Hamba
ALLAH SWT yang selalu dirahmati-Nya
Buku ini merupakan Kaji Inyiak Rasul, atau Kaji dari H.Karim Amrullah, yang kami
peroleh dari guru kami yaitu H.Datuk Nurdin Hakami, anak dari Hasyim L
Husaini (di Sumatra Barat Hasyim L Husaini akrab disapa dengan panggilan Hasyim Tiku, beliau adalah murid dari H.Karim
Amrullah), sedangkan H. Karim Amrullah adalah murid dari Syekh Ahmad Khatib Al
Minangkabawi. Buku yang sedang anda baca juga kami tulis dan kami sajikan
dengan semangat untuk mengamalkan ajaran Diinul Islam yang berlaku, yaitu:
Rasulullah
SAW bersabda: “Wahai orang yang berilmu! Ketahuilah bahwa jika engkau tidak
mengamalkan ilmu yang engkau miliki, maka ia tidak akan membelamu kelak
dihadapan (pengadilan) Rabbmu”.
(HR Ad-Darimi)
Rasulullah
SAW bersabda: “Bila seseorang telah meninggal, terputus untuknya pahala segala
amal kecuali tiga hal yang tetap kekal: Shadaqah Jariah, Ilmu yang bermanfaat,
dan anak shaleh yang senantiasa mendoakannya
(HR Bukhari-Muslim)
“Tiap-tiap
sesuatu ada zakatnya (penyuciannya). Zakat harta ialah sedekah kepada fakir
miskin dan yang membutuhkan lainnya. Zakat kekuatan ialah membela kaum dhuafa
yang teraniaya. Zakat argumentasi dan kefasehan lidah ialah mengokohkan hujjah
dan dalil-dalil agama. Dan Zakat ilmu pengetahuan adalah dengan mengajarkan
ilmunya kepada orang lain”. (Alim
Ulama)
Buku yang
sedang anda baca merupakan salah satu jawaban atas tantangan ALLAH SWT yang
tertuang dalam perintah Iqra. Iqra secara harfiah artinya Baca, sekarang
dapatkah manusia melaksanakan perintah Iqra jika tidak ada sesuatu yang
tertulis terlebih dahulu atau tidak ada tanda-tanda khusus tertentu terlebih
dahulu? Untuk dapat melaksanakan
perintah Iqra tentu mutlak diperlukan adanya sebuah media tertentu untuk
melaksanakannya, sebab tanpa media ini aktivitas Iqra tidak dapat dilakukan
dengan baik oleh manusia. Ini
berarti untuk melaksanakan perintah Iqra mutlak harus ada sesuatu yang tertulis
terlebih dahulu atau harus ada tanda-tanda khusus tertentu terlebih dahulu, barulah
manusia termasuk diri kita bisa melaksanakan perintah Iqra dengan baik. Adanya
kondisi seperti ini berarti perintah Iqra bukanlah sekedar perintah
untuk Membaca semata, akan tetapi perintah Iqra dapat juga berarti perintah untuk Membaca dan juga Menulis serta
perintah untuk belajar atau mencari Ilmu tentang sesuatu secara konfrehensif.
Di lain
sisi, saat ini diri kita sudah diberikan oleh ALLAH SWT sebuah Buku Manual yang sangat HEBAT yaitu
Al-Qur'an. Dimana Al-Qur'an yang kita terima saat ini sudah dalam keadaan
Tertulis. Sekarang apakah Al-Qur'an yang sudah Tertulis itu cukup sekedar di
baca saja lalu kita dapat memperoleh
secara keseluruhan maksud dan tujuan dari Al-Qur'an yang di turunkan oleh ALLAH
SWT ke muka bumi? Al-Qur'an yang tidak lain adalah
Kalam ALLAH SWT yang telah dikalamkan,
Al-Qur'an sebagai Ilmu ALLAH SWT yang telah diilmukan, Al-Qur'an sebagai sarana
untuk memperkenalkan ALLAH SWT kepada makhluk-Nya, Al-Qur'an sebagai aturan dan juga
undang-undang yang berasal dari ALLAH SWT, tidak akan mungkin hanya dengan dibaca saja maka secara keseluruhan isi dan
makna yang terkandung di dalam Al-Qur'an dapat kita ketahui. Selanjutnya
jika kita hanya mampu meletakkan atau hanya mampu membaca Al-Qur'an sebatas apa
yang tertulis dalam huruf Arab semata, ini berarti kita hanya memperoleh pahala
membaca Al-Qur’an semata tanpa pernah tahu apa isi yang terkandung di dalam
Al-Qur’an sesuai dengan kehendak ALLAH SWT. Sekarang jika ini yang terjadi pada
diri kita saat menjawab tantangan Iqra yang berasal dari ALLAH SWT maka akan
tersimpanlah segala isi dan makna yang terkandung di dalam Al-Qur'an itu di
lemari buku atau di perpustakaan selama-lamanya dan kondisi ini sangat
dikehendaki oleh Syaitan sang laknatullah.
Selain
daripada itu, melalui buku-buku yang kami tulis, kami juga ingin memulai
setahap demi setahap untuk menjadikan buku sebagai jembatan untuk
menyeimbangkan Budaya Tutur yang sudah melanda sebahagian masyarakat dengan
Budaya Tulis yang telah mulai hilang di tengah masyarakat (maksudnya orang
lebih senang berbicara atau ngomong dibandingkan dengan menulis) Ingat, Budaya
Tutur akan hilang setelah Penuturnya tiada, akan tetapi jika Budaya Tulis yang
terjadi, walaupun penulisnya telah tiada, tulisannya akan tetap ada sepanjang
jaman, sehingga dapat dipelajari oleh generasi yang datang dikemudian hari. Sekarang apa jadinya jika sampai Bukhari dan Muslim atau
perawi Hadits lainya, tidak menulis tentang Hadits-Hadits yang
dikumpulkannya?Tentu kita tidak akan pernah Tahu apa yang dinamakan dengan
Hadits yang perawinya Bukhari dan Muslim sampai dengan hari kiamat kelak.
Adanya kondisi seperti ini, berarti Umur dari Bukhari dan Muslim akan tetap ada
sampai dengan hari kiamat, walaupun usia beliau sudah tidak ada lagi.
Yang
menjadi persoalan sekarang adalah maukah kita berumur panjang seperti umur
Bukhari dan Muslim? Jika anda mau berumur panjang seperti halnya Bukhari dan
Muslim menulislah atau lakukanlah perbuatan baik dengan melakukan suatu karya
besar yang dapat dinikmati masyarakat luas atau amalkanlah ilmu yang bermanfaat
melalui Tulisan atau jadikan Budaya Tulis menjadi kebiasaan di tengah
masyarakat. Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas ini, mendorong kami
untuk terus berkarya melalui tulisan-tulisan yang berkenaan dengan Aqidah Islam
sehingga masyarakat akan selalu memiliki buku-buku pembanding atas
buku-buku yang telah terbit terlebih dahulu, yang pada akhirnya akan menjadikan
masyarakat menjadi dinamis dengan perkembangan ilmu maupun perubahan jaman.
Sebagai KHALIFAH yang saat ini sedang melaksanakan tugas di muka bumi,
tentunya saat ini diri kita tidak bisa
terlepas dari gangguan Ahwa yang tidak sesuai dengan Nilai-Nilai Ilahiah maupun
gangguan Syaitan, termasuk di dalamnya Syaitan yang telah berubah wujud menjadi
manusia atau manusia yang telah berubah wujud menjadi Syaitan. Sedangkan
di lain sisi kita harus mampu dapat menjaga kefitrahan diri sesuai dengan
kehendak ALLAH SWT dari waktu ke waktu. Timbul pertanyaan, melalui cara apakah
agar kita bisa selamat dari gangguan Ahwa dan Syaitan tanpa mengakibatkan
kefitrahan diri rusak atau dapatkah kita mengalahkan Ahwa dan juga Syaitan
sedangkan diri kita tetap fitrah dari waktu ke waktu? ALLAH SWT selaku
inisiator, ALLAH SWT selaku pencipta dan pemilik kekhalifahan di muka bumi sudah
mempersiapkan apa yang dinamakan dengan Diinul Islam.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168],
(surat Ar Ruum (30) ayat 30)
[1168] Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah.
manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau
ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak
beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
Selanjutnya
apakah itu Diinul Islam? Berdasarkan surat Ar Ruum (30) ayat 30 yang kami
kemukakan di atas, Diinul Islam adalah konsep Ilahiah
yang berasal dari fitrah ALLAH SWT yang khusus diciptakan oleh ALLAH SWT untuk
kepentingan kekhalifahan di muka bumi yang ingin selalu berada di dalam fitrah
ALLAH SWT, atau yang akan memudahkan dan mensukseskan manusia menjadi KHALIFAH
di muka bumi yang sesuai dengan fitrah ALLAH SWT, atau yang dapat menjadikan
diri kita bahagia dunia dan di akhirat kelak. Lalu
seperti apakah Diinul Islam itu? Diinul Islam terdiri dari 3(tiga) ketentuan
pokok yaitu ketentuan tentang Rukun Iman, ketentuan tentang Rukun Islam dan
ketentuan tentang Ikhsan, dimana
ketiganya tidak dapat dipisahkan oleh sebab apapun juga. Apa maksudnya?
Contohnya kita tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan Rukun Iman saja dengan
mengabaikan ketentuan Rukun Islam dan Ikhsan. Demikian pula sebaliknya kita
tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan Rukun Islam saja dengan mengabaikan
ketentuan Rukun Iman dan Ikhsan atau kita tidak bisa melaksanakan ketentuan
Ikhsan saja dengan mengabaikan ketentuan Rukun Iman dan Rukun Islam. Adanya
kondisi ini maka kita harus melaksanakan ketiganya (maksudnya melaksanakan
Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan) dalam satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan oleh sebab apapun juga.
Sekarang bagaimana dengan ketentuan mendirikan SHALAT? Ketentuan
mendirikan SHALAT juga tidak bisa dipisahkan dengan ketentuan Rukun Islam yang
lainnya seperti Syahadat, Puasa, Zakat, Haji serta ketentuan Rukun Iman dan
ketentuan Ikhsan. Adanya kondisi ini berarti :
a. kita tidak
bisa hanya mendirikan SHALAT saja dengan mengabaikan ketentuan Diinul Islam
yang lainnya, atau
b. kita tidak
bisa hanya melaksanakan ketentuan tentang Syahadat saja dengan mengabaikan
ketentuan Diinul Islam yang lainnya, atau
c. kita tidak
bisa hanya melaksanakan ketentuan Zakat saja dengan mengabaikan ketentuan
Diinul Islam yang lainnya, atau
d. kita tidak
bisa hanya melaksanakan ketentuan Puasa saja dengan mengabaikan ketentuan
Diinul Islam yang lainnya, atau
e. kita tidak
bisa hanya melaksanakan ketentuan Haji saja dengan mengabaikan ketentuan Diinul
Islam yang lainnya, atau
f. kita tidak
bisa hanya melaksanakan Rukun Iman saja dengan mengabaikan ketentuan Diinul
Islam yang lainnya, atau
g. kita tidak
bisa hanya melaksanakan Ikhsan saja dengan mengabaikan ketentuan Rukun Iman dan
Rukun Islam.
Hal ini dikarenakan, pengertian dasar dari Rukun itu sendiri adalah
ketentuan dasar yang harus dilaksanakan dalam satu kesatuan yang tidak
terpisahkan oleh sebab apapun juga. Adanya kondisi dasar yang seperti ini maka
kita harus mampu melaksanakan Diinul Islam secara satu kesatuan yang tidak
terpisahkan (maksudnya adalah melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah) jika
kita ingin selalu sesuai dengan kehendak ALLAH SWT, atau sesuai dengan fitrah
ALLAH SWT dari waktu ke waktu.
Sekarang
seperti apakah pola kerja, atau mekanisme Kerja pelaksanaan Rukun Iman, Rukun
Islam dan Ikhsan itu dalam kehidupan sehari-hari? Berikut ini akan kami kemukakan mekanisme kerja pelaksanaan Rukun Iman,
Rukun Islam dan Ikhsan dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yang kiranya
dapat kita jadikan patokan awal saat diri kita
melaksanakaan Diinul Islam secara Kaffah, yaitu:
1.
Ketentuan
Rukun Iman.
Melalui Rukun Iman yang terdiri
dari 6(enam) ketentuan pokok, ALLAH SWT berkehendak kepada diri
kita untuk mengenal, untuk mengetahui, untuk mengimani, serta untuk meyakini
seluruh ketentuan Rukun IMAN yang terdiri: Iman kepada ALLAH; Iman kepada para
Rasul, Iman kepada Kitab-Kitab ALLAH SWT, Iman kepada Malaikat; Iman kepada
Hari Kiamat; Iman kepada Qadha, Qadar dan Taqdir. Sehingga
hasil akhir dari pelaksanaan dari Rukun Iman ini harus dapat menghantarkan diri
kita mampu menempatkan dan meletakkan ketentuan Rukun Iman dalam satu kesatuan
yang tidak terpisahkan. Selanjutnya hal yang paling mendasar dari pelaksanaan
Rukun Iman adalah Iman kepada ALLAH SWT. Hal ini dikarenakan kedudukan ALLAH
SWT sangat sentral dan sangat sakral, dan juga dikarenakan tanpa Iman kepada
ALLAH SWT maka Iman yang lainnya menjadi batal. Selain daripada itu melalui
Iman kepada ALLAH yang kita lakukan harus dapat menghantarkan diri kita
merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT.
2.
Ketentuan
Rukun Islam
Melalui
Rukun Islam yang terdiri dari 5(lima) ketentuan pokok, ALLAH SWT berkehendak
kepada diri kita untuk berinteraksi, untuk merasakan secara langsung dengan
apa-apa yang telah kita imani, apakah itu Iman kepada ALLAH SWT, apakah itu
iman kepada Rasul, apakah itu iman kepada Kitab, apakah itu iman kepada
Malaikat, apakah itu Iman kepada Hari Akhirat, apakah itu iman kepada Qadha,
Qadar dan Taqdir melalui SYAHADAT yang kita laksanakan, melalui SHALAT yang
kita dirikan, melalui PUASA, melalui ZAKAT yang kita tunaikan dan melalui HAJI
yang kita laksanakan, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. melalui pelaksanaan SYAHADAT kita
diperintahkan oleh ALLAH SWT untuk mempersaksikan Kemahaan dan Kebesaran ALLAH
SWT secara langsung melalui ciptaan-Nya, melalui diri manusia, melalui alam, melalui
tumbuhan, melalui binatang, melalui udara, melalui air dan lain sebagainya. Sehingga
berdasarkan itu semua kita akan mampu mempersaksikan bahwa tidak ada Tuhan
selain ALLAH SWT yang mampu memperlihatkan, yang mampu mempertunjukkan segala kebesaran
dan kemahaan yang dimiliki-Nya dengan sejelas-jelasnya, dengan
segamblang-gamblangnya, bahwa tiada Tuhan selain ALLAH SWT yang sanggup
mengadakan ini semua.
Selanjutnya
agar manusia tidak salah langkah, atau agar manusia tidak salah di dalam
melaksanakan Diinul Islam maka ALLAH SWT perlu mengutus manusia pilihan-Nya
yaitu Nabi MUHAMMAD SAW sebagai utusan ALLAH SWT, yang tidak lain harus kita
jadikan suri teladan bagi manusia sewaktu menjalankan tugas sebagai KHALIFAH di
muka bumi. Berikutnya, ada hal lain yang harus kita perhatikan yaitu kita tidak
akan dapat merasakan, atau memperoleh apa-apa yang terdapat di balik maksud dan
tujuan perintah SHALAT, perintah PUASA, perintah ZAKAT dan perintah HAJI, jika
kita tidak pernah melaksanakan SYAHADAT. SYAHADAT di dalam Rukun Islam memegang
peranan sangat penting dikarenakan SYAHADAT merupakan pintu gerbang, atau
syarat utama untuk menjadikan Agama Islam sebagai Agama yang Haq, atau
prasyarat untuk merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT, atau kunci
pembuka bagi kesuksesan hidup dan kehidupan yang kita jalani saat ini.
b.
melalui SHALAT, manusia
diperintahkan oleh ALLAH SWT untuk merasakan sendiri-sendiri secara langsung
rasa dari kenikmatan bertuhankan kepada ALLAH SWT, atau merasakan langsung hasil
dari komunikasi antara diri kita dengan ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita
dirikan. Hal ini dimungkinkan sebab melalui SHALAT yang Khusyu' maka manusia
dapat berdialog dan berbisik langsung dengan ALLAH SWT, manusia dapat meminta
pertolongan, manusia dapat meminta petunjuk, manusia dapat meminta ampunan, manusia
dapat mensucikan diri, agar manusia hidup subur dan makmur, dan lain sebagainya
serta melalui SHALAT pula ALLAH SWT hendak menyempurnakan segala nikmat-nikmat
yang telah ALLAH SWT berikan. Sekarang apa-apa yang terdapat di balik perintah mendirikan
SHALAT tidak akan dapat kita peroleh sebelum diri kita melaksanakan SYAHADAT, apalagi
jika kita sendiri tidak mau mendirikan SHALAT.
c.
melalui PUASA, manusia
diperintahkan oleh ALLAH SWT untuk mengembalikan Kefitrahan diri yang telah
tercemar akibat pengaruh Ahwa dan Syaitan selama kurun waktu 11 (sebelas)
bulan. Hal ini dikarenakan yang berpuasa adalah Jasmani sedangkan Ruhani pada bulan puasa, atau Ruhani
saat berpuasa jangan pernah dipuasakan sedetikpun. Selanjutnya dengan
dipuasakannya Jasmani selama kurun waktu tertentu maka kesehatan Jasmani dapat
terjaga karena di-istirahatkan serta dengan dikuranginya makan kepada Jasmani diharapkan
pengaruh Ahwa, atau Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Jasmani dapat
berkurang dan juga pengaruh Syaitan kepada Ruhani dapat berkurang. Dilain sisi,
Ruhani selama PUASA diberi kesempatan oleh ALLAH SWT untuk diberi makan
seluas-luasnya tanpa batasan melalui ibadah SUNNAH yang ditingkatkan oleh ALLAH
SWT menjadi WAJIB, sedangkan ibadah WAJIB dilipat gandakan pahalanya.
d.
melalui ZAKAT, manusia
diperintahkan oleh ALLAH SWT untuk membersihkan segala hasil usaha yang telah
kita kerjakan selama kurun waktu setahun dengan mengeluarkan Hak ALLAH SWT atas segala hasil usaha yang kita
lakukan di muka bumi yang tidak pernah kita miliki. Hal yang harus kita ingat
adalah diri kita tidak memiliki apapun di muka bumi ini, karena ALLAH SWT lah
yang memberikan modal berupa Jasmani, berupa Ruhani, berupa Amanah 7, berupa Hubbul,
berupa Hati Ruhani tempat diletakkanya Akal
dan Perasaan. Selanjutnya dengan adanya ZAKAT yang ditunaikan maka akan
terciptalah keseimbangan antara orang yang berpunya (Muzakki) dengan orang yang
tidak berpunya, atau orang yang berhak menerima Zakat (Mustahik).
e. melalui ibadah HAJI, kita diundang
oleh ALLAH SWT untuk datang ke Rumah ALLAH SWT (Baitullah) sebagai Tamu, sedangkan ALLAH SWT sebagai Tuan Rumah, atau kita
diberi kesempatan untuk menghadiri Open House yang diadakan oleh ALLAH SWT di
Padang Arafah, minimal sekali seumur hidup. Hal yang harus kita perhatikan sewaktu
melaksanakan ibadah HAJI adalah jadilah Tamu yang dapat menyenangkan Tuan Rumah
dengan selalu mematuhi segala syarat Protokoler yang telah ditetapkan oleh Tuan
Rumah berupa RUKUN Haji, WAJIB Haji ataupun SUNNAH Haji.
3.
Ketentuan
Ikhsan
Ikhsan dapat dikatakan Buah, atau Hasil dari
pelaksanaan Rukun Iman dan Rukun Islam yang telah kita laksanakan yang akan
tercermin dari seberapa tinggi Perbuatan Baik,
atau Kebaikan yang telah kita lakukan selama menjalankan tugas sebagai
KHALIFAH di muka bumi. Semakin baik dan tinggi kualitas Rukun Iman dan Rukun
Islam yang kita laksanakan maka semakin tinggi pula tingkat kualitas IKHSAN
yang telah kita laksanakan, atau yang tercermin di dalam diri kita, demikian
pula sebaliknya.
Hamba
ALLAH SWT, itulah mekanisme kerja dari Diinul Islam yang diciptakan oleh ALLAH
SWT untuk kepentingan manusia, termasuk untuk kepentingan diri kita saat
menjadi KHALIFAH di muka bumi. Timbul pertanyaan, siapakah yang paling
membutuhkan Diinul Islam, apakah ALLAH SWT ataukah diri kita? ALLAH SWT dapat dipastikan tidak akan
pernah membutuhkan Diinul Islam karena ALLAH SWT sudah Maha dan akan Maha
selamanya. Adanya kondisi ini maka yang membutuhkan Diinul Islam adalah
Manusia, termasuk di dalamnya diri kita, anak dan keturunan kita. Jika ini
kondisinya berarti tinggi rendahnya kualitas Diinul Islam yang kita lakukan
tergantung tinggi rendahnya manusia melaksanakan Diinul Islam itu sendiri.
Semakin tinggi kualitas pelaksanaan Diinul Islam yang kita laksanakan maka
semakin tinggi pula kesemapatn untuk merasakan nikmat dari bertuhankan kepada AL LAH SWT, demikian pula
sebaliknya.
Selanjutnya,
sebagai KHALIFAH di muka bumi tahukah anda, mengertikah anda, pahamkah
anda bahwa SHALAT adalah satu-satunya ibadah yang paling HEBAT dibandingkan
dengan ibadah-ibadah lainnya. Timbul pertanyaan, kenapa SHALAT
dikatakan HEBAT atau atas dasar apakah SHALAT dikatakan ibadah yang HEBAT?
Berikut ini akan kami kemukakan alasannya, yaitu Berdasarkan surat
Al Israa' (17) ayat 1 dan Hadits Isra' Mi'raj yang kami kemukakan di
bawah ini, perintah mendirikan SHALAT adalah satu-satunya perintah yang
langsung disampaikan oleh ALLAH SWT kepada Nabi MUHAMMAD SAW tanpa melalui
perantaraan siapapun juga yang di lakukan di tempat dan kedudukan ALLAH SWT.
Apa buktinya? Buktinya AL LAH
SWT mengundang langsung Nabi MUHAMMAD SAW untuk datang ke ARSY untuk menerima
perintah mendirikan SHALAT dari ALLAH SWT melalui peristiwa Isra' Mi'raj yang
dialami oleh Nabi MUHAMMAD SAW. Adanya kondisi ini berarti perintah
mendirikan SHALAT kepada seluruh manusia, termasuk perintah kepada diri kita,
bukanlah perintah yang bersifat
main-main, atau suatu perintah yang bersifat asal-asalan, melainkan perintah
yang bersifat Sakral lagi Hebat kepada
seluruh umat manusia.
Sekarang, coba anda bayangkan, Inisiator, Pencipta dan Pemilik dari alam
semesta ini termasuk di dalamnya diri kita, memerintahkan secara langsung tanpa
perantaraan siapapun juga di tempat dan kedudukan-Nya sendiri kepada Nabi
MUHAMMAD SAW untuk mendirikan SHALAT, apakah hal ini tidak memiliki makna yang
sangat mendalam bagi umat manusia?
Maha suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil
Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya[847] agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
(surat Al Israa' (17) ayat 1)
[847]
Maksudnya: Al Masjidil Aqsha dan daerah-daerah sekitarnya dapat berkat dari
Allah dengan diturunkan nabi-nabi di negeri itu dan kesuburan tanahnya.
Jika kita termasuk orang yang telah Tahu Diri,
tentunya kita harus memahami bahwa perintah mendirikan SHALAT bukanlah suatu
perintah untuk kepentingan bagi pemberi perintah, dikarenakan ALLAH SWT selaku pemberi perintah sudah Maha
dan akan Maha selamanya sehingga ALLAH SWT tidak akan membutuhkan apapun dari
yang diperintahkannya itu. Jika sekarang ALLAH SWT tidak
membutuhkan apapun juga dari yang diperintahkannya, lalu untuk kepentingan
siapakah perintah mendirikan SHALAT itu? AL LAH SWT memerintahkan mendirikan SHALAT
untuk kepentingan manusia selaku yang diperintahkan oleh ALLAH SWT. Jika ini adalah kondisinya berarti
segala manfaat yang terdapat di balik perintah mendirikan SHALAT, baik langsung
ataupun tidak langsung, untuk kepentingan manusia yang mendirikan SHALAT.
Sedangkan bagi yang tidak mau mendirikan SHALAT maka ia tidak akan pernah
merasakan sedikitpun manfaat, atau hikmah yang terdapat dibalik perintah SHALAT.
dan dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu
kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat
apa-apa yang kamu kerjakan.
(surat
Al Baqarah (2) ayat 110)
Selanjutnya mari kita bandingkan perintah
mendirikan SHALAT dibandingkan dengan perintah melaksanakan Syahadat, perintah
menunaikan Zakat, perintah melaksanakan Puasa, perintah melaksanakan Haji.
Perintah melaksanakan Syahadat, Puasa, Zakat dan Haji merupakan perintah AL LAH SWT yang bersifat
tidak langsung. Hal ini dikarenakan perintah itu disampaikan melalui Malaikat
Jibril as, kepada Nabi MUHAMMAD SAW, atau perintah yang berasal dari Wahyu.
Jika hal ini kami jadikan dasar untuk menilai tingginya derajat perintah
SHALAT, maka tidak berlebihan jika perintah mendirikan SHALAT adalah perintah
yang Sakral lagi Hebat untuk kepentingan manusia yang akan di jadikan AL LAH SWT sebagai
KHALIFAH di muka bumi.
Malik
bin Sha’sha’ah r.a. berkata: Nabi SAW
bersabda: Ketika aku di dekat Ka’bah di antara tidur dan jaga, tiba-tiba aku
mendengar suara salah seorang, yaitu yang di antara dua orang , lalu disediakan
mangkok emas yang berisi hikmat dan iman, lalu dibelah dari bawah tenggorokan
hingga perutku, kemudian dibasuh dadaku dengan air zamzam, lalu dipenuhi dengan
hikmat dan iman, lalu didatangkan untukku binatang yang putih lebih besar dari
himar dan di bawah keledai (baghel) bernama buraq, lalu berangkat bersama
Jibril hingga sampai langit dunia, dan ketika ditanya: Siapakah itu? Jawabnya:
Jibril. Ditanya: Bersama siapa? Jawabnya: Muhammad. Ditanya: Apakah dipanggil?
Jawabnya: Ya. Maka disambut selamat datang, maka aku bertemu dengan Adam a.s.
dan memberi salam, dan menyambutku dengan Selamat datang putraku dan nabi.
Kemudian kita naik ke langit kedua, dan ditanya: Siapakah itu? Jawabnya:
Jibril. Ditanya: Siapa yang bersamamu? Jawabnya: Muhammad. Ditanya: Apakah
dipanggil? Jawabnya: Ya. Lalu disambut: Selamat datang, di sana kami bertemu dengan Isa dan Yahya a.s.
keduanya menyambut: Selamat datang saudara sebagai nabi. Kemudian kami naik ke
langit ketiga, lalu ditanya: Siapakah itu? Jawab: Jibril. Ditanya: Dan siapa
yang bersamamu? Jawabnya: Muhammad. Ditanya: Apakah dipanggil? Jawabnya: Ya.
Maka disambut dengan selamat datang, dan disitu bertemu dengan Yusuf a.s. dan setelah memberi salam padanya ia
menyambut: Selamat datang saudara sebagai nabi. Kemudian kami naik ke langit
keempat, dan ditanya: Siapakah itu? Jawab: Jibril. Ditanya: Apakah dipanggil?
Jawabnya: Ya. Maka disambut dengan selamat datang, dan disitu bertemu dengan
Idris a.s. Sesudah saya beri salam, ia menyambut: Selamat datang saudara
sebagai nabi. Kemudian kami naik ke langit kelima, dan ditanya: Siapakah itu?
Jawabnya: Jibril. Dan ditanya: Siapakah yang bersamamu? Jawabnya: Muhammad.
Ditanya pula: Apakah dipanggil? Jawabnya: Ya. Maka disambut: Selamat datang.
Disitu kami bertemu dengan Harun a.s. maka aku memberi salam, dan ia menyambut:
Selamat datang saudara sebagai nabi. Kemudian kami naik ke langit keenam, juga
ditanya: Siapakah itu? Jawab: Jibril. Lalu ditanya: Dan siapa yang bersamamu?
Dijawab: Muhammad. Ditanya: Apakah dipanggil? Jawabnya: Ya. Maka disambut:
Selamat datang, dan disitu bertemu dengan Musa a.s. setelah aku memberi salam,
ia menyambut dengan ucapan: Selamat datang saudara sebagai nabi. Dan ketika
kami meninggalkannya ia menangis, dan ketika ditanya: Mengapakah ia menangis?
Jawabnya: Ya Rabbi itu pemuda yang Tuhan utus sesudahku akan masuk sorga dari
ummatnya lebih banyak dari ummatku. Kemudian kami naik ke langit ketujuh, maka
ditanya: Siapakah itu? Jawab: Jibril, Ditanya: Siapa yang bersamamu? Jawabnya:
Muhammad. Ditanya: Apakah ia dipanggil? Jawabnya: Ya. Maka disambut: Selamat datang,
dan disitu kami bertemu dengan Nabi Ibrahim a.s .Sesudah aku memberi salam,
maka ia sambut dengan: Selamat datang putraku sebagai nabi. Kemudian tampak
padaku albaitul ma’mur, maka aku tanya kepada Jibril. Jawabnya: Ini baitul
ma’mur tiap hari dimasuki oleh tujuh puluh ribu Malaikat untuk sembahyang, jika
telah keluar tidak akan masuk lagi untuk selamanya. Kemudian diperlihatkan
kepadaku Sidratul Muntaha, mendadak buahnya bagaikan gentong (tempat air)
Hajar, sedang daunnya bagaikan telinga gajah dan dibawahnya menyumber empat
sungai, dua kedalam dan dua keluar. Aku bertanya kepada Jibril. Jawabnya: Yang
dalam itu di sorga, sedang yang keluar itu yaitu sungai Nil dan Furat. Kemudian
diwajibkan atasku lima
puluh kali sembahyang. Lalu aku turun bertemu Musa, lalu ia bertanya: Apakah
yang anda dapat? Jawabku: Diwajibkan atasku lima puluh kali sembahyang. Musa berkata: Aku
lebih berpengalaman dari padamu, aku telah bersusah payah melatih Bani Israil,
dan ummatmu tidak akan kuat, karena itu kembali minta keringanan, dan
diringankan sepuluh sehingga tinggal empat puluh, kemudian dikurangi lagi
sepuluh sehingga tinggal tiga puluh, kemudian diringankan lagi sepuluh sehingga
tinggal dua puluh, kemudian diringankan lagi sepuluh sehingga tinggal sepuluh,
dan aku kembali kepada Musa dan ia tetap menganjurkan supaya minta keringanan,
maka aku minta keringanan, dan dijadikannya lima kali. Maka aku bertemu Musa
dan menyatakan bahwa kini tinggal lima, maka ia tetap menganjurkan supaya minta
keringanan, tetapi saya jawab: Aku telah menerima dengan baik. Maka terdengar
seruan: Aku telah menetapkan kewajibanKu, dan meringankan pada hamba-hambaKu,
dan akan membalas tiap hasanat dengan sepuluh lipat gandanya.
(HR Bukhari, Muslim,Al Lulu Wal Marjan: 103)
Alasan
yang ke dua kenapa SHALAT dikatakan Ibadah yang sangat Sakral lagi Hebat bagi
kepentingan manusia? Hal ini dikarenakan ibadah mendirikan
SHALAT adalah ibadah yang pertama kali akan dihisab, ibadah yang pertama kali
akan dinilai, ibadah yang pertama kali akan diperhitungkan oleh ALLAH SWT saat hari kiamat kelak
dibandingkan dengan ibadah yang lainnya. Sekarang bayangkan, ALLAH
SWT memberikan penilaian yang pertama untuk SHALAT yang kita dirikan sedangkan
kitapun sudah melaksanakan perintah-perintah ALLAH SWT yang lainnya. Timbul
pertanyaan, atas dasar apakah hal ini dilakukan oleh AL LAH SWT?
Dari Huraits bin Qabishah, ia berkata : Saya sampai di
Madinah. Ia berkata : "Wahai Allah mudahkanlah bagiku (mendapat) teman
duduk yang baik. Lalu saya duduk kepada Abu Hurairah ra. Ia berkata : Saya
berkata : "Saya berdo'a kepada Tuhan (Allah) Yang Maha Mulia dan Maha
Besar -untuk memudahkan bagiku teman duduk yang baik, maka sampaikanlah
kepadaKu hadits yang kamu dengar dari Rasulullah saw.- Semoga Allah memberi
manfaat kepadaku dengan itu". Ia berkata : Saya mendengar Rasulullah saw.
bersabda : "Sesungguhnya sesuatu yang paling dulu dihisab pada hamba
adalah shalatnya. Jika shalat itu baik maka ia telah menang dan sukses. Jika
shalatnya rusak maka ia telah merugi". Hammam berkata : Saya tidak tahu,
ini dari perkataan Qatadah atau riwavat. Jika dari fardhunya ada
kekurangan-kekurangan, Allah berfirman : "Lihatlah, apakah hambaKu
mempunyai shalat sunnat, maka fardhu yang kurang itu dapat disempurnakan.
Kemudian demikian itu caranya dalam menghisab seluruh amalnya".
(Hadits ditakhrij oleh An Nasa'i).
Hal ini
dikarenakan perintah mendirikan SHALAT adalah satu-satunya perintah langsung
dari AL LAH
SWT sehingga atas dasar inilah maka ALLAH SWT mendahulukan penilaian atas
SHALAT yang kita dirikan saat hidup di dunia (ingat perintah lainnya yang
diperintahkan oleh ALLAH SWT kepada manusia adalah perintah berdasarkan Wahyu).
Selanjutnya SHALAT juga dikatakan sebagai ibadah yang Sakral lagi Hebat
dikarenakan SHALAT tidak boleh sekalipun di
tinggalkan oleh sebab apapun juga. Jika kita tidak mampu melaksanakannya secara
berdiri, maka SHALAT dapat dilaksanakan dengan cara duduk, jika cara duduk
tidak bisa dilakukan maka SHALAT dapat dilaksanakan secara tiduran, jika
tiduran tidak bisa dilaksanakan maka SHALATlah dengan bahasa Isyarat dan jika
dengan bahasa atau melalui cara Isyarat tidak bisa maka tibalah waktunya untuk
di shalatkan.
Adanya kondisi ini berarti perintah mendirikan
SHALAT merupakan perintah yang tidak bisa ditawar-tawar, apalagi dibantah.
Selain daripada itu SHALAT dikatakan ibadah yang sangat HEBAT lagi SAKRAL
dikarenakan SHALAT dijadikan sebagai tiang AGAMA
(tiang Diinul Islam). SHALAT sebagai tiang AGAMA maka buah dari
SHALAT yang kita dirikan harus dapat menjadi cerminan dari Diinul Islam itu
sendiri, atau setiap pribadi-pribadi yang
mendirikan SHALAT wajib mencerminan perbuatan dan perilaku sebagai makhluk yang
terhormat, atau wajib menjadi Teladan bagi masyarakat luas setelah mendirikan
SHALAT. Ada nya
kondisi tentang SHALAT yang begitu Sakral lagi Hebat menandakan bahwa perintah mendirikan SHALAT kepada umat manusia bukanlah perintah yang
bersifat main-main, atau perintah yang asal-asalan. Akan tetapi sebuah perintah
yang sangat MULIA yang berasal dari ALLAH SWT bagi kepentingan umat manusia itu
sendiri saat menjadi KHALIFAH di muka, atau saat menghadapi Ahwa dan juga
Syaitan.
Shalluu kamaa ra
aitumuunii ushalli
Shalatlah
sebagaimana kalian melihatku Shalat.
(HR Bukhari dari
Malik)
Sekarang
SHALAT yang seperti apakah yang paling dikehendaki AL LAH SWT? SHALAT yang harus kita
lakukan adalah SHALAT yang dicontohkan oleh utusan ALLAH SWT, dalam hal ini
adalah Nabi MUHAMMAD SAW. Adanya kondisi ini berarti kita
tidak boleh sembarangan, atau asal-asalan saat mendirikan SHALAT. Timbul
pertanyaan, bolehkah diri kita mendirikan SHALAT tetapi tata cara SHALATnya
bukan yang dicontohkan oleh Nabi MUHAMMAD SAW? Jika sampai diri kita
mendirikan SHALAT tetapi tata caranya tidak sesuai dengan yang dicontohkan oleh
Nabi MUHAMMAD SAW maka SHALAT yang kita dirikan
tidak sesuai lagi dengan apa yang dikehendaki oleh pemberi perintah
mendirikan SHALAT. Selanjutnya sudahkah diri kita mendirikan SHALAT
yang diperintahkan oleh ALLAH SWT sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh AL LAH SWT selaku pemberi
perintah mendirikan SHALAT?
Saat ini
perintah mendirikan SHALAT sudah di tetapkan berlaku oleh ALLAH SWT untuk
seluruh manusia. Timbul pertanyaan di manakah berlakunya ketentuan mendirikan
SHALAT itu? Perintah mendirikan SHALAT berlaku
di muka bumi yang saat ini kita tempati. Selanjutnya sebagai
KHALIFAH yang sedang menjadi tamu di langit dan di bumi yang diciptakan dan
yang dimiliki oleh ALLAH SWT, apa yang
harus kita lakukan dengan adanya perintah SHALAT yang berlaku di muka bumi ini?
Jika kita merasa menjadi Tamu yang Baik bagi Tuan Rumah, atau
jika kita berkeinginan menjadi Tamu yang Terhormat dihadapan pencipta dan
pemilik langit dan bumi maka sudah seharusnya kita melaksanakan apa yang
diperintahkan oleh ALLAH SWT dengan sebaik-baiknya dikarenakan segala ketentuan
yang berlaku di muka bumi ini adalah ketentuan pencipta dan pemilik dari langit
dan bumi, dalam hal ini adalah ALLAH SWT.
Selanjutnya bagaimana jika kita yang
sedang menjadi tamu di langit dan di bumi yang diciptakan dan yang dimiliki
oleh ALLAH SWT, lalu kita tidak mau melaksanakan perintah ALLAH SWT, atau kita
tidak mau mendirikan SHALAT seperti yang dikehendaki ALLAH SWT, atau kita mendirikan
SHALAT namun tata caranya tidak sesuai dengan yang dicontohkan oleh Nabi
MUHAMMAD SAW? Jika kita
mengacu kepada isi dari surat Al Hajj (22) ayat 18 dan surat Al Hadiid (57) ayat 1 yang kami
kemukakan di bawah ini, maka dapat dikatakan bahwa Langit, bumi,
matahari, bulan, bintang, udara, air, gunung, pohon, binatang lebih tinggi
kedudukannya, lebih terhormat di bandingkan dengan manusia yang tidak mau
melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT.
Apa buktinya dan apa dasarnya?
Buktinya adalah Langit, bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, air,
udara, binatang, semuanya sujud, patuh dan taat kepada ALLAH SWT dan juga
semuanya bertasbih kepada ALLAH SWT. Jika ini adalah kondisi dari apa-apa yang
ada di langit dan di bumi kepada AL LAH
SWT, lalu dimanakah posisi diri kita saat ini? Jika kita merasa telah
dijadikan oleh ALLAH SWT sebagai Makhluk yang Terhormat di muka bumi ini, atau
jika kita merasa sebagai Perpanjangan Tangan ALLAH SWT di muka bumi ini, atau
jika kita merasa telah diciptakan oleh ALLAH SWT tentunya kita harus lebih
baik, kita harus lebih terhormat dari Langit, dari bumi, dari matahari, dari
bulan, dari bintang, dari gunung, dari pohon dan dari binatang sebab diri kita
diciptakan oleh ALLAH SWT sebagai pengatur mereka semuanya saat hidup di dunia.
Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada
Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang,
gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar
daripada manusia? dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab
atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang
memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.
(surat
Al Hajj (22) ayat 18)
semua yang berada di langit dan yang berada
di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(surat
Al Hadiid (57) ayat 1)
Akan tetapi jika ibadah yang kita
lakukan kalah dibandingkan dengan ibadah mereka, atau jika keadaan diri kita
lebih rendah kualitasnya dibandingkan dengan mereka semua, berarti ada sesuatu
yang salah di dalam diri kita. Hal ini dikarenakan diri kita sudah tidak sesuai
lagi dengan konsep awal ALLAH SWT saat menciptakan manusia.Untuk itu segeralah
lalukan Taubatan Nasuha sebelum Ruh tiba dikerongkongan, atau lakukan perbaikan
kualitas pelaksanaan Diinul Islam yang Kaffah saat ini juga sebelum Ruh
berpisah dengan Jasmani, terkecuali jika kita ingin pulang kampung ke Neraka
Jahannam untuk hidup bertetangga dengan Syaitan sang laknatullah kelak.
Sekarang apa yang akan terjadi pada diri kita
jika kita mampu mendirikan SHALAT yang telah diperintahkan ALLAH SWT saat hidup di dunia? Jika diri kita mampu melaksanakan perintah
SHALAT yang berlaku di muka bumi ini berarti diri kita telah melakukan suatu
tindakan, atau suatu perbuatan yang dapat menjadi pembeda antara diri kita
sebagai orang yang beriman kepada ALLAH SWT dengan orang yang kafir yang tidak
mau beriman kepada ALLAH SWT, menjadi pembeda mana tamu yang tidak tahu
diri dengan tamu yang disukai oleh Tuan Rumah, menjadi pembeda mana Khalifah
yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT dengan Khalifah yang sesuai dengan
kehendak Syaitan. Ada nya kondisi seperti ini terjadilah seleksi alamiah
secara adil tentang siapa yang berhak menempati Syurga dan siapa yang berhak
menempati Neraka, atau siapa yang masih berhak menyandang status sebagai
makhluk yang terhormat dengan yang tidak terhormat. Hal ini dimungkinkan karena
perintah mendirikan SHALAT merupakan sarana, atau tolak ukur bagi penilaian
atas kekhalifahan yang dilaksanakan oleh seluruh umat manusia. Selanjutnya
sebagai KHALIFAH yang sedang melaksanakan tugas di muka bumi, sudahkah diri
kita mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT atau yang telah
dicontohkan oleh Nabi MUHAMMAD SAW?
Shalluu kamaa ra
aitumuunii ushalli
Shalatlah
sebagaimana kalian melihatku Shalat.
(HR Bukhari dari
Malik)
Jika saat ini kita belum juga mau mendirikan SHALAT, jangan pernah
salahkan ALLAH SWT jika kita selalu di dalam kehendak Syaitan sang laknatullah. Hal ini
disebabkan apa yang kita lakukan merupakan hal yang paling disenangi, hal yang
paling disukai, dan hal yang paling didambakan oleh Syaitan sang laknatullah,
yang tidak lain adalah musuh abadi manusia. Adanya kondisi ini maka Syaitan
sang laknatullah tidak akan pernah
sendirian lagi pulang kampung ke Neraka Jahannam kelak karena sudah ada
manusia yang akan menjadi teman senasib dan sepenanggungan untuk mengarungi
hidup baru di kampung kesengsaraan dan kebinasaan kelak. Hal yang harus kita
perhatikan adalah Syaitan pulang ke Neraka Jahannam bukanlah sesuatu yang
memberatkan baginya karena memang disanalah kampung halamannya, sedangkan
kampung halaman manusia yang aslinya adalah Syurga.
Hamba
ALLAH SWT, itulah kondisi dasar dari perintah mendirikan SHALAT yang akan
berlaku sampai dengan Hari Kiamat kelak. Selanjutnya sebagai
KHALIFAH di muka bumi butuhkah kita dengan SHALAT, atau perlukah diri kita
dengan SHALAT? Jawablah pertanyaan ini dengan sejujur-jujurnya. Jika
jawaban dari diri kita bahwa pengertian
Butuh dan Perlu adalah sama artinya berarti diri kita sudah berada di luar
kehendak ALLAH SWT. Akan tetapi jika jawaban dari diri kita membutuhkan SHALAT
saat menjadi KHALIFAH di muka bumi berarti kita sudah berada di dalam
kehendak ALLAH SWT. Sekarang
sudah sampai dimanakah kebutuhan diri kita dengan SHALAT? Jika kita
yang membutuhkan SHALAT, lalu siapakah yang sebenarnya sangat membutuhkan
SHALAT itu, apakah Jasmani kita, atau Ruhani kita atau siapakah yang harus mendirikan SHALAT itu? Hal ini
penting kami kemukakan karena kita terdiri dari Jasmani dan Ruhani.
Selanjutnya
adakah konsekuensi jika diri kita tidak mau melaksanakan perintah mendirikan
SHALAT saat menjadi KHALIFAH di muka bumi? Lalu SHALAT yang seperti apakah yang
dapat menghantarkan diri kita sesuai dengan Kehendak ALLAH SWT selaku pemberi
perintah mendirikan SHALAT? Sekarang setelah diri kita mampu mendirikan SHALAT
lalu apakah kita sudah merasakan rasa bertuhankan kepada ALLAH SWT melalui
pertolongan yang diberikan oleh ALLAH SWT, melalui doa yang dikabulkan oleh
ALLAH SWT, atau apakah Af’idah yang ada di dalam diri kita sudah tidak mampu
lagi merasakan apa yang seharusnya dirasakan setelah mendirikan SHALAT
dikarenakan SHALAT yang kita dirikan tidak memiliki rasa lagi? Hal lainnya yang harus juga kita
perhatikan adalah jika kita tidak mampu merasakan rasa kekhusyu’an dari SHALAT
yang kita dirikan, atau kita tidak mampu memperoleh manfaat yang ada dibalik
perintah mendirikan SHALAT bukanlah karena perintah mendirikan SHALAT yang
diperintahkan oleh ALLAH SWT itu yang salah. Akan tetapi diri kita sendirilah
yang tidak mampu melaksanakan perintah mendirikan SHALAT yang sesuai dengan
kehendak dari pemberi perintah mendirikan SHALAT. Sekarang
adakah ciri-ciri dari manusia yang telah mampu mendirikan SHALAT yang sesuai
dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT?
Sebagai
KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT seperti halnya membutuhkan mandi, ada baiknya
kita memperhatikan dengan seksama beberapa kekhawatiran dari Nabi kita, yaitu
Nabi Muhammad SAW yang telah dikemukakannya 1432 (seribu empat ratus tiga puluh
dua) tahun yang lalu, yang harus kita jadikan penggugah bagi diri kita agar
jangan sampai terjadi pada diri kita dan pada anak keturunan diri kita sendiri,
yaitu:
Akan datang satu masa atas
manusia, dimana mereka shalat padahal sebenarnya mereka tidak shalat.
(HR Ahmad)
Banyak orang yang mendirikan
Shalat, sementara ia hanya mendapatkan rasa lelah dan payah.
(HR Abu Dawud)
Akan datang pada suatu masa,
orang yang mengerjakan Shalat tetapi mereka belum merasakan Shalat.
(HR Ahmad)
Kececeran yang pertama akan
kamu alami dari agamamu ialah amanat, dan kececeran yang terakhir ialah Shalat.
Dan sesungguhnya (akan terjadi) orang yang melakukan Shalat sedang mereka tidak
berakhlak.
(HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Adanya hadits yang kami kemukakan di atas ini, menunjukkan kepada diri
kita bahwa Nabi Muhammad SAW selaku satu-satunya pemberi contoh bagaimana
SHALAT harus didirikan yang berlaku di muka bumi ini, adalah seorang yang
sangat Visioner sehingga mampu berfikir jauh melebihi jamannya sehingga apa
yang dikemukakannya harus kita jadikan pedoman saat mendirikan SHALAT serta
jangan sampai diri kita mengalami apa-apa yang dikemukakan oleh Nabi Muhammad
SAW di atas ini.
Sebagai KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT tentu
kita tidak berharap ketentuan hadits di atas ini, menimpa diri kita, menimpa
anak dan keturunan kita. Dan jika hal ini tidak kita hendaki maka tidak ada jalan lain bagi diri kita, mulai
saat ini kita harus belajar, kita harus memiliki Ilmu yang konprehensif tentang
SHALAT, tentang ALLAH SWT, tentang Diri Sendiri, atau tentang Diinul Islam yang
kesemuanya harus sesuai dengan kehendak ALLAH SWT selaku pencipta dan pemilik
langit dan bumi. Selanjutnya jika anda merasa ingin mengetahui jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan langsung tentang SHALAT, maka anda harus
terus mempelajari buku “SIAPA BERANI Tidak SHALAT!”, sampai
tuntas. Hal ini dikarenakan pembahasan selanjutnya dari buku ini akan membahas apa-apa yang menjadi pertanyaan yang
kami kemukakan di atas ini.
Semoga ALLAH SWT memberikan kemudahan bagi diri kita semua
untuk memperoleh pengertian tentang SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi
perintah mendirikan SHALAT serta dimudahkannya diri kita untuk merasakan
langsung kenikmatan bertuhankan kepada ALLAH SWT dari waktu ke waktu melalui
SHALAT yang Khusyu’ yang kita dirikan. Dan semoga kita semua mampu pulang
kampung ke Tempat yang Terhormat untuk bertemu dengan Yang Maha Terhormat dalam
suasana yang saling hormat menghormati. Amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar