Hamba ALLAH
SWT yang selalu dirahmati-Nya
Suatu Perintah yang terjadi di dalam kehidupan
sehari-hari bukanlah tujuan akhir untuk mencapai sesuatu. Apa maksudnya? Hal
ini dikarenakan Perintah adalah sarana, atau media yang harus kita kerjakan,
atau alat bantu yang harus kita lakukan untuk mencapai suatu tujuan. Contohnya,
perintah mandi dan gosok gigi bukanlah tujuan akhir dari perintah mandi dan
gosok gigi yamg kita lakukan. Hal ini dikarenakan tujuan dari mandi dan gosok
gigi adalah untuk mencapai kesehatan tubuh dan juga kesehatan mulut dan gigi.
Adanya kondisi ini berarti hanya orang yang mau melaksanakan perintah mandi dan
gosok gigi dengan baik dan benar sajalah yang akan memperoleh kesehatan tubuh
dan kesehatan mulut dan gigi.
Adanya kondisi ini berarti Perintah mandi dan gosok gigi merupakan
kegiatan yang sangat bersifat Individualistik sehingga hanya orang-orang yang
mau melaksanakan mandi dan gosok gigi dengan baik dan benar sajalah yang akan
memperoleh manfaat dari mandi dan gosok gigi. Adanya hal ini menunjukkan
kepada kita bahwa apa yang
diperoleh dari melaksanakan mandi dan gosok gigi tidak, akan bisa
dipindahtangankan, tidak akan bisa dialihkan, atau tidak akan bisa diwariskan
kepada orang lain sepanjang orang tersebut tidak mau melaksanakan mandi dan
gosok gigi dengan baik dan benar.
Di lain sisi, langit dan bumi diciptakan dan
dimiliki oleh ALLAH SWT, sekarang undang-undang siapakah, hukum siapakah,
ketentuan siapakah, perintah siapakah yang wajib berlaku di muka bumi ini? Berdasarkan akal sehat manusia, maka hanya
undang-undang, hukum, ketentuan, perintah ALLAH SWT sajalah yang wajib berlaku
di muka bumi ini. Sekarang pemilik dan pencipta langit dan bumi
melalui surat Al Hajj (22) ayat 77 telah memerintahkan kepada seluruh umat
manusia untuk mendirikan SHALAT, maka ketentuan ini wajib berlaku dan wajib di
taati oleh setiap manusia yang ada dan yang hidup di muka bumi ini.
Sekarang timbul pertanyaan baru tentang
perintah SHALAT, apakah perintah mendirikan SHALAT yang diperintahkan oleh
ALLAH SWT merupakan tujuan akhir dari suatu perintah itu sendiri? Jika
perintah mendirikan mandi dan gosok gigi saja bukanlah tujuan akhir dari
perintah itu sendiri, maka hal yang samapun berlaku pada perintah mendirikan
SHALAT. Perintah mendirikan SHALAT
bukanlah tujuan akhir dari apa yang diperintahkan oleh pemberi perintah
mendirikan SHALAT. Perintah mendirikan SHALAT hanyalah sarana, atau alat bantu
atau media untuk mendapatkan, atau memperoleh tujuan akhir, atau sarana untuk
merasakan maksud dan tujuan dari mendirikan SHALAT itu sendiri.
Selanjutnya berdasarkan apa yang kami uraikan
di dalam bab 2(dua) buku ini, perintah mendirikan SHALAT merupakan sarana dan
alat bantu bagi diri kita untuk Berkomunikasi dengan ALLAH SWT, untuk Berdoa
kepada ALLAH SWT, untuk Mencegah
perbuatan keji dan Mungkar; untuk Menghadap kepada ALLAH SWT; untuk Mengingat ALLAH SWT; untuk
Memenuhi Janji Kepada ALLAH SWT, untuk Mensucikan atau membersihkan Jiwa; dan
lain sebagainya.
Selanjutnya jika ini adalah maksud dan tujuan dari
mendirikan SHALAT yang dikehendaki oleh ALLAH SWT, berarti hal inilah yang
harus menjadi tujuan saat diri kita mendirikan SHALAT dan jika hal ini tidak
bisa kita lakukan berarti ada sesuatu yang salah di dalam SHALAT yang kita
dirikan. Sekarang
timbul pertanyaan yang paling mendasar dari perintah mendirikan SHALAT yaitu siapakah yang harus mendirikan SHALAT, apakah
hanya diri kita, ataukah hanya anak dan keturunan kita, ataukah seluruh manusia
harus mendirkan SHALAT saat hidup di muka bumi ini? Jika kita
yang harus SHALAT, apakah Jasmani yang harus SHALAT ataukah Ruhani yang harus
SHALAT? Jawaban dari pertanyaan ini, ada pada pembahasan berikut ini yang
terbagi di dalam ketentuan umum dan ketentuan khusus.
1. DIRI SENDIRI
Siapakah
yang harus mendirikan SHALAT saat ini? Jika kita merasa bukan yang
menciptakan dan bukan pula yang memiliki langit dan bumi yang sedang kita
tempati saat ini maka kita wajib mendirikan SHALAT saat hidup di muka bumi ini.
Kenapa saat di muka bumi ini kita harus mendirikan SHALAT? Hal ini dikarenakan
hanya saat hidup di muka bumi inilah
kesempatan diri kita untuk mendirikan SHALAT. Timbul pertanyaan lagi, jika
kita wajib mendirikan SHALAT lalu bagaimanakah dengan manusia lainnya yang ada
di muka bumi? Jika kita mengacu bahwa hanya ALLAH SWT adalah pencipta dan
pemilik langit dan bumi maka segala ketentuan yang wajib berlaku di muka bumi
ini adalah ketentuan ALLAH SWT. Adanya
kondisi ini maka setiap orang yang ada di muka bumi ini, semuanya wajib
mematuhi segala ketentuan ALLAH SWT yang telah ALLAH SWT tetapkan berlaku di
muka bumi ini.
dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'[44].
(surat Al Baqarah (2)
ayat 43)
[44] Yang dimaksud Ialah: shalat berjama'ah dan
dapat pula diartikan: tunduklah kepada perintah-perintah Allah bersama-sama
orang-orang yang tunduk.
Maka apabila
kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu
duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka
dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu
yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
(surat An Nisaa' (4) ayat 103)
Jika sekarang ALLAH SWT melalui surat Al Baqarah (2)
ayat 43; melalui surat An Nisaa' (4) ayat 103 serta melalui surat Al Hajj (22)
ayat 77, telah memerintahkah kepada seluruh manusia untuk mendirikan SHALAT
berarti ketentuan SHALAT ini wajib berlaku di muka bumi dan setiap manusia yang
ada di muka bumi wajib pula mematuhi perintah ini dan melaksanakannya dengan
sebaik mungkin sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh ALLAH SWT.
Hai
orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan
perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
(surat Al Hajj (22) ayat 77)
Adanya
ketentuan mendirikan SHALAT yang wajib berlaku di muka bumi ini berarti setiap manusia, apapun
kedudukannya, apapun pangkatnya, apapun jabatannya, apakah laki-laki, apakah
perempuan, apakah tua, apakah muda,
apakah kaya, apakah miskin, mereka semua harus melaksanakan perintah mendirikan
SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT. Hal ini
dikarenakan kita tidak pernah sekalipun menciptakan langit dan bumi beserta
segala isinya maupun kita tidak pernah sekalipun mampu menciptakan diri kita
sendiri sehingga yang ada di muka bumi ini adalah ketentuan ALLAH SWT selaku
pencipta dan pemilik dari langit dan bumi.
Selanjutnya
berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 30, setiap manusia, termasuk diri kita
sudah diangkat oleh ALLAH SWT sebagai KHALIFAH di muka bumi yang diciptakan dan
dimiliki oleh ALLAH SWT.
Anas ra, berkata: Nabi SAW
bersabda: Allah ta'ala berfirman: Barangsiapa tidak rela dengan hukum-Ku dan
taqdir-Ku maka hendaklah ia mencari Tuhan selain Aku.
(HQR Al Baihaqi dari Ibnu Umar serta Ath Thabarani dan
Ibnu Hibban dari Abi Hind, Al Baihaqi dan Ibnu Najjar, (272:153)
Sekarang alangkah naifnya,
alangkah lucunya, alangkah konyolnya, alangkah tidak tahu dirinya jika kita
yang sudah diangkat oleh ALLAH SWT
sebagai KHALIFAH di muka bumi namun kita sendiri malah melanggar ketentuan yang
telah ditetapkan oleh ALLAH SWT, selaku pengutus diri kita di muka bumi. Jika ini
sampai terjadi pada diri kita berarti ketentuan Hadits Qudsi di atas ini
berlaku kepada diri kita. Sekarang
adakah Tuhan-Tuhan lain selain ALLAH SWT yang mampu mengalahkan ALLAH SWT, yang
mampu menandingi ALLAH SWT sehingga mampu menciptakan langit dan bumi seperti
langit dan bumi yang diciptakan oleh ALLAH SWT?
Selanjutnya jika sampai diri kita tidak mau mematuhi segala ketentuan ALLAH SWT
(dalam hal ini perintah mendirikan SHALAT, atau melaksanakan Diinul Islam
secara Kaffah) berarti memang kita tidak tahu diri. Hal ini dikarenakan sudah
diciptakan oleh ALLAH SWT, sudah menumpang di bumi yang dimiliki ALLAH SWT,
sudah mendayagunakan dan mengambil manfaat dari bumi yang dimiliki ALLAH SWT,
setelah itu ALLAH SWT kita lawan. Untuk itu
segera Taubatlah jika saat ini kita belum juga mau mendirikan SHALAT yang
sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT, atau segeralah minta
di SHALATkan karena inilah ketentuan terakhir jika kita tidak
bisa mendirikan SHALAT lagi saat hidup di dunia.
2. ANAK dan KETURUNAN
Setelah diri kita mendirikan
SHALAT, lalu siapakah lagi yang harus mendirikan SHALAT saat hidup di muka
bumi? Yang harus mendirikan SHALAT selanjutnya adalah anak dan keturunan dari
diri kita sendiri. Lalu kenapa anak dan keturunan kita harus mendirikan SHALAT?
Diri kita adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan regenerasi kekhalifahan
yang ada di atas diri kita, sehingga hal yang samapun terjadi pada anak dan
keturunan kita yaitu ia pun tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan diri kita
saat ini. Selanjutnya jika diri kita
mendirikan SHALAT lalu anak dan keturunan kita tidak mendirikan SHALAT berarti
ada sesuatu yang salah di dalam mata rantai regenerasi kekhalifahan yang kita
buat di muka bumi ini, yaitu ada satu pihak yang tidak mau melaksanakan ketentuan
dari pencipta dan pemilik langit dan bumi.
Agar antara diri kita
dengan anak dan keturunan kita berada di dalam kesesuaian dengan ketentuan
ALLAH SWT yang berlaku di muka bumi ini, atau seluruh pihak mau melaksanakan
perintah ALLAH SWT maka harus dimulai dari adanya Keluarga Sakinah atau
Keluarga Sakinah merupakan prasyarat yang harus kita buat guna menselaraskan
antara diri kita dengan anak keturunan kita di dalam melaksanakan segala
ketentuan yang telah ditetapkan oleh ALLAH SWT.Timbul pertanyaan, dapatkah kita
membuat, menjadikan diri kita sendiri, atau menjadikan keluarga kita sendiri
menjadi sebuah keluarga yang Sakinah jika tanpa dilandasi dengan suatu konsep
yang berasal dari ALLAH SWT yaitu berupa Diinul Islam yang dilaksanakan secara
Kaffah, atau apakah hanya salah satu anggota keluarga saja yang melaksanakan
Diinul Islam secara Kaffah maka keluarga Sakinah dapat kita wujudkan, atau
apakah seluruh keluarga termasuk anak dan keturunan yang melaksanakan Diinul
Islam yang Kaffah barulah keluarga Sakinah dapat kita wujudkan?
Untuk
dapat mewujudkan keluarga Sakinah diperlukan sebuah Tuntunan dan Pedoman yang
baku dan jelas di dalam mewujudkannya. Tanpa adanya Tuntunan dan Pedoman yang
baku, serta perjuangan antar sesama anggota keluarga, apakah itu orang tua,
apakah anak dan keturunan, maka keluarga Sakinah akan sangat sulit diwujudkan. Adanya
kondisi ini berarti untuk
mewujudkan keluarga Sakinah di tengah keluarga kita serta Regenerasi
Kekhalifahan di muka bumi, tidak hanya diri kita secara pribadi saja yang harus
memeluk Diinul Islam secara Kaffah, atau tidak hanya diri kita saja yang
melaksanakan Syahadat, atau yang mendirikan SHALAT. Akan tetapi Anak dan
Keturunan dari diri kita, termasuk Istri atau Suami juga harus memeluk Diinul
Islam secara Kaffah, atau melaksanakan Syahadat dan mendirikan SHALAT secara
baik dan benar sesuai
kehendak ALLAH SWT.
Selanjutnya jika hari ini kita
telah mampu merasakan kenikmatan dari bertuhankan hanya kepada ALLAH SWT yang
berasal dari pelaksanaan Diinul Islam yang Kaffah, dapatkah anak dan keturunan
kita merasakan hal yang sama dengan yang kita rasakan saat ini? Sepanjang diri kita tidak pernah
memperkenalkan, tidak pernah mengajarkan Diinul Islam secara Kaffah, atau
sepanjang diri kita tidak pernah menjadikan SYAHADAT sebagai sebuah Komitmen
dan Pengakuan kepada ALLAH SWT
dan kepada Nabi MUHAMMAD SAW, atau sepanjang diri kita tidak pernah mendidik
dan mengajarkan tentang SHALAT kepada
anak dan keturunan kita maka
hal-hal yang telah pernah kita rasakan tidak akan pernah dapat dirasakan oleh
anak dan keturunan kita. Jika ini adalah keadaannya, berarti nikmat bertuhankan
kepada ALLAH SWT, atau buah dari pelaksanaan Syahadat, atau buah dari
mendirikan SHALAT tidak akan dapat diwariskan, tidak akan dapat dialihkan
walaupun kepada anak dan keturunan kita sepanjang anak dan keturunan kita tidak
mau menjadikan dirinya melakukan hal yang sama seperti yang kita lakukan. Sekarang
apakah akan kita biarkan anak dan keturunan kita tidak mau mendirikan SHALAT
saat mereka hidup di dunia?
Suruhlah anak-anakmu shalat
bila berumur tujuh tahun dan gunakan pukulan jika mereka sudah berumur sepuluh
tahun dan pisahlah tempat tidur mereka (putera-puteri).
(HR. Abu Dawud)
Adanya hadits yang kami kemukakan di
atas, menunjukkan kepada diri kita bahwa kita adalah orang tua, kita adalah
pembuat regenerasi kekhalifahan yang ada di bawah diri kita, sehingga kita
memiliki kewajiban untuk selalu mengajarkan, untuk selalu mendidik anak dan
keturunan kita sendiri untuk melaksanakan perintah mendirikan SHALAT yang telah
diperintahkan oleh ALLAH SWT sejak mereka berumur tujuh tahun. Selanjutnya jika mengajarkan, mendidik anak dan keturunan untuk
mendirikan SHALAT sudah ditetapkan oleh Nabi MUHAMMAD SAW selaku utusan ALLAH
SWT di muka bumi, lalu sebagai KHALIFAH di muka bumi tentu kita harus
melaksanakan hal ini dengan sebaik-baiknya, terkecuali jika kita mampu
mempertanggungjawabkan keberadaan anak dan keturunan diri kita dihadapan ALLAH
SWT kelak. Hal ini dikarenakan anak juga
merupakan Amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan ALLAH SWT serta
anak keturunan kita tidak serta merta dapat mendirikan SHALAT yang sesuai
dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT dengan mengucapkan kata “bim
salabim” kepada mereka maka mampulah mereka mendirikan SHALAT sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan
SHALAT.
Selain
daripada itu, ada hal lainnya yang ingin kami kemukakan yang terkait dengan
perintah mandi dan gosok gigi yang kami hubungkan dengan perintah mendirikan
SHALAT, yaitu sewaktu diri kita masih kecil, kita selalu diperintahkan oleh
orang tua untuk mandi dan gosok gigi. Adanya perintah dari orang tua maka
kitapun melaksanakan mandi dan gosok gigi. Selanjutnya setelah mengetahui
manfaat yang didapat dari melaksanakan mandi dan gosok maka kita merasa sangat
membutuhkan mandi. Timbul pertanyaan yang mendasar,
kenapa setelah diri kita menjadi orang tua juga memerintahkan kepada anak kita
sendiri untuk melaksanakan mandi dan gosok gigi? Hal ini kita lakukan karena diri kita telah merasakan langsung manfaat
dari aktivitas mandi dan gosok gigi, atau merasakan langsung akibat dari tidak
melakukan mandi dan gosok gigi.
Adanya hal-hal positif dan juga hal
yang negatif yang telah pernah kita rasakan dari aktivitas mandi dan gosok gigi
maka dengan memerintahkan kepada anak sendiri untuk mandi dan gosok gigi maka
kita berharap anak tidak mengalami hal-hal negatif yang pernah kita rasakan,
atau anak hanya memperoleh hal-hal yang baik dari aktivitas mandi dan gosok
gigi. Sekarang bagaimana dengan perintah mendirikan
SHALAT yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT kepada diri kita dan juga kepada
anak keturunan kita? Jika kita mengacu kepada betapa
bermanfaatnya mandi dan gosok gigi kepada diri kita maka sudah seharusnya kita
dapat merasakan pula manfaat dari melaksanakan perintah mendirikan SHALAT yang
telah diperintahkan ALLAH SWT. Jika
ini tidak terjadi berarti ada sesuatu yang salah dengan SHALAT yang kita
dirikan. Akan tetapi jika manfaat dari mendirikan SHALAT telah pula kita
rasakan seperti merasakan manfaat dari mandi dan gosok gigi maka jika sekarang
kita memerintahkan anak untuk mendirikan SHALAT berarti kita berharap kepada
anak keturunan mengalami dan merasakan manfaat dari mendirikan SHALAT, atau
kita berharap anak keturunan kita tidak mengalami apa yang kita rasakan jika
meninggalkan SHALAT.
Hamba
ALLAH SWT, itulah salah satu harapan orang tua kepada anak yang kita
perintahkan untuk mendirikan SHALAT. Akan tetapi apa yang kami kemukakan ini
hanya bersifat harapan semata, jika kita sendiri tidak pernah mengajarkan, jika
kita tidak pernah mendidik, jika kita tidak pernah memberi contoh kepada anak
dan keturunan kita untuk mendirikan SHALAT sesuai dengan kehendak ALLAH SWT
selaku pemberi perintah mendirikan SHALAT. Sebagai orang tua,
sudahkah diri kita mengajarkan, mendidik, mencontohkan, menjadikan diri kita
sendiri sebagai suri tauladan bagi anak keturunan kita sendiri untuk mendirikan
SHALAT yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT? Jika kita sebagai orang tua tidak pernah
mengajarkan, tidak pernah mendidik, tidak pernah memberi contoh kepada anak
kita sendiri untuk mendirikan SHALAT, padahal kita memiliki kewajiban dan
tanggung jawab untuk melakukan itu semua maka bersiap-siaplah
mempertanggungjawabkan apa yang kita lakukan kepada anak dan keturunan kita
sendiri dihadapan ALLAH SWT kelak.
Sekarang tolong perhatikan Hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim di bawah ini. Hadits ini dapat dikatakan
sebagai bonus, atau pemberian ekstra ataupun bukti bakti dari anak yang
shaleh/shalehah kepada orang tua, sehingga orang tua termasuk di dalamnya
kakek, nenek dapat pula kita doakan kepada ALLAH SWT, agar mereka semua
diampuni segala dosa dan kesalahannya, dilapangkan jalannya, atau dilapangkan
kuburnya, diterima amal ibadahnya, oleh sebab doa dari anak dan keturunan yang
shaleh atau shalehah.
Rasulullah SAW
bersabda: “Bila seseorang telah meninggal, terputus untuknya pahala segala amal
kecuali tiga hal yang tetap kekal: Shadaqah Jariah, Ilmu yang bermanfaat, dan
anak shaleh yang senantiasa mendoakannya”. (HR
Bukhari-Muslim)
Sekarang
darimana datangnya anak yang Shaleh dan Shalehah itu, atau apakah anak Shaleh
dan Shalehah datang dengan begitu saja
dari langit untuk diri kita? Untuk mendapatkan, untuk memperoleh anak yang
shaleh dan shalehah, bukanlah proyek “bim salabim”. Untuk itu kita diwajibkan
untuk memprogram, untuk mengajarkan, untuk mendidik anak dan keturunan kita
dengan menjadikan Diinul Islam sebagai satu-satunya Agama yang Haq serta
menjalankannya secara Kaffah. Tanpa adanya
keseriusan diri kita untuk menciptakan, untuk memprogram, anak Shaleh dan
Shalehah maka keberadaan anak Shaleh dan Shalehah yang akan mendoakan diri kita
kelak, hanyalah mimpi di siang bolong. Selanjutnya, sebagai bahan
pemikiran dan sebagai pemacu bagi diri kita untuk menjadikan anak dan keturunan
kita berada di dalam kesamaan Diinul Islam sebagai Agama yang Haq, berikut ini
akan kami kemukakan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari,Muslim tentang paman
dari Nabi MUHAMMAD SAW yang sampai akhir hayatnya belum menjadikan Diinul Islam
sebagai Agama yang Haq.
Al-Abbas bin
Abdulmuththalib ra. tanya kepada Nabi SAW: Apakah pertolonganmu (manfaatmu)
bagi Abu Thalib yang telah memeliharamu dan membelamu, bahkan ia marah
karenamu? Jawab Nabi SAW: Ia kini di atas permukaan neraka, dan andaikan tidak
karenaku niscaya ia di tingkat terbawah dalam neraka.
(HR Bukhari,Muslim; Al Lulu Wal
Marjan:125)
Abu Saied
Alkhudri ra. mendengarkan Rasulullah SAW ketika disebut padanya ami Abu Thalib,
maka sabda Nabi SAW: Semoga berguna baginya syafa'atku sehingga diletakkan di
bagian atas dalam neraka sehingga api neraka hanya membakar sampai batas mata
kakinya yang cukup untuk mendidihkan otaknya.
(HR Bukhari,Muslim; Al Lulu Wal
Marjan:126)
Adanya
perbedaan keyakinan antara Abu Thalib dengan Nabi MUHAMMAD SAW, mengakibatkan
terjadinya jurang pemisah yang tidak dapat ditolerir oleh ALLAH SWT. Selanjutnya coba anda bayangkan Doa,
Permohonan dari Nabi dan Rasul terakhir saja tidak mampu menghantarkan Abu
Thalib secara langsung ke Syurga, sekarang bagaimana dengan diri kita yang
tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Nabi MUHAMMAD SAW.
Jika ini
adalah kondisi Nabi MUHAMMAD SAW kepada Pamannya sendiri, selanjutnya bagaimana
dengan diri kita kepada kedua orang tua kita sendiri, atau bagaimana dengan
anak keturunan kita dengan diri kita? Kita tidak akan pernah tahu, apakah
akan di doakan oleh anak dan keturunan kita sendiri setelah kita meninggal
dunia. Kita juga tidak memiliki jaminan sama sekali apakah akan didoakan oleh
anak dan keturunan kita sendiri kelak setelah diri kita meninggal dunia. Adanya
kondisi yang kami kemukakan di atas ini maka kita harus menyadari betapa pentingnya pendidikan dan pengajaran Diinul
Islam sebagai Agama yang Haq kepada anak dan keturunan kita sendiri. Tanpa
ini, apa yang dapat kita lakukan kepada orang tua kita, atau apa yang dapat
kita harapkan dari anak dan keturunan kita jika kita tidak pernah memberikan
dan mengajarkan Diinul Islam sebagai Agama yang Haq yang berasal dari Fitrah
ALLAH SWT.
Tanpa
adanya kesamaan, dalam hal ini adalah kesamaan dalam Diinul Islam sebagai Agama
yang Fitrah, maka jangan pernah berharap ALLAH SWT memberikan Fasilitas
Kemudahan ini. Dengan demikian kita sebagai KHALIFAH, atau kita
sebagai orang tua wajib mengajarkan
kepada anak dan keturunan kita masing-masing tentang Diinul Islam, tentang
Syahadat sebagai sebuah Komitmen dan Pengakuan kepada ALLAH SWT dan kepada Nabi
MUHAMMAD SAW sebagai utusan ALLAH SWT, mengajarkan tentang SHALAT, mengajarkan
tentang ZAKAT, mengajarkan tentang PUASA dan mengajarkan tentang HAJI sehingga
baik diri kita maupun anak dan keturunan kita selalu berada dalam satu kesatuan
yaitu di dalam Diinul Islam sebagai Agama yang Fitrah dari ALLAH SWT.
JASMANI
vs RUHANI
Siapakah
yang harus mendirikan SHALAT?
Setelah kita mengetahui dengan pasti bahwa yang
harus mendirikan SHALAT adalah diri kita dan juga anak dan keturunan kita
sendiri. Selanjutnya kami ingin mengajak pembaca buku ini untuk membahas lebih
dalam lagi tentang siapakah yang harus mendirikan SHALAT itu, apakah Jasmani
yang harus mendirikan SHALAT, ataukah Ruhani dengan segala komponen yang
menyertainya yang harus mendirikan SHALAT? Sebagaimana telah kita ketahui
bersama bahwa jati diri manusia
yang sesungguhnya adalah Ruhani. Hal ini dikarenakan Ruhani tidak akan pernah hancur oleh sebab
apapun juga, atau Ruhani tidak akan mengalami kematian oleh sebab apapun juga
serta Ruhani inilah yang akan mempertanggung jawabkan segala apa yang telah
dikerjakan oleh manusia saat hidup di dunia serta Ruhani pulalah yang akan
menikmati, atau merasakan azab kubur serta yang akan pulang ke Syurga atau ke
Neraka. Ruhani yang tidak lain adalah bagian dari Nur-Nya ALLAH SWT tentu akan
selalu berkomunikasi dengan ALLAH SWT.
Di lain sisi saat diri kita hidup di dunia, Ruhani
tidak mungkin dapat dipisahkan dengan Jasmani karena saat bersatunya Ruhani
dengan Jasmani itulah yang dikatakan dengan hidup. Di saat hidup di dunia inilah
terjadi apa yang dinamakan dengan pertarungan antara Jasmani yang di dukung
oleh Syaitan untuk menjadikan kondisi kejiwaan manusia apakah menjadi Fujur
atau Taqwa dengan Ruhani yang di dukung oleh Malaikat. Jika
Jasmani mampu mengalahkan Ruhani maka terjadilah apa yang dinamakan dengan Jiwa
Fujur sedangkan jika Ruhani mampu mengalahkan Jasmani maka terjadilah apa yang
dinamakan dengan Jiwa Taqwa. Agar diri kita selalu berada di dalam Jiwa Taqwa,
atau agar pengaruh buruk dari Jasmani yang didukung oleh Syaitan tidak
mengotori kefitrahan diri kita maka yang harus mendirikan SHALAT adalah Ruhani
dan Amanah 7, dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Hati Ruhani harus SHALAT, dikarenakan
Hati Ruhani inilah yang dapat menjangkau kebesaran dan kemahaan ALLAH SWT serta
tempat diletakkannya Iradat sehingga lahirlah apa yang dinamakan dengan Niat
serta Hati Ruhani merupakan pusat dari Jati Diri Manusia yang sesungguhnya.
2. Af’idah (perasaan) harus SHALAT,
dikarenakan Af’idahlah yang akan merasakan langsung komunikasi dengan ALLAH
SWT, atau Af’idahlah yang akan merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH
SWT.
3. Ilmu juga harus SHALAT dikarenakan
tanpa Ilmu yang baik tentang SHALAT bagaimana kita akan mengerti apa itu
SHALAT, apa itu bacaan SHALAT serta melalui Ilmu inilah kita dapat mengontrol
seluruh aktivitas SHALAT yang kita dirikan.
4. Kalam harus SHALAT, dikarenakan Kalam
merupakan juru bicara saat diri kita mendirikan SHALAT.
5. Sami' dan Bashir harus SHALAT,
dikarenakan melalui pendengaran dan penglihatan inilah akan dapat diketahui apa
yang dibaca, apa yang diperdengarkan, oleh juru bicara saat mendirikan SHALAT.
6. Qudrat harus SHALAT, dikarenakan
kekuatan yang berasal dari Qudratlah yang mampu menggerakkan Jasmani dan juga
Ruhani.
7. Hayat harus SHALAT, dikarenakan hayat
merupakan komponen pengikat antara Jasmani dengan Ruhani sehingga manusia masih
dikatakan sebagai manusia.
Sekarang
bagaimana dengan Jasmani pada saat Ruhani dengan segala komponennya mendirikan
SHALAT? Posisi dari Jasmani saat Ruhani dan Amanah 7 mendirikan SHALAT
(atau saat diri kita berkomunikasi dengan ALLAH SWT, atau saat
diri kita menghadap ALLAH SWT) harus menjadi Makmum bagi Ruhani dan Amanah 7,
atau Jasmani harus tunduk patuh mengikuti kehendak dari Ruhani dan Amanah 7
saat mendirikan SHALAT.
Selanjutnya
timbul pertanyaan, apa dasarnya Ruhani dan Amanah 7 yang harus mendirikan
SHALAT sedangkan Jasmani hanyalah Makmum bagi Ruhani dan Amanah 7? Jika kita mengambil pengertian dasar bahwa
SHALAT itu adalah berkomunikasi langsung dengan ALLAH SWT dan juga SHALAT
adalah Menghadap ALLAH SWT maka hanya komponen-komponen yang saling
berkesesuaian sajalah yang dapat berkomunikasi dengan ALLAH SWT, atau hanya
komponen yang memiliki kesamaan karakteristik sajalah yang bisa dihadapkan
langsung kepada ALLAH SWT. Apa maksudnya? Di dalam kehidupan
sehari-hari, air dengan minyak tidak bisa dicampur menjadi satu karena air dan
minyak memiliki karakteristik yang berbeda, dalam hal berat jenisnya berbeda.
Sehingga dengan adanya perbedaan ini keduanya tidak bisa menjadi satu atau
tidak bisa saling sinergi satu dengan yang lainnya.
Adanya kondisi ini berarti hanya
dzat yang memiliki karakterisik yang sama sajalah yang dapat saling bersinergi.
Contohnya air dengan air, udara dengan udara, minyak dengan minyak. Sekarang
bagaimana dengan SHALAT? Hal yang samapun terjadi pada saat diri kita
mendirikan SHALAT, yaitu hanya Ruhani dan Amanah 7 yang dapat berkomunikasi
dengan ALLAH SWT atau hanya
Ruhani dan Amanah 7 sajalah yang dapat dihadapkan dengan ALLAH SWT. Apa
dasarnya?
Wahab bin Munabbih
berkata: Allah ta'ala berfirman : Sesungguhnya langit-langit dan bumi tidak
berdaya menjangkau-Ku namun Aku telah dijangkau oleh Hati seorang mukmin.
(HQR Ahmad dari Wahab bin Munabbih,
272:32)
Hal
ini dikarenakan Ruhani asalnya dari Nur ALLAH SWT melalui proses peniupan ke
dalam Jasmani manusia sedangkan Amanah 7 adalah bagian dari sifat Ma'ani ALLAH
SWT. Adanya kesamaan yang mendasar
antara Ruhani dan Amanah 7 dengan ALLAH SWT (maksudnya adalah asalnya
dari ALLAH SWT semata) maka saat
diri kita mendirikan SHALAT terjadilah apa yang dinamakan dengan Sinergi antara
Ruhani dan Amanah 7, atau antara diri kita yang sebenarnya dengan ALLAH SWT
yang Maha Kuat. Selanjutnya apa yang sebenarnya terjadi saat
bersinerginya Ruhani dan Amanah 7 dengan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT
melalui SHALAT yang kita dirikan? Adanya proses sinergi antara
Ruhani dan Amanah 7 dengan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT berarti telah
terjadi apa yang dinamakan dengan :
a.
proses perbaikan Ruhani dan Amanah 7
akibat gangguan Ahwa dan Syaitan, atau
b. proses peningkatan kualitas Ruhani
dan Amanah 7 akibat eksploitasi yang tidak sesuai dengan kehendak ALLAH
SWT, atau
c.
proses pemeliharaan Ruhani dan Amanah
7 akibat perbuatan dosa yang telah kita lakukan, atau
d. proses komunikasi antara diri kita
yang lemah dengan yang Maha Hebat, dalam hal ini ALLAH SWT.
Adanya
4(empat) buah kondisi yang kami kemukakan di atas ini maka Ruhani dan Amanah 7
yang sebelumnya mendapat pengaruh negatif dari Ahwa dan juga Syaitan dapat
kembali fitrah, dapat kembali normal sesuai dengan kehendak ALLAH SWT.
Sekarang
bagaimana dengan Jasmani yang asalnya dari sari pati tanah? Jasmani yang asalnya dari tanah maka ia tidak
bisa dipergunakan untuk berkomunikasi dengan ALLAH SWT, atau ia tidak bisa
dipergunakan untuk menghadap ALLAH SWT, atau tidak bisa menerima kebesaran dan
kemahaan ALLAH SWT karena adanya perbedaan karakteristik yang tidak akan
mungkin dapat disamakan. Selanjutnya jika Jasmani tidak bisa dihadapkan
kepada ALLAH SWT berarti Nilai-Nilai Keburukan yang di bawa oleh Jasmani akan
tetap ada di dalam diri manusia. Dan jika Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa
oleh Jasmani masih tetap ada berarti pintu masuk bagi Syaitan untuk mengganggu
dan menggoda anak keturunan dari Nabi Adam as, akan tetap ada sampai dengan
hari kiamat kelak. Selanjutnya jika Ruhani dan Amanah 7 yang harus mendirikan
SHALAT dan Jasmani harus menjadi Makmum bagi kepentingan Ruhani dan Amanah 7
saat mendirikan SHALAT, lalu apakah yang seharusnya terjadi setelah diri kita
mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah SHALAT?
JIka SHALAT yang kita dirikan sesuai dengan
yang dikehendaki oleh ALLAH SWT maka
proses sinergi antara Ruhani dan Amanah 7 dengan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH
SWT akan dapat mempengaruhi kesehatan Jasmani secara langsung maupun dapat
mengurangi pengaruh dampak negatif dari Ahwa dan juga Syaitan yang berasal dari
sifat-sifat alamiah Jasmani (Insan),atau melalui SHALAT dapat mengembalikan
jiwa Fujur kepada jiwa Taqwa. Adanya kondisi ini maka sebagai KHALIFAH di muka
bumi yang membutuhkan SHALAT dari waktu ke waktu, kita harus menyadari betul
bahwa yang sebenarnya mendirikan SHALAT itu adalah bukanlah Jasmani melainkan
Ruhani dan Amanah 7. Dan jika sampai diri kita tidak mampu melakukannya dengan
baik dan benar maka pengertian dasar dari SHALAT yang telah kami kemukakan di
bab 2, tidak akan pernah terjadi serta manfaat dari mendirikan SHALAT tidak
akan pernah dapat kita rasakan melalui Af’idah.
Sebagai penutup bab ini, perkenankan kami
mengemukakan hal-hal sebagai berikut sebagai penggugah bagi yang belum mau
mendirikan SHALAT, atau bagi yang sudah mendirikan SHALAT tetapi belum sesuai
dengan yang dikehendaki oleh ALLAH SWT selaku pemberi perintah mendirikan
SHALAT, yaitu : Di dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari
aktivitas, atau pekerjaan yang mengakibatkan tubuh manusia mengalami suatu
keadaan yang tidak mengenakkan seperti timbulnya keringat, menempelnya debu,
timbulnya kuman dan bakteri, timbulnya daki, timbulnya gatal-gatal, yang
kesemuanya akan mengakibatkan terganggunya kesehatan kulit. Solusi dari ini
semua hanya dapat di atasi dengan mandi yang baik dan benar. Selanjutnya hal yang samapun terjadi saat diri
kita menjadi KHALIFAH di muka bumi, yaitu kita tidak bisa menghindar dari
pertarungan antara sifat-sifat Jasmani yang mengandung Nilai-Nilai Keburukan
(yang juga disebut dengan Ahwa) yang didukung oleh Syaitan untuk menaklukkan
Ruhani yang mengandung Nilai-Nilai Kebaikan yang didukung oleh Malaikat. Jika Jasmani
yang didukung Syaitan mampu menaklukkan Ruhani maka timbullah Jiwa Fujur dalam
diri manusia. Sedangkan jika Ruhani mampu mengalahkan Jasmani maka timbullah
Jiwa Taqwa di dalam diri manusia. Selanjutnya
agar diri kita dapat tetap berada di dalam Jiwa Taqwa maka disinilah letak
pentingnya kita mendirikan SHALAT seperti halnya diri kita melakukan mandi. Untuk itu
jika saat ini kita belum juga mau mendirikan SHALAT saat hidup di muka bumi
yang tidak pernah kita ciptakan berarti :
a. kita berada di dalam Jiwa Fujur yang sesuai dengan kehendak Syaitan sang
laknatullah, atau
b. kita merasa mampu mengalahkan Ahwa dan Syaitan seorang diri tanpa bantuan
dari ALLAH SWT dikarenakan kita merasa lebih jago dan lebih hebat dari pada
ALLAH SWT, atau
c. karena kita telah sanggup menahan panasnya api neraka yang panasnya 70
(tujuh puluh) kali panasnya api dunia, atau
d. kita telah mampu mencari tuhan selain ALLAH SWT sehingga kita bisa
terbebas dari kewajiban mematuhi ketentuan ALLAH SWT, atau
e. bersiap-siaplah untuk diSHALATkan karena kita sudah tidak mampu lagi
mendirikan SHALAT saat hidup di dunia.
Akan tetapi, jika kita ingin
berubah, maka lakukanlah Taubatan Nasuha saat ini juga lalu laksanakan Diinul
Islam secara Kaffah, karena kita tidak
tahu kapan datangnya Malaikat Izrail kepada diri kita untuk melaksanakan
tugasnya memisahkan antara Jasmani dengan Ruhani, terkecuali kita mampu
mengalahkan Malaikat Izrail.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar