“Tujuan akhir hidup
kita ialah menemuiNya, kemudian saat kita hidup kita harus ingat sebanyak
banyaknya kepadaNya, agar kelak lurus jalan untuk kembali kepadaNya.
Agar tidak sesat di
jalan, Please Call : “24434”
Jauh sebelum adanya alam semesta ini, tidak
ada waktu sedetikpun yang dilewatkan oleh para malaikat untuk bertasbih,
tahlil, tahmid kepada Allah SWT karena makanan dan minuman mereka adalah dzikir
kepadaNya. Ketika Allah menciptakan langit dan bumi beserta semua isinya,
merekapun tidak pernah berhenti berstasbih kepadaNya. Sebagaimana firman Allah
SWT dalam surat Al Isra’ (17) ayat 44 di atas.
Langit yang tujuh,
bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah.
Dan tidak ada sesuatu
pun melainkan bertasbih dengan memujiNya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih
mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.
(surat Al Isra’ (17)
ayat 44)
Alam semesta ini berdzikir dengan caranya
masing masing, yang akal kitapun tidak pernah dapat mengetahuinya. Hanya orang
orang berimanlah yang dapat memahami & menghayati bagaimana alam ini
bertasbih. Bagi orang awam tentu akan melihat proses yang terjadi di alam ini
sebagai sesuatu yang biasa biasa saja. Bahkan mereka juga akan memandang
pergantian malam dan siang, lalu bertemunya matahari dan bulan dalam satu titik
tertentu sebagai hukum alam. Lain bagi, orang yang beriman akan mampu melihat
kejadian itu sebagai bertasbihnya alam kepada Dzat Yang Menciptakan mereka.
Mereka patuh dan taat dalam melakukan tugas
suci yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Tak pernah sedetikpun bumi merasa
bosan atau jenuh berputar, kecuali atas kehendak dan perintah Allah. Oleh
karena itulah gunung gunung dan gurun gurun merasa bangga dan senang terhadap
orang yang berdzikir. Ibnu Mas’ud ra,
berkata, “Sesungguhnya gunung akan memanggil gunung yang lain dengan namanya
dan bertanya, ‘Apakah pada hari ini telah lewat orang yang berdzikir kepada
Allah?’ Ketika dijawab, Ya, ada. Maka gunung tadipun bergembira.
Ibnu Taimiyah juga tak pernah melewatkan
subuh hingga paginya untuk berdzikir, dia bahkan berkata dzikir merupakan menu
sarapan bagi ruhaninya. Rabi’ah Al
Adawiyah pernah berlama lama memperhatikan kicauan burung ketika bertafakur.
Suaranya begitu indah dan menyentuh perasaan. Apa yang sedang dikatakan burung
itu? Adakah ia sedang mengucapkan sesuatu tentang keagungan Allah? Adakah ia
sedang bertasbih dengan bermunajat kepadaNya? Jika burung saja bisa seperti itu
kepada Allah, lalu bagaimana dengan diri kita yang telah diangkat oleh Allah
sebagai khalifahNya?
Dalam suatu riwayat telah diriwayatkan bahwa
ketika Nabi Dawud as, duduk di pertapaannya sambil membaca kitab Zabur, tiba
tiba melihat seekor cacing berwarna merah di atas tanah. Diapun bertanya di
dalam hatinya, ‘Apa yang Allah kehendaki dengan cacing ini?’ Lantas, Allah SWT
memperkenankan cacing itu untuk bisa berbicara. Cacing itu berkata, “Wahai Nabi
Allah, Tuhanku telah mengilhamkan kepadaku agar pada setiap siang hari aku
mengucapkan, “Subhanallah walhamdu lillah wa la ilaha illahlah wallahu Akbar,’
seribu kali. Allah pun mengilhamkan kepadaku agar pada setiap malam aku
mengucapkan, “Allahumma shalli ala Muhammad an nabiy al ummi wa ala alihi wa shahbihi
wa sallam,’ seribu kali. Lalu, apa yang Anda ucapkan hingga aku dapat
mengambil faedah dari Anda?” Nabi Dawud as, pun menyesal telah meremehkan
cacing. Nabi Dawud takut, lantas bertaubat, dan bertawakal kepada Allah SWT. Sekarang
sudahkah hari ini sebagai hari yang kita miliki, sudah diisi dengan sebanyak
banyaknya tasbih, tahmid, dzikir dengan memujiNya dan berselawat memuliakan
Nabi Muhammad SAW dibandingkan dengan yang telah dilakukan oleh seekor cacing? Semoga
kita masih memiliki rasa malu kepada cacing sehingga mampu mempergunakan waktu
yang kita miliki dengan sebaik mungkin.
A.
APA ITU DZIKIR.
Kata "dzikir" menurut bahasa
artinya ingat. Sedangkan dzikir menurut pengertian syariat adalah mengingat
Allah SWT dengan maksud untuk mendekatkan diri kepadaNya sebanyak banyaknya
dengan tanpa menghitung hitung berapa jumlah yang akan dan telah kita dzikirkan
dikarenakan dalam dzikir tidak mengenal istilah “jarak, ruang dan waktu”. Sebagaimana
dikemukakan di dalam surat Al Ahzab (33) ayat 41 di bawah ini.
"Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan
menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya." (surat Al-Ahzab (33)
ayat 41).
"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka." (surat Ali Imran (3) ayat 191).
Berdasarkan ketentuan di dalam surat Ali
Imran (3) ayat 191 di atas ini, kita dapat melakukan dzikir sambil berdiri,
sambil duduk, sambil berbaring, atau dalam segala keadaan seperti di tengah
kemacetan, di tengah menghadapi antrian, di tengah tengah keramaian, dimanapunn
kita berada dan lain sebagainya. Atau dengan kata lain, berdzikir dapat
dilakukan dengan berbagai cara dan dalam keadaan bagaimanapun, kecuali di tempat
yang tidak sesuai dengan kesucian Allah SWT, seperti bertasbih dan bertahmid di
dalam kamar mandi. Dan masih berdasarkan ketentuan surat Ali Imran (3) ayat 191
di atas, dzikir bukan hanya aktivitas mengingat Allah SWT semata. Akan tetapi
kegiatan memikirkan, merenungkan serta mempelajari tentang penciptaan langit
dan bumi juga termasuk dalam kategori berdzikir kepada Allah SWT.
Kita diperintahkan untuk berdzikir kepada
Allah SWT agar kita selalu mengingat
akan kekuasaan dan kebesaranNya sehingga kita bisa terhindar dari penyakit
sombong, angkuh dan takabbur.
Ingat, Allah SWT tidak butuh dengan dzikir
yang kita lakukan, melainkan kitalah yang sangat membutuhkan dzikir kepada
Allah SWT. Jika kita mampu berdzikir yang sesuai dengan kehendak Allah SWT,
akan mampu menghantarkan diri kita mengenal siapa diri kita dan siapa Allah SWT
yang sesungguhnya lalu mampu menghantarkan diri kita hanyalah sebagai hamba
semata (Abdullah) sedangkan Allah SWT adalah Tuhan bagi seluruh alam semesta
(Rabb).
Agar diri kita mampu berdzikir yang sesuai
dengan kehendak Allah SWT, berikut ini akan kami kemukakan beberapa pengertian,
atau pemaknaan dari berdzikir yang paling mendasar berdasarkan ketentuan yang
berlaku, yaitu:
1.
Dzikir itu adalah Warisan
Rasulullah SAW.
Seorang sufi bernama Sulaiman Ad Darani
berkata, “Di syurga ada lembah lembah tempat para malaikat menanam pohon pohon
ketika seseorang mulai berdzikir kepada Allah SWT. Terkadang salah satu
malaikat itu berhenti bekerja dan teman temannya bertanya kepadanya, ‘Mengapa
engkau berhenti? Malaikat itu menjawab, “sahabatku telah malas/kendur
dzikirnya.” Sebagai orang yang beriman tentu tidak akan menjadikan kata kata di
atas ini sebagai hiasan dalam buku harian atau menjadikannya kata kata mutiara
untuk disampaikan atau dihadiahkan kepada teman. Akan tetapi kita harus bisa
menjadikan kisah di atas untuk meyakini bahwa dengan berdzikir, diri kita akan
mendapatkan manisnya keimanan yang akan membawa kita pada kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Dzikir merupakan warisan yang dibagi bagikan
oleh Rasulullah SAW kepada umatnya, dalam sebuah riwayat, Abu Hurairah ra, berkata bahwa
ketika masuk pasar, dia berkata, “Aku melihat kalian disini sementara warisan
Rasulullah di bagian dalam masjid.” Orang orang lalu pergi ke masjid dan
meninggalkan pasar. Setibanya di masjid mereka tak melihat warisan itu, lalu
mereka berkata, “Wahai Abu Hurairah, kami tidak melihat warisan dibagikan di
dalam masjid. Abu Hurairah balik bertanya, “Apa yang kalian lihat? “ Mereka
menjawab, “Kami melihat sekelompok orang sedang berdzikir kepada Allah SWT dan
membaca Al Qur’an!” Abu Hurairah berkata, “ Itulah warisan Rasulullah SAW!”.
Sebagai umat yang telah diberikan warisan oleh
Nabi Muhammad SAW tentunya kita harus bisa memanfaatkan warisan ini dengan
sebaik baiknya, apalagi warisan ini adalah warisan yang tidak akan habis habisnya
dimakan oleh waktu. Sepanjang kita mau menerima warisan ini maka sepanjang itu
pula warisan akan diberikan. Untuk itu jadikan warisan ini sebagai modal dasar
bagi kita untuk merasakan nikmatnya bertuhankan Allah SWT atau meraih
kesuksesan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Amien.
2.
Dzikir itu adalah
makanan bagi orang orang yang mencari Tuhan.
Dzikir dapat dikatakan sebagai makanan bagi
orang yang mencari Tuhan, hal ini dikarenakan pedzikir itu sadar bahwa
penyesalan akan tiba jika mereka lalai sedetikpun jika tidak berdzikir. Air
mata tumpah di kesendirian tatkala tahajud merupakan saksi akan munajatnya pedzikir
kepada Sang Khaliq. Muadz bin Jabal ra, pernah berkata: “Tidak ada yang disesali penghuni syurga selain ketika sesaat saja
mereka tidak berdzikir kepada Allah SWT”. Menyesal adalah sebuah perasaan
kecewa yang timbul dari hubungan sebab akibat. Rasa sesal pasti dimiliki oleh
setiap anak manusia karena rasa sesal termasuk salah satu sifat dari jasmani manusia.
Hal yang berbeda adalah bagaimana setiap manusia mengekspresikan bentuk
penyesalannya. Adanya kondisi ini maka dapat dipastikan antara orang mukmin
dibandingkan dengan orang kafir tentu akan berbeda cara melampiaskan penyesalannya.
Bagi orang kafir atau yang tidak beriman
selalu mengkaitkan penyesalannya dengan sesuatu yang berhubungan dengan
kebutuhan dan kepentingan duniawi. Misalnya, dia menyesal karena telah salah
dalam membuat perhitungan sehingga dia mengalami kerugian. Penyesalan itu
biasanya dibarengi dengan berbagai tindakan yang menyesatkan seperti, pergi ke
bar untuk menghilangkan pikiran dengan meminum alkohol atau mengkonsumsi
narkoba, bahkan ada yang terjun bebas dari bangunan tinggi untuk menghabisi
dirinya.
Menyesali diri atas setiap perbuatan dosa
yang telah dilakukan di dunia merupakan anugerah dari Allah SWT karena kita
sesungguhnya masih diberi kesempatan olehNya untuk memperbaiki diri. Untuk itu,
kehidupan dunia harus lah dipandang sebagai ladang akhirat, makin banyak kita
menanam amal di dunia, insya Allah kita akan menuai hasilnya di akhirat kelak. Dan penyesalan
yang amat dahsyat sesungguhnya terjadi ketika kita belum sempurna bertaubat
saat malaikat maut datang menjemput. Tidak ada penyesalan yang melebihi
dari semua penyesalan yang ada di dunia ini ketika kita wafat dalam keadaan
suul khatimah.
3.
Dzikir itu adalah
sarana bagi kita untuk mendapatkan syurga.
Agar dzikir yang dilakukan oleh pedzikir
mampu menjadi sarana untuk mendapatkan syurga, renungkanlah dengan hati yang
bersih lagi fitrah, hal yang kami kemukakan ini. Ketahuilah bahwa sementara
kita berdzikir di muka bumi, pada saat yang bersamaan dengan itu para malaikat
menanam pohon untuk para pedzikir pedzikir di syurga untuk kepentingan para
pedzikir. Para pedzikir pedzikir
sesungguhnya juga tengah menikmati indahnya taman taman syurga melalui majelis
majelis dzikir saat mereka di dunia minimal ia memperoleh ketenangan dan
ketenteraman bathin (sesuatu yang sangat mahal hari ini) sehingga ia mampu
hidup sesuai dengan kehendak Allah . Di samping itu, dzikir akan menjaga diri
kita dari setiap ancaman dan menjadi pedang untuk membantai setiap musuh yang
akan menggoda diri kita di dunia.
Imam Al Qusyairy berkata: “Apabila dzikir kepadaNya telah menguasai
hati manusia, maka ketika syaitan datang mendekat, ia akan menggeliat geliat di
tanah seperti halnya manusia menggeliat geliat manakala syaitan syaitan datang
mendekatinya. Apabila ini terjadi, maka semua setan akan berkumpul dan
mendatanginya seraya bertanya, ‘Apa yang terjadi padanya? Setan yang lain
berkata, ‘Seorang manusia telah
menghantam (dengan dzikir)nya!”.
Ketika Rasulullah SAW dimikrajkan oleh Allah
SWT, Nabi Ibrahim as, berpesan kepadanya, “Sampaikan
salam untuk umatmu, beritahukanlah kepada mereka bahwa syurga tanahnya subur
dan airnya sangat jernih, tetapi tanahnya kosong. Tanamannya ialah dengan
membaca ‘Subhanallah walhamdulillah wala
ilaha illallah wallahu akbar’ karena dengan demikian dia telah menanam
pohon di syurga.”
Pada kesempatan yang lain, ketika Rasulullah
SAW sedang berjalan, beliau melihat Abu Hurairah ra, sedang menanam pohon.
Ketika ditanya, dia menjawab: “Saya sedang menanam pohon.” Kemudian Rasulullah
SAW bersabda, “Aku beritahukan kepadamu sebaik baik pohon, yaitu bacaan ‘La haula
wala Quwwata illa billah’ karena akan menyebabkan tumbuhnya pohon di syurga.
Jika ini kondisinya, ayo sekarang kita berlomba lomba menanam sebanyak
banyaknya pohon di syurga mulai saat ini juga. Jangan biarkan pohon itu layu
dan tidak berkembang karena ulah perbuatan dosa dan maksiat yang kita lakukan.
Lalu sudah berapa banyak pohon yang telah kita investasikan di syurga kelak?
4.
Dzikir itu adalah
salah satu terapi bagi kalbu karena dzikir akan menyehatkan ruhani.
Orang yang dzikirnya sedikit pertanda bahwa
hatinya sedang sakit, dan orang yang tidak pernah berdzikir hatinya telah mati.
Zikir adalah milik jiwa, yang menjai sulit diraih apabila kita berpaling kepada
ego. Mengingat Allah bukanlah milik ego atau pikiran. Ego tidak memiliki
keabadian. Sedangkan pikiran tidak dapat meraih dimensi cahaya di atas cahaya.
Jadi, dzikir itu sesungguhnya adalah obat ruhani yang sekaligus inti jalan
ruhani.
Dzikir sebagai jalan ruhani atau jalan
spiritual sebenarnya adalah jalan yang sangat sederhana. Intinya adalah, “Kalbu
mencari Allah dan Allah mencari kalbu yang diperkuat dengan menjadikan diri
kita sebagai hamba Allah SWT semata dan Allah SWT adalah satu satunya Rabb bagi
diri kita. Ironisnya, mengapa masih banyak orang yang berdzikir, menangis,
bertaubat dalam dzikir dan doanya, tetapi perilaku maksiatnya tak kunjung reda?
Air mata dzikir dan air mata taubat pun menjadi sia sia. Air mata itu akhirnya
menjadi bahan gunjingan bagi orang orang yang melihatnya.
Hal
yang harus kita jadikan pedoman saat berdzikir adalah : Air mata bukanlah
ukuran pertobatan dan lisan bukanlah jaminan pengakuan. Banyak orang yang
berdzikir dengan lisannya, tetapi belum dengan hatinya. Untaian tasbih di
tangan bukanlah jaminan bahwa hatinya juga bertasbih. Surban dan jubah putih ataupun gamis panjang yang membungkus tubuh
tidak menunjukkan bening dan putihnya hati si pemakai.
Dzikir yang belum disertai dengan kehadiran
hati telah membuka peluang pada pikiran, ego, dan hawa nafsu untuk melalaikan
hati kita. Kita melupakan misi dari dzikir kita, tugas dan kewajiban personal
kita. Kita tidak menghargai apa yang telah dikaruniakan kepada kita dan kita
tidak mengenal nilai sejatinya.
Dzikir kita kepada Allah SWT seharusnya tidak
bergantung kepada kondisi internal atau eksternal diri kita. Dunia ini akan
selalu berupaya mencampakkan diri kita ke dalam jurang kealpaan. Dalam jurang
ini kita diuji. Mereka yang ingat akan diingatkanNya, dan mereka yang lalai
akan dilalaikanNya. Saat ini masih banyak manusia yang menjalani kehidupannya dalam
kealpaan dan kelalaian. Mereka berdzikir tetapi tidak mampu mengenali sifat
sifat ilahiah mereka secara sadar. Tak heran jika kalbunya sudah
terjaga dan dalam dirinya telah tertanam benih dzikir, mereka sering berpaling
dari jalan ruhani dan melupakanNya. Karenanya, tidak setiap pejalan ruhani
dapat menemukan jalan pulang, begitu banyak pedzikir yang berpaling dari
untaian dzikirnya.
Untuk itu jangan pernah belenggu hati kita
dengan kealpaan dan kelalaian yang berkepanjangan. Berdzikirlah dengan lisan dan hati sehingga akal kita akan
menterjemahkan nya ke dalam perilaku yang berdzikir atau pribadi yang
berdzikir. Berdzikir yang demikian akan membentuk ketaqwaan kita kepadaNya
sehingga tidak ada lagi celah bagi syaitan untuk menghembushembuskan bisikannya
di hati kita.
Mengingat Allah adalah satu satunya senjata
kita untuk melawan kekuatan syaitan. Kita tahu bahwa syaitan tidak pernah
tidur, mereka kuat, tetapi Allah SWT jauh lebih kuat. Dan dengan diri kita terus menerus mengingat Allah, hati kita akan
terus terjaga sepanjang waktu. Dengan demikian tak ada ruang bagi syaitan untuk
mencelakakan kita. Untuk itu jangan biarkan lidah dan hati ini lelah
apalagi berhenti berdzikir. Jangan biarkan tangan ini malas bersedekah setiap
pagi karena sedekah merupakan penolak bala. Jangan biarkan mata ini malas
bangun malam untuk shalat tahajjud, jangan biarkan anak istri kita memakan
makanan yang syubhat dan haram. Jangan biarkan syaitan menerobos pintu pintu
hati yang telah bercahaya dengan dzikir.
5.
Dzikir adalah
pembentuk akhlak yang mulia.
Bukankah kehidupan Nabi Muhammad SAW adalah
dzikir? Bukankah kehidupan para sahabat, tabiin, tabiutabiin juga adalah
dzikir? Tidak ada waktu yang tersisa dalam kehidupan mereka tanpa mengingat
Allah SWT. Mulai dari bangun malam, berdiri mendirikan shalat, bermunajat di
keheningan malam, mencari nafkah, hidup bermasyarakat, berkeluarga, mendidik
anak, belajar, sampai dengan hal hal yang berhubungan dengan tata cara atau
adab keseharian, semuanya penuh dan dimulai dengan kalimat kalimat dzikir. Ingat,
tak ada satupun ajaran agama di dunia ini yang mengatur secara paripurna
kehidupan manusia mulai dari lahirnya jabang bayi sampai wafat dengan dzikir
dan doa, kecuali Islam. Tak ada satupun agama di dunia ini yang mengajarkan
akhlak yang begitu sempurna, kecuali hanya agama Islam. Bukankah Rasulullah SAW
diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Sungguh
banyak orang yang keliru. Mereka mengira bahwa hal terpenting dalam agama
adalah mempelajari fiqih, menghafal Al Qur’an, wirid tiada henti, dan
seterusnya. Mereka lupa bahwa tujuan utama dari semua ibadah (shalat, puasa,
doa, dzikir, zakat, haji dan seterusnya) adalah untuk membenahi akhlak manusia.
Kalau tidak, ibadah yang dilakukannya akan menjadi semacam latihan olah raga
atau kebisaan semata atau penghapus kewajiban.
Saat ini, sangat ramai orang yang berdzikir
secara berjemaah, tetapi sangat disayangkan masih belum diikuti dengan
peningkatan kualitas akhlak mereka. Masih banyak di antara jamaah yang terjebak
ke dalam jargon jargon bahwa majelis dzikir merupakan ajang pembersihan dosa.
Akibatnya, banyak jamaah majelis dzikir merasa dirinya bebas dari segala dosa
usai berdzikir. Benar mereka menangis saat berdzikir, tetapi keberagaman tak
mutlak diisi dengan tangisan. Karena kalau ukurannya menangis, bukankah orang
Yahudi lebih hebat tangisannya daripada kita, apalagi di hadapan Tembok Ratapan
di Jerusalem.
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada yang lebih berat
dalam timbangan manusia pada hari Kiamat daripada akhlak yang baik.” (hadits
riwayat Abu Dawud dan Ath Thirmidzi)
Rasulullah SAW bersabda, “Mukmin yang paling sempurna
imannya adalah yang paling baik akhlaknya,” (hadits riwayat Abu Dawud dan Imam
Ahmad).
Benar Rasulullah SAW berkata bahwa air mata
adalah wujud kasih sayang yang Allah tanamkan di hati para hambaNya. Tetapi
tangisan dari Rasulullah tidak diikuti dengan perilaku buruk! Beliau adalah
seorang yang lembut hatinya, baik saat beribadah maupun di luar beribadah
karena hidupnya adalah ibadah. Sedangkan
tangisan kita baru sampai tahap menyadari dosa dosa yang kita lakukan, atau
baru sampai tahap mensyukuri nikmat yang Allah berikan, atau ada yang menangis
karena jamaah kanan dan kirinya menangis, akhirnya ia ikut menangis.
Agar ibadah dzikir mampu sesuai dengan apa yang
dikehendaki Allah SWT, maka ibadah
dzikir yang kita lakukan setiap saat, haruslah dipahami sebagai salah satu
sarana untuk mencapai akhlak yang mulia atau mampu menjadikan diri kita
menampilkan penampilan Allah SWT saat hidup di muka bumi ini (dalam hal ini
Asmaul Husna).
6.
Dzikir itu adalah
kunci pembuka pintu hati.
Dzikir adalah kunci pembuka pintu hati. Apabila pintu hati terbuka maka muncullah di
dalamnya pemikiran yang brilian dan juga kata kata hikmah untuk membuka mata
hati. Bila mana mata hati telah terbuka maka tampaklah sifat sifat Allah serta
kemahaan dan kebesaran Allah SWT di hadapan mata hati kita. Dzikir yang
seperti ini sesungguhnya adalah dzikir kepada Allah berarti mengingat dan
mengikatkan diri kepada sifat sifat Allah dan juga dengan kemahaan dan
kebesaran Allah WT sebagai Tuhan yang berhak disembah dengan sebaik baiknya.
Sekarang
katakanlah, Allah SWT adalah Dzat Pemberi Rezeki dan jika Allah SWT kita ingat
sebagai Dzat Yang Memberi Rezeki berarti kita juga harus mengikatkan diri
kepada sifat pemberi ini. Sehingga kita wajib meminta rezeki hanya kepadaNya dan
setelah memperoleh rezeki maka kita wajib pula membantu sesama melalui infaq
dan sedekah. Jika kita mampu melakukan berarti kita telah mampu membuka hati
kita melalui dzikir, terutama melalui nilai kebaikan dari memiliki rezeki
bukanlah pada saat saldo keuangan bertambah banyak melainkan saat mau berbagi
rezeki kepada orang orang yang membutuhkan dari rezeki yang telah kita terima
dari Allah SWT.
Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas,
dzikir juga dapat kita katakan sebagai cara yang paling efektif untuk berdialog
langsung dengan Allah sehingga membuat pedzikir atau hamba hambaNya mampu
secara aktif berpartisipasi dalam komunikasi langsung dengan Allah SWT. Apalagi pedzikir yang sudah mampu
menampilkan penampilan Allah SWT setelah mereka berdzikir berarti ia mampu
membuat Allah SWT tersenyum kepadanya. Adanya kondisi dzikir yang seperti
ini tentu saja tidak bisa serta merta terlaksan karena kondisi spiritual dari
pikiran atau hati dari setiap orang yang berbeda beda dalam menerimanya.
Kesemuanya sangat tergantung dari ketinggian atau kefitrahan spiritual yang
dialami pedzikir pada saat berdzikir.
B.
BENTUK DAN CARA
BERDZIKIR.
Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 152 dan
hadits qudsi riwayat Ath Thabrani di bawah ini, Allah SWT telah menyatakan
apabila seorang hamba mengingat (berdzikir kepada) Allah SWT dengan segala
tingkatannya maka Allah SWT pun akan mengingat diri kita lebih baik dari
tingkatan dzikir yang dilakukannya.
Maka ingatlah kepadaKu, Aku pun akan ingat kepadamu.
Bersyukurlah kepadaKu, dan janganlah kamu ingkar kepadaKu. (surat Al Baqarah
(2) ayat 152)
Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala
berfirman: Apabila hambaKu berdzikir (ingat) kepadaKu sendiri, maka Aku dzikir
padanya sendirian. Dan apabila ia ingat (berdzikir) padaKu di tengah khalayak
ramai, niscaya Aku dzikir padanya di tengah kumpulan yang jauh lebih baik dari
kumpulan yang ia berdzikir kepadaKu itu.
(hadits qudsi riwayat Ath Thabrani)
Dzikir kepada Allah SWT atau mengingat Allah
SWT dapat pula dikatakan sebuah kehendak dari diri kita untuk menemui Allah SWT
sebagaimana dikemukakan di dalam hadits di bawah ini.
Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala
berfirman: Apabila hambaku ingin menemuiKu, Aku pun ingin menemuinya. Tetapi
bila ia enggan menemuiKu, Aku pun enggan menemuinya. (hadits qudsi riwayat
Bukhari, Malik dan An Nasa’i)
Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk terus
menerus berdzikir, mulai dari hendak tidur, bangun tidur, masuk dan keluar
kamar mandi, memakai baju, naik kendaraan, di perjalanan, melihat petir ataupun
kejadian di jalan, mau makan dan minum, selesai makan dan minum, dan di segala
aktifitas lainnya. Kenapa hampir tidak
ada sedikitpun kegiatan kita yang luput dari berdzikir kepadaNya? Hal itu
tak lain karena sesungguhnya rumah rumah, rawa rawa, gunung gunung, dan bumi
ini akan menjadi saksi bagi orang orang yang berdzikir, pada hari kiamat kelak.
Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya, karena
sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) padanya. (surat
Az Zalzalah (99) ayat 4,5)
Kegiatan mengingat Allah SWT (berdzikir) itu dapat
dilakukan dengan tiga cara, dengan catatan ketiganya tidak bisa dipisahkan antara
yang satu dengan yang lainnya, namun harus dalam satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan, yang terdiri dari:
1.
Dzikir dengan lisan
atau ucapan.
Dzikir dengan lisan (ucapan), yaitu dengan
cara mengucapkan lafazh-lafazh dzikir tertentu, baik dengan suara keras maupun
dengan suara yang hanya dapat didengar oleh orang yang berdzikir itu sendiri.
Lafaz dzikir yang baku itu harus dari Al Qur’an dan Al Hadits di antaranya
adalah tasbih, tahlil, tahmid, membaca Al Qur’an, istighfar, doa, dan membaca
shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.
Dia (Zakaria) berkata,, “Ya Tuhanku, berilah aku suatu
tanda.” Allah berfirman, “Tanda bagimu adalah bahwa engkau tidak berbicara
dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Dan sebutlah (nama)
Tuhanmu banyak banyak, dan bertasbihlah (memujiNya) pada waktu petang dan pagi
hari.” (surat Ali Imran (3) ayat 41)
Zikir lisan adalah salah satu upaya untuk
melindungi mulut dari berkata kata yang tidak baik dan tidak bermanfaat. Dengan
berdzikir diharapkan lisan dan hati kita selalu terjaga, bukanlah Rasulullah
SAW telah mengingatkan kita, “Yang paling banyak memasukkan manusia ke
dalam neraka adalah dua lubang, yaitu mulut dan farji (kemaluan).” (hadits
riwayat Ath Thirmidzi)
Dzikir melalui lisan bisa kita laksanakan di
manapun dan dalam kondisi apapun. Dzikir dengan lisan dapat kita gunakan untuk mengisi
waktu luang di tengah kemacetan atau di tengah antrian panjang sehingga dengan
dzikir lisan ini mampu menghilangkan kesempatan untuk mengucapkan sumpah
serapah. Akhirnya di tengah kemacetan dan antrian panjang kita bisa
menikmati apa yang dinamakan dengan ketenangan bathin. Dzikir dengan lisan ini
juga dapat menjadi alat bantu bagi kita untuk menghindarkan diri dari
membicarakan aib orang lain (ghibah), untuk tidak menyebarkan berita bohong dan
lain sebagainya.
Ingat, setiap lisan yang keluar dari mulut
merupakan parameter akhlak bagi si pengguna lisan itu. Misalnya, lisan yang
keluar dari mulut orang yang banyak omong dan sedikit berdzikir, maka dzikirnya
pun dapat berubah menjadi omongan. Sedangkan lisan yang keluar dari pribadi
yang berdzikir dan sedikit bicara maka bicaranya adalah dzikir.
Seorang pedzikir tentu tidak pernah
menganggap remeh rendah peran mulut sebagai sarana dzikirnya. Itu sebabnya
ketika akan berdzikir, dia membersihkan mulutnya melalui proses wudhu. Dia
sucikan mulutnya secara lahiriah, sebelum menyucikan secara bathiniah.
Disamping menjaga lisannya, dia pun akan menjaga mulutnya dari mengkonsumsi
makanan yang haram, jika ditinjau dari sisi dzatnya dan juga berhati hati dalam
mengkonsumsi barang barang yang termasuk dalam kondisi syubhat. Dia juga menjaga
agar makanan yang dikonsumsinya diperoleh dengan cara cara yang halal.
Penyakit masuk melalui mulut, malapetaka keluar dari
mulut. (the best of Chinese Sayings)
Sebagai pezikir jangan sampai kita terjebak
ke dalam kancah perhitungan pahala. Sehingga kita selalu menghitung hitung pahala dzikinya, shalatnya, puasanya,
sedekah dan zakatnya, umroh dan hajinya. Pezikir yang seperti ini masih
terjebak ke dalam parameter fikih. Dzikir yang dilakukannya untuk mengejar
pahala, bukan untuk menjadi sebuah kebutuhan bagi dirinya dalam kerangka
mencari rahmat dan ridhaNya.
2.
Dzikir dengan hati
atau kalbu.
Dzikir dengan hati adalah dzikir yang
memiliki keutamaan yang paling tinggi karena si pelaku dzikir terus menerus
berpikir tentang keangungan Allah, kegagahanNya, keindahan ciptaanNya, dan ayat
ayatNya di langit dan di bumi. Praktik dzikir ini tanpa suara dan tanpa kata
kata.
Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan
rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan
janganlah kamu termasuk orang orang yang lengah. (surat Al A’raf (7) ayat 205).
Melalui
dzikir hati atau kalbu ini mereka ingin memenuhi kalbu mereka dengan kesadaran
yang sangat dekat dengan Allah SWT, seirama dengan detak jantung serta
mengikuti keluar masuknya napas. Mereka meyakini bahwa keluar masuknya napas
yang dibarengi dengan kesadaran akan kehadiran Allah merupakan pertanda bahwa
kalbu ini hidup dan berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
3. Dzikir perilaku (perbuatan) atau amal shaleh.
Dzikir perilaku adalah patuh dan taat kepada
Allah SWT dalam segala tindakan dan ucapan. Inilah yang disebut dengan taqwa.
Dzikir yang seperti ini merupakan dzikir yang paling agung. Hal ini disebabkan
seorang Muslim harus sudah berada dalam posisi melaksanakan apa apa yang
diperintahkan oleh Allah serta menjauhi segala yang haram dan syubhat. Pedzikir
ini telah mencapai puncaknya dzikir yakni ketaqawaan, yang dibuktikan dengan
amal shalehnya.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah yang paling bertwaqwa di antara kamu. (surat Al Hujuraat (49)
ayat 13)
Untuk menambah wawasan tentang dzikir
perilaku dapat kami ilustrasikan sebagai berikut: Katakan kita ingat bahwa
Allah SWT adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Jika ini yang kita ingat
tentang Allah maka perilaku kita harus sesuai dengan apa apa yang kita ingat
dari Allah SWT sehingga kitapun berperilaku kasih dan sayang kepada sesama
manusia. Demikian pula jika kita mengingat Allah SWT adalah Yang Maha Pemberi
Rezeki maka perilaku kitapun setelah memperoleh rezeki harus siap membahagiakan
orang lain melalui rezeki yang kita terima dengan menunaikan infaq ataupun
sedekah yang tidak lain adalah perbuatan amal shaleh. Demikian seterusnya.
Sekarang mari kita bandingkan antara pedzikir
sejati dengan pedzikir munafik. Dzikirnya
pedzikir sejati akan sangat berbeda dengan perilaku pedzikir orang orang
munafik. Orang munafik berdzikir mengingat Allah dengan lisannya hanya karena
ingin memamerkan aktivitas dzikirnya pada orang lain. Padahal, di hati mereka
tidak ada aktivitas dzikir itu,.
Sesungguhnya orang orang munafik itu menipu Allah dan
Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila berdiri untuk shalat, mereka berdiri
dengan malas. Mereka bermaksud ria (dengan shalatnya itu) di hadapan orang lain
dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (surat An Nisa’ (4)
ayat 142)
Usai
berdzikir, mereka gunakan anggota tubuh mereka untuk melakukan hal hal yang
tidak diridha Allah. Dengan mulut yang sama, usai berdzikir mereka gunakan pula
untuk berbohong, menipu, membicarakan aib orang lain, mengeluarkan kata kata
yang tidak bermanfaat. Bahkan mereka tidak sungkan sungkan menerima sesuatu
yang bukan haknya, pikiran mereka berkata itu perbuatan dosa, tetapi hati
mereka tak sanggup menolaknya.
Celaka, celaka, celaka, orang yang banyak berdzikir
dengan lidahnya, tetapi bermaksiat terhadap Allah dengan perbuatannya. (hadits
riwayat Adh Dailami)
Orang orang yang beriman berdzikir dengan
hatinya. Lisannya hanya menjadi jalan untuk dzikirnya. Lisannya ikhlas berdzikir karena Allah, tak ada maksud tersembunyi,
sehingga hasil dari dzikirnya akan sampai pada hatinya. Saat itulah
sesungguhnya, aktifitas dzikirnya menjadi sangat banyak, karena hatinya mampu
menterjemahkan dzikir lisannya menjadi dzikir perilaku dalam bentuk amal
shaleh.
Akhirnya Mereka menjadi orang orang yang
ringan tangan dalam membantu saudara saudaranya atau tetangga tetangganya yang
susah. Air matanya mudah menetes melihat penderitaan dan kedzaliman yang
berlangsung di sekitarnya. Hidupnya didedikasikan untuk umat, dia ingin berbuat
sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak melalui aktifitas wakaf waktu atau
mewakafkan sebahagian waktunya untuk kemaslahatan umat. Selalu merasa berdosa
atas sikap dan perkataan yang dikeluarkannya, dia selalu melakukan kebaikan dan
perbaikan dalam hidupnya.
Secara umum jika kita mampu berdzikir (baik lisan,
hati dan perilaku) yang sesuai dengan kehendak Allah SWT akan melahirkan sifat Al Muraqabah (perasaan selalu
diawasi oleh Allah) sehingga akan memasukkan pelakunya ke pintu Al
Ikhsan. Orang orang yang lalai tentu tidak akan sampai ke derajat Al Ikhsan. Dzikir juga akan melahirkan
sifat Al Inabah (dorongan jiwa ingin
selalu kembali kepada Allah) sehingga Allahlah yang ditakuti dan tempat kembali
serta tempat untuk berlindung.Seorang
pedzikir sejati tak pernah mengaku cinta kepadaNya jika tak pernah merasa rindu
denganNya. Dia tak akan pernah mengaku rindu kalau tak pernah mengingatNya. Dan
dia tak pernah merasa berdzikir apabila belum meneteskan air matanya. Air mata
rahmat, air mata yang menjaga dan melindungi dirinya pada Hari Kiamat kelak.
Insya Allah!.
Matinya hati adalah sebuah tragedi bagi
seorang manusia. Benar secara lahiriah dia hidup, fisiknya sehat dan bugar,
serta fikirannya cerdas. Tetapi di sisi lain, syahwatnya menggebu gebu, nafsu
berkuasanya tinggi, takabur dan ria dalam beramal, dan sepak terjang bisnisnya
menghalalkan segala cara. Inilah manusia yang hatinya telah mati. Karena itu,
pepatah Barat yang mengatakan, “Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang
sehat”, tidak cocok diberlakukan bagi orang yang beriman. Paradigma yang begitu
merasuk selama beberapa dekade di negeri ini memang sangat tidak cocok bagi
orang orang mukmin.
Untuk apa kita memiliki tubuh yang sehat jika
hatinya sakit atau hatinya telah mati. Hidup yang kita jalani ternyata dapat
membuat kita menjadi mati. Maka sebelum mati itu datang menjemput.
Jangan sia siakan manis dan lezatnya kehidupan ini. Ayo berdzikir dan berpikir
akan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Tak ada yang lebih indah di dunia ini
melainkan menjadi orang yang cerdas menurut kriteria sang Pencipta di bawah
ini.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan
pergantian malam dan siang terdapat tanda tanda (kebesaran Allah) bagi orang
yang berakal. (yaitu) orang orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk,
atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua
ini sia sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. (surat Ali
Imran (3) ayat 190, 191)
Celakalah orang yang hidup tetapi hatinya
sakit sebab di hidup di arena kemaksiatan. Dan sia sialah orang yang hidup
tetapi memiliki hati yang mati sebag orang yang demikian hidup dalam kekufuran.
Hatinya dikunci mati oleh Allah, sama saja bagi mereka diberi petunjuk atau
tidak. Inilah hati orang kafir. Dan jangan biarkan hidup ini diwarnai dengan
semerbak wangi bunga kematian dan jangan biarkan hati kita menjadi taman bagi
sekuntum bunga kematian.
C.
DZIKIR WAJIB DAN
DZIKIR SUNNAH.
Dzikir kepada Allah ada dua macam, yaitu
dzikir wajib dan dzikir sunnah. Kita wajib berdzikir/mengingat Allah dalam tiga
situasi. Yang pertama adalah kita melihat adanya makhluk maka kita harus
mengingat khalikNya. Yang kedua, apabila kita melihat ciptaan, maka kita harus
bisa menyadari kekuatan dan kebijaksanaan Tuhan yang tidak terbatas karena
telah memperlihatkan karya nyata berupa alam semesta ini. Yang ketiga, kita
harus memandang Allah sebagai sumber anugerah dan seharusnyalah kita tidak
menyianyiakan cintaNya yang ditanamkan ke hati kita,
Sebagai tingkatan pertama mengenal Allah,
dzikir seperti ini adalah sebuah kewajiban bagi setiap manusia. Apabila manusia
telah mengenal Allah pada tingkat wajib dan mulai mencintaiNya dan mengabdi
kepadaNya maka dzikir yang terus dilakukannya menjadi sunnah baginya. Artinya,
disunahkan kepadanya agar setiap kali melihat makhluk, ia selayaknya mengingat
penciptanya. Setiap kali ia melihat suatu karunia, haruslah ia menganggapnya
sebagai hadiah dari Allah. Dan dengan begitu, ia tak akan melupakan Allah
selama hayat masih di kandung badan. Dzikir semacam ini tergolong ibadah yang
paling baik.
Selain dzikir wajib dan dzikir sunnah yang
kami kemukakan di atas, masih ada pilihan berdzikir kepada Allah SWT dalam
bentuk yang lainnya, yaitu:
a.
Dzikir
yang dikaitkan dengan Ingat kepada hasil ciptaanNya, kebesaranNya, kemahaanNya.
Jika dzikir ini yang kita lakukan terdapat pemisah antara diri kita selaku
hamba (Abd) dengan Allah SWT selaku Rabb.
b.
Dzikir
yang dikaitkan dengan Ingat langsung kepada Allah SWT. Jika ini yang kita
lakukan tidak ada lagi tirai, perantaraan, hijab atau penghalang antara diri
kita selalu hamba (Abd) dengan Allah selaku Rabb.
Selanjutnya agar kita mampu berdzikir seperti
yang kami kemukakan diatas ini, berikut ini akan kami berikan sebuah
ilustrasinya. Sewaktu kita mengingat presiden pertama dan kedua Indonesia,
yaitu Ir Soekarna dan Jenderal Soeharto, secara utuh. Tentu kita tidak bisa
hanya mengingat sosok dan penampilan dari penampilan phisik mereka belaka. Jika
ini yang kita lakukan kepada mereka berdua, tidak cukup bagi kita untuk
mengingat secara baik dan benar. Kita juga wajib mengetahui sejarah perjuangan
keduanya, kita juga wajib mengetahui dan memahami hasil dan karya nyata yang
telah ditorehkannya baik yang tampil ke permukaan (told story) maupun yang
tidak tampil ke permukaan (untold story). Barulah kita bisa mengenang mereka
sebagai seorang yang berjiwa besar dan pahlawan bagi bangsa Indonesia.
Kita tidak akan bisa mengucapkan rasa kagum
dan menaruh hormat kepada Ir Soekarno dan Soeharto selaku presiden Republik
Indonesia, jika hanya mengandalkan lisan semata. Kita harus mempergunakan
segala elemen yang ada di dalam diri seperti mempergunakan mata untuk melihat,
telinga untuk mendengar, ilmu untuk berpikir, hati untuk merasakan karya nyata
mereka berdua, yang dipergunakan secara utuh satu kesatuan, maka barulah kita
bisa mengingat kedua presiden Indonesia ini dengan baik dan benar. Jika kepada
manusia saja kita harus seperti itu, lalu bagaimana kita bisa mengingat Allah
sesuai dengan kehendak Allah jika hanya melalui lisan semata? Agar kita mampu
melakukan dzikir wajib kepada Allah SWT seperi yang kami kemukakan di atas,
maka kita tidak bisa melakukannya hanya sebatas lisan semata. Namun kita harus
mempergunakan ilmu dan pengetahuan yang diiringi dengan mata, telinga, hati
kita untuk merasakan langsung tentang Allah SWT.
Akhirnya
dzikir harus kita maknai bukanlah sebagai titik, melainkan sebagai koma.
Sehingga tidak boleh berhenti di situ. Jika dzikir dipahami sebagai titik, kita
akan terjebak ke dalam ritual ibadah. Tak ubahnya seperti orang orang Nasrani,
Yahudi atau Majusi dalam melakukan ritual. Mereka mengingat dan menangis saat
beribadah, mereka pun merasa berada di titik nol, mereka pun merasa berdosa dan
memohon kepada tuhan mereka.
Kalau kita dapat memahami hal itu, maka orang
orang yang berdzikir sejatinya adalah orang orang yang dapat melahirkan
kesalehan individu yang tercermin dalam kesalehan sosial dalam dirinya. Inilah salah satu
tujuan paling mulia yang dimaksud dari pelaksanaan ibadah dzikir kepada Allah.
Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka
berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut nyebut (membangga
banggakan) nenek moyangmu [126), atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari
itu. Maka diantara manusia ada yang berdoa: “Ya Tuhan Kami, berilah Kami
(kebaikan) di dunia”, dan Tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di
akhirat. (surat Al Baqarah (2) ayat 200)
[126) adalah menjadi
kebiasaan orang orang Arab Jahiliyah setelah menunaikan haji lalu bermegah
megahan tentang kebesaran nenek moyangnya, setelah ayat ini diturunkan Maka
megah megahan nenek moyangnya itu diganti dengan dzikir kepada Allah.
Berikut ini akan kami
kemukakan 3 (tiga) kegiatan dan sikap atau pandangan spiritual yang bisa kita
lakukan selama hayat di kandung badan sebagai bentuk pengungkapan “hidup adalah
bukanlah titik, melainkan koma” dikarenakan jika hidup dimaknai sebagai titik
berarti kita telah mati. Inilah yang bisa kita lakukan, yaitu:
1.
Mawas Diri.
Mawas diri berarti pengenalan atau pencarian,
atau penemuan jati diri seseorang dan kedalam spiritualnya, serta latihan
kemampuan spiritual dan intelektual untuk memperoleh nilai nilai kemanusiaannya untuk membangun
nurani, membantu, dan memelihara dirinya. Ini adalah proses bagaimana seseorang
membedakan baik dan buruk, amal dan dosa, dan bagaimana menjaga hati nurani.
Lebih jauh lagi mawas diri adalah memberikan waktu kepada kita untuk
mengevaluasi apa yang terjadi serta merencanakan sesuatu untuk masa depan.
Bertafakur adalah kesempatan bagi kita untuk
menyadari kesalahan kesalahan masa lalu dan menyadari Allah selalu mengawasi
setiap langkah yang kita jalani, ini berarti pula kesadaran tanpa henti untuk
selalu memperbaharui diri dalam jiwa seseorang. Kondisi tersebut adalah untuk
mencapai hubungan yang harmonis dengan Allah, dimana hubungan ini tergantung
kepada kemampuan seseorang dalam menjalani kehidupan spiritualnya dan waspada
terhadap keinginan keinginan yang berlebihan dalam jiwanya. Kesuksesan hidup
berarti dapat memelihara hubungan yang langgeng dengan alam sebagaimana dia
mempertahankan jiwa raganya.
2.
Berdzikir
(Reflection).
Berdzikir adalah langkah penting untuk
menyadari apa yang sedang terjadi di sekitar kita dan menyimpulkan daripadanya.
Berdzikir adalah kunci emas untuk membuka pintu pengalaman, suatu tanah
persemaian bagi pohon kebenaran, dan merupakan titik awal bagi terbukanya mata
hati. Karena itu, wakil manusia yang paling agung, yang paling utama dalam
berdzikir, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tiada satu amalan ibadah pun yang nilainya
menyamai berdzikir. Maka berdzikirlah tentang karunia Allah dan hasil
perbuatanNya, namun jangan engkau mencoba untuk memikirkan akan dzatNya, karena
engkau tidak akan pernah bisa melakukannya.” Hadits tersebut
menggambarkan pahala/kebaikan dari berdzikir, manusia yang paling mulia, Nabi
Muhammad SAW, menentukan, serta mengingatkan batas batas pemikiran dan
kemampuan kita.
3.
Bersyukur.
Bersyukur yang sesungguhnya berada di dalam
hati seseorang akan tercermin dalam sikap dan tingkah lakunya bahwa semua
berasal dari Allah dan memengaruhi kehidupan sehari harinya.
Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu
mohonkan kepadaNya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak
akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat dzalim dan sangat
mengingkari (nikmat Allah). (surat Ibrahim (14) ayat 34)
Seseorang dapat bersyukur kepada Allah secara
lisan atau melalui ibadahnya jika ia merasa yakin untuk mengakui dengan sungguh
sungguh bahwa seluruh hidupnya, keberadaannya, dirinya, penampilan phisiknya,
seluruh kemampuannya, dan seluruh prestasinya adalah semuanya karena Allah.
Sebagai pribadi pribadi yang mampu berdzikir
(lisan, hati, dan perilaku) dalam satu kesatuan adalah pribadi pribadi yang
mengerti dan memahami makna bersyukur. Dia mensyukuri apa apa yang telah
diberikan Allah SWT kepadanya, seperti bersyukur atas pendengaran, bersyukur
atas penglihatan, bersyukur atas ilmu, bersyukur atas iradat, bersyukur atas
kekuatan dan kemampuan (qudrat), bersyukur atas hayat, bersyukur atas sehatnya
jasmani, dan lain sebagainya.
Abu Darda ra, berkata: “Setiap sesuatu itu mempunyai
kilapan dan kilapan hati itu adalah dengan berdzikir kepada Allah SWT.
Ibnu Al Qayyim juga berkata, “Sesungguhnya hati itu bisa
berkarat seperti halnya tembaga dan perak. Maka untuk membersihkan karat
tersebut adalah dengan berdzikir, sebab ia akan membuantnya mengkilap seperti
cermin putih. Apabila hari dibiarkan, maka ia akan berkarat dan apabila dibawa
berdzikir, maka ia akan cemerlang. Hati berkarat itu disebabkan oleh dua hal,
kelaiaan dan dosa. Sedangkan cara membuatnya mengkilap adalah dengan istighfar
dan dzikir.
Ibnu Taimiyah pernah berkata, “Sesungguhnya kelezatan,
kebahagiaan, dan keindahan yang tak bisa diungkapkan dengan kata kata, hanya
terdapat pada saat mengenal Allah SWT, mengesakanNya, dan beriman kepadaNya,
serta saat mengambil manfaat lewat hakikat keimanan dan pengeytahuan Al Qur’an.
Seseorang yang senantiasa berdzikir (meningat
Allah) pasti tidak akan menyianyiakan atas apa apa yang telah diberikan Allah
SWT sehingga hidupnya tidak akan digunakan untuk mendatangkan dosa dan bencana
bagi dirinya, bagi keluarga, bagi masyarakat, bagi bangsa dan negaranya.
Pribadi yang berdzikir tentu memiliki mata, telinga, hidung, perasaan, mulut,
tangan, kaki yang juga berdzikir. Hal ini karena semuanya selalu terjaga dan
dijaga oleh Allah SWT.
Tetesan air matanya mudah jatuh dan hatinya
mudah tergetar ketika telinga, mata, perasaannya menangkap lantunan ayat suci
Al Qur’an atau ketika melihat ada orang yang didekatnya mengalami kesusahan
atau mudah mendoakan orang lain tanpa diketahui oleh orang yang bersangkutan.
Hatinya selalu berbisik kepada matanya,
kepada telinganya, kepada tangan dan kakinya agar ia selalu mampu menampilkan
penampilan Allah SWT dalam hidupnya selama hayat masih di kandung badan.
Sungguh Allah Maha Besar, lalu nikmat mana lagi yang kita dustakan!
Daftar
Pustaka:
1.
Asfa Davy Bya, sebening mata hati: oase penyejuk jiwa dan pikiran, penerbit
hikmah, Jakarta, 2008.
2.
Dr Aidh bin Abdullah Al Qarni, Ma, Don’t Be Sad: Cara Hidup Positif Tanpa
Pernah Sedih & Frustasi, Maghfirah Pustaka, Jakarta, 2004.
3.
AK, Jiwa
Yang Lapang, Media Elek Komputindo, Jakarta, 2015.
YA ALLAH! YA ALLAH!
YA ALLAH! JADIKAN INI MUNAJATKU KEPADA
MU
Ya Allah! Aku memohon padamu, sebuah
permohonan yang tidak ada apa apanya dibandingkan dengan kemahaan dan
kebesaranMu. Seperti halnya diriku yang juga tidak ada apa apanya dibandingkan
dengan Engkau, Ya Allah. Semua makhluk yang ada di langit dan di bumi semuanya
hanya meminta kepadaMu. Engkau setiap waktu dalam kesibukan, dalam mengurus seluruh
makhluk, tetaplah urus kami Ya Allah!.
Ketika badai mengamuk dan laut terasa ganas,
para penumpang kapal dan perahu akan berteriak, “Ya Allah!” Ketika penunggang
unta dan kafilahnya tersesat di tengah padang pasir, mereka akan berteriak, “Ya
Allah!” Ketika bencana dan malapetaka
menimpa baik di daratan maupun di lautan, si korban akan berteriak, “Ya Allah!”
Ketika pintu pintu tertutup bagi orang orang yang mencoba masuk, dan penghalang
menutupi orang orang yang sedang membutuhkan, mereka semuanya berteriak, “Ya
Allah!” Ketika semua rencana berakhir dengan kegagalan, semua harapan hilang,
dan jalanpun tertutup, sebutlah, “Ya Allah!” Ketika bumi, seluas apa pun,
terasa sumpek bagi Anda, dan menyebabkan jiwa Anda tertekan, maka berteriaklah,
“Ya Allah!” Kepada Allah lah naik segala kata kata yang baik, doa yang tulus,
air mata orang orang yang tidak berdosam dan rintihan para korban musibah.
Tangan dan mata dipanjatkan kepadaNya di sat kesulitan dan ketidakmujuran
melanda.
Lidah melantunkan kata, menjerit, dan memanggil
namaNya. Hatipun mendapatkan kedamaian, jiwa mendapatkan ketenangan, urat
syaraf menjadi rileks, dan pikiran menjadi bangkit, ini semua bisa dicapai ketika
kita mengingat Allah, betapa sempurnanya Allah dan hanya Dialah Yang
Maha Kuasa.
Allah; sebuah nama yang paling indah,
mengandung kumpulan huruf huruf yang paling sempurna dan kata kata yang paling
bernilai; Allah; Dia selalu diingat ketika kekayaan yang mutlak, kekuatan,
keagungan, dan kebijaksanaan yang disadari hanya milikNya. Allah: Dia selalu
diingat ketika kebaikan, perhatian, kesembuhan, dan kasih sayang saat
diperlukan.
“Ya
Allah, Pemilik kekayaan, kesempurnaan, dan kekuatan, izinkanlah kenyamanan
menggantikan derita, buatlah kebahagiaan datang setelah kesedihan, dan
biarkanlah rasa aman menggantikan rasa takut. Ya Allah, dinginkanlah hati yang
terbakar dengan kesejukan iman”. “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah istirahat
yang tenang bagi orang yang gelisah dan ketenangan bagi jiwa yang terganggu”.”Wahai
Tuhan kami, bimbinglah orang orang yang bingung agar menuju cahayaMu dan mereka
yang tersesat agar mendapat petunjukMu.
Ya,
Allah, hilangkanlah bisikan bisikan syaitan dari hati kami dan gantikanlah dia
dengan cahaya, hancurkanlah kepalsuan dengan kebenaran, patahkanlah rencana
jahat syaita dengan pasukan malaikatMu.” Ya Allah, hapuskanlah dari diri kamu
kekikiran, derita, dan kekhawatiran.
Kami berlindung kepadaMu untuk tidak menakuti
apa pun selain Engkau, dari bergantung kepada siapapun selain Engkau, dari
menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada siapapun selain kepadaMu, dan dari
meminta selain kepadaMu. Engkaulah sebaik baik penolong dan pelindung kami.