Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Senin, 28 Maret 2016

SIAPAKAH YANG HARUS MENDIRIKAN SHALAT





Hamba ALLAH SWT yang selalu dirahmati-Nya

Suatu Perintah yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari bukanlah tujuan akhir untuk mencapai sesuatu. Apa maksudnya? Hal ini dikarenakan Perintah adalah sarana, atau media yang harus kita kerjakan, atau alat bantu yang harus kita lakukan untuk mencapai suatu tujuan. Contohnya, perintah mandi dan gosok gigi bukanlah tujuan akhir dari perintah mandi dan gosok gigi yamg kita lakukan. Hal ini dikarenakan tujuan dari mandi dan gosok gigi adalah untuk mencapai kesehatan tubuh dan juga kesehatan mulut dan gigi. Adanya kondisi ini berarti hanya orang yang mau melaksanakan perintah mandi dan gosok gigi dengan baik dan benar sajalah yang akan memperoleh kesehatan tubuh dan kesehatan mulut dan gigi. 

Adanya kondisi ini berarti Perintah mandi dan gosok gigi merupakan kegiatan yang sangat bersifat Individualistik sehingga hanya orang-orang yang mau melaksanakan mandi dan gosok gigi dengan baik dan benar sajalah yang akan memperoleh manfaat dari mandi dan gosok gigi. Adanya hal ini menunjukkan kepada kita bahwa apa yang diperoleh dari melaksanakan mandi dan gosok gigi tidak, akan bisa dipindahtangankan, tidak akan bisa dialihkan, atau tidak akan bisa diwariskan kepada orang lain sepanjang orang tersebut tidak mau melaksanakan mandi dan gosok gigi dengan baik dan benar.


Di lain sisi, langit dan bumi diciptakan dan dimiliki oleh ALLAH SWT, sekarang undang-undang siapakah, hukum siapakah, ketentuan siapakah, perintah siapakah yang wajib berlaku di muka bumi ini? Berdasarkan akal sehat manusia, maka hanya undang-undang, hukum, ketentuan, perintah ALLAH SWT sajalah yang wajib berlaku di muka bumi ini. Sekarang pemilik dan pencipta langit dan bumi melalui surat Al Hajj (22) ayat 77 telah memerintahkan kepada seluruh umat manusia untuk mendirikan SHALAT, maka ketentuan ini wajib berlaku dan wajib di taati oleh setiap manusia yang ada dan yang hidup di muka bumi ini. 

Sekarang timbul pertanyaan baru tentang perintah SHALAT, apakah perintah mendirikan SHALAT yang diperintahkan oleh ALLAH SWT merupakan tujuan akhir dari suatu perintah itu sendiri? Jika perintah mendirikan mandi dan gosok gigi saja bukanlah tujuan akhir dari perintah itu sendiri, maka hal yang samapun berlaku pada perintah mendirikan SHALAT. Perintah mendirikan SHALAT bukanlah tujuan akhir dari apa yang diperintahkan oleh pemberi perintah mendirikan SHALAT. Perintah mendirikan SHALAT hanyalah sarana, atau alat bantu atau media untuk mendapatkan, atau memperoleh tujuan akhir, atau sarana untuk merasakan maksud dan tujuan dari mendirikan SHALAT itu sendiri.


Selanjutnya berdasarkan apa yang kami uraikan di dalam bab 2(dua) buku ini, perintah mendirikan SHALAT merupakan sarana dan alat bantu bagi diri kita untuk Berkomunikasi dengan ALLAH SWT, untuk Berdoa kepada ALLAH SWT, untuk  Mencegah perbuatan keji dan Mungkar; untuk Menghadap kepada  ALLAH SWT; untuk Mengingat ALLAH SWT; untuk Memenuhi Janji Kepada ALLAH SWT, untuk Mensucikan atau membersihkan Jiwa; dan lain sebagainya. 


Selanjutnya jika ini adalah maksud dan tujuan dari mendirikan SHALAT yang dikehendaki oleh ALLAH SWT, berarti hal inilah yang harus menjadi tujuan saat diri kita mendirikan SHALAT dan jika hal ini tidak bisa kita lakukan berarti ada sesuatu yang salah di dalam SHALAT yang kita dirikan. Sekarang timbul pertanyaan yang paling mendasar dari perintah mendirikan SHALAT yaitu siapakah yang harus mendirikan SHALAT, apakah hanya diri kita, ataukah hanya anak dan keturunan kita, ataukah seluruh manusia harus mendirkan SHALAT saat hidup di muka bumi ini? Jika kita yang harus SHALAT, apakah Jasmani yang harus SHALAT ataukah Ruhani yang harus SHALAT? Jawaban dari pertanyaan ini, ada pada pembahasan berikut ini yang terbagi di dalam ketentuan umum dan ketentuan khusus.


1. DIRI SENDIRI


Siapakah yang harus mendirikan SHALAT saat ini? Jika kita merasa bukan yang menciptakan dan bukan pula yang memiliki langit dan bumi yang sedang kita tempati saat ini maka kita wajib mendirikan SHALAT saat hidup di muka bumi ini. Kenapa saat di muka bumi ini kita harus mendirikan SHALAT? Hal ini dikarenakan hanya saat  hidup di muka bumi inilah kesempatan diri kita untuk mendirikan SHALAT. Timbul pertanyaan lagi, jika kita wajib mendirikan SHALAT lalu bagaimanakah dengan manusia lainnya yang ada di muka bumi? Jika kita mengacu bahwa hanya ALLAH SWT adalah pencipta dan pemilik langit dan bumi maka segala ketentuan yang wajib berlaku di muka bumi ini adalah ketentuan ALLAH SWT. Adanya kondisi ini maka setiap orang yang ada di muka bumi ini, semuanya wajib mematuhi segala ketentuan ALLAH SWT yang telah ALLAH SWT tetapkan berlaku di muka bumi ini.


dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'[44].
(surat Al Baqarah (2) ayat 43)

[44] Yang dimaksud Ialah: shalat berjama'ah dan dapat pula diartikan: tunduklah kepada perintah-perintah Allah bersama-sama orang-orang yang tunduk.


Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
(surat An Nisaa' (4) ayat 103)


Jika sekarang ALLAH SWT melalui surat Al Baqarah (2) ayat 43; melalui surat An Nisaa' (4) ayat 103 serta melalui surat Al Hajj (22) ayat 77, telah memerintahkah kepada seluruh manusia untuk mendirikan SHALAT berarti ketentuan SHALAT ini wajib berlaku di muka bumi dan setiap manusia yang ada di muka bumi wajib pula mematuhi perintah ini dan melaksanakannya dengan sebaik mungkin sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh ALLAH SWT.


Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
(surat Al Hajj (22) ayat 77)


Adanya ketentuan mendirikan SHALAT yang wajib berlaku di muka bumi ini berarti setiap manusia, apapun kedudukannya, apapun pangkatnya, apapun jabatannya, apakah laki-laki, apakah perempuan, apakah  tua, apakah muda, apakah kaya, apakah miskin, mereka semua harus melaksanakan perintah mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT. Hal ini dikarenakan kita tidak pernah sekalipun menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya maupun kita tidak pernah sekalipun mampu menciptakan diri kita sendiri sehingga yang ada di muka bumi ini adalah ketentuan ALLAH SWT selaku pencipta dan pemilik dari langit dan bumi.


Selanjutnya berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 30, setiap manusia, termasuk diri kita sudah diangkat oleh ALLAH SWT sebagai KHALIFAH di muka bumi yang diciptakan dan dimiliki oleh ALLAH SWT.

Anas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Barangsiapa tidak rela dengan hukum-Ku dan taqdir-Ku maka hendaklah ia mencari Tuhan selain Aku.
(HQR Al Baihaqi dari Ibnu Umar serta Ath Thabarani dan Ibnu Hibban dari Abi Hind, Al Baihaqi dan Ibnu Najjar, (272:153)

Sekarang alangkah naifnya, alangkah lucunya, alangkah konyolnya, alangkah tidak tahu dirinya jika kita yang sudah diangkat  oleh ALLAH SWT sebagai KHALIFAH di muka bumi namun kita sendiri malah melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh ALLAH SWT, selaku pengutus diri kita di muka bumi. Jika ini sampai terjadi pada diri kita berarti ketentuan Hadits Qudsi di atas ini berlaku kepada diri kita. Sekarang adakah Tuhan-Tuhan lain selain ALLAH SWT yang mampu mengalahkan ALLAH SWT, yang mampu menandingi ALLAH SWT sehingga mampu menciptakan langit dan bumi seperti langit dan bumi yang diciptakan oleh ALLAH SWT? Selanjutnya jika sampai diri kita tidak mau mematuhi segala ketentuan ALLAH SWT (dalam hal ini perintah mendirikan SHALAT, atau melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah) berarti memang kita tidak tahu diri. Hal ini dikarenakan sudah diciptakan oleh ALLAH SWT, sudah menumpang di bumi yang dimiliki ALLAH SWT, sudah mendayagunakan dan mengambil manfaat dari bumi yang dimiliki ALLAH SWT, setelah itu ALLAH SWT kita lawan. Untuk itu segera Taubatlah jika saat ini kita belum juga mau mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT, atau segeralah minta di SHALATkan karena inilah ketentuan terakhir jika kita tidak bisa mendirikan SHALAT lagi saat hidup di dunia. 


2. ANAK dan KETURUNAN


Setelah diri kita mendirikan SHALAT, lalu siapakah lagi yang harus mendirikan SHALAT saat hidup di muka bumi? Yang harus mendirikan SHALAT selanjutnya adalah anak dan keturunan dari diri kita sendiri. Lalu kenapa anak dan keturunan kita harus mendirikan SHALAT? Diri kita adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan regenerasi kekhalifahan yang ada di atas diri kita, sehingga hal yang samapun terjadi pada anak dan keturunan kita yaitu ia pun tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan diri kita saat ini. Selanjutnya jika diri kita mendirikan SHALAT lalu anak dan keturunan kita tidak mendirikan SHALAT berarti ada sesuatu yang salah di dalam mata rantai regenerasi kekhalifahan yang kita buat di muka bumi ini, yaitu ada satu pihak yang tidak mau melaksanakan ketentuan dari pencipta dan pemilik langit dan bumi. 



Agar antara diri kita dengan anak dan keturunan kita berada di dalam kesesuaian dengan ketentuan ALLAH SWT yang berlaku di muka bumi ini, atau seluruh pihak mau melaksanakan perintah ALLAH SWT maka harus dimulai dari adanya Keluarga Sakinah atau Keluarga Sakinah merupakan prasyarat yang harus kita buat guna menselaraskan antara diri kita dengan anak keturunan kita di dalam melaksanakan segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh ALLAH SWT.Timbul pertanyaan, dapatkah kita membuat, menjadikan diri kita sendiri, atau menjadikan keluarga kita sendiri menjadi sebuah keluarga yang Sakinah jika tanpa dilandasi dengan suatu konsep yang berasal dari ALLAH SWT yaitu berupa Diinul Islam yang dilaksanakan secara Kaffah, atau apakah hanya salah satu anggota keluarga saja yang melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah maka keluarga Sakinah dapat kita wujudkan, atau apakah seluruh keluarga termasuk anak dan keturunan yang melaksanakan Diinul Islam yang Kaffah barulah keluarga Sakinah dapat kita wujudkan?


Untuk dapat mewujudkan keluarga Sakinah diperlukan sebuah Tuntunan dan Pedoman yang baku dan jelas di dalam mewujudkannya. Tanpa adanya Tuntunan dan Pedoman yang baku, serta perjuangan antar sesama anggota keluarga, apakah itu orang tua, apakah anak dan keturunan, maka keluarga Sakinah akan sangat sulit diwujudkan. Adanya kondisi ini berarti untuk mewujudkan keluarga Sakinah di tengah keluarga kita serta Regenerasi Kekhalifahan di muka bumi, tidak hanya diri kita secara pribadi saja yang harus memeluk Diinul Islam secara Kaffah, atau tidak hanya diri kita saja yang melaksanakan Syahadat, atau yang mendirikan SHALAT. Akan tetapi Anak dan Keturunan dari diri kita, termasuk Istri atau Suami juga harus memeluk Diinul Islam secara Kaffah, atau melaksanakan Syahadat dan mendirikan SHALAT secara baik dan benar sesuai kehendak ALLAH SWT.


Selanjutnya jika hari ini kita telah mampu merasakan kenikmatan dari bertuhankan hanya kepada ALLAH SWT yang berasal dari pelaksanaan Diinul Islam yang Kaffah, dapatkah anak dan keturunan kita merasakan hal yang sama dengan yang kita rasakan saat ini? Sepanjang diri kita tidak pernah memperkenalkan, tidak pernah mengajarkan Diinul Islam secara Kaffah, atau sepanjang diri kita tidak pernah menjadikan SYAHADAT sebagai sebuah Komitmen dan Pengakuan kepada           ALLAH SWT dan kepada Nabi MUHAMMAD SAW, atau sepanjang diri kita tidak pernah mendidik dan  mengajarkan tentang SHALAT kepada anak dan keturunan kita maka hal-hal yang telah pernah kita rasakan tidak akan pernah dapat dirasakan oleh anak dan keturunan kita. Jika ini adalah keadaannya, berarti nikmat bertuhankan kepada ALLAH SWT, atau buah dari pelaksanaan Syahadat, atau buah dari mendirikan SHALAT tidak akan dapat diwariskan, tidak akan dapat dialihkan walaupun kepada anak dan keturunan kita sepanjang anak dan keturunan kita tidak mau menjadikan dirinya melakukan hal yang sama seperti yang kita lakukan. Sekarang apakah akan kita biarkan anak dan keturunan kita tidak mau mendirikan SHALAT saat mereka hidup di dunia?



Suruhlah anak-anakmu shalat bila berumur tujuh tahun dan gunakan pukulan jika mereka sudah berumur sepuluh tahun dan pisahlah tempat tidur mereka (putera-puteri).
(HR. Abu Dawud)



Adanya hadits yang kami kemukakan di atas, menunjukkan kepada diri kita bahwa kita adalah orang tua, kita adalah pembuat regenerasi kekhalifahan yang ada di bawah diri kita, sehingga kita memiliki kewajiban untuk selalu mengajarkan, untuk selalu mendidik anak dan keturunan kita sendiri untuk melaksanakan perintah mendirikan SHALAT yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT sejak mereka berumur tujuh tahun. Selanjutnya jika mengajarkan, mendidik anak dan keturunan untuk mendirikan SHALAT sudah ditetapkan oleh Nabi MUHAMMAD SAW selaku utusan ALLAH SWT di muka bumi, lalu sebagai KHALIFAH di muka bumi tentu kita harus melaksanakan hal ini dengan sebaik-baiknya, terkecuali jika kita mampu mempertanggungjawabkan keberadaan anak dan keturunan diri kita dihadapan ALLAH SWT kelak. Hal ini dikarenakan anak juga merupakan Amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan ALLAH SWT serta anak keturunan kita tidak serta merta dapat mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT dengan mengucapkan kata “bim salabim” kepada mereka maka mampulah mereka mendirikan SHALAT sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT.


Selain daripada itu, ada hal lainnya yang ingin kami kemukakan yang terkait dengan perintah mandi dan gosok gigi yang kami hubungkan dengan perintah mendirikan SHALAT, yaitu sewaktu diri kita masih kecil, kita selalu diperintahkan oleh orang tua untuk mandi dan gosok gigi. Adanya perintah dari orang tua maka kitapun melaksanakan mandi dan gosok gigi. Selanjutnya setelah mengetahui manfaat yang didapat dari melaksanakan mandi dan gosok maka kita merasa sangat membutuhkan mandi. Timbul pertanyaan yang mendasar, kenapa setelah diri kita menjadi orang tua juga memerintahkan kepada anak kita sendiri untuk melaksanakan mandi dan gosok gigi? Hal ini kita lakukan karena diri kita telah merasakan langsung manfaat dari aktivitas mandi dan gosok gigi, atau merasakan langsung akibat dari tidak melakukan mandi dan gosok gigi.


Adanya hal-hal positif dan juga hal yang negatif yang telah pernah kita rasakan dari aktivitas mandi dan gosok gigi maka dengan memerintahkan kepada anak sendiri untuk mandi dan gosok gigi maka kita berharap anak tidak mengalami hal-hal negatif yang pernah kita rasakan, atau anak hanya memperoleh hal-hal yang baik dari aktivitas mandi dan gosok gigi. Sekarang bagaimana dengan perintah mendirikan SHALAT yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT kepada diri kita dan juga kepada anak keturunan kita? Jika kita mengacu kepada betapa bermanfaatnya mandi dan gosok gigi kepada diri kita maka sudah seharusnya kita dapat merasakan pula manfaat dari melaksanakan perintah mendirikan SHALAT yang telah diperintahkan ALLAH SWT. Jika ini tidak terjadi berarti ada sesuatu yang salah dengan SHALAT yang kita dirikan. Akan tetapi jika manfaat dari mendirikan SHALAT telah pula kita rasakan seperti merasakan manfaat dari mandi dan gosok gigi maka jika sekarang kita memerintahkan anak untuk mendirikan SHALAT berarti kita berharap kepada anak keturunan mengalami dan merasakan manfaat dari mendirikan SHALAT, atau kita berharap anak keturunan kita tidak mengalami apa yang kita rasakan jika meninggalkan SHALAT.


Hamba ALLAH SWT, itulah salah satu harapan orang tua kepada anak yang kita perintahkan untuk mendirikan SHALAT. Akan tetapi apa yang kami kemukakan ini hanya bersifat harapan semata, jika kita sendiri tidak pernah mengajarkan, jika kita tidak pernah mendidik, jika kita tidak pernah memberi contoh kepada anak dan keturunan kita untuk mendirikan SHALAT sesuai dengan kehendak ALLAH SWT selaku pemberi perintah mendirikan SHALAT. Sebagai orang tua, sudahkah diri kita mengajarkan, mendidik, mencontohkan, menjadikan diri kita sendiri sebagai suri tauladan bagi anak keturunan kita sendiri untuk mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT? Jika kita sebagai orang tua tidak pernah mengajarkan, tidak pernah mendidik, tidak pernah memberi contoh kepada anak kita sendiri untuk mendirikan SHALAT, padahal kita memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk melakukan itu semua maka bersiap-siaplah mempertanggungjawabkan apa yang kita lakukan kepada anak dan keturunan kita sendiri dihadapan ALLAH SWT kelak.


Sekarang tolong perhatikan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim di bawah ini. Hadits ini dapat dikatakan sebagai bonus, atau pemberian ekstra ataupun bukti bakti dari anak yang shaleh/shalehah kepada orang tua, sehingga orang tua termasuk di dalamnya kakek, nenek dapat pula kita doakan kepada ALLAH SWT, agar mereka semua diampuni segala dosa dan kesalahannya, dilapangkan jalannya, atau dilapangkan kuburnya, diterima amal ibadahnya, oleh sebab doa dari anak dan keturunan yang shaleh atau shalehah.


Rasulullah SAW bersabda: “Bila seseorang telah meninggal, terputus untuknya pahala segala amal kecuali tiga hal yang tetap kekal: Shadaqah Jariah, Ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang senantiasa mendoakannya”.                                                                               (HR Bukhari-Muslim)


Sekarang darimana datangnya anak yang Shaleh dan Shalehah itu, atau apakah anak Shaleh dan Shalehah  datang dengan begitu saja dari langit untuk diri kita? Untuk mendapatkan, untuk memperoleh anak yang shaleh dan shalehah, bukanlah proyek “bim salabim”. Untuk itu kita diwajibkan untuk memprogram, untuk mengajarkan, untuk mendidik anak dan keturunan kita dengan menjadikan Diinul Islam sebagai satu-satunya Agama yang Haq serta menjalankannya secara Kaffah. Tanpa adanya keseriusan diri kita untuk menciptakan, untuk memprogram, anak Shaleh dan Shalehah maka keberadaan anak Shaleh dan Shalehah yang akan mendoakan diri kita kelak, hanyalah mimpi di siang bolong. Selanjutnya, sebagai bahan pemikiran dan sebagai pemacu bagi diri kita untuk menjadikan anak dan keturunan kita berada di dalam kesamaan Diinul Islam sebagai Agama yang Haq, berikut ini akan kami kemukakan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari,Muslim tentang paman dari Nabi MUHAMMAD SAW yang sampai akhir hayatnya belum menjadikan Diinul Islam sebagai Agama yang Haq.



Al-Abbas bin Abdulmuththalib ra. tanya kepada Nabi SAW: Apakah pertolonganmu (manfaatmu) bagi Abu Thalib yang telah memeliharamu dan membelamu, bahkan ia marah karenamu? Jawab Nabi SAW: Ia kini di atas permukaan neraka, dan andaikan tidak karenaku niscaya ia di tingkat terbawah dalam neraka.
(HR Bukhari,Muslim; Al Lulu Wal Marjan:125)


Abu Saied Alkhudri ra. mendengarkan Rasulullah SAW ketika disebut padanya ami Abu Thalib, maka sabda Nabi SAW: Semoga berguna baginya syafa'atku sehingga diletakkan di bagian atas dalam neraka sehingga api neraka hanya membakar sampai batas mata kakinya yang cukup untuk mendidihkan otaknya.
(HR Bukhari,Muslim; Al Lulu Wal Marjan:126)


Adanya perbedaan keyakinan antara Abu Thalib dengan Nabi MUHAMMAD SAW, mengakibatkan terjadinya jurang pemisah yang tidak dapat ditolerir oleh ALLAH SWT. Selanjutnya coba anda bayangkan Doa, Permohonan dari Nabi dan Rasul terakhir saja tidak mampu menghantarkan Abu Thalib secara langsung ke Syurga, sekarang bagaimana dengan diri kita yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Nabi MUHAMMAD SAW.


Jika ini adalah kondisi Nabi MUHAMMAD SAW kepada Pamannya sendiri, selanjutnya bagaimana dengan diri kita kepada kedua orang tua kita sendiri, atau bagaimana dengan anak keturunan kita dengan diri kita? Kita tidak akan pernah tahu, apakah akan di doakan oleh anak dan keturunan kita sendiri setelah kita meninggal dunia. Kita juga tidak memiliki jaminan sama sekali apakah akan didoakan oleh anak dan keturunan kita sendiri kelak setelah diri kita meninggal dunia. Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas ini maka kita harus menyadari betapa pentingnya pendidikan dan pengajaran Diinul Islam sebagai Agama yang Haq kepada anak dan keturunan kita sendiri. Tanpa ini, apa yang dapat kita lakukan kepada orang tua kita, atau apa yang dapat kita harapkan dari anak dan keturunan kita jika kita tidak pernah memberikan dan mengajarkan Diinul Islam sebagai Agama yang Haq yang berasal dari Fitrah ALLAH SWT. 




Tanpa adanya kesamaan, dalam hal ini adalah kesamaan dalam Diinul Islam sebagai Agama yang Fitrah, maka jangan pernah berharap ALLAH SWT memberikan Fasilitas Kemudahan ini. Dengan demikian kita sebagai KHALIFAH, atau kita sebagai orang tua wajib  mengajarkan kepada anak dan keturunan kita masing-masing tentang Diinul Islam, tentang Syahadat sebagai sebuah Komitmen dan Pengakuan kepada ALLAH SWT dan kepada Nabi MUHAMMAD SAW sebagai utusan ALLAH SWT, mengajarkan tentang SHALAT, mengajarkan tentang ZAKAT, mengajarkan tentang PUASA dan mengajarkan tentang HAJI sehingga baik diri kita maupun anak dan keturunan kita selalu berada dalam satu kesatuan yaitu di dalam Diinul Islam sebagai Agama yang Fitrah dari ALLAH SWT.


JASMANI vs RUHANI
Siapakah yang harus mendirikan SHALAT?


Setelah kita mengetahui dengan pasti bahwa yang harus mendirikan SHALAT adalah diri kita dan juga anak dan keturunan kita sendiri. Selanjutnya kami ingin mengajak pembaca buku ini untuk membahas lebih dalam lagi tentang siapakah yang harus mendirikan SHALAT itu, apakah Jasmani yang harus mendirikan SHALAT, ataukah Ruhani dengan segala komponen yang menyertainya yang harus mendirikan SHALAT? Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa jati diri manusia yang sesungguhnya adalah Ruhani. Hal ini dikarenakan Ruhani tidak akan pernah hancur oleh sebab apapun juga, atau Ruhani tidak akan mengalami kematian oleh sebab apapun juga serta Ruhani inilah yang akan mempertanggung jawabkan segala apa yang telah dikerjakan oleh manusia saat hidup di dunia serta Ruhani pulalah yang akan menikmati, atau merasakan azab kubur serta yang akan pulang ke Syurga atau ke Neraka. Ruhani yang tidak lain adalah bagian dari Nur-Nya ALLAH SWT tentu akan selalu berkomunikasi dengan ALLAH SWT.


Di lain sisi saat diri kita hidup di dunia, Ruhani tidak mungkin dapat dipisahkan dengan Jasmani karena saat bersatunya Ruhani dengan Jasmani itulah yang dikatakan dengan hidup. Di saat hidup  di dunia inilah terjadi apa yang dinamakan dengan pertarungan antara Jasmani yang di dukung oleh Syaitan untuk menjadikan kondisi kejiwaan manusia apakah menjadi Fujur atau Taqwa dengan Ruhani yang di dukung oleh Malaikat. Jika Jasmani mampu mengalahkan Ruhani maka terjadilah apa yang dinamakan dengan Jiwa Fujur sedangkan jika Ruhani mampu mengalahkan Jasmani maka terjadilah apa yang dinamakan dengan Jiwa Taqwa. Agar diri kita selalu berada di dalam Jiwa Taqwa, atau agar pengaruh buruk dari Jasmani yang didukung oleh Syaitan tidak mengotori kefitrahan diri kita maka yang harus mendirikan SHALAT adalah Ruhani dan Amanah 7, dengan ketentuan sebagai berikut :


1.      Hati Ruhani harus SHALAT, dikarenakan Hati Ruhani inilah yang dapat menjangkau kebesaran dan kemahaan ALLAH SWT serta tempat diletakkannya Iradat sehingga lahirlah apa yang dinamakan dengan Niat serta Hati Ruhani merupakan pusat dari Jati Diri Manusia yang sesungguhnya.
 
2.      Af’idah (perasaan) harus SHALAT, dikarenakan Af’idahlah yang akan merasakan langsung komunikasi dengan ALLAH SWT, atau Af’idahlah yang akan merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT.

3.      Ilmu juga harus SHALAT dikarenakan tanpa Ilmu yang baik tentang SHALAT bagaimana kita akan mengerti apa itu SHALAT, apa itu bacaan SHALAT serta melalui Ilmu inilah kita dapat mengontrol seluruh aktivitas SHALAT yang kita dirikan.

4.      Kalam harus SHALAT, dikarenakan Kalam merupakan juru bicara saat diri kita mendirikan SHALAT.

5.      Sami' dan Bashir harus SHALAT, dikarenakan melalui pendengaran dan penglihatan inilah akan dapat diketahui apa yang dibaca, apa yang diperdengarkan, oleh juru bicara saat  mendirikan SHALAT.

6.      Qudrat harus SHALAT, dikarenakan kekuatan yang berasal dari Qudratlah yang mampu menggerakkan Jasmani dan juga Ruhani.

7.      Hayat harus SHALAT, dikarenakan hayat merupakan komponen pengikat antara Jasmani dengan Ruhani sehingga manusia masih dikatakan sebagai manusia. 


Sekarang bagaimana dengan Jasmani pada saat Ruhani dengan segala komponennya mendirikan SHALAT? Posisi dari Jasmani saat Ruhani dan Amanah 7 mendirikan SHALAT (atau  saat diri kita  berkomunikasi dengan ALLAH SWT, atau saat diri kita menghadap ALLAH SWT) harus menjadi Makmum bagi Ruhani dan Amanah 7, atau Jasmani harus tunduk patuh mengikuti kehendak dari Ruhani dan Amanah 7 saat mendirikan SHALAT.


Selanjutnya timbul pertanyaan, apa dasarnya Ruhani dan Amanah 7 yang harus mendirikan SHALAT sedangkan Jasmani hanyalah Makmum bagi Ruhani dan Amanah 7? Jika kita mengambil pengertian dasar bahwa SHALAT itu adalah berkomunikasi langsung dengan ALLAH SWT dan juga SHALAT adalah Menghadap ALLAH SWT maka hanya komponen-komponen yang saling berkesesuaian sajalah yang dapat berkomunikasi dengan ALLAH SWT, atau hanya komponen yang memiliki kesamaan karakteristik sajalah yang bisa dihadapkan langsung kepada ALLAH SWT. Apa maksudnya? Di dalam kehidupan sehari-hari, air dengan minyak tidak bisa dicampur menjadi satu karena air dan minyak memiliki karakteristik yang berbeda, dalam hal berat jenisnya berbeda. Sehingga dengan adanya perbedaan ini keduanya tidak bisa menjadi satu atau tidak bisa saling sinergi satu dengan yang lainnya.


Adanya kondisi ini berarti hanya dzat yang memiliki karakterisik yang sama sajalah yang dapat saling bersinergi. Contohnya air dengan air, udara dengan udara, minyak dengan minyak. Sekarang bagaimana dengan SHALAT? Hal yang samapun terjadi pada saat diri kita mendirikan SHALAT, yaitu hanya Ruhani dan Amanah 7 yang dapat berkomunikasi dengan ALLAH SWT atau hanya Ruhani dan Amanah 7 sajalah yang dapat dihadapkan dengan ALLAH SWT. Apa dasarnya?


Wahab bin Munabbih berkata: Allah ta'ala berfirman : Sesungguhnya langit-langit dan bumi tidak berdaya menjangkau-Ku namun Aku telah dijangkau oleh Hati seorang mukmin.
(HQR Ahmad dari Wahab bin Munabbih, 272:32)


Hal ini dikarenakan Ruhani asalnya dari Nur ALLAH SWT melalui proses peniupan ke dalam Jasmani manusia sedangkan Amanah 7 adalah bagian dari sifat Ma'ani ALLAH SWT. Adanya kesamaan yang mendasar antara Ruhani dan Amanah 7 dengan ALLAH SWT (maksudnya adalah asalnya dari ALLAH SWT semata) maka saat diri kita mendirikan SHALAT terjadilah apa yang dinamakan dengan Sinergi antara Ruhani dan Amanah 7, atau antara diri kita yang sebenarnya dengan ALLAH SWT yang Maha Kuat. Selanjutnya apa yang sebenarnya terjadi saat bersinerginya Ruhani dan Amanah 7 dengan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan? Adanya proses sinergi antara Ruhani dan Amanah 7 dengan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT berarti telah terjadi apa yang dinamakan dengan :

a.      proses perbaikan Ruhani dan Amanah 7 akibat gangguan Ahwa dan Syaitan,  atau
b.  proses peningkatan kualitas Ruhani dan Amanah 7 akibat eksploitasi yang tidak sesuai dengan kehendak ALLAH SWT,  atau
c.       proses pemeliharaan Ruhani dan Amanah 7 akibat perbuatan dosa yang telah kita lakukan,  atau
d.    proses komunikasi antara diri kita yang lemah dengan yang Maha Hebat, dalam hal ini ALLAH SWT.


Adanya 4(empat) buah kondisi yang kami kemukakan di atas ini maka Ruhani dan Amanah 7 yang sebelumnya mendapat pengaruh negatif dari Ahwa dan juga Syaitan dapat kembali fitrah, dapat kembali normal sesuai dengan kehendak ALLAH SWT.


Sekarang bagaimana dengan Jasmani yang asalnya dari sari pati tanah? Jasmani yang asalnya dari tanah maka ia tidak bisa dipergunakan untuk berkomunikasi dengan ALLAH SWT, atau ia tidak bisa dipergunakan untuk menghadap ALLAH SWT, atau tidak bisa menerima kebesaran dan kemahaan ALLAH SWT karena adanya perbedaan karakteristik yang tidak akan mungkin dapat disamakan. Selanjutnya jika Jasmani tidak bisa dihadapkan kepada ALLAH SWT berarti Nilai-Nilai Keburukan yang di bawa oleh Jasmani akan tetap ada di dalam diri manusia. Dan jika Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Jasmani masih tetap ada berarti pintu masuk bagi Syaitan untuk mengganggu dan menggoda anak keturunan dari Nabi Adam as, akan tetap ada sampai dengan hari kiamat kelak. Selanjutnya jika Ruhani dan Amanah 7 yang harus mendirikan SHALAT dan Jasmani harus menjadi Makmum bagi kepentingan Ruhani dan Amanah 7 saat mendirikan SHALAT, lalu apakah yang seharusnya terjadi setelah diri kita mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah SHALAT? 




JIka SHALAT yang kita dirikan sesuai dengan yang dikehendaki oleh   ALLAH SWT maka proses sinergi antara Ruhani dan Amanah 7 dengan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT akan dapat mempengaruhi kesehatan Jasmani secara langsung maupun dapat mengurangi pengaruh dampak negatif dari Ahwa dan juga Syaitan yang berasal dari sifat-sifat alamiah Jasmani (Insan),atau melalui SHALAT dapat mengembalikan jiwa Fujur kepada jiwa Taqwa. Adanya kondisi ini maka sebagai KHALIFAH di muka bumi yang membutuhkan SHALAT dari waktu ke waktu, kita harus menyadari betul bahwa yang sebenarnya mendirikan SHALAT itu adalah bukanlah Jasmani melainkan Ruhani dan Amanah 7. Dan jika sampai diri kita tidak mampu melakukannya dengan baik dan benar maka pengertian dasar dari SHALAT yang telah kami kemukakan di bab 2, tidak akan pernah terjadi serta manfaat dari mendirikan SHALAT tidak akan pernah dapat kita rasakan melalui Af’idah.


Sebagai penutup bab ini, perkenankan kami mengemukakan hal-hal sebagai berikut sebagai penggugah bagi yang belum mau mendirikan SHALAT, atau bagi yang sudah mendirikan SHALAT tetapi belum sesuai dengan yang dikehendaki oleh ALLAH SWT selaku pemberi perintah mendirikan SHALAT, yaitu : Di dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari aktivitas, atau pekerjaan yang mengakibatkan tubuh manusia mengalami suatu keadaan yang tidak mengenakkan seperti timbulnya keringat, menempelnya debu, timbulnya kuman dan bakteri, timbulnya daki, timbulnya gatal-gatal, yang kesemuanya akan mengakibatkan terganggunya kesehatan kulit. Solusi dari ini semua hanya dapat di atasi dengan mandi yang baik dan benar. Selanjutnya hal yang samapun terjadi saat diri kita menjadi KHALIFAH di muka bumi, yaitu kita tidak bisa menghindar dari pertarungan antara sifat-sifat Jasmani yang mengandung Nilai-Nilai Keburukan (yang juga disebut dengan Ahwa) yang didukung oleh Syaitan untuk menaklukkan Ruhani yang mengandung Nilai-Nilai Kebaikan yang didukung oleh Malaikat. Jika Jasmani yang didukung Syaitan mampu menaklukkan Ruhani maka timbullah Jiwa Fujur dalam diri manusia. Sedangkan jika Ruhani mampu mengalahkan Jasmani maka timbullah Jiwa Taqwa di dalam diri manusia. Selanjutnya agar diri kita dapat tetap berada di dalam Jiwa Taqwa maka disinilah letak pentingnya kita mendirikan SHALAT seperti halnya diri kita melakukan mandi. Untuk itu jika saat ini kita belum juga mau mendirikan SHALAT saat hidup di muka bumi yang tidak pernah kita ciptakan berarti :

a.   kita berada di dalam Jiwa Fujur yang sesuai dengan kehendak Syaitan sang laknatullah, atau

b.  kita merasa mampu mengalahkan Ahwa dan Syaitan seorang diri tanpa bantuan dari ALLAH SWT dikarenakan kita merasa lebih jago dan lebih hebat dari pada ALLAH SWT, atau

c.   karena kita telah sanggup menahan panasnya api neraka yang panasnya 70 (tujuh puluh) kali panasnya api dunia, atau

d.  kita telah mampu mencari tuhan selain ALLAH SWT sehingga kita bisa terbebas dari kewajiban mematuhi ketentuan ALLAH SWT, atau

e.   bersiap-siaplah untuk diSHALATkan karena kita sudah tidak mampu lagi mendirikan SHALAT saat hidup di dunia.   


Akan tetapi, jika kita ingin berubah, maka lakukanlah Taubatan Nasuha saat ini juga lalu laksanakan Diinul Islam secara Kaffah,  karena kita tidak tahu kapan datangnya Malaikat Izrail kepada diri kita untuk melaksanakan tugasnya memisahkan antara Jasmani dengan Ruhani, terkecuali kita mampu mengalahkan Malaikat Izrail.   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar