Kewajiban untuk
melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan sudah berlaku. Meskipun begitu,
puasa dalam arti lebih luas seharusnya dapat kita lakukan, bahkan harus
dilakukan sepanjang tahun selama hayat masih dikandung badan. Hal ini
dimungkinkan al-shaum yang kemudian diterjemahkan dengan puasa adalah al-imsak,
yaitu menahan, mencegah dan mengendalikan.
Selama puasa
Ramadhan, kita dilatih untuk mengendalikan mulut dan kemaluan kita dari
melakukan aktivitasnya berupa makan, minum dan berhubungan seks dalam beberapa
jam setiap hari. Hal ini dimaksudkan agar nafsu mulut dan nafsu kemaluan
menjadi terlatih dalam melaksanakan kegiatannya dan tidak menurutkan segala
kemauan nafsu. Sebab, mulut yang mungil, lunak dan tidak bertulang itu, bila
menuruti nafsunya, akan sanggup memakan dan meminum apa saja, yang lunak atau
yang keras, yang kecil atau yang besar, yang baik atau yang jelek, yang halal
atau yang haram.
Bila selama
bulan Ramadhan kita telah mampu berpuasa mengendalikan keinginan hawa nafsu
mulut dan kemaluan, maka pengendalian hawa nafsu itu seharusnya juga
berlangsung di luar bulan Ramadhan. Bahkan, yang harus dikendalikan tidak saja
nafsu mulut dan kemaluan, tetapi seluruh nafsu yang ada dalam diri kita, seperti
nafsu tangan untuk mengambil apa saja, nafsu kaki untuk melangkah ke mana saja,
nafsu mata untuk melihat apa saja, nafsu telinga untuk mendengarkan apa saja
dan lain sebagainya.
Kita harus mampu
memuaskan nafsu-nafsu tersebut sehingga menjadi terkendali dan tenang, yang di
dalam Al-Qur’an disebut sebagai al-nafs al-muthmainnah (nafsu yang tenang dan
terkendali). Itulah nafsu pribadi mukmin yang bertaqwa, yang sukses tidak hanya
dalam melaksanakan puasa Ramadhan, tetapi juga puasa mengendalikan hawa nafsu
sepanjang hidupnya. Sebagaimana firman-Nya: “Wahai jiwa yang tenang.
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka
masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.
(surat Al Fajr (89) ayat 27-30)
Untuk itu,
marilah kita selalu memuaskan nafsu kita supaya menjadi nafsu (jiwa) yang
tenang, terkendali dan tidak mudah bergejolak, dan panas oleh pengaruh-pengaruh
duniawi. Memuaskan tangan untuk tidak mengambil kecuali yang sah, memuaskan
kaki untuk tidak melangkah kecuali ke tempat-tempat yang baik. Dan memuaskan
seluruh anggota tubuh untuk hanya beraktivitas pada hal-hal positif yang
diridhai oleh Allah SWT.
Nafsu yang
selalu berpuasa akan menjadi seseorang berkepribadian bijak, damai, tulus dan jujur
dalam menyikapi kehidupan. Sebaliknya nafsu yang tidak pernah berpuasa, yang
memperurutkan seluruh keinginannya, akan menjadikan seseorang berkepribadian
buruk, tidak tenang dalam hidup, serakah dan tidak pernah terpuaskan.
Daftar Pustaka,
1. Abdul Halim Fathani, Ensiklopedia Hikmah (Memetik Buah
Kehidupan di Kebun Hikmah, Darul Hikmah, Jogjakarta, 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar