Untuk dapat menunaikan
zakat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT, kita tidak bisa melaksanakannya asal
asalan atau sembarangan tanpa mengindahkan maksud dan tujuan yang dikehendaki
Allah SWT serta harus sesuai dengan syariat yang berlaku. Menunaikan zakat
memiliki dimensi khusus dibandingkan dengan ibadah lainnya. Hal ini terlihat
dari banyaknya ayat di dalam AlQuran
yang menyandingkan perintah menunaikan zakat setelah perintah mendirikan shalat
seperti yang tertuang dalam surat At Taubah (9) ayat 11 berikut ini: “Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka
(mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat
itu bagi kaum yang mengetahui.” dan juga dalam surat
Al Bayyinah (98) ayat 5 berikut ini: “Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.”
Salah satu makna
dari mendirikan shalat dan menunaikan zakat adalah melalui shalat yang kita
dirikan harus menjadikan diri kita memiliki keshalehan diri (keshalehan pribadi)
yang tidak bisa dipisahkan atau harus dicerminkan melalui keshalehan sosial di
masyarakat. Disinilah salah satu letak kebesaran dari Diinul Islam yang
terdapat di balik perintah menunaikan zakat. Ajaran Diinul Islam menggugah dan
mengajarkan solidaritas kemanusiaan yang berasal dari keshalehan pribadi.
Menggugah rasa kemanusiaan ini penting sebab tanpa rasa kemanusiaan, hidup ini
tidak mempunyai arti, malahan mungkin bisa mendatangkan bencana.
Umat Islam
diajarkan untuk memenuhi kewajiban menunaikan zakat fitrah untuk fakir miskin. Perintah
ini sangat keras dan wajib dilaksanakan. Agama Islam juga mengajarkan kepada
kita, bahwa barangsiapa tidak mau memperhatikan nasib fakir miskin sesungguhnya
mereka mendustakan Agama. Kita tidak mau mendustakan agama, karena itu kita
harus memperhatikan nasib fakir miskin melalui keshalehan sosial yang kita
miliki. Perhatian ini tidak cukup dan tidak akan selesai hanya dengan zakat
sekali setahun.
Ajaran Islam
mengajarkan kita harus memberantas kemelaratan dan kemiskinan selama hayat
masih di kandung badan yang tercermin dari selalu mendirikan shalat sehari
semalam 5 (lima) waktu yang hasilnya harus tercermin di dalam keshalehan sosial
sepanjang waktu pula. Islam sesungguhnya adalah agama yang sederhana, jelas,
rasional dan mudah diterima. Kewajiban kewajiban yang dibebankan kepada
umatnyapun selalu terpikul secara wajar (tidak memberatkan).
Islam sesungguhnya
juga agama yang penuh rasa kasih sayang antara sesama manusia, luas pandangan
dan dalam kebijaksanaannya kaya dengan sikap toleransi. Rasa kasih sayang dan
kejelasan inilah yang hendaknya menjadi semangat dalam dakwah penyiaran agama
Islam, bukan sebaliknya dengan menakuti nakuti apalagi mengintimidasi. Islam
adalah damai dan dengan kedamaianlah Islam akan Berjaya. Dan salah satu upaya
untuk menjaga kedamaian dan ketentraman di muka bumi ini, kita diperintahkan
Allah SWT untuk menunaikan zakat.
Menunaikan zakat tidak
bisa dilaksanakan secara apa adanya, atau seenaknya saja tanpa menghiraukan
syarat dan rukun yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Menunaikan zakat harus dilaksanakan sesuai dengan kehendak
Allah SWT, jika tidak sia sialah kita menunaikan zakat, terkecuali kita hanya
ingin memperoleh uang/kekayaan berkurang. Adanya pemenuhan syarat dan rukun menunaikan
zakat yang telah ditentukan Allah SWT berarti kita telah berusaha untuk
meletakkan dan menempatkan Allah SWT selaku pemberi perintah sesuai dengan
Kemahaan dan Kebesaran yang dimiliki-Nya serta menghormati Allah SWT selaku
pencipta dan pemilik alam semesta ini.
Agar diri kita
mampu menunaikan zakat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Berikut ini akan
kami kemukakan beberapa syarat yang harus kita penuhi untuk menunaikan Zakat
sebagaimana berikut ini:
1.
Islam. Islam menjadi syarat kewajiban mengeluarkan
zakat dan bahwa orang yang belum menerima Islam tidak berkewajiban menunaikan
zakat.
2.
Merdeka. Tidak diwajibkan zakat pada budak sahaya
(orang yang tidak merdeka) atas harta yang dimilikinya, karena kepemilikannya
tidak sempurna. Demikian juga budak yang sedang dalam perjanjian pembebasan,
tidak diwajibkan menunaikan zakat dari hartanya, karena berhubungan dengan
kebutuhan membebaskan dirinya dari perbudakan. Kebutuhannya ini lebih mendesak
dari orang merdeka yang bangkrut, sehingga sangat pantas sekali tidak
diwajibkan.
3.
Milik Sepenuhnya. Harta yang akan
dizakati hendaknya milik sepenuhnya seorang yang beragama Islam dan harus
merdeka. Bagi harta yang bekerjasama antara orang Islam dengan orang bukan
Islam, maka hanya harta orang Islam saja yang dikeluarkan zakatnya.
4.
Berakal dan Baligh (dewasa). Persoalan berakal dan
baligh masih diperselisihkan, yaitu berkaitan dengan permasalahan zakat harta
anak kecil dan orang gila. Adapun pendapat yang kuat adalah anak kecil dan orang gila tidak diwajibkan
mengeluarkan zakat. Akan tetapi kepada wali yang mengelola hartanya, diwajibkan
untuk mengeluarkan zakatnya, karena kewajiban menunaikan zakat berhubungan
dengan hartanya.
5.
Memiliki Nishab dan
Haul. Adapun
makna dari nishab disini, ialah ukuran atau batas terendah yang telah
ditetapkan oleh syar’i (agama) untuk menjadi pedoman menentukan batas kewajiban
mengeluarkan zakat bagi yang memilikinya, jika telah sampai pada ukuran tersebut. Orang yang memiliki harta dan telah mencapai
nishab atau lebih, diwajibkan mengeluarkan/menunaikan zakat dengan dasar surat
Al Baqarah (2) ayat 219 berikut ini: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar[136]
dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan
mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “ yang lebih
dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya
kamu berfikir.”
[136] Segala minuman yang memabukkan.
Hal yang harus kita jadikan pedoman adalah makna
dari “al afwu” adalah harta yang telah melebihi kebutuhan. Oleh karena itu,
Islam menetapkan nishab sebagai ukuran kekayaan seseorang. Adapun syarat-syarat
nishab ialah sebagai berikut: (a) Harta tersebut di luar kebutuhan yang harus
dipenuhi oleh seseorang, seperti: makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan,
dan alat yang dipergunakan untuk mata pencaharian; (b) Harta yang akan dizakati
telah berjalan selama satu tahun (haul) terhitung dari hari kepemilikan nishab dengan dalil hadits Rasulullah SAW: Dikecualikan
dari hal ini, yaitu zakat pertanian dan buah-buahan. Karena zakat pertanian dan
buah-buahan diambil ketika panen. Demikian juga zakat harta karun, yang diambil
ketika menemukannya. Misalnya, jika seorang muslim memiliki 35 ekor kambing,
maka ia tidak diwajibkan berzakat karena nishab bagi kambing itu 40 ekor.
Kemudian jika kambing-kambing tersebut berkembang biak sehingga mencapai 40
ekor, maka kita mulai menghitung satu tahun setelah sempurna nishab tersebut.
Nabi SAW bersabda: “Tidak ada zakat atas harta,
kecuali yang telah melampaui satu haul (satu tahun)”. (Hadits Riwayat Ath
Thirmidzi dari Ibnu Umar 1/123; Ibnu Majjah dari ‘Aisyah dalam Sunan-nya no.
1793, Ath Daraqhutni dari Anas bin Malik dalam Sunan-nya no. 199). Selain pemenuhan syarat dan ketentuan menunaikan
zakat yang telah kami kemukakan di atas. Kata “iman” dan juga kata “itulah
jalan yang lurus” merupakan dua kata kunci yang sangat berhubungan erat dengan
perintah menunaikan zakat.
Orang yang beriman
adalah orang yang diperintahkan untuk melaksanakan Diinul Islam secara kaffah
termasuk di dalamnya menunaikan zakat. Sedangkan inilah jalan yang lurus merupakan
hasil akhir yang dikehendaki oleh Allah SWT dari perintah menunaikan zakat yang
tercermin dari hidup nyaman, aman, damai dan bersahaja dalam kehendak Allah SWT.
Lalu bagaimana mungkin kita dapat menunaikan zakat yang sesuai dengan kehendak
Allah SWT jika keimanan sebagai syarat utama untuk menunaikan zakat tidak kita
miliki dan juga jalan yang lurus tidak kita jadikan tujuan yang harus kita
capai dari menunaikan zakat yang kita laksanakan.
Agar diri kita yang telah diperintahkan untuk menunaikan zakat mampu
melaksanakannya dengan baik dan benar serta mampu mencapai hasil akhir seperti
yang dikehendaki oleh Allah SWT, mari kita pelajari beberapa prasyarat yang
harus kita ketahui dan miliki sebelum diri kita melaksanakan perintah
menunaikan zakat, yaitu:
A.
PAHAM AKAN ARTI
PERINTAH MENUNAIKAN ZAKAT
Salah satu prasyarat yang harus dimiliki oleh setiap
orang yang akan menunaikan zakat adalah paham akan arti perintah menunaikan zakat
yang akan dilaksanakannya. Adalah suatu yang tidak bisa ditolerir dengan akal
sehat jika orang yang akan menunaikan zakat tidak paham akan arti perintah yang
akan dilaksanakannya. Lalu bagaimana mungkin kita bisa melaksanakan ibadah
dimaksud dengan baik dan benar? Sekarang bagaimana kita akan tahu maksud dan
tujuan yang sesungguhnya yang terdapat di balik perintah menunaikan zakat jika kita
yang akan melaksanakannya tidak paham? Padahal maksud dan tujuan dari perintah menunaikan
zakat yang harus kita raih dan rasakan dan yang menjadi tujuan utama bagi
yang menunaikan zakat tidak hanya
dirasakan oleh yang menunaikan zakat (muzakki) semata. Namun juga bagi
masyarakat (mustahik) yang berasal keshalehan pribadi yang tercermin dalam
kesalehan sosial.
Perintah menunaikan
zakat memiliki dua dimensi, yaitu dimensi yang berhubungan dengan pribadi
pribadi/badan usaha yang menunaikan zakat yaitu hidup nyaman, aman, damai dan
bersahaja sesuai dengan kehendak Allah SWT dan adanya dimensi kesalehan sosial
yang berasal dari kesalehan pribadi/badan usaha yang menunaikan zakat. Adapun
hasil dari kesalehan sosial dapat kami kemukakan sebagai berikut: (1) Mengurangi
kesenjangan sosial antara mereka yang berada dengan mereka yang miskin; (2) Pilar
amal bagi para mujahid dan da’i yang berjuang dan berdakwah dalam rangka
meninggikan kalimat Allah SWT; (3) Membersihkan dan mengikis akhlak yang buruk
dari sisi yang menunaikan zakat dan juga penerima zakat; (4) Alat pembersih
harta dan penjagaan dari ketamakan orang jahat; (5) Ungkapan rasa syukur atas
nikmat yang Allah SWT berikan; (6) Untuk pengembangan potensi umat; (7) Dukungan
moral kepada orang yang baru masuk Islam; (8) Menambah pendapatan negara untuk
proyek-proyek yang berguna bagi umat.
Sebagai orang yang
telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk menunaikan zakat, maka kita harus bisa
menjadikan tujuan yang kami kemukakan di atas ini menjadi target yang harus
kita raih dan kita capai saat menunaikan zakat. Jika tidak berarti kita tidak
paham akan arti dari melaksanakan ibadah yang akan kita laksanakan serta tidak
memiliki tujuan dari pelaksanaan ibadah dimaksud.
Allah SWT dengan kebesaran dan kemahaan yang dimilikiNya bukan sekedar
pemberi perintah menunaikan zakat semata. Akan tetapi Allah SWT juga penilai
dari pelaksanaan zakat yang kita tunaikan serta Allah SWT juga penentu hasil
akhir dari pelaksanaan zakat yang kita laksanakan. Jika ini kondisi dasar Allah
SWT di dalam pelaksanaan zakat maka
tidak ada jalan lain bagi diri kita yang
akan menunaikan zakat, untuk segera belajar agar memiliki ilmu tentang zakat
sebaik mungkin yang tentunya sesuai dengan kehendak Allah SWT sehingga paham
akan arti dan makna perintah menunaikan zakat baik syariat dan juga hakekat.
Allah SWT sangat maha sehingga dengan kemahaan yang dimilikiNya tidak
membutuhkan apapun dan dari siapapun juga, termasuk di dalamnya Allah SWT tidak
membutuhkan zakat yang kita tunaikan. Selanjutnya jika pemberi perintah
menunaikan zakat tidak membutuhkan apapun berarti segala manfaat yang ada di
balik perintah menunaikan zakat bukanlah untuk kepentingan Allah SWT melainkan untuk
diri kita yang sudah memenuhi kewajiban menunaikan zakat yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT.
Sekarang jika yang diperintahkan untuk menunaikan zakat tidak bisa
menikmati, atau merasakan apa-apa yang ada dibalik perintah menunaikan zakat
berarti orang yang melaksanakannya masih memiliki kesalahan, atau masih bermasalah
sehingga tidak sempurna saat menunaikan zakat. Padahal perintah menunaikan zakatnya
tidak akan pernah salah sampai kapanpun juga. Jika
sekarang kita tidak pernah merasakan sedikitpun nikmatnya bertuhankan kepada
Allah SWT melalui menunaikan zakat kecuali uang dan harta berkurang. Jangan pernah salahkan pemberi perintah menunaikan zakat jika kita
sendiri malas untuk belajar sehingga kita tidak paham dan mengerti tentang akan apa yang akan kita laksanakan.
Semoga hal ini tidak terjadi pada diri kita, pada anak dan keturunan kita.
Amien.
B.
PAHAM AKAN
RAHASIA/HIKMAH MENUNAIKAN ZAKAT.
Prasyarat ke dua yang harus dimiliki oleh setiap diri yang memiliki
kewajiban menunaikan zakat adalah harus paham akan rahasia dan juga hikmah yang
terdapat di balik perintah menunaikan zakat. Adalah sesuatu yang sangat sulit
dimengerti jika kita yang akan menunaikan zakat tidak paham, tidak tahu, tidak
mengerti rahasia dan hikmah yang terdapat di balik ibadah yang akan kita
laksanakannya. Jika ini yang terjadi pada diri kita maka dapat dipastikan kita
hanya mampu menunaikan zakat ala
kadarnya, apa adanya sehingga hasilnyapun ala kadarnya dan apa adanya pula.
Akhirnya pemahaman terhadap apa yang akan kita laksanakan sangat memegang
peranan penting terhadap hasil akhir dari apa yang kita laksanakan. Semakin
baik kita memahami akan rahasia dan hikmah menunaikan zakat semakin baik pula
kita melakukan dan merasakan manfaat dan hikmah yang ada dibalik perintah menunaikan
zakat. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah pemahaman kita terhadap
perintah menunaikan zakat semakin rendah pula kita melakukan dan merasakan
manfaat yang ada di balik perintah menunaikan zakat.
Ingat, manusia berbuat dan bertindak sesuai dengan pemahaman yang
dimilikinya. Jika rendah pemahamannya maka rendah pula tindakannya dan juga hasilnya.
Dan jika tinggi dan berkualitas pemahamannya maka makin bagus dan berkualitas
hasilnya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan dalam surat An Najm (53)
ayat 29 dan 30 berikut ini: “Maka
berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan
tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan
mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat
petunjuk.” Jika kita merasa sangat membutuhkan manfaat dan
hikmah yang ada di balik perintah menunaikan zakat secara berkualitas, maka
tidak ada jalan lain kecuali kita harus paham, kita harus mengerti rahasia yang
terkandung di balik perintah menunaikan zakat secara berkualitas pula.Adanya
kondisi ini maka kita harus segera belajar dan belajar secara sungguh sungguh
agar memiliki ilmu tentang hikmah yang terdapat di balik perintah menunaikan zakat
atau kita harus dapat mengetahui apa maksud dan tujuan yang sebenarnya kenapa
Allah SWT memerintahkan manusia yang ada di muka bumi untuk menunaikan zakat
setiap tahun sepanjang memenuhi Nishab dan Haul.
Adanya kemampuan diri kita memiliki ilmu tentang zakat yang berkualitas ini
maka akan memudahkan diri kita untuk menunaikan zakat yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT dan berarti kita siap merasakan nikmatnya bertuhankan kepada
Allah SWT melalui zakat yang kita tunaikan. Ayo segera belajar, belajar dan
belajar karena hanya inilah jalan keluar untuk memahami dan memaknai apa apa
yang terdapat di balik perintah menunaikan zakat yang telah berlaku di alam
semesta ini.
Sekarang
perhatikanlah apa yang pernah terjadi pada diri kita, yaitu kita diperintahkan
untuk mandi oleh orang tua. Orang tua memerintahkan mandi kepada diri kita
karena orang tua berharap dengan mandi maka kita akan memperoleh apa yang
dinamakan dengan bersih, sehat dan segar. Lalu kita yang diperintahkan untuk mandi
akhirnya mampu merasakan bersih, sehat
dan segar yang tercermin dari sikap kita setelah mandi menjadi cerah kembali,
bersemangat dan juga wangi. Adanya kondisi ini menunjukkan perintah mandi yang
berasal dari orang tua yang awalnya hanyalah suatu perintah akan menjadi sebuah
kebutuhan setelah diri kita mampu merasakan bersih, sehat dan segar setelah
mandi. Jika mandi saja bisa seperti ini lalu apakah perintah menunaikan Zakat
tidak bisa seperti ini?
Perintah menunaikan
zakat juga akan menjadi kebutuhan diri kita sepanjang diri kita mampu merasakan
apa apa yang terdapat di balik perintah menunaikan zakat yaitu hidup nyaman,
aman, damai dan bersahaja melalui keshalehan pribadi yang tercermin di dalam
kesalehan sosial. Jika sekarang perintah menunaikan zakat mampu menjadi
kebutuhan diri kita saat menjadi khalifah di muka bumi berarti yang membutuhkan
mustahik/penerima zakat adalah diri kita sehingga jangan sampai para
mustahik/penerima zakat yang mendatangi diri kita. Namun diri kitalah yang
harus menemui mereka saat menunaikan zakat sehingga terjadilah apa yang
dinamakan dengan penghormatan atau mengangkat harkat dan martabat para mustahik
dibanding dengan mustahik menemui diri kita untuk menerima zakat kita. Dan sebagai
abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi ayo segera jadikan
perintah menunaikan zakat yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT menjadi kebutuhan diri kita seperti hal nya diri
kita membutuhkan mandi.
C.
PAHAM AKAN BAHAYA
JIKA TIDAK MAU MENUNAIKAN ZAKAT.
Prasyarat ke tiga yang harus kita miliki adalah mengerti
akan bahaya dan resiko bagi yang tidak mau menunaikan zakat. Hal ini penting
kami kemukakan karena dengan kita mengetahui adanya resiko atau bahaya jika
tidak mau menunaikan zakat, dapat menjadikan diri kita selalu mawas diri, tidak
sembarangan bertindak, tidak mengalihkan, tidak menunda nunda kewajiban yang
telah ditetapkan berlaku kepada diri kita.
Sebagai Khalifah di muka bumi kita harus menyadari
bahwa untuk mendapatkan dan merasakan apa-apa yang terdapat di balik perintah
menunaikan zakat atau agar diri kita terhindar dari resiko akibat tidak mau
menunaikan zakat, sangat terpulang kepada diri kita sendiri dan yang pasti
bukan kepada pemberi perintah menunaikan zakat. Allah SWT tidak membutuhkan
apapun dari apa yang kita lakukan, melainkan kitalah yang membutuhkan apa apa
yang hakiki ytang terdapat di balik perintah menunaikan zakat.
Allah SWT adalah Maha Pemberi namun Allah SWT tidak
akan mau menerima pemberian karena Allah SWT sudah maha dan akan maha
selamanya. Hal
yang harus kita hadapi atau resiko yang harus siap kita hadapi jika kita tidak
mau menunaikan zakat adalah memiliki harta kekayaan banyak tetapi tanpa ada
keberkahan. Bayangkan kita memiliki banyak harta tetapi tidak memberikan
kebaikan kepada diri kita dan juga kepada anak keturunan kita. Harta yang kita
miliki menjadi beban, menjadikan diri kita yang seharusnya menjadi subyek yang
mengatur obyek (harta kekayaan). Justru kita yang menjadi obyek yang diatur oleh harta
kekayaan. Sebagaimana firmanNya berikut ini: “Allah memusnahkan Riba dan
menyuburkan sedekah[177]. Dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap
dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa[178]. Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka
mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati. (surat Al Baqarah (2) ayat 276 dan 277)
[177] Yang dimaksud dengan memusnahkan Riba ialah
memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. Dan yang dimaksud dengan
menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan
sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya.
[178] Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan Riba
dan tetap melakukannya.
Allah
SWT juga mengancam orang-orang yang
telah wajib menunaikan zakat tetapi yang bersangkutan tidak bersedia untuk mengeluarkan/menunaikan
zakat harta kekayaan yang telah memenuhi nishab dan haulnya.Untuk itu
perhatikan dengan seksama apa yang dikemukakan Allah SWT dalam surat Ali Imran
(3) ayat 180 berikut ini: “sekali-kali janganlah orang-orang yang
bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka,
bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk
bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya
di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan
di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Allah SWT akan
mengalungkan harta yang dibakhilkan atau yang tidak mau dizakatkan ke lehernya
di hari kiamat kelak.
Selanjutnya
berdasarkan 2 (dua) buah hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Barang siapa yang Allah telah berikan harta kepadanya
kemudian dia tidak menunaikan zakatnya maka pada hari kiamat nanti hartanya
akan berujud ular yang botak yang mempunyai dua titik hitam diatas kepalanya
yang mengalunginya kemudian mengambil dengan kedua sisi mulutnya sambil
berkata: “Aku adalah simpananmu, aku adalah hartamu”. Kemudian beliau membaca
ayat: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang telah
Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya, menyangka bahwa kebakhilan itu
baik bagi mereka, sebenarnya bahwa kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka,
harta-harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di lehernya kelak di
hari kiamat.” (Hadits
Riwayat. Bukhori Kitab Zakat 3:268 no.1403 dari Abu Hurairah; Muslim Kitab
Zakat 7:74 no. 2294)
Rasulullah SAW
bersabda, “Barangsiapa yang tidak membayar zakat yang wajib atasnya,
(kelak) di hari kiamat akan dimunculkan baginya ular jantan yang memiliki bisa
yang sangat banyak. Ular tersebut akan menarik kedua tangan orang itu dan
berkata kepadanya, ‘Saya ini adalah harta dan kekayaan yang telah kamu
kumpulkan di dunia.” (Hadits Riwayat Bukhari). Harta yang sudah wajib
dizakatkan lalu tidak dikeluarkan/ditunaikan zakatnya, maka pada hari kiamat
kelak akan diserupakan dengan ular botak dengan dua titik hitam di atas kedua
matanya. Lalu ular itu akan menggigit pemiliknya. Lalu, apakah masih ada lagi
resiko dari harta kekayaan yang tidak mau dizakatkan?
Jawabannya adalah
masih ada, hal ini seperti yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat At
Taubah (9) ayat 34 dan 35 yang kami kemukakan berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman,
Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib
Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan
emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah
kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari
dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi
mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah
harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang
(akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” dan juga di dalam hadits yang
kami kemukakan berikut ini: “Tidaklah
seseorang yang memiliki emas atau perak kemudian tidak ditunaikan haknya,
apabila datang hari kiamat dibentangkan baginya batu-batu yang lebar dari
neraka kemudian dia akan dipanggang di atas batu-batu itu di dalam neraka
jahannam kemudian disetrika perut, dahi dan punggungnya. Setiap kali sudah
dingin maka akan dikembalikan seperti semula yang satu hari adalah sama dengan
50.000 tahun sampai diputuskan perkaranya diantara manusia maka dia akan
melihat jalannya, apakah ke syurga atau neraka.”(Hadits Riwayat Muslim dari Abu Hurairah ra,)
Harta simpanan berupa
emas dan perak yang telah wajib zakat yang tidak dikeluarkan zakatnya, maka
akan emas dan perak tersebut akan dipanaskan di dalam neraka Jahannam lalu diseterikakan
ke dahi, ke lambung dan punggung mereka pada Hari Kiamat kelak. Sedangkan bagi
binatang ternak yang telah wajib zakat yang tidak dikeluarkan zakatnya, maka
pada Hari Kiamat binatang tersebut akan diserupakan dalam bentuk binatang besar
yang akan menginjak dan menanduk pemiliknya.
Hal ini seperti yang
dikemukakan dalam hadits berikut ini: “Dari Abu Dzar ra, ia berkata, bahwa Nabi
SAW bersabda; ”Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya atau demi Dzat yang
tidak ada sesembahan (yang berhak untuk disembah) kecuali Dia atau sebagaimana
Nabi bersumpah, tidaklah seorang laki-laki yang memiliki unta, sapi, atau
kambing, yang ia tidak menunaikan hak (zakat)nya, kecuali pada Hari Kiamat akan
didatangkan untuknya dalam bentuk (binatang yang) paling besar dan paling
gemuk, (binatang tersebut akan) menginjaknya dengan telapak kakinya, dan
menanduknya dengan tanduknya, setiap kali yang terakhir melewatinya, maka yang
pertama dikembalikan kepadanya hingga (selesai) diputuskan (perkara) diantara manusia.
(Muttafaqunalaihi)
Rasulullah SAW
bersabda, “Pada onta yang digembalakan dari setiap 40 ekor, (zakatnya
berupa) ibnatu labun. Tidak boleh onta dipisahkan dari hitungannya.
Barangsiapa memberikannya (zakat) untuk mencari pahala, maka dia mendapatkan
pahalanya. Dan barangsiapa menahannya, maka sesungguhnya kami akan mengambilnya
dan separuh hartanya, sebagai kewajiban dari kewajiban-kewajiban Rabb kami.
Tidak halal bagi keluarga Muhammad sesuatu darinya (zakat).” [Hadits Riwayat
Abu Dawud; An Nasai; Ahmad). Demikianlah harta yang tidak ditunaikan
zakatnya. Pemiliknya menyangka bahwa dengan harta tersebut akan mengekalkannya
dan bermanfaat baginya. Namun ternyata akan menjadi sarana untuk menyiksanya,
jika tidak ditunaikan zakatnya. Inilah resiko yang siap ditimpakan kepada diri
kita jika kita tidak mau menunaikan zakat setelah harta kekayaan kita telah
memenuhi syarat nishab dan haulnya.
Sekarang semuanya
terpulang kepada diri kita sendiri apakah mau menunaikan zakat ataukah tidak.
Memang menunaikan zakat itu berat karena harta kekayaan akan berkurang namun
lebih berat mana beratnya menunaikan zakat dibandingkan dengan menahan panasnya
api neraka? Jawablah pertanyaan ini dengan sejujur jujurnya.
D.
PAHAM AKAN SYARAT DAN
KETENTUAN DASAR MENUNAIKAN ZAKAT.
Karunia Allah SWT yang
dilimpahkan kepada makhluk luar biasa besar. Meski sering tak disadari,
anugerah itu meliputi segala aspek kehidupan, mulai dari yang fisik sampai
nonfisik, mulai dari harta benda hingga kenikmatan yang tak kasat mata seperti
kewarasan akal sehat, kesehatan, hingga iman seseorang. Tentang karunia berupa
kekayaan, Allah melalui ajaran Islam mengajarkan manusia untuk tidak hanya
menerima tapi juga memberi, tak hanya memperoleh tapi juga membagikannya. Di
sinilah anjuran berzakat, berinfak, dan bersedekah menjadi relevan dalam beragama
Islam. Karena begitu pentingnya zakat dalam hidup dan kehidupan, Agama Islam
sampai menjadikannya sebagai salah satu pilar pokok dalam beragama.
Setiap umat Islam
yang mampu wajib menunaikan zakat sebagai bagian dari pelaksanaan rukun Islam
yang ketiga. Artinya, dalam urutan rukun Islam, zakat menempati deret rukun
setelah shalat, ibadah yang paling ditekankan dalam Islam karena menjadi cermin
dari praktik paling konkret penghambaan kepada Tuhan. Untuk itu perhatikanlah
apa yang ada di dalam AlQuran. Allah SWT sering menggandengkan perintah menunaikan
zakat setelah perintah mendirikan shalat. Sedikitnya ada 24 ayat AlQuran
menyebut shalat dan zakat secara beriringan, sebagaimana kami kemukakan berikut
ini: “Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’[44].
(surat Al Baqarah (2) ayat 43)
[44] Yang dimaksud Ialah: shalat berjama’ah dan dapat
pula diartikan: tunduklah kepada perintah-perintah Allah bersama-sama
orang-orang yang tunduk.
Allah SWT berfirman: “Dan
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu
usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (surat Al Baqarah
(2) ayat 110)
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya
penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (surat
Al Ma’idah (5) ayat 55)
Berdasarkan 3 (tiga)
buah ketentuan di atas, shalat sebagai ibadah seorang hamba dengan Allah SWT tapi
tidak bisa terlepas dari keharusan untuk peduli pada kondisi masyarakat di
sekitarnya. Dengan bahasa lain, umat Islam yang baik adalah mereka yang
senantiasa memposisikan secara beriringan antara ibadah individual dan ibadah
sosial (keshalehan individu tercermin dalam keshalehan sosial). Sayangnya,
rata-rata tingkat kesadaran untuk berzakat seringkali lebih rendah daripada
kesadaran untuk menunaikan shalat.
Barangkali karena masih
ada anggapan menunaikan zakat sebagai hak Allah SWT masih terasa berat karena
sudah susah mendapatkan harta kekayaan, kenapa masih harus dibagikan kepada
orang lain. Belum lagi ditambah keinginan untuk menumpuk kekayaan
sebanyak-banyaknya. Tertanam sebuah pikiran bahwa jika harta semakin banyak,
maka semakin mudah dan enaklah kita menjalani hidup ini. Pandangan inilah
yang kerap melengahkan banyak orang bahwa sebenarnya di dalam kelebihan harta
kita ada hak Allah SWT untuk para mustahik yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Orang-orang yang
seharusnya berzakat namun tak menunaikan kewajibannya sama halnya memakan hak
Allah SWT yang diperuntukkan untuk para mustahik atau orang lain. Dalam konteks
ini, lantas apa bedanya mereka dengan koruptor atau pencuri? Zakat secara
bahasa bermakna suci. Harta yang dizakati sesungguhnya dalam rangka proses
penyucian atau pembersihan. Tak mengeluarkan sebagian harta yang menjadi hak
orang lain ibarat tak membuang kotoran dalam perut bagi orang yang sudah
saatnya buang air besar. Sebagian kecil harta tersebut selayak kotoran yang
bisa jadi menodai keberkahan seluruh harta benda, menjalarkan penyakit tamak,
atau menimbulkan keresahan dirinya sendiri dan orang lain.
Menunaikan zakat bisa
dilakukan pada bulan apa saja sepanjang harta kekayaan atau obyek dari zakat
sudah memenuhi nishab atau jumlah wajib zakat serta haulnya. Jika kedua syarat
ini terpenuhi lalu makna-makna yang dikandung oleh ke dua kata tersebut
dihayati, maka kita akan memperoleh gambaran yang sangat jelas dan indah
tentang cara menunaikan zakat sebagai sebuah kebutuhan diri, yaitu :.
1. Zakat yang kita
tunaikan harus dilandasi sikap istiqamah (harus dilaksanakan secara
konsisten dengan semangat komitmen) sehingga tidak terjadi kecurangan,
kekurangan, kekeliruan baik dari sisi perhitungannya, pemilihannya, dalam pembagian atau penyalurannya serta tidak hanya
sekali-kali, atau sesekali saja atau bersifat musiman namun harus berkelanjutan
dari waktu ke waktu selama kita masih hidup di muka bumi ini.
2. Zakat harus segera
ditunaikan selekas-lekasnya, bergegas dan bercepat-cepat dalam menunaikan zakat
setelah syarat ketentuannya terpenuhi. Jangan pernah menunda nunda hingga batas
waktunya berlalu yang pada akhirnya menjadi berat untuk menunaikannya karena sudah
bertumpuk-tumpuk jumlahnya.
3. Mempermudah jalan
penerimaannya, bahkan kalau bisa kita sendiri yang langsung mengantarkannya/menyerahkannya kepada yang
berhak menerimanya sehingga tidak terjadi semacam pameran kemiskinan dan tidak
pula menghilangkan air mata. Jika kita yang datang dan menyerahkan langsung kepada
yang berhak maka bagi penerima menjadi lebih terhormat atau tersanjung karena
kita sangat menghargai mereka.
4. Apabila kita mampu memberikan
zakat secara langsung kepada yang berhak menerimanya berari kita telah menumbuhkan
semangat merubah dari sikap tangan di bawah menjadi sikap tangan diatas lalu lahirlah
muzakki muzakki generasi baru sehingga terentaskanlah kemiskinan.
Itulah empat buah
ketentuan yang harus kita pahami sebelum diri kita menunaikan zakat. Dan kalau
makna-makna di atas diperhatikan dan dihayati dalam melaksanakan kewajiban ini,
maka dapat diyakini bahwa harta benda yang ditunaikan zakatnya akan benar-benar
menjadi zakat dalam arti “menyucikan” dan “mengembangkan” jiwa dan harta benda
pelaku kewajiban ini.
Kesucian jiwa
melahirkan ketenangan batin, bukan hanya bagi penerima/mustahik zakat tetapi
juga bagi pemberinya. Karena kedengkian dan iri hati dapat tumbuh pada saat
seorang tak berpunya/mustahik melihat seseorang yang berkecukupan namun enggan
mengulurkan bantuan serta pertolongan. Kedengkian ini akan melahirkan keresahan
bagi kedua belah pihak dan ini tidak dikehendaki oleh Allah SWT. Zakat
juga harus bisa ditinjau dari aspek/sudut ekonomis-psikologis secara bersamaan,
yakni dengan adanya ketenangan bathin dari pemberi zakat, maka ia akan dapat
lebih mengkonsentrasikan usaha dan pemikirannya guna pengembangan hartanya. Di
samping itu, pemberian zakat juga harus bisa menjadi pendorong terciptanya daya
beli baru dan terutama, daya produksi dari para penerima zakat tersebut serta
merubah dari penerima zakat menjadi pemberi pemberi zakat generasi baru.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang
membutuhkan menunaikan zakat, itulah 4 (empat) buah prasyarat yang harus kita
renungi, kita pahami, kita hayati sebelum diri kita menunaikan zakat yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT. Insya Allah kita akan mampu menunaikan zakat
secara istiqamah dalam hidup yang sebentar ini. Ayo segera tunaikan zakat jika
nishab dan haulnya telah tercapai lalu rasakanlah hidup nyaman, aman, damai dan bersahaja di dalam kehendak Allah SWT. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar