C. ALLAH SWT BERADA DI MANA SAJA.
Sekarang mari kita lihat
dimanakah Allah SWT berada? Apakah Allah SWT itu ghaib sehingga tidak bisa
dilihat oleh mata? Allah SWT bukanlah sesuatu yang bersifat ghaib hal ini
dikarenakan apa apa yang diciptakan oleh Allah SWT dapat kita lihat dengan mata
dan dapat kita rasakan melalui adanya tanda tanda kebesaran dan kemahaan Allah
SWT melalui hati serta Allah SWT selalu berada di balik ciptaanNya dan juga
selalu bersama tanda tandaNya melalui rasa keimanan yang ada dalam diri kita. Apa yang kami kemukakan akan menjadi sesuatu
yang mustahil terjadi jika ada suatu ciptaan dan jika ada suatu tanda tanda
dari kebesaran dan kemahaan tanpa ada yang menciptakan dan tanpa ada yang
memberikan tanda tanda sebagai manifestasi kemahaan dan kebesaran pemilik tanda.
[83] Disitulah wajah Allah maksudnya; kekuasaan Allah meliputi seluruh alam; sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan Allah.
Allah SWT berada di manapun, ada di barat, ada di timur, ada di utara, ada di selatan sehingga Allah SWT tidak bisa dipisahkan dengan segala apa yang diciptakanNya. Dan hal yang harus kita pahami tentang hal ini adalah yang berada di manapun dari Allah SWT bukanlah Dzatnya karena DzatNya Allah SWT berada di Arsy. Sedangkan yang ada di mana mana adalah kemahaan Allah SWT, kebesaran Allah SWT, pengawasan Allah SWT kekuasaan Allah SWT yang kesemuanya tidak bisa dipisahkan dengan apa apa yang diciptakanNya oleh sebab apapun juga. Jika sekarang Allah SWT berada di setiap apa apa yang diciptakanNya lalu diposisi manakah Allah SWT pada diri kita? Sepanjang manusia termasuk diri kita adalah ciptaan Allah SWT maka sepanjang itu pula keberadaan Allah SWT tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan diri kita.
Dan yang menjadi persoalan adalah diri kita sendiri yang sering melepaskan diri dari Allah SWT dan jika sudah demikian berarti kita sendiri pula yang memberikan kesempatan bagi syaitan melaksanakan aksinya kepada diri kita, sebagaimana hadits berikut ini: “Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi Saw bersabda: Allah ta’ala berfirman:” Wahai anak Adam, jika engkau ingat kepadaKu pasti Aku juga akan ingat kepadamu, dan bila engkau lupa kepadaKu Akupun akan ingat kepadamu. Dan jika engkau taat padaKu pergilah kemana saja engkau suka, pada tempat dimana Aku berkawan dengan engkau dan engkau berkawan dengan Aku. Engkau berpaling dariKu padahal Aku menghadap padamu. Siapakah yang memberimu makan di kala engkau masih janin dalam perut ibumu. Aku selalu mengurusmu dan memeliharamu sampai terlaksanalah kehendakKu atas dirimu, maka setelah Aku keluarkan engkau kea lam dunia engkau berbuat banyak maksiat. Apakah demikian seharusnya pembalasan kepada orang yang telah berbuat kebaikan kepadamu. (diriwayatkan oleh Abu Nashr Rabi’ah bin Ali Al Ajli dan Ar Rafii’: 272:182). Sekarang sudahkah kita mampu melihat dan merasakan Allah SWT yang sudah berada di manapun sepanjang ada ciptaanNya? Semoga kita mampu merasakan kehadiran Allah SWT melalui rasa keimanan yang ada di dalam dada sehingga saat diri kita beribadah terasa nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT selalu menyertai diri kita. Kondisi ini baru akan terjadi jika ibadah yang kita lakukan bukanlah untuk melepaskan kewajiban semata dan juga bukan untuk mencari pahala melainkan kita melaksanakan ibadah karena ibadah itu kebutuhan diri kita sehingga kita mampu merasakan hakekat dari ibadah tanpa melanggar syariat.
Adanya keberadaan Allah SWT yang tidak akan bisa dipisahkan dengan segala apa yang diciptakanNya berarti keberadaan Allah SWT sangat dekat dengan diri kita dan juga siap memberikan pertolongan kepada diri kita sepanjang kita memohon kepada Allah SWT. Untuk itu tolong perhatikan apa yang dikemukakan oleh Allah SWT yang terdapat di dalam surat Al Ankabuut (29) ayat 41 berikut ini: “perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” Ayat ini mengemukakan bahwa Allah SWT yang keberadaanNya sudah tidak akan bisa dipisahkan dengan ciptaanNya telah menyatakan bahwa pelindung pelindung selain Allah SWT seperti melindungi diri dengan perlindungan sarang laba laba, sebuah rumah yang paling lemah karena tidak mampu melindungi penghuninya dari pengaruh luar ruangan seperti angin dan panas.
Lalu jauhkah Allah SWT selaku pelindung diri kita? Jauh dekatnya perlindungan Allah SWT sangat tergantung kepada diri kita sendiri. Jika Allah SWT sudah tidak bisa dipisahkan dengan ciptaanNya berarti perlindungan Allah SWT kepada ciptaanNya juga sangat dekat dengan diri kita sepanjang diri kita mengimani perlindungan itu dekat dengan diri kita dan siap diberikan Allah SWT sepanjang syarat dan ketentuan dapat kita penuhi. Disinilah letaknya melaksanakan ibadah yang diikuti dengan ibadah Ikhsan yaitu melihat Allah SWT. Alangkah nikmatnya jika kita mampu beribadah dengan kemampuan melihat Allah SWT melalui rasa keimanan bahwa Allah SWT selalu bersama diri kita serta dekat dengan diri kita dan kitapun mampu menempatkan Allah SWT pada posisi yang sebenarnya, yaitu dekat yang tidak bisa terpisahkan dengan diri kita.
Lalu rasakanlah nikmat bertuhankan kepada Allah SWT dari waktu ke waktu. Namun apa yang dikehendaki oleh Allah SWT belum tentu mampu kita laksanakan karena pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan syaitan yang mengakibatkan diri kita melakukan kesalahan atau berdosa. Tidak ada orang yang ada di muka bumi ini yang tidak melakukan kesalahan dan dosa. Lalu apa yang bisa kita perbuat dengan kondisi ini? Agar diri kita mampu lebih baik lagi dari waktu ke waktu, ada baiknya kita memperhatikan apa yang dikemukakan Allah SWT dalam surat Faathir (35) ayat 45 yang kami kemukakan berikut ini: “dan kalau Sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; Maka apabila datang ajal mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. Ayat ini mengemukakan bahwa Allah SWT tidak hendak menyiksa manusia saat ini melainkan Allah SWT menangguhkan penyiksaan sampai waktu tertentu. Untuk apa Allah SWT menunda hal ini?
Allah SWT menunda karena Allah SWT sayang kepada manusia dengan memberikan kesempatan ke dua untuk bertaubat, atau memberikan kesempatan kedua bagi yang memohon ampun kepadaNya sampai batas waktu yang ditentukan. Jika ini kondisinya berarti saat ini Allah SWT sedang menunggu taubat kita, Allah SWT sedang menunggu doa dan harapan yang kita panjatkan kepadaNya serta menunjukkan pula bahwa Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Sabar.. Dan jangan sampai Allah SWT sudah dekat yang sedekat dekatnya dengan diri kita hanya menunggu taubat semata seperti ayat di atas. Namun ketahuilah bahwa Allah SWT menunggu segala permohonan yang dimohonkan kepadaNya tanpa ada batasnya sepanjang kita mau mengajukan doa dan permohonan. Alangkah sayangnya Allah SWT kepada diri kita namun sangat disayangkan kita tidak mengerti kalau kita disayang oleh Allah SWT lalu menyianyiakan kesempatan yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada diri kita.
D. SUJUD, PATUH, BERTASBIH KEPADA ALLAH SWT SELURUH ALAM.
Sekarang mari kita melihat
Allah SWT melalui patuh, tunduk, sujud dan bertasbihnya seluruh alam kepada
Allah SWT seperti yang dikemukakan dalam surat Al Hajj (22) ayat 18 berikut
ini: “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada
di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan,
binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? dan banyak
di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang
dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah
berbuat apa yang Dia kehendaki.” dan
juga berdasarkan surat Al Hadiid (57) ayat 1 berikut ini: “semua
yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah
(menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Serta berdasarkan
surat An Nuur (24) ayat 41 sebagaimana kami kemukakan berikut ini: “Tidakkah
engkau (Muhammad) tahu bahwa kepada Allahlah bertasbih apa yang di langit dan
di bumi, dan juga burung yang mengembangkan sayapnya.Masing masing sungguh telah mengetahui (cara) berdoa dan
bertasbih. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
Berdasarkan ke tiga ayat yang kami kemukakan di atas ini, seluruh apa apa yang ada di langit dan di bumi, seperti bulan, bintang, gunung, hewan, tumbuhan, burung, air dan udara masing masing telah mengetahui (cara) berdoa, cara tunduk patuh, cara bersujud, serta cara bertasbih kepada Allah SWT. Sedangkan berdasarkan surat Al Israa’ (17) ayat 44 berikut ini: “langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” dikemukakan bahwa cara bertasbihnya, cara tunduk patuhnya segala apa apa yang diciptakan oleh Allah SWT tidak dimengerti oleh manusia. Manusia hanya bisa melihat sisi keteraturan dari ciptaan Allah SWT semata. Untuk itu lihatlah keteraturan matahari, bulan, bumi yang beredar sesuai dengan garis edarnya masing masing sebagai bentuk ketertundukkan mereka kepada Allah SWT. Dalam hal ini terhadap apa apa yang telah ditetapkan berlaku kepadanya. Tidak ada satupun yang keluar jalur dari apa apa yang telah ditetapkan Allah SWT berlaku kepada seluruh apa apa yang telah diciptakannya.
Selain daripada itu, kita
juga bisa mendengar langsung kicauan burung, namun pernahkah kita tahu dan
mengerti isi dari kicauan burung tersebut. Namun yang jelas adalah burung
berkicau bukanlah sembarangan berkicau, tetapi itu juga bermakna sebagai salah
satu wujud bertasbihnya burung kepada Allah SWT. Dan ingat tasbihnya burung bukanlah tasbih untuk meminta balasan,
tetapi tasbihnya sebagai wujud dari patuh dan taatnya burung kepada Allah SWT
tanpa pamrih. Jika burung dengan kasat mata sudah mampu memperlihatkan
secara langsung tasbihnya kepada Allah SWT dihadapan diri kita lalu bagaimana
dengan diri kita? Jika kita tidak mampu bertasbih sebagai wujud patuh dan
taatnya diri kita kepada Allah SWT berarti tidak berlebihan jika burung lebih
baik dari diri kita.
Berikut ini akan kami kemukakan bentuk
lain dari sujud, patuh dan bertasbihnya apa-apa yang ada di langit dan apa-apa
yang ada di bumi, yang kami hubungkan dengan keadaan yang terjadi di sekeliling
kita, yaitu: (a) Padi, Tikus dan Wereng bertasbih
dan sujud kepada Allah SWT, sekarang
relakah padi; sudikah padi, bersediakah padi, ikhlaskah padi, di makan oleh
manusia yang tidak mau sujud dan yang tidak mau bertasbih kepada Allah SWT; (b)
Air dan Udara bertasbih dan sujud kepada Allah SWT, sekarang relakah air dan
udara, sudikah air dan udara, bersediakan air dan udara, ikhlaskah air dan
udara, jika dipergunakan oleh manusia yang membutuhkannya dimana manusia
tersebut justru melakukan perbuatan dan tindakan yang berseberangan dengan
perbuatan air dan udara kepada Allah SWT? Dalam kehidupan sehari-hari, kita
merasa jengkel dan rasanya sangat marah jika kita memberikan sesuatu kepada
orang lain, katakanlah memberikan sejumlah uang, lalu uang tersebut
dipergunakan untuk foya-foya atau untuk membiayai perbuatan maksiat atau untuk
berjudi.
E. YANG MENURUNKAN AIR HUJAN DARI LANGIT LALU MENYUBURKAN TANAH.
Sekarang mari kita lihat Allah SWT melalui hujan yang diturunkan dari langit yang dikemukakan dalam surat Al Hajj (22) ayat 63 berikut ini: “Apakah kamu tiada melihat, bahwasanya Allah menurunkan air dari langit, lalu jadilah bumi itu hijau? Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.” lalu perhatikan juga apa yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al Zumar (39) ayat 21 berikut ini: “Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, Maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” Kedua ayat di atas ini, menunjukkan kepada diri kita bahwa secara kasat mata kita tidak bisa melihat Allah SWT. Akan tetapi kita bisa secara kasat mata mampu melihat Allah SWT melalui salah satu ciptaanNya yaitu Allah SWT menurunkan air melalui hujan yang turun dari langit.
Hujan bisa kita lihat dan kita rasakan secara langsung saat kita hidup di muka bumi ini, namun hujan yang kita lihat dan rasakan bukanlah semata mata ciptaan Allah SWT. Hujan juga merupakan tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT. Dan dengan adanya hujan yang tidak lain adalah tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT berarti Allah SWT pasti ada dan tidak ghaib keberadaannya, hal ini terbukti dari adanya hujan yang merupakan tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT.Lalu dimanakah Allah SWT itu? Allah SWT pasti ada di balik keberadaan air yang turun melalui hujan (Allah SWT tersembunyi dibalik keberadaan air yang turun melalui hujan) sehingga di setiap air yang turun melalui hujan dapat dipastikan ada Allah SWT yang menyertainya. Sekarang ada apa dibalik turunnya air melalui hujan? Air yang turun melalui hujan bukanlah semata mata turunnya air dari langit untuk menyuburkan tanah.
Air yang turun melalui hujan juga merupakan cara dan metode Allah SWT untuk mensirkulasi air dari satu tempat ke tempat lain serta metode Allah SWT untuk menambah jumlah air yang ada dan yang dibutuhkan di muka bumi untuk seluruh makhluknya. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT sangat berkuasa kepada air dan juga kepada hujan, termasuk di dalamnya berkuasa terhadap air yang sudah ada di bumi. Jika hal ini sudah ditunjukkan oleh Allah SWT melalui air yang turun melalui hujan dan juga melalui air yang ada di muka bumi, lalu bisakah kita menciptakan hujan dan juga air? Sampai dengan kapanpun juga manusia termasuk diri kita tidak akan mampu menurunkan hujan dan juga menciptakan air dan hal ini juga dibuktikan dengan tidak adanya produk substitusi atau produk pengganti yang bisa menggantikan air.
Kita hanya bisa melihat, menyaksikan, mendengar, merasakan turunnya air
melalui hujan serta hanya bisa mempergunakan air untuk kepentingan hidup dan kehidupan
kita. Lalu apa yang harus kita sikapi dengan kondisi ini? Jadikan ketentuan
yang ada di dalam hadits berikut ini sebagai pernyataan keimanan diri kita. Ibn Mas’ud
ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Sesungguhnya
barangsiapa berkata: Hujan telah turun kepada kami karena bintang ini atau
bintang itu, maka sungguh ia telah kufur kepadaKu dan beriman kepada bintang
itu. Sebaliknya barangsiapa berkata: Allah telah menurunkan hujan kepada kami,
maka ia telah beriman kepadaKu dan kufur kepada bintang itu. (Hadits Qudsi
Riwayat Ath Thabrani; 272:33). Hadits ini melarang diri kita untuk mengatakan
bahwa hujan turun karena bintang ini dan bintang itu, atau karena sebab sebab
yang bersifat klenik. Kita wajib mengatakan bahwa hujan turun karena Allah SWT
semata.
Di lain sisi, walaupun diri kita sudah berkesesuaian dengan perilaku dan perbuatan air tidak serta merta kita bisa memperlakukan air dengan sekehendak hati kita. Agar air mau memberikan manfaat secara sukarela atau ridha dimanfaatkan oleh diri kita maka kita diwajibkan oleh Allah SWT untuk membaca Basmallah sebelum memanfaatkan air. Dengan diri kita membaca Basmallah berarti kita telah mengatakan kepada air yaitu atas nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang, engkau ku konsumsi (engkau ku pergunakan) maka ridhalah air kepada diri kita. Sekarang lihatlah tubuh kita yang sebahagian besar terdiri dari unsur air yang berarti kita tidak bisa melepaskan diri dari air sedangkan kita tidak bisa menciptakan air. Jika sudah seperti ini keadaannya maka kita harus menghargai air, menghormati air sebagai bagian yang tidak bisa dilepaskan dari Allah SWT selaku penciptanya. Terkecuali jika kita tidak lagi membutuhkan air, berbuatlah semena mena dengan air lalu bersiaplah merasakan betapa tidak enaknya, betapa susahnya hidup tanpa air. Air sangat kita butuhkan, namun jika sesuatu yang kita butuhkan justru kita berlakukan tidak sesuai dengan apa yang dilakukan oleh air kepada Allah SWT berarti kita juga telah mengabaikan atau tidak memperdulikan Allah SWT yang selalu menyertai air.
Kondisi inilah yang paling berbahaya yaitu kita butuh kepada air namun meniadakan atau mengabaikan Allah SWT selaku pencipta air dan yang juga selalu menyertai air. Jika ini yang terjadi Allah SWT menjadi murka kepada diri kita dan air yang seharusnya bermanfaat bagi kita tetapi justru menyerang diri kita melalui banjir, kekeringan dan lain sebagainya. Ayo sadari dengan sesadar sadarnya bahwa Allah SWT selalu berada di balik keberadaan air sampai kapanpun juga lalu bijak dan berhematlah saat mempergunakan air dalam hidup dan kehidupan kita karena air juga sangat dibutuhkan oleh anak dan keturunan diri kita sendiri yang akan ada di kemudian hari. Jangan sampai kita menganiaya mereka karena ulah diri kita yang tidak peduli dengan air.
F. YANG MENCIPTAKAN, YANG MENGHIDUPKAN
DAN YANG MEMATIKAN MANUSIA.
Lalu siapakah diri kita? Apakah diri kita juga termasuk yang dikemukakan dalam surat Al Mu’min (40) ayat 67, 68, 69 berikut ini:“Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya). Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, Maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya bekata kepadanya: "Jadilah", Maka jadilah ia. Apakah kamu tidak melihat kepada orang-orang yang membantah ayat-ayat Allah? Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan?”
Jawaban dari pertanyaan ini adalah kita termasuk yang diciptakan oleh Allah SWT yang lalu diangkat menjadi khalifahNya di muka bumi. Kita juga merupakan tanda tanda dari kebesaran dan kemahaan Allah SWT serta keberadaan diri kita tidak bisa dilepaskan dari Allah SWT karena Allah SWT selalu menyertai diri kita dimanapun kita berada, sebagaimana hadits berikut ini: “Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: “Wahai anak Adam, jika engkau ingat kepadaKu pasti Aku juga akan ingat kepadamu, dan bila engkau lupa kepadaKu Akupun akan ingat kepadamu. Dan jika engkau taat kepadaKu pergilah kemana saja engkau suka, pada tempat dimana Aku berkawan dengan engkau dan engkau berkawan dengan Aku. Engkau berpaling dariKu padahal Aku menghadap kepadamu. Siapakah yang memberimu makan di kala engkau masih janin di dalam perut ibumu. Aku selalu mengurusmu dan memeliharamu sampai terlaksanalah kehendakKu atas dirimu, maka setelah Aku keluarkan engkau ke alam dunia engkau banyak berbuat maksiat. Apakah demikian seharusnya pembalasan kepada yang telah berbuat kebaikan kepadamu”.(Hadits Riwayat Abu Nashr Rabiah bin Ali al Ajli dan Ar Rafi’i; 272:182). Dan ingat, kita juga yang akan dimatikan oleh Allah SWT dengan cara memisahkan ruh/ruhani dengan jasmani pada saat yang telah ditentukanNya. Ruh/Ruhani akan pulang sementara waktu ke alam barzah sedangkan jasmani akan dimakamkan di tanah (tempat pemakaman) sebagaimana firmanNya berikut ini: “dan Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi), Sesungguhnya manusia itu, benar-benar sangat mengingkari nikmat. (surat Al Hajj (22) ayat 66).”
Untuk mempertegas tentang keberadaan diri kita di muka bumi sebagai tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT, berikut ini akan kami kemukakan hakekat dari diri kita yang tidak lain adalah: (1) Simbol dari penampilan Allah SWT di muka bumi; (2) Simbol dari keghaiban Allah SWT (terutama tentang Ruh); (3) Simbol dari pemandangan bagi penampilan keindahan Allah SWT; (4) Simbol dari gudang perbendaharaan Allah SWT selalui ibadah Zakat, Infaq dan Shadaqah; (5) Simbol dari gambaran dari sifat dan AsmaNya Allah SWT serta Simbol dari Eksistensi Allah SWT bagi tersingkapNya hijab Allah SWT. Jika kita menyadari hal ini betapa mulianya diri kita karena mampu menunjukkan Islam rahmat bagi seluruh alam.
Di lain sisi, kita juga bisa melihat Allah SWT melalui orang yang meninggal dunia. Adanya orang yang meninggal dunia menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT Maha Berkuasa di muka bumi, yaitu selain mampu menghidupkan juga mampu mematikan manusia. Lalu apakah ketentuan ini hanya berlaku untuk orang lain kepada diri kita tidak? Ketentuan mematikan berlaku kepada seluruh umat manusia termasuk di dalamnya diri kita pasti akan dimatikan oleh Allah SWT. Dan jika saat ini kita masih hidup di muka bumi ini berarti saat ini kita sedang menuju ke liang kubur (menuju kematian). Hal yang harus kita yakini adalah kecepatan menuju liang kubur bersifat konstan yaitu berkecapatan 60 (enam puluh) menit per jam serta kita juga telah diingatkan oleh Allah SWT untuk memanfaatkan sisa usia yang ada pada saat ini terkecuali jika kita bermaksud mengingkari nikmat Allah SWT. Jangan sampai terlambat memanfaatkan sisa usia yang tersedia karena kita tidak tahu kapan Malaikat Maut datang kepada diri kita serta yang pasti adalah pesan pesan dari Malaikat Maut sudah sampai kepada diri kita melalui mata yang sudah tidak awas lagi, melalui semangat yang sudah mengendur, melalui kaki dan tangan yang sekarang sudah mulai gemetar dan lemah serta melalui rambut yang sudah tidak hitam lagi.
Hal yang harus kita ingat adalah mati atau suatu kematian adalah kepastian yang tidak bisa kita hindari. Tidak harus kaya dahulu baru mati, tidak harus tua dahulu baru mati, tidak harus memiliki jabatan dahulu baru mati, tidak harus sarjana dahulu baru mati, tidak harus berhaji dahulu baru mati, tidak harus berkeluarga dahulu baru mati. Mati adalah rahasia Allah SWT lalu sudahkah diri kita mempersiapkan diri untuk menuju kematian? Ayo gunakan waktu yang tersisa dengan manajemen waktu yang baik dan benar karena waktu tidak bisa diputar ulang dan jangan sampai diri kita menjadi yang merugi di akhirat kelak. Sekarang semuanya sangat terpulang kepada diri kita sendiri, mampukah kita melihat kebesaran dan kemahaan Allah SWT melalui kematian manusia serta yang juga pasti terjadi pada diri kita. Jika saat ini kita masih hidup berarti kita sedang menuju kepada kematian namun nomor urut belum sampai kepada diri kita. Ayo segera persiapkan kematian dengan sebaik baiknya karena kecepatan menuju liang kubur memiliki rumus kecepatan tertentu, yaitu: 60 (enam puluh) menit per jam. Rumus ini berlaku konstan dan akan mengurangi dengan pasti sisa usia yang kita miliki.
H. YANG MEMPERGANTIKAN SIANG DAN MALAM.
Sekarang mari
kita lihat Allah SWT melalui mata telanjang. Kita bisa melihat terjadinya silih
bergantinya malam dan siang seperti yang terdapat di dalam surat Ali Imran (3)
ayat 190 berikut ini: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,
dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal.” dan
juga yang terdapat dalam surat Yunus (10) ayat 6 berikut ini:“Sesungguhnya
pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di
langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi
orang- orang yang bertakwa.” Dan masih masih berdasarkan ayat di
atas bahwa terjadinya pertukaran malam dan siang merupakan tanda tanda dari
kemahaan dan kebesaran serta kekuasaan Allah SWT bagi orang yang berakal dan
juga bagi orang yang bertaqwa. Adanya
syarat yang dikemukakan oleh Allah SWT tentang silih bergantinya siang dan
malam di atas, menunjukkan kepada diri kita hanya orang orang yang berakal dan
hanya orang orang yang bertaqwa yang mampu menyatakan bahwa adanya siang dan
malam merupakan adalah tanda tanda kebesaran dan kemahaan serta kekuasaan Allah
SWT. Sekarang bagaimana dengan orang yang tidak memenuhi kriteria di atas?
Adanya perbedaan kriteria akan menghasilkan pernyataan yang berbeda pula. Orang
yang tidak memenuhi kriteria di atas akan menyatakan silih bergantinya malam
dan siang adalah proses alam.
Silih bergantinya siang dengan malam akan melahirkan apa yang dinamakan dengan waktu. Lahirnya waktu akan memudahkan diri kita melaksanakan ibadah ibadah yang telah diperintahkan Allah SWT berlaku, yang kesemuanya sangat berhubungan erat dengan waktu. Mendirikan shalat lima waktu terikat dengan waktu, melaksanakan puasa Ramadhan terikat dengan waktu, menunaikan zakat terikat dengan waktu (dalam hal ini haul), melaksanakan ibadah Haji juga terikat dengan waktu seperti Wukuf di Arafah, mabid di Muzdalifah, melontar Jumroh, serta berkurban. Sekarang apa jadinya jika Allah SWT tidak mempergantikan siang dan malam? Dapat dipastikan kita akan susah untuk melaksanakan ibadah yang telah diperintahkan Allah SWT.
Jika saat ini kita masih hidup di muka bumi ini berarti kita akan berhadapan dengan waktu waktu untuk beribadah. Dimana waktu waktu ibadah tidak bisa terlepas dari kebesaran dan kemahaan Allah SWT serta Allah SWT bersama dengan waktu tersebut. Untuk itu sadarilah sejak saat ini juga bahwa pada saat diri kita melaksanakan atau menunaikan ibadah selalu berada di dalam waktu yang Allah SWT miliki lalu apakah kita akan menyianyiakan ibadah dengan berlaku tergesa gesa, terburu buru serta tanpa kekhusyuan? Alangkah ruginya jika kita tidak mampu beribadah sesuai dengan kehendak Allah SWT pada waktu untuk beridah hanya ada pada sisa usia kita.
Bicara waktu, maka kita
akan berhadapan dengan ketentuan tentang waktu yang menyatakan waktu adalah
uang (maksudnya waktu sangat berharga laksana uang) dan juga waktu adalah modal
dasar kehidupan karena di dalamnya ada kesempatan bagi diri kita untuk berbuat
dan melaksanakan tugas sebagai Abd’ (hamba) dan juga sebagai khalifah di muka
bumi. Dan jika kita termasuk orang yang berakal maka kita harus mengetahui dan
menyadari bahwa kehidupan dunia tidak digunakan untuk bersenang senang. Oleh
karena itu kita harus berhati hati dalam mempergunakan dan memanfaatkan waktu
dalam setiap kesempatan. Ingat, di dalam ketentuan waktu juga berlaku ketentuan
“ waktu
tidak bisa diputar ulang serta menyesal adanya di kemudian hari”. Jika
kita termasuk orang yang beriman dan beramal shaleh maka kita harus
memanfaatkan waktu karena yang singkat adalah waktu serta waktu bukanlah
sesuatu yang menunggu diri kita.
Hal yang harus pula kita ketahui dengan kesadaran yang tinggi adalah waktu adalah harta yang paling berharga saat kita hidup di dunia ini. Hal ini dikarenakan hanya di dalam waktu yang tersisalah kita bisa melakukan apa apa yang dikehendaki Allah SWT dan hanya di dalam waktu itupula kita bisa menikmati apa yang dinamakan dengan harta kekayaan, kesenangan dunia serta merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT dan juga bisa berbuat kebaikan. Jangan sampai kita lalai saat masih berusia muda serta menyesal di hari tua akibat tidak bisa memanfaatkan waktu. Menyesal dan penyesalan tidak ada gunanya jika waktu telah berlalu karena jika waktu habis berarti selesai sudah hidup kita di dunia ini. Ayo segera manfaatkan waktu itu sebelum diri kita ditinggalkan oleh sang waktu.
I. YANG MENJADIKAN MANUSIA BERMACAM MACAM
SUKU BANGSA, RAS DAN WARNA KULIT.
Allah SWT telah memiliki
parameter tersendiri di dalam menilai keberhasilan Abd’ (hamba) yang sekaligus juga
khalifahNya di muka bumi, dalam hal ini adalah parameter ketaqwaan. Adanya
parameter ketaqwaan yang diterapkan oleh Allah SWT maka Allah SWT tidak akan
pernah memandang bangsa, tidak akan pernah memandang suku, tidak akan pernah
memandang ras, tidak akan pernah memandang keturunan, tidak akan penah
memandang harta, tidak akan pernah memandang pangkat dan jabatan, tidak akan
pernah memandang warna kulit dan juga tidak akan pernah memandang bahasa yang
dipergunakan, tidak memandang penampilan manusia dari penampilan kulit luar
saja, apalagi menilai berdasarkan budaya dan adat istiadat.
Jika sudah seperti ini maka
tidak ada jalan lain bagi diri kita yang saat ini masih diberi kesempatan hidup
di muka bumi untuk segera membuang jauh
jauh paham dan pengertian hanya bangsa
tertentu, suku tertentu, keturunan tertentu, ras tertentu, warna kulit
tertentu, pangkat dan jabatan tertentu, memiliki kekayaan tertentu, budaya dan
adat istiadat tertentu, bahasa tertentu, penampilan tertentu, yang lebih baik dibandingkan dengan yang lain.
Disinilah letak adanya prinsip heterogen dalam hidup dan kehidupan manusia dan ketentuan
ini sudah menjadi ketetapan Allah SWT dan dari sini pulalah kita bisa melihat
Allah SWT secara kasat mata Allah SWT melalui prinsip heterogenitas manusia dan
prinsip heterogenitas ini menjadi tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah
SWT. Serta di balik keberadaan prinsip heterogenitas ini ada Allah SWT yang
selalu menyertainya.
Allah SWT selaku pencipta kekhalifahan di muka bumi, sudah menetapkan adanya prinsip heterogen dalam hidup dan kehidupan manusia sehingga konsep ini harus kita jalankan dengan sebaik baiknya. Kita tidak bisa merubah konsep heterogen menjadi konsep homogen karena adanya kepentingan tertentu, seperti kepentingan politik praktis. Hal yang harus kita jadikan pedoman saat hidup di muka bumi ini adalah adanya perbedaan bangsa, suku, ras, harta, pangkat dan jabatan, keturunan, warna kulit, bahasa, penampilan jasad, bukanlah parameter yang dipergunakan oleh Allah SWT untuk menilai keberhasilan manusia saat menjadi khalifah di muka bumi sebagaimana hadits berikut ini: “Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada bentuk tubuh dan harta benda kalian, tetapi memandang kepada hati dan amal perbuatan kalian”. (Hadits Riwayat Muslim dan Ibnu Majah)
Jika sekarang ada kelompok
tertentu tidak bisa menerima konsep heterogenitas sehingga menyatakan hanya
golongannya saja yang terbaik, hanya kelompoknya saja yang diterima oleh Allah
SWT yang lain tidak. Bertanyalah kepada hati nurani kita sendiri, siapakah diri
kita dan siapakah Allah SWT? Jangan sampai kita yang menumpang di langit dan di
bumi Allah SWT menjadi tuan rumah menggantikan Allah SWT selaku pencipta dan
pemilik dari langit dan bumi atau menjadi fir’aun fir’aun generasi baru.
Sekarang kita sudah bisa melihat Allah SWT berdasarkan 8 (delapan) hal yang kami kemukakan di atas ini berarti modal utama untuk melaksanakan ibadah Ikhsan yang tidak lain cerminan diri kita sudah kita miliki. Ingat, kemampuan melihat Allah SWT bukanlah perkara mudah untuk melakukakannya. Untuk itu hal yang pertama yang harus kita miliki adalah sudahkah kita memiliki Ilmu tentang Diinuil Islam yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Hanya dengan proses belajar yang berkesinambungan yang dibarengi dengan melaksanakan Diinul Islam secara kaffah barulah kita bisa melihat Allah SWT seperti yang telah kami uraikan di atas.
Sebagai khalifah di muka bumi ketahuilah masih banyak hal yang bisa kita lakukan untuk melaksanakan ibadah Ikhsan. Agar ibadah Ikhsan mampu kita laksanakan dengan sebaik baiknya mari kita lanjutkan pembahasan ini. Diinul Islam dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu Iman,Islam, dan Ikhsan. Oleh karena itu, seorang mukmin hendaknya tidak hanya memandang Ikhsan itu hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari akidah dan bagian terbesar dari keimanan seseorang. Lalu bagaimana caranya? Dalam rangka mengejawantahkan ibadah Ikhsan bagi makhluk sosial seperti manusia, khususnya kaum muslim ialah dengan cara berbuat baik. Karena dengan pemahaman Ikhsan ini kita merasa selalu diawasi oleh Allah Yang Maha Melihat, dengan begitu kita tidak akan mau melakukan perbuatan buruk, kalaupun sampai terbersit maka tetap saja kita tidak akan mau mengerjakannya disebabkan Ihsan tadi. Selain berbuat baik, Ikhsan juga merupakan salah satu cara agar kita bisa khusyuk dalam beribadah kepada Allah.
Ingatlah selalu bahwa setiap orang yang mampu melaksanakan ibadah Ikhsan dalam kerangka melaksanakan Diinul Islam secara kaffah, maka ia akan selalu rajin berbuat kebaikan, konsisten berbuat kebaikan, tidak pernah bosan berbuat kebaikan, karena dia berusaha membuat senang Allah SWT (membuat Allah SWT tersenyum) karena selalu melihatnya. Sebaliknya dia malu berbuat kejahatan karena dia selalu yakin Allah SWT pasti melihat segala perbuatan yang dilakukannya, sebagaimana 3 (tiga) buah firman Allah SWT yang akan kami kemukakan di bawah ini:
Allah SWT berfirman: “dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang Malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir.(surat Qaaf (50) ayat 16 sampai 18)
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (Surat Al Fajr (89) ayat 14)
Allah SWT juga berfirman: “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (surat Al Baqarah (2) ayat 284)
Sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi, ketahuilah bahwa di dalam AlQuran banyak terdapat ayat ayat yang berbicara tentang ibadah Ikshan dan implementasinya. Dari sini kita dapat menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga mendapat porsi yang sangat istimewa dalam AlQuran. Dan Rasulullah pun sangat memberi perhatian terhadap permasalahan Ikhsan ini. Hal ini dikarenakan ibadah Ikhsan merupakan puncak harapan dan perjuangan seorang hamba. Dan puncak semua pengajaran yang dilakukan Rasul pun mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia. Bahkan, di antara hadits-hadits mengenai ibadah Ikhsan tersebut, ada beberapa yang menjadi landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah SAW. menerangkan mengenai Ikhsan ketika ia menjawab pertanyaan Malaikat Jibril tentang Ikhsan dimana jawaban tersebut dibenarkan oleh Jibril, dengan mengatakan, “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”(Hadits Riwayat Muslim).
Ibadah Ikhsan sebagai puncak
ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah SWT.
Sebab, melalui ibadah Ikhsan akan menjadikan diri kita menjadi sosok yang
mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT, sebagaimana firmanNya dan juga hadits
berikut ini: Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku
adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (surat An Nahl (16) ayat 90). Dan
juga berdasarkan hadits berikut ini: “Rasulullah
SAW bersabda: Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu, maka jika kamu membunuh,
bunuhlah dengan baik, dan jika kamu menyembelih, sembelihlah dengan baik.” (Hadits
Riwayat Muslim). Dan sebaliknya, jika seorang Abd’ (hamba)
yang sekaligus khalifah di muka bumi tidak mampu mencapai target ini (tidak mampu
melaksanakan puncak ibadah) maka ia akan kehilangan kesempatan yang sangat
mahal, yaitu dalam hal ini kehilangan kedudukan sehingga tidak dapat menduduki
posisi terhormat dihadapan Allah SWT dan juga menjadikan Allah SWT buang muka
kepada diri kita karena senyum bangga Allah SWT kepada diri kita sirna oleh
sebab ulah diri kita sendiri. Dan semoga hal ini tidak terjadi pada diri kita,
pada keluarga kita dan juga pada anak keturunan kita.