F.
ADANYA PERBEDAAN
KONSEP USIA DENGAN KONSEP UMUR.
Konsep Tahu Aturan
Main yang berikutnya adalah adanya perbedaan konsep usia dengan konsep umur.
Dimana usia adalah saat Allah SWT mulai mempersatukan ruh ke dalam jasmani
sampai dengan dipisahkannya kembali ruh dengan jasmani melalui proses sakaratul
maut. Adapun saat atau berapa lama masa bersatunya ruh dengan jasmani
ditentukan oleh Allah SWT. Tidak ada yang bisa memajukan, atau memundurkan masa
bersatunya ruh dengan jasmani. Adapun saat dipisahkannya ruh dengan jasmani
terjadilah apa yang dinamakan dengan sakaratul maut. Jasmani akan dikembalikan
ke tanah sedangkan ruh sementara waktu
akan ditempatkan di alam barzah sampai hari kiamat tiba.
Kematian itu adalah
pasti dan jika kematian itu adalah pasti berarti Malaikat Maut pasti sukses
melaksanakan tugasnya. Hal ini juga dikarenakan bahwa di dunia ini tidak ada
cara dan obat yang mampu membuat manusia tidak mati. Di dunia ini juga tidak
ada cara untuk menghalangi atau menggagalkan Malaikat Maut melaksanakan
tugasnya kepada manusia. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Allah SWT dalam 3
(tiga) buah firmanNya sebagaimana berikut ini: Allah SWT berfirman: “tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah
disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke
dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain
hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (surat Ali Imran (3) ayat 185).”
Allah SWT juga berfirman
sebagaimana berikut ini: “Sesungguhnya kamu akan mati dan
Sesungguhnya mereka akan mati (pula). (surat Az Zumar (39) ayat 30).
Dan juga berdasarkan
firman Allah SWT berikut ini: “Kami telah menentukan kematian di antara
kamu dan Kami sekali-sekali tidak akan dapat dikalahkan, untuk menggantikan
kamu dengan orang-orang yang seperti kamu (dalam dunia) dan menciptakan kamu
kelak (di akhirat) dalam Keadaan yang tidak kamu ketahui. (surat Al Waaqiah
(56) ayat 60,61).”
Berdasarkan ketentuan
surat Ali Imran (3) ayat 185; surat Az Zumar (39) ayat 30 dan juga surat Al
Waaqiah (56) ayat 60, 61 yang kami kemukakan di atas, Allah SWT sudah menya-takan
dengan tegas tidak akan ada satupun manusia yang tidak akan mengalami kematian.
Semua manusia pasti akan mati. Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan kepada
diri kita bahwa konsep usia panjang dalam hitungan tertentu, katakan sampai
usia 100 tahun, tidak ada di dalam
ajaran agama Islam karena yang menentukan usia adalah Allah SWT. Berapa lama
kita hidup kita tidak tahu, yang tahu hanya Allah SWT. Sehingga seseorang jika
telah sampai kepada apa yang telah ditentukan oleh Allah SWT maka selesai pula
hidupnya di muka bumi ini. Dan jika kematian adalah sebuah kepastian berarti di
dalam menghadapi kepastian ini kita harus pintar pintar memanfaatkan waktu agar
kita bisa merealisir visi akhirat kita melalui karya nyata yang besar saat
hidup di dunia. Lalu sudahkah kita mempersiapkan kematian yang pasti datang itu
dengan sebaik baiknya.
Jamaah sekalian,
kematian adalah saat-saat dimana kita semua pasti akan mengalaminya. Saat
itulah kita akan bisa menyaksikan sesuatu yang mata telanjang kita belum pernah
melihat sebelumnya, telinga kita belum pernah mendengarnya, bahkan benak (otak)
kita pun belum pernah memikirkannya. Saat itulah akan tampak jelas di pelupuk
mata kita apakah kita masuk ke dalam golongan manusia penghuni kenikmatan
(syurga), ataukah kita justru akan masuk dalam kelompok manusia penghuni
kesengsaraan (neraka)? Akhir hidup kita, akhir hidup saya dan jamaah sekalian,
itulah yang akan menentukan kepada kelompok yang mana kita akan bergabung,
apakah kelompok orang orang yang celaka ataukah kelompok orang orang yang
bahagia? Adanya kepastian akan adanya
kematian ini, lalu kita ingin mati yang seperti apa? Pilihan mati sudah
ditetapkan oleh Allah SWT hanya ada dua yaitu secara husnul khatimah atau secara
suul khatimah. Persiapkanlah dari sekarang, bukan nanti karena kita
sendirilah yang menentukan seperti apa dan dalam keadaan bagaimana nanti akan
mati.
Sekarang apa yang
disebut dengan umur? Umur adalah seberapa berkualitasnya kebaikan atau seberapa
buruknya keburukan yang dikenang oleh generasi yang datang di kemudian hari
setelah kita tiada. Jika kita dikenang oleh generasi yang datang dikemudian
hari dalam nilai nilai kebaikan maka itulah yang dikatakan dengan umur panjang.
Apabila yang dikenang dari diri kita adalah nilai nilai keburukan maka itulah
yang kami istilahkan dengan umur pendek. Panjang pendeknya umur seseorang
ketahuilah bukanlah Allah SWT yang menentukan, namun diri kita sendirilah yang
menjadikannya panjang ataukah pendek sesuai dengan karya nyata saat hidup di
dunia.
Lalu apa yang
dimaksud dengan orang yang berumur panjang? Orang
yang berumur panjang adalah orang yang
sudah meninggal dunia tetapi peninggalan dari kebaikan yang telah ditanamnya
saat masih hidup tetap dan terus memberikan manfaat kepada masyarakat luas.
Contohnya adalah air zam zam yang ada di kota Makkah sebagai buah dari
perjuangan Ibunda Siti Hajar yang keberadaan akan sampai hari kiamat kelak;
melalui kumpulan hadits yang dirawikan oleh perawi hadits seperti Bukhari,
Muslim, Ibnu Majah, Ath Thabarani; Ath Thirmidzi dan lain yang bisa
dipergunakan sepanjang sampai hari kiamat. Lalu melalui cara apakah umur
panjang bisa kita raih?
Jawabannya ada pada
hadits berikut ini: “Abu Hurairah ra, berkata, Nabi bersabda: “Sesungguhnya yang dicapai
oleh orang mukmin dari amal dan perbuatan sesudah matinya ialah: ilmu pengetahuan
yang di dapatnya dan disebarkan dan budi baik yang dia tinggalkan, atau buku
yang ia berikan untuk diwarisi, atau tempat sembahyang yang ia bangun, atau
sebuah terusan yang ia gali, atau derma ia lakukan dari kekayaannya selama ia
sehat dan sakit”. (Hadits Riwayat Ahmad).” Semakin lama kebaikan yang
ditanam saat hidup dikenang oleh banyak orang maka semakin panjanglah umur
orang tersebut walaupun usianya telah habis. Adanya panjang umur ini berarti
panjang dan banyak pula kebaikan yang diterima oleh orang tersebut serta
semakin banyak bekal untuk kepentingan akhirat. Jika ini yang terjadi pada diri
kita maka jalan untuk merealisir visi akhirat yang telah kita tetapkan terbuka
luas melalui karya nyata jangka panjang yang telah dibuat saat hidup di dunia.
Lalu bagaimana dengan
orang yang dikenang karena keburukannya? Orang
yang dikenang karena keburukannya berarti orang tersebut pendek umurnya yang
berarti orang tersebut tidak memiliki nilai kebaikan, yang ada hanyalah
keburukan dan keburukan, yang tidak hanya melekat kepada yang bersangkutan
tetapi juga melekat pada keluarga dan anak keturunan dari yang bersangkutan.
Contohnya adalah Fir’aun, Hamman, Abu Jahal, Qarun, Samiri dan lain sebagainya
yang kesemua-nya dikenang oleh generasi yang datang dikemudian hari dari sisi
keburukannya. Alangkah ruginya orang yang berumur pendek, ia tidak memiliki
bekal untuk kepentingan akhiratnya selain keburukan, yang pada akhirnya akan
menghantarkan orang tersebut ke Neraka.
G. ADANYA KONSEP
KEADILAN SAAT HARI BERHISAB.
Konsep Tahu Aturan
Main yang berikutnya adalah adanya konsep keadilan saat prosesi hari berhisab.
Dimana Allah SWT saat hari kiamat adalah penguasa tunggal dan pada saat prosesi
berhisab maka Allah SWT akan melaksanakan apa yang dinamakan dengan konsep
keadilan. Lalu seperti apakah konsep keadilan yang akan diterapkan kepada umat
manusia? Sebelum membahasnya mari kita renungkan hal hal yang akan kami
kemukakan berikut ini: Sekarang mari kita perhatikan pohon rambutan yang kita
tanam, apakah kita boleh berharap pohon rambutan itu akan berbuah dengan baik
(lebat) jika saat menanam benihnya saja hanya kita lempar begitu saja ke tanah.
Untuk itu ketahuilah bahwa input, proses dan output
merupakan bagian yang tidak bisa kita pisahkan. Sehingga untuk menanam
pohon rambutan saja kita harus memulainya dari proses pemilihan benih pohon rambutan,
setelah adanya pemilihan benih maka benih tersebut harus ditanam dalam media
tanam yang baik, lalu dirawat, disiram dan dipupuk dari waktu ke waktu maka
kelak pohon rambutan yang kita tanam akan tumbuh subur dan bisa berbuah lebat
dan terus menerus pada waktunya.
Adanya perumpamaan
yang kami kemukakan di atas tentang pohon rambutan, ketahuilah bahwa kondisi
ini juga berlaku bagi setiap perbuatan baik yang kita lakukan dalam kerangka beribadah
kepada Allah SWT. Kita tidak bisa berharap akan memperoleh kebaikan dari hasil
perbuatan yang kita lakukan jika perbuatan yang kita lakukan secara apa adanya,
yang penting telah berbuat, atau hanya sesekali berbuat. Padahal sebuah
perbuatan tidak akan bisa begitu saja kita lakukan. Namun harus pula ada niat
yang melandasinya, ada kesungguhan dan juga adanya upaya yang terus menerus
untuk menjaga dan merawat apa apa yang kita perbuat itu serta bukan dalam
kerangka riya untuk dipandang orang.
Untuk itu mari kita perhatikan firman Allah SWT berikut
ini: “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu
sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat , maka (kerugian kejahatan) itu untuk
dirimu sendiri. Apabila datang saat hukuman (kejahatan) yang kedua, (Kami
bangkitkan musuhmu) untuk menyuramkan wajahmu lalu mereka masuk ke dalam masjid
(Masjidil Aqsa), sebagaimana ketika mereka memasukinya pertama kali dan mereka
membinasakan apa saja yang mereka kuasai. (surat Al Israa’ (17) ayat 7). Berdasarkan
ketentuan surat Al Israa’ (17) ayat 7 di atas, jika kita berbuat baik ataupun
berbuat kejahatan maka baik akan kembali kepada diri kita selaku yang berbuat. Sehingga
tidak akan terjadi jika kita berbuat baik akan berbuah kejahatan, demikian pula
sebaliknya jika kita berbuat kejahatan akan berbuah kebaikan karena hal ini
tidak akan pernah terjadi. Ingat, baik kejahatan ataupun kebaikan dua hal yang
saling berbeda dan saling memberikan dampak yang berbeda pula.
Inilah konsep dasar dari
kebaikan ataupun keburukan (kejahatan) yang berlaku di muka bumi ini. Dan dari
konsep dasar inilah yang akan menjadi dasar penilaian akhir saat konsep
keadilan (saat berhisab) diberlakukan oleh Allah SWT sehingga berlakulah
ketentuan, apa yang engkau perbuat maka Allah SWT akan berbuat yang sama kepada
diri kita. Inilah yang disebuat keadilan. Ingat, Allah SWT hanya akan melakukan
penilaian saat berhisab berdasarkan apa apa yang kita perbuat, bukan
berdasarkan atas apa apa yang akan kita perbuat, atau bukan berdasarkan
perbuatan orang lain, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Pada hari ini setiap jiwa diberi
balasan sesuai dengan apa yang telah dikerjakannya. Tidak ada yang
dirugikan pada hari ini. Sungguh Allah
sangat cepat perhitunganNya. (surat Ghafir (40) ayat 17).”
Jika kita hanya
berbuat dan bertindak apa adanya maka Allah SWT pun akan berbuat dan bertindak
apa adanya pula. Hal ini sejalan dengan firmanNya berikut ini: “Dan orang orang yang mendustakan tanda
tanda (kekuasaan) Kami dan (mendustakan) adanya pertemuan akhirat, sia sialah
amal mereka. Mereka diberi balasan sesuai dengan dengan apa yang telah mereka kerjakan. (surat
Al A’raaf (7) ayat 147).” Dan sebaliknya jika kita berbuat dan
bertindak sungguh sungguh yang dilandasi dengan niat yang ikhlas dalam kerangka
menggapai ridha Ilahi maka Allah SWT pun akan bertindak dan berbuat sebagaimana
apa yang kita lakukan. Untuk itu kita harus bisa menjadikan konsep keadilan ini
menjadi pegangan saat kita hidup di dunia ini. Lalu sudahkah kita berbuat
kebaikan untuk kebaikan diri sendiri lalu kebaikan itu bisa dinikmati oleh
orang banyak secara sungguh sungguh yang dilandasi dengan niat yang ikhlas saat
ini juga? Jika belum ada sesuatu yang salah dalam diri kita.
Untuk lebih
mempertegas “konsep keadilan saat hari
berhisab” ketahuilah konsep ini tidak bisa dipisahkan dengan “konsep input,
proses dan output” yang mana ketiganya merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
Sehingga untuk memperoleh hasil (output) yang baik dan berkualitas tinggi, kita
harus memperhatikan input dan juga prosesnya. Kita tidak bisa hanya
memperhatikan input semata dengan mengabaikan prosesnya, atau kita juga tidak
bisa hanya memperhatikan prosesnya saja lalu mengabaikan input dan mengabaikan output
yang dihasilkan. Hal yang samapun berlaku jika kita berkehendak ingin pulang
kampung ke syurga, maka kita harus mampu menjadikan diri kita harus tahu diri, tahu
aturan main yang berlaku lalu dengan sungguh sungguh pula kita melaksanakan
aturan main tersebut (sesuai syariat yang berlaku) barulah Allah SWT akan
menilai kepantasan dan kepatutan terhadap upaya dan perjuangan kita untuk
memperoleh syurga.
H. ADANYA PEMBANDING
DARI MAKHLUK YANG DICIPTAKAN ALLAH SWT.
Konsep Tahu Aturan
Main yang selanjutnya adalah adanya pembanding dari makhluk yang diciptakan
Allah SWT. Hal ini dikarenakan adanya makhluk lain yang juga ada di langit dan
di bumi yang kesemunya juga juga diciptakan oleh Allah SWT. Dimana makhluk-makhluk
yang diciptakan oleh Allah SWT tersebut kesemuanya bertasbih, sujud, patuh
kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Apa yang ada di langit dan di
bumi bertasbih kepada Allah. Dialah yang Maha Perkasa, Maha Bijakasana. (surat
Al Hadiid (57) ayat 1).” Dan juga berdasarkan ketentuan firman-Nya
sebagaimana berikut ini: “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa
yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan,
binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? dan banyak
di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang
dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah
berbuat apa yang Dia kehendaki. (surat Al Hajj (22) ayat 18).” Berdasarkan surat Al Hadiid (57)
ayat 1 dan surat Al Hajj (22) ayat 18 yang kami kemukakan di atas ini,
diterangkan bahwa seluruh apa-apa yang ada di langit dan seluruh apa-apa yang
ada di muka bumi, yang terdiri dari matahari, bulan, bintang, gunung, binatang,
tumbuhan, tanpa terkecuali melakukan sujud dan juga bertasbih kepada Allah SWT dengan
menyatakan dan mengakui akan kebesaran Allah SWT; menyatakan dan mengakui akan
kekuasaan Allah SWT, menyatakan dan mengakui kemahaan Allah SWT.
Selanjutnya bagaimana dengan manusia atau dengan diri kita yang
saat ini sama-sama berada di tengah-tengah langit dan bumi seperti halnya
matahari, bulan, bintang, gunung, binatang, dan tumbuhan? Jika diri kita adalah sama-sama
makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT apakah diri kita juga telah melaksanakan
seperti yang dilaksanakan oleh matahari, bulan, bintang, gunung, binatang,
tumbuhan kepada Allah SWT? Jika sampai diri kita tidak mau melaksanakan seperti
yang dilaksanakan oleh matahari, bulan, bintang, gunung, binatang, tumbuhan
kepada Allah SWT, lalu apa bedanya diri kita yang telah dijadikan khalifah di muka bumi
dibandingkan dengan matahari, bulan, bintang, gunung, binatang, tumbuhan
sedangkan khalifah itu sendiri dapat di artikan sebagai makhluk yang terhormat
dibandingkan dengan makhluk Allah SWT lainnya? Termasuk di dalam kelompok
manakah diri kita ini, apakah kelompok yang sujud, patuh dan bertasbih
kepada Allah SWT atau apakah kelompok
yang tidak mau sujud, patuh dan bertasbih kepada Allah SWT? Kami sangat
berharap kita semua termasuk kelompok manusia manusia yang selalu sujud, patuh
dan bertasbih hanya kepada Allah SWT.
Sekarang bagaimana jika kita tidak
mau sujud dan tidak mau bertasbih seperti sujud dan bertasbihnya matahari,
bulan, bintang, gunung, binatang, tumbuhan kepada Allah SWT lalu apakah ada
sanksinya dan konsekuensinya? Jika kita
tidak mau sujud dan tidak mau bertasbih dengan menyatakan dan mengakui akan
kebesaran Allah SWT berarti diri kita
termasuk orang-orang yang tidak tahu diri sehingga kedudukan diri kita lebih
rendah dari apa-apa yang dikhalifahinya dan juga diri kita telah berubah yang
seharusnya menjadi subyek sekarang telah
menjadi obyek dikarenakan diri kita sudah tidak sesuai lagi dengan konsep
kefitrahan yang pada akhirnya akan menghantarkan diri kita sesuai dengan kehendak
setan.
Sekarang mari kita
perhatikan firman Allah SWT berikut ini: “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada
di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan
bertasbih dengan memujiNya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh,
Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.
(surat Al Israa’ (17) ayat 44).” serta perhatikan pula surat An Nuur
(24) ayat 41 sebagaimana kami kemukakan berikut ini: “Tidakkah engkau (Muhammad) tahu
bahwa kepada Allahlah bertasbih apa yang di langit dan di bumi, dan juga burung
yang mengembangkan sayapnya.Masing masing
sungguh telah mengetahui (cara) berdoa dan bertasbih. Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
Berdasarkan dua buah
ayat ini bahwa tasbihnya makhluk makhluk yang ada di langit dan di bumi
tersebut tidak dimengerti oleh manusia. Apa buktinya? Untuk itu kita bisa
mendengar langsung kicauan burung, namun pernahkah kita tahu dan mengerti isi
dari kicauan burung tersebut. Namun yang jelas adalah burung berkicau bukanlah
sembarangan berkicau, tetapi merupakan salah satu wujud tasbihnya burung kepada
Allah SWT.
Dan ingat tasbihnya burung bukanlah tasbih untuk meminta
balasan, tetapi tasbihnya sebagai wujud dari patuh dan taatnya burung kepada
Allah SWT tanpa pamrih. Jika burung dengan kasat mata sudah mampu memperlihatkan
secara langsung tasbihnya kepada Allah SWT dihadapan diri kita lalu bagaimana
dengan diri kita? Jika kita tidak mampu bertasbih sebagai wujud patuh dan
taatnya diri kita kepada Allah SWT berarti tidak berlebihan jika burung lebih
baik dari diri kita. Dan berikut ini akan kami kemukakan yaitu mengenai sujud, patuh dan
bertasbihnya apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi, yang kami
hubungkan dengan keadaan yang terjadi di sekeliling kita, yaitu:
1. Padi, Tikus dan Wereng bertasbih
dan sujud kepada Allah SWT, sekarang
relakah padi; sudikah padi, bersediakah padi, ikhlaskah padi, di makan oleh
manusia yang tidak mau sujud dan yang tidak mau bertasbih kepada Allah SWT;
2. Air dan Udara bertasbih dan sujud
kepada Allah SWT, sekarang relakah air dan udara, sudikah air dan udara,
bersediakan air dan udara, ikhlaskah air dan udara, jika dipergunakan oleh
manusia yang membutuhkannya dimana manusia tersebut justru melakukan perbuatan
dan tindakan yang berseberangan dengan perbuatan air dan udara kepada Allah
SWT?
Dalam kehidupan sehari-hari, kita
merasa jengkel dan rasanya sangat marah jika kita memberikan sesuatu kepada
orang lain, katakanlah memberikan sejumlah uang, lalu uang tersebut
dipergunakan untuk foya-foya atau untuk membiayai perbuatan maksiat atau untuk
berjudi. Hal yang sama juga terjadi pada padi, air dan udara yang juga merasa
jengkel, marah, tidak suka, kepada manusia yang perilakunya sangat
berseberangan dengan perilaku dirinya sedangkan manusia itu sendiri
mempergunakan diri mereka untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Untuk itu jangan pernah salahkan tikus
ataupun juga wereng jika ia menjadi hama padi atau memakan padi secara sporadis
sebab padi lebih suka, padi lebih ikhlas, padi lebih rela di makan oleh tikus
dan juga wereng karena mereka semua sama-sama bertasbih dan sujud kepada Allah SWT
seperti yang padi lakukan dibandingkan dengan manusia atau petani yang mengolah
padi atau jangan pernah salahkan air dan juga udara jika air tiba-tiba menjelma
menjadi banjir bandang atau malah menghilang atau jika udara yang bergerak menjelma
menjadi angin puting beliung atau bahkan menjadi badai yang menghancurkan dan
meluluh lantakkan apa-apa yang ditemuinya.
Adanya kondisi yang kami kemukakan
di atas, tidak ada jalan lain bagi diri kita untuk selalu menjaga perilaku diri
kita agar jangan sampai perilaku diri kita lebih rendah dibandingkan dengan
perilaku hewan atau binatang atau tumbuhan dikarenakan mereka semua lebih
tinggi tingkat ketaatannya kepada Allah SWT dibandingkan manusia atau jangan
sampai tikus dan wereng, lebih disukai, lebih diinginkan, lebih dihargai oleh padi
dibandingkan dengan manusia selaku pengelola dan pengambil manfaat dari padi. Di lain sisi, keledai juga telah mengajarkan
kepada kita sebuah peribahasa yang tidak masuk ke lobang yang sama dua kali dan
juga kucing yang mengajarkan kepada diri kita yaitu tahu bahwa mencuri tidak
baik. Apakah hal ini tidak bisa kita lihat dan saksikan. Untuk itu mari
kita kembalikan kefitrahan diri kita sesuai dengan apa-apa yang dikehendaki
Allah SWT saat pertama kali menciptakan kekhalifahan di muka bumi melalui
konsep tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir.
Untuk itu hendaklah
kita kita menjadi orang yang cerdas, yang mampu mempersiapkan kehidupan ini berakhir
dengan kehidupan yang baik, husnul khatimah, lalu bagaimana itu dapat kita capai?
Tetaplah fokus pada tujuan, tidak mudah terpesona dengan keindahan dunia. Dan
cukuplah dunia diletakkan di tangan kita, tidak di dalam hati kita. Perbanyaklah
berkawan dengan orang-orang shalih, yang senantiasa mengingatkan kita kepada
Allah SWT, mengajak kita berbuat baik, mencegah kita dari keterpurukan karena
hendak melakukan hal-hal yang akan membuat kita makin binasa. Lalu apakah ukuran dari teman-teman yang
shalih itu? Yaitu teman yang ketika kita melihatnya, kita ingat kepada Allah
SWT. Teman seperti itulah yang akan mendorong kita mendapatkan akhir yang
husnul khatimah. Akhir yang baik. Kelak di syurga nanti, ketika kita
bergaul dengan teman yang shalih dan dia tak mendapatkan kita di syurga, maka
dialah yang akan memohon kepada Allah SWT agar mengajak kita masuk bersamanya
ke syurga.
Sebagai makhluk yang
menumpang di muka bumi, sebagai makhluk yang ada karena dihendaki oleh pencipta
dan pemilik dari langit dan bumi, sebagai tamu yang tahu diri tentu sudah
seharusnya dan sudah pula sepatutnya diri kita menjadi tamu yang menyenangkan
bagi pemilik langit dan bumi, atau menjadi tamu yang keberadaannya sesuai
dengan kehendak pemilik langit dan bumi. Timbul pertanyaan, agar diri kita bisa
melakukan hal itu semua, apa yang harus kita lakukan? Jawabannya ada pada surat
Al Kahfi (18) ayat 28 yang kami kemukakan berikut ini: “dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru
Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah
kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini;
dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari
mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu
melewati batas.” Kita
harus selalu mencari ridha Allah SWT di dalam setiap aktivitas yang kita
lakukan serta saat mengerjakan amal shaleh.
Saat ini kita sudah ada di muka bumi karena adanya
kehendak Allah SWT maka sudah sepatutnya diri kita selalu menyamakan perilaku
dan perbuatan yang kita lakukan sesuai dengan perilaku dan perbuatan dari
pencipta dan pemilik langit dan bumi. Apa maksudnya? Jika Allah SWT selaku pencipta dan pemilik
memiliki nama Ar Rachman maka saat diri kita menjadi abd’ (hamba) yang
sekaligus khalifah juga harus melakukan perbuatan yang sesuai dengan Ar Rachman
yang dimiliki Allah SWT. Sekarang bagaimana dengan Al Aliem yang dimiliki Allah
SWT? Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi kita pun
harus mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah diberikan oleh Allah SWT
sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan kepada sesama manusia. Demikian seterusnya dengan
menjadikan konsep Asmaul Husna sebagai perilaku diri kita saat hidup di muka
bumi ini.
Sekarang bagaimana
jika diri kita tidak mau menyesuaikan diri sesuai dengan perilaku dan perbuatan
Allah SWT saat kita hidup di dunia atau kita tidak mau melaksanakan perintah
dari pemilik dan pencipta langit dan bumi? Jika sampai diri kita melakukan hal
ini berarti diri kita telah menjadi tamu yang tidak bisa menyenangkan bagi
pencipta dan pemilik langit dan bumi atau telah menjadi tamu yang tidak tahu
diri dikarenakan perintah tuan rumah sudah kita langgar atau diri kita sudah
berani menantang Allah SWT di langit dan di bumi yang dimiliki oleh Allah SWT. Lalu,
sudahkah kita menyadari bahwa Allah SWT sangat berkuasa, sudahkah kita mengakui
bahwa Allah SWT Maha segalanya, sudahkah kita melaksanakan segala apa-apa yang
telah diperintahkan Allah SWT dengan ikhlas? Jika kita masih berkeinginan untuk hidup di
muka bumi yang tidak pernah kita ciptakan dan juga tidak pernah kita miliki,
tidak ada jalan lain kecuali menjadi tamu yang sesuai dengan kehendak pencipta
dan pemiliki langit dan bumi atau jadilah yang dapat menyenangkan hati tuan rumah,
terkecuali jika kita ingin menjadi tamu yang tidak tahu diri di langit
dan di bumi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar