Hikmah
dari pelaksanaan Diinul Islam secara kaffah, termasuk di dalamnya menunaikan
zakat yang diiringi dengan mendirikan shalat, yang paling hakiki adalah untuk menyelamatkan Ruh/Ruhani dari
pengaruh buruk ahwa dan juga syaitan. Hal ini dikarenakan Ruh/Ruhani itu adalah
jati diri manusia yang sesungguhnya. Adanya pengaruh buruk yang berasal dari ahwa
dan juga syaitan yang dapat menjadikan kualitas Ruh/Ruhani menjadi tidak fitrah
lagi (menjadikan jiwa kita menjadi jiwa fujur). Sedangkan Ruh/Ruhani asalnya
fitrah dan harus kembali kepada Allah SWT dalam kondisi yang fitrah (jiwa
muthmainnah) selanjutnya agar bisa bertemu Allah SWT di tempat yang fitrah (maksudnya
Syurga). Disinilah letak yang paling hakiki dari perintah melaksanakan Diinul
Islam secara kaffah yang terdiri dari melaksanakan Rukun Iman, Rukun Islam dan
Ikhsan dalam satu kesatuan. Jika sampai kondisi Ruh/Ruhani tidak fitrah lagi karena
melanggar ketentuan Diinul Islam maka akan difitrahkan oleh Allah SWT melalui
proses pensucian dengan dibakar di Neraka Jahannam.
Sebagai abd' yang sekaligus khalifah yang
berkehendak untuk menyelamatkan Ruh/Ruhani maka kita harus merubah pola
berfikir terhadap ibadah yang akan kita laksanakan yaitu beribadah untuk
memperoleh pahala dan melaksanakan kewajiban harus dirubah menjadi beribadah
kepada Allah SWT merupakan kebutuhan hakiki bagi diri kita yang sesungguhnya
(dalam hal ini untuk kebutuhan Ruh/Ruhani). Sehingga setiap ibadah yang kita
laksanakan adalah sarana atau alat bantu bagi diri kita untuk memberi makanan
bagi pertumbuhan keimanan yang sangat dibutuhkan oleh Ruh/Ruhani. Selain
daripada itu ibadah juga berfungsi untuk memantapkan keimanan dalam jiwa serta
untuk memperbaharui sumber sumber kekuatan untuk memperoleh pertolongan,
bantuan, perlindungan Allah SWT yang kesemuanya sangat kita butuhkan saat hidup
di muka bumi ini.
Ruh/Ruhani
dengan keimanan tidak bisa dipisahkan, dikarenakan makanan/vitamin/yang
dibutuhkan oleh Ruh/Ruhani adalah keimanan yang didapat dari pelaksanaan
ibadah. Adanya keimanan yang berkualitas akan menjadikan Ruh/Ruhani kuat.
Keimanan juga akan menjadi benteng (pelindung) bagi Ruh/Ruhani dari gangguan ahwa dan juga
syaitan serta menjadikan diri kita selalu berada di dalam kehendak Allah SWT. Untuk
itu jangan pernah menyianyiakan kesempatan menunaikan ibadah yang telah
diperintahkan Allah SWT untuk kepentingan penyelamatan Ruh/Ruhani diri kita
sendiri. Hal yang harus kita jadikan pedoman adalah selamatnya Ruh/Ruhani dari
pengaruh ahwa dan juga syaitan belum berarti tugas kita selesai. Akan tetapi
harus ditingkatkan dengan menjadikan Ruh/Ruhani menjadi penampilan Allah SWT di
muka bumi dengan berperilaku Asmaul Husna sehingga diri kita mampu menampilkan
penampilan Allah SWT Adanya perilaku Asmaul Husna dalam diri maka terlaksanalah
apa yang dinamakan dengan kebaikan yang mencerminkan inilah perilaku diri kita.
Semakin banyak dan berkualitas perilaku diri kita maka semakin baik diri kita
dan kesempatan untuk memperoleh Syurga yang terbaik terbuka untuk diri kita.
Agar diri kita selalu berada di dalam kefitrahan dari waktu ke waktu maka
kita harus selalu berada di dalam kefitrahan yang sesuai dengan konsep surat Ar
Ruum (30) ayat 30 yang kami kemukakan di bawah ini, yaitu selalu berada di
dalam Diinul Islam. Apa maksudnya? Diinul Islam adalah sebuah konsep Ilahiah
yang diciptakan dari fitrah Allah SWT oleh Allah SWT untuk kepentingan rencana
besar kekhalifahan yang ada di muka bumi. Agar kekhalifahan yang ada di muka
ini selalu di dalam konsep kefitrahan maka Allah SWT memerintahkan kepada
seluruh khalifahnya untuk menghadapkan wajahnya kepada Diinul Islam dengan
lurus, mantap, tidak goyah selama hayat masih di kandung badan.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui [1168],
(surat Ar Ruum (30) ayat 30)
[1168] Fitrah Allah:
Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama
Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu
tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh
lingkungan.
Agar konsep kefitrahan yang dikehendaki Allah SWT terlaksana dengan baik
dan benar maka kita harus mengetahui terlebih dahulu hal hal sebagai berikut
yang terdapat di dalam surat Ar Ruum (30 ayat 30 di bawah ini : (1) Adanya istilah Nass yang maksudnya
adalah manusia dalam arti kata Ruh/Ruhani; (2) Adanya istilah Diin (Diinul
Islam) yang berasal dari fitrah Allah SWT; (3) Adanya istilah fitrah Allah SWT
yang tidak lain adalah Allah SWT itu sendiri Dzat Yang Maha Fitrah.
Lalu Allah SWT selaku pemilik dari kefitrahan memerintahkan kepada Nass
(manusia dalam arti kata Ruh/Ruhani) yang juga diciptakan dari fitrah Allah SWT
untuk selalu dihadapkan kepada Diin (Diinul Islam) yang juga berasal dari
fitrah Allah SWT sehingga dengan adanya kondisi ini maka terjadilah apa
yang dinamakan dengan konsep segitiga
yang tidak terpisahkan antara Nass (manusia dalam arti kata Ruh/Ruhani) dengan
Fitrah Allah SWT melalui Diinul Islam yang juga berasal dari Fitrah Allah SWT.
Inilah konsep dasar yang harus kita pahami dengan baik dan benar bahwa
diri kita yang sesungguhnya adalah Nass (dalam hal ini adalah Ruh/Ruhani)
sehingga jangan pernah dipisahkan dengan asal usulnya dalam hal ini Fitrah
Allah SWT melalui Diinul Islam yang juga berasal dari Fitrah Allah SWT. Jika sampai Nass (Ruh/Ruhani
diri kita) dipisahkan dengan Diinul Islam dan juga dengan Fitrah Allah SWT maka
terjadilah proses hilangnya kefitrahan dalam diri sehingga konsep datang fitrah
kembali fitrah tidak akan pernah terjadi. Padahal syarat untuk bertemu dengan
Allah SWT selaku Dzat Yang Maha Fitrah di tempat yang fitrah adalah Ruh/Ruhani datang
fitrah kembalinyapun harus fitrah pula dan jika sampai tidak fitrah akan
difitrahkan oleh Allah SWT melalui jalur Neraka Jahannam.
Untuk itu Diinul Islam wajib kita letakkan dan tempatkan sebagai konsep
ilahiah yang berasal dari fitrah Allah SWT untuk kepentingan yang hakiki bagi
diri kita yang sesungguhnya, yaitu Ruh/Ruhani. Sekarang apa jadinya jika kita
keluar dari konsep kefitrahan ini? Hal yang pertama terjadi adalah Allah SWT
tidak akan pernah dirugikan sedikitpun atau berkurang kemahaanNya dengan ulah
diri kita. Hal kedua yang pasti terjadi adalah pengaruh Ahwa dan Syaitan dapat
dipastikan akan merajalela dalam diri kita sehingga kefitrahan Ruh/Ruhani tidak
akan terjadi atau bahkan Ruh/Ruhani menjadi kotor akibat perbuatan dosa dan
maksiat yang kita lakukan. Hal yang ketiga adalah posisi Allah SWT tergantikan
oleh Ahwa dan juga Syaitan yang pada akhirnya nilai nilai keburukan yang
menjadi perbuatan diri kita (jiwa fujur).
Jika
sampai kita keluar dari fitrah Allah SWT maka hal yang terjadi selanjutnya
adalah perbuatan maksiat kita lakukan seperti tidak shalat lima waktu, tidak
berpuasa, tidak mau berzakat dan lain sebagainya yang kesemuanya tidak
bertentangan dengan hukum positif negara. Adanya perbuatan maksiat yang kita
lakukan melahirkan apa yang dinamakan dosa. Semakin banyak bermaksiat kepada
Allah SWT semakin banyak dosa, semakin banyak dosa membuat fikiran kacau,
membuat kita tidak bisa berfikir rasional yang selanjutnya terjadi adalah kita
mulai melanggar hukum positif yang berlaku. Selanjutnya penjara menanti lalu
kita menjadi warga binaan yang dikurung dalam waktu tertentu. Hal yang harus
kita jadikan pedoman adalah hukuman penjara akibat melanggar ketentuan hukum
positif tidak bisa menghapus perbuatan maksiat yang kita lakukan sepanjang kita
tidak pernah melakukan taubatan nasuha serta dikarenakan adanya hukum yang
berbeda.
Saat
ini kita adalah bagian dari mata rantai kekhalifahan yang ada di atas diri
kita. Kita tidak tahu diposisi manakah diri kita di mata rantai itu. Dan jika
sekarang kita telah berkeluarga berarti kita juga telah membuat mata rantai
kekhalifahan yang ada di bawah diri kita sampai dengan hari kiamat tiba. Sampai
berapa banyak mata rantainya, yang jelas kita tidak pernah tahu. Hal yang harus
kita perhatikan saat ini adalah jangan sampai antara diri kita dengan mata
rantai kekhalifahan yang ada di bawah diri kita berbeda haluan yaitu ada yang
keluar dari fitrah Allah SWT dengan berbeda agama.
Jika
sampai ini terjadi maka putuslah mata rantai antara diri kita dengan anak dan
keturunan kita sehingga putus pula kesempatan untuk saling mendoakan diantara
anggota keluarga. Doa tidak akan dikabulkan oleh Allah SWT karena adanya
perbedaan agama diantara anggota keluarga atau diantara mata rantai keluarga.
Padahal kekuatan doa sangatlah luar biasa karena bisa merubah atau bahkan
meniadakan dosa atau keburukan dari orang yang kita doakan.Agar diri kita dan
juga anak dan keturunan kita selalu dalam kefitrahan yang sama, tidak ada jalan
selain kita sendiri yang mempersiapkannya yang sesuai dengan kehendak Allah
SWT. Anak dan keturunan yang shaleh dan shalehah bukanlah datang tiba tiba dari
langit. Anak keturunan yang shaleh dan shalehah ada karena kita sendiri yang
menciptakan atau yang menjadikannya ada. Untuk itu sebagai orang tua kita harus
menghindarkan anak dan keturunan kita dari pengaruh penghasilan atau makanan
dan minuman yang dibiayai dari penghasilan haram. Dahulukan pendidikan ruh atau
akhlak atau budi pekerti dibandingkan pendidikan yang lainnya. Jangan pernah
berdoa hanya untuk anak dan cucu saja, melainkan untuk anak dan keturunanku
sehingga doa ini berlaku terus dan terus kepada anak keturunan kita.
Saat ini ketentuan
fitrah masih tetap berlaku dan akan terus berlaku sampai dengan hari kiamat
tiba. Allah SWT masih tetap memberlakukan atau Allah SWT masih tetap
melaksanakan atau Allah SWT masih tetap konsisten terhadap ketentuan Fitrah
terhadap diri kita, yang dimulai dari pernyataan di dalam rahim sampai dengan
hari kiamat kelak. Yang menjadi persoalan saat ini adalah sudah sejauh mana
diri kita konsisten dengan konsep kefitrahan yang telah diberlakukan oleh Allah
SWT? Panjang atau pendeknya kefitrahan diri, termasuk di dalamnya kefitrahan
anak dan keturunan kita, bukanlah Allah SWT yang menentukan, akan tetapi diri
kita sendirilah yang memutuskan. Hal ini dikarenakan Allah SWT tidak butuh
dengan kefitrahan diri kita, tetapi kitalah yang sangat membutuhkan kefitrahan
saat hidup di dunia sampai dengan hari berhisab kelak.
Agar diri kita
selalu berada di dalam kefitrahan, berikut ini akan kami kemukakan tujuh buah indikator
kefitrahan diri yang kiranya dapat kita jadikan pedoman dalam kehidupan kita sehari-hari,
yaitu:
A.
HIDUP DALAM KEBAIKAN YANG SESUAI DENGAN ASMAUL HUSNA
Berdasarkan
surat An Nisaa’ (4) ayat 125 yang kami kemukakan di bawah ini, orang yang telah
kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka hidupnya selalu dalam
kebaikan, tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.Hal ini dikarenakan jati diri kita yang
sesungguhnya adalah Ruh yang telah dishibghah dengan Asmaul Husna sehingga Ruh
memiliki sifat yang berkesesuaiaan dengan nama nama Allah SWT yang indah
(Asmaul Husna). Sifat alamiah Ruh inilah yang tercermin dalam perbuatan diri
kita sehingga selalu di dalam kebaikan.
Dan siapakah
yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada
Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang
lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.
(surat An
Nisaa’ (4) ayat 125)
Orang
yang telah menjadikan jiwanya fitrah, jika ia menjadi pemimpin maka ia akan
selalu menjadi pemimpin yang berguna bagi masyarakat luas, menjadi tokoh yang
terpandang di masyarakat karena mampu berbuat kebaikan yang dapat dirasakan
langsung manfaatnya oleh masyarakat. Masyarakat merasa terbantu karena hasil
karya kita, masyarakat merasa aman dan nyaman karena keberadaan diri kita. Hal
yang tidak akan mungkin terjadi jika kita telah kembali fitrah yang jiwanya
adalah jiwa Muthmainnah adalah menjadikan dirinya sebagai pelaku kejahatan,
menjadikan dirinya sebagai biang
keributan, menjadikan dirinya sebagai biang keonaran, menjadikan dirinya
sebagai otak di balik kejahatan, atau masyarakat menjadi teraniaya oleh sebab
perbuatannya dan juga oleh sebab
omongannya.
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka
mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya
kepada kamilah mereka selalu menyembah,
(surat Al Anbiyaa’ (21) ayat 73)
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang
yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk
(kepada Allah).
Dan Barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman
menjadi penolongnya, Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah[423] Itulah yang
pasti menang.
(surat Al Maa-idah (5) ayat 55-56)
[423] Yaitu: orang-orang yang menjadikan Allah,
Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya.
Jika kita telah kembali fitrah yang memiliki jiwa
Muthmainnah dapat dipastikan kita selalu memiliki keinginan untuk menolong sesama
manusia, selalu ingin berbagi kepada sesama, tidak pelit di dalam berbagi ilmu
maupun kesenangan, selalu ingin berbuat kebaikan lebih baik dan lebih baik lagi
dari waktu ke waktu. Serta tidak akan pernah menganiaya diri sendiri dengan
berbuat yang bertentangan dengan kehendak Allah SWT seperti (a) tidak memisahkan mendirikan shalat
dengan menunaikan zakat; (b) konsep menerima dan memberi berjalan sesuai dengan
kehendak Allah SWT yaitu dengan menjadikan memberi menjadi cerminan diri
sendiri; (c) hidup yang dilaksanakan selalu di dalam keseimbangan antara
kepentingan dunia dengan kepentingan akhirat; (d) konsep habbluminallah selalu
tercermin di dalam konsep habbluminannas; (e)
kesalehan pribadi yang berasal dari mendirikan shalat tercermin dalam
kesalehan sosial saat menunaikan zakat (termasuk infaq dan sedekah) dan lain
sebagainya. Semoga kita dan juga anak keturunan kita mampu melaksanakan
hal ini dengan sebaik baiknya.
Untuk mempertegas apa yang
telah kami kemukakan di atas, ketahuilah bahwa setiap manusia adalah khalifah
Allah SWT di muka bumi. Sebagai khalifah maka kita wajib tahu dan paham serta
mengerti benar siapa Allah SWT dan siapa diri kita yang sesungguhnya. Sebagai khalifah
Allah SWT berarti diri kita adalah duta besar duta besar Allah SWT di muka bumi
yang harus mencerminkan dari keberadaan Allah SWT itu sendiri, dalam hal ini
adalah Asmaul Husna yang tidak lain akhlak Allah SWT yang termaktub di dalam
nama namaNya yang indah.
Hanya
milik Allah asmaa-ul husna[585], Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran
dalam (menyebut) nama-nama-Nya[586]. Nanti mereka akan mendapat Balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan.
(surat
Al A’raf (7) ayat 180)
[585] Maksudnya: Nama-nama
yang Agung yang sesuai dengan sifat-sifat Allah.
[586] Maksudnya: janganlah
dihiraukan orang-orang yang menyembah Allah dengan Nama-nama yang tidak sesuai
dengan sifat-sifat dan keagungan Allah, atau dengan memakai asmaa-ul husna,
tetapi dengan maksud menodai nama Allah atau mempergunakan asmaa-ul husna untuk
Nama-nama selain Allah.
Dialah
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai Al
asmaaul husna (nama-nama yang baik),
(surat
Thaahaa (20) ayat 8)
Di lain sisi, setiap dzat
memiliki sifat. Dimana sifat yang dimiliki dzat akan menjadi perbuatan dari
dzat itu sendiri. Sebagai contoh garam memiliki sifat asin, jika sifat garam
asin maka perbuatan garam adalah mengasinkan apa apa yang diliputinya sesuai
dengan kemampuan garam. Hal yang sama pun berlaku kepada diri kita yang
sesungguhnya adalah Ruh/Ruhani, dimana Ruh telah disifatkan Asmaul Husna oleh
Allah SWT melalui proses shibghah. Jika Ruh/Ruhani telah memiliki sifat Asmaul
Husna maka perilaku Ruh/Ruhani yang tidak lain adalah Asmaul Husna maka
perbuatan Ruhpun harus sesuai dengan Asmaul Husna.
Rasulullah SAW bersabda: “Maukah kalian aku
tunjukkan orang yang haram (tersentuh) api neraka? Para sahabat berkata, iya,
wahai Rasulullah. ‘Beliau menjawab (haram tersentuh api neraka) adalah Hayyin
(orang yang memiliki ketenangan dan keteduhan lahir bathin); Layyin (orang yang
lembut berkata dan berbuat); Qarib (orang yang ramah dan menyenangkan) dan Sahl
(orang yang gemar mempermudah orang lain)”.
(Hadits Riwayat Ath Thirmidzi, Ibnu Hibban)
Berdasarkan hadits yang kami
kemukakan di atas ini, kebaikan yang utama bagi diri kita yang telah diangkat
oleh Allah SWT sebagai Khalifah di muka bumi adalah kita wajib berperilaku yang
sesuai dengan Asmaul Husna yang telah menjadi sifat Ruh/Ruhani diri kita. Jika
Ruh/Ruhani diri kita telah disifati oleh Allah SWT dengan Ar Rachman (Yang Maha
Pengasih) dan Ar Rahiem (Yang Maha Penyayang) berarti perbuatan dan perilaku
diri kita harus pula mencerminkan perilaku Pengasih dan Penyayang pula, dalam
hal ini saling tolong menolong dalam kebaikan, saling hormat menghormati. Jika hal
ini mampu kita laksanakan berarti kita sudah bertindak apa yang dinamakan
dengan Layyin (sesuai kata dengan perbuatan).
Shibghah
Allah[91]. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya
kepada-Nya-lah Kami menyembah.
(surat
Al Baqarah (2) ayat 138)
[91] Shibghah artinya
celupan. Shibghah Allah: celupan Allah yang berarti iman kepada Allah yang
tidak disertai dengan kemusyrikan.
Sekarang bagaimana jika
Ruh/Ruhani diri kita telah disifati dengan Asmaul Husna Ar Razaaq melalui
proses shibghah berarti perilaku diri kita setelah memperoleh Rezeki dari Allah
SWT maka rezeki itu tidak untuk kepentingan diri sendiri, melainkan harus pula
dibelanjakan di jalan Allah melalui infaq, shadaqah ataupun wakaf. Sehingga
jika kita tidak memberi sesuatu akan terasa ada yang mengganjal di dalam diri. Disinilah
letaknya penampilan dari orang yang berpunya yaitu selalu memberi atau
menempatkan dirinya sebagai Muzakki dari waktu ke waktu. Jika tidak berarti
perilaku diri kita seperti garam yang sudah tidak asin lagi. Demikian
seterusnya dengan sifat sifat Ruh/Ruhani yang lainnya yang telah disifati
dengan Asmaul Husna.
Untuk itu mari kita
renungkan apa yang dinamakan dengan sambal lado, dimana sambal lado merupakan
gabungan dari bumbu bumbu yang disatukan seperti cabai, garam, tomat, terasi,
gula dan lain sebagainya. Setiap dzat yang dipersatukan semuanya
mempertontonkan dan mempertunjukkan sifat sifat yang dimilikinya, seperti cabai
dengan pedasnya, garam dengan asinnya, tomat dengan rasa tomatnya, gula dengan
rasa manisnya. Hasil akhir dari itu semua adalah sambal lado yang enak dan
lezat. Sekarang apa jadinya jika garam yang memiliki sifat asin menahan rasa
asinnya? Kurang asin atau kurang garam akan menyebabkan sambal lado menjadi
kurang enak. Inilah contoh hasil kerja berjamaah.
Hal yang samapun berlaku
dalam kehidupan manusia, jika sampai sifat Ruh/Ruhani ditahan dalam pergaulan
sehari hari atau jika sampai sifat pengasih dan penyayang tidak ada di dalam
kehidupan bermasyarakat maka hidup terasa hambar dan terjadilah apa yang dinamakan
kebencian, kecurigaan serta tindas menindas karena hilangnya rasa welas asih di
antara sesama manusia. Demikian seterusnya dengan Asmaul Husna yang lain yang
harus menjadi perilaku diri kita saat hidup di muka bumi ini.Inilah salah satu
bentuk kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan yang utama dalam kehidupan kita.
Ingat, kondisi ini baru bisa kita lakukan jika kita tahu dan mengerti bahwa
Ruh/Ruhani adalah jati diri manusia yang sesungguhnya yang telah disifati oleh
Allah SWT dengan Asmaul Husna dan konsep ini akan lebih hebat hasilnya jika
kita lakukan secara berjamaah pula.
Sekarang semuanya tergantung
kepada diri kita sendiri, maukah menjadikan sifat alamiah Ruh/Ruhani menjadi
perbuatan diri kita seperti garam yang mampu yang berperilaku mengasinkan apa
apa yang diliputinya. Jika kita tidak mampu berarti diri kita sama dengan garam
yang sudah tidak asin lagi. Jika garam sudah tidak asin lagi maka tidak pantas
ia mengaku garam atau disebut sebagai garam. Hal yang samapun jika kita tidak
mampu menjadikan sifat Ruh/Ruhani menjadi sifat dan perbuatan kita maka kitapun
sudah tidak pantas lagi disebut sabagai Khalifah di muka bumi sehingga keluar
dari konsep fitrah yang dikehendaki Allah SWT.
Sebagai bahan renungan bagi
diri kita saat berbuat kebaikan atau jangan sampai diri kita berbuat kebaikan
namun hasilnya sia sia. Berikut ini akan kami kemukakan beberapa hal yang sia
sia, yaitu: (a) hujan yang turun dilahan kering, tidak ditumbuhi tanaman dan tidak
ditanami tanaman; (b) menyalakan lilin dibawah sinar matahari; (c) menikahkan
wanita cantik dengan orang buta; (d) melakukan amal kebajikan untuk orang yang
tidak tahu bersyukur. Hal ini menjadi penting kami kemukakan, agar
jangan sampai sia sia usaha kita padahal kita sudah banyak berbuat.
Ayo buktikan jika kita
memang pantas menyandang status khalifah Allah SWT di muka bumi dengan selalu
berbuat kebaikan sebagai wujud dari pelaksanaan Rukun Iman dan Rukun Islam
sekarang juga melalui perbuatan diri kita yang mencerminkan nilai nilai ilahiah
yang berasal dari Asmaul Husna. Jika sampai ini terjadi berarti salah satu
tujuan dari kekhalifahan di muka bumi berhasil yaitu diri kita mampu menjadi
menampilkan penampilan Allah SWT di muka bumi melalui nilai nilai ilahiah yang
berasal dari Asmaul Husna. Semoga kita dan anak keturunan kita mampu melakukan
hal ini dari waktu ke waktu sepanjang hayat masih di kandung badan.
B.
TIDAK BERBUAT SYIRIK LAGI MUSYRIK.
Berdasarkan
surat Yunus (10) ayat 105 yang kami kemukakan di bawah ini, orang yang telah
kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia tidak akan mau
lagi berbuat syirik lagi musyrik di dalam hidup dan kehidupannya. Hal ini
dikarenakan orang yang telah kembali fitrah ia telah paham siapa dirinya yang
sesungguhnya dan siapa Allah SWT yang sesungguhnya. Selain daripada itu orang
yang telah kembali fitrah tidak akan pernah menempatkan dirinya sejajar dengan
Allah SWT atau tidak akan pernah menempatkan Allah SWT dibawah dirinya. Apalagi
memperbandingkan Allah SWT dengan ciptaannya lalu menempatkan ciptaannya
melebihi Allah SWT.
Dan (aku
telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan
ikhlas dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang musyrik.
(surat Yunus
(10) ayat 105)
Selanjutnya Allah SWT melalui surat An Nisaa' (4) ayat 48 yang kami kemukakan di
bawah ini, menerangkan bahwa Syirik dan Musyrik adalah Dosa Besar yang tidak akan pernah diampuni oleh Allah
SWT. Timbul pertanyaan, kenapa Allah SWT bersikap seperti itu kepada orang yang
melakukan perbuatan Syirik dan Musyrik? Allah SWT bersikap keras tanpa ampun kepada siapapun
juga yang melakukan perbuatan Syirik dan Musyrik, sekalipun orang tersebut
telah melakukan Ibadah dan Amal Shaleh baik yang besar maupun yang kecil,
dikarenakan Allah SWT tersinggung, dikarenakan
Allah SWT telah dihina, dikarenakan Allah SWT telah dianggap tidak ada,
dikarenakan Allah SWT telah dianggap tidak mampu oleh orang tersebut padahal Allah
SWT adalah Inisiator, Pencipta, Pemilik, Pemelihara dari langit dan bumi
beserta isinya sampai kapanpun juga.
Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan
Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
(surat
An Nisaa' (4) ayat 48)
Untuk itu berhati-hatilah dengan perbuatan Syirik
dan Musyrik, sebab perbuatan Syirik dan Musyrik yang dilakukan oleh manusia
tidak dinilai dari siapa diri kita, siapa orang tua kita, apakah jabatan kita,
apakah pekerjaan kita, apakah kedudukan kita. Akan tetapi berapapun ukuran dari
perbuatan Syirik dan Musyrik yang kita lakukan pasti akan dapat menjadi Amunisi
dan Penghancur Keimanan dan Keyakinan kita kepada Allah SWT, dapat menjadikan
jiwa kita dikategorikan sebagai Jiwa Fujur serta menjadikan diri kita memiliki
tiket pulang kampung ke Neraka Jahannam. Adanya kondisi ini berarti jika kita
ingin terhindar dari perbuatan Syirik dan musyrik, maka kita harus memiliki
Ilmu tentang Allah SWT, memiliki Ilmu tentang Syirik dan Musyrik, saat menjadi khalifah
di muka bumi. Selanjutnya, agar diri kita selalu mawas diri dari perbuatan
Syirik, berikut ini akan kami kemukakan 4(empat) buah bentuk perbuatan Syirik
yang harus kita waspadai dan jangan pernah kita lakukan dimanapun, kapanpun
oleh sebab apapun juga, yaitu:
1. Syirik Du'a.
Syirik
Du'a adalah berdoa atau minta-minta atau memohon yang didorong kepercayaan
ghaib kepada selain Allah SWT. Misalnya memohon kepada wali-wali atau
orang-orang yang shaleh yang telah dikubur, supaya dapat kelapangan rezeki,
jodoh, pangkat serta memperoleh karomah.
Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan
Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
(surat
An Nisaa' (4) ayat 48)
2. Syirik Roja'.
Syirik Roja' adalah diri kita berpengharapan kepada selain Allah SWT yang
didorong kepercayaan ghaib. Misalnya mengharap selamat dari bahaya perkelahian
atau pertempuran dengan batu badar besi. Orang yang membawa batu badar besi
tidak berdoa kepada batu itu supaya diberi keselamatan tetapi percaya dan
berpengharapan bahwa selama batu ini tetap melekat pada tubuhnya maka ia akan
selamat dari bahaya.
Mereka mengambil
sembahan-sembahan selain Allah, agar mereka mendapat pertolongan.
(surat
Yaasin (36) ayat 74)
3. Syirik Khouf.
Syirik
Khouf adalah takut yang didorong kepercayaan ghaib kepada selain Allah SWT.
Misalnya takut akan mendapat malapetaka, kalau tidak mengadakan pertunjukan
wayang kulit pada bulan Apit takut ditimpa mara bahaya, bila tidak selamatan
pada bulan Syuro takut akan mendapatkan kesusahan, bila tidak merangkak
dihadapan kubur yang dikeramatkan dan sebagainya.
Allah berfirman: "Janganlah
kamu menyembah dua Tuhan; Sesungguhnya Dialah Tuhan yang Maha Esa, Maka
hendaklah kepada-Ku saja kamu takut".
(surat
An Nahl (16) ayat 51)
4. Syirik Tho'at.
Syirik
Tho'at adalah kepatuhan jiwa raga dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang
berlawanan dengan petunjuk Allah SWT dan RasulNya, baik kepada undang-undang,
peraturan-peraturan atau orang yang memerintahkannya. Misalnya menggali lubang dan menanam kepala
Kerbau di bawah tempat-tempat yang akan di bangun, karena tunduk kepada
perintah pimpinannya dan hatinyapun membenarkannya, membaca doa pada peresmian
komplek pelacuran karena menuruti perintah atasannya dan hatinya juga
membenarkan dan seterusnya.
Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain
Allah[639] dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal
mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
(surat At Taubah (9) ayat 31)
[639]
Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib
mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu
menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.
Sebagai
khalifah Allah SWT di muka bumi kita harus waspada terhadap empat bentuk Syirik
yang telah kami kemukakan di atas. Selain daripada itu kita harus pula mewaspadai bentuk-bentuk
Kemusyrikan yang ada dan yang mungkin telah menjadi darah daging
ditengah-tengah kehidupan kita, yaitu:
1. Kepercayaan Kepada Benda-Benda Bertuah.
Di
sekitar kita, banyak benda-benda yang dipercayai oleh sebahagian kalangan
mempunyai kemampuan ghaib. Banyak orang membeli batu-batu, bukan karena
indahnya tetapi karena kepercayaan mereka bahwa batu-batu ini ada keampuhannya.
Jika kita memakai batu akik tirus maka kita akan selamat kemanapun pergi atau jika memakau batu akik sulaiman maka
akan memudahkan mendapatkan rezeki. Demikian juga dengan keris, banyak yang
menyimpannya atau membanggakannya dengan disertai bermacam-macam kepercayaan,
misalnya keris singkir geni dipercayai dapat menyelamatkan dari bahaya
kebakaran.
Dan sungguh jika kamu bertanya
kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya
mereka menjawab: "Allah". Katakanlah: "Maka Terangkanlah
kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak
mendatangkan kemudharatan kepadaKu, Apakah berhala-berhalamu itu dapat
menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaKu,
Apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: "Cukuplah Allah
bagiku". Kepada- Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.
(surat
Az Zumar (39) ayat 38)
Orang
yang mau menggunakan akalnya secara rasional, serta menjernihkan fikirannya
dari bisikan syaitan dan tidak menurutkan hawa nafsunya yang telah dipengaruhi
godaan-godaan iblis, maka mereka pasti akan berpendirian dan berkeyakinan bahwa
benda-benda yang dikeramatkan ini, tidak mampu mendatangkan kemanfaatan, dan
tidak dapat menimpakan malapetaka. Mereka berani mengatakan bahwa bila
benda-benda ini boleh dihancurkan pastilah akan hancur dan tidak mendatangkan
mala petaka. Dalam surat Az Zumar (39) ayat 38 diterangkan bahwa apa saja yang
dipercayai oleh orang yang dapat mendatangkan kemanfaatan, itu hanya khayalan
belaka. Benda-benda yang dikeramatkan itu tidak akan mendatangkan apa-apa bagi
manusia. Orang yang percaya kepada keampuhan benda-benda ini, mereka termasuk
orang yang musyrik.
2. Kepercayaan kepada Azimah.
Azimah
adalah mantera-mantera yang ditulis pada kertas, kulit binatang ataupu kain.
Mantera ini biasanya ditulis dengan huruf Arab, dan berbahasa Arab, yang
dicampur dengan bahasa Ibrani gambar-gambar, garis-garis dan titik-titik. Ada
juga mantera yang ditulis pada sepotong kain kecil, kemudian dibungkus dengan
kuat supaya tidak rusak.
dan janganlah kamu menyembah
apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu
selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, Maka Sesungguhnya
kamu kalau begitu Termasuk orang-orang
yang zalim".
Jika Allah menimpakan sesuatu
kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia.
Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, Maka tak ada yang dapat menolak
kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di
antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(surat
Yunus (10) ayat 106-107)
Azimah
ini dipercaya dapat menghindarkan dari macam-macam penyakit, selamat dalam
perjalanan dan ada juha azimah yang dimasukkan dalam dompet, jika ke kamar
kecil tidak boleh ditaruh dalam saku tetapi harus diletakkan di luar dan jika
dilanggar maka Azimah tersebut tidak lagi bertuah. Orang yang telah beriman
kepada Allah SWT tidak boleh percaya kepada Azimah-Azimah dan tidak boleh
mengharapkan pertolongan kepadanya, sekalipun yang ditulis adalah nama-nama Allah
SWT yang indah, atau diambil dari ayat-ayat Al Qur'an.
Untuk
itu Allah SWT telah memberi petunjuk kepada hamba-Nya, bilamana mereka dalam
kesulitan haruslah berdoa mohon pertolongan kepada Allah SWT serta menyandarkan
segala persoalan kepada Allah SWT. Adapun orang-orang yang masih percaya dan
mengharapkan pertolongan dari Azimah, mereka termasuk orang-orang yang
terbelenggu kepercayaan syirik.
3. Kepercayaan kepada Dukun, Paranormal.
Dalam
masyarakat kita masih banyak orang yang percaya kepada dukun, paranormal, orang
pintar. Mereka percaya bahwa dukun, paranormal, orang pintar, itu mengerti
sesuatu yang tidak terlihat, karena ia mempunyai kemampuan ghaib yang tidak
dimiliki oleh orang-orang biasa. Itulah anggapan mereka, oleh karena itu kalau
mereka kehilangan, mereka datang kepada dukun, paranormal, orang pintar, untuk
menanyakan siapa yang mencuri barangnya, dimana barang-barang itu sekarang dan
bagaimana supaya barang-barang itu dapat kembali.
(dia adalah Tuhan) yang
mengetahui yang ghaib, Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang
yang ghaib itu.
Kecuali kepada Rasul yang
diridhai-Nya, Maka Sesungguhnya Dia Mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di
muka dan di belakangnya.
(surat
Al Jin (72) ayat 26-27)
Sebenarnya
dukun, paranormal, orang pintar itu adalah orang biasa yang tidak mengetahui
perkara yang ghaib, tidak mengetahui sesuatu yang belum terjadi, juga tidak
mengerti nasib seseorang di masa akan datang. Kalau terbukti bahwa apa yang
dikatakan dukun itu benar, maka itu hanyalah suatu yang kebetulan, atau dia
dibisiki oleh Jin yang mendengar dari pembicaraan Malaikat, akan tetapi Jin ini
menambahnya dengan seratus atau bahkan jutaan kebohongan. Orang yang masih
percaya kepada dukun, percaya kepada paranormal, percaya orang pintar atau
bahkan percaya kepada ulama, jelaslah di dalam hatinya masih bercokol
kepercayaan Syirik karena mereka menyamakan sifat dukun, paranormal, orang
pintar dan juga ulama dengan Allah SWT yaitu mengetahui yang Ghaib.
4. Takut dan Berlindung Kepada Selain Allah
SWT.
Orang-orang
yang hidup di selatan Pulau Jawa mempunyai kepercayaan bahwa laut selatan
dikuasai oleh Nyi Roro Kidul. Jika ada kecelakaan di laut selatan mereka yakin
itu adalah gangguan dari anak buah Nyi Roro Kidul, sehingga mereka merasa takut
kepada makhluk-makhluk halus itu serta berlindung kepadanya. Untuk itulah
mereka mengadakan selamatan sesaji laut dengan tata cara yang sederhana sampai
yang besar-besaran, dengan tujuan minta perlindungan kepada Ratu Jin yang
berkuasa di laut selatan, supaya mereka diselamatkan dari bahaya laut dan
keluarganya pun selamat dari macam-macam penyakit.
(Kuasa Allah) yang demikian
itu, adalah karena Sesungguhnya Allah, Dialah (tuhan) yang haq dan Sesungguhnya
apa saja yang mereka seru selain dari Allah, Itulah yang batil, dan
Sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha besar.
(surat
Al Hajj (22) ayat 62)
Takut
kepada jin, roh leluhur atau Roh yang lain, kemudian berlindung kepadanya
adalah kepercayaan yang bertentangan dengan petunjuk Allah SWT dan berlawanan
dengan tuntunan Rasulullah. Kepercayaan ini termasuk Syirik Akbar, yang tidak
terampuni sampai kapanpun oleh Allah SWT.
5. Wasilah.
Wasilah
dalam arti bahasa ialah sesuatu untuk mendekatkan kepada orang lain, atau amal
shaleh untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT atau jalan untuk mencapai
tujuan. Akan tetapi saat ini istilah Wasilah yang sekarang tersebar luas dalam
masyarakat, terutama di kalangan umat Islam adalah perantara manusia dengan Allah
SWT. Mereka berkeyakinan bahwa wali-wali dan orang-orang shaleh yang telah
meninggal dunia itu dapat menyampaikan permohonan manusia kepada Allah SWT. Dan
Allah SWT akan mengabulkan permohonan
setiap orang yang disampaikan oleh roh para wali dan sholikhin, yang tidak
mungkin dikabulkan jika dimohon sendiri langsung kepada Allah SWT. Wasilah
menurut pengertian mereka adalah Roh para wali dan orang-orang yang shaleh dan
sekarang pengertian Wasilah seperti ini sudah menjadi kepercayaan yang diyakini
oleh sebagian umat Islam.
6. Ziarah Kubur.
Rasulullah
membimbing umatnya agar mereka selalu mendoakan kepada sesama mukmin baik yang
masih hidup maupun kepada yang telah meninggal dunia. Salah satu bentuk
penghornatan kepada yang sudah meninggal, selain mendoakan kita juga
melaksanakan ziarah kubur. Dalam melakukan ziarah kubur harus dilandasi dengan
niat yang ikhlas kepada kepada Allah SWT, sehingga tidak dicampur dengan
harapan-harapan yang lain. Bila kita berziarah kubur kepada kedua orang tua,
kepada keluarga dekat, sudah pasti kita akan mendoakan mereka dengan ikhlas.
Akan tetapi dalam masyarakat kita banyak orang yang sengaja menempuh perjalanan
dengan jarak ratusan kilo meter, hanya untuk menziarahi kuburan-kuburan wali
dan solikhin.
Mereka
merasa doanya akan terkabul bila berdoa dihadapan kubur wali dan solikhin dan
merasa hampa bila dibaca di masjid atau dirumah masing-masing. Adapun yang
merangsang orang-orang simpang siur bepergian ratusan kilometer untuk memuja
wali-wali dan solikhin yang telah meninggal, karena di atas kubur-kubur
dibangun kubah-kubah, rumah-rumah, dan ada juga yang dibangun masjid.
Bangunan-bangunan di atas kubur itu banyak yang kelihatan indah dan mencolok,
sedangkan batu nisannya ditutup kiswah yang dihiasi dengan tulisan-tulisan
bagus, Kiswah-kiswah ini setiap tahun diganti dengan upacara-upacara
peribadatan yang sangat meriah dan kasih bekas kiswah dilelang dengan harga
mahal karena mereka percaya dapat mendatangkan kemanfaatan dan menolak bahaya.
Syirik
dan Musyrik adalah sumber yang kotor, mula-mula ia muncul dalam hati ruhani
dengan memercikkan tetesan, dan lama kelamaan berubah menjadi air bah yang
mendobrak segala-galanya sehingga hati ruhani kita tidak ada tempat untuk Iman
dan Yakin kepada Allah SWT. Syirik dan Musyrik dapat pula diibaratkan sebagai
virus yang membahayakan kesehatan diri kita, virus akan terus berkembang sampai
menggerogoti diri kita dan pada akhirnya terkaparlah diri kita dengan
gelimangan dosa yang tidak terampuni. Jika ini yang terjadi maka Syaitan sang
laknatullah beserta bala tentaranya sangat senang dan sangat bergembira dengan
keadaan ini, sebab mereka telah mendapatkan teman, konco, sahabat, tetangga
yang baik untuk mengarungi bahtera kehidupan di Neraka Jahannam kelak.
Sebagai
khalifah yang sedang melaksanakan tugas di muka bumi, ada satu hal yang harus
kita ketahui mengenai titel atau penghargaan atau penilaian yang Allah SWT
berikan kepada orang yang musyrik? Allah SWT berdasarkan surat At Taubah (9)
ayat 28 di bawah ini, memberikan Titel, Predikat, Penghargaan kepada orang yang
melakukan tindakan Musyrik sebagai Najis.
Hai
orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis[634],
Maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam[635] sesudah tahun ini[636]. dan
jika kamu khawatir menjadi miskin[637], Maka Allah nanti akan memberimu
kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(surat At Taubah (9) ayat 28)
[634] Maksudnya: jiwa musyrikin itu dianggap
kotor, karena menyekutukan Allah.
[635] Maksudnya: tidak dibenarkan mengerjakan haji
dan umrah. menurut Pendapat sebagian mufassirin yang lain, ialah kaum musyrikin
itu tidak boleh masuk daerah Haram baik untuk keperluan haji dan umrah atau
untuk keperluan yang lain.
[636] Maksudnya setelah tahun 9 Hijrah.
[637] Karena tidak membenarkan orang musyrikin
mengerjakan haji dan umrah, karena pencaharian orang-orang Muslim boleh Jadi
berkurang.
Sekarang
coba anda bayangkan Pencipta dan Pemilik dari alam semesta ini memberikan
Penilaian yang sangat buruk dan sangat menjijikkan dengan istilah “Najis”
kepada ciptaannya sendiri? Sungguh jika ini terjadi kepada diri kita, hal ini
merupakan sebuah hadiah dan penghargaan yang sangat menakutkan serta mengerikan
kepada diri kita. Kondisi ini sangat bertentangan dengan Kehendak Allah SWT
sewaktu pertama kali menciptakan Manusia. Timbul pertanyaan, atas dasar apakah
Allah SWT memberikan penilaian Najis kepada orang Musyrik?
Hal
ini dikarenakan tindakan Musyrik yang dilakukan oleh manusia adalah tindakan
untuk meniadakan Allah SWT selaku Tuhan bagi semesta alam, tindakan meniadakan
Allah SWT selaku Pencipta, tindakan meniadakan Allah SWT selaku Pemilik,
Penjaga, dan Pemelihara dengan menggantinya dengan benda bertuah, azimah,
dukun, paranormal, berlindung kepada selain Allah SWT, wasilah dan lain
sebagainya. Selain daripada itu melalui tindakan Musyrik berarti kita telah
menganggap Allah SWT sudah tidak ada karena sudah digantikan dengan sesuatu
melalui tindakan Musyrik, dan kondisi inilah yang paling tidak di sukai Allah
SWT dan jika Allah SWT sangat marah dan sangat tidak senang dengan orang yang
melakukan tindakan Musyrik memang sudah sepatutnya apa yang dikemukakan oleh Allah
SWT dalam surat At Taubah (9) ayat 28 berlaku.
Sebagai
bahan perbandingan, lihatlah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seorang yang menjadi mata-mata
bagi bangsa lain dinegaranya sendiri dikatakan sebagai pengkhianat bangsa.
Negara memberikan predikat itu memang sudah seharusnya orang tersebut menerima
hal itu. Selanjutnya jika predikat Najis bagi pelaku Musyrik ini sudah menjadi
Keputusan Allah SWT, apakah kita tidak mempercayai Keputusan ini? Sebagai orang
yang menumpang di langit dan di bumi Allah SWT maka kita wajib menerima dan
mempercayai Keputusan Allah SWT tentang predikat Najis.
Adanya
kondisi ini terlihat dengan jelas bahwa Allah SWT sangat tegas membedakan
antara orang yang beriman dengan orang yang musyrik. Sebagai khalifah yang
sedang menjalankan tugas di muka bumi, jika predikat Najis sudah berlaku sampai dengan hari kiamat
kepada orang-orang Musyrik maka jadikan hal ini sebagai dorongan bagi kita
untuk jangan sampai diberikan Predikat Najis
pula kepada diri kita, terkecuali kita sendiri memang ingin memiliki dan
merasakan hasil akhir dari Predikat Najis yang diberikan oleh Allah SWT kepada
diri kita.
Lalu
apa yang harus kita lakukan jika saat diri kita melaksanakan tugas sebagai khalifah
di muka bumi, diri kita secara sengaja ataupun secara tidak sengaja akibat
tidak memiliki Ilmu tentang Allah SWT, melakukan perbuatan Syirik dan Musyrik?
Sepanjang Ruh belum sampai di kerongkongan, hanya satu jalan keluarnya yaitu
Taubatan Nasuha. Tanpa melalui proses Taubatan Nasuha, Allah SWT tidak akan
pernah memaafkan perbuatan Syirik dan Musyrik yang pernah kita lakukan walaupun
kita telah melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh ribuan kali, telah membangun
masjid jutaan buah, menyantuni anak yatim milyaran orang, ketentuan Najis tetap
berlaku.
Selain
daripada itu adanya kesempatan Taubatan Nasuha yang Allah SWT berikan, berarti
Allah SWT masih memberikan kesempatan ke dua bagi makhluknya yang ingin kembali
ke jalan yang lurus atau memberikan kesempatan bagi makhluknya sesuai dengan
Kehendak Allah SWT. Untuk itu manfaatkanlah Waktu yang masih tersisa atau
manfaatkan sisa masa aktif diri kita di muka bumi ini, agar waktu yang tersisa
ini dapat mengembalikan diri kita sesuai dengan kehendak Allah SWT, atau dapat
menghantarkan diri kita pulang kampung ke Kampung Kebahagiaan. Agar diri kita terhindar dari pebuatan
syirik lagi musyrik, maka kita wajib terlebih dahulu mempelajari, memahami,
mengenali Allah SWT dengan segala apa yang dikehendakinya. Hadits di bawah ini
harus bisa kita amalkan sebelum diri kita melangkah dan berbuat sesuatu saat
hidup di muka bumi ini.
Ibnu Abbas ra, berkata Nabi SAW
bersabda: “Hai anak muda, sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa
pesan berikut: peliharalah Allah, niscaya Dia akan memeliharamu; peliharalah
Allah, niscaya engkau akan menjumpaiNya di hadapanmu, kenalilah Allah saat
senang, niscaya Dia akan mengenalimu saat kamu susah; apabila kamu meminta,
mintalah kepada Allah; dan apabila kamu meminta pertolongan, mintalah kepada
Allah. Ketahuilah bahwa seandainya suatu umat sepakat untuk memberi manfaat
kepadamu dengan sesuatu, mereka tidak dapat memberikan manfaat kepadamu,
kecuali dengan sesuatu yang telah ditaqdirkan oleh Allah atas dirimu.
Seandainya mereka sepakat untuk menimpakan bahaya kepadamu, niscaya mereka
tidak dapat menimpakam bahaya kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah
ditaqdirkan oleh Allah atas dirimu. Qalam telah diangkat dan lembaran telah
kering.”
(Hadits Riwayat Thirmidzi)
Di lain sisi,
orang yang telah kembali fitrah pasti mengetahui apa yang menjadi hak Allah SWT
dan yang menjadi hak dirinya. Orang yang telah kembali fitrah tahu siapa Allah
SWT yang sesungguhnya dan siapa dirinya yang sesungguhnya. Jika hal ini mampu
kita laksanakan dengan baik dan benar berarti kita terhindar dari perbuatan
syirik lagi musyrik.
C.
SELALU DI DALAM KEHENDAK ALLAH SWT.
Sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi, pernahkah
kita memikirkan adanya sesuatu yang berpasang pasangan baik yang ada di muka
bumi ataupun yang ada pada diri kita? Begitu banyak yang berpasang pasangan
seperti laki laki dan perempuan, tua dan muda, kaya dan miskin, negatif dan
positif, atas dan bawah, proton dan neutron, langit dan bumi, jiwa taqwa dan
jiwa fujur, ruhani dan jasmani dan lain sebagainya. Lalu apakah yang berpasang
pasangan itu ada dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan? Berdasarkan
surat Yaa Siin (36) ayat 36 di bawah ini, bahwasanya Allah SWT lah yang telah
menciptakan segala sesuatu dengan berpasang pasangan, baik apa apa yang ada di
muka bumi maupun yang ada pada diri manusia maupun dari apa apa yang tidak kita
ketahui.
Maha
suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa
yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak
mereka ketahui.
(surat
Yaa Siin (36) ayat 36)
Lalu apa yang dimaksud dengan berpasang pasangan
itu? Jika kita mau meneliti secara mendalam tentang berpasangan pasangan yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT maka kita akan mendapati beberapa makna dari
berpasang pasangan itu. Apa maksudnya?
a. Berpasang pasangan bisa bermakna ibadah yang tidak bisa dipisahkan antara
ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya, seperti mendirikan shalat dengan menunaikan
zakat, habbluminallah dengan habbluminanass, menerima dengan memberi, kesalehan
diri dengan kesalehan sosial, mendengar dengan melihat. Jika sampai diri kita
memisahkan ketentuan ini berarti kita telah menganiaya diri sendiri.
b. Berpasang pasangan juga bisa bermakna keselarasan dan keseimbangan antara
yang satu dengan yang lainnya, seperti mengurangi dengan menambah, atas dengan
bawah, tua dengan muda, proton dengan neutron, positif dengan negatif, aktiva
dengan pasiva. Jika sampai diri kita memisahkan ketentuan ini berarti kita
telah merusak tatanan keseimbangan yang ada di dalam kehidupan.
c. Berpasang pasangan juga bermakna pilihan, mau beriman ataukah mau kafir,
apakah mau berbuat kebaikan ataukah keburukan, apakah mau syurga ataukah
neraka, apakah mau bahagia ataukah mau celaka, mau halal ataukah mau haram, mau
maju ataukah mau mundur dan lain sebagainya. Jika kita sampai salah memilih
atau salah dalam menentukan sikap maka hasil akhir dari pilihan yang kita pilih
akan memberikan dampak yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Jika kita
memilih kebaikan maka kebaikan yang akan kita terima, namun jika kita memilih
keburukan maka keburukan yang akan kita terima.
d. Berpasang pasangan juga
bermakna pembeda antara satu dengan yang lainnya seperti malam dengan siang,
pagi dengan petang, kaya dengan miskin, tua dengan muda, dan lain sebagainya.
Sekarang bisakah kita membayangkan jika di langit dan di bumi ini tidak ada
konsep berpasang pasangan, lalu apa yang bisa kita perbuat jika tidak ada malam
dan siang? Apa yang bisa kita rasakan jika tidak ada konsep positif dan konsep
negatif atau jika tidak ada laki laki dan perempuan atau
jika tidak ada kebaikan dan keburukan? Semuanya sama sehingga yang ada hanyalah
satu tanpa ada perbedaan sedangkan perbedaan inilah yang menunjukkan betapa
hebatnya Allah SWT.
Sekarang mari kita perhatikan apa yang dikemukakan oleh
Allah SWT dalam surat Adz Dzariyaat (51) ayat 49 di bawah ini. Allah SWT lah
yang telah menciptakan segala sesuatu dengan berpasang pasangan lalu Allah SWT
juga telah mengingatkan kita bahwa dibalik berpasang pasangan itu ada kebesaran
Allah SWT yang menyertainya. Lalu sampai kapankah konsep ini berlaku? Konsep
berpasang pasangan sebagai sebuah sunnatullah (ketetapan Allah SWT) yang
berlaku dalam kehidupan yang kita laksanakan saat ini akan berlaku terus sampai
dengan hari kiamat kelak. Subhanallah, begitu hebat Allah SWT dan begitu jelas
dan transfaran Allah SWT dalam menciptakan segala sesuatu. Sekarang tinggal
bagaimana kita menyikapinya.
dan
segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran
Allah.
(surat
Adz Dzariyaat (51) ayat 49)
Sekarang bagaimana dengan kebaikan yang telah
dipasangkan dengan keburukan oleh Allah SWT, lalu bagaimana kita harus
menyikapinya? Sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi kita harus memilih atau
menentukan sikap apakah menjadikan kebaikan sebagai cerminan/label diri kita
ataukah menjadikan keburukan sebagai cerminan/label diri kita. Kebaikan dan Keburukan sebagai sebuah pilihan
yang harus dipilih keduanya memiliki karakteristik yang berbeda.
Jika kebaikan yang kita pilih lalu kebaikan itu pula
yang kita lakukan maka kebaikan pula
yang akan kita raih dan rasakan saat hidup di dunia ini. Jika keburukan yang
kita pilih lalu keburukan itu pula yang kita lakukan maka keburukan pula yang
akan kita raih dan rasakan saat hidup di dunia ini. Dan hal yang tidak akan
terjadi adalah jika kita berbuat keburukan hasil akhirnya adalah adalah
kebaikan. Demikian pula sebaliknya, jika kita berbuat kebaikan hasil akhirnya
adalah keburukan.
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya
pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan
pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain
lindung-melindungi[624]. dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum
berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka,
sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan
kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan
kecuali terhadap kaum yang telah ada Perjanjian antara kamu dengan mereka. dan
Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
(surat Al
Anfaal (8) ayat 72)
[624] Yang dimaksud lindung melindungi Ialah: di
antara muhajirin dan anshar terjalin persaudaraan yang Amat teguh, untuk
membentuk masyarakat yang baik. demikian keteguhan dan keakraban persaudaraan
mereka itu, sehingga pada pemulaan Islam mereka waris-mewarisi seakan-akan
mereka bersaudara kandung.
Sekarang
katakan kita telah kembali fitrah, berarti kita mampu memilih yang terbaik bagi
kepentingan diri kita yang sesungguhnya, dalam hal ini yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT. Selain daripada itu, berdasarkan surat Al Anfaal (8) ayat
72 di atas ini, orang yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh
Allah SWT maka ia akan selalu tolong menolong, ringan tangan untuk menolong,
ikhlas dalam berbuat, selalu menyayangi sesama, tidak hanya mau menerima saja
namun mau untuk memberi, tidak hanya mau tangan di bawah namun harus bisa
tangan di atas.
Sudahkah
kita menjadi pelopor di dalam kebaikan di tengah masyarakat sebagai bukti bagi
diri kita telah kembali fitrah yang sesuai dengan kehendak Allah SWT? Agar diri
kita selalu di dalam kehendak Allah SWT, berikut ini akan kami kemukakan beberapa
kehendak Allah SWT yang berhubungan erat dengan kekhalifahan di muka bumi, termasuk
di dalam untuk kepentingfan diri kita, yaitu:
1. Berdasarkan
surat Maryam (19) ayat 96 di bawah ini, Allah SWT berkehendak untuk memberikan
kasih sayang-Nya kepada setiap manusia, sepanjang manusia itu mau memenuhi
apa-apa yang dikehendaki Allah SWT.
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah[911]
akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.
(surat
Maryam (19) ayat 96)
[911] Dalam surat Maryam ini nama Allah Ar Rahmaan banyak disebut, untuk
memberi pengertian bahwa, Allah memberi ampun tanpa perantara.
2. Berdasarkan (surat Al Qashash (28) ayat
83-84) di bawah ini, Allah SWT berkehendak untuk memberikan Nikmat dan Rakmat
kepada setiap orang yang taqwa atau sepanjang manusia itu mau memenuhi apa-apa
yang dikehendaki AllahSWT akan member Nikmat dan Rahmat-Nya.
negeri akhirat[1140] itu, Kami jadikan untuk
orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka)
bumi. dan kesudahan (yang baik)[1141] itu adalah bagi orang-orang yang
bertakwa.
Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan,
Maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan Barangsiapa
yang datang dengan (membawa) kejahatan, Maka tidaklah diberi pembalasan kepada
orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan
apa yang dahulu mereka kerjakan.
(surat Al
Qashash (28) ayat 83-84)
[1140] Yang dimaksud
kampung akhirat di sini ialah kebahagiaan dan kenikmatan di akhirat.
[1141] Maksudnya:
syurga.
Selanjutnya bagaimana dengan Manusia yang sombong, yang selalu berbuat
kerusakan, yang tidak mau bertaqwa atau pada saat bertugas menjadi khalifah
justru melakukan kejahatan dan kerusakan? Allah SWT akan memberikan balasan tetapi tidak sama
dengan balasan kepada khalifah yang taqwa sebab balasan untuk mereka sesuai
dengan apa yang mereka perbuat. Jika ia jahat maka kejahatanlah hasilnya dan
jika kerusakan maka kerusakanlah hasilnya. Akhir dari itu semua terpulang kepada diri kita
sebagai khalifah di muka bumi, pilihan
ada di tangan kita, apakah mau ke Syurga atau mau ke Neraka? Selamat
Memilih.
3.
Berdasarkan surat Al Qashash (28) ayat
79-80 di bawah ini, Allah SWT berkehendak untuk mengazab setiap manusia yang
sombong atau yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Maka
keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya[1139]. berkatalah orang-orang
yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai
seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; Sesungguhnya ia benar-benar
mempunyai keberuntungan yang
besar".
berkatalah
orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu,
pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh,
dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar".
(surat Al Qashash (28) ayat 79-80)
[1139] Menurut mufassir: Karun ke luar dalam satu iring-iringan yang
lengkap dengan pengawal, hamba sahaya dan inang pengasuh untuk memperlihatkan
kemegahannya kepada kaumnya.
Untuk itu Allah SWT berkehendak kepada khalifah-Nya untuk selalu rendah
hati kepada siapapun juga apalagi kepada Allah SWT sebab congkak dan sombong
hanya Milik Allah SWT semata selaku
pencipta dan pemilik alam semesta ini.
2.
Berdasarkan
surat Al Qiyaamah (75) ayat 16-17-18-19 di bawah ini, Allah SWT berkehendak
untuk mengajarkan Al-Qur’an sepanjang manusia mau menerima, mau mengimani, mau
mempelajari dan mau melaksanakan isi dan kandungan Al-Qur’an yang tidak lain adalah Wahyu dari
Allah SWT itu sendiri, yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Adalah sangat Zhalim bagi Allah
SWT jika Allah SWT berkehendak kepada
Khalifah-Nya tanpa memberikan Pedoman dan Petunjuk yang baku. Selanjutnya
Allah SWT juga bertanggung jawab untuk mengajarkan kepada semua Khalifah-Nya
yang mau mempelajarinya. Cara dan Methode Allah SWT di dalam memberikan
pemahaman dan pembelajaran kepada manusia atas Kitab yang diturunkan-Nya,
sangat berbeda dengan cara yang berlaku diantara manusia. Allah SWT mempunyai
cara tersendiri di dalam memberikan pengajaran dan pemahaman bagi umatnya
sepanjang umatnya mau mempelajari Kitab Allah SWT.
janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al
Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya[1532].
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
mengumpulkannya
(di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
apabila Kami telah selesai membacakannya Maka
ikutilah bacaannya itu. Kemudian,
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.
(surat Al
Qiyaamah (75) ayat 16-17-18-19)
[1532] Maksudnya: Nabi
Muhammad s.a.w. dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s. kalimat demi
kalimat, sebelum Jibril a.s. selesai membacakannya, agar dapat Nabi Muhammad
s.a.w. menghafal dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu.
Salah
satu caranya adalah melalui pemahaman lewat hati ruhani atau dapat juga melalui
tanda-tanda atas ciptaannya atau kekuasaanya di alam. Untuk itu
jika kita ingin mendapatkan pemahaman dan pengajaran dari Allah SWT yaitu
samakan terlebih dahulu gelombang atau frekuensi Hati Ruhani diri dengan
gelombang atau frekuensi Allah SWT, yaitu jika Allah SWT memiliki dan mempunyai frekuensi An
Nuur maka Hati Ruhani kitapun harus pula memenuhi konsep An Nuur pula dan jika gelombang dan siaran
Allah SWT adalah Al-Quddus maka Hati Ruhani kitapun harus memenuhi konsep
Al-Quddus, demikian seterusnya.
Kondisi
ini makin bertambah sulit dengan adanya Standard Ganda yang kita buat sendiri
atau diri kita sendiri malah membuat dan melaksanakan Standard Ganda kepada Allah
SWT, yaitu mau dengan sadar memenuhi syarat dan ketentuan operator selular akan
tetapi kepada Allah SWT pilih-pilih atau disesuaikan dengan kebutuhan atau
malah kita hanya mau melakukan aktivitas
Misscall kepada Allah SWT kemudian berharap Allah SWT menjawab seluruh
permintaan diri kita. Hal ini tidak akan mungkin pernah terjadi dan tidak
akan mungkin dikabulkan oleh Allah SWT. Hal yang kita ingat adalah yang
membutuhkan itu semua bukanlah Allah SWT, akan tetapi diri kitalah yang
membutuhkan Allah SWT. Untuk itu segeralah penuhi apa-apa yang dikehendaki Allah
SWT maka Allah SWT akan memberikan apa-apa yang telah dijanjikannya.
5. Berdasarkan
surat surat Ar Ra'd (13) ayat 11 di bawah ini, Allah SWT berkehendak untuk
mengubah nasib seseorang sepanjang orang tersebut ingin berubah.
bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu
mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas
perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang
dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia
(surat Ar
Ra'd (13) ayat 11)
[767] Bagi tiap-tiap
manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada
pula beberapa Malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki
dalam ayat ini ialah Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut
Malaikat Hafazhah.
[768] Tuhan tidak akan
merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran
mereka.
Allah SWT
memberikan kesempatan ini karena Allah SWT adalah Maha Pemaaf sehingga dengan
Maaf-Nya tersebut diri kita mempunyai Kesempatan Ke dua untuk memperbaiki diri
sehingga dapat pulang kampung ke Syurga atau sesuai dengan kehendak Allah SWT. Hal
yang harus kita perhatikan adalah bahwa kesempatan kedua yang diberikan oleh
Allah SWT hanya berlaku sebelum Ruh diri kita dipisahkan oleh Malaikat Izrail
dengan Jasmani kita. Untuk itu manfaatkanlah kesemapatan yang telah diberikan
oleh Allah SWT ini dengan sebaik mungkin sebab jika Malaikat Izrail sudah datang
maka ia tidak akan pernah gagal melaksanakan tugasnya.
6. Berdasarkan
surat Al Kahfi (18) ayat 28-29 dibawah ini, Allah SWT berkehendak kepaada
manusia untuk tidak memperturutkan Ahwa sehingga sifat-sifat alamiah Jasmani
yang sesuai dengan kehendak Syaitan dapat mengalahkan sifat-sifat alamiah
Ruhani sehingga tingkah laku manusia sudah tidak sesuai lagi dengan Nilai-Nilai
Kebaikan. Contohnya, salah satu sifat Jasmani adalah Bakhil atau Pelit
sedangkan sifat Ruhani adalah Suka Memberi dan Suka Menolong dan jika sifat
atau perbuatan Jasmani (Ahwa) sampai mengalahkan perbuatan Ruhani (Nafs/Anfuss)
maka perbuatan manusia melalui contoh di atas adalah Selalu Mementingkan diri
sendiri.
dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan
orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap
keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena)
mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang
hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya
dan adalah keadaannya itu melewati batas.dan Katakanlah: "Kebenaran itu
datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir".
Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang
gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan
diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka.
Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
(surat
Al Kahfi (18) ayat 28-29)
7. Berdasarkan
surat An Nisaa' (4) ayat
26-27-28 di bawah ini, Allah SWT
berkehendak untuk menerima Taubat manusia, sepanjang manusia itu sendiri mau
meminta ampunan kepada Allah SWT dan juga sepanjang Ruh belum sampai di
kerongkongan.
Allah hendak menerangkan (hukum
syari'at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum
kamu (para Nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima taubatmu. dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana. dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang
orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling
sejauh-jauhnya (dari kebenaran).Allah hendak memberikan keringanan
kepadamu[286], dan manusia dijadikan bersifat lemah.
(surat
An Nisaa' (4) ayat 26-27-28)
[286] Yaitu dalam syari'at di
antaranya boleh menikahi budak bila telah cukup syarat-syaratnya.
Selain daripada itu, berdasarkan surat Al Furqaan (25) ayat 71 yang kami
kemukakan di bawah ini, Allah SWT juga berkehendak agar manusia untuk taubat
hanya kepada Allah SWT saja.
dan
orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, Maka Sesungguhnya Dia
bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.
(surat Al Furqaan (25) ayat 71)
Adanya
kesempatan untuk Taubat hanya kepada Allah SWT, akan memberikan kesempatan
kepada diri kita untuk memperbaiki diri atau kita masih diberikannya kesempatan
untuk pulang kampung ke Syurga oleh Allah SWT.
8. Berdasarkan
surat Al An'am (6) ayat
54-55 di bawah ini, Allah SWT
berkehendak untuk menjelaskan sesuatu yang baik dan yang buruk kepada seluruh
umat manusia.
apabila orang-orang yang
beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, Maka Katakanlah:
"Salaamun alaikum[476]. Tuhanmu telah menetapkan atas Diri-Nya kasih
sayang[477], (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara
kamu lantaran kejahilan[478], kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan
Mengadakan perbaikan, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
dan Demikianlah Kami
terangkan ayat-ayat Al-Quran (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh, dan
supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.
(surat
Al An'am (6) ayat 54-55)
[476]
Salaamun 'alaikum artinya Mudah-mudahan Allah melimpahkan Kesejahteraan atas
kamu.
[477]
Maksudnya: Allah telah berjanji sebagai kemurahan-Nya akan melimpahkan rahmat
kepada mahluk-Nya.
[478]
Maksudnya Ialah: 1. orang yang berbuat maksiat dengan tidak mengetahui bahwa
perbuatan itu adalah maksiat kecuali jika dipikirkan lebih dahulu. 2. orang
yang durhaka kepada Allah baik dengan sengaja atau tidak. 3. orang yang
melakukan kejahatan karena kurang kesadaran lantaran sangat marah atau karena
dorongan hawa nafsu.
Inilah bentuk-bentuk atau kondisi
dasar dari Kehendak Allah SWT yang berhubungan erat dengan kekhalifahan di muka
bumi, termasuk di dalamnya kehendak kepada diri kita dan anak dan keturunan
kita. Dimana isi dari Kehendak Allah SWT itu sendiri bukanlah kehendak yang bersifat
merugikan manusia. Kehendak Allah SWT bukanlah kehendak yang membuat manusia
celaka, Kehendak Allah SWT bukan untuk membuat manusia menjadi sengsara,
Kehendak Allah SWT bukan untuk membuat manusia mengalami kehinaan baik di dunia
maupun di akhirat.
Jika sudah begini kondisi dan
keadaan dari Kehendak Allah SWT kepada Manusia, apakah kita tetap tidak mau
menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah; apakah
kita akan berlaku sombong di muka bumi ini; apakah kita akan tetap selamanya
tidak mau melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah atau mau apa kita di langit
dan di bumi yang diciptakan dan yang dimiliki oleh Allah SWT ini? Jawaban dari pertanyaan ini,
hanya diri kita sendirilah yang Tahu, yaitu
mau apa dan mau kemana diri kita hidup di dunia ini. Yang pasti adalah Allah SWT tidak butuh dengan diri kita, akan tetapi
diri kitalah yang membutuhkan Allah SWT saat hidup di dunia ini.
Jika kita merasa bahwa keberadaan
kita memang tidak dapat dipisahkan dengan Kehendak dan Kemampuan serta Ilmu Allah
SWT, maka kita harus mempelajari lebih lanjut tentang diri kita sendiri
berdasarkan persfektif dan sudut pandang
Allah SWT selaku pencipta diri kita sehingga mampu menghadapi
kehendak Syaitan. Serta dapat menghantarkan diri kita menjadi Makhluk yang Terhormat
dari waktu ke waktu serta dapat menghantarkan diri kita untuk bertemu Allah SWT
selaku Yang Maha Terhormat, di tempat yang terhormat, dalam suasana yang Saling
Hormat Menghormati. Semoga itulah keadaan diri kita akhirnya, yaitu
mampu menjadi Makhluk Terhormat sehingga kita bisa bertemu dengan Allah SWT dan
juga Nabi Muhammad SAW di Syurga kelak. Amien.
D.
SELALU BERBUAT ADIL.
Berdasarkan
surat Al A’raaf (7) ayat 29 dan surat Al
An’am (6) ayat 152 yang kami kemukakan di bawah ini, orang yang telah kembali
fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia akan selalu berlaku dan berbuat
adil, lurus, selalu mendirikan shalat (melaksanakan diinul islam secara kaffah)
serta berbuat kebaikan ikhlas karena Allah SWT semata. Selain daripada kita
juga wajib menjaga keadilan, memelihara keadilan serta merawat keadilan yang
ada di dalam masyarkat.
Katakanlah:
"Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". dan (katakanlah):
"Luruskanlah muka (diri)mu[533] di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah
dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan
kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)".
(surat Al
A’raaf (7) ayat 29)
[533] Maksudnya: tumpahkanlah perhatianmu kepada
sembahyang itu dan pusatkanlah perhatianmu semata-mata kepada Allah.
dan janganlah kamu dekati harta anak yatim,
kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan
sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban
kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata,
Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu)[519], dan
penuhilah janji Allah[520]. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar
kamu ingat.
(surat Al An’am (6) ayat 152)
[519]
Maksudnya mengatakan yang sebenarnya meskipun merugikan Kerabat sendiri.
[520]
Maksudnya penuhilah segala perintah-perintah-Nya.
Untuk itu
segeralah memperbaiki diri atau segeralah introspeksi diri dengan selalu
melihat ke dalam karena hanya dengan melihat ke dalam dirilah langkah menuju
perubahan kepada yang lebih baik terbuka luas. Segeralah berubah ke arah yang
lebih baik yang sesuai dengan kehendak Allah SWT atau kita akan dirubah oleh
syaitan ke arah keburukan sehingga kita berseberangan dengan kehendak Allah SWT.
apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu
penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari
padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa)[327]. Sesungguhnya
Allah memperhitungankan segala sesuatu.
(surat An Nisaa (4) ayat 86)
[327]
Penghormatan dalam Islam Ialah: dengan mengucapkan Assalamu'alaikum.
Berbuat keadilan bukan hanya
sebatas mengadili suatu perkara atau memutuskan suatu permasalahan secara adil
semata. Membalas suatu penghormatan dengan suatu penghormatan yang lebih baik
juga termasuk perbuatan adil. Hal ini termaktub di dalam surat An Nisaa ‘(4)
ayat 86 di atas ini. Untuk itu jika seseorang memberikan salam dengan
mengucapkan “Assalamu’alaikum” maka kita harus membalas salam tersebut
“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh”. Inilah salah satu bentuk keadilan
yang harus kita jadikan pedoman dalam hidup dan kehidupan. Jika semua orang
yang ada di muka bumi ini mampu berbuat adil yang tidak hanya saat mengadili
seseorang, alangkah indahnya hidup ini. Selanjutnya apakah berbuat adil hanya
sebatas itu saja?
Berbuat adil memiliki makna
yang luas. Adil bisa bermakna berbuat sesuatu kebaikan yang sesuai dengan
kebutuhan bagi penerimanya. Sebagai contoh adalah sebuah keburukan jika kita
berbuat sebuah kebaikan berupa memberikan uang kepada seseorang padahal
kebutuhannya utamanya adalah pendidikan atau keahlian. Hasil akhir dari pada
ini adalah orang tersebut menjadi malas karena ikan yang kita berikan, padahal
yang terbaik adalah kail dan pancing. Disinilah letaknya kita harus bijaksana
sebelum berbuat suatu kebaikan. Kebaikan baru bisa bermakna kebaikan jika
dilakukan dengan cara cara yang baik.
A S M A U L H U S N A
|
1
|
Al Aliem Al Hakim
|
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
|
|
2
|
Al Azis Al Hakim
|
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
|
|
3
|
Al Waasi Al Hakim
|
Maha Luas lagi Maha Bijaksana
|
|
4
|
Al Hakam Al Hakim
|
Maha Menetapkan Hukum lagi Maha Bijaksana
|
|
5
|
At Tawwaab Al Hakim
|
Maha Penerima Taubat lagi Maha Bijaksana
|
|
6
|
Al Aliyy Al Hakim
|
Maha Tinggi/Maha Luhur lagi Maha Bijaksana
|
|
7
|
Al Hakim Al Khoobir
|
Maha Pemaaf lagi Maha Waspada
|
|
8
|
Al Hakim Al Aliem
|
Maha Pemaaf lagi Maha Mengetahui
|
|
9
|
Al Hakim Al Hamid
|
Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji
|
Untuk
itu bersegeralah berbuat kebaikan kepada siapapun jika kita telah mengaku
beriman kepada Allah SWT. Hal ini dikarenakan bukti orang yang beriman adalah
orang yang berguna dan yang bermanfaat bagi orang lain. Selanjutnya agar diri
kita mampu berbuat adil atau bijaksana di dalam bertindak dan berbuat, kita
bisa berpedoman kepada Asmaul Husna yang menjadi Nama Nama Allah SWT yang indah
seperti yang kami kemukakan di atas ini. Lalu bagaimana pedoman ini kita
laksanakan? Untuk menjadi orang yang adil dan bijaksana maka kita wajib
memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berpandangan luas serta memiliki wawasan
yang luas.Untuk itu perhatikanlah Asma Allah SWT yang menyatakan Al Aliem Al
Hakim (Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana).
Adanya
Asma Allah SWT ini menunjukkan kepada diri kita untuk menjadi orang yang adil
dan bijaksana harus diimbangi dengan ilmu dan pengetahuan yang luas, tanpa itu
maka kita tidak bisa menampilkan hal tersebut sebagai penampilan diri kita. Seseorang
yang mampu adil dan bijaksana akan menjadikan orang tersebut menjadi orang yang
terpuji, seperti Asma Allah SWT yang berbunyi Al Hakim Al Hamid. Seorang yang
menjadi terpuji jika ia mampu berbuat adil dan bijaksana. Sekarang sudahkah kondisi
ini menjadi perilaku kita saat menjadi khalifah di muka bumi ataukah kita hanya
ingin dipuji saja tanpa menjadi orang yang bijaksana? Pilihan ada di tangan
diri kita sendiri, bukan pada orang lain. Ingat, Allah SWT tidak akan rugi atau
berkurang kebesaran dan kemahaanNya jika kita tidak mau berbuat kebaikan. Akan
tetapi kitalah yang sangat membutuhkan kebaikan dan dari kebaikan inilah akan
tercermin seberapa baik kualitas diri kita.
Itulah 4(empat)
indikator dari kembali fitrah yang harus kita jadikan acuan saat hidup di muka
bumi ini. Jika kondisi kita berlawanan dengan indikator tersebut berarti ada
sesuatu yang salah dalam diri kita, terutama kefitrahan diri yang sudah tidak
sesuai lagi dengan kehendak Allah SWT.
Selama masih diberikan kesempatan untuk berbuat kebaikan, ambil
kesempatan itu lalu lakukan kebaikan, atau ambil peran di masyarakat dan jangan
pikirkan ukuran dari kebaikan, lakukan kebaikan seperti mengalirnya air. Jika
kita terlalu banyak berfikir untuk berbuat kebaikan, kesempatan yang ada bisa
terbang melayang karena ulah kita sendiri yang terlalu banyak berfikir. Berbuat
kebaikan memang harus dipikirkan dengan matang tetapi jangan terlampau
dipikirkan karena kesempatan yang kita peroleh bisa diambil oleh orang lain.
Akhirnya timbul penyesalan kenapa hal itu tidak kita ambil.
Kesuksesan
bukanlah kunci dari kebahagiaan. Justru kebahagiaan adalah kunci dari
kesuksesan. Salah satu kunci kesuksesan adalah sikap konsisten terhadap keyakinan.
Jika konsep ini kita pegang teguh maka pada saat diri kita melakukan kebaikan
dalam kerangka ibadah Ikhsan yang ada adalah berbuat dan berbuat kebaikan. Soal
adanya ocehan, adanya omongan, adanya komentar dari orang orang yang iri dan
dari orang orang yang tidak suka dengan apa yang kita lakukan acuhkan mereka
karena kita berbuat bukan karena mereka dan karena tidak bertanggung jawab
kepada mereka. Disinilah letaknya kita harus memiliki referensi sendiri
terhadap kebaikan atau perbuatan baik yang kita lakukan yaitu ikhlas berbuat
karena Allah SWT dalam kerangka mencari ridha Allah SWT yang dilandasi dengan
keimanan kepada Allah SWT.