Segala
puji bagi Allah yang telah memberikan limpahan rahmat kepada kami, yang tidak
bisa dihitung dan diukur dengan apapun juga. Tak lupa shalawat dan salam
senantiasa kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW uswah kami sepanjang hayat
beserta keluarga dan para sahabatnya. Buku yang sedang jamaah baca dan pelajari
dengan seksama, kami tulis dan kami sajikan dengan semangat untuk mengamalkan
ajaran Islam yang berlaku seperti yang kami kemukakan berikut ini: “Rasulullah
SAW bersabda: “Bila seseorang telah meninggal, terputus untuknya pahala segala amal
kecuali tiga hal yang tetap kekal: Shadaqah Jariah, Ilmu yang bermanfaat yang
diajarkan, dan anak shaleh yang senantiasa mendoakannya”. (Hadits Riwayat Bukhari-Muslim).
Alangkah hebatnya umat Islam jika mampu menjalankan apa apa yang tertuang dalam hadits dan nasehat alim ulama di atas ini, yaitu: (1) Memberi bukanlah sebatas sedekah yang berasal dari harta kekayaan atau penghasilan semata; (2) Memberi juga bisa kita lakukan dengan cara membela kaum dhuafa yang teraniaya melalui zakat (sedekah) yang berasal kekuatan atau kekuasaan yang kita miliki; (3). Memberi juga bisa kita lakukan dalam kerangka untuk mengokohkan hujjah dan dalil dalil agama melalui zakat/sedekah argumentasi dan kefasehan lidah yang kita miliki; (4). Dan yang terakhir memberi juga bisa kita lakukan dengan cara mengajarkan ilmu pengetahuan yang melalui jalan zakat/sedekah ilmu pengetahuan yang kita miliki. Apalagi jika apa apa yang kami kemukakan ini terlaksana tanpa diketahui oleh tangan kiri sewaktu tangan kanan memberi (maksudnya adalah berbuat dan bertindak secara ikhlas karena Allah SWT semata), yang mana kekuatannya sangat luar biasa dan hasil yang akan kita rasakan juga sepadan yaitu sangat luar biasa pula, sebagaimana hadits berikut ini: “Abu Said ra, berkata: Nabi bersabda; “Seseorang yang memberi sedekah satu dirham selama hidupnya, lebih baik baginya daripada memberi seratus dirham di waktu matinya”. (Hadits Riwayat Abu Dawud).” . Adanya semangat mengamalkan ajaran Islam sebagaimana telah kami kemukakan di atas, maka tersajilah buku ini kepada jamaah sekalian dan kami berharap buku ini bisa menjangkau generasi yang datang dikemudian hari dan mampu tersebar ke berbagai tempat yang ada di muka bumi ini.
1.
Umat Islam umumnya tidak peduli dengan sejarah
bahkan dengan sejarah umatnya sendiri.
2. Kebanyakan umat Islam malas, bahkan tidak suka merancang
sesuatu dengan detail (terperinci), termasuk untuk mengalahkan kita, negara
Israel.
3. Umat Islam sangat malas untuk membaca buku bahkan untuk membaca kitabnya sendiri.
Saat
artikel analisanya ini dipublikasikan, banyak
warga Yahudi, terutama yang ada di Palestina dan Amerika Serikat protes
keras. Mereka khawatir umat Islam akan segera membenahi kelemahan kelemahan
yang diungkap oleh “Moshe Dayan”. Tetapi
apa yang diungkap perwira senior Israel tersebut? Dia mengatakan “Jangan khawatir….umat Islam tetap akan lemah
selamanya, karena mereka tetap dengan kemalasannya untuk membaca buku, malas
baca kitabnya sendiri malah, malah ada yang sinis terhadap ajaran agamanya
sendiri.” Dan walaupun “Moshe Dayan”
sudah tiada sejak 1981, analisa tersebut bisa dibilang akurat dengan kondisi yang
terjadi pada sebagian umat Islam saat ini. Apakah kita termasuk yang di
dalamnya!
Adanya dua hal yang kami kemukakan di atas, hal ini bisa terjadi dikarenakan rendahnya pemahaman umat Islam terhadap kitabnya sendiri, termasuk terhadap agamanya sendiri serta masih banyaknya umat Islam yang masih berkutat dengan urusan cara membaca AlQuran yang tidak pernah selesai (sibuk dengan urusan tajwid). Sehingga umat hanya sibuk urusan membaca AlQuran tanpa pernah tahu makna yang terkandung dari apa yang dibacanya. Adanya kondisi ini sangat memudahkan orang orang yang membenci Islam untuk melaksanakan kegaduhan, lalu memanfaatkan energi umat Islam untuk kepentingan mereka dalam kerangka melemahkan umat Islam lewat umat Islam itu sendiri. Akhirnya energi umat ini terbuang hanya untuk mengatasi kegaduhan yang seharusnya tidak terjadi yang pada akhirnya isi dan kandungan dari AlQuran tetap utuh di dalam kitab AlQuran itu sendiri.
Buku ini merupakan sebuah karya nyata ilmiah dalam kerangka untuk memulai setahap demi setahap untuk menjadikan buku sebagai jembatan untuk menyeimbangkan “Budaya Tutur” yang sudah melanda sebahagian masyarakat dengan “Budaya Tulis” yang telah mulai hilang. “Budaya Tutur” akan hilang setelah Penuturnya tiada. Akan tetapi jika “Budaya Tulis” yang terjadi, walaupun penulisnya telah tiada, tulisannya akan tetap ada sepanjang jaman, sehingga dapat dipelajari oleh generasi yang datang dikemudian hari. Sekarang apa jadinya jika sampai Bukhari dan Muslim atau perawi hadits lainya, tidak pernah menulis hadits-hadits yang dikumpulkannya menjadi sebuah buku?
Tentu kita tidak akan pernah tahu apa yang dinamakan dengan hadits yang perawinya Bukhari dan Muslim atau perawi hadits lainnya dan bahkan tidak pernah terbayangkan oleh para perawi haditsnya sendiri bahwa perjuangannya dalam mengumpulkan dan menuliskan hadits, akan dipakai oleh umat Islam sampai dengan hari kiamat. Adanya kondisi seperti ini, berarti umur dari Bukhari dan Muslim dan perawit hadits lainnya akan tetap ada sampai dengan hari kiamat, walaupun usia beliau sudah tidak ada lagi. Yang menjadi persoalan sekarang adalah maukah kita berumur panjang seperti umur Bukhari dan Muslim? Jika kita bercita cita untuk berumur panjang seperti halnya Bukhari dan Muslim, menulislah atau lakukanlah perbuatan baik dengan melakukan suatu karya nyata yang besar yang dapat dinikmati masyarakat luas dan bisa dinikmati oleh generasi yang datang di kemudian hari atau amalkanlah ilmu yang bermanfaat melalui tulisan atau jadikan “Budaya Tulis” menjadi kebiasaan di tengah masyarakat. Dan semoga buku yang kami tulis ini juga mampu menjadi buku rujukan bagi umat yang bukan beragama Islam (non Muslim) yang berniat untuk mempelajari Diinul Islam yang tidak lain adalah konsep Ilahiah bagi kepentingan rencana besar penghambaaan dan kekhalifahan yang ada di muka bumi secara baik dan benar. Semoga hal ini menjadi kenyataan.
Selanjutnya, perlu kami kemukakan bahwa di dalam pembahasan buku ini dan juga buku buku lainnya yang kami tulis, kami mengambil hujjah, atau berhujjah, atau mengambil asumsi dasar sebagai berikut:
1.
Setiap manusia adalah makhluk
dwifungsi. Untuk
dapat menggambarkan peran dan maksud dan tujuan dari diciptakannya manusia,
Untuk itu mari kita pelajari 3 (tiga) buah firman Allah SWT berikut ini: Pertama, Allah SWT berfirman: “dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku
tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan aku tidak menghendaki
supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezeki
yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh. (surat Adz-Dzaariyaat (51) ayat
56-57-58). Berdasarkan
ketentuan ayat ini setiap manusia siapapun orangnya adalah seorang abd’ (hamba)
yang harus mengabdi kepada Allah SWT selaku Rabb bagi setiap umat manusia.
Adanya peran sebagai seorang abd’ (hamba) menunjukkan bahwa seorang abd’
(hamba) terikat dengan ketentuan penghambaan seorang hamba kepada Allah SWT
selaku Tuhan bagi dirinya.
Kedua, setiap manusia selain
terikat sebagai seorang abd’ (hamba), ia juga terikat dengan ketentuan sebagai
seorang khalifah Allah SWT di muka bumi, yang bermakna perpanjangan tangan
Allah SWT di muka bumi sebagaimana dikemukakan dalam firmanNya berikut ini: “ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:”
Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka
berkata:” Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (surat Al Baqarah
(2) ayat 30).”
Adanya kekhalifahan di muka bumi maka diharapkan terciptalah apa yang dinamakan
dengan ketenteraman, ketertiban, serta
terpeliharanya apa apa yang diciptakan oleh Allah SWT di muka bumi sehingga
terciptalah kehidupan “toto tenterem, gemah ripah loh jinawi” oleh sebab
keberadaan diri kita. Dan yang Ketiga,
berdasarkan firmanNya berikut ini: “Dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu
tiada memperhatikan. (surat
Adz-Dzariyaat (51) ayat 21). Allah
SWT berkehendak kepada setiap manusia, termasuk kepada diri kita, baik sebagai
abd’ (hamba) yang juga khalifah untuk berpikir lalu memperhatikan dengan seksama
tentang keberadaan diri ini melalui pernyataanNya yang berbunyi “apakah kamu
tiada memperhatikan” akan dirimu sendiri!. Ketahuilah bahwa Kamu adalah
hambaKu dan kamu juga adalah khalifahKu. Adanya konsep abd’ (hamba) dan juga
adanya konsep khalifah yang melekat pada diri setiap manusia, termasuk diri
kita menunjukkan diri kita adalah makhluk yang memiliki peran “dwifungsi.”
Lalu sudahkah kita tahu dan memahami konsep dasar
ini saat hidup di muka bumi ini! yaitu sebagai abd’ (hamba)Nya yang
harus menghambakan diri kepada Allah SWT dan juga sebagai khalifahNya di muka
bumi sehingga setiap orang harus menjadi perpanjangan tangan Allah SWT, atau
menjadi agen agen Allah SWT di muka bumi. Adanya konsep dwifungsi di muka bumi
maka terjadilah ketentraman, keteraturan, kebersamaan serta terpeliharanya apa
apa yang diciptakan oleh Allah SWT serta penampilan Allah SWT di muka bumi
terlihat dengan nyata.
2. Setiap manusia adalah makhluk dwidimensi. Setiap manusia dikatakan sebagai makhluk dwidimensi dikarenakan setiap manusia siapapun orangnya pasti terdiri dari unsur jasmani dan unsur ruh. Jasmani berasal dari saripati tanah sedangkan ruh berasal dan diciptakan oleh Allah SWT dan mulai dipersatukan ke duanya saat masih di dalam rahim seorang ibu. Sebagaimana dikemukakan dalam surat As Sajdah (32) ayat 7-8-9 berikut ini: Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurna kannya dan meniupkan ruh (ciptaan)Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.” Adanya konsep dwidimensi maka kita harus bisa merawat dan menjaga kesehatan jasmani dan juga kefitrahan ruh dengan sebaik baiknya.
3. Jasmani asalnya dari sari pati tanah yang berasal makanan dan minuman yang dikonsumsi dari seorang bapak dan seorang ibu. Yang mana setiap makanan dan minuman yang akan dikonsumsi terikat dengan ketentuan yaitu: halal lagi baik (thayyib), membaca Basmallah dan doa sebelum makan dan minum sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Baqarah (2) ayat 168 berikut ini: ‘Wahai orang orang yang beriman! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah langkah syaitan. Sungguh, syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” Selain daripada itu, jasmani memiliki sifat sifat yang mencerminkan nilai nilai keburukan (insan) dan yang juga memiliki perbuatan (ahwa) yang berasal dari alam yang paling dikehendaki oleh syaitan. Sedangkan kemampuan fungsi fungsi jasmani sangat berhubungan erat dengan posisi usia seseorang. Semakin tua usia seseorang maka kemampuan fungsi fungsi jasmani pasti akan mengalami penurunan kemampuan. Inilah sunnatullah yang pasti berlaku kepada jasmani manusia.
4. Ruh diciptakan oleh Allah SWT. Ruh asalnya dari Allah SWT dan dipersatukan dengan jasmani melalui proses peniupan. Ruh memiliki sifat yang mencerminkan nilai nilai kebaikan (nass) dan juga memiliki perbuatan (nafs/anfuss) yang mencerminkan nama nama Allah yang indah lagi baik (Asmaul Husna) melalui proses sibghah. Ruh juga terikat dengan ketentuan “datang fitrah, kembali harus fitrah untuk dapat bertemu dengan Allah SWT di tempat yang fitrah (syurga)” yang mengharuskan diri kita mampu menjalankan konsep “Tahu Diri, Tahu Aturan Main dan Tahu Tujuan Akhir.”. Kemampuan ruh tidak berhubungan langsung dengan tua atau mudanya seseorang, melainkan sejauh mana diri kita mampu melaksanakan Diinul Islam secara kaffah. Semakin kaffah (khusyu’) kita melaksanakan Diinul Islam maka semakin berkualitas atau semakin fitrah kualitas ruh seseorang.
Untuk itu jangan pernah
menjadikan kualitas (kefitrahan) ruh mengikuti sunnatullah yang berlaku bagi
jasmani, yaitu semakin tua jasmani semakin berkurang kefitrahan ruh. Cukup jasmani saja yang menjadi tua atau
berkurang kemampuannya namun ruh haruslah tetap muda (maksudnya tetap
berkualitas, harus tetap fitrah sesuai dengan kehendak Allah SWT). Ruh yang
tetap dalam kondisi fitrah akan sangat membantu kondisi dan keadaan jasmani
yang sedang mengalami penurunan kemampuan, sehingga kita tetap mampu hidup
berkualitas dari waktu ke waktu serta mampu bermanfaat bagi orang banyak
walaupun usia sudah tidak muda lagi bahkan sudah berada di persimpangan jalan,
yaitu dari waktu maghrib menjelang waktu isya.
Selain daripada itu, ketahuilah bahwa ruh inilah menjadi jati diri manusia
yang sesungguhnya. Adanya pernyataan ini maka yang menjadi abd’ (hamba)Nya dan
yang menjadi khalifahNya serta yang menjadi diri kita yang sesungguhnya adalah
ruh. Sehingga ruh adalah subyek sedangkan
jasmani adalah obyek yang harus dikhalifahi (dimanage) oleh ruh, termasuk di
dalamnya yang harus dikhalifahi oleh ruh adalah industri 4.0 dan society 5.0
dan juga reformasi serta bumi tempat kalifah melaksanakan tugas. Dan ingat ruh yang
akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan diri kita saat menjadi abd’ (hamba) dan juga saat
menjadi khalifah muka bumi ini.
5.
Hidup adalah saat mulai
dipersatukannya ruh dengan jasmani sampai dengan saat dipisahkannya kembali
keduanya. Lalu
jasmani akan dikembalikan ke tanah sedangkan ruh untuk sementara waktu
ditempatkan di alam barzah. Saat ruh dan jasmani dipersatukan (saat hidup) maka
terjadilah tarik menarik antara sifat sifat alamiah jasmani yang mencerminkan
nilai nilai keburukan dengan sifat sifat alamiah ruh yang mencerminkan nilai
bilai kebaikan. Jika sifat sifat alamiah
jasmani mampu mengalahkan sifat sifat alamiah ruh maka jiwa kita dikelompokkan
menjadi jiwa fujur (jiwa hewani; jiwa amarah; jiwa musawwilah) sehingga yang
tampil sebagai cerminan diri kita adalah nilai nilai keburukan yang dikehendaki
oleh syaitan. Sedangkan jika sifat sifat ruh mampu mengalahkan sifat sifat
jasmani maka jiwa kita dikelompokkan menjadi jiwa taqwa (jiwa lawwamah; jiwa
muthamainah) sehingga yang tampil sebagai cerminan diri kita adalah nilai nilai
kebaikan yang dikehendaki oleh Allah SWT. Untuk
itu jangan sampai kita salah menempatkan diri kita dihadapan Allah SWT yang
pada akhirnya membawa diri kita pada penyesalan yang tiada berujung sehingga
menghantarkan kita menjadi penghuni neraka. Untuk itu sadarilah delapan hal
yang kami kemukakan di atas dengan sebaik baiknya.
Sebagai
abd’ (hamba)Nya yang sekaligus juga khalifahNya di muka bumi ketahuilah bahwa
setelah dipisahkannya ruhani dengan jasmani, yang ada dan yang tertinggal dari
diri kita di muka bumi ini adalah 2(dua) hal yaitu: jejak jejak kebaikan
ataukah jejak jejak keburukan. Adanya jejak jejak kebaikan ataukah jejak jejak
keburukan yang tertinggal di muka bumi merupakan tanda mata bahwa kita pernah
ada dan pernah hidup di muka bumi ini. Dan
melalui jejak jejak kehidupan yang tertinggal inilah maka akan diketahui secara
nyata kualitas diri kita yang sesungguhnya. Jika jejak jejak kebaikan yang
kita tinggalkan dan jejak tersebut mampu dinikmati oleh generasi yang datang
dikemudian hari berarti kita telah berumur panjang dan juga kita telah mampu
menjadi kebanggaan bagi anak keturunan kita yang datang di kemudian hari, yang
akhirnya doa akan terus dipanjatkan untuk kita oleh sebab karya nyata berupa
kebaikan yang kita tinggalkan. Namun,
jika yang terjadi adalah jejak jejak keburukan yang kita tinggalkan setelah
diri kita tiada berarti berumur pendeklah diri kita serta hilanglah rasa bangga
kepada diri kita yang berasal dari anak keturunan kita sendiri yang pada
akhirnya menjadikan diri kita menjadi orang yang terlupakan, atau jika disebut
nama kita yang diingat oleh kebanyakan orang adalah keburukan. Semoga kita
semua tidak seperti ini.
Dan
untuk itu ketahuilah bahwa semua ini (baik kebaikan atau
keburukan) hanya bisa terjadi di sisa usia kita yang kita miliki. Dimana di
sisa usia inipun kita masih dibatasi dengan adanya ketentuan yang lainnya,
yaitu: “waktu tidak bisa diputar ulang; kesempatan hanya datang satu kali;
serta menyesal adanya dibelakang hari.” Jadi jangan pernah menunda
nunda jika kita sudah berniat untuk berbuat kebaikan dalam bentuk karya nyata.
Lakukan saat ini juga karena kita tidak pernah dibatasi oleh Allah SWT untuk
melakukan perbuatan baik. Semoga Allah SWT memudahkan diri kita untuk berbuat
kebaikan dalam bentuk karya nyata di sisa usia yang kita miliki. Amiin.
Adanya kondisi yang telah kami kemukakan di atas, inilah
yang mendorong kami untuk terus berkarya melalui tulisan-tulisan yang
berkenaan dengan Aqidah Islam atau tentang Ketauhidan sepanjang Allah SWT
menghendaki ini terjadi, yang pada akhirnya masyarakat akan selalu memiliki buku-buku pembanding atas buku-buku yang
telah terbit terlebih dahulu, sehingga mampu menjadikan masyarakat dan generasi
yang akan datang menjadi dinamis dengan perkembangan ilmu maupun perkembangan
zaman melalui buku yang kami tulis. Apalagi saat ini, diri kita dan juga anak keturunan kita sedang
dan akan menghadapi tantangan berat, yaitu: (1) adanya informasi dari Nabi Muhammad SAW
tentang kondisi umat akhir zaman; (2) adanya tantangan reformasi yang belum
menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan tujuan reformasi itu sendiri; (3)
adanya tantangan revolusi industri 4.0 serta adanya tantangan society 5.0. (4)
adanya bahaya laten Narkoba dan Dzat Dzat Adiktif lainnnya; (5) adanya pengaruh
LGBTQQIAAP termasuk di dalamnya ancaman dari pornografi dan porno aksi serta
adanya pandemi covid 19 yang terjadi di seluruh dunia. Dimana ke lima
tantangan ini sudah ada dihadapan diri kita, namun selaku orang tua (selaku
nenek ataupun kakek) belum tentu sepenuhnya akan mengalami hal itu semuanya.
Lalu bagaimana dengan anak dan keturunan kita nanti? Ke lima hal yang kami kemukakan di atas pasti
akan menjadi tantangan, hambatan, rintangan, ujian, cobaan bagi anak keturunan
kita sendiri sebab merekalah yang akan menghadapinya dan mengalaminya.
Sebagai
orang tua, sebagai kakek atau nenek, sudah seharusnya kita mempersiapkan anak
keturunan kita siap menghadapi itu semua, namun ingat tidak boleh keluar dari
konsep kefitrahan yang telah ditetapkan berlaku oleh Allah SWT, yaitu “datang fitrah kembali fitrah untuk bertemu
dengan Dzat Yang Maha Fitrah di tempat yang fitrah melalui suatu proses tahu
diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir”. Sehingga akan sangat riskan bagi generasi milenial yang bertindak
selaku subyek jika mereka tidak pernah tahu siapa diri mereka yang sesungguhnya
dan siapa Allah SWT yang sesungguhnya. Akhirnya belajar tentang tahu diri dan
tahu aturan main dan tahu tujuan akhir harus menjadi prioritas saat diri kita
hidup di muka bumi ini. Dan semoga anak keturunan kita adalah generasi yang
mampu tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir. Amiin.
Sekarang mari kita mulai membahas tentang ibadah
ikhsan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Diinul Islam. Diinul Islam
adalah sebuah konsep Ilahiah yang diciptakan dari fitrah Allah SWT oleh Allah
SWT untuk kepentingan rencana besar kekhalifahan yang ada di muka bumi ini. Dan
agar kekhalifahan yang ada di muka ini selalu di dalam konsep kefitrahan maka
Allah SWT memerintahkan kepada seluruh khalifahnya untuk menghadapkan wajahnya
kepada Diinul Islam dengan lurus sehingga terjadilah segi tiga emas kefitrahan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Ar Ruum (30) ayat 30 yang
kami kemukakan berikut ini: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada
agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Berdasarkan
surat Ar Ruum (30) ayat 30 ini, Allah SWT juga telah menegaskan bahwa manusia
(dalam hal ini Nass) juga diciptakan menurut fitrah Allah SWT seperti halnya
Diinul Islam yang juga diciptakan dari fitrah Allah SWT. Adanya kondisi ini
jika manusia (maksudnya adalah Nass) diperintahkan untuk menghadapkan wajahnya
dengan lurus kepada Diinul Islam berarti fitrah yang ada pada manusia
(maksudnya adalah Nass) disambungkan (disinergikan) dengan fitrah yang ada di
dalam Diinul Islam sehingga manusia berada di dalam fitrah Allah SWT. Adanya
keadaan ini maka terjadilah apa yang dinamakan dengan segitiga yang tidak
terpisahkan antara manusia, termasuk di dalamnya diri kita (maksudnya adalah Nass)
dengan fitrah Allah SWT melalui Diinul Islam yang juga berasal dari fitrah
Allah SWT.
Inilah konsep dasar yang harus kita pahami dengan baik
dan benar bahwa diri kita yang sesungguhnya adalah Nass (dalam ini adalah ruh) jangan pernah sekalipun dipisahkan dengan asal
usulnya dalam hal ini Fitrah Allah SWT melalui Diinul Islam yang juga berasal
dari Fitrah Allah SWT. Jika sampai Nass
(ruh diri kita) dipisahkan dengan Diinul Islam dan juga dengan Fitrah Allah SWT
maka terjadilah proses hilangnya kefitrahan dalam diri sehingga konsep datang
fitrah kembali fitrah tidak akan pernah terjadi. Padahal syarat untuk bertemu dengan Allah SWT kelak
selaku Dzat Yang Maha Fitrah hanya di tempat yang fitrah adalah “datang fitrah kembali fitrah.” Disinilah
letak betapa diri kita sangat membutuhkan Diinul Islam yang berasal dari fitrah
Allah SWT yang bukan sebatas diartikan sebagai agama Islam semata. Namun Diinul
Islam wajib kita letakkan dan tempatkan sebagai konsep Ilahiah yang berasal
dari fitrah Allah SWT untuk kepentingan yang hakiki bagi diri kita yang
sesungguhnya. Namun perlu kita ketahui bersama bahwa apabila kefitrahan diri
kita sudah sudah tidak sesuai lagi dengan aslinya maka kita masih bisa bertemu
dengan Allah SWT selaku Dzat Yang Maha Fitrah jika kita mampu memasukkan onta
ke dalam lubang jarum atau melalui proses difitrahkan kembali melalui neraka
jahannam.
Saat ini sampai dengan hari kiamat kelak Diinul
Islam sebagai konsep ilahiah sudah ada dan sudah berlaku di muka bumi ini
sebagaimana hadits berikut ini: “Abu Hurairah r.a. berkata: Pada suatu hari ketika
Nabi SAW duduk bersama sahabat, tiba-tiba datang seorang bertanya: Apakah Iman?
Jawab Nabi SAW: Iman ialah percaya pada Allah, dan Malaikat-Nya, dan akan
berhadapan kepada Allah, dan pada Nabi utusan-Nya dan percaya pada hari bangkit
dari kubur. Lalu ditanya; Apakah Islam? Jawab Nabi SAW; Islam ialah menyembah
kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan
mendirikan sembahyang. Lalu bertanya: Apakah Ikhsan? Jawab Nabi SAW: Ihsan
ialah menyembah pada Allah seakan-akan anda melihat-Nya, maka jika tidak dapat
melihat-Nya, ketahuilah bahwa Allah melihatmu. Lalu bertanya: Bilakah hari
qiyamat? Jawan Nabi SAW: Orang yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada
yang menanya, tetapi saya memberitakan padamu beberapa syarat (tanda-tanda)
akan tibanya hari qiyamat, yaitu jika budak sahaya telah melahirkan majikannya,
dan jika penggembala onta dan ternak lainnya telah berlomba membangun
gedung-gedung, termasuk dalam lima macam yang tidak dapat mengetahuinya kecuali
Allah, yang tersebut dalam ayat: "Sesungguhya hanya Allah yang mengetahui,
bilakah hari qiyamat, dan Dia pula yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa
yang di dalam rahim ibu, dan tiada
seorangpun yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari, dan tidak seorang
pun yang mengetahui di manakah ia akan mati. Sesungguhnya Allah maha mengetahui
sedalam-dalamnya".Kemudian pergilah orang itu. Lalu Nabi SAW menyuruh
sahabat: Kembalikanlah orang itu! Tetapi sahabat tidak melihat bekas orang itu.
Maka Nabi SAW bersabda: Itu Malaikat Jibril datang untuk mengajarkan agama
kepada manusia. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Al-Lu'lu Wal Marjan: No.5).
Berdasarkan ketentuan hadits ini, Diinul Islam yang
tidak lain adalah konsep ilahiah untuk kepentingan hakiki umat manusia,
termasuk diri kita terdiri dari 3(tiga) ketentuan pokok yaitu ketentuan tentang
Rukun Iman, ketentuan tentang Rukun Islam dan ketentuan tentang Ikhsan. Dimana
ketiganya tidak dapat dipisahkan oleh sebab apapun juga. Apa maksudnya? Adanya
ketentuan hadits di atas, maka kita tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan
Rukun Iman saja dengan mengabaikan ketentuan Rukun Islam dan Ikhsan. Demikian
pula sebaliknya kita tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan Rukun Islam saja
dengan mengabaikan ketentuan Rukun Iman dan Ikhsan, atau kita tidak bisa
melaksanakan ketentuan Ikhsan saja dengan mengabaikan ketentuan Rukun Iman dan
Rukun Islam. Iman, Islam dan Ikhsan adalah tiga kata yang maknanya saling
berkaitan, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh
yang nyata bagimu. (surat Al Baqarah (2) ayat 208). Begitulah jika dilihat dari segi aspek
lahirnya, maka agama yang diajarkan oleh Allah SWT melalui perantaraan Malaikat Jibril as, adalah Islam. Agama juga
disebut iman jika yang diamati adalah aspek bathinnya. Kemudian agama baru disebut ikhsan jika aspek bathin (iman) dan lahirnya (amal saleh) telah
dipenuhi secara utuh dan sempurna. Sehingga ketiganya tidak terpisahkan antara
satu dengan yang lainnya. Apa contohnya?
Contohnya perintah mendirikan shalat, dimana perintah mendirikan shalat juga
tidak bisa dipisahkan dengan ketentuan Rukun Islam yang lainnya seperti syahadat,
puasa, zakat, haji serta ketentuan Rukun Iman dan ketentuan Ikhsan.
Adanya kondisi ini berarti: (a) kita tidak bisa
hanya mendirikan shalat saja dengan mengabaikan ketentuan Diinul Islam yang
lainnya, atau (b) kita tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan tentang syahadat
saja dengan mengabaikan ketentuan Diinul Islam yang lainnya, atau; (c) kita
tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan zakat saja dengan mengabaikan ketentuan
Diinul Islam yang lainnya, atau; (d) kita tidak bisa hanya melaksanakan
ketentuan puasa saja dengan mengabaikan ketentuan Diinul Islam yang lainnya,
atau; (e) kita tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan haji saja dengan
mengabaikan ketentuan Diinul Islam yang lainnya, atau; (f) kita tidak
bisa hanya melaksanakan Rukun Iman saja dengan mengabaikan ketentuan Diinul
Islam yang lainnya, atau; (g) kita tidak bisa hanya melaksanakan Ikhsan
saja dengan mengabaikan ketentuan Rukun Iman dan Rukun Islam. Adanya 7
(tujuh) kondisi dasar yang seperti yang
kami kemukakan di atas, maka kita harus mampu melaksanakan Diinul Islam secara
satu kesatuan yang tidak terpisahkan (maksudnya adalah melaksanakan Diinul
Islam secara kaffah) jika kita ingin selalu sesuai dengan kehendak Allah SWT,
atau sesuai dengan fitrah Allah SWT dari waktu ke waktu selama ruhani belum berpisah
dengan jasmani.
Ibadah Ikhsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang
senantiasa menjadi target seluruh umat manusia. Hal ini dikarenakan ibadah
Ikhsan akan menjadikan kita menjadi sosok yang mendapatkan kemuliaan dihadapan
Allah SWT. Sebaliknya, apabila diri kita tidak mampu mencapai target ini akan
kehilangan kesempatan yang sangat berharga yaitu menduduki posisi terhormat
dihadapan Allah SWT. Dan Nabi Muhammad SAW sangat menaruh perhatiaan akan hal
ini, sehingga seluruh ajaran ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai
ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia. Oleh
karenanya, seorang mukmin hendaknya tidak memandang ibadah Ikhsan itu hanya
sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari
Aqidah dan bagian terbesar dari keislamannya. Ingat Diinul Islam dibangun
di atas tiga landasan utama yaitu Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan. Ibadah
Ikhsan dapat dikatakan pula sebagai buah
atau hasil dari pelaksanaan Rukun Iman dan Rukun Islam yang telah kita
laksanakan yang akan tercermin dari seberapa tinggi (seberapa berkualitas) perbuatan
baik atau kebaikan yang telah kita lakukan selama menjalankan tugas sebagai Abd’
(hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi, yang kesemuanya terbukti saat
diri kita melaksanakan Habblumminannass.
Semakin baik dan semakin tinggi
kualitas Rukun Iman dan Rukun Islam yang kita laksanakan maka semakin tinggi
pula tingkat kualitas Ikhsan yang kita laksanakan, atau yang tercermin di dalam
diri kita, demikian pula sebaliknya. Disinilah letak daripada “Islam Rahmat
Untuk Semua” dimana setiap orang yang telah mengaku melaksanakan Diinul Islam
secara kaffah maka ia wajib berguna bagi orang lain sehingga terlihatlah dengan
jelas bahwa Islam adalah baik tidak hanya bagi pemeluknya saja namun juga baik
bagi seluruh umat manusia, sebagaimana dua buah firmanNya berikut ini: “dan
belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (surat Al Baqarah (2) ayat 195) dan
juga firmanNya berikut ini: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil
dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran. (surat An Nahl (16) ayat 90). Berdasarkan
ketentuan ini, ibadah Ikhsan merupakan bukti dari hasil menunaikan Habblumminallah
yang tercermin di dalam Habblumminannass. Seseorang tidak bisa dikatakan telah
mampu melaksanakan ibadah Habblumminallah jika hasilnya tidak tercermin di
dalam ibadah Habblumminanass. Dan agar diri kita mampu mempertunjukkan Habblumminallah
yang tercermin di dalam Habblumminanass, berikut ini akan kami berikan sebuah
renungan dan pelajaran dari Nabi Musa, as,, yaitu:
Pada suatu saat Nabi Musa as
berkomunikasi dengan Allah SWT. Nabi Musa as.: "Wahai Allah aku sudah
melaksanakan ibadah. Lalu manakah ibadahku yang membuat engkau
senang?".Allah SWT: “Syahadat mu itu untuk dirimu sendiri, karena dengan
engkau bersyahadat maka terbukalah pintu bagimu untuk bertuhankan kepada Ku.
Allah SWT: "Shalat mu bukan untuk Ku tetapi untukmu sendiri, karena
dengan kau mendirikan shalat, engkau terpelihara dari perbuatan keji dan
munkar. Dzikir? Dzikirmu itu membuat hatimu menjadi tenang. Puasa ? Puasamu itu
melatih dirimu untuk memerangi hawa nafsumu". Zakat itu untuk membersihkan
apa apa yang telah engkau miliki. Menunaikan Haji untuk menjadikan kamu menjadi
lebih dekat kepada Ku setelah berkunjung ke rumah Ku.” Nabi Musa as,: "lalu
apa ibadahku yang membuatmu senang ya Allah?" Allah SWT: "Sedekah, Infaq, Wakaf serta
akhlaqul karimah-mu yang menceriminkan Asmaul Husna. Itulah yang membuat
aku senang, Karena tatkala engkau membahagiakan orang yang sedang susah, aku
hadir disampingnya. Dan Aku akan mengganti dengan ganjaran kepadamu”. Selanjutnya apabila kita hanya sibuk dengan
ibadah ritual semata dan bangga akan itu (maksudnya sibuk dengan ibadah Habblumminannallah)
maka itu tandanya kamu hanya mencintai dirimu sendiri (egois), bukan cinta
kepada Allah SWT. Akan tetapi, bila kita berbuat dan berkorban untuk orang
lain serta melunakkan hati untuk kepentingan orang lain maka itu tandanya kita
mencintai Allah SWT dan tentu Allah SWT senang karenanya. Buatlah Allah SWT
senang dan bangga kepada diri kita maka Allah SWT akan limpahkan rahmat-Nya
dengan membuat hidupmu lapang dan bahagia. Jangan lupa jadikan perintah yang
telah diperintahkan oleh Allah SWT kepada diri kita sebagai sebuah kebutuhan
karena ini adalah kunci kesuksesan hidup di dunia dan akhirat kelak. Ingat,
dibalik diri kita melaksanakan setiap perintah Allah SWT yang telah
diperintahkan kepada diri kita disana ada ketertundukan dan kepatuhan diri kita
kepada Allah SWT.
Sebagai abd’ (hamba)Nya yang sekaligus
khalifahNya yang membutuhkan Diinul Islam berarti hasil dari pelaksanaan Diinul
Islam tidak hanya dapat kita rasakan secara personal semata. Akan tetapi
keluarga, anak keturunan, masyarakat, bangsa dan negara juga wajib memperolah
dampak positif dari keberhasilan diri kita melaksanakan Diinul Islam secara
kaffah, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Perumpamaan (nafkah yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir
seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.
dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang
dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati. (surat Al Baqarah (2) ayat 261 dan 262)
Sekarang jika hanya diri kita saja
yang merasakan dampak positif dari pelaksanaan Diinul Islam secara kaffah berarti
kita telah menjadikan diri sendiri menjadi orang yang egois yang hanya
mementingkan diri sendiri. Sikap egois merupakan sifat yang dikehendaki oleh syaitan
sang laknatullah. Untuk itu kita wajib menujukkan dan melaksanakan ibadah
Ikhsan sebagai cerminan diri kita yang berguna bagi masyarakat luas, nusa dan
bangsa. Ingat, sebaik baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain dan
inilah yang dikehendaki oleh Allah SWT melalui ibadah Ikhsan lalu tersenyumlah
Allah SWT kepada diri kita. Bayangkan Allah SWT tersenyum bangga kepada diri
kita!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar