Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Minggu, 19 September 2021

TAHU ATURAN MAIN (Part 4 of 5)


 

F.     ADANYA PERBEDAAN KONSEP USIA DENGAN KONSEP UMUR.

 

Konsep Tahu Aturan Main yang berikutnya adalah adanya perbedaan konsep usia dengan konsep umur. Dimana usia adalah saat Allah SWT mulai mempersatukan ruh ke dalam jasmani sampai dengan dipisahkannya kembali ruh dengan jasmani melalui proses sakaratul maut. Adapun saat atau berapa lama masa bersatunya ruh dengan jasmani ditentukan oleh Allah SWT. Tidak ada yang bisa memajukan, atau memundurkan masa bersatunya ruh dengan jasmani. Adapun saat dipisahkannya ruh dengan jasmani terjadilah apa yang dinamakan dengan sakaratul maut. Jasmani akan dikembalikan ke tanah sedangkan ruh sementara waktu  akan ditempatkan di alam barzah sampai hari kiamat tiba. 

 

Kematian itu adalah pasti dan jika kematian itu adalah pasti berarti Malaikat Maut pasti sukses melaksanakan tugasnya. Hal ini juga dikarenakan bahwa di dunia ini tidak ada cara dan obat yang mampu membuat manusia tidak mati. Di dunia ini juga tidak ada cara untuk menghalangi atau menggagalkan Malaikat Maut melaksanakan tugasnya kepada manusia. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Allah SWT dalam 3 (tiga) buah firmanNya sebagaimana berikut ini: Allah SWT berfirman: “tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (surat Ali Imran (3) ayat 185).”

 

Allah SWT juga berfirman sebagaimana berikut ini: “Sesungguhnya kamu akan mati dan Sesungguhnya mereka akan mati (pula). (surat Az Zumar (39) ayat 30).

 

Dan juga berdasarkan firman Allah SWT berikut ini: “Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-sekali tidak akan dapat dikalahkan, untuk menggantikan kamu dengan orang-orang yang seperti kamu (dalam dunia) dan menciptakan kamu kelak (di akhirat) dalam Keadaan yang tidak kamu ketahui. (surat Al Waaqiah (56) ayat 60,61).”

 

Berdasarkan ketentuan surat Ali Imran (3) ayat 185; surat Az Zumar (39) ayat 30 dan juga surat Al Waaqiah (56) ayat 60, 61 yang kami kemukakan di atas, Allah SWT sudah menya-takan dengan tegas tidak akan ada satupun manusia yang tidak akan mengalami kematian. Semua manusia pasti akan mati. Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan kepada diri kita bahwa konsep usia panjang dalam hitungan tertentu, katakan sampai usia 100 tahun,  tidak ada di dalam ajaran agama Islam karena yang menentukan usia adalah Allah SWT. Berapa lama kita hidup kita tidak tahu, yang tahu hanya Allah SWT. Sehingga seseorang jika telah sampai kepada apa yang telah ditentukan oleh Allah SWT maka selesai pula hidupnya di muka bumi ini. Dan jika kematian adalah sebuah kepastian berarti di dalam menghadapi kepastian ini kita harus pintar pintar memanfaatkan waktu agar kita bisa merealisir visi akhirat kita melalui karya nyata yang besar saat hidup di dunia. Lalu sudahkah kita mempersiapkan kematian yang pasti datang itu dengan sebaik baiknya.

 

Jamaah sekalian, kematian adalah saat-saat dimana kita semua pasti akan mengalaminya. Saat itulah kita akan bisa menyaksikan sesuatu yang mata telanjang kita belum pernah melihat sebelumnya, telinga kita belum pernah mendengarnya, bahkan benak (otak) kita pun belum pernah memikirkannya. Saat itulah akan tampak jelas di pelupuk mata kita apakah kita masuk ke dalam golongan manusia penghuni kenikmatan (syurga), ataukah kita justru akan masuk dalam kelompok manusia penghuni kesengsaraan (neraka)? Akhir hidup kita, akhir hidup saya dan jamaah sekalian, itulah yang akan menentukan kepada kelompok yang mana kita akan bergabung, apakah kelompok orang orang yang celaka ataukah kelompok orang orang yang bahagia? Adanya kepastian akan adanya kematian ini, lalu kita ingin mati yang seperti apa? Pilihan mati sudah ditetapkan oleh Allah SWT hanya ada dua yaitu secara husnul khatimah atau secara suul khatimah. Persiapkanlah dari sekarang, bukan nanti karena kita sendirilah yang menentukan seperti apa dan dalam keadaan bagaimana nanti akan mati.


Sekarang apa yang disebut dengan umur? Umur adalah seberapa berkualitasnya kebaikan atau seberapa buruknya keburukan yang dikenang oleh generasi yang datang di kemudian hari setelah kita tiada. Jika kita dikenang oleh generasi yang datang dikemudian hari dalam nilai nilai kebaikan maka itulah yang dikatakan dengan umur panjang. Apabila yang dikenang dari diri kita adalah nilai nilai keburukan maka itulah yang kami istilahkan dengan umur pendek. Panjang pendeknya umur seseorang ketahuilah bukanlah Allah SWT yang menentukan, namun diri kita sendirilah yang menjadikannya panjang ataukah pendek sesuai dengan karya nyata saat hidup di dunia.

 

Lalu apa yang dimaksud dengan orang yang berumur panjang? Orang yang berumur panjang  adalah orang yang sudah meninggal dunia tetapi peninggalan dari kebaikan yang telah ditanamnya saat masih hidup tetap dan terus memberikan manfaat kepada masyarakat luas. Contohnya adalah air zam zam yang ada di kota Makkah sebagai buah dari perjuangan Ibunda Siti Hajar yang keberadaan akan sampai hari kiamat kelak; melalui kumpulan hadits yang dirawikan oleh perawi hadits seperti Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ath Thabarani; Ath Thirmidzi dan lain yang bisa dipergunakan sepanjang sampai hari kiamat. Lalu melalui cara apakah umur panjang bisa kita raih?

 

Jawabannya ada pada hadits berikut ini: “Abu Hurairah ra, berkata, Nabi bersabda: “Sesungguhnya yang dicapai oleh orang mukmin dari amal dan perbuatan sesudah matinya ialah: ilmu pengetahuan yang di dapatnya dan disebarkan dan budi baik yang dia tinggalkan, atau buku yang ia berikan untuk diwarisi, atau tempat sembahyang yang ia bangun, atau sebuah terusan yang ia gali, atau derma ia lakukan dari kekayaannya selama ia sehat dan sakit”. (Hadits Riwayat Ahmad).” Semakin lama kebaikan yang ditanam saat hidup dikenang oleh banyak orang maka semakin panjanglah umur orang tersebut walaupun usianya telah habis. Adanya panjang umur ini berarti panjang dan banyak pula kebaikan yang diterima oleh orang tersebut serta semakin banyak bekal untuk kepentingan akhirat. Jika ini yang terjadi pada diri kita maka jalan untuk merealisir visi akhirat yang telah kita tetapkan terbuka luas melalui karya nyata jangka panjang yang telah dibuat saat hidup di dunia.

 

Lalu bagaimana dengan orang yang dikenang karena keburukannya? Orang yang dikenang karena keburukannya berarti orang tersebut pendek umurnya yang berarti orang tersebut tidak memiliki nilai kebaikan, yang ada hanyalah keburukan dan keburukan, yang tidak hanya melekat kepada yang bersangkutan tetapi juga melekat pada keluarga dan anak keturunan dari yang bersangkutan. Contohnya adalah Fir’aun, Hamman, Abu Jahal, Qarun, Samiri dan lain sebagainya yang kesemua-nya dikenang oleh generasi yang datang dikemudian hari dari sisi keburukannya. Alangkah ruginya orang yang berumur pendek, ia tidak memiliki bekal untuk kepentingan akhiratnya selain keburukan, yang pada akhirnya akan menghantarkan orang tersebut ke Neraka.

 

G.    ADANYA KONSEP KEADILAN SAAT HARI BERHISAB.

 

Konsep Tahu Aturan Main yang berikutnya adalah adanya konsep keadilan saat prosesi hari berhisab. Dimana Allah SWT saat hari kiamat adalah penguasa tunggal dan pada saat prosesi berhisab maka Allah SWT akan melaksanakan apa yang dinamakan dengan konsep keadilan. Lalu seperti apakah konsep keadilan yang akan diterapkan kepada umat manusia? Sebelum membahasnya mari kita renungkan hal hal yang akan kami kemukakan berikut ini: Sekarang mari kita perhatikan pohon rambutan yang kita tanam, apakah kita boleh berharap pohon rambutan itu akan berbuah dengan baik (lebat) jika saat menanam benihnya saja hanya kita lempar begitu saja ke tanah.

 

Untuk itu ketahuilah bahwa input, proses dan output merupakan bagian yang tidak bisa kita pisahkan. Sehingga untuk menanam pohon rambutan saja kita harus memulainya dari proses pemilihan benih pohon rambutan, setelah adanya pemilihan benih maka benih tersebut harus ditanam dalam media tanam yang baik, lalu dirawat, disiram dan dipupuk dari waktu ke waktu maka kelak pohon rambutan yang kita tanam akan tumbuh subur dan bisa berbuah lebat dan terus menerus pada waktunya. 

 

Adanya perumpamaan yang kami kemukakan di atas tentang pohon rambutan, ketahuilah bahwa kondisi ini juga berlaku bagi setiap perbuatan baik yang kita lakukan dalam kerangka beribadah kepada Allah SWT. Kita tidak bisa berharap akan memperoleh kebaikan dari hasil perbuatan yang kita lakukan jika perbuatan yang kita lakukan secara apa adanya, yang penting telah berbuat, atau hanya sesekali berbuat. Padahal sebuah perbuatan tidak akan bisa begitu saja kita lakukan. Namun harus pula ada niat yang melandasinya, ada kesungguhan dan juga adanya upaya yang terus menerus untuk menjaga dan merawat apa apa yang kita perbuat itu serta bukan dalam kerangka riya untuk dipandang orang.

 

Untuk itu  mari kita perhatikan firman Allah SWT berikut ini: “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat , maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri. Apabila datang saat hukuman (kejahatan) yang kedua, (Kami bangkitkan musuhmu) untuk menyuramkan wajahmu lalu mereka masuk ke dalam masjid (Masjidil Aqsa), sebagaimana ketika mereka memasukinya pertama kali dan mereka membinasakan apa saja yang mereka kuasai. (surat Al Israa’ (17) ayat 7). Berdasarkan ketentuan surat Al Israa’ (17) ayat 7 di atas, jika kita berbuat baik ataupun berbuat kejahatan maka baik akan kembali kepada diri kita selaku yang berbuat. Sehingga tidak akan terjadi jika kita berbuat baik akan berbuah kejahatan, demikian pula sebaliknya jika kita berbuat kejahatan akan berbuah kebaikan karena hal ini tidak akan pernah terjadi. Ingat, baik kejahatan ataupun kebaikan dua hal yang saling berbeda dan saling memberikan dampak yang berbeda pula.

 

Inilah konsep dasar dari kebaikan ataupun keburukan (kejahatan) yang berlaku di muka bumi ini. Dan dari konsep dasar inilah yang akan menjadi dasar penilaian akhir saat konsep keadilan (saat berhisab) diberlakukan oleh Allah SWT sehingga berlakulah ketentuan, apa yang engkau perbuat maka Allah SWT akan berbuat yang sama kepada diri kita. Inilah yang disebuat keadilan. Ingat, Allah SWT hanya akan melakukan penilaian saat berhisab berdasarkan apa apa yang kita perbuat, bukan berdasarkan atas apa apa yang akan kita perbuat, atau bukan berdasarkan perbuatan orang lain, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Pada hari ini setiap jiwa diberi balasan sesuai dengan apa yang telah dikerjakannya. Tidak ada yang dirugikan  pada hari ini. Sungguh Allah sangat cepat perhitunganNya. (surat Ghafir (40) ayat 17).

 

Jika kita hanya berbuat dan bertindak apa adanya maka Allah SWT pun akan berbuat dan bertindak apa adanya pula. Hal ini sejalan dengan firmanNya berikut ini:  “Dan orang orang yang mendustakan tanda tanda (kekuasaan) Kami dan (mendustakan) adanya pertemuan akhirat, sia sialah amal mereka. Mereka diberi balasan sesuai dengan  dengan apa yang telah mereka kerjakan. (surat Al A’raaf (7) ayat 147).” Dan sebaliknya jika kita berbuat dan bertindak sungguh sungguh yang dilandasi dengan niat yang ikhlas dalam kerangka menggapai ridha Ilahi maka Allah SWT pun akan bertindak dan berbuat sebagaimana apa yang kita lakukan. Untuk itu kita harus bisa menjadikan konsep keadilan ini menjadi pegangan saat kita hidup di dunia ini. Lalu sudahkah kita berbuat kebaikan untuk kebaikan diri sendiri lalu kebaikan itu bisa dinikmati oleh orang banyak secara sungguh sungguh yang dilandasi dengan niat yang ikhlas saat ini juga? Jika belum ada sesuatu yang salah dalam diri kita.

 

Untuk lebih mempertegas “konsep keadilan saat hari berhisab” ketahuilah konsep ini tidak bisa dipisahkan dengan “konsep input, proses dan output” yang mana ketiganya merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Sehingga untuk memperoleh hasil (output) yang baik dan berkualitas tinggi, kita harus memperhatikan input dan juga prosesnya. Kita tidak bisa hanya memperhatikan input semata dengan mengabaikan prosesnya, atau kita juga tidak bisa hanya memperhatikan prosesnya saja lalu mengabaikan input dan mengabaikan output yang dihasilkan. Hal yang samapun berlaku jika kita berkehendak ingin pulang kampung ke syurga, maka kita harus mampu menjadikan diri kita harus tahu diri, tahu aturan main yang berlaku lalu dengan sungguh sungguh pula kita melaksanakan aturan main tersebut (sesuai syariat yang berlaku) barulah Allah SWT akan menilai kepantasan dan kepatutan terhadap upaya dan perjuangan kita untuk memperoleh syurga.

 

H. ADANYA PEMBANDING DARI MAKHLUK YANG DICIPTAKAN ALLAH SWT.

 

Konsep Tahu Aturan Main yang selanjutnya adalah adanya pembanding dari makhluk yang diciptakan Allah SWT. Hal ini dikarenakan adanya makhluk lain yang juga ada di langit dan di bumi yang kesemunya juga juga diciptakan oleh Allah SWT. Dimana makhluk-makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT tersebut kesemuanya bertasbih, sujud, patuh kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Apa yang ada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah yang Maha Perkasa, Maha Bijakasana. (surat Al Hadiid (57) ayat 1).” Dan juga berdasarkan ketentuan firman-Nya sebagaimana berikut ini: “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. (surat Al Hajj (22) ayat 18).” Berdasarkan surat Al Hadiid (57) ayat 1 dan surat Al Hajj (22) ayat 18 yang kami kemukakan di atas ini, diterangkan bahwa seluruh apa-apa yang ada di langit dan seluruh apa-apa yang ada di muka bumi, yang terdiri dari matahari, bulan, bintang, gunung, binatang, tumbuhan, tanpa terkecuali melakukan sujud dan juga bertasbih kepada Allah SWT dengan menyatakan dan mengakui akan kebesaran Allah SWT; menyatakan dan mengakui akan kekuasaan Allah SWT, menyatakan dan mengakui kemahaan Allah SWT.

 

Selanjutnya bagaimana dengan manusia atau dengan diri kita yang saat ini sama-sama berada di tengah-tengah langit dan bumi seperti halnya matahari, bulan, bintang, gunung, binatang, dan tumbuhan? Jika diri kita adalah sama-sama makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT apakah diri kita juga telah melaksanakan seperti yang dilaksanakan oleh matahari, bulan, bintang, gunung, binatang, tumbuhan kepada Allah SWT? Jika sampai diri kita tidak mau melaksanakan seperti yang dilaksanakan oleh matahari, bulan, bintang, gunung, binatang, tumbuhan kepada Allah SWT, lalu apa bedanya diri kita  yang telah dijadikan khalifah di muka bumi dibandingkan dengan matahari, bulan, bintang, gunung, binatang, tumbuhan sedangkan khalifah itu sendiri dapat di artikan sebagai makhluk yang terhormat dibandingkan dengan makhluk Allah SWT lainnya? Termasuk di dalam kelompok manakah diri kita ini, apakah kelompok yang sujud, patuh dan bertasbih kepada  Allah SWT atau apakah kelompok yang tidak mau sujud, patuh dan bertasbih kepada Allah SWT? Kami sangat berharap kita semua termasuk kelompok manusia manusia yang selalu sujud, patuh dan bertasbih hanya kepada Allah SWT.

 

Sekarang bagaimana jika kita tidak mau sujud dan tidak mau bertasbih seperti sujud dan bertasbihnya matahari, bulan, bintang, gunung, binatang, tumbuhan kepada Allah SWT lalu apakah ada sanksinya dan konsekuensinya? Jika kita tidak mau sujud dan tidak mau bertasbih dengan menyatakan dan mengakui akan kebesaran Allah SWT berarti  diri kita termasuk orang-orang yang tidak tahu diri sehingga kedudukan diri kita lebih rendah dari apa-apa yang dikhalifahinya dan juga diri kita telah berubah yang seharusnya menjadi subyek sekarang telah  menjadi obyek dikarenakan diri kita sudah tidak sesuai lagi dengan konsep kefitrahan yang pada akhirnya akan menghantarkan diri kita sesuai dengan kehendak setan.

 

Sekarang mari kita perhatikan firman Allah SWT berikut ini: “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memujiNya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha  Penyantun, Maha Pengampun. (surat Al Israa’ (17) ayat 44).” serta perhatikan pula surat An Nuur (24) ayat 41 sebagaimana kami kemukakan berikut ini: “Tidakkah engkau (Muhammad) tahu bahwa kepada Allahlah bertasbih apa yang di langit dan di bumi, dan juga burung yang mengembangkan sayapnya.Masing masing  sungguh telah mengetahui (cara) berdoa dan bertasbih. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.

 

Berdasarkan dua buah ayat ini bahwa tasbihnya makhluk makhluk yang ada di langit dan di bumi tersebut tidak dimengerti oleh manusia. Apa buktinya? Untuk itu kita bisa mendengar langsung kicauan burung, namun pernahkah kita tahu dan mengerti isi dari kicauan burung tersebut. Namun yang jelas adalah burung berkicau bukanlah sembarangan berkicau, tetapi merupakan salah satu wujud tasbihnya burung kepada Allah SWT.

 

Dan ingat tasbihnya burung bukanlah tasbih untuk meminta balasan, tetapi tasbihnya sebagai wujud dari patuh dan taatnya burung kepada Allah SWT tanpa pamrih. Jika burung dengan kasat mata sudah mampu memperlihatkan secara langsung tasbihnya kepada Allah SWT dihadapan diri kita lalu bagaimana dengan diri kita? Jika kita tidak mampu bertasbih sebagai wujud patuh dan taatnya diri kita kepada Allah SWT berarti tidak berlebihan jika burung lebih baik dari diri kita. Dan berikut ini akan kami kemukakan yaitu mengenai sujud, patuh dan bertasbihnya apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi, yang kami hubungkan dengan keadaan yang terjadi di sekeliling kita, yaitu:

 

1.       Padi, Tikus dan Wereng bertasbih dan sujud kepada Allah  SWT, sekarang relakah padi; sudikah padi, bersediakah padi, ikhlaskah padi, di makan oleh manusia yang tidak mau sujud dan yang tidak mau bertasbih kepada Allah SWT;

2.       Air dan Udara bertasbih dan sujud kepada Allah SWT, sekarang relakah air dan udara, sudikah air dan udara, bersediakan air dan udara, ikhlaskah air dan udara, jika dipergunakan oleh manusia yang membutuhkannya dimana manusia tersebut justru melakukan perbuatan dan tindakan yang berseberangan dengan perbuatan air dan udara kepada Allah SWT?

 

Dalam kehidupan sehari-hari, kita merasa jengkel dan rasanya sangat marah jika kita memberikan sesuatu kepada orang lain, katakanlah memberikan sejumlah uang, lalu uang tersebut dipergunakan untuk foya-foya atau untuk membiayai perbuatan maksiat atau untuk berjudi. Hal yang sama juga terjadi pada padi, air dan udara yang juga merasa jengkel, marah, tidak suka, kepada manusia yang perilakunya sangat berseberangan dengan perilaku dirinya sedangkan manusia itu sendiri mempergunakan diri mereka untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

 

Untuk itu jangan pernah salahkan tikus ataupun juga wereng jika ia menjadi hama padi atau memakan padi secara sporadis sebab padi lebih suka, padi lebih ikhlas, padi lebih rela di makan oleh tikus dan juga wereng karena mereka semua sama-sama bertasbih dan sujud kepada Allah SWT seperti yang padi lakukan dibandingkan dengan manusia atau petani yang mengolah padi atau jangan pernah salahkan air dan juga udara jika air tiba-tiba menjelma menjadi banjir bandang atau malah menghilang atau jika udara yang bergerak menjelma menjadi angin puting beliung atau bahkan menjadi badai yang menghancurkan dan meluluh lantakkan apa-apa yang ditemuinya.

 

Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas, tidak ada jalan lain bagi diri kita untuk selalu menjaga perilaku diri kita agar jangan sampai perilaku diri kita lebih rendah dibandingkan dengan perilaku hewan atau binatang atau tumbuhan dikarenakan mereka semua lebih tinggi tingkat ketaatannya kepada Allah SWT dibandingkan manusia atau jangan sampai tikus dan wereng, lebih disukai, lebih diinginkan, lebih dihargai oleh padi dibandingkan dengan manusia selaku pengelola dan pengambil manfaat dari padi. Di lain sisi, keledai juga telah mengajarkan kepada kita sebuah peribahasa yang tidak masuk ke lobang yang sama dua kali dan juga kucing yang mengajarkan kepada diri kita yaitu tahu bahwa mencuri tidak baik. Apakah hal ini tidak bisa kita lihat dan saksikan. Untuk itu mari kita kembalikan kefitrahan diri kita sesuai dengan apa-apa yang dikehendaki Allah SWT saat pertama kali menciptakan kekhalifahan di muka bumi melalui konsep tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir.   

 

Untuk itu hendaklah kita kita menjadi orang yang cerdas, yang mampu mempersiapkan kehidupan ini berakhir dengan kehidupan yang baik, husnul khatimah, lalu bagaimana itu dapat kita capai? Tetaplah fokus pada tujuan, tidak mudah terpesona dengan keindahan dunia. Dan cukuplah dunia diletakkan di tangan kita, tidak di dalam hati kita. Perbanyaklah berkawan dengan orang-orang shalih, yang senantiasa mengingatkan kita kepada Allah SWT, mengajak kita berbuat baik, mencegah kita dari keterpurukan karena hendak melakukan hal-hal yang akan membuat kita makin binasa. Lalu apakah ukuran dari teman-teman yang shalih itu? Yaitu teman yang ketika kita melihatnya, kita ingat kepada Allah SWT. Teman seperti itulah yang akan mendorong kita mendapatkan akhir yang husnul khatimah. Akhir yang baik. Kelak di syurga nanti, ketika kita bergaul dengan teman yang shalih dan dia tak mendapatkan kita di syurga, maka dialah yang akan memohon kepada Allah SWT agar mengajak kita masuk bersamanya ke syurga.

 

Sebagai makhluk yang menumpang di muka bumi, sebagai makhluk yang ada karena dihendaki oleh pencipta dan pemilik dari langit dan bumi, sebagai tamu yang tahu diri tentu sudah seharusnya dan sudah pula sepatutnya diri kita menjadi tamu yang menyenangkan bagi pemilik langit dan bumi, atau menjadi tamu yang keberadaannya sesuai dengan kehendak pemilik langit dan bumi. Timbul pertanyaan, agar diri kita bisa melakukan hal itu semua, apa yang harus kita lakukan? Jawabannya ada pada surat Al Kahfi (18) ayat 28 yang kami kemukakan berikut ini: “dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” Kita harus selalu mencari ridha Allah SWT di dalam setiap aktivitas yang kita lakukan serta saat mengerjakan amal shaleh.

 

Saat ini kita sudah ada di muka bumi karena adanya kehendak Allah SWT maka sudah sepatutnya diri kita selalu menyamakan perilaku dan perbuatan yang kita lakukan sesuai dengan perilaku dan perbuatan dari pencipta dan pemilik langit dan bumi. Apa maksudnya? Jika  Allah SWT selaku pencipta dan pemilik memiliki nama Ar Rachman maka saat diri kita menjadi abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah juga harus melakukan perbuatan yang sesuai dengan Ar Rachman yang dimiliki Allah SWT. Sekarang bagaimana dengan Al Aliem yang dimiliki Allah SWT? Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi kita pun harus mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah diberikan oleh Allah SWT sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan kepada sesama manusia. Demikian seterusnya dengan menjadikan konsep Asmaul Husna sebagai perilaku diri kita saat hidup di muka bumi ini.       

 

Sekarang bagaimana jika diri kita tidak mau menyesuaikan diri sesuai dengan perilaku dan perbuatan Allah SWT saat kita hidup di dunia atau kita tidak mau melaksanakan perintah dari pemilik dan pencipta langit dan bumi? Jika sampai diri kita melakukan hal ini berarti diri kita telah menjadi tamu yang tidak bisa menyenangkan bagi pencipta dan pemilik langit dan bumi atau telah menjadi tamu yang tidak tahu diri dikarenakan perintah tuan rumah sudah kita langgar atau diri kita sudah berani menantang Allah SWT di langit dan di bumi yang dimiliki oleh Allah SWT. Lalu, sudahkah kita menyadari bahwa Allah SWT sangat berkuasa, sudahkah kita mengakui bahwa Allah SWT Maha segalanya, sudahkah kita melaksanakan segala apa-apa yang telah diperintahkan Allah SWT dengan ikhlas? Jika kita masih berkeinginan untuk hidup di muka bumi yang tidak pernah kita ciptakan dan juga tidak pernah kita miliki, tidak ada jalan lain kecuali menjadi tamu yang sesuai dengan kehendak pencipta dan pemiliki langit dan bumi atau jadilah yang dapat menyenangkan hati tuan rumah, terkecuali jika kita ingin menjadi tamu yang tidak tahu diri di langit dan di bumi ini. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar