Kebaikan dan keburukan merupakan hasil dari perbuatan yang kita lakukan atau merupakan output yang berasal dari input yang diproses secara tertentu yang kita lakukan. Kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang sangat berbeda seperti perbedaan malam dengan siang. Adanya perbedaan antara kebaikan maka Allah SWT memberikan ketentuan dasar dari keduanya sehingga menghasilkan apa yang dinamakan dengan adanya kepastian hukum yang berdampak kepada yang melakukaknnya, dalam hal ini adalah diri kita. Adanya kepastian hukum yang berasal dari Allah SWT berarti Allah SWT memberikan jaminan tertentu kepada yang melakukan kebaikan dan siap memberikan sanksi kepada yang melakukan keburukan. Untuk itu jadikan apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai pedoman saat hidup di dunia ini sehingga kita tidak salah jalan.
Adapun
beberapa ketentuan dasar dari kebaikan dan juga keburukan yang berlaku saat ini
dapat kami kemukakan sebagai berikut, yaitu:
A.
SETIAP KEBAIKAN ATAU KEBURUKAN PASTI
DIBALAS
Allah
SWT sudah menetapkan adanya kepastian hukum atas kebaikan dan keburukan di
dalam surat An Nahl (16) ayat 96, surat An An’am (6) ayat 160 dan surat Ar
Rahmaan (55) ayat 60 seperti yang kami kemukakan di bawah ini, yaitu memberi
balasan setiap kebaikan dengan kebaikan/pahala yang lebih baik dari apa yang
telah kita kerjakan. Demikian pula Allah SWT juga akan membalas
keburukan/kejahatan dengan keburukan/kejahatan pula sesuai dengan kadar atau
seimbang dengan keburukan/kejahatan yang dilakukan oleh seseorang.
apa yang
di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. dan
Sesungguhnya Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang sabar dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
(surat An
Nahl (16) ayat 96)
Barangsiapa
membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan
Barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka Dia tidak diberi pembalasan
melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya
(dirugikan).
(surat Al
An’am (6) ayat 160)
tidak ada
Balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).
(surat Ar
Rahmaan (55) ayat 60)
Abu Darda
ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Apabila hambaKu berniat
melakukan suatu kejahatan, maka janganlah kamu catat sebelum ia
melaksanakannya. Bila telah dilaksanakannya, catatlah sebagai satu kejahatan.
Akan tetapi bila ia berniat melakukan suatu kebajikan namun tidak jadi
dilaksanakannya, maka catatlah baginya satu kebajikan. Bila ia melaksanakannya,
maka catatlah untuknya sepuluh kebajikan.
(Hadits
Qudsi Riwayat Bukhari, Muslim; 272: 23)
Selain
daripada itu, Allah SWT juga telah memberikan sebuah kepastian hukum yang
mengikat terutama di dalam besaran kebaikan dan juga besaran keburukan. Adapun ketetapan
hukum atas besaran kebaikan/pahala yang akan diberikan Allah SWT kepada yang
berbuat kebaikan sebagai berikut : apabila seseorang berniat berbuat kebaikan
maka catatlah sebagai satu kebajikan dan jika niat kebaikan dilaksanakan maka
catatlah untuknya sepuluh kebajikan. Sedangkan bagi orang yang baru berniat untuk melakukan keburukan, niatnya
belum dicatat sebagai sebuah keburukan sepanjang niat itu belum dilaksanakan.
Keburukan baru dicatat sebagai satu keburukan jika niat keburukan sudah
dilaksanakan oleh pelakunya. Inilah salah satu matematika Allah SWT yang
berlaku kepada diri kita dan juga kepada anak dan keturunan kita.
Hal
yang tidak akan pernah terjadi adalah Allah SWT salah di dalam menetapkan
balasan kebaikan ataupun balasan keburukan yang telah kita lakukan. Ingat,
Malaikat Raqib dan Malaikat Atid sebagai petugas pelaksana yang telah diberi
mandat oleh Allah SWT tidak akan pernah lalai sedikitpun di dalam melaksanakan
tugasnya terutama di dalam memonitor, merekam, mencatat seluruh aktivitas
manusia melalui program CCTV yang ada padanya.Seluruh data yang dipegang oleh
Malaikat Raqib dan Malaikat Atid utuh, sesuai dengan apa yang terjadi, sesuai
dengan aslinya tanpa ada pengurangan, tanpa penambahan ataupun proses
pensensoran oleh siapapun juga dan siap diperlihatkan kepada diri kita saat
hari berhisab tiba.
Sekarang
apa yang dicatat oleh kedua malaikat subyeknya adalah diri kita, lalu apa yang
bisa kita perbuat dengan apa yang telah dicatat oleh malaikat? Sebagai subyek
kita tidak bisa mengelak atau menghindar dari apa yang telah dilakukan oleh
malaikat dan yang harus kita siapkan adalah bagaimana caranya untuk mempertanggungjawabkan
terhadap apa apa yang telah kita lakukan, terutama dalam hal
keburukan/kejahatan yang telah kita lakukan. Apalagi Allah SWT dengan tegas
menyatakan dalam surat Ath Thalaaq (65) ayat 11 bahwa Allah SWT selalu
memberikan rezeki yang terbaik kepada diri kita.
(dan
mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang
menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang
beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya. dan Barangsiapa beriman
kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya
ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik
kepadanya.
(surat Ath
Thalaaq (65) ayat 11)
Selain
daripada itu Allah SWT juga tidak akan pernah menganiaya seseorang walaupun
sebesar zarrah, seperti yang kami kemukakan dalam surat An Nisaa’ (4) ayat 40
di bawah ini. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT
selalu bersama orang baik yang selalu berada di dalam kebaikan. Dan jika yang
ada sekarang adalah keburukan dan juga kejahatan berarti kesemuanya berasal
dari diri kita. Tidak ada jalan keluar dari keburukan ataupun kejahatan kecuali
mempertanggungjawabkannya di akhirat kelak.
Sesungguhnya
Allah tidak Menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada
kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan
dari sisi-Nya pahala yang besar[298].
(surat An
Nisaa’ (4) ayat 40)
[298] Maksudnya: Allah tidak akan mengurangi
pahala orang-orang yang mengerjakan kebajikan walaupun sebesar zarrah, bahkan
kalau Dia berbuat baik pahalanya akan dilipat gandakan oleh Allah.
Ingat,
saat hari mempertanggungjawabkan atas apa apa yang kita lakukan saat hidup di
dunia, mulut tidak bisa berkata kata. Justru kaki, tangan, telinga, mata yang
dapat berkata kata saat diri kita diminta mempertanggungjawaban segala tindakan
kita yang kesemuanya disesuaikan dengan apa apa
yang telah dicatat oleh malaikat pencatat. Kita tidak bisa menghindar
lagi serta kita tidak bisa berbohong lagi lalu bersiap menerima akibat dari
perbuatan diri kita.
B.
UKURAN BERBUAT BAIK
Berdasarkan
surat Al Qashash (28) ayat 77 yang kami kemukakan di bawah ini, Allah SWT telah
memberikan ukuran atau batasan tertentu di dalam berbuat kebaikan, yaitu
dahulukan untuk mencari kebahagiaan akhirat yang telah dianugerahkan Allah SWT
kepada diri kita dengan tidak melupakan bahagian dari kenikmatan duniawi.
Adanya kondisi ini Allah SWT tidak melarang diri kita untuk merasakan
kebahagiaan hidup yang bersifat duniawi seperti rekreasi, berkumpul dan lain
sebagainya sepanjang tidak diharamkan oleh Allah SWT.
Allah
SWT tidak berkehendak kepada diri kita untuk seluruh waktu yang kita miliki
hanya untuk beribadah dan berbuat kebaikan semata. Kita juga diperbolehkan
untuk merasakan kenikmatan duniawi sepanjang hal itu mampu menghantarkan diri
kita untuk bisa melihat dan merasakan tanda tanda dari kebesaran dan kemahaan
Allah SWT serta menghantarkan diri kita beriman kepada Allah SWT.
dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
(surat Al
Qashash (28) ayat 77)
Jika
sekarang kita telah merasakan betapa Allah SWT telah berbuat baik kepada diri
kita maka sebagai wujud dari kita bersyukur kepada Allah SWT maka kita wajib
berbuat baik kepada orang lain serta jangan pernah merusak apa apa yang telah
diciptakan Allah SWT. Lalu yang terjadi adalah kita tidak mampu berbuat seperti
yang dikehendaki Allah SWT seperti tidak mau berysukur atau justru berbuat
kerusakan ini berarti kita sendiri yang mengundang kemarahan dan ketidaksukaan
Allah SWT. Jangan pernah salahkan Allah SWT ataupun orang lain jika kita
sendiri merasakan keburukan/adzab saat hidup di dunia ini karena ulah diri
sendiri yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT. Ayo segera bertaubat dan
segera memperbaiki diri sebelum semuanya terlambat.
Berdasarkan surat Al
Baqarah (2) ayat 261 dan hadits qudsi yang kami kemukakan di bawah ini, Allah
SWT selaku pencipta dan pemilik langit dan bumi dan yang juga telah
memerintahkan kita untuk selalu berbuat kebaikan telah memiliki suatu rumusan
atau perhitungan tertentu yang kami istilahkan matematika Allah SWT. Ilmu
matematika manusia dengan ilmu matematika Allah SWT sangat berbeda.
perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir,
pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa
yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.
(surat Al
Baqarah (2) ayat 261)
[166] Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah
meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit,
usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Abu Darda
ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Apabila hambaKu berniat
melakukan suatu kejahatan, maka janganlah kamu catat sebelum ia
melaksanakannya. Bila telah dilaksanakannya, catatlah sebagai satu kejahatan.
Akan tetapi bila ia berniat melakukan suatu kebajikan namun tidak jadi
dilaksanakannya, maka catatlah baginya satu kebajikan. Bila ia melaksanakannya,
maka catatlah untuknya sepuluh kebajikan.
(Hadits
Qudsi Riwayat Bukhari, Muslim; 272: 23)
Jika ilmu matematika Allah
SWT berbeda dengan ilmu matematika manusia, lalu ilmu matematika siapakah yang
akan kita ikuti? Sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi maka kita harus
menjadikan matematika Allah SWT berlaku kepada diri kita saat ini juga dan
seterusnya. Sekarang tergantung diri kita maukah kita berbuat kebaikan yang
berlandaskan matematika Allah SWT? Berikut ini akan kami kemukakan rumus-rumus
matematika Allah SWT yang merupakan cerminan dari nilai nilai Islami, yaitu:
1.
Rumus Angka 1
Angka 1 adalah sebuah
angka yang sangat unik. Angka ini merupakan cikal bakal semua angka dalam
matematika. Mari kita lihat, 0 = 1-1, 1 = 1+0, 2 = 1+1, 3 = 1+2, 4 = 1+3, 5 =
1+4, 6 = 1+5, 7 = 1+6, 8 = 1+7, 9 = 1+8. Angka ini terjadi begitu saja. Ia
tidak berasal dari penjumlahan, pengurangan, perkalian ataupun pembagian angka
berapa pun, namun angka 1 lah satu-satunya yang menciptakan semua angka. Angka
satu sebenarnya adalah cerminan dari sifat Allah SWT. Allah SWT itu Esa, tunggal. Tidak berasal dari apa pun,
tidak memiliki anak dan Dia tidak diperanakkan. Allah SWT tidak diciptakan oleh
siapa pun, tetapi Allah SWT-lah pencipta segala sesuatu, pencipta langit dan
bumi dan segala isinya. Zat Allah SWT merupakan asal muasal dari segala
sesuatu. Angka 1 sejatinya adalah salah satu perwakilan Allah SWT di alam semesta.
2.
Rumus Perkalian Plus (+) dan Minus (-)
Setidaknya ada 4 (empat) buah tanda
dalam perhitungan matematika yang berhubungan dengan rezeki yang akan diberikan
Allah SWT kepada setiap manusia. Berikut adalah 4 (empat) tanda dimaksud, yaitu:
a. Tanda tambah ( + ), apabila diri kita
pandai bersyukur kepada Allah SWT maka Allah SWT akan menambah menambah rezeki kita.
b. Tanda kali ( x ), apabila kita
membiasakan diri untuk berderma kepada sesama
manusia maka Allah SWT akan
memberikan balasan yang berlipat ganda sesuai dengan tingkat keikhlasan kita
masing-masing, atau minimal balasannya setara dengan nilai yang telah
didermakan.
c. Tanda tak hingga (~), apabila kita
pandai bersyukur, gemar berderma kepada sesama dan bertakwa kepada Allah SWT
maka kita akan mendapatkan balasan rezeki yang tak disangka-sangka / tak
terduga yang waktu dan jumlahnya hanya Allah SWT yang menentukan karena Allah
SWT Maha Tahu, Maha Adil dan Maha Bijaksana.
d. Tanda kurang ( - ), namun bagi
orang-orang yang tidak pandai bersyukur, tidak suka berderma (berbagi/sedekah)
atau bahkan pelit kepada sesama dan tidak bertakwa kepada Allah SWT serta gemar
berbuat dosa (baik dosa kecil maupun besar), maka niscaya hidupnya akan terasa
sangat sulit, kalaupun sukses dari segi materi namun mereka tidak akan
mendapatkan ketenangan di dalam jiwa mereka. Karena hanya dengan mengingat
Allah SWT dan beramal sholeh, jiwa kita akan terasa tenang dan damai.
Dari ke empat ‘tanda’
tersebut terdapat 4 (empat) pilihan, ‘tanda’ apa yang akan kita pilih
tentunya sangat tergantung kepada diri kita masing masing karena hidup itu ada
pilihan. Selain dari pada itu, mari kita perhatikan rumus rumus yang kami
kemukakan di bawah ini :
A. (
+ X
– = – ); B.
( – X
+ = –) ; C. (+ X
+ = + ) ; D. (–
X – = +)
Dengan catatan: apabila (+)
adalah benar atau kebenaran, sementara (-) adalah salah atau
kesalahan, maka rumus yang kami kemukakan di atas bisa kita artikan
sebagai berikut : (A). jika yang benar kita katakan salah, maka perbuatan
kita menjadi salah; (B) jika yang salah kita katakan benar, maka perbuatan kita
menjadi salah; (C) jika yang benar kita katakan benar, maka perbuatan kita menjadi
benar; (D) jika yang salah kita katakan salah, maka perbuatan kita menjadi benar.
3.
Rumus Pembagian (Infaq dan Sedekah)
Kita akan melihat rumus
matematikanya: p/h = H atau p/0 = oo, dengan catatan sebagai berikut: p =
pemberian; h = harapan; H = hasil; 0 = nol harapan; oo = tidak terhingga.
perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir,
pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa
yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.
(surat Al
Baqarah (2) ayat 261)
[166] Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah
meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit,
usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Misalkan seseorang
memberikan sedekah sebesar sejuta rupiah kepada kaum miskin dengan harapan yang
berbeda beda, maka orang tersebut akan memperoleh balasan dari Allah SWT dengan
jumlah yang berbeda beda pula. Hal ini dapat kami ilustrasikan sebagai
berikut: 1 juta/500.000 = 2;
1 juta/400.000 = 2,5; 1 juta/300.000 = 3,3 ; 1 juta/200.000 = 5 ; 1
juta/100.000 = 10 ; 1 juta/ 50.000 = 20 ; 1 juta/10.000 = 100 ; 1 juta/0 = oo
Point yang terakhir ini
merupakan bukti yang tidak terbantahkan dari apa yang Allah SWT kemukakan dalam
surat Al Baqarah (2) ayat 261 di atas. Ini berarti pemberian yang ikhlas kepada
yang membutuhkan besar maupun kecil, sedikit atau banyak tanpa mengharap
imbalan apapun kecuali ridha Allah SWT akan mendatangkan balasan yang tidak
terhingga dari Allah SWT. Balasan tidak terhingga itu bisa dalam bentuk apa
saja, bisa berupa nominal uang, kesehatan diri dan keluarga, anak yang shaleh
dan shalehah, sahabat yang baik, tetangga yang baik, keluarga besar yang saling
mendukung dan mengasihi, kemudahan dari setiap masalah yang kita hadapi,
lingkungan kerja yang positif, kebahagiaan bathin dan lain sebagainya.
Ingat, uang bukanlah tolak
ukur yang akan diberikan Allah SWT kepada diri kita karena uang bukanlah segala
galanya. Perhatikan apa yang kami kemukakan di bawah ini tentang apa apa yang
bisa dibeli oleh uang.
What Money Can Buy : A Bed but not
Sleep; Books but not Brains; Food but not Appetite; Finery but not Beauty; A
House but not Home; Medicine but not Health;Luxuries but not Culture; Amusement
but not Happiness; Religion but not Salvation; A Clock but not Time; Position
but not Resfect.
Untuk itu jadikan ikhlas
hanya kepada Allah SWT yang kita jadikan pedoman saat berbuat kebaikan. Hal ini
dikarenakan keikhlasan dalam memberi berbanding lurus dengan hasil yang akan
kita dapatkan di dunia dan di akhirat kelak. Balasan Allah SWT tidak terhingga
maka yakinlah bahwa Allah SWT akan memberikan seluruh balasannya di akhirat
kelak karena Allah SWT Dzat yang tidak tidur dan Maha Teliti perhitungannya.Sebagai
khalifah Allah SWT yang sedang bertugas di muka bumi, jangan pernah ragu ragu
di dalam berbuat kebaikan. Lakukan dan laksanakan perbuatan baik saat ini juga
tanpa diperintah lagi, tanpa paksaaan, jangan diungkit ungkit lagi, konsisten
dari waktu ke waktu, ikhlas hanya untuk
Allah SWT semata maka matematika Allah SWT pasti berlaku kepada diri kita.
C.
BERBUAT BAIK SEWAKTU HIDUP DI DUNIA
Berdasarkan surat Az Zumar
(39) ayat 10 yang kami kemukakan di bawah ini, kesempatan untuk berbuat
kebaikan ataupun berbuat keburukan hanya ada pada saat diri kita hidup di dunia
ini. Sekali lagi kami tegaskan bahwa kesempatan untuk berbuat baik ataupun
buruk hanya pada saat kita hidup di dunia ini. Sekarang berapa lama kita hidup
di dunia ini? Hanya Allah SWT yang tahu pasti tentang berapa lama kita hidup
dan berapa lama sisa hidup kita.
Katakanlah:
"Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu".
orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. dan bumi Allah
itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang
dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
(surat Az
Zumar (39) ayat 10)
Hidup adalah saat
dipersatukannya Ruh/Ruhani dengan Jasmani sampai dengan dipisahkannya
Ruh/Ruhani dengan Jasmani. Berapa lamanya hanya Allah SWT yang tahu dan
kesempatan untuk hidup di dunia tidak sama antara satu orang dengan orang yang
lainnya. Ada yang memiliki usia panjang dan ada yang memiliki usia pendek, yang
kesemuanya Allah SWT yang menentukan.
Perjalanan hidup seseorang
laksana waktu waktu shalat, dimana kelahiran dilambangkan dengan waktu Subuh
dan waktu Isya dilambangkan kematian. Setiap manusia dapat dipastikan semuanya
akan menuju ke waktu Isya dan yang menjadi persoalan adalah saat ini kita tidak
tahu dimana posisi diri kita. Apakah menjelang Dzuhur, ataukah menjelang Ashar,
ataukah menjelang Maghrib, ataukah menjelang Isya. Dan yang pasti adalah kita
menjalani hidup di dunia ini adalah di sisa usia yang ada. Sekali lagi kami
kemukakan bahwa kita menjalani hidup di sisa usia yang ada yang tidak kita
ketahui berapa sisanya karena dirahasiakan oleh Allah SWT agar diri kita
berusaha untuk tetap konsisten dalam komitmen yang tinggi dari waktu ke waktu.
tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan
mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu.
Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh
ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan.
(surat Ali Imran (3) ayat 185)
Bicara hidup maka kita
tidak bisa menghindarkan diri dari apa yang dinamakan dengan kematian. Kematian
adalah sesuatu kepastian yang tidak ada satupun orang yang bisa menghindari
daripadanya. Jika sudah seperti ini keadaannya maka di sisa usia atau di sisa
waktu yang tersedia maka kita wajib memiliki manajemen waktu. Jangan sampai
kita merasa masih di waktu Dzuhur padahal sudah menjelang waktu Isya dan pada
saat itu kesadaran baru tiba sedangkan kesehatan sudah tidak bisa diandalkan
lagi. Lalu apa yang bisa kita kerjakan dengan kondisi seperti ini.
Sekarang katakanlah kita
memiliki harta kekayaan yang banyak, lalu apa yang bisa kita lakukan dengan
kekayaan itu jika kita tidak mempunyai waktu lagi untuk berbuat kebaikan dengan
harta kekayaan yang kita miliki? Lagi lagi waktu yang membatasi diri kita untuk
berbuat kebaikan. Waktu sangatlah berharga lebih baik dari harta kekayaan, hal
ini dikarenakan hanya dengan waktulah kita bisa menjadikan harta kekayaan
menjadi harta kebaikan bagi diri kita. Setelah diri kita meninggal maka
kekayaan yang kita miliki bukanlah menjadi kekayaan diri kita melainkan milik
ahli waris. Yang kita miliki adalah kebaikan kebaikan yang telah kita perbuat
melalui harta kekayaan yang kita miliki saat diri kita hidup di dunia.
Bagi orang yang memiliki
akal yang sehat, waras pikirannya, hendaklah ia membagi bagi waktu yang
dimilikinya untuk : (1) sesaat untuk bermunajat kepada Allah SWT; (2) sesaat
untuk bermuhasabah diri; (3) sesaat untuk bertafakur berkaitan dengan segala
ciptaan Allah SWT; (4) sesaat untuk mencari nafkah diri dan keluarga. Sedangkan
bagi orang yang berakal jangan memprioritaskan hal lain kecuali pada tiga hal
ini, yaitu : (1) bekal untuk akhirat; (2) bekal untuk kehidupan dunia; (3)
bersukaria dalam hal yang tidak diharamkanAllah SWT. Ingat, Allah SWT Dzat Yang
Maha Adil, karena memberikan waktu yang sama kepada setiap manusia, dalam hal
ini sehari 24 (dua puluh empat) jam. Khalifah yang sukses adalah khalifah yang
mampu mengisi waktu 24 (dua puluh empat) jam dengan hal hal yang bermanfaat dan
yang mengandung ibadah.
Khalifah Abu Bakar ash
shiddiq pernah berpesan kepada sahabatnya Umar bin Al Khattab, “Wahai Umar, tanggung jawab yang Allah
serahkan pada malam hari janganlah ditunda sampai siang hari, dan yang
diserahkan pagi hari janganlah ditangguhkan sampai malam hari”. Orang yang
suka menunda pekerjaan harus tahu bahwa waktu berlalu sangat cepat dan tidak
akan bisa diulang kembali. Untuk itu ketahuilah wahai para khalifah Allah SWT
di muka bumi bahwa waktu adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawabannya
oleh Allah SWT. Waktu yang diberikan
kepada Allah SWT kepada diri kita bukanlah barang gratisan yang bisa
dipergunakan seenaknya saja, tanpa ada batasannya. Jangan sampai kita sadar
akan waktu saat diri kita sudah hampir menjelang Isya.
Sebagai khalifah Allah SWT
di muka bumi pernahkah kita menilai harga dari waktu yang kita miliki? Lalu
mampukah kita menilainya dengan ukuran tertentu seperti mempergunakan ukuran
mata uang? Sanggupkah kita membeli waktu
yang telah diberikan Allah SWT? Bisakah kita menukar waktu yang kita miliki
dengan yang dimiliki oleh orang lain? Kita bukanlah pemilik waktu, melainkan
hanya pengguna atau pemakai dari waktu sehingga kita tidak akan bisa menilai
harga dari waktu, kita tidak akan bisa menilai waktu dengan ukuran mata uang
apalagi membeli waktu. Allah SWT adalah pemilik waktu sehingga Allah SWT
sajalah yang bisa mengatur segala waktu.
Allah SWT selaku pemilik
waktu sudah menetapkan kepada diri kita untuk mengabdi kepada Allah SWT di
waktu yang telah diberikan kepada diri kita. Lalu apa jadinya jika kita yang
telah diberikan waktu untuk mengabdi kepada Allah SWT tidak bisa mempergunakan
waktu?
dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
(surat Adz Dzariyat (51) ayat 56)
Alangkah bodohnya diri
kita, alangkah dzalimnya diri kita kepada diri sendiri yang tidak bisa mengabdi
kepada Allah SWT saat diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini. Agar diri
kita mampu memanfaatkan waktu maka kita harus tahu terlebih dahulu apa yang
disebut dengan istilah perampok perampok waktu, yaitu : menunda nunda
pekerjaan, online dan game online (gadget), sosial media, televisi,
transportasi, pertemuan, tamu tak diundang, kurangnya rencana harian, melakukan
sesuatu secara emosional, tidak bisa mengatakan tidak, kebiasaan hidup yang
tidak baik dan lain sebagainya.
Waktu dalam ajaran Islam
bukanlah uang ataupun emas, akan tetapi nyawa. Hal ini dikarenakan jika waktu
terbuang atau hilang tidak dapat digantikan seperti layaknya nyawa manusia yang
telah hilang. Waktu juga seperti napas, yang tidak akan bisa kembali lagi.
Manusia yang menyia nyiakan waktunya adalah manusia yang tidak bisa menghargai
hidup dan nyawanya sendiri serta napasnya sendiri. Dan jika kita sendiri tidak
bisa menghargai diri kita sendiri melalui waktu lalu bagaimana kita bisa
menghargai pemilik dari waktu, dalam hal ini Allah SWT.
Sebagai khalifah Allah SWT
di muka bumi kita adalah subyek yang harus bisa mengatur waktu waktu yang telah
diberikan Allah SWT kepada diri kita. Lalu apa jadinya jika subyek yang
seharusnya mengatur waktu justru tidak bisa mengatur waktu, atau apa jadinya
waktu yang seharusnya menjadi obyek justru menjadi subyek yang mengatur diri
kita? Jika seperti ini kejadiannya maka apa yang dikehendaki Allah SWT kepada
diri kita yaitu mengabdi kepadaNya tidak akan bisa kita laksanakan dengan baik
dan benar.
Selain daripada itu
ketahuilah bahwa waktu adalah amanah yang akan dimintakan pertanggungjawaban
oleh Allah SWT selaku pemberi waktu. Waktu sebagai amanah maka pemberi amanah,
dalam hal ini adalah Allah SWT dapat dipastikan telah percaya kepada yang
diberikan waktu, dalam hal ini Allah SWT telah percaya kepada diri kita. Adanya
kepercayaan kepada diri kita berarti dalam ilmu Allah SWT kita pasti mampu
melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka bumi yang mampu selalu berbuat
kebaikan. Yang menjadi persoalan sekarang adalah kita sendiri yang mensiasiakan
kepercayaan Allah SWT atas waktu yang telah diberikanNya sehingga apa yang
dikehendaki Allah SWT menjadi gagal lalu gagal pula kekhalifahan yang kita
emban. Semoga hal ini tidak terjadi pada diri kita dan juga pada anak dan
keturunan kita.amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar