Hidup bersifat dinamis, kadang di atas dan kadang di
bawah. Saat diri kita berada diatas (berkecukupan) berdasarkan aturan khusus
(nishab dan haul) dapat menjadikan diri kita tidak termasuk orang orang yang
wajib menunaikan zakat dan pada saat diri kita berada di bawah adanya aturan
khusus (nishab dan haul) dapat pula menjadikan diri kita tidak termasuk orang
yang wajib menunaikan zakat. Saat diri kita tidak wajib menunaikan zakat
(kondisi ini bisa saja terjadi dalam kondisi tertentu) ketahuilah Allah SWT
masih memberikan kesempatan lain yang bisa kita pergunakan agar diri kita tetap
bermakna dan bermartabat baik di hadapan Allah SWT maupun di tengah masyarakat yaitu melalui infak
dan sedekah yang dilandasi mencari keridhaan Allah SWT. Di lain sisi, saat diri
kita memiliki kewajiban menunaikan zakat, bukan berarti kesempatan untuk
melaksanakan infaq, sedekah ataupun wakaf telah tertutup baginya. Kesempatan
untuk melaksanakan infaq, sedekah, ataupun wakaf tetap bisa dilakukannya dan
jika ini bisa kita lakukan maka berlakulah infaq, sedekah dan wakaf sebagai
penyempurna dari ibadah zakat.
Adapun prinsip dasar
dari infaq dan sedekah serta wakaf pada dasarnya hampir sama dengan ketentuan zakat,
yaitu siapa yang mengerjakannya akan memperolah manfaat bagi dirinya dan juga
bermanfaat bagi orang lain yang menerimannya. Akan tetapi ada hal hal tertentu
yang membedakan antara ketentuan zakat dengan ketentuan infaq, dengan ketentuan
sedekah serta juga dengan ketentuan wakaf. Sekarang mari kita bahas tentang hal
tersebut.
A.
INFAQ.
Infaq adalah berasal
dari kata anfaqa yunfiqu yang artinya membelanjakan atau membiayai yang
berhubungan dengan usaha realisasi perintah-perintah Allah. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia edisi kelima infaq adalah pemberian (sumbangan) harta dan
sebagainya (selain zakat wajib) untuk kebaikan. Sedangkan menurut istilah infaq
berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan untuk
suatu kepentingan yang diperintahkan dalam ajaran Islam. Selain dari pada itu,
infaq berdasarkan ketentuaan Undang Undang No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat didefinisikan sebagai harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan
usaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum.
Di lain sisi, menurut
ketentuan syariat, infaq berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau
pendapatan atau penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan Islam.
Jika zakat ada nishab dan haul, infaq tidak mengenal nishab dan haul,
sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan. (surat Ali Imran (3) ayat 134). Allah SWT juga berfirman
sebagaimana berikut ini: “mereka bertanya tentang apa yang mereka
nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan
kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebaikan yang kamu
buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya. (surat Al Baqarah (2) ayat
215)
Rasulullah SAW
bersabda : ada malaikat yang senantiasa berdo’a setiap pagi dan sore
: “Ya Allah SWT berilah orang yang berinfak, gantinya. Dan berkata yang
lain : “Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak, kehancuran”. (Hadits
Riwayat Bukhori).
Berdasarkan ketentuan
yang kami kemukakan di atas ini, infaq dapat dikatakan sebagai pengeluaran
sukarela yang dilakukan seseorang, setiap kali ia memperoleh rezeki, sebanyak
yang ia kehendakinya. Allah SWT memberi kebebasan kepada pemiliknya untuk
menentukan jenis harta, berapa jumlah yang yang sebaiknya diserahkan. Oleh
karenanya, infaq berbeda dengan zakat. Infaq tidak mengenal nishab atau jumlah
harta yang telah ditentukan secara hukum serta infaq tidak mengenal istilah haul.
Infaq juga tidak harus diberikan kepada mustahik tertentu, melainkan dapat
diberikan kepada siapapun seperti keluarga, kerabat, anak yatim, orang miskin,
atau orang orang yang sedang dalam perjalanan jauh. Dengan demikian infaq
adalah membayar dengan harta, mengeluarkan dengan harta dan membelanjakan
dengan harta tanpa nishab dan haul.
Perintah Infaq adalah untuk kebaikan, seperti memberikan donasi
atau sesuatu yang bersifat untuk diri sendiri. Perintah untuk membelanjakan
harta tersebut untuk dirinya sendiri ada di dalam firman Allah SWT sebagai
berikut: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah
serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa
yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (surat At-Tagabun (64) ayat 16). Sedangkan perintah untuk
memberi nafkah istri dan keluarga menurut kemampuan juga telah dijelaskan dalam
firman Allah SWT sebagai berikut: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya. Dan orang yang terbatas rezekinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sesuai dengan apa yang diberikan Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (surat
At-Thalaq (65) ayat 7).
Selanjutnya dalam
membelanjakan harta harta yang kita miliki hendaklah yang dibelanjakan
merupakan harta yang baik dan bukan yang buruk, khususnya dalam menunaikan
infaq berdasarkan firman Allah SWT berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman
nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagaian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan denagan memincingkan mata terhadapnya.
Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (surat Al-Baqarah (2)
ayat 267)
Macam-macam Infaq. Infaq secara hukum terbagi menjadi empat
macam, diantaranya adalah sebagai berikut
1. Infaq Adalah Mubah. Jenis Infaq mubah merupakan sebuah
tindakan mengeluarkan harta untuk perkara mubah seperti berdagang dan bercocok
tanam.
2. Infaq Adalah Wajib. Bentuk Infaq wajib merupakan
pengeluaran harta untuk perkara yang wajib seperti membayar mahar (maskawin),
menafkahi istri, dan menafkahi istri yang ditalak dan masih dalam keadaan
iddah.
3. Infaq Adalah Haram. Jenis Infaq haram merupakan sebuah
tindakan mengeluarkan harta dengan tujuan yang diharamkan Allah, seperti: (1) Infaqnya
orang kafir untuk menghalangi syiar Islam. Sebagaimana termaktub dalam firman
Allah SWT yang berbunyi: “Sesungguhnya
orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk mengahalangi (orang) dari
jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi
mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan kedalam Jahannamlah orang-orang yang
kafir itu dikumpulkan.” (surat Al-Anfal (8) ayat 36); (2) Infaqnya orang Islam kepada fakir miskin tapi tidak karena Allah.
Sebagaimana termaktub dalam firman Allah SWT yang berbunyi: “Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan
harta-harta mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak
beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil
syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu adalah teman yang
seburuk-buruknya.” (surat An-Nisa (4) ayat 38)
4. Infaq Sunnah. Infaq sunnah ini yaitu mengeluarkan harta
dengan niat shadaqah. Jenis ini terbagi kedalam dua kategori, yaitu; infaq
untuk jihad dan infaq kepada yang membutuhkan.
Sekali lagi kami
kemukakan tentang infaq. Infaq adalah sebuah kegiatan membelanjakan atau
mengeluarkan harta (kekayaan/penghasilan) yang kita miliki tanpa ada haul dan
ketentuan nishab atau ukuran seberapa banyaknya harta yang harus dikeluarkan
seperti halnya zakat.Infaq dapat dilakukan kapan saja, dimana saja dan dalam
kondisi apa saja, dengan selalu tetap memperhatikan macam macam infaq
sebagaimana telah kami kemukakan di atas ini.
B.
SEDEKAH.
Sedekah berasal dari bahasa
Arab shadaqa yang berarti benar. Orang yang suka bersedekah adalah orang
yang benar pengakuan imannya. Adapun secara syariat sedekah makna asalnya
adalah tahqiqu syai’in bisyai’i, atau menetapkan/menerapkan sesuatu
pada sesuatu. Shadaqah sifatnya sukarela dan tidak terikat pada syarat-syarat
tertentu dalam pengeluarannya baik mengenai jumlah, waktu dan kadarnya. Atau
pemberian sukarela yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, terutama
kepada orang-orang miskin setiap kesempatan terbuka yang tidak ditentukan
jenis, jumlah maupun waktunya, sedekah tidak terbatas pada pemberian yang
bersifat material saja tetapi juga dapat berupa jasa yang bermanfaat bagi orang
lain. Bahkan senyum yang dilakukan dengan ikhlas untuk menyenangkan orang lain
termasuk kategori sedekah. Sedangkan Sedekah berdasarkan ketentuan Undang
Undang No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat didefinisikan sebagai harta
atau nonharta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat
untuk kemaslahatan umum.
Sedekah mempunyai
cakupan yang sangat luas serta mencakup segala jenis sumbangan. Sedekah ialah
segala bentuk nilai kebajikan yang tidak terikat oleh jumlah, waktu dan juga
yang tidak terbatas pada materi tetapi juga dapat dalam bentuk non materi,
misalnya menyingkirkan rintangan di jalan, menuntun orang yang buta, memberikan
senyuman dan wajah yang manis kepada saudaranya. Sedekah juga berarti memberi
derma, termasuk memberikan derma untuk mematuhi hukum dimana kata zakat
digunakan didalam AlQuran dan Sunnah. Zakat telah disebut pula sedekah karena
zakat merupakan sejenis derma yang diwajibkan sedangkan sedekah adalah
sukarela. zakat dikumpulkan oleh pemerintah sebagai suatu pengutan wajib, sedangkan
sedekah lainnya dibayarkan secara
sukarela. Jumlah dan nishab zakat ditentukan, sedangkan jumlah sedekah yang lainnya
sepenuhnya tergantung keinginan yang menyumbang/bersedekah.
Pengertian sedekah
sama dengan pengertian infaq, termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya.
Hanya saja sedekah mempunyai makna yang lebih luas lagi dibanding infaq. Jika
infaq berkaitan dengan materi, sedekah memiliki arti lebih luas, menyangkut
juga hal yang bersifat non materiil, sebagaimana hadits berikut ini: “Dari
Abu Dzar ra, Rasulullah menyatakan: “jika tidak mampu bersedekah dengan
harta, maka membaca tasbih, takbir, tahmid, tahlil, berhubungan suami-istri,
atau melakukan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar adakah sedekah”. (Hadits
Riwayat Muslim)
Dan dalam hadist yang
lainnya, Rasulullah SAW memberi jawaban kepada orang-orang miskin yang cemburu
terhadap orang kaya yang banyak bersedekah dengan hartanya, beliau bersabda
: “Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir shadaqah, setiap tahmid
shadaqah, setiap amar ma’ruf adalah shadaqah, nahi munkar shadaqah dan
menyalurkan syahwatnya kepada istri shadaqah”. (Hadits Riwayat Muslim)
Istilah Zakat, Infaq
dan Sedekah serta wakaf menunjuk kepada satu pengertian yaitu sesuatu yang
dikeluarkan. Zakat, infaq dan sedekah serta wakaf memiliki persamaan dalam
peranannya memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengentasan kemiskinan.
Adapun perbedaannya yaitu zakat hukumnya wajib sedangkan infaq dan sedekah serta
wakaf hukumnya sunnah. Atau Zakat yang dimaksudkan adalah sesuatu yang wajib
dikeluarkan, sementara infaq dan sedekah serta wakaf adalah istilah yang
digunakan untuk sesuatu yang tidak wajib dikeluarkan. Jadi pengeluaran yang
sifatnya sukarela itu yang disebut infaq dan sedekah serta wakaf. Zakat
ditentukan nishab dan haulnya sedangkan infaq dan sedekah serta wakaf tidak memiliki
batas.
Zakat ditentukan
siapa saja yang berhak menerimanya sedangkan infaq dan sedekah boleh diberikan
kepada siapa saja. Perbedaannya juga dapat dicermati antara lain yaitu: (a) Zakat, sifatnya wajib dan adanya
ketentuannya/batasan jumlah harta yang harus zakat dan siapa yang boleh
menerima; (b) Infaq, sumbangan
sukarela atau seikhlasnya dalam bentuk materi; (c) Sedekah, lebih luas dari infaq, karena yang disedekahkan tidak
terbatas pada materi saja namun juga non materi, seperti memungut paku di
jalan, senyum dan lainnya.
C.
WAKAF
Untuk melengkapi dan menambah wawasan
dan pengetahuan tentang zakat, infaq dan juga sedekah yang telah kami kemukakan
di atas, berikut ini akan kami kemukakan informasi tentang wakaf sebagaimana
dikemukakan oleh “iaid.ac.id” dan
juga oleh “Badan Wakaf Indonesia”,
berikut ini:
1. Perkembangan Perwakafan di Indonesia. Sejarah perkembangan
wakaf di Indonesia sejalan dengan penyebaran Islam di seluruh wilayah
nusantara. Di samping melakukan dakwah Islam, para ulama juga mengajarkan wakaf
pada umat. Kebutuhan akan tempat beribadah, seperti masjid, surau, mendorong
umat Islam untuk menyerahkan tanahnya sebagai wakaf. Ajaran wakaf di bumi
Nusantara terus berkembang terbukti dengan banyaknya masjid-masjid bersejarah
yang dibangun di atas tanah wakaf.
Seiring dengan
perkembangan sosial masyarakat Islam, praktek perwakafan mengalami kemajuan
dari waktu ke waktu.Salah satu faktor penting yang ikut mewarnai corak dan
perkembangan wakaf di era modern adalah ketika negara ikut mengatur kebijakan
wakaf melalui seperangkat hukum positif. Dalam proses perumusan kebijakan
tersebut, ditentukan oleh bagaimana penguasa melihat potensi maupun organsiasi
wakaf, baik dalam kerangka kepentingannya, maupun kepentingan umat Islam pada
umumnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan mengenai wakaf atau
filantropi Islam pada umumnya dibuat berdasarkan asumsi-asumsi ideologis
menyangkut relasi antara Islam dan negara serta pertanyaan mengenai seberapa
jauh Islam boleh berperan di ruang publik.
Di masa penjajahan,
kegiatan perwakafan mengalami perkembangan yang pesat. Hal itu ditandai dengan
banyaknya muncul organisasi keagamaan, sekolah madrasah, pondok pesantren,
masjid, yang semuanya dibangun dengan swadaya masyarakat di atas tanah wakaf.6
Politik pemerintah pada masa ini mengenai filantropi Islam tunduk pada
rasionalitas politik Islam Hindia Belanda. Di mana Islam sebagai sistem nilai
dibatasi sedemikian rupa sehingga ia dipraktekkan dalam kerangka
ritual-personal semata. Rasionalitas semacam ini membuat tradisi wakaf sebagai
lembaga pelayanan sosial.
Namun, karena
aktivitas filantropi Islam seringkali bersinggungan dengan hubungan
antarmasyarakat maka pemerintah kolonial pada akhirnya memandang perlu untuk
mengatur dengan ketentuan-ketentuan hukum, di antaranya Surat Edaran Sekretaris
Gubernemen Tanggal 4 Juni 1931 Nomor 1361/A sebagaimana termuat dalam
Bijblad Nomor 12573 Tahun 1931, Tentang Toezich Van De Regeering Op
Mohammedaansche Bedehuizen, Vrijdagdiensten En Wakafs. Surat edaran ini mengatur
tentang keharusan adanya keizinan bupati dalam berwakaf. Bupati memerintahkan
agar wakaf yang diizinkan dimasukkan ke dalam daftar yang dipelihara oleh ketua
Pengadilan Agama yang diberitahukan kepada Asisten Wedana yang selanjutnya
dilaporkan ke Kantor Landrente.7
Sayangnya, peraturan
yang dibuat tidak sepenuhnya didasarkan pada keinginan politik (political will)
yang jujur serta pemahaman yang benar tentang hakikat dan tujuan wakaf.
Akibatnya, peraturan-peraturan ini mendapat reaksi dari organisasi-oraganisasi
Islam karena orang yang akan berwakaf harus mendapat izin pemerintah. Sementara
itu umat Islam memandang perwakafan merupakan tindakan hukum privat sehingga
tidak perlu ada izin dari pemerintah. Reaksi ini merupakan penolakan terhadap
campur tangan pemerintah kolonial terhadap urusan-urusan yang berhubungan
dengan agama Islam. Ini berarti peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial
tidak memiliki arti penting bagi pengembangan wakaf, selain untuk memenuhi
formalisme administratif semata.
Formalisme ini terus
berlangsung sampai masa kemerdekaan. Politik filantropi Islam pada masa Orde
Lama tidak mengalami perubahan mendasar. Peraturan-peraturan yang mengatur
perwakafan zaman kolonial, pada zaman kemerdekaan masih tetap diberlakukan,
karena peraturan perwakafan yang baru belum ada.
Peraturan-peraturan
yang dikeluarkan pemerintah Indonesia berkaitan dengan perwakafan seperti yang
terjadi pada orde lama tidak memiliki arti penting bagi pengembangan wakaf
selain hanya untuk memenuhi formalisme administratif semata. Hal ini
dikarenakan pemerintah pada masa orde baru ini lebih berkonsentrasi untuk
memperkuat diri di atas kekuatan-kekuatan sipil terutama Islam, sembari
menjalankan agenda sekularisasi politiknya secara konsisten, malah Islam hampir
termarginalkan. Keadaan ini terus berlangsung sampai paroh kedua dasarwarsa
1980-an ketika secara mengejutkan Islam mulai diterima di ruang publik.8
Ada pun peraturan
perwakafan yang lahir pada masa orde baru adalah: Peraturan Pemerintah Nomor 28
tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Dengan adanya peraturan pemerintah
ini, perwakafan tanah milik di Indonesia mulai memasuki babak baru. Perwakafan
tanah milik di Indonesia mulai tertib dan terjaga. Ini merupakan peraturan
pertama yang memuat substansi dan teknis perwakafan. Selama ini di Indonesia,
peraturan yang mengatur perwakafan kurang memadai sehingga banyak muncul
persoalan perwakafan di tengah masyarakat, seperti banyaknya sengketa tanah
wakaf. Tanah wakaf yang statusnya tidak jelas, banyak benda wakaf yang tidak
diketahui keadaannya, penyalahgunaan harta wakaf, dan sebagainya. Hal ini
karena tidak adanya keharusan untuk mendaftarkan benda-benda wakaf.9 Barulah
dengan ditetapkannya peraturan pemerintah ini perwakafan mempunyai dasar hukum
yang kuat.
Kemudian Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Instruksi yang
dikeluarkan tangggal 5 Februari 1991 ini adalah pedoman bagi instansi
pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan
masalah-masalah di bidang perwakafan khususnya yang termuat dalam buku III.
Aturan yang dimuat dalam buku III tentang perwakafan ini belum membawa
pembaharuan dalam pengelolaan wakaf karena secara substansi masih
berbentuk elaborasi dari aturan yang termuat dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Di sisi lain, instruksi
presiden yang terdapat dalam buku III ini sebetulnya belum cukup merevitalisasi
sektor wakaf. KHI masih mengadopsi paradigma lama yang literal yang cenderung
bersifat fiqh minded. Hal ini terlihat dari materi hukum yang dicakup
merupakan bentuk univikasi pendapat-pendapat mazhab dan Hukum Islam di
Indonesia yang berkaitan dengan perwakafan.
Sejalan dengan
bergulirnya gelombang reformasi dan demokratisasi dipenghujung tahun 1990-an,
membawa perubahan dan mengokohkan Islam sebagai salah satu kekuatan politik di
panggung nasional, sampai munculnya undang-undang yang secara khusus mengatur
wakaf. Pemerintah RI mengakui aturan hukum perwakafan dalam bentuk
undang-undang. Pada masa reformasi, peraturan perwakafan berhasil disahkan
adalah Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang–undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf. Produk undang-undang ini telah memberikan pijakan hukum yang
pasti, kepercayaan publik, serta perlindungan terhadap aset wakaf. Pensahan
undang-undang ini merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan
umum, meningkatkan peran wakaf, tidak hanya sebagai pranata keagamaan saja,
tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang potensial untuk memajukan
kesejahteraan umum. Di samping itu, dengan disahkannya undang-undang ini, objek
wakaf lebih luas cakupannya tidak hanya sebatas benda tidak bergerak saja, tapi
juga meliputi benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, hak
sewa dan sebagainya.10
Campur tangan
pemerintah terhadap wakaf hanya bersifat pencatatan dan mengawasi pemeliharaan
benda-benda wakaf agar sesuai dengan tujuan dan maksud wakaf. Pemerintah sama
sekali tidak mencampuri, menguasai, atau menjadikan benda wakaf menjadi milik
negara. Kehadiran Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf secara
simbolik menandai kemauan politik negara untuk memperhatikan permasalahan
sosial umat Islam. Perkembangan peraturan perundang-undangan tentang wakaf hari
ini sangat ditentukan oleh dinamika internal umat Islam serta hubungan harmonis
antara Islam dan negara. Iklim politik yang kondusif ini memungkinkan berkembangnya
filantropi Islam seperti wakaf. Selain itu, demokrasi menyediakan arena bagi
artikulasi politik Islam secara konstitusional. Pada akhirnya, politik
filantropi Islam ditentukan oleh proses integrasi/nasionalisasi gagasan
sosial-politik Islam ke dalam sistem dan konfigurasi sosial politik nasional.11
Undang-undang Nomor
41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ini menjadi momentum pemberdayaan wakaf secara
produktif sebab di dalamnya terkandung pemahaman yang komprehensif dan pola
manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern. Dalam undang-undang wakaf
yang baru ini konsep wakaf mengandug dimensi yang sangat luas. Ia mencakup
harta tidak bergerak, maupun yang bergerak, termasuk wakaf uang yang
penggunaannya sangat luas, tidak terbatas untuk pendirian tempat ibadah dan
sosial keagamaan. Formulasi hukum yang demikian, jelas suatu perubahan yang
sangat revolusioner. Jika dapat direalisasikan, akan memunculkan pengaruh yang
berlipat ganda terutama dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi umat.
Dengan demikian, Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 diproyeksikan sebagai sarana
rekayasa sosial (social engineering), melakukan perubahan-perubahan pemikiran,
sikap dan perilaku umat Islam agar senafas dengan semangat undang-undang
tersebut.
Dengan memperhatikan
konteks dan latar belakang lahirnya undang-undang wakaf, sangat terkait dengan
motif politik, ekonomi, dan tertib hukum. Selain bermaksud mengakomodasi
kepentingan sosial-religius umat Islam, pemerintah menyadari bahwa
berkembangnya lembaga wakaf dapat meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat.
Karenanya tidak mengherankan, pemerintah diwakili Kementerian Agama memainkan
peranan yang signifikan dalam menginisiasi dan menfasilitiasi lahirnya
seperangkat peraturan filantropi, khususnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf di Indonesia. Sesuai dengan kehendak politik yang tertuang dalam
undang-undang ini pemerintah bukanlah sebagai pelaksana operasional pengelola
wakaf tapi pemerintah hanya berfungsi sebagai regulator, motivator,
fasilitator, dan publik servis bagi pengelolaan wakaf.
Berdasarkan uraian di
atas, dengan telah diaturnya wakaf dalam bentuk undang-undang di Indonesia,
sektor wakaf dapat lebih difungsikan ke arah peningkatan kesejahteraan sosial
ekonomi umat. Dari sini nampak jelas bagaimana kepentingan kesejahteraan sosial
sangat kuat mempengaruhi proses regulasi di bidang perwakafan. Semangat
pemberdayaan potensi wakaf secara produktif dan profesional yang dikumadangkan
undang-undang wakaf adalah untuk kepentingan kesejahteraan umat manusia di
bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, maupun bidang sosial keagamaan lainnya.
Seruan ini mendorong munculnya lembaga pengelola wakaf uang yang
dilakukan oleh perusahaan investasi, bank syari’ah, dan lembaga investasi
syari’ah lainnya, seperti yang dilakukan oleh Tabung Wakaf Indonesia Dompet
Dhuafa Republika.
2. Dasar Hukum Wakaf. Dalam konteks negara Indonesia, amalan
wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat Muslim Indonesia sejak sebelum
merdeka. Dan saat ini Indonesia telah memiliki Undang-undang khusus yang
mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 41 tahun
2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga
telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Undang-undang nomor 41 tahun 2004. Dan saat ini di Indonesia sudah ada lembaga
khusus yang mengatur tentang wakaf, yaitu Badan Wakaf Indonesia sebagai bentuk
dari pelaksanaan undang undang dimaksud.
Wakaf berdasarkan
Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 tahun 2004 tentang Wakaf didefinisikan
sebagai perbuatan hukum wakif (pewakaf) untuk memisahkan dan/atau menyerahan
sebahagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan atau untuk jangka tertentu
sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syariah. Sedangkan berdasarkan ketentuan dalam AlQuran, aturan tentang
wakaf tidak secara spesifik menerangkan tentang konsep wakaf secara jelas. Oleh
karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para
ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat AlQuran
yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat
tersebut antara lain: “Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah
(di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian
dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (surat Al Baqarah (2) ayat 267). Lalu surat Ali Imran (3) ayat 92
sebagaimana berikut ini: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu
cintai.”
Dan juga berdasarkan
surat Al Baqarah (2) ayat 261 berikut ini: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah
Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan
tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan
pahala dan kebaikan serta pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang
yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.
Selain daripada itu,
terdapat sebuah hadits yang menjadi dasar dan dalil wakaf yaitu hadits yang
menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh
tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut,
Nabi menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan
hasilnya. Hadits tentang hal ini secara lengkap adalah; “Umar memperoleh
tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai
Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan
tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang
baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya?
Sabda Rasulullah:
“Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu
Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan
wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk
memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir
dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh
pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan tanpa
menjadikannya sebagai sumber pendapatan.”
Hadits lain yang
menjelaskan wakaf adalah hadits yang diceritakan oleh imam Muslim dari Abu
Hurairah. Nas hadis tersebut adalah; “Apabila seorang manusia itu
meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber,
yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil
manfaatnya, dan anak soleh yang mendoakannya.” Selain dasar dari AlQuran
dan juga hadits di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf sebagai satu
amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan
dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang
senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimim
sejak masa awal Islam hingga sekarang.
Sejak itu amalan
wakaf berkembang sehingga menjadi tulang belakang kepada menjadi teras kepada
pembangunan umat Islam terdahulu dan berkekalan sehingga ke hari ini. Banyak
institusi pendidikan seperti Universitas Cordova di Andalus, Universitas
Al Azhar al-Syarif di Mesir, Madrasah Nizhamiyah
di Baghdad, Universitas Al Qarawiyyin di Fez, Maghribi, Al-Jamiah al-Islamiyyah di
Madinah, Pondok Pesantren Darunnajah di Indonesia, Madrasah Al-Juneid di
Singapura dan banyak institusi pondok dan sekolah agama
di Malaysia adalah berkembang berasaskan harta wakaf.
Universitas Al-Azhar di
Mesir contohnya telah membangun dan terus maju hasil sumbangan harta wakaf. Sehingga
kini pembiayaan Univesitas Al-Azhar yang dibina sejak 1000 tahun lalu telah
memberikan khidmat percuma pengajian kepada ribuan pelajar Islam dari seluruh
dunia. Merekalah yang menjadi duta Al-Azhar untuk membimbing umat Islam kearah
penghayatan Islam di seluruh pelusuk dunia
3. Pengertian Wakaf. Kata “Wakaf” atau”Wact” berasal dari bahasa
Arab “Waqafa”. Asal kata “Wakafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam”
di tempat” atau tetap berdiri”. Kata “Wakafa-Yaqufu-Waqfan” sama artinya
“Habas-Yahbisu-Tahbisan”. Kata al-Waqf dalam bahasa Arab mengandung beberapa
pengertian. Artinya : Menahan, menahan harta untuk diwakafkan, tidak
dipindahmilikkan. Dan para ahli fiqih berbeda dalam mendefinisikan wakaf
menurut istilah, sehingga mereka berbeda dalam memandang hakikat wakaf itu
sendiri. Berbagai pandangan tentang wakaf menurut istilah sebagai berikut :
a.
Mahzab Hanafi. Wakaf adalah menahan
suatu benda yang menurut hukum, tetap di wakif dalam rangka mempergunakan
manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf
tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh
menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli
warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Karena
itu mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah : “Tidak melakukan suatu tindakan
atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan
manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan
datang”.
b. Mazhaf Maliki. Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak
melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakat tersebut
mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas
harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya
serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. Perbuatan si wakif menjadi menfaat
hartanya untuk digunakan oleh mustahiq (penerima wakaf), walaupun yang
dimilikinya itu berbentu upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan
seperti mewakafkan uang.
Wakaf dilakukan
dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan
pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan
secara pemelikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan
kebaikan, yaitu memberikan manfaat benda secara wajar sedang itu tetap menjadi
milik si wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, dan karenanya
tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).
c.
Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal. Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah
melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna
prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang
diwakafkan, seperti : perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya kepada yang
lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika wakif wakaf, harta yang diwakafkan
tersebut tidak dapat diwarisi oleh warisnya. Wakif menyalurkan menfaat harta
yang diwakafkannnya kepada mauquf’alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah
yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya
tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka Qadli berhak memaksa agar
memberikannya kepada mauquf’alaih. Karena itu mazhab Syafi’i mendefinisikan
wakaf adalah : “tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus
sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan
(sosial)”.
d. Mazhab Lain. Mazhab Lain sama dengan mazhab ketiga, namun berbeda dari
segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu menjadi milik
mauquf’alaih(yang diberi wakaf), meskipun mauquf’alaih tidak berhak melakukan suatu
tindakan atas benda wakaf tersebut, baik menjual atau menghibahkannya.
Istilah wakaf adalah
berkait dengan infaq, zakat dan sedekah. Ia adalah termasuk dalam
mafhum infak yang disebut oleh Allah sebanyak 60 kali dalam AlQuran.
Ketiga-tiga perkara ini bermaksud memindahkan sebahagian harta kekayaan daripada
segolongan umat Islam kepada mereka yang memerlukan. Namun, berbanding zakat
yang diwajibkan ke atas umat Islam yang memenuhi syarat-syarat tertentu
dan sedeqah yang menjadi sunat yang umum ke atas umat Islam; wakaf lebih
bersifat pelengkap (complement) kepada kedua-dua perkara tersebut. Disamping
itu, apa yang disumbangkan melalui zakat adalah tidak kekal dimana sumbangannya
akan digunakan dalam bentuk hangus (habis), sedangkan harta wakaf adalah berbentuk
produktif yaitu kekal dan boleh dipergunakan dalam pelbagai bentuk untuk faedah
masa depan sepanjang sesuai dengan syariat dan undang undang yang berlaku.
4. Unsur-Unsur Wakaf. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf terdapap unsur wakaf ada enam, yaitu: (1) Wakif adalah pihak
yang mewakafkan harta benda miliknya;(2) Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf
dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukkannya; (3) Harta
Benda Wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat
jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan
oleh wakif; (4) Peruntukan; (5) Ikrar Wakaf adalah pernyataan kehendak wakif
yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan
harta benda miliknya yang akan dituangkan dalam akta ikrar wakaf yang dibuat
oleh pejabat pembuat akta ikrar wakaf dan; (6) jangka waktu wakaf.
Wakif
atau pihak yang mewakafkan harta bendanya bisa perseorangan, badan hukum,
maupun organisasi. Jika wakif perseorangan, hanya dapat melakukan wakaf apabila
telah memenuhi persyaratan; (a) dewasa; (b) berakal sehat; (c) tidak terhalang
melakukan perbuatan hukum, dan pemilik sah dari harta benda wakaf.
Bagi
wakif organisasi, hanya dapat melakukan wakaf apabila harta benda wakaf milik
organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan. Sedangkan
bagi wakif badan hukum hanya dapat melalukan wakaf apabila memenuh ketentuan
badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan
anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
5. Objek Objek Wakaf. Harta benda yang dapat diwakafkan
terdiri dari harta tidak bergerak yang terdiri dari: (a) hak atas tanah; (b) bangunan
atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana point a diatas; (c)
tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah; (d) hak milik atas satuan
rumah susun; (e) benda tidak bergerak lain yang sesuai dengan ketentuan syariah
dan peraturan perundang undangan yang berlaku. Sedangkan harta benda
bergerak yang dapat diwakafkafkan adalah harta benda yang tidak bisa habis
karena dikonsumsu, meliputi: (a) uang;
(b) logam mulia; (c) surat berharga; (d) kendaraan; (e) hak atas kekayaan
intelektual; (f) hak sewa; dan (g) benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan
syariah dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Dan dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda
wakaf hanya dapat diperuntukan bagi: (a) sarana dan kegiatan ibadah; (b) sarana
dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; (c) bantuan kepada fakir miskin, anak
terlantar, yatim piatu, bea siswa; (d)kemajuan dan peningkatan ekonomi umat;
dan/atau; (e) kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan
dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
Selain daripada itu, harta benda wakaf yang sudah diwakafkan
dilarang: (a) dijadikan jaminan; (b) disita; (c) dihibahkan; (d) dijual; (e) diwariskan;
(f) ditukar; atau (g) dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Selain
daripada itu, Abdul Azis Dahlan dalam bukunya “Ensiklopedia Hukum Islam” (2006:1906) membagi wakaf kepada dua bentuk:
a.
Wakaf khairi. Wakaf ini sejak semula
diperuntukkan bagi kemaslahatan atau kepentingan umum, sekalipun dalam jangka waktu
tertentu, seperti mewakafkan tanah untuk membangun masjid, sekolah, dan Rumah
Sakit.
b.
Wakaf ahli atau zurri. Wakaf ini sejak
semula ditentukan kepada pribadi tertentu atau sejumlah orang tertentu
sekalipun pada akhirnya untuk kemaslahatan atau kepentingan umum, karena
apabila penerima wakaf telah wafat maka harta wakaf itu tidak boleh diwarisi
oleh ahli waris yang menerima wakaf.
6. Keistimewaan Wakaf. Bila dibandingkan dengan sedekah dan
hibah, wakaf memiliki banyak keistimewaan, kelebihan dan keutamaan. Selain
memiliki semua keutamaan sebagaimana sedekah dan hibah, wakaf memiliki
keutamaan khusus dibandingkan dengan sedekah dan hibah, sebagaimana dikemukakan
oleh Badan Wakaf Indonesia berikut ini:
a.
Bagi
orang yang berwakaf (wakif), pahalanya akan terus mengalir sekalipun ia sudah
meninggal dunia. Rasulullah SAW bersabda: “Apabila manusia meninggal dunia,
maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga (macam), yaitu: sedekah jariyah
(yang mengalir terus), ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang
mendoakannya” (Hadits Riwayat Muslim). Dibandingkan sedekah dan hibah,
manfaat waqaf jauh lebih panjang dan tidak terputus hingga generasi mendatang,
tanpa mengurangi hak atau merugikan generasi sebelumnya, serta pahalanya yang
terus mengalir dan berlipat, walau wakif (orang yang mewakafkan) telah
meninggal dunia.
b. Harta benda yang
diwakafkan tetap utuh terpelihara, terjamin kelangsungannya dan tidak bisa
hilang atau berpindah tangan. Karena secara prinsip barang wakaf tidak boleh
ditasarrufkan (dijual, dihibahkan, atau diwariskan).
c.
Manfaatnya
terus dirasakan oleh orang banyak, bahkan lintas generasi, karena kepemilikan
harta wakaf tidak bisa dipindahkan. Materi yang diambil dan dinikmati oleh
penerima wakaf adalah manfaat dari harta wakaf saja, sementara harta yang
diwakafkan tetap utuh dan langgeng.
d. Setiap saat wakaf
menebarkan kebaikan dan meringankan beban orang-orang yang membutuhkan bantuan
seperti fakir miskin, anak yatim, janda, orang yang tidak punya pekerjaan, para
pejuang di jalan Allah, pengajar, penuntut ilmu, dan lain sebagainya.
e.
Wakaf
akan terus memajukan dakwah, menghidupkan lembaga sosial keagamaan,
mengembangkan potensi umat, menyejahterakan umat, memberantas kebodohan,
memutus mata rantai kemiskinan, memupus kesenjangan sosial.
f.
Balasannya
adalah syurga. “Dan bersegeralah kamu
kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi
yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa (yaitu) orang -orang yang
menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang
menahan kemarahannya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan” (surat Ali Imran (3) ayat 133-134).
g.
Dilipatgandakan
hingga 700 kali lipat. “Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap
butir tumbuh seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja
yang Dia kehendaki, Dan Allah Maha Kuasa (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (surat
Al-Baqarah (2) ayat 261).
Selain daripada itu,
harta wakaf dapat menjadi pembangkit pembangunan ekonomi umat Islam karena
wakaf memiliki beberapa ciri berikut:
a.
Keunikan
wakaf pada konsep pemisahan diantara hak pemilikan dan faedah penggunaannya. Adanya
wakaf harta menyebabkan kuasa kepemilikan harta akan terhapus sehingga wakaf
secara prinsipnya adalah satu kontrak yang kekal (tidak bisa dibatalkan) dan
pewakaf tidak boleh lagi memiliki harta itu dengan apapaun juga, kecuali
sebagai pengurus harta wakaf. Secara majasinya harta wakaf adalah menjadi milik
Allah SWT.
b. Wakaf adalah sedekah
berketerusan yaitu bukan saja membolehkan wakif mendapat pahala berketerusan,
tetapi penerima mendapat faedah berketerusan.
Akhirnya penggunaan
harta wakaf adalah untuk kebajikan dan juga perkara-perkara yang diharuskan
oleh syariat. Kondisi ini diperkuat dengan adanya pernyataan wakif saat
mewakafkan, yaitu “Saya wakafkan harta ini karena Allah” sehingga memudahkan nadzir di dalam mengembangkan
harta wakaf sepanjang tidak melanggar syariat dan undang undang yang berlaku.
7. Contoh Wakaf Produktif dan Pengelolaannya. Wakaf produktif
adalah harta yang diwakafkan untuk dikelola secara produktif, baik di bidang
jasa, pertanian, atau perdagangan. Hasil dari pengelolaannya kemudian
disalurkan kepada masyarakat sesuai dengan tujuan wakaf. Lalu apa
saja contoh wakaf produktif yang bisa diterapkan? Wakaf produktif
bisa berupa banyak hal, mulai dari yang berkaitan dengan pangan, properti,
ternak, hingga saham. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dibahas beberapa
jenis wakaf produktif beserta contohnya sebagaimana dikemukakan oleh “berbagilistrik.org” berikut ini:
a.
Wakaf Pangan. Wakaf pangan berarti
harta benda yang diwakafkan nantinya akan dikelola untuk memenuhi kebutuhan
pangan masyarakat, contohnya adalah sebagai berikut:
1) Wakaf Lahan Pertanian.
Benda yang diwakafkan bisa berupa sawah atau tanah perkebunan. Lahan pertanian
ini harus dikelola secara baik dan produktif untuk menghasilkan produk
pertanian yang berkualitas dan bisa dimanfaatkan oleh banyak orang.
2) Wakaf Hewan Ternak. Wakaf
dalam hal peternakan dilakukan dengan cara pemeliharaan dan pembiakan hewan
ternak. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat berupa
daging dan hasil ternak lainnya.
3) Wakaf Sarana Air. Sama
halnya dengan makanan, air adalah kebutuhan pokok masyarakat. Sayangnya, tidak
semua daerah memiliki sumber air bersih untuk memenuhi kebutuhan mereka
sehari-hari. Karena itu perlu adanya wakaf air, yaitu dengan cara membangun
sumber air berupa sumur di daerah-daerah yang memang kesulitan mendapatkan air
bersih.
b. Wakaf Ekonomi. Wakaf ekonomi adalah wakaf yang dilakukan untuk
memberikan manfaat di bidang sosial ekonomi sekaligus bertujuan memajukan
perekonomian masyarakat, contohnya sebagai berikut:
1) Wakaf Retail. Wakaf retail merupakan
wakaf yang pengelolaannya fokus di bidang bisnis dan perdagangan. Dengan
demikian, hasil dan keuntungan dari bisnis tersebut bisa bermanfaat bagi
masyarakat.
2) Wakaf Saham. Wakaf
saham masih tergolong baru di Indonesia. Wakaf jenis ini memungkinkan suatu
perusahaan untuk mewakafkan sebagian sahamnya dan diberikan
kepada nazhir atau lembaga pengelola wakaf. Saham ini kemudian akan
dikelola secara optimal sehingga hasilnya bisa dirasakan langsung
oleh mauquf ‘alaih (penerima wakaf)
c.
Wakaf Pendidikan. Wakaf pendidikan
dilakukan dengan cara mengelola dana wakaf untuk kepentingan pendidikan.
Seperti yang diketahui, pendidikan adalah hal yang sangat penting, karena itu
melakukan wakaf dalam hal pendidikan berarti ikut berkontribusi memberikan
manfaat yang sangat besar bagi masa depan.
Wakaf jenis ini bisa
dilakukan dengan cara menyalurkan dana wakaf untuk pembangunan sarana
pendidikan, khususnya di daerah-daerah terpencil atau lokasi yang tidak
memiliki sarana pendidikan yang memadai. Tujuannya sudah jelas, yaitu
memberikan pendidikan layak bagi semua anak sekaligus mencerdaskan generasi
penerus bangsa.Sarana pendidikan tak hanya sebatas tempat belajar atau bangunan
sekolah, tapi juga hal-hal lain yang ikut menunjang kegiatan belajar dan
mengajar, seperti bangku, alat tulis, dan buku pelajaran. Selain sekolah
formal, pembangunan tempat ibadah juga perlu dilakukan untuk memberikan
pendidikan agama yang baik bagi semua orang.
d. Wakaf Kesehatan. Wakaf kesehatan berarti menyalurkan dan mengelola dana
wakaf untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal kesehatan. Penerapan wakaf
ini biasanya dilakukan dengan cara membangun rumah sakit atau klinik, termasuk
penyediaan alat-alat kesehatan seperti obat-obatan dan ambulans. Sarana
kesehatan seperti rumah sakit juga bisa dikelola secara komersial yang
keuntungannya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Misalnya, keuntungan
yang diperoleh dari pengelolaan rumah sakit nantinya digunakan untuk penyuluhan
kesehatan gratis atau untuk membiayai pengobatan orang-orang yang kurang mampu.
Dari pembahasan di
atas, bisa diketahui bahwa ada banyak contoh wakaf produktif yang
bisa dilakukan oleh semua orang. Apapun harta benda yang Anda miliki, berwakaf
adalah pilihan yang tepat untuk menggunakannya. Selain bermanfaat bagi umat, Anda
sendiri pastinya akan mendapatkan ganjaran pahala yang sangat besar.
Untuk melengkapi dan menambah
wawasan serta pengetahuan tentang zakat, infaq, sedekah dan juga wakaf yang
sudah kami kemukakan di atas. Berikut ini akan kami kemukakan tentang hibah dan
juga tentang derma yang ditinjau dari sisi agama Yahudi, agama Buddha, agama
Kristen dan agama Hindu. Hal ini kami kemukakan agar diri kita selaku
khalifah memiliki bahan pembanding saat
menunaikan apa apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dan bisa berbuat
lebih baik dari waktu ke waktu.
D.
HIBAH.
Sekarang
mari kita bahas tentang hibah. Hibah secara sederhana dapat diartikan sebagai
hadiah.Namun secara bahasa berarti pemberian secara sukarela kepada orang lain
yang diberikan saat pemilik masih hidup dan bukan saat sudah meninggal. Oleh
karena itu, prinsip hibah sangat berbeda dengan prinsip warisan. Selain
itu, hadiah diasumsikan sebagai pemberian yang tanpa memandang hubungan
pernikahan ataupun pertalian darah.
1. Pengertian hibah dalam beberapa sudut pandang. Indonesia sebagai
negara muslim terbesar kerap mendasari norma tertentu dengan hukum Islam
tertentu. Tidak heran jika terdapat beberapa bentuk kultur yang mirip yang
terkesan islami. Lalu apa itu hibah menurut Islam? Kata hibah berasal
dari bahasa Arab “wahaba”
yang berarti lewat dari satu tangan ke tangan yang lain dan juga yang memiliki
arti pemberian yang dilakukan seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan
pamrih atau imbalan dalam bentuk apa pun. Pemberian ini dilakukan saat seseorang
masih hidup dan wujudnya dapat berupa harta secara fisik atau benda-benda
lainnya yang tidak tergolong sebagai harta atau benda berharga.
Pada
dasarnya, Islam memiliki pemahaman yang serupa dengan asumsi masyarakat
umum selama ini, yaitu pengertian hibah adalah barang berharga yang dapat
diberikan kepada orang lain yang mana bukan saudara kandung atau
suami/istri. Pihak penerima tidak diwajibkan memberikan imbalan jasa atas
hadiah yang diterima sehingga tidak ada ketetapan apa pun yang mengikat setelah
harta atau barang berharga diserah terima.Dalam pandangan Islam, hibah adalah
perbuatan untuk mendekatkan diri kepada sesama umat sebagaimana telah
disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW: “Saling memberilah kalian, niscaya kalian
saling mencintai.”[Hadits Riwayat Bukhari)
2. Hukum negara terkait Hibah. Jika dilihat dari
sudut pandang hukum bernegara, arti hibah dapat dipermasalahkan jika wujud
pemberiannya berupa uang dengan jumlah yang banyak atau barang yang sangat
bernilai. Dalam hal itu, maka pengertian prosedur hibah dan pemberiannya
harus disertai dengan bukti-bukti ketetapan hukum resmi secara perdata agar
tidak digugat oleh pihak ketiga, termasuk oleh orang-orang yang termasuk ahli
waris di kemudian hari. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
pasal 1666 dan pasal 1667 dijelaskan bahwa hibah atau pemberian kepada orang
lain secara cuma-cuma tidak dapat ditarik kembali, baik berupa harta bergerak
maupun harta tidak bergerak saat pemberi masih hidup.
3. Rukun hibah berdasarkan hukum Islam. Pada sisi pemahaman
Islam, dikenal dengan istilah rukun atau syarat hibah, yang mana ketentuannya
sebagai berikut.
a.
Kehadiran
pihak pemberi.
b. Kehadiran pihak
penerima.
c.
Barang
bersangkutan terlihat dengan jelas, yaitu dapat berupa barang bergerak maupun
barang tidak bergerak.
d. Serah terima barang
disertai akad antara pemberi dan penerima secara nyata dan ikhlas.
4. Ketentuan hibah di mata hukum negara. Sebagaimana negara
memiliki aturan dalam pengertian dan pemberian hibah, berikut adalah ketentuan
yang harus dipenuhi perihal pemberlakuannya menurut hukum negara.
a.
Harta
berupa tanah dan bangunan harus disertai dengan akta dari pejabat pembuat akta
tanah (PPAT), yaitu berupa akta hibah.
b. Harta tanah tidak
dikenai PPh jika diberikan dari orang tua kepada anak kandung.
c.
Harta
tanah dikenai PPh sebesar 2,5% dari harga tanah berdasarkan nilai pasar (jika
dilakukan sesama saudara kandung).
d. Harta berupa
harta atau barang bergerak harus dilakukan dengan akta notaris.
e.
Harta adalah
objek yang diberikan saat pemberi masih hidup.
f.
Harta yang
diberikan saat pemberi sudah meninggal dunia disebut wasiat. Wasiat dapat
dibuktikan dengan surat yang diakui secara perdata.
g.
Harta harus
diberikan pada penerima yang sudah ada atau sudah lahir, tidak bisa diberikan
kepada penerima yang belum lahir.
h. Pemberian
harta bersifat final dan tidak bisa ditarik kembali.
5. Pajak atas harta hibah. Lebih jauh lagi,
negara juga memberlakukan pembebanan pajak atas orang atau badan yang
memberikan atau menerima, yaitu:
a.
Orang
pribadi yang menerima harta bersangkutan dari saudara kandung.
b. Orang pribadi yang
memiliki kekayaan lebih dari Rp500 juta.
c.
Orang
pribadi yang memiliki hasil penjualan lebih dari Rp2,5 miliar per tahun.
d. Badan keagamaan yang
bertujuan mencari keuntungan.
e.
Badan
pendidikan yang mencari keuntungan.
6. Perbedaan antara pengertian hibah dan wasiat. Masih terdapat salah
kaprah antara pengertian dari hibah dan juga wasiat. Untuk itu kamu harus
bisa membedakannya dengan wasiat. Pada dasarnya, hibah diberikan ketika pemberi
masih hidup, sedangkan wasiat diberikan pada saat pemberi sudah meninggal dunia
dalam bentuk harta warisan. Seperti halnya ketentuan dalam wasiat, jumlah hibah
yang baik adalah tidak melebihi sepertiga dari total harta yang dimiliki.Hal
tersebut dimaksudkan agar ahli waris tetap mendapatkan haknya dan bisa hidup
layak sesuai dengan standarnya sebelum pewaris meninggal dunia.
Itulah hal-hal
seputar pengertian hibah dari sisi pemahaman hukum perdata dan hukum Islam,
yang mana keduanya tidak melarang seseorang memberikan suatu barang berharga
kepada orang lain asalkan didasari atas kesukarelaan atau keikhlasan.
E.
DERMA DITINJAU DARI
SISI AGAMA YAHUDI, BUDDHA, KRISTEN DAN HINDU.
Derma adalah
pemberian kepada orang lain atas dasar kemurahan hati atau niat untuk berbuat
baik. Derma dapat berwujud barang maupun jasa (misalnya pendidikan) yang
diberikan secara cuma-cuma. Berderma diajarkan oleh sejumlah agama dan
adat-istiadat. Kata "derma" dalam bahasa Indonesia berasal dari
kata Sansekerta, dharma, yang berarti kepatutan, kebajikan, laku yang
benar, atau amal saleh. Istilah lain untuk derma adalah "sedekah, dari bahasa
Arab, ṣadaqah, yang berarti segala macam perbuatan baik terhadap
sesama yang dilakukan secara tulus ikhlas.
Berikut
ini akan kami kemukakan tinjauan umum tentang derma yang ditinjau dari berbagai
agama sebagaimana dikemukakan dalama “Wikipedia”
berikut ini:
1. Agama Yahudi. Dalam Agama Yahudi, tzedakah (bahasa Ibrani),
Sedekah secara harfiah berarti kebenaran, tetapi lazim pula diartikan sebagai
kedermawanan. mengacu pada kewajiban pemeluk agama Yahudi untuk bertindak benar
dan adil.Pemberian tzedakah sekarang ini dianggap sebagai kelanjutan dari
praktik ma’ser ani atau penyisihan sepersepuluh dari hasil bumi bagi
fakir miskin, serta praktik-praktik kedermawanan lain yang diamanatkan dalam
Alkitab, seperti mengizinkan fakir miskin menuai hasil bumi yang tumbuh di
sudut-sudut ladang, dan membiarkan siapa saja menikmati hasil bumi yang tumbuh
selama Smitah (tahun sabat). Tzedakah, disertai doa dan pertobatan, dianggap
sebagai penawar bagi ganjaran perbuatan buruk.
Dalam agama Yahudi,
tzedakah (kedermawanan) dipandang sebagai salah satu perbuatan termulia yang
dapat dilakukan oleh manusia.Para petani Yahudi dilarang memanen hasil bumi
yang tumbuh di sudut-sudut ladangnya maupun memungut panenan yang terjatuh,
sehingga dapat dimanfaatkan oleh fakir miskin.
Rohaniwan besar
Yahudi, Musa bin Maimun, pernah menyusun sebuah daftar tindakan
kedermawanan. Menurut Musa bin Maimun, tindakan kedermawanan yang paling benar adalah
memampukan si penerima menjadi pribadi yang mandiri sehingga mampu bertindak
dermawan terhadap orang lain. Tindakan-tindakan kedermawanan dalam daftar yang
disusunnya adalah sebagai berikut: (a) Memandirikan si penerima; (b) Memberi
bilamana si pemberi dan si penerima tidak saling kenal; (c) Memberi bilamana si
pemberi mengenal si penerima, tetapi si penerima tidak mengenal si pemberi; (d)
Memberi bilamana si pemberi tidak mengenal si penerima, tetapi si penerima
mengenal si pemberi; (e) Memberi sebelum diminta; (f) Memberi sesudah diminta;
(g) Memberi kurang dari yang mampu diberikan, tetapi dilakukan dengan rela; (h)Memberi
dengan bersungut-sungut.
2. Agama Buddha. Dalam agama Buddha, derma merupakan wujud
penghormatan seorang grihapati (bahasa Pali: gahapati, tuan rumah,
wali rumah, umat awam) kepada seorang biksu (bahasa Pali: bhikkhu,
biarawan), biksuni (bahasa Pali: bhikkhuni, biarawati), arya (bahasa
Pali: ariya, orang mulia, orang suci), atau satwa (bahasa Pali: satta,
makhluk) lainnya.
Derma dalam agama
Buddha bukanlah tindakan kedermawanan atau karya amal sebagaimana yang
dibayangkan oleh para mufasir Barat, melainkan lebih merupakan suatu
keterkaitan simbolis dengan alam gaib, dan berfungsi sebagai ungkapan
kerendahan hati dan rasa hormat di tengah-tengah masyarakat sekuler.Tindakan
bederma adalah sarana penghubung manusia dengan biksu atau biksuni beserta
hal-hal yang diwakili oleh biksu atau biksuni tersebut, sebagaimana sabda Sang
Buddha: yang berumah (grihapati) dan yang tak berumah (biksu-biksuni) saling
bergantung satu sama lain kedua-duanya mencapai Darma sejati....
Dalam agama Buddha
mazhab Theravada, biksu dan biksuni berkeliling setiap hari untuk
mengumpulkan derma (pindacara) berupa persembahan makanan (piṇḍapāta).
Tindakan ini sering kali dianggap sebagai pembukaan kesempatan bagi umat awam
untuk menciptakan pahala kebajikan (puṇya). Uang tidak dapat
diterima oleh seorang biksu mazhab Theravada, baik yang diberikan sebagai
pengganti maupun bersama makanan, karena menurut aturan pelatihan pratimoksa (bahasa
Pali: patimokkha) penerimaan uang merupakan suatu pelanggaran yang patut
diganjari penyitaan dan pengakuan bersalah.
Di negara-negara
penganut mazhab Mahayana, praktik pindacara sudah nyaris punah.
Di Tiongkok, Korea, dan Jepang, budaya masyarakat setempat menolak gagasan
memberi makanan kepada para biksu 'peminta-minta', dan tidak ada pula tradisi
menciptakan pahala kebajikan melalui tindakan bederma kepada para biksu yang
mempraktikkan pindacara. Selepas kurun waktu penindasan, biara-biara
dibangun di daerah-daerah pegunungan yang terpencil sehingga jarak yang jauh
antara biara dan kota-kota terdekat memustahilkan praktik pindacara. Di
Jepang, praktik takuhatsu yang dilakukan setiap minggu atau setiap
bulan menggantikan praktik pindacara.
Di negara-negara
pegunungan Himalaya, jumlah biksu yang sangat banyak membuat
pelaksanaan pindacara berpotensi membebani keluarga-keluarga di
sekitar biara. Persaingan dengan agama-agama lain dalam meminta dukungan
masyarakat juga membuat praktik pindacara menjadi sukar dan bahkan
membahayakan keselamatan jiwa; biksu-biksu pertama di Kerajaan Silla di
Korea konon dipukuli orang karena jumlah mereka yang sangat sedikit kala itu.
Dalam agama Buddha,
baik tindakan "berderma" maupun tindakan "memberi" disebut
"dana". Tindakan memberi adalah salah satu dari tiga jalan
pengamalan agama yang dirumuskan oleh Sang Buddha bagi umat awam,
yakni dana, sila, dan bawana.
Dalam agama Buddha
terdapat suatu paradoks bahwasanya semakin banyak orang memberi (dan semakin
banyak orang memberi tanpa pamrih) maka semakin makmur (dalam arti luas) pula
orang itu kelak. Melalui tindakan memberi, orang menghancurkan nafsu serakah
yang dapat membuat hidupnya semakin menderita. Kedermawanan juga ditunjukkan
terhadap makhluk-makhluk lain, baik sebagai sarana menciptakan pahala kebajikan
maupun untuk membantu si penerima.
Dalam tradisi
mazhab Mahayana, meskipun Triratna tempat berlindung merupakan
dasar dari pahala kebajikan yang terbesar, dengan memandang mahkluk lain
sebagai pihak yang memiliki fitrah Buddha dan memberi persembahan bagi ujud
murni Buddha untuk berdiam di dalamnya akan sama berfaedahnya. Kedermawanan
terhadap makhluk-makhluk lain sangat ditekankan dalam mazhab Mahayana sebagai
salah satu dari kesempurnaan (paramita) sebagaimana yang termaktub dalam
risalah Lama Tsongkhapa yang berjudul 'Pokok-Pokok Ringkas dari Jalan
Bertahap' (bahasa Tibet: lam-rim bsdus-don):
Kerelaan yang bulat
untuk memberi adalah permata pengabul keinginan yang mampu untuk mengabulkan
harapan-harapan dari makhluk-makhluk yang sedang mengembara. Ialah senjata tertajam
untuk meretas simpul kekikiran. Ialah penuntun menuju perilaku bodisatwa (makhluk
yang tercerahkan) yang memperbesar rasa percaya diri dan keberanian, dan
merupakan landasan bagi pemakluman ketenaran dan kehormatanmu ke seluruh jagat.
Sadar akan hal ini, orang yang bijaksana secara sehat menggantungkan hidupnya
pada jalan mulia yakni (senantiasa dengan rela hati) sepenuhnya menyerahkan
raga, harta benda, dan kesanggupan-kesanggupan baik mereka.Para lama yang
senantiasa waspada telah menjalani laku yang demikian. Jikalau engkau juga
hendak mencari pembebasan, alangkah baiknya jika engkau menempa dirimu dengan
laku yang sama.
Dalam agama
Buddha, tindakan berderma adalah permulaan dari perjalanan mencapai nirwana (bahasa
Pali: nibbana). Pada praktiknya, orang dapat memberi apa saja dengan
maupun tanpa disertai niat mencapai nirwana. Tindakan ini dapat menuntun orang
mencapai keimanan (bahasaPali: saddha), yakni salah satu kuasa
utama (bahasa Pali: bala) yang harus dibangkitkan orang dalam dirinya
bagi Buddha, Darma dan Sangga.Alasan-alasan yang mendasari tindakan
bederma memainkan peranan yang penting dalam pengembangan keunggulan-keunggulan
rohani. Kitab-kitab sutra (bahasa Pali: sutta) memuat berbagai macam
alasan yang mendorong orang untuk bersikap dermawan.
Sebagai contoh,
Angguttara Nikaya (A.iv,236) memerinci delapan alasan sebagai berikut: (1) Asajja
danam deti: memberi untuk menghina
(memberi agar si penerima merasa terhina, atau memberi dengan maksud menghina
si penerima); (2) Bhaya danam deti: memberi
karena takut bahaya; (3) Adasi me ti danam deti: memberi sebagai balasan pemberian yang pernah diterima di masa lampau;
(4) Dassati me ti danam deti: memberi
dengan harapan dibalas dengan pemberian serupa di kemudian hari; (5) Sadhu
danan ti danam deti: memberi karena
tindakan memberi dianggap baik; (6) Aham pacami, ime ne pacanti, na arahami
pacanto apacantanam adatun ti danam deti: "Aku memasak, mereka tidak memasak. Tidaklah pantas jika aku yang
memasak ini tidak memberi kepada mereka yang tidak memasak" (memberi
karena rasa peduli); (7) Imam me danam dadato kalyano kittisaddo abbhuggacchati
ti danam deti: memberi agar tampak baik
di mata orang lain; (8) Cittalankara-cittaparikkarattham danam deti: memberi demi menghias dan memperindah akal
budi.
3. Agama Kristen. Berderma adalah adalah amal kasih terhadap
orang-orang yang kurang beruntung. Pada masa hidup rasul rasul Yesus, umat
Kristen diajari bahwa berderma adalah ungkapan cinta kasih yang pertama-pertama
diungkapkan oleh Allah melalui pengorbanan diri Yesus selaku suatu amal kasih
demi keselamatan umat beriman. Persembahan adalah bagian dari perayaan
Misa Katolik Roma, ibadat Ekaristi Anglikan, dan kebaktian Lutheran manakala
derma dikumpulkan.
Sejumlah denominasi Kristen Protestan,
seperti gereja Baptis atau gereja Metodis, juga melakukan pengumpulan
derma, namun lebih sering menyebutnya sebagai pengumpulan "persepuluhan dan
persembahan". Sejumlah denominasi Kristen mempraktikkan pengumpulan derma
khusus secara teratur yang disebut persembahan kasih demi membantu
fakir miskin, orang-orang yang tertimpa kemalangan atau bencana seperti
kebakaran rumah atau biaya pengobatan yang besar. Menurut tradisi, para diakon
bertanggung jawab mendistribusikan dana yang terkumpul kepada para janda, yatim
piatu, dan pihak-pihak lain yang memerlukan bantuan. Banyak umat Kristen yang
mendukung karya amal yang dilakukan oleh berbagai organisasi amal, meskipun
tidak semuanya berkaitan dengan denominasi Kristen tertentu. Banyak lembaga
pendidikan dan pengobatan Amerika yang didirikan oleh paguyuban-paguyuban
Kristen melalui pengumpulan derma.
Di Gereja Gereja
Ortodoks Timur dan Gereja Gereja Katolik Timur, pengumpulan derma dan sumbangan persepuluhan
tidak disatukan dengan upacara persembahan dalam ibadat. Meskipun demikian,
meletakkan piring persembahan di narteks gereja atau mengedarkannya selama
ibadat berlangsung tidak jarang pula dilakukan. Dalam teologi Ortodoks, bederma
merupakan bagian penting dari hidup rohani, dan berpuasa selayaknya
selalu dilakukan bersama-sama dengan berdoa dan bederma. Bederma atas nama
orang yang sudah wafat juga sering kali dilakukan bersama-sama dengan
pelaksanaan doa bagi orang orang yang telah wafa. Orang-orang yang tidak
mampu bederma dengan uang boleh bederma dengan cara lain, misalnya dengan berdoa
syafaat dan tindakan tindakan welas asih..
Sebagian besar
denominasi Kristen melakukan pengumpulan "persepuluhan dan juga persembahan" untuk mendanai misi,
belanja, pelayanan, dan penyantunan fakir miskin yang dilakukan oleh denominasi
yang bersangkutan sebagai salah satu tindakan kedermawanan Kristiani yang penting
dan dipersatukan dengan doa seluruh jemaat. Di beberapa Gereja, "piring
persembahan" atau "keranjang persembahan" diletakkan di
atas altar untuk menunjukkan bahwa persembahan itu ditujukan kepada
Allah, dan merupakan tanda ikatan kasih Kristiani. Selain itu,
tindakan-tindakan kedermawanan yang dilakukan secara pribadi, yang hanya
dianggap mulia jika tidak dilakukan demi mendapatkan pujian orang, dipandang
sebagai salah satu kewajiban seorang pemeluk agama Kristen.
4. Agama Hindu. Dāna (bahasa Sanskerta:
दान) adalah gagasan kuno
mengenai tindakan berderma dari zaman Weda dalam agama Hindu. Kata
yang digunakan dengan makna "derma" dalam kesusastraan Weda
adalah bhiksya (भिक्षा).Pembahasan tertua mengenai dāna dalam Weda termaktub
dalam Regweda, dan berisi penjabaran alasan-alasan untuk berbuat baik dengan
cara berderma. Para Dewa tak menggariskan kelaparan menjadi sebab ajal kita:
bahkan orang yang makan kenyang pun menemui ajal dengan berbagai cara, Harta
orang yang rela melepaskannya tidaklah terbuang percuma, tetapi orang yang
tidak mau memberi tak akan menemukan ketentraman hati,
Orang yang menyimpan makanan di lumbung, yang bilamana orang miskin dalam
kesukaran datang meminta makanan, tega membiarkan orang miskin itu kelaparan,
bila tua kelak, tak ada orang yang menentramkan hatinya.Berlimpahlah rezeki
orang yang memberi makan peminta-minta makanan, dan menyantuni orang yang
lemah,Kejayaan menyertainya dalam gemuruh sorak pertempuran. Ia mendapatkan
sahabat di kala susah kelak, Tanpa sahabatlah orang yang tak memberi apa-apa
bilamana sahabat dan handai tolan datang meminta makanan.
Hendaklah orang kaya
mencukupi orang miskin yang datang meminta-minta, dan mengarahkan pandangannya
ke jalan yang lebih jauh ke depan,Kekayaan sekarang jatuh ke tangan seseorang,
lalu ke tangan orang lain, terus-menerus berputar laksana roda-roda kereta, Bodohlah
orang yang mendapatkan makanan dengan kerja yang tak berfaedah: sesungguhnya
kukatakan, makanan itu adalah biang kehancurannya, Ia tidak memberi makan
sahabat tepercaya, tak ada orang yang mengasihinya. Bersalah sungguh orang yang
makan tanpa ditemani orang lain.
Kitab-kitab Upanisad terdahulu,
yakni yang disusun sebelum 500 SM, juga membahas mengenai kemuliaan dari berderma.
Sebagai contoh, dalam seloka 5.2.3 dalam Brihadaranyakopanisad mengajarkan
bahwa tiga ciri dari orang yang baik dan maju adalah pengendalian diri (damah),
welas asih terhadap segala makhluk hidup (daya), dan berderma (dāna). Demikian
pula parwa III dari Candogyopanisad mengajarkan bahwa kehidupan yang
berbudi pekerti memerlukan tapa atau semadi, atau bertarak, dana (berderma), arjawa (tulus,
tidak munafik), ahimsa (tidak melakukan kekerasan, tidak melukai
makhluk lain) dan satyawacana (jujur).
Bagawadgita menggambarkan
bentuk-bentuk yang benar dan salah dari dāna dalam seloka
17.20 sampai seloka 17.22.Dalam adyaya (bab) 91 dari Adiwarna (kitab
pertama), salah satu parwa dalam wiracarita Hindu, Mahabarata, diajarkan
bahwa manusia hendaknya pertama-tama mengumpulkan kekayaan dengan cara yang
jujur, barulah ia bederma; bersikap ramah-tamah terhadap orang-orang yang
datang padanya; tidak menyakiti makhluk hidup lain; dan memberi sebagian dari
apa saja yang ia makan kepada orang lain. Dalam Wanaparwa (kitab rimba),
adyaya 194, Mahabarata menganjurkan agar orang harus, "mengalahkan
kekejaman dengan kedermawanan, ketidaktulusan dengan ketulusan, orang-orang
jahat dengan pengampunan, dan ketidakjujuran dengan kejujuran". Bagawatapurana
membahas tentang bilamana dāna itu patut dan bilamana tidak patut
dilakukan. Dalam parwa 8, adyaya 19, seloka 36, diajarkan bahwa kedermawanan
tidak patut dilakukan bilamana membahayakan dan melumpuhkan penghidupan seisi
rumah si penderma atau penghidupan si penderma sendiri. Purana menganjurkan
tindakan mendermakan penghasilan yang masih tersisa sesudah dikurangi jumlah
yang secukupnya untuk dipakai hidup secara sederhana.
Dāna
telah didefinisikan dalam karya-karya tulis tradisional sebagai segala macam
tindakan pelepasan kepemilikan atas barang yang dianggap seseorang sebagai
miliknya, dan menyerahkannya kepada seorang penerima tanpa mengharapkan apa-apa
sebagai balasannya. Jika dāna lazimnya ditujukan kepada satu
orang atau satu keluarga, maka dalam agama Hindu ada pula pembahasan mengenai
tindakan kedermawanan atau bederma demi kepentingan umum yang kadang-kadang
disebut utsarga. Tindakan kedermawanan ini ditujukan bagi proyek-proyek
yang lebih besar misalnya proyek pembangunan petirahan, pembangunan sekolah,
penggalian sumber air minum atau irigasi, penanaman pohon, dan pembangunan
fasilitas perawatan.
Abu Raihan Al Biruni,
sejarawan Persia pada abad ke-11 yang pernah tinggal selama 16 tahun di India
sejak sekitar 1017 M, mencatat tentang praktik bederma dan kedermawanan di
kalangan umat Hindu yang ia saksikan selama berada di negeri itu. Al-Biruni
menulis bahwa "sudah merupakan kewajiban bagi mereka (umat Hindu) untuk
setiap hari berderma sebanyak mungkin." Selain untuk membayar pajak, ada
berbagai pendapat lain mengenai bagaimana cara orang memanfaatkan
penghasilannya. Sebagian orang menyisihkan sepersembilan dari penghasilannya
untuk didermakan. Sebagian yang lain membagi penghasilannya (sesudah dikurangi
pajak) menjadi empat bagian. Seperempat bagian yang pertama disisihkan untuk
membiayai kebutuhan hidup sehari-hari, seperempat bagian yang kedua disisihkan
untuk karya-karya bebas dari pujangga berakal mulia, seperempat bagian yang
ketiga disisihkan untuk didermakan, dan seperempat bagian yang keempat
disisihkan untuk ditabung. (Abū Rayḥān Al-Bīrūnī,
Tarikh Al-Hind, abad ke-11 M)
Tindakan bederma
dihargai sebagai perbuatan yang mulia dalam agama Hindu, dan dianjurkan untuk
dilakukan tanpa mengharapkan balas budi dari pihak yang
menerimanya. Sejumlah karya tulis, dengan mengacu pada hakikat kehidupan
bermasyarakat, mengemukakan bahwa kedermawanan adalah salah satu bentuk karma
baik yang berpengaruh pada keadaan dan lingkungan hidup seseorang di masa depan
karena berlakunya asas timbal balik. Dalam karya-karya tulis Hindu
lainnya, misalnya Wyasa Samhita, diajarkan bahwa asas timbal balik mungkin
saja merupakan bawaan lahir dan kelaziman dalam masyarakat namun dāna
dengan sendirinya merupakan suatu kebajikan, karena perbuatan baik memuliakan
fitrah pelakunya.
Naskah-naskah ini
tidak menganjurkan tindakan kedermawanan terhadap orang-orang yang tidak patut
menerimanya atau jika derma dapat membahayakan penerimanya, merangsang orang
untuk melukai penerimanya, atau merangsang penerimanya untuk melukai orang
lain. Jadi, dāna adalah suatu tindakan darma, yang memerlukan
pendekatan idealistik-normatif, dan yang memiliki konteks rohaniah dan
filsafati. Sejumlah pujangga Abad Pertengahan mengemukakan bahwa dāna sebaiknya
dilakukan dengan srada (rasa percaya), yang diartikan dengan berniat
baik, riang gembira, menyambut si penerima derma, dan bederma
tanpa anasuya (mencari-cari kesalahan si penerima).Menurut Kohler,
para cerdik pandai Hindu ini menyiratkan bahwa kedermawanan akan sangat efektif
bilamana dilakukan dengan senang hati, suatu "keramahtamahan tanpa
ragu-ragu", di mana dāna menafikan kelemahan-kelemahan
jangka pendek serta keadaan si penerima dan menggunakan cara pandang jangka
panjang.
Satram, catram,
atau daramsala di India merupakan salah satu sarana untuk bederma
dalam agama Hindu. Satram adalah pondokan atau rumah singgah bagi para musafir
dan fakir miskin. Banyak di antaranya menyediakan air dan makanan secara
cuma-cuma. Satram-satram ini lazimnya dibangun di sepanjang jalan yang
menghubungkan situs-situs kuil Hindu utama di Asia Selatan, dan juga
di bangun di dekat kuil-kuil besar.
Kuil Kuil Hindu telah
diberdayakan sebagai lembaga-lembaga karya amal. Dāna dari
persembahan umat Hindu yang terkumpul di kuil-kuil digunakan untuk memberi
makanan kepada orang-orang yang membutuhkan, serta untuk mendanai proyek-proyek
pekerjaan umum seperti pengerjaan irigasi dan lahan reklamasi. Bentuk-bentuk
lain dari tindakan bederma dalam agama Hindu meliputi pemberian sumbangan
berupa sarana-sarana kegiatan ekonomi dan penyediaan sumber pangan,
misalnya Go Dāna (sumbangan berupa seekor lembu), bu dāna (भू दान, sumbangan
lahan), widya dāna atau nyana dāna (विद्या दान atau ज्ञान दान, sumbangan ilmu
pengetahuan dan keterampilan), ausadā dāna (sumbangan
pengobatan bagi orang sakit dan pemberantasan wabah penyakit), abaya dāna (sumbangan
perlindungan dari rasa takut bagi orang yang sedang terancam bahaya),
dan ana dāna (अन्ना दान, sumbangan makanan kepada fakir miskin,
orang yang kelaparan, dan para musafir).Menurut karya-karya tulis agama Hindu,
sumbangan ilmu pengetahuan jauh lebih mulia daripada sumbangan makanan.
Semoga dengan adanya
bahan perbandingan tentang derma ini mampu menjadikan diri kita bertambah baik
dan benar di dalam menunaikan zakat, infaq, sedekah dan juga wakaf yang
akhirnya mampu menghantarkan diri kita hidup nyaman, aman, damai dan bersahaja
karena selalu berada di dalam kehendak Allah SWT. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar