Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Minggu, 09 September 2018

INFAQ, SEDEKAH DAN WAKAF SEBAGAI PENYEMPURNA ZAKAT


 

Hidup bersifat dinamis, kadang di atas dan kadang di bawah. Saat diri kita berada diatas (berkecukupan) berdasarkan aturan khusus (nishab dan haul) dapat menjadikan diri kita tidak termasuk orang orang yang wajib menunaikan zakat dan pada saat diri kita berada di bawah adanya aturan khusus (nishab dan haul) dapat pula menjadikan diri kita tidak termasuk orang yang wajib menunaikan zakat. Saat diri kita tidak wajib menunaikan zakat (kondisi ini bisa saja terjadi dalam kondisi tertentu) ketahuilah Allah SWT masih memberikan kesempatan lain yang bisa kita pergunakan agar diri kita tetap bermakna dan bermartabat baik di hadapan Allah SWT  maupun di tengah masyarakat yaitu melalui infak dan sedekah yang dilandasi mencari keridhaan Allah SWT. Di lain sisi, saat diri kita memiliki kewajiban menunaikan zakat, bukan berarti kesempatan untuk melaksanakan infaq, sedekah ataupun wakaf telah tertutup baginya. Kesempatan untuk melaksanakan infaq, sedekah, ataupun wakaf tetap bisa dilakukannya dan jika ini bisa kita lakukan maka berlakulah infaq, sedekah dan wakaf sebagai penyempurna dari ibadah zakat.

 

Adapun prinsip dasar dari infaq dan sedekah serta wakaf pada dasarnya hampir sama dengan ketentuan zakat, yaitu siapa yang mengerjakannya akan memperolah manfaat bagi dirinya dan juga bermanfaat bagi orang lain yang menerimannya. Akan tetapi ada hal hal tertentu yang membedakan antara ketentuan zakat dengan ketentuan infaq, dengan ketentuan sedekah serta juga dengan ketentuan wakaf. Sekarang mari kita bahas tentang hal tersebut.

 

A.     INFAQ.

 

Infaq adalah berasal dari kata anfaqa yunfiqu yang artinya membelanjakan atau membiayai yang berhubungan dengan usaha realisasi perintah-perintah Allah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kelima infaq adalah pemberian (sumbangan) harta dan sebagainya (selain zakat wajib) untuk kebaikan. Sedangkan menurut istilah infaq berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan dalam ajaran Islam. Selain dari pada itu, infaq berdasarkan ketentuaan Undang Undang No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat didefinisikan sebagai harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum.

 

Di lain sisi, menurut ketentuan syariat, infaq berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan atau penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan Islam. Jika zakat ada nishab dan haul, infaq tidak mengenal nishab dan haul, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (surat Ali Imran (3) ayat 134). Allah SWT juga berfirman sebagaimana berikut ini: “mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya. (surat Al Baqarah (2) ayat 215)

 

Rasulullah SAW bersabda : ada malaikat yang senantiasa berdo’a setiap pagi dan sore : “Ya Allah SWT berilah orang yang berinfak, gantinya. Dan berkata yang lain : “Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak, kehancuran”. (Hadits Riwayat Bukhori). 

 

Berdasarkan ketentuan yang kami kemukakan di atas ini, infaq dapat dikatakan sebagai pengeluaran sukarela yang dilakukan seseorang, setiap kali ia memperoleh rezeki, sebanyak yang ia kehendakinya. Allah SWT memberi kebebasan kepada pemiliknya untuk menentukan jenis harta, berapa jumlah yang yang sebaiknya diserahkan. Oleh karenanya, infaq berbeda dengan zakat. Infaq tidak mengenal nishab atau jumlah harta yang telah ditentukan secara hukum serta infaq tidak mengenal istilah haul. Infaq juga tidak harus diberikan kepada mustahik tertentu, melainkan dapat diberikan kepada siapapun seperti keluarga, kerabat, anak yatim, orang miskin, atau orang orang yang sedang dalam perjalanan jauh. Dengan demikian infaq adalah membayar dengan harta, mengeluarkan dengan harta dan membelanjakan dengan harta tanpa nishab dan haul.

 

Perintah Infaq adalah untuk kebaikan, seperti memberikan donasi atau sesuatu yang bersifat untuk diri sendiri. Perintah untuk membelanjakan harta tersebut untuk dirinya sendiri ada di dalam firman Allah SWT sebagai berikut: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (surat At-Tagabun (64) ayat 16). Sedangkan perintah untuk memberi nafkah istri dan keluarga menurut kemampuan juga telah dijelaskan dalam firman Allah SWT sebagai berikut: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang terbatas rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai dengan apa yang diberikan Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (surat At-Thalaq (65) ayat 7).

 

Selanjutnya dalam membelanjakan harta harta yang kita miliki hendaklah yang dibelanjakan merupakan harta yang baik dan bukan yang buruk, khususnya dalam menunaikan infaq berdasarkan firman Allah SWT berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagaian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan denagan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (surat Al-Baqarah (2) ayat  267)

 

Macam-macam Infaq. Infaq secara hukum terbagi menjadi empat macam, diantaranya adalah sebagai berikut

 

1.       Infaq Adalah Mubah. Jenis Infaq mubah merupakan sebuah tindakan mengeluarkan harta untuk perkara mubah seperti berdagang dan bercocok tanam.

 

2.       Infaq Adalah Wajib. Bentuk Infaq wajib merupakan pengeluaran harta untuk perkara yang wajib seperti membayar mahar (maskawin), menafkahi istri, dan menafkahi istri yang ditalak dan masih dalam keadaan iddah.

 

3.       Infaq Adalah Haram. Jenis Infaq haram merupakan sebuah tindakan mengeluarkan harta dengan tujuan yang diharamkan Allah, seperti: (1) Infaqnya orang kafir untuk menghalangi syiar Islam. Sebagaimana termaktub dalam firman Allah SWT yang berbunyi: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk mengahalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan kedalam Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan.” (surat Al-Anfal (8) ayat 36); (2) Infaqnya orang Islam kepada fakir miskin tapi tidak karena Allah. Sebagaimana termaktub dalam firman Allah SWT yang berbunyi: “Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya.” (surat An-Nisa (4) ayat 38)

 

4.       Infaq Sunnah. Infaq sunnah ini yaitu mengeluarkan harta dengan niat shadaqah. Jenis ini terbagi kedalam dua kategori, yaitu; infaq untuk jihad dan infaq kepada yang membutuhkan.

 

Sekali lagi kami kemukakan tentang infaq. Infaq adalah sebuah kegiatan membelanjakan atau mengeluarkan harta (kekayaan/penghasilan) yang kita miliki tanpa ada haul dan ketentuan nishab atau ukuran seberapa banyaknya harta yang harus dikeluarkan seperti halnya zakat.Infaq dapat dilakukan kapan saja, dimana saja dan dalam kondisi apa saja, dengan selalu tetap memperhatikan macam macam infaq sebagaimana telah kami kemukakan di atas ini.

 

B.      SEDEKAH.

 

Sedekah berasal dari bahasa Arab shadaqa yang berarti benar. Orang yang suka bersedekah adalah orang yang benar pengakuan imannya. Adapun secara syariat sedekah makna asalnya adalah tahqiqu syai’in bisyai’i, atau menetapkan/menerapkan sesuatu pada sesuatu. Shadaqah sifatnya sukarela dan tidak terikat pada syarat-syarat tertentu dalam pengeluarannya baik mengenai jumlah, waktu dan kadarnya. Atau pemberian sukarela yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, terutama kepada orang-orang miskin setiap kesempatan terbuka yang tidak ditentukan jenis, jumlah maupun waktunya, sedekah tidak terbatas pada pemberian yang bersifat material saja tetapi juga dapat berupa jasa yang bermanfaat bagi orang lain. Bahkan senyum yang dilakukan dengan ikhlas untuk menyenangkan orang lain termasuk kategori sedekah. Sedangkan Sedekah berdasarkan ketentuan Undang Undang No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat didefinisikan sebagai harta atau nonharta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum.

 

Sedekah mempunyai cakupan yang sangat luas serta mencakup segala jenis sumbangan. Sedekah ialah segala bentuk nilai kebajikan yang tidak terikat oleh jumlah, waktu dan juga yang tidak terbatas pada materi tetapi juga dapat dalam bentuk non materi, misalnya menyingkirkan rintangan di jalan, menuntun orang yang buta, memberikan senyuman dan wajah yang manis kepada saudaranya. Sedekah juga berarti memberi derma, termasuk memberikan derma untuk mematuhi hukum dimana kata zakat digunakan didalam AlQuran dan Sunnah. Zakat telah disebut pula sedekah karena zakat merupakan sejenis derma yang diwajibkan sedangkan sedekah adalah sukarela. zakat dikumpulkan oleh pemerintah sebagai suatu pengutan wajib, sedangkan  sedekah lainnya dibayarkan secara sukarela. Jumlah dan nishab zakat ditentukan, sedangkan jumlah sedekah yang lainnya sepenuhnya tergantung keinginan yang menyumbang/bersedekah.

 

Pengertian sedekah sama dengan pengertian infaq, termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya. Hanya saja sedekah mempunyai makna yang lebih luas lagi dibanding infaq. Jika infaq berkaitan dengan materi, sedekah memiliki arti lebih luas, menyangkut juga hal yang bersifat non materiil, sebagaimana hadits berikut ini: “Dari Abu Dzar ra, Rasulullah menyatakan: “jika tidak mampu bersedekah dengan harta, maka membaca tasbih, takbir, tahmid, tahlil, berhubungan suami-istri, atau melakukan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar adakah sedekah”. (Hadits Riwayat Muslim)

 

Dan dalam hadist yang lainnya, Rasulullah SAW memberi jawaban kepada orang-orang miskin yang cemburu terhadap orang kaya yang banyak bersedekah dengan hartanya, beliau bersabda : “Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir shadaqah, setiap tahmid shadaqah, setiap amar ma’ruf adalah shadaqah, nahi munkar shadaqah dan menyalurkan syahwatnya kepada istri shadaqah”. (Hadits Riwayat Muslim)

 

Istilah Zakat, Infaq dan Sedekah serta wakaf menunjuk kepada satu pengertian yaitu sesuatu yang dikeluarkan. Zakat, infaq dan sedekah serta wakaf memiliki persamaan dalam peranannya memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengentasan kemiskinan. Adapun perbedaannya yaitu zakat hukumnya wajib sedangkan infaq dan sedekah serta wakaf hukumnya sunnah. Atau Zakat yang dimaksudkan adalah sesuatu yang wajib dikeluarkan, sementara infaq dan sedekah serta wakaf adalah istilah yang digunakan untuk sesuatu yang tidak wajib dikeluarkan. Jadi pengeluaran yang sifatnya sukarela itu yang disebut infaq dan sedekah serta wakaf. Zakat ditentukan nishab dan haulnya sedangkan infaq dan sedekah serta wakaf tidak memiliki batas.

 

Zakat ditentukan siapa saja yang berhak menerimanya sedangkan infaq dan sedekah boleh diberikan kepada siapa saja. Perbedaannya juga dapat dicermati antara lain yaitu: (a) Zakat, sifatnya wajib dan adanya ketentuannya/batasan jumlah harta yang harus zakat dan siapa yang boleh menerima; (b) Infaq, sumbangan sukarela atau seikhlasnya dalam bentuk materi; (c) Sedekah, lebih luas dari infaq, karena yang disedekahkan tidak terbatas pada materi saja namun juga non materi, seperti memungut paku di jalan, senyum dan lainnya.

 

C.     WAKAF

 

Untuk melengkapi dan menambah wawasan dan pengetahuan tentang zakat, infaq dan juga sedekah yang telah kami kemukakan di atas, berikut ini akan kami kemukakan informasi tentang wakaf sebagaimana dikemukakan oleh “iaid.ac.id” dan juga oleh “Badan Wakaf Indonesia”, berikut ini:  

 

1.       Perkembangan Perwakafan di Indonesia. Sejarah perkembangan wakaf di Indonesia sejalan dengan penyebaran Islam di  seluruh wilayah nusantara. Di samping melakukan dakwah Islam, para ulama juga mengajarkan wakaf pada umat. Kebutuhan akan tempat beribadah, seperti masjid, surau, mendorong umat Islam untuk menyerahkan tanahnya sebagai wakaf. Ajaran wakaf di bumi Nusantara terus berkembang terbukti dengan banyaknya masjid-masjid bersejarah yang dibangun di atas tanah wakaf.

 

Seiring dengan perkembangan sosial masyarakat Islam, praktek perwakafan mengalami kemajuan dari waktu ke waktu.Salah satu faktor penting yang ikut mewarnai corak dan perkembangan wakaf di era modern adalah ketika negara ikut mengatur kebijakan wakaf melalui seperangkat hukum positif. Dalam proses perumusan kebijakan tersebut, ditentukan oleh bagaimana penguasa melihat potensi maupun organsiasi wakaf, baik dalam kerangka kepentingannya, maupun kepentingan umat Islam pada umumnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan mengenai wakaf atau filantropi Islam pada umumnya dibuat berdasarkan asumsi-asumsi ideologis menyangkut relasi antara Islam dan negara serta pertanyaan mengenai seberapa jauh Islam boleh berperan di ruang publik.

 

Di masa penjajahan, kegiatan perwakafan mengalami perkembangan yang pesat. Hal itu ditandai dengan banyaknya muncul organisasi keagamaan, sekolah madrasah, pondok pesantren, masjid, yang semuanya dibangun dengan swadaya masyarakat di atas tanah wakaf.6 Politik pemerintah pada masa ini mengenai filantropi Islam tunduk pada rasionalitas politik Islam Hindia Belanda. Di mana Islam sebagai sistem nilai dibatasi sedemikian rupa sehingga ia dipraktekkan dalam kerangka ritual-personal semata. Rasionalitas semacam ini membuat tradisi wakaf sebagai lembaga pelayanan sosial.

 

Namun, karena aktivitas filantropi Islam seringkali bersinggungan dengan hubungan antarmasyarakat maka pemerintah kolonial pada akhirnya memandang perlu untuk mengatur dengan ketentuan-ketentuan hukum, di antaranya Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Tanggal 4 Juni 1931 Nomor 1361/A sebagaimana termuat dalam Bijblad  Nomor 12573 Tahun 1931, Tentang Toezich Van De Regeering Op Mohammedaansche Bedehuizen, Vrijdagdiensten En Wakafs. Surat edaran ini mengatur tentang keharusan adanya keizinan bupati dalam berwakaf. Bupati memerintahkan agar wakaf yang diizinkan dimasukkan ke dalam daftar yang dipelihara oleh ketua Pengadilan Agama yang diberitahukan kepada Asisten Wedana yang selanjutnya dilaporkan ke Kantor Landrente.7

 

Sayangnya, peraturan yang dibuat tidak sepenuhnya didasarkan pada keinginan politik (political will) yang jujur serta pemahaman yang benar tentang hakikat dan tujuan wakaf. Akibatnya, peraturan-peraturan ini mendapat reaksi dari organisasi-oraganisasi Islam karena orang yang akan berwakaf harus mendapat izin pemerintah. Sementara itu umat Islam memandang perwakafan merupakan tindakan hukum privat sehingga tidak perlu ada izin dari pemerintah. Reaksi ini merupakan penolakan terhadap campur tangan pemerintah kolonial terhadap urusan-urusan yang berhubungan dengan agama Islam. Ini berarti peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial tidak memiliki arti penting bagi pengembangan wakaf, selain untuk memenuhi formalisme administratif semata.

 

Formalisme ini terus berlangsung sampai masa kemerdekaan. Politik filantropi Islam pada masa Orde Lama tidak mengalami perubahan mendasar. Peraturan-peraturan yang mengatur perwakafan zaman kolonial, pada zaman kemerdekaan masih tetap diberlakukan, karena peraturan perwakafan yang baru belum ada.

 

Peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia berkaitan dengan perwakafan seperti yang terjadi pada orde lama tidak memiliki arti penting bagi pengembangan wakaf selain hanya untuk memenuhi formalisme administratif semata. Hal ini dikarenakan pemerintah pada masa orde baru ini lebih berkonsentrasi untuk memperkuat diri di atas kekuatan-kekuatan sipil terutama Islam, sembari menjalankan agenda sekularisasi politiknya secara konsisten, malah Islam hampir termarginalkan. Keadaan ini terus berlangsung sampai paroh kedua dasarwarsa 1980-an ketika secara mengejutkan Islam mulai diterima di ruang publik.8

 

Ada pun peraturan perwakafan yang lahir pada masa orde baru adalah: Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Dengan adanya peraturan pemerintah ini, perwakafan tanah milik di Indonesia mulai memasuki babak baru. Perwakafan tanah milik di Indonesia mulai tertib dan terjaga. Ini merupakan peraturan pertama yang memuat substansi dan teknis perwakafan. Selama ini di Indonesia,  peraturan yang mengatur perwakafan kurang memadai sehingga banyak muncul persoalan perwakafan di tengah masyarakat, seperti banyaknya sengketa tanah wakaf. Tanah wakaf yang statusnya tidak jelas, banyak benda wakaf yang tidak diketahui keadaannya, penyalahgunaan harta wakaf, dan sebagainya. Hal ini karena tidak adanya keharusan untuk mendaftarkan benda-benda wakaf.9 Barulah dengan ditetapkannya peraturan pemerintah ini perwakafan mempunyai dasar hukum yang kuat.

 

Kemudian Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Instruksi yang dikeluarkan tangggal 5 Februari 1991 ini adalah pedoman bagi instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang perwakafan khususnya yang termuat dalam buku III. Aturan yang dimuat dalam buku III tentang perwakafan ini belum membawa pembaharuan dalam pengelolaan wakaf karena secara substansi masih berbentuk  elaborasi dari aturan yang termuat dalam  Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Di sisi lain, instruksi presiden yang terdapat dalam buku III ini sebetulnya belum cukup merevitalisasi sektor wakaf. KHI masih mengadopsi paradigma lama yang literal yang cenderung bersifat fiqh minded. Hal ini terlihat dari materi hukum yang dicakup merupakan bentuk univikasi pendapat-pendapat mazhab dan Hukum Islam di Indonesia yang berkaitan dengan perwakafan.

 

Sejalan dengan bergulirnya gelombang reformasi dan demokratisasi dipenghujung tahun 1990-an, membawa perubahan dan mengokohkan Islam sebagai salah satu kekuatan politik di panggung nasional, sampai munculnya undang-undang yang secara khusus mengatur wakaf. Pemerintah RI mengakui aturan hukum perwakafan dalam bentuk undang-undang. Pada masa reformasi, peraturan perwakafan berhasil disahkan adalah Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan  Undang–undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Produk undang-undang ini telah memberikan pijakan hukum yang pasti, kepercayaan publik, serta perlindungan terhadap aset wakaf. Pensahan undang-undang ini merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, meningkatkan peran wakaf, tidak hanya sebagai pranata keagamaan saja, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang potensial untuk memajukan kesejahteraan umum. Di samping itu, dengan disahkannya undang-undang ini, objek wakaf lebih luas cakupannya tidak hanya sebatas benda tidak bergerak saja, tapi juga meliputi benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, hak sewa dan sebagainya.10

 

Campur tangan pemerintah terhadap wakaf hanya bersifat pencatatan dan mengawasi pemeliharaan benda-benda wakaf agar sesuai dengan tujuan dan maksud wakaf. Pemerintah sama sekali tidak mencampuri, menguasai, atau menjadikan benda wakaf menjadi milik negara. Kehadiran Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf secara simbolik menandai kemauan politik negara untuk memperhatikan permasalahan sosial umat Islam. Perkembangan peraturan perundang-undangan tentang wakaf hari ini sangat ditentukan oleh dinamika internal umat Islam serta hubungan harmonis antara Islam dan negara. Iklim politik yang kondusif ini memungkinkan berkembangnya filantropi Islam seperti wakaf. Selain itu, demokrasi menyediakan arena bagi artikulasi politik Islam secara konstitusional. Pada akhirnya, politik filantropi Islam ditentukan oleh proses integrasi/nasionalisasi gagasan sosial-politik Islam ke dalam sistem dan konfigurasi sosial politik nasional.11

 

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ini menjadi momentum pemberdayaan wakaf secara produktif sebab di dalamnya terkandung pemahaman yang komprehensif dan pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern. Dalam undang-undang wakaf yang baru ini konsep wakaf mengandug dimensi yang sangat luas. Ia mencakup harta tidak bergerak, maupun yang bergerak, termasuk wakaf uang yang penggunaannya sangat luas, tidak terbatas untuk pendirian tempat ibadah dan sosial keagamaan. Formulasi hukum yang demikian, jelas suatu perubahan yang sangat revolusioner. Jika dapat direalisasikan, akan memunculkan pengaruh yang berlipat ganda terutama dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi umat. Dengan demikian, Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 diproyeksikan sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering), melakukan perubahan-perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat Islam agar senafas dengan semangat undang-undang tersebut.

 

Dengan memperhatikan konteks dan latar belakang lahirnya undang-undang wakaf, sangat terkait dengan motif politik, ekonomi, dan tertib hukum. Selain bermaksud mengakomodasi kepentingan sosial-religius umat Islam, pemerintah menyadari bahwa berkembangnya lembaga wakaf dapat meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat. Karenanya tidak mengherankan, pemerintah diwakili Kementerian Agama memainkan peranan yang signifikan dalam menginisiasi dan menfasilitiasi lahirnya seperangkat peraturan filantropi, khususnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf di Indonesia. Sesuai dengan kehendak politik yang tertuang dalam undang-undang ini pemerintah bukanlah sebagai pelaksana operasional pengelola wakaf tapi pemerintah hanya berfungsi sebagai regulator, motivator, fasilitator, dan publik servis bagi pengelolaan wakaf.

 

Berdasarkan uraian di atas, dengan telah diaturnya wakaf dalam bentuk undang-undang di Indonesia, sektor wakaf dapat lebih difungsikan ke arah peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi umat. Dari sini nampak jelas bagaimana kepentingan kesejahteraan sosial sangat kuat mempengaruhi proses regulasi di bidang perwakafan. Semangat pemberdayaan potensi wakaf secara produktif dan profesional yang dikumadangkan undang-undang wakaf adalah untuk kepentingan kesejahteraan umat manusia di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, maupun bidang sosial keagamaan lainnya. Seruan ini mendorong munculnya lembaga pengelola wakaf uang  yang dilakukan oleh perusahaan investasi, bank syari’ah, dan  lembaga investasi syari’ah lainnya, seperti yang dilakukan oleh Tabung Wakaf Indonesia Dompet Dhuafa Republika.

 

2.       Dasar Hukum Wakaf. Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Dan saat ini Indonesia telah memiliki Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004. Dan saat ini di Indonesia sudah ada lembaga khusus yang mengatur tentang wakaf, yaitu Badan Wakaf Indonesia sebagai bentuk dari pelaksanaan undang undang dimaksud.

 

Wakaf berdasarkan Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 tahun 2004 tentang Wakaf didefinisikan sebagai perbuatan hukum wakif (pewakaf) untuk memisahkan dan/atau menyerahan sebahagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan atau untuk jangka tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Sedangkan berdasarkan ketentuan dalam AlQuran, aturan tentang wakaf tidak secara spesifik menerangkan tentang konsep wakaf secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat AlQuran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain: “Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (surat Al Baqarah (2) ayat  267). Lalu surat Ali Imran (3) ayat 92 sebagaimana berikut ini: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.”  

 

Dan juga berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 261 berikut ini: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan serta pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.

 

Selain daripada itu, terdapat sebuah hadits yang menjadi dasar dan dalil wakaf yaitu hadits yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab  ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi  menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya. Hadits tentang hal ini secara lengkap adalah; “Umar memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya?

 

Sabda Rasulullah: “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.”

 

Hadits lain yang menjelaskan wakaf adalah hadits yang diceritakan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah; “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya,  dan anak soleh yang mendoakannya.” Selain dasar dari AlQuran dan juga hadits di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimim sejak masa awal Islam hingga sekarang.

 

Sejak itu amalan wakaf berkembang sehingga menjadi tulang belakang kepada menjadi teras kepada pembangunan umat Islam terdahulu dan berkekalan sehingga ke hari ini. Banyak institusi pendidikan seperti Universitas Cordova di Andalus, Universitas Al Azhar al-Syarif di Mesir, Madrasah Nizhamiyah di Baghdad, Universitas Al Qarawiyyin di Fez, Maghribi,  Al-Jamiah al-Islamiyyah di Madinah, Pondok Pesantren Darunnajah di Indonesia, Madrasah Al-Juneid di Singapura dan banyak institusi pondok dan sekolah agama di Malaysia adalah berkembang berasaskan harta wakaf.

 

Universitas Al-Azhar di Mesir contohnya telah membangun dan terus maju hasil sumbangan harta wakaf. Sehingga kini pembiayaan Univesitas Al-Azhar yang dibina sejak 1000 tahun lalu telah memberikan khidmat percuma pengajian kepada ribuan pelajar Islam dari seluruh dunia. Merekalah yang menjadi duta Al-Azhar untuk membimbing umat Islam kearah penghayatan Islam di seluruh pelusuk dunia

 

3.       Pengertian Wakaf. Kata “Wakaf” atau”Wact” berasal dari bahasa Arab “Waqafa”. Asal kata “Wakafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam” di tempat” atau tetap berdiri”. Kata “Wakafa-Yaqufu-Waqfan” sama artinya “Habas-Yahbisu-Tahbisan”. Kata al-Waqf dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian. Artinya : Menahan, menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindahmilikkan. Dan para ahli fiqih berbeda dalam mendefinisikan wakaf menurut istilah, sehingga mereka berbeda dalam memandang hakikat wakaf itu sendiri. Berbagai pandangan tentang wakaf menurut istilah sebagai berikut :

 

a.        Mahzab Hanafi. Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap di wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Karena itu mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah : “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan datang”.

 

b.       Mazhaf Maliki. Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakat tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. Perbuatan si wakif menjadi menfaat hartanya untuk digunakan oleh mustahiq (penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentu upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang.

 

Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemelikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu memberikan manfaat benda secara wajar sedang itu tetap menjadi milik si wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).

 

c.        Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal. Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti : perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika wakif wakaf, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh warisnya. Wakif menyalurkan menfaat harta yang diwakafkannnya kepada mauquf’alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka Qadli berhak memaksa agar memberikannya kepada mauquf’alaih. Karena itu mazhab Syafi’i mendefinisikan wakaf adalah : “tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial)”.

 

d.       Mazhab Lain. Mazhab Lain sama dengan mazhab ketiga, namun berbeda dari segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu menjadi milik mauquf’alaih(yang diberi wakaf), meskipun mauquf’alaih tidak berhak melakukan suatu tindakan atas benda wakaf tersebut, baik menjual atau menghibahkannya.

 

Istilah wakaf adalah berkait dengan infaq, zakat dan sedekah. Ia adalah termasuk dalam mafhum infak yang disebut oleh Allah sebanyak 60 kali dalam AlQuran. Ketiga-tiga perkara ini bermaksud memindahkan sebahagian harta kekayaan daripada segolongan umat Islam kepada mereka yang memerlukan. Namun, berbanding zakat yang diwajibkan ke atas umat Islam yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan sedeqah yang menjadi sunat yang umum ke atas umat Islam; wakaf lebih bersifat pelengkap (complement) kepada kedua-dua perkara tersebut. Disamping itu, apa yang disumbangkan melalui zakat adalah tidak kekal dimana sumbangannya akan digunakan dalam bentuk hangus (habis), sedangkan harta wakaf adalah berbentuk produktif yaitu kekal dan boleh dipergunakan dalam pelbagai bentuk untuk faedah masa depan sepanjang sesuai dengan syariat dan undang undang yang berlaku.

 

4.       Unsur-Unsur Wakaf. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf terdapap unsur wakaf ada enam, yaitu: (1) Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya;(2) Nazhir  adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukkannya; (3) Harta Benda Wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif; (4) Peruntukan; (5) Ikrar Wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya yang akan dituangkan dalam akta ikrar wakaf yang dibuat oleh pejabat pembuat akta ikrar wakaf dan; (6) jangka waktu wakaf.

 

Wakif atau pihak yang mewakafkan harta bendanya bisa perseorangan, badan hukum, maupun organisasi. Jika wakif perseorangan, hanya dapat melakukan wakaf apabila telah memenuhi persyaratan; (a) dewasa; (b) berakal sehat; (c) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan pemilik sah dari harta benda wakaf.

 

Bagi wakif organisasi, hanya dapat melakukan wakaf apabila harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan. Sedangkan bagi wakif badan hukum hanya dapat melalukan wakaf apabila memenuh ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.

 

5.       Objek Objek Wakaf. Harta benda yang dapat diwakafkan terdiri dari harta tidak bergerak yang terdiri dari: (a) hak atas tanah; (b) bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana point a diatas; (c) tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah; (d) hak milik atas satuan rumah susun; (e) benda tidak bergerak lain yang sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang undangan yang berlaku. Sedangkan harta benda bergerak yang dapat diwakafkafkan adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsu, meliputi:  (a) uang; (b) logam mulia; (c) surat berharga; (d) kendaraan; (e) hak atas kekayaan intelektual; (f) hak sewa; dan (g) benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang undangan yang berlaku.

 

Dan dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi: (a) sarana dan kegiatan ibadah; (b) sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; (c) bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa; (d)kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau; (e) kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.

 

Selain daripada itu, harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: (a) dijadikan jaminan; (b) disita; (c) dihibahkan; (d) dijual; (e) diwariskan; (f) ditukar; atau (g) dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Selain daripada itu, Abdul Azis Dahlan dalam bukunya “Ensiklopedia Hukum Islam” (2006:1906)  membagi wakaf kepada dua bentuk:

 

a.    Wakaf khairi. Wakaf ini sejak semula diperuntukkan bagi kemaslahatan atau kepentingan umum, sekalipun dalam jangka waktu tertentu, seperti mewakafkan tanah untuk membangun masjid, sekolah, dan Rumah Sakit.

b.    Wakaf ahli atau zurri. Wakaf ini sejak semula ditentukan kepada pribadi tertentu atau sejumlah orang tertentu sekalipun pada akhirnya untuk kemaslahatan atau kepentingan umum, karena apabila penerima wakaf telah wafat maka harta wakaf itu tidak boleh diwarisi oleh ahli waris yang menerima wakaf.

 

6.       Keistimewaan Wakaf. Bila dibandingkan dengan sedekah dan hibah, wakaf memiliki banyak keistimewaan, kelebihan dan keutamaan. Selain memiliki semua keutamaan sebagaimana sedekah dan hibah, wakaf memiliki keutamaan khusus dibandingkan dengan sedekah dan hibah, sebagaimana dikemukakan oleh Badan Wakaf Indonesia berikut ini:

 

a.        Bagi orang yang berwakaf (wakif), pahalanya akan terus mengalir sekalipun ia sudah meninggal dunia. Rasulullah SAW bersabda: “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga (macam), yaitu: sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (Hadits Riwayat Muslim). Dibandingkan sedekah dan hibah, manfaat waqaf jauh lebih panjang dan tidak terputus hingga generasi mendatang, tanpa mengurangi hak atau merugikan generasi sebelumnya, serta pahalanya yang terus mengalir dan berlipat, walau wakif (orang yang mewakafkan) telah meninggal dunia.

 

b.       Harta benda yang diwakafkan tetap utuh terpelihara, terjamin kelangsungannya dan tidak bisa hilang atau berpindah tangan. Karena secara prinsip barang wakaf tidak boleh ditasarrufkan (dijual, dihibahkan, atau diwariskan).

 

c.        Manfaatnya terus dirasakan oleh orang banyak, bahkan lintas generasi, karena kepemilikan harta wakaf tidak bisa dipindahkan. Materi yang diambil dan dinikmati oleh penerima wakaf adalah manfaat dari harta wakaf saja, sementara harta yang diwakafkan tetap utuh dan langgeng.

 

d.       Setiap saat wakaf menebarkan kebaikan dan meringankan beban orang-orang yang membutuhkan bantuan seperti fakir miskin, anak yatim, janda, orang yang tidak punya pekerjaan, para pejuang di jalan Allah, pengajar, penuntut ilmu, dan lain sebagainya.

 

e.        Wakaf akan terus memajukan dakwah, menghidupkan lembaga sosial keagamaan, mengembangkan potensi umat, menyejahterakan umat, memberantas kebodohan, memutus mata rantai kemiskinan, memupus kesenjangan sosial.

 

f.         Balasannya adalah syurga. “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa (yaitu) orang -orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan kemarahannya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (surat  Ali Imran (3) ayat 133-134).

 

g.        Dilipatgandakan hingga 700 kali lipat. “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir tumbuh seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki, Dan Allah Maha Kuasa (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (surat Al-Baqarah (2) ayat 261).

 

Selain daripada itu, harta wakaf dapat menjadi pembangkit pembangunan ekonomi umat Islam karena wakaf memiliki beberapa ciri berikut:

 

a.        Keunikan wakaf pada konsep pemisahan diantara hak pemilikan dan faedah penggunaannya. Adanya wakaf harta menyebabkan kuasa kepemilikan harta akan terhapus sehingga wakaf secara prinsipnya adalah satu kontrak yang kekal (tidak bisa dibatalkan) dan pewakaf tidak boleh lagi memiliki harta itu dengan apapaun juga, kecuali sebagai pengurus harta wakaf. Secara majasinya harta wakaf adalah menjadi milik Allah SWT.

b.       Wakaf adalah sedekah berketerusan yaitu bukan saja membolehkan wakif mendapat pahala berketerusan, tetapi penerima mendapat faedah berketerusan.

 

Akhirnya penggunaan harta wakaf adalah untuk kebajikan dan juga perkara-perkara yang diharuskan oleh syariat. Kondisi ini diperkuat dengan adanya pernyataan wakif saat mewakafkan, yaitu “Saya wakafkan harta ini karena Allah” sehingga  memudahkan nadzir di dalam mengembangkan harta wakaf sepanjang tidak melanggar syariat dan undang undang yang berlaku.

 

7.       Contoh Wakaf Produktif dan Pengelolaannya. Wakaf produktif adalah harta yang diwakafkan untuk dikelola secara produktif, baik di bidang jasa, pertanian, atau perdagangan. Hasil dari pengelolaannya kemudian disalurkan kepada masyarakat sesuai dengan tujuan wakaf. Lalu apa saja contoh wakaf produktif yang bisa diterapkan? Wakaf produktif bisa berupa banyak hal, mulai dari yang berkaitan dengan pangan, properti, ternak, hingga saham. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dibahas beberapa jenis wakaf produktif beserta contohnya sebagaimana dikemukakan oleh “berbagilistrik.org” berikut ini:

 

a.        Wakaf Pangan. Wakaf pangan berarti harta benda yang diwakafkan nantinya akan dikelola untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, contohnya adalah sebagai berikut:

 

1)       Wakaf Lahan Pertanian. Benda yang diwakafkan bisa berupa sawah atau tanah perkebunan. Lahan pertanian ini harus dikelola secara baik dan produktif untuk menghasilkan produk pertanian yang berkualitas dan bisa dimanfaatkan oleh banyak orang.

 

2)       Wakaf Hewan Ternak. Wakaf dalam hal peternakan dilakukan dengan cara pemeliharaan dan pembiakan hewan ternak. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat berupa daging dan hasil ternak lainnya.

 

3)       Wakaf Sarana Air. Sama halnya dengan makanan, air adalah kebutuhan pokok masyarakat. Sayangnya, tidak semua daerah memiliki sumber air bersih untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Karena itu perlu adanya wakaf air, yaitu dengan cara membangun sumber air berupa sumur di daerah-daerah yang memang kesulitan mendapatkan air bersih.

 

b.       Wakaf Ekonomi. Wakaf ekonomi adalah wakaf yang dilakukan untuk memberikan manfaat di bidang sosial ekonomi sekaligus bertujuan memajukan perekonomian masyarakat, contohnya sebagai berikut:

 

1)       Wakaf Retail. Wakaf retail merupakan wakaf yang pengelolaannya fokus di bidang bisnis dan perdagangan. Dengan demikian, hasil dan keuntungan dari bisnis tersebut bisa bermanfaat bagi masyarakat.

 

2)       Wakaf Saham. Wakaf saham masih tergolong baru di Indonesia. Wakaf jenis ini memungkinkan suatu perusahaan untuk mewakafkan sebagian sahamnya dan diberikan kepada nazhir atau lembaga pengelola wakaf. Saham ini kemudian akan dikelola secara optimal sehingga hasilnya bisa dirasakan langsung oleh mauquf ‘alaih (penerima wakaf)

 

c.        Wakaf Pendidikan. Wakaf pendidikan dilakukan dengan cara mengelola dana wakaf untuk kepentingan pendidikan. Seperti yang diketahui, pendidikan adalah hal yang sangat penting, karena itu melakukan wakaf dalam hal pendidikan berarti ikut berkontribusi memberikan manfaat yang sangat besar bagi masa depan.

 

Wakaf jenis ini bisa dilakukan dengan cara menyalurkan dana wakaf untuk pembangunan sarana pendidikan, khususnya di daerah-daerah terpencil atau lokasi yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Tujuannya sudah jelas, yaitu memberikan pendidikan layak bagi semua anak sekaligus mencerdaskan generasi penerus bangsa.Sarana pendidikan tak hanya sebatas tempat belajar atau bangunan sekolah, tapi juga hal-hal lain yang ikut menunjang kegiatan belajar dan mengajar, seperti bangku, alat tulis, dan buku pelajaran. Selain sekolah formal, pembangunan tempat ibadah juga perlu dilakukan untuk memberikan pendidikan agama yang baik bagi semua orang.

 

d.       Wakaf Kesehatan. Wakaf kesehatan berarti menyalurkan dan mengelola dana wakaf untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal kesehatan. Penerapan wakaf ini biasanya dilakukan dengan cara membangun rumah sakit atau klinik, termasuk penyediaan alat-alat kesehatan seperti obat-obatan dan ambulans. Sarana kesehatan seperti rumah sakit juga bisa dikelola secara komersial yang keuntungannya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Misalnya, keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan rumah sakit nantinya digunakan untuk penyuluhan kesehatan gratis atau untuk membiayai pengobatan orang-orang yang kurang mampu.

 

Dari pembahasan di atas, bisa diketahui bahwa ada banyak contoh wakaf produktif yang bisa dilakukan oleh semua orang. Apapun harta benda yang Anda miliki, berwakaf adalah pilihan yang tepat untuk menggunakannya. Selain bermanfaat bagi umat, Anda sendiri pastinya akan mendapatkan ganjaran pahala yang sangat besar.

 

Untuk melengkapi dan menambah wawasan serta pengetahuan tentang zakat, infaq, sedekah dan juga wakaf yang sudah kami kemukakan di atas. Berikut ini akan kami kemukakan tentang hibah dan juga tentang derma yang ditinjau dari sisi agama Yahudi, agama Buddha, agama Kristen dan agama Hindu. Hal ini kami kemukakan agar diri kita selaku khalifah  memiliki bahan pembanding saat menunaikan apa apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dan bisa berbuat lebih baik dari waktu ke waktu.

 

D.    HIBAH.

 

Sekarang mari kita bahas tentang hibah. Hibah secara sederhana dapat diartikan sebagai hadiah.Namun secara bahasa berarti pemberian secara sukarela kepada orang lain yang diberikan saat pemilik masih hidup dan bukan saat sudah meninggal. Oleh karena itu, prinsip hibah sangat berbeda dengan prinsip warisan. Selain itu, hadiah diasumsikan sebagai pemberian yang tanpa memandang hubungan pernikahan ataupun pertalian darah.

 

1.       Pengertian hibah dalam beberapa sudut pandang. Indonesia sebagai negara muslim terbesar kerap mendasari norma tertentu dengan hukum Islam tertentu. Tidak heran jika terdapat beberapa bentuk kultur yang mirip yang terkesan islami. Lalu apa itu hibah menurut Islam? Kata hibah berasal dari bahasa Arab  “wahaba” yang berarti lewat dari satu tangan ke tangan yang lain dan juga yang memiliki arti pemberian yang dilakukan seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pamrih atau imbalan dalam bentuk apa pun. Pemberian ini dilakukan saat seseorang masih hidup dan wujudnya dapat berupa harta secara fisik atau benda-benda lainnya yang tidak tergolong sebagai harta atau benda berharga.

 

Pada dasarnya, Islam memiliki pemahaman yang serupa dengan asumsi masyarakat umum selama ini, yaitu pengertian hibah adalah barang berharga yang dapat diberikan kepada orang lain yang mana bukan saudara kandung atau suami/istri. Pihak penerima tidak diwajibkan memberikan imbalan jasa atas hadiah yang diterima sehingga tidak ada ketetapan apa pun yang mengikat setelah harta atau barang berharga diserah terima.Dalam pandangan Islam, hibah adalah perbuatan untuk mendekatkan diri kepada sesama umat sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW: “Saling memberilah kalian, niscaya kalian saling mencintai.”[Hadits Riwayat Bukhari)

 

2.       Hukum negara terkait Hibah. Jika dilihat dari sudut pandang hukum bernegara, arti hibah dapat dipermasalahkan jika wujud pemberiannya berupa uang dengan jumlah yang banyak atau barang yang sangat bernilai. Dalam hal itu, maka pengertian prosedur hibah dan pemberiannya harus disertai dengan bukti-bukti ketetapan hukum resmi secara perdata agar tidak digugat oleh pihak ketiga, termasuk oleh orang-orang yang termasuk ahli waris di kemudian hari. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pasal 1666 dan pasal 1667 dijelaskan bahwa hibah atau pemberian kepada orang lain secara cuma-cuma tidak dapat ditarik kembali, baik berupa harta bergerak maupun harta tidak bergerak saat pemberi masih hidup.

 

3.       Rukun hibah berdasarkan hukum Islam. Pada sisi pemahaman Islam, dikenal dengan istilah rukun atau syarat hibah, yang mana ketentuannya sebagai berikut.

 

a.        Kehadiran pihak pemberi.

b.       Kehadiran pihak penerima.

c.        Barang bersangkutan terlihat dengan jelas, yaitu dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak.

d.       Serah terima barang disertai akad antara pemberi dan penerima secara nyata dan ikhlas. 

 

4.       Ketentuan hibah di mata hukum negara. Sebagaimana negara memiliki aturan dalam pengertian dan pemberian hibah, berikut adalah ketentuan yang harus dipenuhi perihal pemberlakuannya menurut hukum negara.

 

a.        Harta berupa tanah dan bangunan harus disertai dengan akta dari pejabat pembuat akta tanah (PPAT), yaitu berupa akta hibah.

b.       Harta tanah tidak dikenai PPh jika diberikan dari orang tua kepada anak kandung.

c.        Harta tanah dikenai PPh sebesar 2,5% dari harga tanah berdasarkan nilai pasar (jika dilakukan sesama saudara kandung).

d.       Harta berupa harta atau barang bergerak harus dilakukan dengan akta notaris.

e.        Harta adalah objek yang diberikan saat pemberi masih hidup.

f.         Harta yang diberikan saat pemberi sudah meninggal dunia disebut wasiat. Wasiat dapat dibuktikan dengan surat yang diakui secara perdata.

g.        Harta harus diberikan pada penerima yang sudah ada atau sudah lahir, tidak bisa diberikan kepada penerima yang belum lahir.

h.       Pemberian harta bersifat final dan tidak bisa ditarik kembali.

 

5.       Pajak atas harta hibah. Lebih jauh lagi, negara juga memberlakukan pembebanan pajak atas orang atau badan yang memberikan atau menerima, yaitu:

 

a.        Orang pribadi yang menerima harta bersangkutan dari saudara kandung.

b.       Orang pribadi yang memiliki kekayaan lebih dari Rp500 juta.

c.        Orang pribadi yang memiliki hasil penjualan lebih dari Rp2,5 miliar per tahun.

d.       Badan keagamaan yang bertujuan mencari keuntungan.

e.        Badan pendidikan yang mencari keuntungan.

6.       Perbedaan antara pengertian hibah dan wasiat. Masih terdapat salah kaprah antara pengertian dari hibah dan juga wasiat. Untuk itu kamu harus bisa membedakannya dengan wasiat. Pada dasarnya, hibah diberikan ketika pemberi masih hidup, sedangkan wasiat diberikan pada saat pemberi sudah meninggal dunia dalam bentuk harta warisan. Seperti halnya ketentuan dalam wasiat, jumlah hibah yang baik adalah tidak melebihi sepertiga dari total harta yang dimiliki.Hal tersebut dimaksudkan agar ahli waris tetap mendapatkan haknya dan bisa hidup layak sesuai dengan standarnya sebelum pewaris meninggal dunia.

 

Itulah hal-hal seputar pengertian hibah dari sisi pemahaman hukum perdata dan hukum Islam, yang mana keduanya tidak melarang seseorang memberikan suatu barang berharga kepada orang lain asalkan didasari atas kesukarelaan atau keikhlasan. 

 

E.      DERMA DITINJAU DARI SISI AGAMA YAHUDI, BUDDHA, KRISTEN DAN HINDU.

 

Derma adalah pemberian kepada orang lain atas dasar kemurahan hati atau niat untuk berbuat baik. Derma dapat berwujud barang maupun jasa (misalnya pendidikan) yang diberikan secara cuma-cuma. Berderma diajarkan oleh sejumlah agama dan adat-istiadat. Kata "derma" dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Sansekerta, dharma, yang berarti kepatutan, kebajikan, laku yang benar, atau amal saleh. Istilah lain untuk derma adalah "sedekah, dari bahasa Arab, adaqah, yang berarti segala macam perbuatan baik terhadap sesama yang dilakukan secara tulus ikhlas.

 

Berikut ini akan kami kemukakan tinjauan umum tentang derma yang ditinjau dari berbagai agama sebagaimana dikemukakan dalama “Wikipedia” berikut ini:  

 

1.       Agama Yahudi. Dalam Agama Yahudi, tzedakah (bahasa Ibrani), Sedekah secara harfiah berarti kebenaran, tetapi lazim pula diartikan sebagai kedermawanan. mengacu pada kewajiban pemeluk agama Yahudi untuk bertindak benar dan adil.Pemberian tzedakah sekarang ini dianggap sebagai kelanjutan dari praktik ma’ser ani atau penyisihan sepersepuluh dari hasil bumi bagi fakir miskin, serta praktik-praktik kedermawanan lain yang diamanatkan dalam Alkitab, seperti mengizinkan fakir miskin menuai hasil bumi yang tumbuh di sudut-sudut ladang, dan membiarkan siapa saja menikmati hasil bumi yang tumbuh selama Smitah (tahun sabat). Tzedakah, disertai doa dan pertobatan, dianggap sebagai penawar bagi ganjaran perbuatan buruk.

 

Dalam agama Yahudi, tzedakah (kedermawanan) dipandang sebagai salah satu perbuatan termulia yang dapat dilakukan oleh manusia.Para petani Yahudi dilarang memanen hasil bumi yang tumbuh di sudut-sudut ladangnya maupun memungut panenan yang terjatuh, sehingga dapat dimanfaatkan oleh fakir miskin.

 

Rohaniwan besar Yahudi, Musa bin Maimun, pernah menyusun sebuah daftar tindakan kedermawanan. Menurut Musa bin Maimun, tindakan kedermawanan yang paling benar adalah memampukan si penerima menjadi pribadi yang mandiri sehingga mampu bertindak dermawan terhadap orang lain. Tindakan-tindakan kedermawanan dalam daftar yang disusunnya adalah sebagai berikut: (a) Memandirikan si penerima; (b) Memberi bilamana si pemberi dan si penerima tidak saling kenal; (c) Memberi bilamana si pemberi mengenal si penerima, tetapi si penerima tidak mengenal si pemberi; (d) Memberi bilamana si pemberi tidak mengenal si penerima, tetapi si penerima mengenal si pemberi; (e) Memberi sebelum diminta; (f) Memberi sesudah diminta; (g) Memberi kurang dari yang mampu diberikan, tetapi dilakukan dengan rela; (h)Memberi dengan bersungut-sungut.

 

2.       Agama Buddha. Dalam agama Buddha, derma merupakan wujud penghormatan seorang grihapati (bahasa Pali: gahapati, tuan rumah, wali rumah, umat awam) kepada seorang biksu (bahasa Pali: bhikkhu, biarawan), biksuni (bahasa Pali: bhikkhuni, biarawati), arya (bahasa Pali: ariya, orang mulia, orang suci), atau satwa (bahasa Pali: satta, makhluk) lainnya.

 

Derma dalam agama Buddha bukanlah tindakan kedermawanan atau karya amal sebagaimana yang dibayangkan oleh para mufasir Barat, melainkan lebih merupakan suatu keterkaitan simbolis dengan alam gaib, dan berfungsi sebagai ungkapan kerendahan hati dan rasa hormat di tengah-tengah masyarakat sekuler.Tindakan bederma adalah sarana penghubung manusia dengan biksu atau biksuni beserta hal-hal yang diwakili oleh biksu atau biksuni tersebut, sebagaimana sabda Sang Buddha: yang berumah (grihapati) dan yang tak berumah (biksu-biksuni) saling bergantung satu sama lain kedua-duanya mencapai Darma sejati....

 

Dalam agama Buddha mazhab Theravada, biksu dan biksuni berkeliling setiap hari untuk mengumpulkan derma (pindacara) berupa persembahan makanan (piṇḍapāta). Tindakan ini sering kali dianggap sebagai pembukaan kesempatan bagi umat awam untuk menciptakan pahala kebajikan (puya). Uang tidak dapat diterima oleh seorang biksu mazhab Theravada, baik yang diberikan sebagai pengganti maupun bersama makanan, karena menurut aturan pelatihan pratimoksa (bahasa Pali: patimokkha) penerimaan uang merupakan suatu pelanggaran yang patut diganjari penyitaan dan pengakuan bersalah.

 

Di negara-negara penganut mazhab Mahayana, praktik pindacara sudah nyaris punah. Di Tiongkok, Korea, dan Jepang, budaya masyarakat setempat menolak gagasan memberi makanan kepada para biksu 'peminta-minta', dan tidak ada pula tradisi menciptakan pahala kebajikan melalui tindakan bederma kepada para biksu yang mempraktikkan pindacara. Selepas kurun waktu penindasan, biara-biara dibangun di daerah-daerah pegunungan yang terpencil sehingga jarak yang jauh antara biara dan kota-kota terdekat memustahilkan praktik pindacara. Di Jepang, praktik takuhatsu yang dilakukan setiap minggu atau setiap bulan menggantikan praktik pindacara.

 

Di negara-negara pegunungan Himalaya, jumlah biksu yang sangat banyak membuat pelaksanaan pindacara berpotensi membebani keluarga-keluarga di sekitar biara. Persaingan dengan agama-agama lain dalam meminta dukungan masyarakat juga membuat praktik pindacara menjadi sukar dan bahkan membahayakan keselamatan jiwa; biksu-biksu pertama di Kerajaan Silla di Korea konon dipukuli orang karena jumlah mereka yang sangat sedikit kala itu.

 

Dalam agama Buddha, baik tindakan "berderma" maupun tindakan "memberi" disebut "dana". Tindakan memberi adalah salah satu dari tiga jalan pengamalan agama yang dirumuskan oleh Sang Buddha bagi umat awam, yakni dana, sila, dan bawana.

 

Dalam agama Buddha terdapat suatu paradoks bahwasanya semakin banyak orang memberi (dan semakin banyak orang memberi tanpa pamrih) maka semakin makmur (dalam arti luas) pula orang itu kelak. Melalui tindakan memberi, orang menghancurkan nafsu serakah yang dapat membuat hidupnya semakin menderita. Kedermawanan juga ditunjukkan terhadap makhluk-makhluk lain, baik sebagai sarana menciptakan pahala kebajikan maupun untuk membantu si penerima.

 

Dalam tradisi mazhab Mahayana, meskipun Triratna tempat berlindung merupakan dasar dari pahala kebajikan yang terbesar, dengan memandang mahkluk lain sebagai pihak yang memiliki fitrah Buddha dan memberi persembahan bagi ujud murni Buddha untuk berdiam di dalamnya akan sama berfaedahnya. Kedermawanan terhadap makhluk-makhluk lain sangat ditekankan dalam mazhab Mahayana sebagai salah satu dari kesempurnaan (paramita) sebagaimana yang termaktub dalam risalah Lama Tsongkhapa yang berjudul 'Pokok-Pokok Ringkas dari Jalan Bertahap' (bahasa Tibet: lam-rim bsdus-don):

 

Kerelaan yang bulat untuk memberi adalah permata pengabul keinginan yang mampu untuk mengabulkan harapan-harapan dari makhluk-makhluk yang sedang mengembara. Ialah senjata tertajam untuk meretas simpul kekikiran. Ialah penuntun menuju perilaku bodisatwa (makhluk yang tercerahkan) yang memperbesar rasa percaya diri dan keberanian, dan merupakan landasan bagi pemakluman ketenaran dan kehormatanmu ke seluruh jagat. Sadar akan hal ini, orang yang bijaksana secara sehat menggantungkan hidupnya pada jalan mulia yakni (senantiasa dengan rela hati) sepenuhnya menyerahkan raga, harta benda, dan kesanggupan-kesanggupan baik mereka.Para lama yang senantiasa waspada telah menjalani laku yang demikian. Jikalau engkau juga hendak mencari pembebasan, alangkah baiknya jika engkau menempa dirimu dengan laku yang sama.

 

Dalam agama Buddha, tindakan berderma adalah permulaan dari perjalanan mencapai nirwana (bahasa Pali: nibbana). Pada praktiknya, orang dapat memberi apa saja dengan maupun tanpa disertai niat mencapai nirwana. Tindakan ini dapat menuntun orang mencapai keimanan (bahasaPali: saddha), yakni salah satu kuasa utama (bahasa Pali: bala) yang harus dibangkitkan orang dalam dirinya bagi Buddha, Darma dan Sangga.Alasan-alasan yang mendasari tindakan bederma memainkan peranan yang penting dalam pengembangan keunggulan-keunggulan rohani. Kitab-kitab sutra (bahasa Pali: sutta) memuat berbagai macam alasan yang mendorong orang untuk bersikap dermawan.

 

Sebagai contoh, Angguttara Nikaya (A.iv,236) memerinci delapan alasan sebagai berikut: (1) Asajja danam deti: memberi untuk menghina (memberi agar si penerima merasa terhina, atau memberi dengan maksud menghina si penerima); (2) Bhaya danam deti: memberi karena takut bahaya; (3) Adasi me ti danam deti: memberi sebagai balasan pemberian yang pernah diterima di masa lampau; (4) Dassati me ti danam deti: memberi dengan harapan dibalas dengan pemberian serupa di kemudian hari; (5) Sadhu danan ti danam deti: memberi karena tindakan memberi dianggap baik; (6) Aham pacami, ime ne pacanti, na arahami pacanto apacantanam adatun ti danam deti: "Aku memasak, mereka tidak memasak. Tidaklah pantas jika aku yang memasak ini tidak memberi kepada mereka yang tidak memasak" (memberi karena rasa peduli); (7) Imam me danam dadato kalyano kittisaddo abbhuggacchati ti danam deti: memberi agar tampak baik di mata orang lain; (8) Cittalankara-cittaparikkarattham danam deti: memberi demi menghias dan memperindah akal budi.

 

3.       Agama Kristen. Berderma adalah adalah amal kasih terhadap orang-orang yang kurang beruntung. Pada masa hidup rasul rasul Yesus, umat Kristen diajari bahwa berderma adalah ungkapan cinta kasih yang pertama-pertama diungkapkan oleh Allah melalui pengorbanan diri Yesus selaku suatu amal kasih demi keselamatan umat beriman. Persembahan adalah bagian dari perayaan Misa Katolik Roma, ibadat Ekaristi Anglikan, dan kebaktian Lutheran manakala derma dikumpulkan.

 

 Sejumlah denominasi Kristen Protestan, seperti gereja Baptis atau gereja Metodis, juga melakukan pengumpulan derma, namun lebih sering menyebutnya sebagai pengumpulan "persepuluhan dan persembahan". Sejumlah denominasi Kristen mempraktikkan pengumpulan derma khusus secara teratur yang disebut persembahan kasih demi membantu fakir miskin, orang-orang yang tertimpa kemalangan atau bencana seperti kebakaran rumah atau biaya pengobatan yang besar. Menurut tradisi, para diakon bertanggung jawab mendistribusikan dana yang terkumpul kepada para janda, yatim piatu, dan pihak-pihak lain yang memerlukan bantuan. Banyak umat Kristen yang mendukung karya amal yang dilakukan oleh berbagai organisasi amal, meskipun tidak semuanya berkaitan dengan denominasi Kristen tertentu. Banyak lembaga pendidikan dan pengobatan Amerika yang didirikan oleh paguyuban-paguyuban Kristen melalui pengumpulan derma.

 

Di Gereja Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Gereja Katolik Timur,  pengumpulan derma dan sumbangan persepuluhan tidak disatukan dengan upacara persembahan dalam ibadat. Meskipun demikian, meletakkan piring persembahan di narteks gereja atau mengedarkannya selama ibadat berlangsung tidak jarang pula dilakukan. Dalam teologi Ortodoks, bederma merupakan bagian penting dari hidup rohani, dan berpuasa selayaknya selalu dilakukan bersama-sama dengan berdoa dan bederma. Bederma atas nama orang yang sudah wafat juga sering kali dilakukan bersama-sama dengan pelaksanaan doa bagi orang orang yang telah wafa. Orang-orang yang tidak mampu bederma dengan uang boleh bederma dengan cara lain, misalnya dengan berdoa syafaat dan tindakan tindakan welas asih..

 

Sebagian besar denominasi Kristen melakukan pengumpulan "persepuluhan dan juga  persembahan" untuk mendanai misi, belanja, pelayanan, dan penyantunan fakir miskin yang dilakukan oleh denominasi yang bersangkutan sebagai salah satu tindakan kedermawanan Kristiani yang penting dan dipersatukan dengan doa seluruh jemaat. Di beberapa Gereja, "piring persembahan" atau "keranjang persembahan" diletakkan di atas altar untuk menunjukkan bahwa persembahan itu ditujukan kepada Allah, dan merupakan tanda ikatan kasih Kristiani. Selain itu, tindakan-tindakan kedermawanan yang dilakukan secara pribadi, yang hanya dianggap mulia jika tidak dilakukan demi mendapatkan pujian orang, dipandang sebagai salah satu kewajiban seorang pemeluk agama Kristen.

 

4.       Agama Hindu. Dāna (bahasa Sanskerta: दान) adalah gagasan kuno mengenai tindakan berderma dari zaman Weda dalam agama Hindu. Kata yang digunakan dengan makna "derma" dalam kesusastraan Weda adalah bhiksya (भिक्षा).Pembahasan tertua mengenai dāna dalam Weda termaktub dalam Regweda, dan berisi penjabaran alasan-alasan untuk berbuat baik dengan cara berderma. Para Dewa tak menggariskan kelaparan menjadi sebab ajal kita: bahkan orang yang makan kenyang pun menemui ajal dengan berbagai cara, Harta orang yang rela melepaskannya tidaklah terbuang percuma, tetapi orang yang tidak mau memberi tak akan menemukan ketentraman hati,
Orang yang menyimpan makanan di lumbung, yang bilamana orang miskin dalam kesukaran datang meminta makanan, tega membiarkan orang miskin itu kelaparan, bila tua kelak, tak ada orang yang menentramkan hatinya.Berlimpahlah rezeki orang yang memberi makan peminta-minta makanan, dan menyantuni orang yang lemah,Kejayaan menyertainya dalam gemuruh sorak pertempuran. Ia mendapatkan sahabat di kala susah kelak, Tanpa sahabatlah orang yang tak memberi apa-apa bilamana sahabat dan handai tolan datang meminta makanan.

 

Hendaklah orang kaya mencukupi orang miskin yang datang meminta-minta, dan mengarahkan pandangannya ke jalan yang lebih jauh ke depan,Kekayaan sekarang jatuh ke tangan seseorang, lalu ke tangan orang lain, terus-menerus berputar laksana roda-roda kereta, Bodohlah orang yang mendapatkan makanan dengan kerja yang tak berfaedah: sesungguhnya kukatakan, makanan itu adalah biang kehancurannya, Ia tidak memberi makan sahabat tepercaya, tak ada orang yang mengasihinya. Bersalah sungguh orang yang makan tanpa ditemani orang lain.

 

Kitab-kitab Upanisad terdahulu, yakni yang disusun sebelum 500 SM, juga membahas mengenai kemuliaan dari berderma. Sebagai contoh, dalam seloka 5.2.3 dalam Brihadaranyakopanisad mengajarkan bahwa tiga ciri dari orang yang baik dan maju adalah pengendalian diri (damah), welas asih terhadap segala makhluk hidup (daya), dan berderma (dāna). Demikian pula parwa III dari Candogyopanisad mengajarkan bahwa kehidupan yang berbudi pekerti memerlukan tapa atau semadi, atau bertarak, dana (berderma), arjawa (tulus, tidak munafik), ahimsa (tidak melakukan kekerasan, tidak melukai makhluk lain) dan satyawacana (jujur).

 

Bagawadgita menggambarkan bentuk-bentuk yang benar dan salah dari dāna dalam seloka 17.20 sampai seloka 17.22.Dalam adyaya (bab) 91 dari Adiwarna (kitab pertama), salah satu parwa dalam wiracarita Hindu, Mahabarata, diajarkan bahwa manusia hendaknya pertama-tama mengumpulkan kekayaan dengan cara yang jujur, barulah ia bederma; bersikap ramah-tamah terhadap orang-orang yang datang padanya; tidak menyakiti makhluk hidup lain; dan memberi sebagian dari apa saja yang ia makan kepada orang lain. Dalam Wanaparwa (kitab rimba), adyaya 194, Mahabarata menganjurkan agar orang harus, "mengalahkan kekejaman dengan kedermawanan, ketidaktulusan dengan ketulusan, orang-orang jahat dengan pengampunan, dan ketidakjujuran dengan kejujuran". Bagawatapurana membahas tentang bilamana dāna itu patut dan bilamana tidak patut dilakukan. Dalam parwa 8, adyaya 19, seloka 36, diajarkan bahwa kedermawanan tidak patut dilakukan bilamana membahayakan dan melumpuhkan penghidupan seisi rumah si penderma atau penghidupan si penderma sendiri. Purana menganjurkan tindakan mendermakan penghasilan yang masih tersisa sesudah dikurangi jumlah yang secukupnya untuk dipakai hidup secara sederhana.

 

Dāna telah didefinisikan dalam karya-karya tulis tradisional sebagai segala macam tindakan pelepasan kepemilikan atas barang yang dianggap seseorang sebagai miliknya, dan menyerahkannya kepada seorang penerima tanpa mengharapkan apa-apa sebagai balasannya. Jika dāna lazimnya ditujukan kepada satu orang atau satu keluarga, maka dalam agama Hindu ada pula pembahasan mengenai tindakan kedermawanan atau bederma demi kepentingan umum yang kadang-kadang disebut utsarga. Tindakan kedermawanan ini ditujukan bagi proyek-proyek yang lebih besar misalnya proyek pembangunan petirahan, pembangunan sekolah, penggalian sumber air minum atau irigasi, penanaman pohon, dan pembangunan fasilitas perawatan.

 

Abu Raihan Al Biruni, sejarawan Persia pada abad ke-11 yang pernah tinggal selama 16 tahun di India sejak sekitar 1017 M, mencatat tentang praktik bederma dan kedermawanan di kalangan umat Hindu yang ia saksikan selama berada di negeri itu. Al-Biruni menulis bahwa "sudah merupakan kewajiban bagi mereka (umat Hindu) untuk setiap hari berderma sebanyak mungkin." Selain untuk membayar pajak, ada berbagai pendapat lain mengenai bagaimana cara orang memanfaatkan penghasilannya. Sebagian orang menyisihkan sepersembilan dari penghasilannya untuk didermakan. Sebagian yang lain membagi penghasilannya (sesudah dikurangi pajak) menjadi empat bagian. Seperempat bagian yang pertama disisihkan untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari, seperempat bagian yang kedua disisihkan untuk karya-karya bebas dari pujangga berakal mulia, seperempat bagian yang ketiga disisihkan untuk didermakan, dan seperempat bagian yang keempat disisihkan untuk ditabung. (Abū Rayḥān Al-Bīrūnī, Tarikh Al-Hind, abad ke-11 M)

 

Tindakan bederma dihargai sebagai perbuatan yang mulia dalam agama Hindu, dan dianjurkan untuk dilakukan tanpa mengharapkan balas budi dari pihak yang menerimanya. Sejumlah karya tulis, dengan mengacu pada hakikat kehidupan bermasyarakat, mengemukakan bahwa kedermawanan adalah salah satu bentuk karma baik yang berpengaruh pada keadaan dan lingkungan hidup seseorang di masa depan karena berlakunya asas timbal balik. Dalam karya-karya tulis Hindu lainnya, misalnya Wyasa Samhita, diajarkan bahwa asas timbal balik mungkin saja merupakan bawaan lahir dan kelaziman dalam masyarakat namun dāna dengan sendirinya merupakan suatu kebajikan, karena perbuatan baik memuliakan fitrah pelakunya. 

 

Naskah-naskah ini tidak menganjurkan tindakan kedermawanan terhadap orang-orang yang tidak patut menerimanya atau jika derma dapat membahayakan penerimanya, merangsang orang untuk melukai penerimanya, atau merangsang penerimanya untuk melukai orang lain. Jadi, dāna adalah suatu tindakan darma, yang memerlukan pendekatan idealistik-normatif, dan yang memiliki konteks rohaniah dan filsafati. Sejumlah pujangga Abad Pertengahan mengemukakan bahwa dāna sebaiknya dilakukan dengan srada (rasa percaya), yang diartikan dengan berniat baik, riang gembira, menyambut si penerima derma, dan bederma tanpa anasuya (mencari-cari kesalahan si penerima).Menurut Kohler, para cerdik pandai Hindu ini menyiratkan bahwa kedermawanan akan sangat efektif bilamana dilakukan dengan senang hati, suatu "keramahtamahan tanpa ragu-ragu", di mana dāna menafikan kelemahan-kelemahan jangka pendek serta keadaan si penerima dan menggunakan cara pandang jangka panjang.

 

Satram, catram, atau daramsala di India merupakan salah satu sarana untuk bederma dalam agama Hindu. Satram adalah pondokan atau rumah singgah bagi para musafir dan fakir miskin. Banyak di antaranya menyediakan air dan makanan secara cuma-cuma. Satram-satram ini lazimnya dibangun di sepanjang jalan yang menghubungkan situs-situs kuil Hindu utama di Asia Selatan, dan juga di bangun di dekat kuil-kuil besar.

 

Kuil Kuil Hindu telah diberdayakan sebagai lembaga-lembaga karya amal. Dāna dari persembahan umat Hindu yang terkumpul di kuil-kuil digunakan untuk memberi makanan kepada orang-orang yang membutuhkan, serta untuk mendanai proyek-proyek pekerjaan umum seperti pengerjaan irigasi dan lahan reklamasi. Bentuk-bentuk lain dari tindakan bederma dalam agama Hindu meliputi pemberian sumbangan berupa sarana-sarana kegiatan ekonomi dan penyediaan sumber pangan, misalnya Go Dāna (sumbangan berupa seekor lembu), bu dāna (भू दान, sumbangan lahan), widya dāna atau nyana dāna (विद्या दान atau ज्ञान दान, sumbangan ilmu pengetahuan dan keterampilan), ausadā dāna (sumbangan pengobatan bagi orang sakit dan pemberantasan wabah penyakit), abaya dāna (sumbangan perlindungan dari rasa takut bagi orang yang sedang terancam bahaya), dan ana dāna (अन्ना दान, sumbangan makanan kepada fakir miskin, orang yang kelaparan, dan para musafir).Menurut karya-karya tulis agama Hindu, sumbangan ilmu pengetahuan jauh lebih mulia daripada sumbangan makanan.

 

Semoga dengan adanya bahan perbandingan tentang derma ini mampu menjadikan diri kita bertambah baik dan benar di dalam menunaikan zakat, infaq, sedekah dan juga wakaf yang akhirnya mampu menghantarkan diri kita hidup nyaman, aman, damai dan bersahaja karena selalu berada di dalam kehendak Allah SWT. Amiin.

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar