Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Selasa, 29 Maret 2016

SAMPAI KAPAN MASA BERLAKUNYA PERINTAH MENDIRIKAN SHALAT dan BERAPA KALI KITA HARUS MENDIRIKAN SHALAT



Hamba ALLAH SWT yang selalu dirahmati-Nya

Sebelum kami membahas lebih lanjut bab ini perkenankan kami mengemukakan ilustrasi sebagai berikut: Sewaktu diri kita melaksanakan mandi dan gosok gigi, tentu kita berharap dengan mandi dan gosok gigi yang kita lakukan maka kesehatan kulit serta kesehatan mulut dan gigi dapat kita dapatkan. Adanya kondisi seperti ini menandakan bahwa sepanjang diri kita mau melaksanakan mandi dan gosok gigi dengan baik dan benar maka sepanjang itu pula kesehatan kulit serta kesehatan mulut dan gigi dapat kita peroleh. Selanjutnya timbul pertanyaan, sampai kapankah kita melaksanakan mandi dan gosok gigi? Jawaban dari pertanyaan ini, bisa pendek dan juga bisa panjang. Apa maksudnya? Masa berlakunya aktivitas mandi dan gosok gigi sangat tergantung kepada :  


1.      Apakah diri kita mau melaksanakan mandi dan gosok gigi, atau 
2.      Apakah diri kita merasa membutuhkan manfaat dari kegiatan mandi dan gosok gigi, atau
3.      Apakah diri kita memutuskan untuk tidak mau melaksanakan lagi kegiatan mandi dan gosok gigi.


Jika ke tiga hal yang kami kemukakan di atas ini, kita laksanakan maka berlakulah ketentuan masa berlakunya aktivitas mandi dan gosok gigi kepada diri kita. Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas ini berarti panjang atau pendeknya masa berlakunya aktivitas mandi dan gosok gigi sangat ditentukan oleh diri kita sendiri sehingga bisa pendek dan juga bisa panjang masa berlakunya. Inilah kondisi yang terjadi di dalam kehidupan kita sehari-hari, lalu bagaimanakah dengan perintah mendirikan SHALAT yang telah diperintahkan ALLAH SWT, apakah perintah ini memiliki jangka waktu atau tidak? 

Jika perintah mendirikan SHALAT ada masa berlakunya, sampai kapan perintah mendirikan SHALAT itu berlaku? Selanjutnya berapa kalikah kita harus mendirikan SHALAT, apakah ada batasannya ataukah tidak? Lalu bagaimanakah kita harus menyikapi kondisi ini? Jawaban dari pertanyaan ini ada pada lanjutan bab ini.


1.  SAMPAI KAPAN MASA BERLAKUNYA SHALAT


Masa Berlaku perintah mendirikan SHALAT kepada seluruh umat manusia, dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu masa berlaku dalam arti umum dan masa berlaku dalam arti khusus. Secara umum masa berlaku perintah mendirikan SHALAT, sepanjang manusia ada di muka bumi, atau sepanjang bumi ini masih ada maka perintah mendirikan SHALAT masih berlaku, atau sepanjang Diinul Islam adalah Agama yang Haq di muka bumi ini maka sepanjang itu pula perintah mendirikan SHALAT berlaku, atau perintah mendirikan SHALAT mulai berlaku sejak peristiwa Isra' Mi'raj sampai dengan hari Kiamat kelak. Sekarang bagaimana dengan masa berlakunya perintah mendirikan SHALAT dalam arti khusus yaitu masa berlaku bagi individual atau bagi pribadi-pribadi?


Suruhlah anak-anakmu shalat bila berumur tujuh tahun dan gunakan pukulan jika mereka sudah berumur sepuluh tahun dan pisahlah tempat tidur mereka (putera-puteri).
(HR. Abu Dawud)

Hukum tidak berlaku bagi tiga golongan,  orang  yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai mimpi basah, dan orang gila sampai sembuh.
(HR Abu Dawud, Ibnu Majah dan Annasa’i)


Bagi individual atau secara pribadi-pribadi, masa berlaku perintah mendirikan SHALAT dapat dibedakan menjadi 2(dua) yaitu dimulai dari saat berlakunya kewajiban perintah mendirikan SHALAT (dalam hal ini adalah setelah Akil Baliq) sampai dengan sebelum Ruh tiba dikerongkongan, atau dimulai dari saat berlakunya kewajiban perintah mendirikan SHALAT (dalam hal ini adalah setelah Akil Baliq) sampai dengan diri kita sendiri yang memutuskan untuk tidak mau lagi mendirikan SHALAT, atau sampai diri kita merasa sudah tidak membutuhkan lagi SHALAT dikarenakan kita merasa lebih hebat daripada ALLAH SWT. Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas ini, dapat dikatakan bahwa masa berlaku perintah mendirikan SHALAT bagi individual sangat tergantung kepada individu itu sendiri, yaitu:


a.   Apakah individu itu mau melaksanakan atau mau berkomitmen untuk melaksanakan perintah mendirikan SHALAT, ataukah


b.  Apakah individu itu tidak mau menerima atau tidak mau berkomitmen untuk melaksanakan perintah mendirikan SHALAT.


Berdasarkan 2(dua) buah kondisi yang kami kemukakan di atas ini, berarti jika kita mau berkomitmen untuk melaksanakan perintah mendirikan SHALAT yang telah diperintahkan ALLAH SWT maka masa berlaku perintah mendirikan SHALAT yang kita lakukan akan panjang yaitu selama hayat dikandung badan, atau sampai Ruh kita tiba dikerongkongan.


dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;
(surat Maryam (19) ayat 31)

Demikian pula sebaliknya, jika kita memutuskan untuk tidak mau berkomitmen untuk mendirikan SHALAT yang telah diperintahkan ALLAH SWT, maka sampai disitulah masa berlaku perintah mendirikan SHALAT yang kita laksanakan, atau berakhirlah kebutuhan diri kita dengan SHALAT. Sekarang pilihan untuk melaksanakan perintah mendirikan SHALAT ada pada diri kita sendiri. Untuk itu jangan pernah salahkan pemberi perintah mendirikan SHALAT jika kita tidak bisa memperoleh manfaat di balik perintah itu, akibat diri kita yang tidak mau melaksanakan perintah mendirikan SHALAT.  


Selain daripada itu, setelah diri kita mengetahui dengan pasti bahwa perintah mendirikan SHALAT sangat tergantung kepada diri kita sendiri apakah mau melaksanakan atau tidak. Selanjutnya jika sampai diri kita tidak mau mendirikan SHALAT saat hidup di dunia berarti diri kita telah memutuskan hubungan dua arah yang terjadi saat mendirikan SHALAT, yaitu memutuskan hubungan antara pemberi perintah dengan  yang melaksanakan perintah, padahal diri kita sangat membutuhkan ALLAH SWT saat menjadi KHALIFAH di muka bumi. Selanjutnya agar komunikasi diri kita dengan ALLAH SWT berjalan lancar maka kita harus mengetahui ketentuan dasar saat melakukan komunikasi dua arah dengan ALLAH SWT yaitu diri kitalah yang harus aktif untuk memulai komunikasi dua arah melalui SHALAT yang kita dirikan, atau diri kitalah yang harus aktif untuk membina komunikasi dua arah dengan ALLAH SWT melalui SHALAT, atau ibadah yang lainnya. Hal ini dikarenakan ALLAH SWT tidak butuh dengan diri kita sehingga yang membutuhkanlah yang harus aktif terlebih dahulu untuk membina komunikasi dengan ALLAH SWT maka barulah ALLAH SWT akan aktif menjalin komunikasi dengan diri kita.   


Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi SAW bersabda, Allah ta'ala berfirman: Tidaklah Aku akan memperhatikan hak hamba-Ku sebelum ia memperhatikan hak-Ku terhadap dia.
(HQR Aththabarani; 272:125)


Abu Hurairah r.a. berkata; Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Apabila hamba-Ku ingin menemui-Ku,
Akupun ingin menemuinya dan bila ia enggan 
menemui-Ku, Akupun enggan menemuinya.
(HQR Al-Bukhari, Malik dan Annasa'ie dari Abu Hurairah, 272:17)


Untuk itu perhatikanlah dengan seksama Hadits Qudsi yang kami kemukakan di atas ini, yaitu ALLAH SWT dengan tegas menyatakan bahwa ALLAH SWT tidak akan pernah memperhatikan diri kita sebelum diri kita memperhatikan apa-apa yang telah ditetapkan oleh  ALLAH SWT. ALLAH SWT tidak akan pernah memperhatikan diri kita sebelum diri kita melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT. ALLAH SWT juga tidak akan pernah memperhatikan diri kita sebelum diri kita mematuhi apa yang telah dilarang oleh ALLAH SWT.


Selain dari pada itu, masih ada ketentuan lainnya yang juga berlaku jika kita mau berkomunikasi dengan ALLAH SWT, apakah itu? Hal ini bisa kita lihat melalui Hadits Qudsi yang kami kemukakan di atas, yaitu jika diri kita mau menemui ALLAH SWT maka ALLAH SWT pun mau menemui diri kita dan jika kita mau berkomunikasi dengan ALLAH SWT maka ALLAH SWT pun mau berkomunikasi dengan diri kita, demikian pula sebaliknya. Jika kita enggan dan tidak mau untuk berkomunikasi dengan ALLAH SWT maka  ALLAH SWT pun enggan dan tidak mau berkomunikasi dengan diri kita. Hal lain yang harus pula kita perhatikan saat melakukan komunikasi langsung dengan ALLAH SWT baik melalui SHALAT ataupun melalui ibadah lainnya adalah ALLAH SWT selaku Dzat yang Maha, maka dapat dipastikan tidak akan membutuhkan komunikasi dengan diri kita. Akan tetapi diri kitalah yang sangat membutuhkan komunikasi dengan ALLAH SWT. Jika ini keadaannya, apakah kita akan menyia-nyiakan kesempatan untuk berkomunikasi dengan ALLAH SWT, atau membuang begitu saja kesempatan yang telah diberikan ALLAH SWT untuk meminta sesuatu kepada-Nya, atau kita telah merasa hebat sehingga mampu mengalahkan Ahwa dan Syaitan seorang diri tanpa bantuan ALLAH SWT?


2.  BERAPA KALI KITA HARUS MENDIRIKAN SHALAT


Sebagai KHALIFAH yang sangat membutuhkan SHALAT seperti membutuhkan mandi dan gosok gigi, ada satu pertanyaan penting yang harus kita jawab, yaitu berapa kalikah kita harus mendirikan SHALAT saat diri kita menjadi KHALIFAH di muka bumi ini? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus terlebih dahulu mengetahui bentuk atau jenis SHALAT. Berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim di bawah ini, SHALAT terdiri dari 2 (dua) bentuk yaitu ada SHALAT Wajib dan ada SHALAT Sunnah. Sekarang timbul pertanyaan, apakah itu SHALAT Wajib dan apakah itu SHALAT Sunnah? 


Thalhah bin Ubaidillah r.a. berkata: Seorang dari Najed datang kepada Nabi SAW, sedang ia terurai rambutnya, lalu ia mendekat kepada Nabi SAW, dapat didengar dengung suaranya tetapi tidak dapat ditangkap (dimengerti) apa yang ditanyakannya, tiba-tiba ia menanya tentang Islam. Maka Rasulullah SAW bersabda: Lima kali sembahyang dalam sehari semalam. Ia bertanya: Apakah ada kewajiban bagiku selain itu? Jawab Nabi SAW: Tidak, kecuali jika anda akan sembahyang sunnat. Lalu Nabi SAW bersabda: Dan puasa pada bulan Ramadhan. Orang itu bertanya: Apakah ada lagi puasa yang wajib atasku selain itu? Jawab Nabi SAW: Tidak, kecuali jika anda puasa sunnat. Lalu Nabi SAW menerangkan kewajiban zakat. Maka ia tanya: Apakah ada kewajiban selain itu? Jawab Nabi SAW: Tidak kecuali jika anda bersedekah sunnat. Maka pergilah orang itu, sambil berkata: Demi ALLAH saya tidak akan melebihi atau mengurangi dari itu. Maka Rasulullah SAW, bersabda: Sungguh bahagia ia jika benar-benar (yakni dalam ucapannya tidak akan mengurangi atau melebihi itu)
(HR Bukhari, Muslim, Al Lulu Wal Marjan No.6) 


SHALAT Wajib adalah SHALAT yang harus kita dirikan sehari semalam sebanyak lima waktu yang terdiri dari SHALAT Subuh, SHALAT Dzuhur, SHALAT Ashar, SHALAT Magrib dan SHALAT Isya. Sedangkan SHALAT Sunnah adalah SHALAT tambahan, atau dapat dikatakan SHALAT yang didirikan selain SHALAT wajib lima waktu.


Qatadah ra berkata, Nabi SAW bersabda, Allah ta'ala berfirman:
Aku telah mewajibkan di atas umat-Ku sembahyang lima waktu dan berjanji kepada diri-Ku bahwa barang siapa rajin melaksanakannya tepat pada waktunya akau Aku masukkan Syurga. dan siapa yang tidak melaksanakannya maka tidak ada janji apa-apa padaku.
(HQR Ibnu Majah dan Abu Nu'aim dan Qatadah; 272:30)


Berdasarkan hadits yang kami kemukakan di atas, jumlah SHALAT Wajib yang harus kita dirikan sehari semalam minimal 5 (lima) waktu, yang terdiri dari SHALAT Subuh 2 (dua) rakaat, SHALAT Dzuhur 4 (empat) rakaat, SHALAT Ashar 4 (empat) rakaat, SHALAT Magrib 3 (tiga) rakaat, dan juga SHALAT Isya 4 (empat) rakaat. Jika ini adalah kondisi dasar yang harus kita laksanakan berarti kita wajib melakukan komunikasi dengan ALLAH SWT  5 (lima) kali dalam sehari semalam, atau minimal 5 (lima) kali dalam sehari semalam kita harus menghadap kepada ALLAH SWT secara langsung guna melaporkan kekhalifahan di muka bumi yang kita laksanakan, atau minimal 5(lima) kali sehari semalam kita berdoa kepada  ALLAH SWT secara langsung.


Sekarang timbul pertanyaan, jika ketentuan minimal mendirikan SHALAT sudah ditetapkan, sekarang adakah larangan bagi diri kita jika ingin mendirikan SHALAT melebihi ketentuan minimal? Apabila diri kita berkeinginan untuk mendirikan SHALAT lebih dari 5(lima) waktu dalam sehari semalam, maka yang harus kita lakukan adalah mendirikan SHALAT Sunnah. Kenapa harus SHALAT Sunnah yang kita dirikan? Hal ini dikarenakan SHALAT Wajib jumlahnya sudah ditentukan yaitu hanya 5(lima) waktu sehari semalam, sehingga kita tidak boleh menambah jumlah SHALAT Wajib menjadi lebih dari 5(lima) waktu. Selanjutnya agar diri kita dapat mendirikan SHALAT sehari semalam lebih dari 5(lima) waktu atau melebihi ketentuan maka kita dapat mendirikan ibadah SHALAT Sunnah baik yang dikerjakan secara sendirian seperti SHALAT Tahajjud, SHALAT Dhuha, SHALAT Sunnah Rawwatib, SHALAT Tahiyyatul Masjid, SHALAT Istikharah, maupun mendirikan SHALAT Sunnah yang dikerjakan berjamaah seperti SHALAT Taraweh,  SHALAT Hari Raya (Idhul Fitri dan Idhul Adha), SHALAT Gerhana.


SHALAT WAJIB vs SHALAT SUNNAH
Apa yang harus kita Sikapi?


Hari ini sampai dengan hari kiamat kelak, di muka bumi ini sudah ada ketentuan tentang SHALAT Wajib dan juga SHALAT Sunnah. Timbul pertanyaan, untuk apakah SHALAT Sunnah itu diadakan, apakah tidak cukup dengan SHALAT Wajib saja? Adanya ketentuan SHALAT Sunnah yang diperkenankan oleh ALLAH SWT serta yang juga telah dicontohkan oleh Nabi MUHAMMAD SAW  tentu tidak serta merta diperkenankan untuk didirikan jika tidak ada maksud dan tujuan tertentu untuk kepentingan manusia itu sendiri. Ada beberapa alasan yang dapat kita jadikan pedoman kenapa SHALAT Sunnah diperkenankan oleh ALLAH SWT untuk kita dirikan, yaitu:

1.  SHALAT Sunnah dapat menjadi penyempurna, atau dapat menjadi pelengkap dari SHALAT Wajib terutama jika SHALAT Wajib yang kita lakukan tidak sempurna.


Berdasarkan Hadits yang kami kemukakan di bawah ini, SHALAT Sunnah menjadi penting artinya dikarenakan SHALAT Sunnah dapat menjadi penolong, dapat menjadi pelengkap, dapat menjadi penambal, dapat menjadi penyempurna, dapat menjadi penambah nilai dari SHALAT Wajib yang telah kita dirikan. 


Dari Huraits bin Qabishah, ia berkata : Saya sampai di Madinah. Ia berkata : "Wahai Allah mudahkanlah bagiku (mendapat) teman duduk yang baik. Lalu saya duduk kepada Abu Hurairah ra. Ia berkata : Saya berkata : "Saya berdo'a kepada Tuhan (Allah) Yang Maha Mulia dan Maha Besar -untuk memudahkan bagiku teman duduk yang baik, maka sampaikanlah kepadaKu hadits yang kamu dengar dari Rasulullah saw.- Semoga Allah memberi manfaat kepadaku dengan itu". Ia berkata : Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda : "Sesungguhnya sesuatu yang paling dulu dihisab pada hamba adalah shalatnya. Jika shalat itu baik maka ia telah menang dan sukses. Jika shalatnya rusak maka ia telah merugi". Hammam berkata : Saya tidak tahu, ini dari perkataan Qatadah atau riwavat. Jika dari fardhunya ada kekurangan-kekurangan, Allah berfirman : "Lihatlah, apakah hambaKu mempunyai shalat sunnat, maka fardhu yang kurang itu dapat disempurnakan. Kemudian demikian itu caranya dalam menghisab seluruh amalnya".
(Hadits ditakhrij oleh An Nasa'i).


Selain daripada itu, adanya SHALAT Sunnah yang diperkenankan oleh ALLAH SWT berarti diri kita diberi kesempatan untuk memperoleh Nilai Positif dari SHALAT yang kita dirikan. Apa maksudnya? Dalam kehidupan jika kita memenuhi suatu kewajiban berarti Nilai yang kita peroleh setelah kewajiban dipenuhi baru memiliki nilai Nol. Hal yang samapun terjadi jika kita baru memenuhi kewajiban SHALAT Wajib berarti Nilai yang kita peroleh belum ada nilainya, alias Nol. Adanya kesempatan untuk mendirikan SHALAT Sunnah berarti kita diberikan kesempatan untuk memperoleh nilai positif. Sekarang mana yang lebih besar Nilai Nol dibandingan dengan nilai 0,0000000001? Berdasarkan perhitungan matematika secara umum, Nilai 0,0000000001 lebih tinggi nilainya dari pada Nol. Jika ini kondisinya berarti jika kita ingin memperoleh Nilai Positif dari SHALAT yang kita dirikan maka tidak ada jalan lain bagi diri kita untuk mendirikan SHALAT Sunnah yang telah dicontohkan oleh Nabi MUHAMMAD SAW.


2.  Sesuatu yang bersifat Khusus harus dihadapi dengan sesuatu yang bersifat khusus pula.


Melaksanakan tugas sebagai KHALIFAH di muka bumi, tidaklah semudah membalik telapak tangan sehingga setiap KHALIFAH pasti akan mengalami benturan, pasti akan mengalami hambatan, pasti akan mengalami cobaan, pasti akan mengalami suatu keadaan yang membingungkan, pasti akan mengalami suatu keadaan yang dilematis sehingga manusia, atau diri kita dihadapkan dengan situasi diluar kemampuan diri kita. Jika apa yang kami kemukakan di atas ini adalah sesuatu kondisi yang bersifat khusus berarti kondisi yang bersifat khusus ini harus pula dihadapi dengan cara yang khusus sehingga terjadilah keseimbangan di dalam menghadapi sesuatu yang khusus. Sebagai contoh, saat diri kita menghadapi pilihan yang tidak mengenakkan, atau sesuatu yang sangat membingungkan diri kita maka senjata yang paling ampuh untuk menghadapinya adalah SHALAT Istikharah.


Dari Jabir ra, ia berkata, Nabi SAW  mengajari kami untuk meminta petunjuk dalam segala urusan sebagaimana mengajarkan surah Al Qur'an. Beliau berkata: " Apabila salah seorang di antara kalian bimbang dalam suatu urusan, maka hendaknya ia shalat dua rakaat kemudian membaca doa Allaahumm……………
(HR Bukhari dan Ash Habus Sunan)


Sekarang apa yang harus kita lakukan, jika kita menghadapi sesuatu persoalan atau sesuatu keinginan agar mudah dikerjakan, agar  mudah dilakukan, agar mudah dicapai? Jika ini yang kita hadapi, maka SHALAT Hajat merupakan jalan keluar yang terbaik yang pernah diajarkan oleh Nabi MUHAMMAD SAW kepada diri kita.


Siapa yang berwudhu dan menyempurnakannya, kemudian shalat dua rakaat dengan sempurna, maka Allah akan memberikan apa yang ia minta, cepat atau lambat.
(HR Ahmad, dari Abu Darda')


Selanjutnya sebagai KHALIFAH di muka bumi yang sangat membutuhkan SHALAT, sudahkah diri kita memanfaatkan segala fasilitas khusus yang telah disediakan oleh ALLAH SWT untuk kepentingan yang khusus pula?

Selain daripada itu, masih ada satu SHALAT Sunnah lainnya yang kedudukannya sangat hebat, apakah itu? SHALAT Sunnah yang kedudukannya sangat hebat adalah SHALAT Tahajjud. Timbul pertanyaan atas dasar apakah SHALAT Tahajjud dikatakan sebagai SHALAT Sunnah yang sangat hebat? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa alasan kenapa SHALAT Tahajjud dikatakan hebat, yaitu:


1. Berdasarkan surat Al Israa' (17) ayat 79, SHALAT Tahajjud merupakan sarana untuk meningkatkan derajat atau kedudukan manusia menjadi lebih tinggi.


dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.
(surat Al Israa' (17) ayat 79)


2.   Berdasarkan Hadits yang kami kemukakan di bawah ini, SHALAT Tahajjud (atau SHALAT Qiyamul Lail) merupakan salah satu bentuk rasa syukur kepada ALLAH SWT.


Bahwa suatu malam Nabi SAW pernah mengerjakan Qiyamul Lail (Shalat Malam Tahajjud) hingga ke dua kakinya bengkak, Lalu Aisyah bertanya "Mengapa engkau melakukan hal ini wahai Rasulullah, bukankah Allah telah memberikan ampunan kepadamu atas dosa-dosa yang telah lalu atau yang akan datang? Beliau menjawab, "Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang suka bersyukur?'
(HR Muttafaq Alaih)

      Sedangkan berdasarkan surat Adz Dzariyat (51) ayat 15-18, dikemukakan bahwa orang yang selalu menjaga SHALAT Tahajjud  itulah yang sebenarnya orang-orang yang bertaqwa, mereka akan mendapat kebaikan, rahmat dan ampunan dari ALLAH SWT.


Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan.
di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.
dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.
(surat Adz Dzariyat (51) ayat 16-17-18)


3.      Berdasarkan hadits yang kami kemukakan di bawah ini,  dikemukakan bahwa SHALAT Tahajjud merupakan SHALAT yang paling afdhal setelah SHALAT Fardhu (wajib).


Sebaik-baik puasa setelah bulan Ramadha adalah puasa pada bulan Allah, yaitu Muharram dan sebaik-baik shalat sesudah shalat fardhu adalah shalat malam.
(HR Muslim dari Abu Hurairah ra)



4. Berdasarkan surat Al Furqaan (25) ayat 63-64 dikemukakan bahwa ALLAH SWT akan memuji orang yang melaksanakan SHALAT Tahajjud serta memasukkannya ke dalam golongan orang yang berbakti kepada ALLAH SWT.


dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.
dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka[1072].
(surat Al Furqaan (25) ayat 63-64)

[1072] Maksudnya orang-orang yang sembahyang tahajjud di malam hari semata-mata karena Allah.


5.  Berdasarkan Hadits yang kami kemukakan di bawah ini, SHALAT Tahajjud dapat menghapuskan berbagai kesalahan dan dosa serta mencegah perbuatan keji dan juga sebagai penyembuh dari berbagai macam penyakit.


Hendaklah kalian membiasakan qiyamul lail, karena sesungguhnya ia merupakan kebiasaan orang-orang shaleh sebelum kalian, dan juga sebagai pendekatan diri kepada Allah, sekaligus sebagai pencegah perbuatan keji, penghapus dosa-dosa dan pengusir penyakit dari badan.
(HR Tirmidzi dari Bilal)

Untuk menambah wawasan kenapa SHALAT Tahajjud bisa begitu hebat, berikut ini akan kami kemukakan ilustrasi sebagai berikut : Seperti telah kita ketahui bersama bahwa pelaksanaan SHALAT Tahajjud yang paling baik adalah pada separuh malam terakhir. Dimana pada saat itu, hampir semua orang sedang terlelap tidur.


Waktu yang paling dekat antara Rabb dengan hambanya adalah pada separuh malam terakhir, maka jika kamu dapat menjadi salah satu orang yang mengingat Allah, maka lakukanlah.
(HR Tirmidzi dan Nasa'i dari Amr bin Abasah)


Sekarang, pada saat kebanyakan orang sedang terlelap tidur berarti saat diri kita mendirikan SHALAT Tahajjud maka perhatian, atau atttensi ALLAH SWT hanya tertuju kepada orang yang sedang mendirikan SHALAT Tahajjud saja. Kenapa bisa terjadi? Hal ini dimungkinkan karena di saat orang lain terlelap tidur berarti pada saat itu hanya sedikit saja orang yang mampu mendirikan SHALAT Tahajjud, sebab yang lainnya sedang tertidur. Adanya perhatian KHUSUS yang berasal dari  ALLAH SWT kepada orang yang mampu mendirikan SHALAT Tahajjud maka akan memudahkan orang yang mendirikan SHALAT Tahajjud tersebut memperoleh manfaat yang terdapat di balik perintah mendirikan SHALAT Tahajjud. Sekarang, setelah mengetahui dengan pasti adanya 6(enam) buah manfaat yang terdapat di balik perintah mendirikan SHALAT Tahajjud, sebagai KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT, apakah kesempatan yang telah dipersiapkan oleh ALLAH SWT ini akan kita sia-siakan lewat begitu saja saat diri kita hidup di dunia?


Selanjutnya ada hal lain yang harus menjadi perhatian bagi diri kita yang berkeinginan untuk mendirikan SHALAT Sunnah, apakah itu SHALAT sunnah Rawatib, SHALAT sunnah Hajat, SHALAT sunnah Istikharah, SHALAT Tahajjud, SHALAT Dhuha ataupun SHALAT Sunnah lainnya adalah :


1.      SHALAT Sunnah sebagai SHALAT tambahan tidak bisa mengalahkan SHALAT Wajib atau SHALAT Sunnah tidak bisa meniadakan atau menggantikan SHALAT Wajib, atau SHALAT Sunnah bukanlah pengganti SHALAT Wajib sebab SHALAT Wajib tidak mengenal Istilah SHALAT pengganti seperti halnya ibadah Puasa Ramadhan yang bisa diganti di lain hari. SHALAT hanya mengenal istilah Qashar dan Jama' dimana kedua hal ini bukanlah ketentuan untuk meniadakan, atau untuk mengganti SHALAT. Qashar dan Jama’ melainkan kemudahan untuk mendirikan SHALAT saat diri kita di dalam perjalanan. Adanya kondisi ini berarti kita tidak bisa meninggalkan SHALAT Wajib dengan alasan apapun juga, terkecuali jika kita ingin segera dishalatkan. Untuk itu kita tidak bisa hanya mendirikan SHALAT Sunnah saja dari waktu ke waktu dengan mengorbankan SHALAT Wajib dikarenakan kedudukan SHALAT Wajib lebih tinggi kedudukannya daripada SHALAT Sunnah. 


2.      SHALAT Sunnah walaupun kedudukannya lebih rendah dibandingkan dengan SHALAT Wajib, SHALAT Sunnah tidak bisa dilakukan secara asal-asalan. Asal sudah dilaksanakan maka selesai sudah SHALAT Sunnah kita dirikan. Kualitas SHALAT Sunnah harus sama kualitasnya dengan SHALAT Wajib karena bacaan yang dibaca saat SHALAT Sunnah sama dengan bacaan SHALAT Wajib. Timbul pertanyaan kenapa hal ini perlu kami kemukakan? Hal ini disebabkan karena sering terjadi suatu kondisi dimana seseorang pada saat mendirikan SHALAT Wajib, ia begitu khusyuk, ia begitu tuma'ninah, sehingga bacaan yang dibaca sangat memenuhi tartil dan tajwid yang baik dan benar sehingga SHALAT Wajib yang didirikan begitu fasih. Akan tetapi saat yang bersangkutan mendirikan SHALAT Sunnah Rawwatib, apa yang kami kemukakan di atas hilang semua, sehingga SHALAT Sunnah Rawwatib yang didirikan lalu begitu saja seperti angin. Padahal tidak ada satupun ketentuan yang mengatur jika SHALAT Sunnah didirikan maka kualitasnya harus lebih rendah daripada SHALAT Wajib sedangkan bacaannya sama.


Jjika sampai diri kita melakukan hal ini saat mendirikan SHALAT Sunnah berarti SHALAT Sunnah yang kita dirikan seolah-olah tidak ada manfaatnya sama sekali dan seolah-olah SHALAT Wajib yang kita dirikan sudah pasti sempurna sehingga pasti sesuai dengan kehendak ALLAH SWT atau sudah pasti diterima ALLAH SWT. Sebagai KHALIFAH di muka bumi, jangan sampai diri kita melakukan hal itu karena kita tidak pernah tahu apakah SHALAT Wajib yang kita dirikan akan diterima atau tidak, apakah SHALAT Wajib yang kita dirikan sudah sesuai dengan kehendak ALLAH SWT atau tidak, namun dengan adanya kesempatan mendirikan SHALAT Sunnah Rawwatib berarti diri kita diberikan kesempatan oleh ALLAH SWT untuk menyempurnakan SHALAT Wajib yang kita dirikan.  Sekarang tergantung diri kita apakah mau memanfaatkan kesempatan dan kemudahan ALLAH SWT ini? 


Adanya 2(dua) buah ketentuan yang telah kami kemukakan di atas, sebagai KHALIFAH di muka bumi yang sangat membutuhkan SHALAT tentu kita harus pandai-pandai menyikapi ketentuan yang telah kami kemukakan di atas, agar maksud dan tujuan dari setiap SHALAT yang kita dirikan, apakah SHALAT Wajib ataupun SHALAT Sunnah, selalu sesuai dengan kehendak dari ALLAH SWT selaku pemberi perintah mendirikan SHALAT yang berlaku sampai hari kiamat kelak.


SHALAT BERJAMAAH vs SHALAT SENDIRI-SENDIRI
Apa yang harus kita Sikapi?



Untuk dapat mendirikan SHALAT, terdapat dua buah methode yang dapat kita lakukan yaitu bisa didirikan secara Berjamaah dan juga  bisa dirikan secarta sendiri-sendiri. Timbul pertanyaan apakah itu SHALAT Berjamaah? SHALAT Berjamaah adalah SHALAT yang didirikan secara bersama-sama dan sekurang-kurangnya terdiri dari 2 (dua) orang yakni imam dan makmum. Sedangkan SHALAT sendiri-sendiri adalah SHALAT yang dikerjakan secara sendiri-sendiri. SHALAT yang dianjurkan didirikan secara berjemaah, adalah SHALAT  fardhu/wajib lima waktu; SHALAT Idhul Fitri dan Idhul Adha, Shalat Tarawih dan Witir dalam bulan Ramadhan, SHALAT minta Hujan, SHALAT Gerhana Matahari dan Bulan; SHALAT Jenazah. 

Shalat berjemaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.
(HR Bukhari, Muslim dari Ibnu Umar)



Berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim di atas, SHALAT yang didirikan secara berjamaah, terutama SHALAT Wajib atau SHALAT Fardhu, lebih baik dan lebih utama jika dibandingkan dengan SHALAT yang dilakukan secara sendirian (munfarid) yaitu 1(satu) berbanding 27 (dua puluh tujuh). Selain daripada itu, SHALAT Berjamaah memiliki makna lain, atau memiliki manfaat lain terutama di dalam peningkatan hubungan antar sesama umat manusia. Hal ini dikarenakan melalui SHALAT Berjamaah akan terjadi apa yang dinamakan interaksi sosial antar sesama jamaah SHALAT, yang pada akhirnya akan terjalinlah hubungan baik sesama jamaah serta dapat terpeliharanya ukhuwah islamiah. Sebagai KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT, tentu kita harus dapat mendirikan SHALAT Berjamaah dengan sebaik mungkin di tengah kesibukan pekerjaan yang kita lakukan. Hal ini bukan saja baik untuk diri kita sendiri tetapi juga baik untuk kepentingan sesama umat manusia.


Sebagai KHALIFAH di muka bumi yang membutuhkan SHALAT, ada satu hal lain yang harus kita perhatikan betul saat diri kita mendirikan SHALAT, apakah itu? Berdasarkan dua buah Hadits yang kami kemukakan di bawah ini, hal yang harus kita perhatikan saat mendirikan SHALAT adalah waktu atau saat SHALAT yang akan kita dirikan. Apa maksudnya? Berdasarkan hadits di bawah ini, Nabi Muhammad SAW sudah mengemukakan bahwa Waktu SHALAT, atau Saat mendirikan SHALAT yang paling baik adalah SHALAT yang didirikan tepat pada waktunya atau SHALAT yang baik adalah SHALAT  yang didirikan di awal Waktu.


Abdullah ibnu Mas'ud Ra berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah, amal perbuatan apa yang paling afdol?" Beliau menjawab, "Shalat tepat pada waktunya." Aku bertanya lagi, "Lalu apa lagi?" Beliau menjawab, "Berbakti kepada kedua orang tua." Aku bertanya lagi, "Kemudian apa lagi, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Berjihad di jalan Allah."
(HR. Bukhari)

Aisyah ra, berkata, Nabi SAW bersabda, Allah ta'ala berfirman: Sungguh Aku berjanji kepada hambaku bila ia melakukan Shalat tepat pada waktunya, tidak akan Aku siksa dan pasti akan Aku masukkan syurga tanpa hisab.
(HQR Al Haakim, 272:41)


Selanjutnya jika kita berbicara tentang Waktu SHALAT maka hal ini tidak bisa dipisahkan dengan adanya Adzan yang selalu dikumandangkan sebagai penanda datangnya waktu SHALAT. Hal yang harus kita pahami adalah Adzan memiliki makna ganda, yaitu di satu sisi Adzan adalah penanda datangnya waktu SHALAT. Dilain sisi Adzan adalah ajakan, atau panggilan, atau seruan yang berasal dari ALLAH SWT kepada seluruh umat manusia untuk segera mendirikan SHALAT. Dan jika kita mampu mendirikan SHALAT setelah Adzan dikumandangkan berarti kita telah mampu menempatkan dan menghargai ajakan, panggilan dan seruan ALLAH SWT untuk mendirikan SHALAT sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT. Sebagai KHALIFAH yang sangat membutuhkan SHALAT, sudahkah diri kita mampu untuk selalu mendirikan SHALAT di awal waktu sesuai dengan panggilan ALLAH SWT melalui Adzan? 


Sebagai penutup bab ini ada satu hal yang akan kami kemukakan sebagai bahan pemikiran bagi diri kita untuk selalu memperbaiki kualitas SHALAT yang kita dirikan, yaitu di dalam masyarakat  sering terjadi apa yang dinamakan dengan sibuk membicarakan  tata cara mendirikan SHALAT, atau lebih mendahulukan bagaimana ritual SHALAT harus didirikan, tetapi lupa akan makna hakiki dari SHALAT itu sendiri, atau lupa bahwa SHALAT yang kita dirikan itu tidak terlepas dari nilai pertemuan diri kita dengan ALLAH SWT, atau Nilai pertemuan kepada ALLAH SWT lebih tinggi nilainya dari ritual SHALAT. Sehingga yang sering terjadi adalah sering timbulnya salah paham atau saling klaim tentang tata cara SHALAT yang akan di dirikan, yang pada akhirnya akan keluar pernyataan bahwa SHALAT harus didirikan begini, SHALAT tidak boleh didirikan begitu, kalau SHALAT didirikan begitu tidak syah, demikian seterusnya terjadi, yang pada akhirnya menyisakan kebingungan karena tidak pernah ada penyelesaian yang konprehensif mengenai hal yang diributkan.


Sebagai KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT, jangan sampai diri kita hanya sibuk memikirkan tata cara mendirikan SHALAT,  tetapi lupa akan maksud dan tujuan yang hakiki dari mendirikan SHALAT yang telah diperintahkan ALLAH SWT, lupa kepada nilai pertemuan dengan ALLAH SWT. Sehingga apa yang seharusnya dapat kita peroleh dan rasakan melalui SHALAT yang kita dirikan, justru hilang ditelan hiruk pikuk di dalam menentukan tata cara SHALAT yang tidak pernah kunjung selesai. Untuk itu alangkah baiknya mulai saat ini kita memiliki kesadaran betapa pentingnya mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT serta kita harus pula belajar untuk memiliki Ilmu tentang SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT sebelum diri kita mendirikan SHALAT.


Senin, 28 Maret 2016

SIAPAKAH YANG HARUS MENDIRIKAN SHALAT





Hamba ALLAH SWT yang selalu dirahmati-Nya

Suatu Perintah yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari bukanlah tujuan akhir untuk mencapai sesuatu. Apa maksudnya? Hal ini dikarenakan Perintah adalah sarana, atau media yang harus kita kerjakan, atau alat bantu yang harus kita lakukan untuk mencapai suatu tujuan. Contohnya, perintah mandi dan gosok gigi bukanlah tujuan akhir dari perintah mandi dan gosok gigi yamg kita lakukan. Hal ini dikarenakan tujuan dari mandi dan gosok gigi adalah untuk mencapai kesehatan tubuh dan juga kesehatan mulut dan gigi. Adanya kondisi ini berarti hanya orang yang mau melaksanakan perintah mandi dan gosok gigi dengan baik dan benar sajalah yang akan memperoleh kesehatan tubuh dan kesehatan mulut dan gigi. 

Adanya kondisi ini berarti Perintah mandi dan gosok gigi merupakan kegiatan yang sangat bersifat Individualistik sehingga hanya orang-orang yang mau melaksanakan mandi dan gosok gigi dengan baik dan benar sajalah yang akan memperoleh manfaat dari mandi dan gosok gigi. Adanya hal ini menunjukkan kepada kita bahwa apa yang diperoleh dari melaksanakan mandi dan gosok gigi tidak, akan bisa dipindahtangankan, tidak akan bisa dialihkan, atau tidak akan bisa diwariskan kepada orang lain sepanjang orang tersebut tidak mau melaksanakan mandi dan gosok gigi dengan baik dan benar.


Di lain sisi, langit dan bumi diciptakan dan dimiliki oleh ALLAH SWT, sekarang undang-undang siapakah, hukum siapakah, ketentuan siapakah, perintah siapakah yang wajib berlaku di muka bumi ini? Berdasarkan akal sehat manusia, maka hanya undang-undang, hukum, ketentuan, perintah ALLAH SWT sajalah yang wajib berlaku di muka bumi ini. Sekarang pemilik dan pencipta langit dan bumi melalui surat Al Hajj (22) ayat 77 telah memerintahkan kepada seluruh umat manusia untuk mendirikan SHALAT, maka ketentuan ini wajib berlaku dan wajib di taati oleh setiap manusia yang ada dan yang hidup di muka bumi ini. 

Sekarang timbul pertanyaan baru tentang perintah SHALAT, apakah perintah mendirikan SHALAT yang diperintahkan oleh ALLAH SWT merupakan tujuan akhir dari suatu perintah itu sendiri? Jika perintah mendirikan mandi dan gosok gigi saja bukanlah tujuan akhir dari perintah itu sendiri, maka hal yang samapun berlaku pada perintah mendirikan SHALAT. Perintah mendirikan SHALAT bukanlah tujuan akhir dari apa yang diperintahkan oleh pemberi perintah mendirikan SHALAT. Perintah mendirikan SHALAT hanyalah sarana, atau alat bantu atau media untuk mendapatkan, atau memperoleh tujuan akhir, atau sarana untuk merasakan maksud dan tujuan dari mendirikan SHALAT itu sendiri.


Selanjutnya berdasarkan apa yang kami uraikan di dalam bab 2(dua) buku ini, perintah mendirikan SHALAT merupakan sarana dan alat bantu bagi diri kita untuk Berkomunikasi dengan ALLAH SWT, untuk Berdoa kepada ALLAH SWT, untuk  Mencegah perbuatan keji dan Mungkar; untuk Menghadap kepada  ALLAH SWT; untuk Mengingat ALLAH SWT; untuk Memenuhi Janji Kepada ALLAH SWT, untuk Mensucikan atau membersihkan Jiwa; dan lain sebagainya. 


Selanjutnya jika ini adalah maksud dan tujuan dari mendirikan SHALAT yang dikehendaki oleh ALLAH SWT, berarti hal inilah yang harus menjadi tujuan saat diri kita mendirikan SHALAT dan jika hal ini tidak bisa kita lakukan berarti ada sesuatu yang salah di dalam SHALAT yang kita dirikan. Sekarang timbul pertanyaan yang paling mendasar dari perintah mendirikan SHALAT yaitu siapakah yang harus mendirikan SHALAT, apakah hanya diri kita, ataukah hanya anak dan keturunan kita, ataukah seluruh manusia harus mendirkan SHALAT saat hidup di muka bumi ini? Jika kita yang harus SHALAT, apakah Jasmani yang harus SHALAT ataukah Ruhani yang harus SHALAT? Jawaban dari pertanyaan ini, ada pada pembahasan berikut ini yang terbagi di dalam ketentuan umum dan ketentuan khusus.


1. DIRI SENDIRI


Siapakah yang harus mendirikan SHALAT saat ini? Jika kita merasa bukan yang menciptakan dan bukan pula yang memiliki langit dan bumi yang sedang kita tempati saat ini maka kita wajib mendirikan SHALAT saat hidup di muka bumi ini. Kenapa saat di muka bumi ini kita harus mendirikan SHALAT? Hal ini dikarenakan hanya saat  hidup di muka bumi inilah kesempatan diri kita untuk mendirikan SHALAT. Timbul pertanyaan lagi, jika kita wajib mendirikan SHALAT lalu bagaimanakah dengan manusia lainnya yang ada di muka bumi? Jika kita mengacu bahwa hanya ALLAH SWT adalah pencipta dan pemilik langit dan bumi maka segala ketentuan yang wajib berlaku di muka bumi ini adalah ketentuan ALLAH SWT. Adanya kondisi ini maka setiap orang yang ada di muka bumi ini, semuanya wajib mematuhi segala ketentuan ALLAH SWT yang telah ALLAH SWT tetapkan berlaku di muka bumi ini.


dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'[44].
(surat Al Baqarah (2) ayat 43)

[44] Yang dimaksud Ialah: shalat berjama'ah dan dapat pula diartikan: tunduklah kepada perintah-perintah Allah bersama-sama orang-orang yang tunduk.


Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
(surat An Nisaa' (4) ayat 103)


Jika sekarang ALLAH SWT melalui surat Al Baqarah (2) ayat 43; melalui surat An Nisaa' (4) ayat 103 serta melalui surat Al Hajj (22) ayat 77, telah memerintahkah kepada seluruh manusia untuk mendirikan SHALAT berarti ketentuan SHALAT ini wajib berlaku di muka bumi dan setiap manusia yang ada di muka bumi wajib pula mematuhi perintah ini dan melaksanakannya dengan sebaik mungkin sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh ALLAH SWT.


Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
(surat Al Hajj (22) ayat 77)


Adanya ketentuan mendirikan SHALAT yang wajib berlaku di muka bumi ini berarti setiap manusia, apapun kedudukannya, apapun pangkatnya, apapun jabatannya, apakah laki-laki, apakah perempuan, apakah  tua, apakah muda, apakah kaya, apakah miskin, mereka semua harus melaksanakan perintah mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT. Hal ini dikarenakan kita tidak pernah sekalipun menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya maupun kita tidak pernah sekalipun mampu menciptakan diri kita sendiri sehingga yang ada di muka bumi ini adalah ketentuan ALLAH SWT selaku pencipta dan pemilik dari langit dan bumi.


Selanjutnya berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 30, setiap manusia, termasuk diri kita sudah diangkat oleh ALLAH SWT sebagai KHALIFAH di muka bumi yang diciptakan dan dimiliki oleh ALLAH SWT.

Anas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Barangsiapa tidak rela dengan hukum-Ku dan taqdir-Ku maka hendaklah ia mencari Tuhan selain Aku.
(HQR Al Baihaqi dari Ibnu Umar serta Ath Thabarani dan Ibnu Hibban dari Abi Hind, Al Baihaqi dan Ibnu Najjar, (272:153)

Sekarang alangkah naifnya, alangkah lucunya, alangkah konyolnya, alangkah tidak tahu dirinya jika kita yang sudah diangkat  oleh ALLAH SWT sebagai KHALIFAH di muka bumi namun kita sendiri malah melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh ALLAH SWT, selaku pengutus diri kita di muka bumi. Jika ini sampai terjadi pada diri kita berarti ketentuan Hadits Qudsi di atas ini berlaku kepada diri kita. Sekarang adakah Tuhan-Tuhan lain selain ALLAH SWT yang mampu mengalahkan ALLAH SWT, yang mampu menandingi ALLAH SWT sehingga mampu menciptakan langit dan bumi seperti langit dan bumi yang diciptakan oleh ALLAH SWT? Selanjutnya jika sampai diri kita tidak mau mematuhi segala ketentuan ALLAH SWT (dalam hal ini perintah mendirikan SHALAT, atau melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah) berarti memang kita tidak tahu diri. Hal ini dikarenakan sudah diciptakan oleh ALLAH SWT, sudah menumpang di bumi yang dimiliki ALLAH SWT, sudah mendayagunakan dan mengambil manfaat dari bumi yang dimiliki ALLAH SWT, setelah itu ALLAH SWT kita lawan. Untuk itu segera Taubatlah jika saat ini kita belum juga mau mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT, atau segeralah minta di SHALATkan karena inilah ketentuan terakhir jika kita tidak bisa mendirikan SHALAT lagi saat hidup di dunia. 


2. ANAK dan KETURUNAN


Setelah diri kita mendirikan SHALAT, lalu siapakah lagi yang harus mendirikan SHALAT saat hidup di muka bumi? Yang harus mendirikan SHALAT selanjutnya adalah anak dan keturunan dari diri kita sendiri. Lalu kenapa anak dan keturunan kita harus mendirikan SHALAT? Diri kita adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan regenerasi kekhalifahan yang ada di atas diri kita, sehingga hal yang samapun terjadi pada anak dan keturunan kita yaitu ia pun tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan diri kita saat ini. Selanjutnya jika diri kita mendirikan SHALAT lalu anak dan keturunan kita tidak mendirikan SHALAT berarti ada sesuatu yang salah di dalam mata rantai regenerasi kekhalifahan yang kita buat di muka bumi ini, yaitu ada satu pihak yang tidak mau melaksanakan ketentuan dari pencipta dan pemilik langit dan bumi. 



Agar antara diri kita dengan anak dan keturunan kita berada di dalam kesesuaian dengan ketentuan ALLAH SWT yang berlaku di muka bumi ini, atau seluruh pihak mau melaksanakan perintah ALLAH SWT maka harus dimulai dari adanya Keluarga Sakinah atau Keluarga Sakinah merupakan prasyarat yang harus kita buat guna menselaraskan antara diri kita dengan anak keturunan kita di dalam melaksanakan segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh ALLAH SWT.Timbul pertanyaan, dapatkah kita membuat, menjadikan diri kita sendiri, atau menjadikan keluarga kita sendiri menjadi sebuah keluarga yang Sakinah jika tanpa dilandasi dengan suatu konsep yang berasal dari ALLAH SWT yaitu berupa Diinul Islam yang dilaksanakan secara Kaffah, atau apakah hanya salah satu anggota keluarga saja yang melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah maka keluarga Sakinah dapat kita wujudkan, atau apakah seluruh keluarga termasuk anak dan keturunan yang melaksanakan Diinul Islam yang Kaffah barulah keluarga Sakinah dapat kita wujudkan?


Untuk dapat mewujudkan keluarga Sakinah diperlukan sebuah Tuntunan dan Pedoman yang baku dan jelas di dalam mewujudkannya. Tanpa adanya Tuntunan dan Pedoman yang baku, serta perjuangan antar sesama anggota keluarga, apakah itu orang tua, apakah anak dan keturunan, maka keluarga Sakinah akan sangat sulit diwujudkan. Adanya kondisi ini berarti untuk mewujudkan keluarga Sakinah di tengah keluarga kita serta Regenerasi Kekhalifahan di muka bumi, tidak hanya diri kita secara pribadi saja yang harus memeluk Diinul Islam secara Kaffah, atau tidak hanya diri kita saja yang melaksanakan Syahadat, atau yang mendirikan SHALAT. Akan tetapi Anak dan Keturunan dari diri kita, termasuk Istri atau Suami juga harus memeluk Diinul Islam secara Kaffah, atau melaksanakan Syahadat dan mendirikan SHALAT secara baik dan benar sesuai kehendak ALLAH SWT.


Selanjutnya jika hari ini kita telah mampu merasakan kenikmatan dari bertuhankan hanya kepada ALLAH SWT yang berasal dari pelaksanaan Diinul Islam yang Kaffah, dapatkah anak dan keturunan kita merasakan hal yang sama dengan yang kita rasakan saat ini? Sepanjang diri kita tidak pernah memperkenalkan, tidak pernah mengajarkan Diinul Islam secara Kaffah, atau sepanjang diri kita tidak pernah menjadikan SYAHADAT sebagai sebuah Komitmen dan Pengakuan kepada           ALLAH SWT dan kepada Nabi MUHAMMAD SAW, atau sepanjang diri kita tidak pernah mendidik dan  mengajarkan tentang SHALAT kepada anak dan keturunan kita maka hal-hal yang telah pernah kita rasakan tidak akan pernah dapat dirasakan oleh anak dan keturunan kita. Jika ini adalah keadaannya, berarti nikmat bertuhankan kepada ALLAH SWT, atau buah dari pelaksanaan Syahadat, atau buah dari mendirikan SHALAT tidak akan dapat diwariskan, tidak akan dapat dialihkan walaupun kepada anak dan keturunan kita sepanjang anak dan keturunan kita tidak mau menjadikan dirinya melakukan hal yang sama seperti yang kita lakukan. Sekarang apakah akan kita biarkan anak dan keturunan kita tidak mau mendirikan SHALAT saat mereka hidup di dunia?



Suruhlah anak-anakmu shalat bila berumur tujuh tahun dan gunakan pukulan jika mereka sudah berumur sepuluh tahun dan pisahlah tempat tidur mereka (putera-puteri).
(HR. Abu Dawud)



Adanya hadits yang kami kemukakan di atas, menunjukkan kepada diri kita bahwa kita adalah orang tua, kita adalah pembuat regenerasi kekhalifahan yang ada di bawah diri kita, sehingga kita memiliki kewajiban untuk selalu mengajarkan, untuk selalu mendidik anak dan keturunan kita sendiri untuk melaksanakan perintah mendirikan SHALAT yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT sejak mereka berumur tujuh tahun. Selanjutnya jika mengajarkan, mendidik anak dan keturunan untuk mendirikan SHALAT sudah ditetapkan oleh Nabi MUHAMMAD SAW selaku utusan ALLAH SWT di muka bumi, lalu sebagai KHALIFAH di muka bumi tentu kita harus melaksanakan hal ini dengan sebaik-baiknya, terkecuali jika kita mampu mempertanggungjawabkan keberadaan anak dan keturunan diri kita dihadapan ALLAH SWT kelak. Hal ini dikarenakan anak juga merupakan Amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan ALLAH SWT serta anak keturunan kita tidak serta merta dapat mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT dengan mengucapkan kata “bim salabim” kepada mereka maka mampulah mereka mendirikan SHALAT sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT.


Selain daripada itu, ada hal lainnya yang ingin kami kemukakan yang terkait dengan perintah mandi dan gosok gigi yang kami hubungkan dengan perintah mendirikan SHALAT, yaitu sewaktu diri kita masih kecil, kita selalu diperintahkan oleh orang tua untuk mandi dan gosok gigi. Adanya perintah dari orang tua maka kitapun melaksanakan mandi dan gosok gigi. Selanjutnya setelah mengetahui manfaat yang didapat dari melaksanakan mandi dan gosok maka kita merasa sangat membutuhkan mandi. Timbul pertanyaan yang mendasar, kenapa setelah diri kita menjadi orang tua juga memerintahkan kepada anak kita sendiri untuk melaksanakan mandi dan gosok gigi? Hal ini kita lakukan karena diri kita telah merasakan langsung manfaat dari aktivitas mandi dan gosok gigi, atau merasakan langsung akibat dari tidak melakukan mandi dan gosok gigi.


Adanya hal-hal positif dan juga hal yang negatif yang telah pernah kita rasakan dari aktivitas mandi dan gosok gigi maka dengan memerintahkan kepada anak sendiri untuk mandi dan gosok gigi maka kita berharap anak tidak mengalami hal-hal negatif yang pernah kita rasakan, atau anak hanya memperoleh hal-hal yang baik dari aktivitas mandi dan gosok gigi. Sekarang bagaimana dengan perintah mendirikan SHALAT yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT kepada diri kita dan juga kepada anak keturunan kita? Jika kita mengacu kepada betapa bermanfaatnya mandi dan gosok gigi kepada diri kita maka sudah seharusnya kita dapat merasakan pula manfaat dari melaksanakan perintah mendirikan SHALAT yang telah diperintahkan ALLAH SWT. Jika ini tidak terjadi berarti ada sesuatu yang salah dengan SHALAT yang kita dirikan. Akan tetapi jika manfaat dari mendirikan SHALAT telah pula kita rasakan seperti merasakan manfaat dari mandi dan gosok gigi maka jika sekarang kita memerintahkan anak untuk mendirikan SHALAT berarti kita berharap kepada anak keturunan mengalami dan merasakan manfaat dari mendirikan SHALAT, atau kita berharap anak keturunan kita tidak mengalami apa yang kita rasakan jika meninggalkan SHALAT.


Hamba ALLAH SWT, itulah salah satu harapan orang tua kepada anak yang kita perintahkan untuk mendirikan SHALAT. Akan tetapi apa yang kami kemukakan ini hanya bersifat harapan semata, jika kita sendiri tidak pernah mengajarkan, jika kita tidak pernah mendidik, jika kita tidak pernah memberi contoh kepada anak dan keturunan kita untuk mendirikan SHALAT sesuai dengan kehendak ALLAH SWT selaku pemberi perintah mendirikan SHALAT. Sebagai orang tua, sudahkah diri kita mengajarkan, mendidik, mencontohkan, menjadikan diri kita sendiri sebagai suri tauladan bagi anak keturunan kita sendiri untuk mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT? Jika kita sebagai orang tua tidak pernah mengajarkan, tidak pernah mendidik, tidak pernah memberi contoh kepada anak kita sendiri untuk mendirikan SHALAT, padahal kita memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk melakukan itu semua maka bersiap-siaplah mempertanggungjawabkan apa yang kita lakukan kepada anak dan keturunan kita sendiri dihadapan ALLAH SWT kelak.


Sekarang tolong perhatikan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim di bawah ini. Hadits ini dapat dikatakan sebagai bonus, atau pemberian ekstra ataupun bukti bakti dari anak yang shaleh/shalehah kepada orang tua, sehingga orang tua termasuk di dalamnya kakek, nenek dapat pula kita doakan kepada ALLAH SWT, agar mereka semua diampuni segala dosa dan kesalahannya, dilapangkan jalannya, atau dilapangkan kuburnya, diterima amal ibadahnya, oleh sebab doa dari anak dan keturunan yang shaleh atau shalehah.


Rasulullah SAW bersabda: “Bila seseorang telah meninggal, terputus untuknya pahala segala amal kecuali tiga hal yang tetap kekal: Shadaqah Jariah, Ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang senantiasa mendoakannya”.                                                                               (HR Bukhari-Muslim)


Sekarang darimana datangnya anak yang Shaleh dan Shalehah itu, atau apakah anak Shaleh dan Shalehah  datang dengan begitu saja dari langit untuk diri kita? Untuk mendapatkan, untuk memperoleh anak yang shaleh dan shalehah, bukanlah proyek “bim salabim”. Untuk itu kita diwajibkan untuk memprogram, untuk mengajarkan, untuk mendidik anak dan keturunan kita dengan menjadikan Diinul Islam sebagai satu-satunya Agama yang Haq serta menjalankannya secara Kaffah. Tanpa adanya keseriusan diri kita untuk menciptakan, untuk memprogram, anak Shaleh dan Shalehah maka keberadaan anak Shaleh dan Shalehah yang akan mendoakan diri kita kelak, hanyalah mimpi di siang bolong. Selanjutnya, sebagai bahan pemikiran dan sebagai pemacu bagi diri kita untuk menjadikan anak dan keturunan kita berada di dalam kesamaan Diinul Islam sebagai Agama yang Haq, berikut ini akan kami kemukakan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari,Muslim tentang paman dari Nabi MUHAMMAD SAW yang sampai akhir hayatnya belum menjadikan Diinul Islam sebagai Agama yang Haq.



Al-Abbas bin Abdulmuththalib ra. tanya kepada Nabi SAW: Apakah pertolonganmu (manfaatmu) bagi Abu Thalib yang telah memeliharamu dan membelamu, bahkan ia marah karenamu? Jawab Nabi SAW: Ia kini di atas permukaan neraka, dan andaikan tidak karenaku niscaya ia di tingkat terbawah dalam neraka.
(HR Bukhari,Muslim; Al Lulu Wal Marjan:125)


Abu Saied Alkhudri ra. mendengarkan Rasulullah SAW ketika disebut padanya ami Abu Thalib, maka sabda Nabi SAW: Semoga berguna baginya syafa'atku sehingga diletakkan di bagian atas dalam neraka sehingga api neraka hanya membakar sampai batas mata kakinya yang cukup untuk mendidihkan otaknya.
(HR Bukhari,Muslim; Al Lulu Wal Marjan:126)


Adanya perbedaan keyakinan antara Abu Thalib dengan Nabi MUHAMMAD SAW, mengakibatkan terjadinya jurang pemisah yang tidak dapat ditolerir oleh ALLAH SWT. Selanjutnya coba anda bayangkan Doa, Permohonan dari Nabi dan Rasul terakhir saja tidak mampu menghantarkan Abu Thalib secara langsung ke Syurga, sekarang bagaimana dengan diri kita yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Nabi MUHAMMAD SAW.


Jika ini adalah kondisi Nabi MUHAMMAD SAW kepada Pamannya sendiri, selanjutnya bagaimana dengan diri kita kepada kedua orang tua kita sendiri, atau bagaimana dengan anak keturunan kita dengan diri kita? Kita tidak akan pernah tahu, apakah akan di doakan oleh anak dan keturunan kita sendiri setelah kita meninggal dunia. Kita juga tidak memiliki jaminan sama sekali apakah akan didoakan oleh anak dan keturunan kita sendiri kelak setelah diri kita meninggal dunia. Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas ini maka kita harus menyadari betapa pentingnya pendidikan dan pengajaran Diinul Islam sebagai Agama yang Haq kepada anak dan keturunan kita sendiri. Tanpa ini, apa yang dapat kita lakukan kepada orang tua kita, atau apa yang dapat kita harapkan dari anak dan keturunan kita jika kita tidak pernah memberikan dan mengajarkan Diinul Islam sebagai Agama yang Haq yang berasal dari Fitrah ALLAH SWT. 




Tanpa adanya kesamaan, dalam hal ini adalah kesamaan dalam Diinul Islam sebagai Agama yang Fitrah, maka jangan pernah berharap ALLAH SWT memberikan Fasilitas Kemudahan ini. Dengan demikian kita sebagai KHALIFAH, atau kita sebagai orang tua wajib  mengajarkan kepada anak dan keturunan kita masing-masing tentang Diinul Islam, tentang Syahadat sebagai sebuah Komitmen dan Pengakuan kepada ALLAH SWT dan kepada Nabi MUHAMMAD SAW sebagai utusan ALLAH SWT, mengajarkan tentang SHALAT, mengajarkan tentang ZAKAT, mengajarkan tentang PUASA dan mengajarkan tentang HAJI sehingga baik diri kita maupun anak dan keturunan kita selalu berada dalam satu kesatuan yaitu di dalam Diinul Islam sebagai Agama yang Fitrah dari ALLAH SWT.


JASMANI vs RUHANI
Siapakah yang harus mendirikan SHALAT?


Setelah kita mengetahui dengan pasti bahwa yang harus mendirikan SHALAT adalah diri kita dan juga anak dan keturunan kita sendiri. Selanjutnya kami ingin mengajak pembaca buku ini untuk membahas lebih dalam lagi tentang siapakah yang harus mendirikan SHALAT itu, apakah Jasmani yang harus mendirikan SHALAT, ataukah Ruhani dengan segala komponen yang menyertainya yang harus mendirikan SHALAT? Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa jati diri manusia yang sesungguhnya adalah Ruhani. Hal ini dikarenakan Ruhani tidak akan pernah hancur oleh sebab apapun juga, atau Ruhani tidak akan mengalami kematian oleh sebab apapun juga serta Ruhani inilah yang akan mempertanggung jawabkan segala apa yang telah dikerjakan oleh manusia saat hidup di dunia serta Ruhani pulalah yang akan menikmati, atau merasakan azab kubur serta yang akan pulang ke Syurga atau ke Neraka. Ruhani yang tidak lain adalah bagian dari Nur-Nya ALLAH SWT tentu akan selalu berkomunikasi dengan ALLAH SWT.


Di lain sisi saat diri kita hidup di dunia, Ruhani tidak mungkin dapat dipisahkan dengan Jasmani karena saat bersatunya Ruhani dengan Jasmani itulah yang dikatakan dengan hidup. Di saat hidup  di dunia inilah terjadi apa yang dinamakan dengan pertarungan antara Jasmani yang di dukung oleh Syaitan untuk menjadikan kondisi kejiwaan manusia apakah menjadi Fujur atau Taqwa dengan Ruhani yang di dukung oleh Malaikat. Jika Jasmani mampu mengalahkan Ruhani maka terjadilah apa yang dinamakan dengan Jiwa Fujur sedangkan jika Ruhani mampu mengalahkan Jasmani maka terjadilah apa yang dinamakan dengan Jiwa Taqwa. Agar diri kita selalu berada di dalam Jiwa Taqwa, atau agar pengaruh buruk dari Jasmani yang didukung oleh Syaitan tidak mengotori kefitrahan diri kita maka yang harus mendirikan SHALAT adalah Ruhani dan Amanah 7, dengan ketentuan sebagai berikut :


1.      Hati Ruhani harus SHALAT, dikarenakan Hati Ruhani inilah yang dapat menjangkau kebesaran dan kemahaan ALLAH SWT serta tempat diletakkannya Iradat sehingga lahirlah apa yang dinamakan dengan Niat serta Hati Ruhani merupakan pusat dari Jati Diri Manusia yang sesungguhnya.
 
2.      Af’idah (perasaan) harus SHALAT, dikarenakan Af’idahlah yang akan merasakan langsung komunikasi dengan ALLAH SWT, atau Af’idahlah yang akan merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT.

3.      Ilmu juga harus SHALAT dikarenakan tanpa Ilmu yang baik tentang SHALAT bagaimana kita akan mengerti apa itu SHALAT, apa itu bacaan SHALAT serta melalui Ilmu inilah kita dapat mengontrol seluruh aktivitas SHALAT yang kita dirikan.

4.      Kalam harus SHALAT, dikarenakan Kalam merupakan juru bicara saat diri kita mendirikan SHALAT.

5.      Sami' dan Bashir harus SHALAT, dikarenakan melalui pendengaran dan penglihatan inilah akan dapat diketahui apa yang dibaca, apa yang diperdengarkan, oleh juru bicara saat  mendirikan SHALAT.

6.      Qudrat harus SHALAT, dikarenakan kekuatan yang berasal dari Qudratlah yang mampu menggerakkan Jasmani dan juga Ruhani.

7.      Hayat harus SHALAT, dikarenakan hayat merupakan komponen pengikat antara Jasmani dengan Ruhani sehingga manusia masih dikatakan sebagai manusia. 


Sekarang bagaimana dengan Jasmani pada saat Ruhani dengan segala komponennya mendirikan SHALAT? Posisi dari Jasmani saat Ruhani dan Amanah 7 mendirikan SHALAT (atau  saat diri kita  berkomunikasi dengan ALLAH SWT, atau saat diri kita menghadap ALLAH SWT) harus menjadi Makmum bagi Ruhani dan Amanah 7, atau Jasmani harus tunduk patuh mengikuti kehendak dari Ruhani dan Amanah 7 saat mendirikan SHALAT.


Selanjutnya timbul pertanyaan, apa dasarnya Ruhani dan Amanah 7 yang harus mendirikan SHALAT sedangkan Jasmani hanyalah Makmum bagi Ruhani dan Amanah 7? Jika kita mengambil pengertian dasar bahwa SHALAT itu adalah berkomunikasi langsung dengan ALLAH SWT dan juga SHALAT adalah Menghadap ALLAH SWT maka hanya komponen-komponen yang saling berkesesuaian sajalah yang dapat berkomunikasi dengan ALLAH SWT, atau hanya komponen yang memiliki kesamaan karakteristik sajalah yang bisa dihadapkan langsung kepada ALLAH SWT. Apa maksudnya? Di dalam kehidupan sehari-hari, air dengan minyak tidak bisa dicampur menjadi satu karena air dan minyak memiliki karakteristik yang berbeda, dalam hal berat jenisnya berbeda. Sehingga dengan adanya perbedaan ini keduanya tidak bisa menjadi satu atau tidak bisa saling sinergi satu dengan yang lainnya.


Adanya kondisi ini berarti hanya dzat yang memiliki karakterisik yang sama sajalah yang dapat saling bersinergi. Contohnya air dengan air, udara dengan udara, minyak dengan minyak. Sekarang bagaimana dengan SHALAT? Hal yang samapun terjadi pada saat diri kita mendirikan SHALAT, yaitu hanya Ruhani dan Amanah 7 yang dapat berkomunikasi dengan ALLAH SWT atau hanya Ruhani dan Amanah 7 sajalah yang dapat dihadapkan dengan ALLAH SWT. Apa dasarnya?


Wahab bin Munabbih berkata: Allah ta'ala berfirman : Sesungguhnya langit-langit dan bumi tidak berdaya menjangkau-Ku namun Aku telah dijangkau oleh Hati seorang mukmin.
(HQR Ahmad dari Wahab bin Munabbih, 272:32)


Hal ini dikarenakan Ruhani asalnya dari Nur ALLAH SWT melalui proses peniupan ke dalam Jasmani manusia sedangkan Amanah 7 adalah bagian dari sifat Ma'ani ALLAH SWT. Adanya kesamaan yang mendasar antara Ruhani dan Amanah 7 dengan ALLAH SWT (maksudnya adalah asalnya dari ALLAH SWT semata) maka saat diri kita mendirikan SHALAT terjadilah apa yang dinamakan dengan Sinergi antara Ruhani dan Amanah 7, atau antara diri kita yang sebenarnya dengan ALLAH SWT yang Maha Kuat. Selanjutnya apa yang sebenarnya terjadi saat bersinerginya Ruhani dan Amanah 7 dengan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan? Adanya proses sinergi antara Ruhani dan Amanah 7 dengan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT berarti telah terjadi apa yang dinamakan dengan :

a.      proses perbaikan Ruhani dan Amanah 7 akibat gangguan Ahwa dan Syaitan,  atau
b.  proses peningkatan kualitas Ruhani dan Amanah 7 akibat eksploitasi yang tidak sesuai dengan kehendak ALLAH SWT,  atau
c.       proses pemeliharaan Ruhani dan Amanah 7 akibat perbuatan dosa yang telah kita lakukan,  atau
d.    proses komunikasi antara diri kita yang lemah dengan yang Maha Hebat, dalam hal ini ALLAH SWT.


Adanya 4(empat) buah kondisi yang kami kemukakan di atas ini maka Ruhani dan Amanah 7 yang sebelumnya mendapat pengaruh negatif dari Ahwa dan juga Syaitan dapat kembali fitrah, dapat kembali normal sesuai dengan kehendak ALLAH SWT.


Sekarang bagaimana dengan Jasmani yang asalnya dari sari pati tanah? Jasmani yang asalnya dari tanah maka ia tidak bisa dipergunakan untuk berkomunikasi dengan ALLAH SWT, atau ia tidak bisa dipergunakan untuk menghadap ALLAH SWT, atau tidak bisa menerima kebesaran dan kemahaan ALLAH SWT karena adanya perbedaan karakteristik yang tidak akan mungkin dapat disamakan. Selanjutnya jika Jasmani tidak bisa dihadapkan kepada ALLAH SWT berarti Nilai-Nilai Keburukan yang di bawa oleh Jasmani akan tetap ada di dalam diri manusia. Dan jika Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Jasmani masih tetap ada berarti pintu masuk bagi Syaitan untuk mengganggu dan menggoda anak keturunan dari Nabi Adam as, akan tetap ada sampai dengan hari kiamat kelak. Selanjutnya jika Ruhani dan Amanah 7 yang harus mendirikan SHALAT dan Jasmani harus menjadi Makmum bagi kepentingan Ruhani dan Amanah 7 saat mendirikan SHALAT, lalu apakah yang seharusnya terjadi setelah diri kita mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah SHALAT? 




JIka SHALAT yang kita dirikan sesuai dengan yang dikehendaki oleh   ALLAH SWT maka proses sinergi antara Ruhani dan Amanah 7 dengan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT akan dapat mempengaruhi kesehatan Jasmani secara langsung maupun dapat mengurangi pengaruh dampak negatif dari Ahwa dan juga Syaitan yang berasal dari sifat-sifat alamiah Jasmani (Insan),atau melalui SHALAT dapat mengembalikan jiwa Fujur kepada jiwa Taqwa. Adanya kondisi ini maka sebagai KHALIFAH di muka bumi yang membutuhkan SHALAT dari waktu ke waktu, kita harus menyadari betul bahwa yang sebenarnya mendirikan SHALAT itu adalah bukanlah Jasmani melainkan Ruhani dan Amanah 7. Dan jika sampai diri kita tidak mampu melakukannya dengan baik dan benar maka pengertian dasar dari SHALAT yang telah kami kemukakan di bab 2, tidak akan pernah terjadi serta manfaat dari mendirikan SHALAT tidak akan pernah dapat kita rasakan melalui Af’idah.


Sebagai penutup bab ini, perkenankan kami mengemukakan hal-hal sebagai berikut sebagai penggugah bagi yang belum mau mendirikan SHALAT, atau bagi yang sudah mendirikan SHALAT tetapi belum sesuai dengan yang dikehendaki oleh ALLAH SWT selaku pemberi perintah mendirikan SHALAT, yaitu : Di dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari aktivitas, atau pekerjaan yang mengakibatkan tubuh manusia mengalami suatu keadaan yang tidak mengenakkan seperti timbulnya keringat, menempelnya debu, timbulnya kuman dan bakteri, timbulnya daki, timbulnya gatal-gatal, yang kesemuanya akan mengakibatkan terganggunya kesehatan kulit. Solusi dari ini semua hanya dapat di atasi dengan mandi yang baik dan benar. Selanjutnya hal yang samapun terjadi saat diri kita menjadi KHALIFAH di muka bumi, yaitu kita tidak bisa menghindar dari pertarungan antara sifat-sifat Jasmani yang mengandung Nilai-Nilai Keburukan (yang juga disebut dengan Ahwa) yang didukung oleh Syaitan untuk menaklukkan Ruhani yang mengandung Nilai-Nilai Kebaikan yang didukung oleh Malaikat. Jika Jasmani yang didukung Syaitan mampu menaklukkan Ruhani maka timbullah Jiwa Fujur dalam diri manusia. Sedangkan jika Ruhani mampu mengalahkan Jasmani maka timbullah Jiwa Taqwa di dalam diri manusia. Selanjutnya agar diri kita dapat tetap berada di dalam Jiwa Taqwa maka disinilah letak pentingnya kita mendirikan SHALAT seperti halnya diri kita melakukan mandi. Untuk itu jika saat ini kita belum juga mau mendirikan SHALAT saat hidup di muka bumi yang tidak pernah kita ciptakan berarti :

a.   kita berada di dalam Jiwa Fujur yang sesuai dengan kehendak Syaitan sang laknatullah, atau

b.  kita merasa mampu mengalahkan Ahwa dan Syaitan seorang diri tanpa bantuan dari ALLAH SWT dikarenakan kita merasa lebih jago dan lebih hebat dari pada ALLAH SWT, atau

c.   karena kita telah sanggup menahan panasnya api neraka yang panasnya 70 (tujuh puluh) kali panasnya api dunia, atau

d.  kita telah mampu mencari tuhan selain ALLAH SWT sehingga kita bisa terbebas dari kewajiban mematuhi ketentuan ALLAH SWT, atau

e.   bersiap-siaplah untuk diSHALATkan karena kita sudah tidak mampu lagi mendirikan SHALAT saat hidup di dunia.   


Akan tetapi, jika kita ingin berubah, maka lakukanlah Taubatan Nasuha saat ini juga lalu laksanakan Diinul Islam secara Kaffah,  karena kita tidak tahu kapan datangnya Malaikat Izrail kepada diri kita untuk melaksanakan tugasnya memisahkan antara Jasmani dengan Ruhani, terkecuali kita mampu mengalahkan Malaikat Izrail.