I. ADANYA DIINUL ISLAM SEBAGAI
KONSEP ILAHIAH BAGI KEPEN-TINGAN UMAT MANUSIA.
Konsep Tahu Aturan
Main yang berikutnya adalah adanya Diinul Islam sebagai konsep Ilahiah bagi
kepentingan umat manusia, sebagaimna dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Ar
Ruum (30) ayat 30 berikut ini: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.” Berdasarkan ketentuan ayat di atas ini, Allah
SWT selaku pencipta dan pemilik rencana besar penciptan manusia di muka bumi
telah menciptakan apa yang dinamakan dengan Diinul Islam. Sebuah konsep Ilahiah
yang diciptakan dan berasal dari fitrah-Nya sendiri sehingga apabila diri kita
menghadapkan diri selaku abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya kepada Diinul
Islam secara lurus maka diri kita yang pada dasarnya juga diciptakan
berdasarkan fitrah-Nya maka terjadilah sinergi kefitrahan melalui konsep
segitiga emas antara diri kita kepada Allah SWT selaku dzat yang maha fitrah
melalui Diinul Islam yang juga fitrah, yang pada akhirnya manusialah yang
diuntungkan jika berada di dalam kefitrahan ini.
Hal ini dimungkinkan
terjadi karena dalam ilmu Allah SWT tentang Diinul Islam berlaku ketentuan jika fitrah yang
kecil bertemu dengan fitrah Yang Maha Besar maka yang kecil akan terbantu atau
yang kecil akan tertolong oleh yang besar. Yang sering menjadi persoalan adalah
kita yang kecil berusaha ingin selamat, berusaha ingin di tolong, tetapi jalan
yang ditempuh justru melawan dan menentang Yang Maha Besar dengan menambah,
mengurangi apa-apa yang telah ditetapkan sebagai syarat dan ketentuan dari Yang
Maha Besar.
Adanya konsep Diinul
Islam ini Allah SWT berkehendak kepada setiap manusia untuk selalu berada dalam
fitrah Allah SWT sehingga jika fitrah bertemu dengan fitrah maka terjadilah
kesesuaian, terjadilah keserasian, dan terjadilah keselarasan atau terjadilah
sinergi antara fitrah yang dimiliki manusia dengan fitrah yang dimiliki Allah
SWT melalui jalan Agama yang fitrah (dalam hal ini adalah Diinul Islam) akhirnya
manusia termasuk diri kita mampu datang fitrah kembali fitrah.
Sekarang Allah SWT sudah menetapkan kepada
setiap abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya jika ia ingin selamat
maka kita wajib melaksanakan Diinul Islam secara kaffah dengan cara tidak
menambah, tidak mengurangi, tidak merubah-rubah, atas apa-apa yang telah Allah
SWT tentukan. Selanjutnya dapatkah kita selamat jika antara diri kita dengan
Allah SWT tidak terjadi keselarasan, tidak terjadi keserasian dan tidak terjadi keseimbangan dalam hal fitrah
atau tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT? Jika handphone saja wajib selaras, serasi dan
seimbang dengan operator selular, apalagi kita dengan Allah SWT. Untuk itu,
kitapun harus selalu selaras, serasi dan seimbang dengan gelombang dan siaran
Allah SWT yaitu Diinul Islam. Jika hal ini tidak terjadi atau kiita tidak dapat
melakukannya maka jangan berharap pertolongan, bantuan dari Allah SWT atau
Apa-Apa yang telah Allah SWT janjikan
kepada kita, dapat kita raih dan dapat kita peroleh.
Saat ini Allah SWT
telah menurunkan Diinul Islam lalu apa yang harus kita lakukan dengan Diinul
Islam itu? Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 208 yang kami kemukakan
berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan,
dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu.” Yang harus kita harus
melaksanakan Diinul Islam secara kaffah atau secara menyeluruh dalam satu
kesatuan yang tidak terpisahkan. Sekarang seperti apakah Diinul Islam itu? Diinul Islam dapat
dibedakan menjadi 3(tiga) ketentuan pokok yang terdiri 3(tiga) ketentuan induk
yang terdiri dari:
1. Adanya ketentuan Rukun Iman yang
terdiri dari 6 (enam) ketentuan pokok, yaitu : (a) Iman kepada Allah; (b) Iman
kepada para Rasul-Nya; (c) Iman kepada para Malaikat-Nya; (d) Iman kepada
Kitab-Kitab-Nya; (e) Iman kepada hari Akhirat; (f) Iman kepada Qada; Qadar dan
Taqdir.
2. Adanya ketentuan Rukun Islam yang
terdiri dari 5(lima) ketentuan pokok, yaitu: (a) syahadat; (b) mendirikan
shalat; (c) menunaikan zakat; (d) puasa di bulan Ramadhan; (e) menunaikan haji,
jika mampu.
3. Adanya ketentuan ikhsan yaitu
"Menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak
melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu".
Diinul Islam dapat dikatakan
sebagai sebuah rangkaian ketentuan yang berasal dari Allah SWT atau sebuah
konsep yang berasal dari Allah SWT untuk kepentingan umat manusia yang ada di
muka bumi yang terdiri dari Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan yang harus
dilaksanakan dalam satu kesatuan (keseluruhan). Adanya ketentuan ini maka kita
tidak bisa meletakkan, menempatkan, mengkotak-kotakkan Diinul Islam secara
terpisah-pisah sehing-ga kita tidak bisa hanya melaksanakan Rukun Iman dengan
mengabaikan Rukun Islam dan Ikhsan atau kita tidak bisa memisahkan Rukun Iman
dengan Rukun Islam dan Ikhsan, demikian pula sebaliknya.
Diinul Islam sebagai sebuah
rangkain ketentuan yang terdiri dari
Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan, juga memiliki beberapa karakteristik dasar
yang harus kita ketahui dan pahami serta harus dijadikan pedoman sewaktu diri melaksanakan
konsep hidup sebagai sebuah permainan. Adapun karakteristik dasar dari Rukun
Iman, Rukun Islam dan Ikhsan, dapat kami kemukakan sebagai berikut:
1. Suatu
Bangunan tidak akan dapat berdiri kokoh jika tanpa ada pondasi yang ko-koh pula.
Demikian pula dengan Diinul Islam tidak akan dapat berdiri kokoh tanpa
dilandasi dengan pondasi yang kokoh pula (dalam hal ini adalah Rukun Iman).
Selanjutnya bangunan tidak akan dapat berdiri kokoh atau tidak akan dapat
dikatakan sebagai bangunan yang sempurna walaupun sudah memiliki pondasi yang
kokoh jika tidak ada sesuatu yang dapat merekatkan atau adanya sesuatu yang
dapat menyatukan tembok, jendela, pintu, rangka atap, genting, dan lain
sebagainya ke dalam bangunan. Untuk itulah semen sangat dibutuhkan di dalam
membuat sebuah bangunan. Sekarang bagaimana dengan bangunan Diinul Islam? Bangunan Diinul Islam tidak akan dapat
berdiri dengan kokoh jika tidak ada perekatnya, atau bangunan Diinul Islam
tidak akan berdiri tegak jika tidak ada penyatunya, dalam hal ini adalah
syahadat. Adanya syahadat yang kita laksanakan maka Rukun Iman sebagai
pondasi dapat menyatu atau dapat direkatkan dengan Rukun Islam yang merupakan
bagian dari bangunan sehingga lahirlah apa yang dinamakan dengan Ikhsan.
2. Rukun Iman,
Rukun Islam dan Ikhsan memiliki posisi dan kedudukan yang tidak bisa saling
menghilangkan apalagi meniadakan kedudukan yang lainnya. Maksudnya Rukun Iman tidak bisa menghilangkan atau meniadakan Rukun
Islam dan Ikhsan, demikian pula sebaliknya Rukun Islam tidak bisa meniadakan
ketentuan Rukun Iman dan Ikhsan, demikian seterusnya dengan ketentuan Ikhsan
yang juga tidak dapat menghilangkan Rukun Iman dan Rukun Islam. Rukun Iman,
Rukun Islam dan Ikhsan memiliki kedudukan yang sama pentingnya sebab kesemuanya
satu kesatuan dari bangunan Diinul Islam. Jika salah satu Rukun ada yang
lebih tinggi kedudukannya bagaimana jadinya suatu bangunan padahal ketiganya
adalah bagian integral dari bangunan Diinul Islam? Adanya kondisi ini dapat
dikatakan kedudukan Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan Rukun Iman, Rukun Islam
dan Ikhsan tidak ada yang lebih tinggi di antara ketiganya, namun ketiganya
saling lengkap melengkapi, atau saling menyempurnakan.
3. Rukun Iman,
Rukun Islam dan Ikhsan sebagai satu kesatuan yang tidak terpi-sahkan dan hanya
dapat dibedakan atau berbeda jika ditinjau dari sisi pelaksanaannya saja atau
Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan hanya dapat dibedakan dari sisi pelaksanaan
tata cara ibadahnya saja. Adanya perbedaan pelaksanaan antara Rukun Iman, Rukun
Islam dan Ikhsan, tentu akan menimbulkan syariat yang berbeda-beda pula di
dalam melaksanakan ketentuan dimaksud.
Berikut ini akan kami kemukakan
mekanisme kerja pelaksanaan Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan dalam satu
kesatuan yang tidak terpisahkan, yang kiranya dapat kita jadikan patokan awal
di saat melaksanakaan Diinul Islam secara kaffah (menyeluruh dan lengkap)
yaitu:
1. Melalui Rukun Iman yang terdiri dari 6(enam) ketentuan pokok, Allah
SWT ber-kehendak kepada manusia untuk mengenal, untuk mengetahui, untuk
meyakini, serta untuk mengimani seluruh ketentuan Rukun Iman yang terdiri: Iman
kepada Allah; Iman kepada para Rasul, Iman kepada para Kitab, Iman kepada
Malaikat; Iman kepada Hari Kiamat; Iman kepada Qadha, Qadar dan Taqdir. Hasil
akhir dari pelaksanaan dari Rukun Iman harus dapat menghantarkan diri kita
mampu menempatkan dan meletak-kan ketentuan Rukun Iman dalam satu kesatuan yang
tidak terpisahkan. Hal yang paling mendasar dari pelaksanaan Rukun Iman adalah
Iman kepada Allah SWT. Hal ini dikarenakan kedudukan Allah SWT sangat sentral
dan sangat sakral, dan juga dikarenakan tanpa Iman kepada Allah SWT maka Iman
yang lainnya menjadi batal.
2. Melalui Rukun Islam yang terdiri dari 5(lima) ketentuan pokok, Allah
SWT ber-kehendak kepada manusia untuk berinteraksi, untuk merasakan secara
langsung dengan apa-apa yang telah di-Imaninya, apakah itu Iman kepada Allah
SWT, apakah itu iman kepada Rasul, apakah itu iman kepada Kitab, apakah itu
iman kepada Malaikat, apakah itu Iman kepada Hari Akhirat, apakah itu iman
kepada Qadha, Qadar dan Taqdir melalui syahada yang kita laksanakan, melalui
shalat yang kita dirikan, melalui puasa, melalui zakat yang kita tunaikan dan
melalui haji yang kita laksanakan, dengan catatan sebagai berikut:
a. Melalui
pelaksanaan syahadat manusia diperintahkan oleh Allah SWT untuk mempersaksikan
Allah SWT baik melalui kemahaan dan kebesaran yang dimiliki-Nya juga melalui
ciptaan-Nya, melalui diri manusia, melalui alam, melalui binatang dan
sebagainya. Sehingga diri kita akan dapat mempersaksikan bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah SWT yang mampu memperlihatkan, yang mampu menunjukkan kebesaran yang
dimiliki-Nya dengan sejelas-jelasnya. Dan agar manusia tidak salah langkah,
atau agar manusia tidak salah di dalam melaksanakan Diinul Islam maka Allah SWT
mengutus manusia pilihan-Nya yaitu Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT
untuk dijadikan suri teladan bagi manusia sewaktu menjalankan tugas sebagai
khalifah di muka bumi.
Selain itu, ada hal yang harus kita perhatikan yaitu kita tidak akan dapat merasakan atau memperoleh apa-apa yang terdapat di balik maksud dan tujuan perintah shalat, puasa, zakat dan haji jika kita tidak pernah melaksanakan syahadat. Syahadat di dalam Rukun Islam memegang peranan sangat penting dikarenakan syahadat merupakan pintu gerbang atau syarat utama untuk menjadikan Agama Islam sebagai Agama yang Haq atau prasyarat untuk merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT atau kunci pembuka bagi kesuksesan hidup dan kehidupan yang kita jalani saat ini.
b. Melalui shalat, manusia
diperintahkan oleh Allah SWT untuk merasakan sen-diri-sendiri secara langsung
rasa atau kenikmatan dari bertuhankan kepada Allah SWT atau merasakan hasil
dari komunikasi antara diri kita dengan Allah SWT melalui shalat yang kita
dirikan. Hal ini dimungkinkan sebab melalui shalat yang khusyu' manusia akan
dapat berdialog atau akan dapat berbisik langsung dengan Allah SWT; manusia
dapat meminta pertolongan; dapat meminta
petunjuk, dapat meminta ampunan, dapat mensucikan diri, supaya hidup subur dan
makmur, dan lain sebagainya serta melalui shalat pula Allah SWT hendak
menyempurnakan nikmat-nikmat yang Allah SWT telah berikan. Sekarang apa-apa
yang terdapat di balik perintah shalat tidak akan dapat kita peroleh sebelum
diri kita melaksanakan syahadat apalagi jika kita sendiri tidak mau mendirikan shalat
yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
c. Melalui puasa,
manusia diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengembalikan kefitrahan diri yang
telah tercemar akibat pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan setan selama kurun waktu
11 (sebelas) bulan. Hal dimungkinkan karena yang berpuasa adalah jasmani
sedangkan ruh pada bulan Ramadhan justru tidak dipuasakan. Selanjutnya dengan
dipuasakannya jasmani selama kurun waktu tertentu maka kesehatan jasmani dapat
terjaga karena di-istirahatkan serta dengan dikuranginya makan kepada jasmani
diharapkan pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan juga setan kepada ruh dapat
berkurang. Dilain sisi, ruhani selama puasa diberi kesempatan oleh Allah SWT
untuk diberi makan (maksud ibadah) seluas-luasnya tanpa batasan melalui ibadah
Sunnat yang ditingkatkan oleh Allah SWT menjadi ibadah wajib, sedangkan ibadah wajib
dilipat gandakan pahalanya.
d. Melalui zakat, manusia
diperintahkan oleh Allah SWT untuk membersihkan segala hasil usaha yang telah
kita kerjakan selama kurun waktu setahun dengan menge-luarkan hak Allah SWT
atas segala hasil usaha yang kita lakukan di muka bumi yang tidak pernah kita
miliki. Hal yang harus kita ingat adalah
diri kita tidak memiliki apapun juga saat hadir di muka bumi ini, karena Allah
SWT lah yang memberikan modal berupa jasmani, berupa ruh, berupa Amanah yang 7,
berupa Hubbul yang 7, berupa hati ruhani tempat diletakkanya iradat, akal dan perasaaan,
termasuk diberikannya air, udara, tumbuhan. Adanya zakat yang ditunaikan maka
akan terciptalah keseimbangan antara orang yang berpunya (muzakki) dengan orang
yang tidak berpunya (mustahik) di muka bumi, atau tercerminlah keshalehan diri di
dalam keshalehan sosial.
e. Melalui
ibadah haji, manusia diundang oleh Allah SWT untuk datang ke ru-mah Allah SWT (Baitullah)
sebagai tamu sedangkan Allah SWT sebagai Tuan Rumah, atau diundang untuk menghadiri Open House yang
diadakan oleh Allah SWT di Padang Arafah, minimal sekali seumur hidup. Hal yang
harus diingat sewaktu melaksanakan ibadah haji adalah jadilah tamu yang dapat
menyenangkan tuan rumah, atau tamu yang paling dikehendaki oleh tuan rumah
dengan selalu mematuhi segala protokoler yang ditetapkan oleh tuan rumah berupa
rukun haji, wajib haji ataupun sunnah haji.
3. Ikhsan dapat dikatakan buah, atau hasil dari
pelaksanaan Rukun Iman dan Rukun Islam yang telah kita laksanakan yang akan
tercermin dari seberapa tinggi perbuatan baik yang telah kita lakukan selama
menjalankan tugas sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya muka
bumi. Semakin baik dan tinggi kualitas Rukun Iman dan Rukun Islam yang kita
laksanakan maka semakin tinggi pula tingkat kualitas Ikhsan yang telah kita
laksanakan atau yang tercermin di dalam diri kita, demikian pula sebaliknya.
Setelah diri kita mengetahui dengan
pasti bahwa Diinul Islam terdiri dari Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan, masih
ada hal lainnya yang harus kita jadikan pemahaman yang baik lagi benar yaitu Diinul Islam sebagai sebuah konsep yang
berasal dari Allah SWT maka kita harus yakini bahwa konsep yang diturunkan dan
yang diciptakan oleh Allah SWT merupakan cerminan dari pemilik konsep itu
sendiri. Jika Diinul Islam hanya dipandang sebagai sebuah agama semata,
tentu hal ini tidak akan dapat mencerminkan kebesaran dan kemahaan dari pemilik
konsep itu sendiri, dalam hal ini Allah
SWT. Apalagi jika Diinul Islam hanya dimaknai hanya sebatas syurga dan neraka,
sebatas pahala dan dosa, sebatas halal dan haram, sebatas kafir dan taat,
sebatas syahadat dan puasa, sebatas shalat dan zakat, sebatas haji, sebatas rukun
Iman dan Ikhsan saja, hal ini bukannya salah. Akan tetapi Diinul Islam sebagai
Konsep Ilahiah bukan berarti sekedar itu semata. Diinul Islam sebagai Konsep
Ilahiah lebih dari itu semua dikarenakan Diinul Islam merupakan cerminan
langsung dari Fitrah Allah SWT .
Adanya kondisi ini berarti kondisi
dasar Diinul Islam harus dapat mencerminkan Kemahaan Allah SWT dan jika kita hanya mampu mengatakan Diinul
Islam sebatas pahala dan dosa atau sebatas syurga atau neraka saja maka
kemahaan dan kebesaran Allah SWT yang terdapat di dalam Diinul Islam
seolah-olah hanya sebatas itu saja dan jika kita tetap berpedoman atau tetap
berpandangan bahwa Diinul Islam hanya sebatas itu saja, maka kita sendirilah
yang telah menutup diri atau telah membatasi diri dengan arti dan makna dari sebuah
konsep yang berasal dari Allah SWT sebagai sebuah tuntunan dan pedoman bagi
keselamatan diri kita di muka bumi. Untuk itu jangan pernah salahkan Allah
SWT jika kita hanya memperoleh dan mendapatkan sesuai dengan apa-apa yang telah
kita persepsikan dan sangkakan kepada Diinul Islam tersebut. Untuk dapat
memperoleh makna dan arti Diinul Islam yang sesuai dengan Kehendak Allah SWT,
jangan pernah berprasangka atau mempersepsikan seperti yang kami sebutkan di
atas. Akan tetapi kita wajib meletakkan, mendudukkan, serta menempatkan Diinul
Islam sebagai cerminan langsung dari kebesaran dan kemahaan Allah SWT itu
sendiri.
Dengan demikian kita akan dapat
memperoleh dan mendapatkan apa-apa yang terkandung di dalam Diinul Islam sesuai
dengan kehendak Allah SWT atau sesuai dengan kebesaran Allah SWT itu sendiri.
Sekarang apa jadinya jika kita berbuat atau menilai atau mempersep-sikan Diinul
Islam hanya berdasarkan prasangka yang bersifat dangkal? Hasilnya adalah tidak bedanya kita seperti "katak di dalam tempurung". Untuk
itu jadikan Hadits Qudsi yang kami kemukakan berikut ini: “Abu Hurairah ra,
berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: “Aku selalu mengikuti sangkaan
hamba-Ku pada-Ku, maka terserah padanya akan menyangka apa saja kepada-Ku. (Hadits
Qudsi Riwyata Muslim dan Alhakiem dari Watsilah dan Ibu Abud-Dunia, Alhakiem
dari Abu Hurairah ra: 272: 67)
Watsilah bin Al-asqa' ra. berkata:
Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: “Aku selalu menurutkan sangkaan hamba-Ku
terhadap diri-Ku, jika ia baik sangka kepada-Ku maka ia dapat dari padaku apa
yang ia sangka. Dan bila ia jahat (jelek) sangka kepada-Ku, maka ia dapat apa
yang ia sangka dari pada-Ku. (Hadits Qudsi Riwayat Atthabarani dan Ibn Hibban;
272:71). Hadits di atas ini wajib
kita jadikan pedoman agar diri kita tidak bersikap dan tidak memandang sempit
Diinul Islam hanya sebatas ritual belaka seperti kita menganggap Diinul Islam
hanya sebatas pahala dan dosa, sebatas syurga dan neraka, sebatas halal dan haram semata, sehingga
tugas kita hanya pengumpul pahala, sehingga setelah tua saja kita beribadah
kepada Allah SWT. Kita harus bisa keluar dari pengertian dan pemahaman itu
semua, sebab jika kita terus berprinsip seperti itu maka yang akan kita peroleh
dari Diinul Islam hanya sebatas itu pula. Sedangkan telah kita ketahui
bersama bahwa Allah SWT lebih dari
sekadar itu semua sebab Allah SWT adalah segala-galanya.
Allah SWT memang memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk
berprasangka kepada-Nya, apakah itu prasangka baik ataupun prasangka buruk,
atau apakah itu prasangka sempit ataupun prasangka yang mendalam. Adanya
prasangka atau penilaian yang diberikan manusia kepada Diinul Islam, maka dari sinilah Allah SWT memulai penilaian
kepada manusia. Semakin baik dan semakin tinggi manusia
menilai atau berprasangka baik kepada Allah SWT atau semakin tinggi
manusia berprasangka terhadap Diinul
Islam yang diturunkan oleh Allah SWT maka akan semakin tinggi dan semakin baik
pula yang akan diberikan Allah SWT kepada manusia. Apa buktinya?
Berdasarkan hadits qudsi yang kami kemukakan berikut ini: Anas ra. berkata:
Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Wahai Anak Adam! Jika ingat kepada-Ku dalam
dirimu, Akupun ingat kepadamu dalam diri-Ku dan bila engkau ingat kepada-Ku di
dalam himpunan orang, akan Aku ingat kepadamu dalam himpunan yang lebih baik
dari himpunanmu. Jika engkau mendekati-Ku sejengkal, Aku mendekatimu sedepa,
bila engkau mendekati-Ku sedepa Aku dekati engkau sehasta. Dan bila engkau
datang kepada-Ku berjalan, Aku akan datang kepadamu berlari. (Hadits Qudsi Riwayat
Ahmad dan Abd. Bin Hamid; 272:185)
Berdasarkan ketentuan hadits ini, terlihat
dengan jelas bagaimanakah Allah SWT bersikap kepada hamba-Nya yang selalu ingat
kepada-Nya, yaitu Allah SWT selalu
bersikap melebihi apa yang diperbuat oleh hambanya, terutama jika hambanya
melakukan penilaian ataupun berprasangka atau mempunyai perbuatan yang bersifat
positif point kepada Allah SWT. Akan tetapi Allah SWT tidak melakukan sesuatu
yang melebihi perbuatan hamba-Nya jika hamba-Nya berbuat negatif atau berbuat
yang berseberangan dengan kehendak Allah SWT. Allah SWT hanya membalas sebatas
penilaian atau sebatas prasangka yang dikemukakan oleh hamba-Nya tersebut.
Disinilah Allah SWT menunjukkan
kasih sayang-Nya kepada diri kita yang tidak lain adalah abd’ (hamba)-Nya yang
sekaligus khalifah-Nya di muka bumi. Untuk itu jangan pernah salahkan Allah SWT
jika Allah SWT hanya bersikap apa adanya kepada diri kita, atau bahkan Allah SWT
tidak bersikap sama sekali kepada kita, atau Allah SWT justru mengacuhkan diri
kita, hal ini disebabkan Allah SWT berbuat sesuai dengan apa yang kita
persangkakan kepada-Nya. Akan tetapi jika kita ingin memperoleh dan mendapatkan
sesuatu yang melebihi dari yang kita perbuat maka bersikaplah sesuai dengan
apa-apa yang dikehendaki oleh Allah SWT selaku pemilik, pencipta dari langit
dan bumi serta Diinul Islam. Selanjutnya apa yang dapat kita peroleh jika kita
melaksanakan Diinul Islam secara kaffah? Banyak hal yang akan kita peroleh jika
kita melaksanakan Diinul Islam secara kaffah saat diri menjadi abd’ (hamba)-Nya
yang juga khalifah-Nya di muka bumi, yaitu:
1. Kita
tidak sendirian saat melaksanakan tugas di muka bumi karena Allah SWT akan
selalu menyertai diri kita sepanjang diri kita mau menghadapkan wajah yang
lurus ke fitrah Allah SWT melalui Diinul
Islam.
2. Adanya
Diinul Islam yang kita laksanakan akan menjadikan diri kita memiliki pe-gangan,
pedoman, patokan, ukuran, saat melaksanakan konsep hidup sebagai sebuah
permainan dan membuat dari kita terbebas dari pertanggungjawaban Amanah yang 7
dan Hubbul yang 7 yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada diri kita.
3. Adanya
Diinul Islam yang kita laksanakan akan menjadikan diri kita selalu di da-lam
kehendak Allah SWT serta akan memudahkan diri kita mengalahkan ahwa (hawa
nafsu) dan juga setan serta dapat menghilangkan pengaruh buruk yang berasal
dari ahwa (hawa nafsu) dan juga Setan serta Adanya Diinul Islam yang kita
laksanakan maka diri kita telah masuk ke dalam benteng Allah SWT.
Hal yang harus kita
perhatikan adalah Allah SWT tidak butuh dengan kaffah yang kita lakukan. Allah SWT tidak
butuh dengan Amanah yang kita lakukan. Allah SWT tidak butuh dengan ibadah
wajib dan ibadah sunnah yang kita lakukan. Manusialah, diri kitalah yang
membutuhkan Diinul Islam. Selain itu Allah SWT juga memberikan kebebasan
memilih kepada diri kita, untuk memilih jalan yang terbaik bagi diri kita, mau
pulang ke syurga silahkan dan jika ingin pulang ke neraka silahkan.
Pilihan hanya satu, mau menjadi calon penghuni syurga atau menjadi calon
penghuni neraka. Selamat memilih dan bersiap-siaplah menerima konsekuensi
masing-masing.
Jika kita merasa
bahwa diri kita bukanlah siapa-siapa, jika kita merasa bahwa diri kita misikin
saat hadir di muka bumi, sudah sepantasnya diri kita mau menerima, mau
melaksanakan, segala apa yang telah menjadi ketentuan pencipta dan pemilik
langit dan bumi. Akan tetapi jika kita tidak mau melaksanakan, tidak mau
menerima Diinul Islam sebagai Agama yang haq berarti diri kita termasuk orang
yang tidak tahu diri. Untuk itu bersiap-siaplah menerima hal-hal yang
dikemukakan di dalam surat Al Hajj (22) ayat 9-10 yang kami kemukakan berikut
ini: “dengan memalingkan lambungnya untuk menyesatkan
manusia dari jalan Allah. ia mendapat kehinaan di dunia dan di hari kiamat Kami
merasakan kepadanya azab neraka yang membakar.(akan dikatakan kepadanya):
"Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua
tangan kamu dahulu dan Sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya
hamba-hamba-Nya.”
Allah SWT akan
memberikan hadiah berupa kehinaan di dunia dan juga kehinaan di hari kiamat
kelak. Jika sampai hal ini terjadi pada diri kita berarti diri kita
telah keluar dari konsep awal penciptaan manusia. Apa buktinya? Dari makhluk yang
terhormat telah turun pangkat menjadi makhluk yang dihinakan seperti halnya
iblis/syaitan. Dari makhluk yang berhak menempati syurga menjadi makhluk
penghuni neraka. Dan kita tidak
bisa menganggap remeh apalagi menganggap remeh ancaman Allah SWT ini
dikarenakan Allah SWT tidak akan pernah ingkar janji kepada makhluk-Nya. Untuk
itu jika saat ini diri kita masih belum juga mampu melaksanakan Diinul Islam
secara kaffah, segera perbaiki diri saat ini juga sebab waktu tidak akan pernah
kembali lagi serta penyesalan tidak pernah ada di muka. Atau jika saat ini
diri kita masih percaya bahwa ada Agama lain selain Diinul Islam mampu
mempertahankan kefitrahan diri yang sesuai dengan kehendak Allah SWT serta
mampu menghantarkan diri kita ke syurga, cepat-cepatlah lakukan “Taubatan Nasuha” sebelum ruh tiba di kerongkongan,
terkecuali jika kita ingin merasakan panasnya api Neraka Jahannam yang panasnya
70 (tujuh puluh) kali dari api dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar