Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Minggu, 19 Agustus 2018

UNTUK SIAPAKAH KEBAIKAN ITU



Melaksanakan ibadah Ikhsan atau berbuat kebaikan dalam kehidupan sehari-hari adalah suatu keharusan bagi setiap orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada Allah SWT dan juga telah mengaku beragama Islam. Ibadah Ikhsan dapat dikatakan intisari dari ajaran Islam. Islam dapat dikatakan sebagai prinsip-prinsip ketaatan, Iman adalah pilar ketauhidan, dan Ikhsan adalah kualitas dari keduanya. Islam tanpa Ikhsan adalah kering, Iman tanpa Ikhsan juga gersang, demikian juga ikhsan tanpa keduanya adalah kosong. Adanya kondisi ini sebagian ulama menempatkan ikhsan sebagai intisari dari ajaran Islam. Derajat Ikhsan merupakan tingkatan tertinggi keislaman seorang hamba Allah SWT. Tidak semua orang bisa meraih derajat yang mulia ini. Hanya hamba-hamba Allah SWT yang khusus saja yang bisa mencapai derajat mulia ini. Karena itu, merupakan keutamaan tersendiri bagi hamba yang mampu meraihnya.

Tingkatan agama yang paling tinggi adalah Ikhsan, kemudian Iman, dan paling rendah adalah Islam. Kaum muhsinin (orang-orang yang memiliki sifat ikhsan) merupakan hamba pilihan dari hamba-hamba Allah SWT yang saleh. Sebagian ulama menjelaskan jika Ikhsan sudah terwujud, berarti Iman dan Islam juga sudah terwujud pada diri seorang hamba. Ingat, setiap muhsin pasti mukmin dan setiap mukmin pasti muslim. Namun tidak berlaku sebaliknya. Tidak setiap muslim itu mukmin dan tidak setiap mukmin itu mencapai derajat muhsinin.

jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.
(surat Al Israa’ (17) ayat 7)

Dalam surat Al-Isra’(17) ayat 7 yang kami kemukakan di atas ini, juga dijelaskan tentang keutamaan sikap Ikhsan ini yang artinya, “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai”.
Ketika ada orang atau teman di sekitar kita yang kita lihat tidak mengerjakan shalat, jangan benci mereka, akan tetapi ajak mereka dengan cara-cara baik yang tidak menyakiti perasaannyaan. Atau juga misalnya ketika suara azan terdengar tapi kita lihat masih banyak yang duduk tenang saja di warung-warung kopi, ajak mereka agar ke masjid juga dengan cara-cara baik yang membuat tersentuh sehingga mau ikut ke masjid.  Begitu juga halnya ketika kita melihat ada masyarakat kita yang larut dalam kemaksiatan seperti mabuk atau berjudi, jangan benci mereka, tapi cari cara agar bagaimana mengajak dan mengajarkan agama dengan cara terbaik sehingga kemaksiatan seperti itu agar ditinggalkan dengan kemauannya sendiri.

Kebaikan dan juga keburukan merupakan hasil akhir (output) dari suatu masukan (input) yang diproses secara tertentu oleh seseorang. Inilah ketentuan umum yang berlaku dalam kehidupan kita. Adanya ketentuan ini terlihat dengan jelas bahwa setiap kebaikan atau keburukan hanya akan dinikmati oleh orang yang memasukkan input dan proses tertentu. Hal yang harus kita jadikan pedoman adalah output tidak bisa dipisahkan dengan input dan proses sehingga output yang baik harus didukung dengan input dan proses yang baik pula. Kita tidak bisa hanya mengandalkan input yang baik saja lalu kita akan memperoleh output yang baik. Namun harus di proses dengan proses yang baik pula barulah input yang baik bisa menghasilkan output yang baik. Akan tetapi jika input yang baik tidak diproses dengan cara yang baik  maka hasil akhirnya (output) bisa menjadi sebuah keburukan.

Sekarang bagaimana dengan ibadah Ikhsan? Hal yang samapun berlaku saat diri kita melaksanakan ibadah Ikhsan dalam kerangka melaksanakan Diinul Islam secara kaffah, yaitu kebaikan akan menjadi hasil akhir dari pelaksanaan ibadah Ikhsan sepanjang  ibadah Ikhsan  dilaksanakan sesuai dengan syariat yang berlaku maka akan menghasilkan kebaikan bagi yang melaksanakannya. Akan tetapi jika ibadah Ikhsan tidak dilaksanakan sesuai dengan syariat yang berlaku akan menghasilkan keburukan bagi yang melaksanakannya. Agar diri kita mampu melaksanakan ibadah Ikhsan yang sesuai dengan syariat yang berlaku, berikut ini akan kami pertegas kembali tentang untuk siapakah kebaikan atau keburukan itu, apakah untuk Allah SWT ataukah untuk diri kita? Inilah jawabannya.
  
A.   UNTUK DIRI SENDIRI

Berdasarkan surat Al Israa’ (17) ayat 7 di bawah ini dikemukakan bahwa setiap kebaikan atau keburukan yang dilakukan oleh diri kita, bukanlah untuk orang lain melainkan untuk diri kita sendiri yang melakukannya. Siapa yang berbuat kebaikan akan menerima kebaikan untuk diri sendiri sedangkan apabila berbuat keburukan maka keburukan juga untuk diri sendiri. Jangan pernah berharap kebaikan bisa tertukar dengan keburukan. Jangan pernah pula berharap keburukan juga bisa tertukar dengan kebaikan. Jangan pernah pula kebaikan bisa dibeli atau dijual kepada yang membutuhkannya.
jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.
(surat Al Israa’ (17) ayat 7)

Kebaikan akan tetap menjadi Kebaikan. Keburukan akan tetap menjadi Keburukan. “Siapa berbuat harus bertanggung jawab, Siapa menanam dialah yang menuai” inilah ketentuan dasar yang berlaku dalam hal kebaikan ataupun keburukan.  Sekarang mari kita lihat apa yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al Taghaabun (64) ayat 16 dan 17 di bawah ini, Allah SWT menegaskan bahwa bertakwalah kepada Allah SWT menurut kesanggupanmu sehingga tidak ada keterpaksaan untuk melaksanakannya, namun ketentuan ini bukan berarti tanpa ada peningkatan dari waktu ke waktu.

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu[1480]. dan Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka mereka Itulah orang-orang yang beruntung.
jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. dan Allah Maha pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.
(surat At Taghaabun (64) ayat 16 dan 17)

Sekarang bertanyalah kepada diri sendiri, butuhkah diri kita dengan kebaikan ataukah kita sangat merindukan keburukan saat hidup di muka bumi ini? Ingat, Allah SWT tidak membutuhkan sedikitpun kebaikan ataupun keburukan yang kita perbuat karena Allah SWT sudah Maha dan akan Maha sampai kapanpun juga.

Selanjutnya jika kita merasa sebagai perantau di muka bumi ini berarti kita pasti akan pulang kampung. Yang menjadi persoalan adalah pulang kampungnya apakah ke Syurga sebagai kampung kebahagiaan ataukah ke Neraka sebagai kampung kesengsaraan dan kebinasaan? Sekarang jika kita berkeinginan untuk pulang kampung ke Syurga maka jadikan ibadah Ikhsan ini sebagai penampilan diri kita dengan selalu berbuat kebaikan. Hal ini dikarenaka kebaikan yang kita laksanakan merupakan bekal bagi diri kita untuk pulang kampung ke Syurga.

orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(surat An Nahl (16) ayat 60)

Untuk itu jadikan apa yang dikemukakan Allah SWT dalam surat An Nahl (16) ayat 60 di atas ini sebagai pedoman saat diri kita menjadi perantau di muka bumi, yaitu kita harus beriman kepada kehidupan akhirat kelak. Apabila kita tidak mampu mengimaninya dapat dipastikan kita termasuk orang orang yang memiliki sifat yang buruk. Sifat buruk apakah itu? Sebagai orang yang hidup dirantau maka kita pasti pulang kampung serta wajib mempersiapkan bekal untuk pulang kampung. Adanya kondisi ini berarti pada saat kita hidup di rantau maka kita wajib menjadikan kehidupan menuju akhirat sebagai tujuan utama diri kita sedangkan kehidupan dunia harus ditempatkan sebagai tujuan antara/sementara. Jika ini mampu kita laksanakan maka kebaikan yang kita laksanakan akan bersifat jangka panjang dalam kerangka menuju kehidupan akhirat kelak.  

Lain halnya jika kita menjadikan kehidupan dunia menjadi tujuan utama hidup kita maka dapat dipastikan kita lalai di dalam berbuat kebaikan yang bersifat jangka panjang. Kita lebih mementingkan berbuat kebaikan yang bersifat jangka pendek atau bahkan lebih senang untuk mecari kesenangan sesaat. Disinilah letak sifat buruk bagi orang yang tidak mau beriman kepada hari akhir, yaitu mementingkan kehidupan dunia dibandingkan dengan kehidupan akhirat kelak. Semoga kondisi ini tidak terjadi pada diri kita, pada anak dan keturunan kita.     

B.   KEBAIKAN UNTUK ALLAH SWT

Berdasarkan surar Al Baqarah (2) ayat 245 dan surat Al Hadiid (57) ayat 11 dan 12 yang kami kemukakan di bawah ini, kita tidak hanya berbuat kebaikan untuk kebaikan diri sendiri tetapi kita juga harus bisa berbuat kebaikan kepada Allah SWT dengan cara menafkahkan harta yang kita miliki untuk dibelanjakan di jalan Allah SWT yang pada akhirnya hasilnya pun untuk kepentingan diri kita sendiri.

siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
(surat Al Baqarah (2) ayat 245)

siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak.
(yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (Dikatakan kepada meraka): "Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar".
(surat Al Hadiid (57) ayat 11 dan 12)

Pengertian menafkahkan atau membelanjakan harta di jalan Allah adalah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan sekolah, rumah sakit, memberikan permodalan kepada usaha kecil, menyekolahkan anak anak yang tidak mampu sampai selesai, membuka lapangan kerja baru, usaha penelitian ilmiah dan lain sebagainya. Orang yang menafkahkan dan membelanjakan harta di jalan Allah diibaratkan bagaikan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir dimana pada setiap bulir terdapat seratus biji. Allah SWT melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Allah SWT kehendaki, seperti ada pada surat Al-Baqarah ayat 261 di bawah ini.

perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.
(surat Al Baqarah (2) ayat 261)

[166] Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Agar tujuan membelanjakan harta di jalan Allah SWT sesuai dengan kehendak Allah SWT maka kita harus melaksanakannya dengan tidak melanggar ketentuan sebagai berikut, yaitu:  (1) membelanjakannya dengan ikhlas tanpa ada riya' sedikitpun dengan tidak menyebut nyebut atas apa yang telah dibelanjakannya serta tidak menyakiti perasaan si penerima kebaikan; (2) kita diwajibkan untuk selalu berkata baik kepada orang yang akan kita beri; (3) memaafkan tingkah laku yang kurang sopan dari yang meminta atau yang akan kita beri; (4) tidak boleh menyakiti perasaan si penerima atau yang kita beri; (5) setiap pemberian harus didalam kerangka mencari Ridho Allah SWT semata. Inilah 5 (lima) hal yang telah dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al Baqarah (2) ayat 262, 263, dan 264  yang kami kemukakan di bawah ini.

orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Perkataan yang baik dan pemberian maaf[167] lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir[168].
(surat Al Baqarah (2) ayat 262, 263, 264)

[167] Perkataan yang baik Maksudnya menolak dengan cara yang baik, dan maksud pemberian ma'af ialah mema'afkan tingkah laku yang kurang sopan dari si penerima.
[168] Mereka ini tidak mendapat manfaat di dunia dari usaha-usaha mereka dan tidak pula mendapat pahala di akhirat.

Semoga diri kita, anak dan keturunan kita  mampu menjadi orang orang yang selalu membelanjakan harta di jalan Allah SWT sesuai dengan kehendak Allah SWT, saat ini juga, tanpa ada paksaan atau dipaksa atau ada kepentingan tertentu saat membelanjakan harta. Lakukan secara konsisten dan penuh komitmen dan semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah kita lakukan.

C.   KEBAIKAN UNTUK KEDUA ORANG TUA

Berdasarkan surat Al Israa’ (17) ayat 23 sampai 25 yang kami kemukakan di bawah ini, kebaikan juga harus kita berikan kepada ke dua orang tua kita sendiri, baik orang tua kandung  ataupun kedua mertua kita, tanpa dibeda bedakan. Kedudukan orang tua kandung maupun kedudukan mertua, sama kedudukannya yaitu orang tua kita juga. Kita tidak diperkenankan oleh Allah SWT hanya berbakti kepada orang tua kandung saja dengan mengabaikan kedua mertua kita, demikian pula sebaliknya. Kita tidak akan bisa berumah tangga dengan istri atau dengan suami kita jika tanpa ada kedua orang tua dan juga tanpa ada kedua orang mertua. Untuk itu perlakukan keduanya sebagai orang tua yang harus kita hormati dengan merendahkan diri dihadapan mereka, yang harus kita sayangi serta kita wajib berkata kata baik kepada mereka dengan perkataan yang mulia. 

dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia[850].
dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, Maka Sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.
(surat Al Israa’ (17) ayat 23 sampai 25)

[850] Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.

Untuk itu kita bisa berpedoman dengan hal hal sebagai berikut sebelum diri kita berkomunikasi dengan ke dua orang tua, yaitu dengan mendahulukan penghormatan kepada mereka berdua. Jika kita mampu mendahulukan penghormatan kepada mereka maka akan lahirlah bahasa tubuh atas penghormatan diri kita kepada mereka berdua. Jika hal ini telah kita lakukan dan dapatkan maka lanjutkan berkomunikasi dengan bahasa lisan kepada ke duanya. Lalu rasakanlah rasa berkomunikasi itu tiap saat dan tanpa terasa kita telah menempatkan orang tua sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT. 

Diriwayatkan dari Al Mugirah bin Syu’bah dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan atas kalian untuk berlaku durhaka kepada kedua orang tua, juga bersikap suka meminta minta tetapi tidak suka memberi dan mengubur (membunuh) anak perempuan hidup hidup. Dan Dia membenci dari kalian tiga perkara, yaitu mengatakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya, banyak bertanya sesuatu (yang tidak perlu) dan mengeluarkan harta benda secara sia sia”.
(Hadits Riwayat Muslim)

Sekarang banyak ditemui anak yang hilang sopan santun hingga kurang ajar terhadap orang tuanya, tidak mempunyai sikap berbakti bahkan menelantarkan orang tua yang sudah lanjut usia. Berbuat baik kepada kedua orang tua wajib hukumny sepanjang hayat masih di kandung badan. Ketika kedua orang tua kita masih muda atau sudah lanjut usianya bahkan pikun kita tetap wajib berbakti kepada keduanya. Mereka membesarkan kita dengan penuh kasih sayang dan berbagai pengorbanan. Pengorbanan itu tak hanya dalam hal tenaga, waktu dan materi, bahkan demi anak nyawa pun rela dikorbankan. Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk kebaikan orang tua? Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk kebaikan orang tua, termasuk kepada orang tua yang telah tiada, seperti :

a.      Lemah Lembut Dalam Bertutur Kata Kepada Orang Tua

Jagalah setiap tutur kata kita sebagai anak agar senantiasa lemah lembut tatkala berbicara kepada orang tua. Jauhi ucapan-ucapan bernada tinggi, apalagi kata-kata kasar. Kepada pimpinan atau bos kita saja kita bisa berusaha santun (meskipun terkadang hanya basa-basi), seharusnya kita pun bisa bertutur lemah lembut kepada orang tua. Kadang kita temui anak yang berkata kepada orang tuanya dengan cara berteriak-teriak.

b.      Membantu Berbagai Pekerjaan Rumah

Banyak dari kita yang tidak menyadari sebenarnya ada berbagai rutinitas orang tua, terutamanya Ibu yang sebenarnya cukup melelahkan, namun atas dasar tanggung jawab sebagai orang tua, perkara-perkara rutinitas dalam keseharian itu tidak menjadikan mereka berkeluh kesah. Maka tidak ada salahnya bagi kita untuk membantu meringankan beban orang tua tersebut, seperti halnya membantu mencuci piring, menyapu halaman, mengepel lantai, membersihkan rumah dan semisalnya. Meskipun mungkin kita tidak setiap hari membantu dalam meringankan pekerjaan-pekerjaan tersebut, tapi niscaya itu akan membuat orang tua merasa bahagia.

c. Ringan Tangan Menjalankan Perintah Orang Tua

Jika orang tua memerintahkan suatu hal kepada kita, yang mana hal tersebut dapat kita jalankan, maka janganlah menolak atau menunda-nunda jika memang kita tidak memiliki udzur dalam perkara tersebut. Orang tua ‘melayani’ kita sejak kita lahir, sejak masih bayi hingga dewasa dengan penuh kesabaran dan kasih sayang. Sungguh tidak pantas ketika tiba saatnya orang tua kita memerintahkan kita untuk melakukan suatu perkara yang sanggup kita kerjakan, namun kita mencari-cari alasan untuk mengelak dari perintah tersebut.

a.      Senantiasa Bersikap Sopan dan Santun

Tidak sekedar ucapan yang lemah lembut saja yang harus kita jaga, namun juga disertai dengan sikap sopan dan santun terhadap orang tua. Semisal kita mengucapkan salam ketika pulang, tidak sekedar seperti orang masuk pasar. Terlebih lagi kita harus menjauhi sikap kurang ajar kepada orang tua.

b.      Bersikap Sabar dan Menahan Marah

Sering kali kita mendengar ucapan dari sekian banyak orang terkait orang tua yang semakin bertambah usia mereka, maka akan semakin ‘rewel’ sikap mereka, seperti anak kecil lagi. Terkadang dipicu oleh kondisi kesehatan yang sudah tidak prima lagi, terkadang orang tua semakin usianya renta mereka jadi lebih sensitif dan mudah marah. Dalam keadaan seperti ini kita harus berusaha untuk menahan diri dengan bersabar. Bahwasanya surga itu adalah tempat yang salah satu ciri-ciri penghuninya adalah mereka yang dapat menahan marah.Bayangkan bagaimana kesabaran orang tua mengasuh kita sejak kecil hingga dewasa, sabar menghadapi kebandelan kita, sabar menasehati kita, dll.

c.      Memberi Hadiah Kepada Orang Tua

Memberi hadiah tidak hanya khusus dituntunkan kepada pasangan suami-istri ataupun dari orang tua kepada anak. Namun anak pun dapat memberikan suatu hadiah kepada orang tuanya. Hadiah tidak haruslah yang mahal, namun yang penting dapat menyenangkan orang tua kita. Semisal untuk Ibu kita beri hadiah berupa jilbab yg syar’i, atau kepada bapak kita hadiahkan sebuah sarung yang bagus, semisal tatkala Alloh ‘Azza wa Jalla memberi kita kemudahan dalam hal rezeki yang berlebih. Betapa orang tua akan merasa dimuliakan anak.
d.     Tidak Menyia-nyiakan Kerja Keras Orang Tua.

Di jaman sekarang ini, banyak kita temui anak yang tidak bisa menghargai perjuangan dan kerja keras orang tuanya dalam menafkahi mereka, menyekolahkan mereka, dan hal yang semisalnya yang notabene perjuangan tersebut adalah untuk membuat kita menjadi lebih baik. Semisal bentuk tidak menghargai perjuangan dan kerja keras orang tua adalah: bolos sekolah, menghambur-hamburkan uang pemberian orang tua, malas belajar, dan sikap negatif lainnya yang dilakukan seorang anak.

e.      Merawat Mereka Saat Usia Semakin Renta

Saat kita masih kecil hingga kita dewasa orang tua merawat kita dengan penuh kesabaran dan ketelatenan. Saat kita sakit sejak kita bayi hingga dewasa, orang tua menjaga kita siang dan malam. Ingatlah bagaimana Ibu kita memandikan kita, menyuapi kita dengan telaten, memakaikan baju setiap hari, mengajari kita hal-hal yang baik, mengganti popok kita, dll. Sekarang banyak kita temui, anak-anak yang menaruh orang tuanya di panti jompo dikarenakan mereka lebih memilih menghabiskan semua waktu untuk mengejar nafsu duniawi. Sungguh kebanyakan orang tua akan nelangsa dengan perlakuan seperti ini.

f.       Doa Anak Yang Shalih Untuk Orang Tua Yang Telah Meninggal

Bagi Kaum Muslimin yang mana kedua orang tua atau salah satunya telah tiada, bahwasanya doa dari anak yang sholeh begitu luar biasa memberi manfaat bagi orang tua yang telah meninggal. Telah banyak hadits yang menerangkan tentang bagaimana kebaikan yang akan didapatkan orang tua di kehidupan setelah mati tatkala memiliki anak-anak yang sholeh yang mau mendoakan mereka. Dan shaleh ataupun shalehah itu harus diperjuangkan dengan cara taat pada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengikuti tuntunan Rasul-Nya, Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Sebaliknya anak-anak yang tidak mau taat kepada perintah Alloh dan sebaliknya gemar berbuat dosa akibat meninggalkan shalat, berbuat maksiat, tidak mau belajar ilmu agama dan hal-hal yg dibenci Alloh serta RasulNya.. maka sang anak hanya akan memberikan beban berat yang harus dipertanggung jawabkan orang tuanya di yaumul akhirat.

g.      Menjaga Silahturahmi Dengan Kerabat ataupun Teman Orang Tua

Termasuk juga dalam ini adalah menyambung hubungan dengan teman atau sahabat dari orang tua kita yang telah tiada. Dalam syariat Islam bahwasanya dituntunkan untuk kita senantiasa menyambung tali silahturahmi dengan keluarga-keluarga dari orang tua kita yang telah tiada sebagai bentuk bakti kita kepada orang tua. Kita usahakan meluangkan waktu untuk berkunjung ke rumah paman, tante dan semisalnya.

Abu Hurairah berkata, dari Nabi SAW beliau bersabda: “Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang yang mendapatkan kedua orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau keduanya, tetapi (dengan itu) dia tidak masuk syurga.”
(Hadits Riwayat Muslim dan Ahmad)

Kedua orang tua itu adalah ‘ladang pahala’ untuk kita menggapai keridhaan dan syurga Allah SWT. Terdapat kemuliaan tatkala seorang anak ikhlas dan sadar dalam memuliakan serta berbakti kepada kedua orang tuanya dalam perkara-perkara yang ma’ruf (perkara yang baik dan tidak melanggar syariat). Dan sungguh celaka dan merugi bagi seorang anak yang tatkala kedua orang tua atau salah satunya masih hidup lantas kita enggan/malas malasan merawatnya, serta enggan berbakti kepada mereka terlebih tatkala orang tua sudah renta, bahkan sampai membiarkan orang tua terlantar tanpa perhatian dan kasih sayang dari anak-anaknya. Demi mengejar karir, demi membahagiakan istri atau suami, sering kali akhirnya orang tua dilupakan dan dikesampingkan. Tanpa disadari mereka mendekatkan diri dengan api neraka dan azab-Nya. Semoga kita semua mampu berbakti kepada kedua orang tua. Amien.

Selain ke tiga hal yang telah kami kemukakan di atas, masih ada ketentuan lain yang mengatur kepada siapa saja kita bisa berbuat kebaikan, berikut ini akan kami kemukakan hal di maksud, yaitu:

1.     KEBAIKAN UNTUK GOLONGAN 7 (TUJUH)

Berdasarkan surat An Nisaa’ (4) ayat 36 yang kami kemukakan di bawah ini, kebaikan dapat kita tujukan kepada golongan 7 (tujuh) yakni : (1) kepada dua orang ibu-bapa, (2) karib-kerabat, (3) anak-anak yatim, (4) orang-orang miskin, (5) tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, (6) Ibnu sabil dan (7) hamba sahayamu.

sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, Ibnu sabil[295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,
(surat An Nisaa’ (4) ayat 36)

[294] Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang Muslim dan yang bukan Muslim.
[295] Ibnus sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan ma'shiat yang kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya.

Adanya golongan 7(tujuh) yang telah dikemukakan oleh Allah SWT tentunya harus memudahkan diri kita untuk berbuat kebaikan, karena Allah SWT telah menunjukkan jalan kepada diri kita kesanalah kita berbuat kebaikan. Hal yang harus kita hindari saat diri kita berbuat kebaikan adalah jangan menyombongkan diri dan membangga banggakan diri baik dihadapan Allah SWT maupun dihadapan peneriman kebaikan. Semoga kita terhindar dari kedua hal ini.

Selain daripada itu, berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 83 yang kami kemukakan di bawah ini, saat diri kita berbuat kebaikan kepada ibu bapak, kepada kaum kerabat, kepada anak anak yatim dan orang orang miskin, kita tidak diperkenankan oleh Allah SWT untuk mengucapkan kata kata kasar yang menyakitkan hati. Melainkan ucapkanlah kata kata yang baik kepada manusia lalu dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat serta kita diwajibkan oleh Allah SWT untuk selalu menjadi orang yang menepati janji.

dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.
(surat Al Baqarah (2) ayat 83)

dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, Maka Katakanlah kepada mereka Ucapan yang pantas[851].
(surat Al Israa’ (17) ayat 26, 27, 28)

[851] Maksudnya: apabila kamu tidak dapat melaksanakan perintah Allah seperti yang tersebut dalam ayat 26, Maka Katakanlah kepada mereka Perkataan yang baik agar mereka tidak kecewa lantaran mereka belum mendapat bantuan dari kamu. dalam pada itu kamu berusaha untuk mendapat rezki (rahmat) dari Tuhanmu, sehingga kamu dapat memberikan kepada mereka hak-hak mereka.

Selanjutnya Allah SWT melalui surat Al Israa’ (17) ayat 26, 27, dan 28 yang kami kemukakan di atas ini, melarang diri kita untuk berperilaku boros dengan menghambur hamburkan uang (harta) saat hidup di dunia. Allah SWT juga telah memberikan peringatan keras bahwa pemboros pemboros itu adalah saudara saudaranya syaitan sang laknatullah. Lalu kenapa Allah SWT melarang diri kita berperilaku boros? Ingat, kita hadir kemuka bumi ini tidak memiliki apa apa dan tidak bisa berbuat apa apa. Kita bisa berbuat, bertindak dan bekerja karena telah diberikan sesuatu yang berharga dari Allah SWT seperti Ruh/Ruhani, Jasmani, Hubbul, Akal dan lain sebagainya untuk kesuksesan diri kita menjadi khalifah di muka bumi. Sekarang bagaimana kita akan sukses menjadi khalifah di muka bumi jika kita berperilaku boros terhadap apa apa yang telah diberikan Allah SWT sedangkan kesemuanya akan dimintakan pertanggungjawaban. Allah SWT menunjukkan kasih sayangnya kepada diri kita dengan memberikan rambu rambu khusus agar kita selamat di dunia dan di akhirat kelak yaitu jangan boros.

2.     KEBAIKAN UNTUK ORANG YANG TERANIAYA

Berdasarkan surat An Nisaa’ (4) ayat 148 dan Al Kahfi (18) ayat 83 dan 96 yang kami kemukakan di bawah ini, kebaikan juga harus kita berikan kepada orang orang yang teraniaya, kepada orang yang sedang dizhalimi. Orang yang teraniaya atau orang yang sedang dizhalimi tentunya dalam posisi lemah, tidak mampu, tidak berdaya untuk melawan, yang ada hanyalah diam dan diam tanpa bisa berbuat serta hanya bisa melihat dan melihat kezhaliman yang menimpa dirinya.  

Allah tidak menyukai Ucapan buruk[371], (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya[372]. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
(surat An Nisaa’ (4) ayat 148)

[371] Ucapan buruk sebagai mencela orang, memaki, menerangkan keburukan-keburukan orang lain, menyinggung perasaan seseorang, dan sebagainya.
[372] Maksudnya: orang yang teraniaya oleh mengemukakan kepada hakim atau Penguasa keburukan-keburukan orang yang menganiayanya.

Disinilah letak kenapa kita diperintahkan oleh Allah SWT berbuat kebaikan kepada orang yang teraniaya atau kepada orang yang sedang terzhalami. Adanya bantuan moril maupun materiil, akan menguatkan orang yang teraniaya atau yang terzhalami menghadapi persoalan sehingga ia merasa tidak sendirian dan merasa ada yang memperhatikan. Adanya diri kita bersama mereka, di tengah mereka,  akan memberikan dampak positif  kepada mereka sehingga orang yang teraniaya atau  orang yang terzhalimi tidak mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Bayangkan jika persolan yang dihadapi masuk dalam kategori api, lalu dibalas dengan api maka hancurlah keduanya. Api sampai kapanpun hanya bisa diatasi dengan air. Api tidak bisa pula diatasi dengan amarah tetapi hanya bisa diatasi dengan lemah lembut. Disinilah letak betapa pentingnya diri kita berada di tengah tengah orang yang teraniaya dan  yang terzhalimi.  

mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: “Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya”.
berilah aku potongan-potongan besi”. Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulkarnain: “Tiuplah (api itu)”. hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: “Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku kutuangkan ke atas besi panas itu”.
(surat Al Kahfi (18) ayat 83 dan 96)

Dianiaya dan juga dizhalimi pasti tidak disukai oleh setiap orang, sehingga saat teraniaya atau saat terzhalimi orang tersebut akan berbuat apa saja agar terhindar dari anaiaya atau kezhaliman itu. Jika mampu, orang tersebut akan menghentikan aniaya atau kezhaliman atas dirinya dengan tenaganya atau dengan lisannya. Namun bagaimana jika orang tersebut tidak memiliki kemampuan? Boleh jadi doa akan menjadi senjata terakhir baginya. Orang yang teraniaya atau terzhalimi akan menghaturkan/memohon kepada penguasa alam semesta Allah SWT atas aniaya atau atas kezhaliman yang dialaminya dan meminta kebinasaan  untuk orang yang terlah berbuat aniaya atau zhalim kepadanya. Dan berdasarkan hadits yang kami kemukakan di bawah ini, Allah SWT akan mengabulkan doa orang yang terzalimi.

Rasulullah SAW bersabda:"Tiga orang yang tidak akan ditolak doanya: orang puasa sampai ia berbuka, imam yang adil, dan doa orang yang dizalimi."
(Hadits Riwayat  Al-Tirmidzi)

Rasulullah SAW berpesan kepada Mu'ad bin Jabal saat mengutusnya ke Yaman, "Dan takutlah doa orang terzalimi, karena tidak ada hijab (penghalang) antara ia dengan Allah."
(Muttafaq 'Alaih)

Tidak ada larangan atau bahkan dibolehkan bagi orang yang dizhalimi dan dianiaya untuk membela dirinya salah satu bentuknya adalah dengan mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya. Allah SWT memberikan keringanan baginya untuk mendoakan keburukan atas orang yang menganiayanya atau yang menzaliminya seperti yang dikemukakan dalam surat An Nisaa’ (4) ayat 148 di atas. Namun, apakah hal ini yang terbaik baginya? Jawabannya adalah Tidak. Jika ia membalas kepada orang yang menganiaya atau yang menzaliminya dengan doa keburukan, maka ia tidak mendapat apa-apa karena ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan dalam hal ini adalah kepuasan bathin semata.Sangat berbeda hasilnya jika doanya dengan diniatkan agar orang-orang tidak lagi menderita akibat kejahatannya, maka ia akan mendapat pahala dengannya doanya itu. Terlebih jika niatnya untuk menghilangkan kezhaliman, menegakkan syariat Allah SWT dan hukum-Nya, maka pahala yang didapatkannya lebih banyak lagi. Namun apabila orang yang teraniaya atau terzhalimi bersabar, memaafkan, dan membalas keburukan dengan kebaikan maka ia mendapat pahala yang besar di sisi Allah SWT

dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik[1345] Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.
(surat Asy Syuura (42) ayat 40)

[1345] Yang dimaksud berbuat baik di sini ialah berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepadanya.

"Tidaklah Allah menambah kepada hamba melalui maaf yang ia berikan kecuali kemuliaan." (Hadits Riwayat  Muslim)
dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.
sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai Keuntungan yang besar.
(surat Fushshilat (41) ayat 34, 35)

"Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik," adalah: apabila ada orang yang berbuat buruk kepadamu baik dengan perkataan atau perbuatan, maka balaslah dengan kebaikan. Jika ia memutus hubungan denganmu, maka sambunglah. Jika ia menganiaya atau menzalimimu maka maafkanlah ia. Jika membicarakan keburukanmu, baik di depan atau di belakangmu, maka janganlah engkau membalasnya, tetapi maafkan ia dan bebicara kepadanya dengan lemah lembut. Jika ia mengucilkanmu dan tidak mau berbicara denganmu, maka berbicaralah yang baik dan mulailah berilah salam kepadanya.

Ingat, dalam ayat ini sangat istimewa, bukan hanya maaf yang diberikan, tapi membalas keburukan dengan memberikan kebaikan. Membalas keburukan dengan keburukan tidaklah mendatangkan kebaikan untuk dirinya, khususnya di akhirat kelak. Sementara jika ia berbuat baik kepadanya, kebaikannya itu akan tetap dicatat kebaikan. Bersikap seperti di atas tidaklah akan merendahkan martabatnya, tetapi sebaliknya, Allah SWT akan meninggikannya dengan akhlak mulia tersebut. Allah SWT akan meninggikan derajatnya di dunia dan akhirat karena mulianya akhlak yang ia tampilkan.

D.   KEBAIKAN UNTUK AHLI KITAB

Berdasarkan surat Al Ankabuut (29) ayat 46 yang kami kemukakan di bawah ini, kebaikan juga bisa kita berikan kepada Ahli Kitab dengan tidak berdebat kepadanya melainkan dengan cara yang paling baik dengan tidak merendahkan mereka serta tidak berkata kasar kepada mereka. Allah SWT melarang berdebat dikarenakan jika debat dilakukan maka orang yang berdebat hanya akan memikirkan bagaimana caranya mengalahkan orang lain pada saat berdebat. Demikian pula orang yang diajak berdebat akan berusaha mempertahankan apa apa yang dikemukakannya. Hasil akhir dari perdebatan hanyalah sekedar omongan semata tanpa ada hasil akhir. Alangkah baiknya jika yang dilakukan adalah bertukar fikiran tentang sesuatu hal berdasarkan apa yang dipahami oleh Ahli Kitab serta yang berdasarkan ketentuan Agama Islam. Sehingga kita bisa memahami agama orang lain lalu bertambah yakinlah kita kepada agama Islam yang kita peluk saat ini.

dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka[1154], dan Katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri".
(surat Al Ankabuut (29) ayat 46)

[1154] Yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim Ialah: orang-orang yang setelah diberikan kepadanya keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dengan cara yang paling baik, mereka tetap membantah dan membangkang dan tetap menyatakan permusuhan.

Selanjutnya Allah SWT berdasarkan surat Al An’am (6) ayat 108 di bawah ini, melarang diri kita untuk memaki, menghina, melecehkan sembahan sembahan selain dari pada Allah SWT, karena mereka nanti akan memaki Allah SWT dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.

dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
(surat Al An’am (6) ayat 108)


Bayangkan Allah SWT yang sangat berkuasa dan sangat maha melarang kita berbuat seperti itu, padahal Allah SWT mampu untuk berbuat apapun juga untuk menghancurkan tuhan tuhan lain selain Allah SWT. Hal ini dikarenakan Allah SWT akan mengemukakan serta menunjukkan segala perbuatan yang telah mereka kerjakan sehingga mudah untuk diminta pertanggungjawabannya terhadap apa yang dahulu telah mereka kerjakan. Adanya ketentuan untuk berbuat baik kepada Ahli Kitab dan juga larangan untuk memaki sembahan selain Allah SWT kepada kita berarti kita harus bisa menjadi orang Islam yang beriman dan bertaqwa tanpa harus menyalahkan atau merendahkan agama agama yang lain. Majulah tanpa menyingkirkan orang lain. Naiklah tanpa menjatuhkan orang lain. Jadilah baik tanpa menjelekkan orang lain. Jadilah benar tanpa menyalahkan orang lain.

KETENTUAN DASAR KEBAIKAN DAN KEBURUKAN


Kebaikan dan keburukan merupakan hasil dari perbuatan yang kita lakukan atau merupakan output yang berasal dari input yang diproses secara tertentu yang kita lakukan. Kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang sangat berbeda seperti perbedaan malam dengan siang. Adanya perbedaan antara kebaikan maka Allah SWT memberikan ketentuan dasar dari keduanya sehingga menghasilkan apa yang dinamakan dengan adanya kepastian hukum yang berdampak kepada yang melakukaknnya, dalam hal ini adalah diri kita. Adanya kepastian hukum yang berasal dari Allah SWT berarti Allah SWT memberikan jaminan tertentu kepada yang melakukan kebaikan dan siap memberikan sanksi kepada yang melakukan keburukan. Untuk itu jadikan apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai pedoman saat hidup di dunia ini sehingga kita tidak salah jalan.

Adapun beberapa ketentuan dasar dari kebaikan dan juga keburukan yang berlaku saat ini dapat kami kemukakan sebagai berikut, yaitu:

A.   SETIAP KEBAIKAN ATAU KEBURUKAN PASTI DIBALAS

Allah SWT sudah menetapkan adanya kepastian hukum atas kebaikan dan keburukan di dalam surat An Nahl (16) ayat 96, surat An An’am (6) ayat 160 dan surat Ar Rahmaan (55) ayat 60 seperti yang kami kemukakan di bawah ini, yaitu memberi balasan setiap kebaikan dengan kebaikan/pahala yang lebih baik dari apa yang telah kita kerjakan. Demikian pula Allah SWT juga akan membalas keburukan/kejahatan dengan keburukan/kejahatan pula sesuai dengan kadar atau seimbang dengan keburukan/kejahatan yang dilakukan oleh seseorang.

apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. dan Sesungguhnya Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
(surat An Nahl (16) ayat 96)

Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan Barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka Dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).
(surat Al An’am (6) ayat 160)
tidak ada Balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).
(surat Ar Rahmaan (55) ayat 60)

Abu Darda ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Apabila hambaKu berniat melakukan suatu kejahatan, maka janganlah kamu catat sebelum ia melaksanakannya. Bila telah dilaksanakannya, catatlah sebagai satu kejahatan. Akan tetapi bila ia berniat melakukan suatu kebajikan namun tidak jadi dilaksanakannya, maka catatlah baginya satu kebajikan. Bila ia melaksanakannya, maka catatlah untuknya sepuluh kebajikan.
(Hadits Qudsi Riwayat Bukhari, Muslim; 272: 23)

Selain daripada itu, Allah SWT juga telah memberikan sebuah kepastian hukum yang mengikat terutama di dalam besaran kebaikan dan juga besaran keburukan. Adapun ketetapan hukum atas besaran kebaikan/pahala yang akan diberikan Allah SWT kepada yang berbuat kebaikan sebagai berikut : apabila seseorang berniat berbuat kebaikan maka catatlah sebagai satu kebajikan dan jika niat kebaikan dilaksanakan maka catatlah untuknya sepuluh kebajikan. Sedangkan bagi orang yang baru  berniat untuk melakukan keburukan, niatnya belum dicatat sebagai sebuah keburukan sepanjang niat itu belum dilaksanakan. Keburukan baru dicatat sebagai satu keburukan jika niat keburukan sudah dilaksanakan oleh pelakunya. Inilah salah satu matematika Allah SWT yang berlaku kepada diri kita dan juga kepada anak dan keturunan kita.

Hal yang tidak akan pernah terjadi adalah Allah SWT salah di dalam menetapkan balasan kebaikan ataupun balasan keburukan yang telah kita lakukan. Ingat, Malaikat Raqib dan Malaikat Atid sebagai petugas pelaksana yang telah diberi mandat oleh Allah SWT tidak akan pernah lalai sedikitpun di dalam melaksanakan tugasnya terutama di dalam memonitor, merekam, mencatat seluruh aktivitas manusia melalui program CCTV yang ada padanya.Seluruh data yang dipegang oleh Malaikat Raqib dan Malaikat Atid utuh, sesuai dengan apa yang terjadi, sesuai dengan aslinya tanpa ada pengurangan, tanpa penambahan ataupun proses pensensoran oleh siapapun juga dan siap diperlihatkan kepada diri kita saat hari berhisab tiba.

Sekarang apa yang dicatat oleh kedua malaikat subyeknya adalah diri kita, lalu apa yang bisa kita perbuat dengan apa yang telah dicatat oleh malaikat? Sebagai subyek kita tidak bisa mengelak atau menghindar dari apa yang telah dilakukan oleh malaikat dan yang harus kita siapkan adalah bagaimana caranya untuk mempertanggungjawabkan terhadap apa apa yang telah kita lakukan, terutama dalam hal keburukan/kejahatan yang telah kita lakukan. Apalagi Allah SWT dengan tegas menyatakan dalam surat Ath Thalaaq (65) ayat 11 bahwa Allah SWT selalu memberikan rezeki yang terbaik kepada diri kita.


(dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya. dan Barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya.
(surat Ath Thalaaq (65) ayat 11)


Selain daripada itu Allah SWT juga tidak akan pernah menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, seperti yang kami kemukakan dalam surat An Nisaa’ (4) ayat 40 di bawah ini. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT selalu bersama orang baik yang selalu berada di dalam kebaikan. Dan jika yang ada sekarang adalah keburukan dan juga kejahatan berarti kesemuanya berasal dari diri kita. Tidak ada jalan keluar dari keburukan ataupun kejahatan kecuali mempertanggungjawabkannya di akhirat kelak.

Sesungguhnya Allah tidak Menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar[298].
(surat An Nisaa’ (4) ayat 40)

[298] Maksudnya: Allah tidak akan mengurangi pahala orang-orang yang mengerjakan kebajikan walaupun sebesar zarrah, bahkan kalau Dia berbuat baik pahalanya akan dilipat gandakan oleh Allah.

Ingat, saat hari mempertanggungjawabkan atas apa apa yang kita lakukan saat hidup di dunia, mulut tidak bisa berkata kata. Justru kaki, tangan, telinga, mata yang dapat berkata kata saat diri kita diminta mempertanggungjawaban segala tindakan kita yang kesemuanya disesuaikan dengan apa apa  yang telah dicatat oleh malaikat pencatat. Kita tidak bisa menghindar lagi serta kita tidak bisa berbohong lagi lalu bersiap menerima akibat dari perbuatan diri kita.

B.   UKURAN BERBUAT BAIK

Berdasarkan surat Al Qashash (28) ayat 77 yang kami kemukakan di bawah ini, Allah SWT telah memberikan ukuran atau batasan tertentu di dalam berbuat kebaikan, yaitu dahulukan untuk mencari kebahagiaan akhirat yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada diri kita dengan tidak melupakan bahagian dari kenikmatan duniawi. Adanya kondisi ini Allah SWT tidak melarang diri kita untuk merasakan kebahagiaan hidup yang bersifat duniawi seperti rekreasi, berkumpul dan lain sebagainya sepanjang tidak diharamkan oleh Allah SWT.

Allah SWT tidak berkehendak kepada diri kita untuk seluruh waktu yang kita miliki hanya untuk beribadah dan berbuat kebaikan semata. Kita juga diperbolehkan untuk merasakan kenikmatan duniawi sepanjang hal itu mampu menghantarkan diri kita untuk bisa melihat dan merasakan tanda tanda dari kebesaran dan kemahaan Allah SWT serta menghantarkan diri kita beriman kepada Allah SWT.

dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
(surat Al Qashash  (28) ayat 77)

Jika sekarang kita telah merasakan betapa Allah SWT telah berbuat baik kepada diri kita maka sebagai wujud dari kita bersyukur kepada Allah SWT maka kita wajib berbuat baik kepada orang lain serta jangan pernah merusak apa apa yang telah diciptakan Allah SWT. Lalu yang terjadi adalah kita tidak mampu berbuat seperti yang dikehendaki Allah SWT seperti tidak mau berysukur atau justru berbuat kerusakan ini berarti kita sendiri yang mengundang kemarahan dan ketidaksukaan Allah SWT. Jangan pernah salahkan Allah SWT ataupun orang lain jika kita sendiri merasakan keburukan/adzab saat hidup di dunia ini karena ulah diri sendiri yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT. Ayo segera bertaubat dan segera memperbaiki diri sebelum semuanya terlambat.

Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 261 dan hadits qudsi yang kami kemukakan di bawah ini, Allah SWT selaku pencipta dan pemilik langit dan bumi dan yang juga telah memerintahkan kita untuk selalu berbuat kebaikan telah memiliki suatu rumusan atau perhitungan tertentu yang kami istilahkan matematika Allah SWT. Ilmu matematika manusia dengan ilmu matematika Allah SWT sangat berbeda.

perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.
(surat Al Baqarah (2) ayat 261)

[166] Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Abu Darda ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Apabila hambaKu berniat melakukan suatu kejahatan, maka janganlah kamu catat sebelum ia melaksanakannya. Bila telah dilaksanakannya, catatlah sebagai satu kejahatan. Akan tetapi bila ia berniat melakukan suatu kebajikan namun tidak jadi dilaksanakannya, maka catatlah baginya satu kebajikan. Bila ia melaksanakannya, maka catatlah untuknya sepuluh kebajikan.
(Hadits Qudsi Riwayat Bukhari, Muslim; 272: 23)

Jika ilmu matematika Allah SWT berbeda dengan ilmu matematika manusia, lalu ilmu matematika siapakah yang akan kita ikuti? Sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi maka kita harus menjadikan matematika Allah SWT berlaku kepada diri kita saat ini juga dan seterusnya. Sekarang tergantung diri kita maukah kita berbuat kebaikan yang berlandaskan matematika Allah SWT? Berikut ini akan kami kemukakan rumus-rumus matematika Allah SWT yang merupakan cerminan dari nilai nilai  Islami, yaitu:

1.      Rumus Angka 1

Angka 1 adalah sebuah angka yang sangat unik. Angka ini merupakan cikal bakal semua angka dalam matematika. Mari kita lihat, 0 = 1-1, 1 = 1+0, 2 = 1+1, 3 = 1+2, 4 = 1+3, 5 = 1+4, 6 = 1+5, 7 = 1+6, 8 = 1+7, 9 = 1+8. Angka ini terjadi begitu saja. Ia tidak berasal dari penjumlahan, pengurangan, perkalian ataupun pembagian angka berapa pun, namun angka 1 lah satu-satunya yang menciptakan semua angka. Angka satu sebenarnya adalah cerminan dari sifat Allah SWT. Allah SWT  itu Esa, tunggal. Tidak berasal dari apa pun, tidak memiliki anak dan Dia tidak diperanakkan. Allah SWT tidak diciptakan oleh siapa pun, tetapi Allah SWT-lah pencipta segala sesuatu, pencipta langit dan bumi dan segala isinya. Zat Allah SWT merupakan asal muasal dari segala sesuatu. Angka 1 sejatinya adalah salah satu perwakilan Allah  SWT di alam semesta.

2.      Rumus Perkalian Plus (+) dan Minus (-)

Setidaknya ada 4 (empat) buah tanda dalam perhitungan matematika yang berhubungan dengan rezeki yang akan diberikan Allah SWT kepada setiap manusia. Berikut adalah 4 (empat)  tanda dimaksud, yaitu:

a.  Tanda tambah ( + ), apabila diri kita pandai bersyukur kepada Allah SWT maka Allah SWT akan menambah  menambah rezeki kita.

b.  Tanda kali ( x ), apabila kita membiasakan diri untuk berderma kepada sesama  manusia maka Allah SWT  akan memberikan balasan yang berlipat ganda sesuai dengan tingkat keikhlasan kita masing-masing, atau minimal balasannya setara dengan nilai yang telah didermakan.

c.  Tanda tak hingga (~), apabila kita pandai bersyukur, gemar berderma kepada sesama dan bertakwa kepada Allah SWT maka kita akan mendapatkan balasan rezeki yang tak disangka-sangka / tak terduga yang waktu dan jumlahnya hanya Allah SWT yang menentukan karena Allah SWT Maha Tahu, Maha Adil dan Maha Bijaksana.
d.   Tanda kurang ( - ), namun bagi orang-orang yang tidak pandai bersyukur, tidak suka berderma (berbagi/sedekah) atau bahkan pelit kepada sesama dan tidak bertakwa kepada Allah SWT serta gemar berbuat dosa (baik dosa kecil maupun besar), maka niscaya hidupnya akan terasa sangat sulit, kalaupun sukses dari segi materi namun mereka tidak akan mendapatkan ketenangan di dalam jiwa mereka. Karena hanya dengan mengingat Allah SWT dan beramal sholeh, jiwa kita akan terasa tenang dan damai.

Dari ke empat ‘tanda’ tersebut terdapat 4 (empat) pilihan, ‘tanda’ apa yang akan kita pilih tentunya sangat tergantung kepada diri kita masing masing karena hidup itu ada pilihan. Selain dari pada itu, mari kita perhatikan rumus rumus yang kami kemukakan di bawah ini :

A. ( +  X  –   =  – );  B. ( –  X  +   = –) ;  C. (+  X  +   = + ) ;  D. (–  X  –    = +)

Dengan catatan: apabila (+)  adalah benar atau kebenaran, sementara (-)  adalah salah atau kesalahan, maka rumus yang kami kemukakan di atas bisa kita artikan sebagai berikut : (A). jika yang benar kita katakan salah, maka perbuatan kita menjadi salah; (B) jika yang salah kita katakan benar, maka perbuatan kita menjadi salah; (C) jika yang benar kita katakan benar, maka perbuatan kita menjadi benar; (D) jika yang salah kita katakan salah, maka perbuatan kita menjadi benar.  

3.      Rumus Pembagian (Infaq dan Sedekah)

Kita akan melihat rumus matematikanya: p/h = H atau p/0 = oo, dengan catatan sebagai berikut: p = pemberian; h = harapan; H = hasil; 0 = nol harapan; oo  = tidak terhingga.

perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.
(surat Al Baqarah (2) ayat 261)

[166] Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Misalkan seseorang memberikan sedekah sebesar sejuta rupiah kepada kaum miskin dengan harapan yang berbeda beda, maka orang tersebut akan memperoleh balasan dari Allah SWT dengan jumlah yang berbeda beda pula. Hal ini dapat kami ilustrasikan sebagai berikut:              1 juta/500.000 = 2; 1 juta/400.000 = 2,5; 1 juta/300.000 = 3,3 ; 1 juta/200.000 = 5 ; 1 juta/100.000 = 10 ; 1 juta/ 50.000 = 20 ; 1 juta/10.000 = 100 ; 1 juta/0 = oo

Point yang terakhir ini merupakan bukti yang tidak terbantahkan dari apa yang Allah SWT kemukakan dalam surat Al Baqarah (2) ayat 261 di atas. Ini berarti pemberian yang ikhlas kepada yang membutuhkan besar maupun kecil, sedikit atau banyak tanpa mengharap imbalan apapun kecuali ridha Allah SWT akan mendatangkan balasan yang tidak terhingga dari Allah SWT. Balasan tidak terhingga itu bisa dalam bentuk apa saja, bisa berupa nominal uang, kesehatan diri dan keluarga, anak yang shaleh dan shalehah, sahabat yang baik, tetangga yang baik, keluarga besar yang saling mendukung dan mengasihi, kemudahan dari setiap masalah yang kita hadapi, lingkungan kerja yang positif, kebahagiaan bathin dan lain sebagainya.

Ingat, uang bukanlah tolak ukur yang akan diberikan Allah SWT kepada diri kita karena uang bukanlah segala galanya. Perhatikan apa yang kami kemukakan di bawah ini tentang apa apa yang bisa dibeli oleh uang.

What Money Can Buy : A Bed but not Sleep; Books but not Brains; Food but not Appetite; Finery but not Beauty; A House but not Home; Medicine but not Health;Luxuries but not Culture; Amusement but not Happiness; Religion but not Salvation; A Clock but not Time; Position but not Resfect.

Untuk itu jadikan ikhlas hanya kepada Allah SWT yang kita jadikan pedoman saat berbuat kebaikan. Hal ini dikarenakan keikhlasan dalam memberi berbanding lurus dengan hasil yang akan kita dapatkan di dunia dan di akhirat kelak. Balasan Allah SWT tidak terhingga maka yakinlah bahwa Allah SWT akan memberikan seluruh balasannya di akhirat kelak karena Allah SWT Dzat yang tidak tidur dan Maha Teliti perhitungannya.Sebagai khalifah Allah SWT yang sedang bertugas di muka bumi, jangan pernah ragu ragu di dalam berbuat kebaikan. Lakukan dan laksanakan perbuatan baik saat ini juga tanpa diperintah lagi, tanpa paksaaan, jangan diungkit ungkit lagi, konsisten dari waktu ke waktu,  ikhlas hanya untuk Allah SWT semata maka matematika Allah SWT pasti berlaku kepada diri kita. 

C.   BERBUAT BAIK SEWAKTU HIDUP DI DUNIA

Berdasarkan surat Az Zumar (39) ayat 10 yang kami kemukakan di bawah ini, kesempatan untuk berbuat kebaikan ataupun berbuat keburukan hanya ada pada saat diri kita hidup di dunia ini. Sekali lagi kami tegaskan bahwa kesempatan untuk berbuat baik ataupun buruk hanya pada saat kita hidup di dunia ini. Sekarang berapa lama kita hidup di dunia ini? Hanya Allah SWT yang tahu pasti tentang berapa lama kita hidup dan berapa lama sisa hidup kita.

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu". orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
(surat Az Zumar (39) ayat 10)

Hidup adalah saat dipersatukannya Ruh/Ruhani dengan Jasmani sampai dengan dipisahkannya Ruh/Ruhani dengan Jasmani. Berapa lamanya hanya Allah SWT yang tahu dan kesempatan untuk hidup di dunia tidak sama antara satu orang dengan orang yang lainnya. Ada yang memiliki usia panjang dan ada yang memiliki usia pendek, yang kesemuanya Allah SWT yang menentukan.

Perjalanan hidup seseorang laksana waktu waktu shalat, dimana kelahiran dilambangkan dengan waktu Subuh dan waktu Isya dilambangkan kematian. Setiap manusia dapat dipastikan semuanya akan menuju ke waktu Isya dan yang menjadi persoalan adalah saat ini kita tidak tahu dimana posisi diri kita. Apakah menjelang Dzuhur, ataukah menjelang Ashar, ataukah menjelang Maghrib, ataukah menjelang Isya. Dan yang pasti adalah kita menjalani hidup di dunia ini adalah di sisa usia yang ada. Sekali lagi kami kemukakan bahwa kita menjalani hidup di sisa usia yang ada yang tidak kita ketahui berapa sisanya karena dirahasiakan oleh Allah SWT agar diri kita berusaha untuk tetap konsisten dalam komitmen yang tinggi dari waktu ke waktu.

tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.
(surat Ali Imran (3) ayat 185)

Bicara hidup maka kita tidak bisa menghindarkan diri dari apa yang dinamakan dengan kematian. Kematian adalah sesuatu kepastian yang tidak ada satupun orang yang bisa menghindari daripadanya. Jika sudah seperti ini keadaannya maka di sisa usia atau di sisa waktu yang tersedia maka kita wajib memiliki manajemen waktu. Jangan sampai kita merasa masih di waktu Dzuhur padahal sudah menjelang waktu Isya dan pada saat itu kesadaran baru tiba sedangkan kesehatan sudah tidak bisa diandalkan lagi. Lalu apa yang bisa kita kerjakan dengan kondisi seperti ini.
 
Sekarang katakanlah kita memiliki harta kekayaan yang banyak, lalu apa yang bisa kita lakukan dengan kekayaan itu jika kita tidak mempunyai waktu lagi untuk berbuat kebaikan dengan harta kekayaan yang kita miliki? Lagi lagi waktu yang membatasi diri kita untuk berbuat kebaikan. Waktu sangatlah berharga lebih baik dari harta kekayaan, hal ini dikarenakan hanya dengan waktulah kita bisa menjadikan harta kekayaan menjadi harta kebaikan bagi diri kita. Setelah diri kita meninggal maka kekayaan yang kita miliki bukanlah menjadi kekayaan diri kita melainkan milik ahli waris. Yang kita miliki adalah kebaikan kebaikan yang telah kita perbuat melalui harta kekayaan yang kita miliki saat diri kita hidup di dunia.

Bagi orang yang memiliki akal yang sehat, waras pikirannya, hendaklah ia membagi bagi waktu yang dimilikinya untuk : (1) sesaat untuk bermunajat kepada Allah SWT; (2) sesaat untuk bermuhasabah diri; (3) sesaat untuk bertafakur berkaitan dengan segala ciptaan Allah SWT; (4) sesaat untuk mencari nafkah diri dan keluarga. Sedangkan bagi orang yang berakal jangan memprioritaskan hal lain kecuali pada tiga hal ini, yaitu : (1) bekal untuk akhirat; (2) bekal untuk kehidupan dunia; (3) bersukaria dalam hal yang tidak diharamkanAllah SWT. Ingat, Allah SWT Dzat Yang Maha Adil, karena memberikan waktu yang sama kepada setiap manusia, dalam hal ini sehari 24 (dua puluh empat) jam. Khalifah yang sukses adalah khalifah yang mampu mengisi waktu 24 (dua puluh empat) jam dengan hal hal yang bermanfaat dan yang mengandung ibadah.

Khalifah Abu Bakar ash shiddiq pernah berpesan kepada sahabatnya Umar bin Al Khattab, “Wahai Umar, tanggung jawab yang Allah serahkan pada malam hari janganlah ditunda sampai siang hari, dan yang diserahkan pagi hari janganlah ditangguhkan sampai malam hari”. Orang yang suka menunda pekerjaan harus tahu bahwa waktu berlalu sangat cepat dan tidak akan bisa diulang kembali. Untuk itu ketahuilah wahai para khalifah Allah SWT di muka bumi bahwa waktu adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah SWT.  Waktu yang diberikan kepada Allah SWT kepada diri kita bukanlah barang gratisan yang bisa dipergunakan seenaknya saja, tanpa ada batasannya. Jangan sampai kita sadar akan waktu saat diri kita sudah hampir menjelang Isya. 

Sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi pernahkah kita menilai harga dari waktu yang kita miliki? Lalu mampukah kita menilainya dengan ukuran tertentu seperti mempergunakan ukuran mata uang?  Sanggupkah kita membeli waktu yang telah diberikan Allah SWT? Bisakah kita menukar waktu yang kita miliki dengan yang dimiliki oleh orang lain? Kita bukanlah pemilik waktu, melainkan hanya pengguna atau pemakai dari waktu sehingga kita tidak akan bisa menilai harga dari waktu, kita tidak akan bisa menilai waktu dengan ukuran mata uang apalagi membeli waktu. Allah SWT adalah pemilik waktu sehingga Allah SWT sajalah yang bisa mengatur segala waktu.

Allah SWT selaku pemilik waktu sudah menetapkan kepada diri kita untuk mengabdi kepada Allah SWT di waktu yang telah diberikan kepada diri kita. Lalu apa jadinya jika kita yang telah diberikan waktu untuk mengabdi kepada Allah SWT tidak bisa mempergunakan waktu?

dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
(surat Adz Dzariyat (51) ayat 56)

Alangkah bodohnya diri kita, alangkah dzalimnya diri kita kepada diri sendiri yang tidak bisa mengabdi kepada Allah SWT saat diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini. Agar diri kita mampu memanfaatkan waktu maka kita harus tahu terlebih dahulu apa yang disebut dengan istilah perampok perampok waktu, yaitu : menunda nunda pekerjaan, online dan game online (gadget), sosial media, televisi, transportasi, pertemuan, tamu tak diundang, kurangnya rencana harian, melakukan sesuatu secara emosional, tidak bisa mengatakan tidak, kebiasaan hidup yang tidak baik dan lain sebagainya.

Waktu dalam ajaran Islam bukanlah uang ataupun emas, akan tetapi nyawa. Hal ini dikarenakan jika waktu terbuang atau hilang tidak dapat digantikan seperti layaknya nyawa manusia yang telah hilang. Waktu juga seperti napas, yang tidak akan bisa kembali lagi. Manusia yang menyia nyiakan waktunya adalah manusia yang tidak bisa menghargai hidup dan nyawanya sendiri serta napasnya sendiri. Dan jika kita sendiri tidak bisa menghargai diri kita sendiri melalui waktu lalu bagaimana kita bisa menghargai pemilik dari waktu, dalam hal ini Allah SWT.

Sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi kita adalah subyek yang harus bisa mengatur waktu waktu yang telah diberikan Allah SWT kepada diri kita. Lalu apa jadinya jika subyek yang seharusnya mengatur waktu justru tidak bisa mengatur waktu, atau apa jadinya waktu yang seharusnya menjadi obyek justru menjadi subyek yang mengatur diri kita? Jika seperti ini kejadiannya maka apa yang dikehendaki Allah SWT kepada diri kita yaitu mengabdi kepadaNya tidak akan bisa kita laksanakan dengan baik dan benar.


Selain daripada itu ketahuilah bahwa waktu adalah amanah yang akan dimintakan pertanggungjawaban oleh Allah SWT selaku pemberi waktu. Waktu sebagai amanah maka pemberi amanah, dalam hal ini adalah Allah SWT dapat dipastikan telah percaya kepada yang diberikan waktu, dalam hal ini Allah SWT telah percaya kepada diri kita. Adanya kepercayaan kepada diri kita berarti dalam ilmu Allah SWT kita pasti mampu melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka bumi yang mampu selalu berbuat kebaikan. Yang menjadi persoalan sekarang adalah kita sendiri yang mensiasiakan kepercayaan Allah SWT atas waktu yang telah diberikanNya sehingga apa yang dikehendaki Allah SWT menjadi gagal lalu gagal pula kekhalifahan yang kita emban. Semoga hal ini tidak terjadi pada diri kita dan juga pada anak dan keturunan kita.amien.