Sehingga akan sangat riskan bagi generasi milenial yang bertindak selaku subyek jika mereka tidak pernah tahu siapa diri mereka yang sesungguhnya dan siapa Allah SWT yang sesungguhnya. Akhirnya belajar tentang tahu diri dan tahu aturan main dan tahu tujuan akhir harus menjadi prioritas saat diri kita hidup di muka bumi ini. Dan semoga anak keturunan kita adalah generasi yang mampu tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir. Amiin.

 

Sekarang mari kita mulai membahas tentang ibadah ikhsan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Diinul Islam. Diinul Islam adalah sebuah konsep Ilahiah yang diciptakan dari fitrah Allah SWT oleh Allah SWT untuk kepentingan rencana besar kekhalifahan yang ada di muka bumi ini. Dan agar kekhalifahan yang ada di muka ini selalu di dalam konsep kefitrahan maka Allah SWT memerintahkan kepada seluruh khalifahnya untuk menghadapkan wajahnya kepada Diinul Islam dengan lurus sehingga terjadilah segi tiga emas kefitrahan. Sebagaimana dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Ar Ruum (30) ayat 30 yang kami kemukakan berikut ini:  “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Berdasarkan surat Ar Ruum (30) ayat 30 ini, Allah SWT juga telah menegaskan bahwa manusia (dalam hal ini Nass) juga diciptakan menurut fitrah Allah SWT seperti halnya Diinul Islam yang juga diciptakan dari fitrah Allah SWT. Adanya kondisi ini jika manusia (maksudnya adalah Nass) diperintahkan untuk menghadapkan wajahnya dengan lurus kepada Diinul Islam berarti fitrah yang ada pada manusia (maksudnya adalah Nass) disambungkan (disinergikan) dengan fitrah yang ada di dalam Diinul Islam sehingga manusia berada di dalam fitrah Allah SWT. Adanya keadaan ini maka terjadilah apa yang  dinamakan dengan segitiga yang tidak terpisahkan antara manusia, termasuk di dalamnya diri kita (maksudnya adalah Nass) dengan fitrah Allah SWT melalui Diinul Islam yang juga berasal dari fitrah Allah SWT.   

 

Inilah konsep dasar yang harus kita pahami dengan baik dan benar bahwa diri kita yang sesungguhnya adalah Nass (dalam ini adalah ruh)  jangan pernah sekalipun dipisahkan dengan asal usulnya dalam hal ini Fitrah Allah SWT melalui Diinul Islam yang juga berasal dari  Fitrah Allah SWT. Jika sampai Nass (ruh diri kita) dipisahkan dengan Diinul Islam dan juga dengan Fitrah Allah SWT maka terjadilah proses hilangnya kefitrahan dalam diri sehingga konsep datang fitrah kembali fitrah tidak akan pernah terjadi. Padahal  syarat untuk bertemu dengan Allah SWT kelak selaku Dzat Yang Maha Fitrah hanya di tempat yang fitrah adalah “datang fitrah kembali fitrah.” Disinilah letak betapa diri kita sangat membutuhkan Diinul Islam yang berasal dari fitrah Allah SWT yang bukan sebatas diartikan sebagai agama Islam semata. Namun Diinul Islam wajib kita letakkan dan tempatkan sebagai konsep Ilahiah yang berasal dari fitrah Allah SWT untuk kepentingan yang hakiki bagi diri kita yang sesungguhnya. Namun perlu kita ketahui bersama bahwa apabila kefitrahan diri kita sudah sudah tidak sesuai lagi dengan aslinya maka kita masih bisa bertemu dengan Allah SWT selaku Dzat Yang Maha Fitrah jika kita mampu memasukkan onta ke dalam lubang jarum atau melalui proses difitrahkan kembali melalui neraka jahannam.

 

Saat ini sampai dengan hari kiamat kelak Diinul Islam sebagai konsep ilahiah sudah ada dan sudah berlaku di muka bumi ini sebagaimana hadits berikut ini: “Abu Hurairah r.a. berkata: Pada suatu hari ketika Nabi SAW duduk bersama sahabat, tiba-tiba datang seorang bertanya: Apakah Iman? Jawab Nabi SAW: Iman ialah percaya pada Allah, dan Malaikat-Nya, dan akan berhadapan kepada Allah, dan pada Nabi utusan-Nya dan percaya pada hari bangkit dari kubur. Lalu ditanya; Apakah Islam? Jawab Nabi SAW; Islam ialah menyembah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan mendirikan sembahyang. Lalu bertanya: Apakah Ikhsan? Jawab Nabi SAW: Ihsan ialah menyembah pada Allah seakan-akan anda melihat-Nya, maka jika tidak dapat melihat-Nya, ketahuilah bahwa Allah melihatmu. Lalu bertanya: Bilakah hari qiyamat? Jawan Nabi SAW: Orang yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang menanya, tetapi saya memberitakan padamu beberapa syarat (tanda-tanda) akan tibanya hari qiyamat, yaitu jika budak sahaya telah melahirkan majikannya, dan jika penggembala onta dan ternak lainnya telah berlomba membangun gedung-gedung, termasuk dalam lima macam yang tidak dapat mengetahuinya kecuali Allah, yang tersebut dalam ayat: "Sesungguhya hanya Allah yang mengetahui, bilakah hari qiyamat, dan Dia pula yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang di dalam rahim  ibu, dan tiada seorangpun yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari, dan tidak seorang pun yang mengetahui di manakah ia akan mati. Sesungguhnya Allah maha mengetahui sedalam-dalamnya".Kemudian pergilah orang itu. Lalu Nabi SAW menyuruh sahabat: Kembalikanlah orang itu! Tetapi sahabat tidak melihat bekas orang itu. Maka Nabi SAW bersabda: Itu Malaikat Jibril datang untuk mengajarkan agama kepada manusia. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Al-Lu'lu Wal Marjan: No.5).

 

Berdasarkan ketentuan hadits ini, Diinul Islam yang tidak lain adalah konsep ilahiah untuk kepentingan hakiki umat manusia, termasuk diri kita terdiri dari 3(tiga) ketentuan pokok yaitu ketentuan tentang Rukun Iman, ketentuan tentang Rukun Islam dan ketentuan tentang Ikhsan. Dimana ketiganya tidak dapat dipisahkan oleh sebab apapun juga. Apa maksudnya? Adanya ketentuan hadits di atas, maka kita tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan Rukun Iman saja dengan mengabaikan ketentuan Rukun Islam dan Ikhsan. Demikian pula sebaliknya kita tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan Rukun Islam saja dengan mengabaikan ketentuan Rukun Iman dan Ikhsan, atau kita tidak bisa melaksanakan ketentuan Ikhsan saja dengan mengabaikan ketentuan Rukun Iman dan Rukun Islam. Iman, Islam dan Ikhsan adalah tiga kata yang maknanya saling berkaitan, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (surat Al Baqarah (2) ayat 208). Begitulah jika dilihat dari segi aspek lahirnya, maka agama yang diajarkan oleh Allah SWT melalui perantaraan Malaikat Jibril as, adalah Islam. Agama juga disebut iman jika yang diamati adalah aspek bathinnya. Kemudian agama baru disebut ikhsan jika aspek bathin (iman) dan lahirnya (amal saleh) telah dipenuhi secara utuh dan sempurna. Sehingga ketiganya tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Apa contohnya? Contohnya perintah mendirikan shalat, dimana perintah mendirikan shalat juga tidak bisa dipisahkan dengan ketentuan Rukun Islam yang lainnya seperti syahadat, puasa, zakat, haji serta ketentuan Rukun Iman dan ketentuan Ikhsan.

 

Adanya kondisi ini berarti: (a) kita tidak bisa hanya mendirikan shalat saja dengan mengabaikan ketentuan Diinul Islam yang lainnya, atau (b) kita tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan tentang syahadat saja dengan mengabaikan ketentuan Diinul Islam yang lainnya, atau; (c) kita tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan zakat saja dengan mengabaikan ketentuan Diinul Islam yang lainnya, atau; (d) kita tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan puasa saja dengan mengabaikan ketentuan Diinul Islam yang lainnya, atau; (e) kita tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan haji saja dengan mengabaikan ketentuan Diinul Islam yang lainnya, atau; (f) kita tidak bisa hanya melaksanakan Rukun Iman saja dengan mengabaikan ketentuan Diinul Islam yang lainnya, atau; (g) kita tidak bisa hanya melaksanakan Ikhsan saja dengan mengabaikan ketentuan Rukun Iman dan Rukun Islam. Adanya 7 (tujuh) kondisi dasar yang seperti  yang kami kemukakan di atas, maka kita harus mampu melaksanakan Diinul Islam secara satu kesatuan yang tidak terpisahkan (maksudnya adalah melaksanakan Diinul Islam secara kaffah) jika kita ingin selalu sesuai dengan kehendak Allah SWT, atau sesuai dengan fitrah Allah SWT dari waktu ke waktu selama ruhani belum berpisah dengan jasmani.

 

Ibadah Ikhsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh umat manusia. Hal ini dikarenakan ibadah Ikhsan akan menjadikan kita menjadi sosok yang mendapatkan kemuliaan dihadapan Allah SWT. Sebaliknya, apabila diri kita tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat berharga yaitu menduduki posisi terhormat dihadapan Allah SWT. Dan Nabi Muhammad SAW sangat menaruh perhatiaan akan hal ini, sehingga seluruh ajaran ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia. Oleh karenanya, seorang mukmin hendaknya tidak memandang ibadah Ikhsan itu hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari Aqidah dan bagian terbesar dari keislamannya. Ingat Diinul Islam dibangun di atas tiga landasan utama yaitu Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan. Ibadah Ikhsan  dapat dikatakan pula sebagai buah atau hasil dari pelaksanaan Rukun Iman dan Rukun Islam yang telah kita laksanakan yang akan tercermin dari seberapa tinggi (seberapa berkualitas) perbuatan baik atau kebaikan yang telah kita lakukan selama menjalankan tugas sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi, yang kesemuanya terbukti saat diri kita melaksanakan Habblumminannass.

 

Semakin baik dan semakin tinggi kualitas Rukun Iman dan Rukun Islam yang kita laksanakan maka semakin tinggi pula tingkat kualitas Ikhsan yang kita laksanakan, atau yang tercermin di dalam diri kita, demikian pula sebaliknya. Disinilah letak daripada “Islam Rahmat Untuk Semua” dimana setiap orang yang telah mengaku melaksanakan Diinul Islam secara kaffah maka ia wajib berguna bagi orang lain sehingga terlihatlah dengan jelas bahwa Islam adalah baik tidak hanya bagi pemeluknya saja namun juga baik bagi seluruh umat manusia, sebagaimana dua buah firmanNya berikut ini: “dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (surat Al Baqarah (2) ayat 195) dan juga firmanNya berikut ini: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (surat An Nahl (16) ayat 90). Berdasarkan ketentuan ini, ibadah Ikhsan merupakan bukti dari hasil menunaikan Habblumminallah yang tercermin di dalam Habblumminannass. Seseorang tidak bisa dikatakan telah mampu melaksanakan ibadah Habblumminallah jika hasilnya tidak tercermin di dalam ibadah Habblumminanass. Dan agar diri kita mampu mempertunjukkan Habblumminallah yang tercermin di dalam Habblumminanass, berikut ini akan kami berikan sebuah renungan dan pelajaran dari Nabi Musa, as,, yaitu:

 

Pada suatu saat Nabi Musa as berkomunikasi dengan Allah SWT. Nabi Musa as.: "Wahai Allah aku sudah melaksanakan ibadah. Lalu manakah ibadahku yang membuat engkau senang?".Allah SWT: “Syahadat mu itu untuk dirimu sendiri, karena dengan engkau bersyahadat maka terbukalah pintu bagimu untuk bertuhankan kepada Ku. Allah SWT: "Shalat mu bukan untuk Ku tetapi untukmu sendiri, karena dengan kau mendirikan shalat, engkau terpelihara dari perbuatan keji dan munkar. Dzikir? Dzikirmu itu membuat hatimu menjadi tenang. Puasa ? Puasamu itu melatih dirimu untuk memerangi hawa nafsumu". Zakat itu untuk membersihkan apa apa yang telah engkau miliki. Menunaikan Haji untuk menjadikan kamu menjadi lebih dekat kepada Ku setelah berkunjung ke rumah Ku.” Nabi Musa as,: "lalu apa ibadahku yang membuatmu senang ya Allah?" Allah  SWT: "Sedekah, Infaq, Wakaf serta akhlaqul karimah-mu yang menceriminkan Asmaul Husna. Itulah yang membuat aku senang, Karena tatkala engkau membahagiakan orang yang sedang susah, aku hadir disampingnya. Dan Aku akan mengganti dengan ganjaran kepadamu”.  Selanjutnya apabila kita hanya sibuk dengan ibadah ritual semata dan bangga akan itu (maksudnya sibuk dengan ibadah Habblumminannallah) maka itu tandanya kamu hanya mencintai dirimu sendiri (egois), bukan cinta kepada Allah SWT. Akan tetapi, bila kita berbuat dan berkorban untuk orang lain serta melunakkan hati untuk kepentingan orang lain maka itu tandanya kita mencintai Allah SWT dan tentu Allah SWT senang karenanya. Buatlah Allah SWT senang dan bangga kepada diri kita maka Allah SWT akan limpahkan rahmat-Nya dengan membuat hidupmu lapang dan bahagia. Jangan lupa jadikan perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT kepada diri kita sebagai sebuah kebutuhan karena ini adalah kunci kesuksesan hidup di dunia dan akhirat kelak. Ingat, dibalik diri kita melaksanakan setiap perintah Allah SWT yang telah diperintahkan kepada diri kita disana ada ketertundukan dan kepatuhan diri kita kepada Allah SWT.

 

Sebagai abd’ (hamba)Nya yang sekaligus khalifahNya yang membutuhkan Diinul Islam berarti hasil dari pelaksanaan Diinul Islam tidak hanya dapat kita rasakan secara personal semata. Akan tetapi keluarga, anak keturunan, masyarakat, bangsa dan negara juga wajib memperolah dampak positif dari keberhasilan diri kita melaksanakan Diinul Islam secara kaffah, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (surat Al Baqarah (2) ayat 261 dan 262)

 

Sekarang jika hanya diri kita saja yang merasakan dampak positif dari pelaksanaan Diinul Islam secara kaffah berarti kita telah menjadikan diri sendiri menjadi orang yang egois yang hanya mementingkan diri sendiri. Sikap egois merupakan sifat yang dikehendaki oleh syaitan sang laknatullah. Untuk itu kita wajib menujukkan dan melaksanakan ibadah Ikhsan sebagai cerminan diri kita yang berguna bagi masyarakat luas, nusa dan bangsa. Ingat, sebaik baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain dan inilah yang dikehendaki oleh Allah SWT melalui ibadah Ikhsan lalu tersenyumlah Allah SWT kepada diri kita. Bayangkan Allah SWT tersenyum bangga kepada diri kita!