Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Minggu, 19 September 2021

TAHU ATURAN MAIN (Part 5 of 5)


 

I.  ADANYA DIINUL ISLAM SEBAGAI KONSEP ILAHIAH BAGI KEPEN-TINGAN UMAT MANUSIA.

 

Konsep Tahu Aturan Main yang berikutnya adalah adanya Diinul Islam sebagai konsep Ilahiah bagi kepentingan umat manusia, sebagaimna dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Ar Ruum (30) ayat 30 berikut ini: Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Berdasarkan ketentuan ayat di atas ini, Allah SWT selaku pencipta dan pemilik rencana besar penciptan manusia di muka bumi telah menciptakan apa yang dinamakan dengan Diinul Islam. Sebuah konsep Ilahiah yang diciptakan dan berasal dari fitrah-Nya sendiri sehingga apabila diri kita menghadapkan diri selaku abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya kepada Diinul Islam secara lurus maka diri kita yang pada dasarnya juga diciptakan berdasarkan fitrah-Nya maka terjadilah sinergi kefitrahan melalui konsep segitiga emas antara diri kita kepada Allah SWT selaku dzat yang maha fitrah melalui Diinul Islam yang juga fitrah, yang pada akhirnya manusialah yang diuntungkan jika berada di dalam kefitrahan ini.

 

Hal ini dimungkinkan terjadi karena dalam ilmu Allah SWT tentang Diinul Islam berlaku ketentuan jika fitrah yang kecil bertemu dengan fitrah Yang Maha Besar maka yang kecil akan terbantu atau yang kecil akan tertolong oleh yang besar. Yang sering menjadi persoalan adalah kita yang kecil berusaha ingin selamat, berusaha ingin di tolong, tetapi jalan yang ditempuh justru melawan dan menentang Yang Maha Besar dengan menambah, mengurangi apa-apa yang telah ditetapkan sebagai syarat dan ketentuan dari Yang Maha Besar.

 

Adanya konsep Diinul Islam ini Allah SWT berkehendak kepada setiap manusia untuk selalu berada dalam fitrah Allah SWT sehingga jika fitrah bertemu dengan fitrah maka terjadilah kesesuaian, terjadilah keserasian, dan terjadilah keselarasan atau terjadilah sinergi antara fitrah yang dimiliki manusia dengan fitrah yang dimiliki Allah SWT melalui jalan Agama yang fitrah (dalam hal ini adalah Diinul Islam) akhirnya manusia termasuk diri kita mampu datang fitrah kembali fitrah.

 

Sekarang Allah SWT sudah menetapkan kepada setiap abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya jika ia ingin selamat maka kita wajib melaksanakan Diinul Islam secara kaffah dengan cara tidak menambah, tidak mengurangi, tidak merubah-rubah, atas apa-apa yang telah Allah SWT tentukan. Selanjutnya dapatkah kita selamat jika antara diri kita dengan Allah SWT tidak terjadi keselarasan, tidak terjadi keserasian dan  tidak terjadi keseimbangan dalam hal fitrah atau tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT?  Jika handphone saja wajib selaras, serasi dan seimbang dengan operator selular, apalagi kita dengan Allah SWT. Untuk itu, kitapun harus selalu selaras, serasi dan seimbang dengan gelombang dan siaran Allah SWT yaitu Diinul Islam. Jika hal ini tidak terjadi atau kiita tidak dapat melakukannya maka jangan berharap pertolongan, bantuan dari Allah SWT atau Apa-Apa yang  telah Allah SWT janjikan kepada kita, dapat kita raih dan dapat kita peroleh.

 

Saat ini Allah SWT telah menurunkan Diinul Islam lalu apa yang harus kita lakukan dengan Diinul Islam itu? Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 208 yang kami kemukakan berikut ini: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”  Yang harus kita harus melaksanakan Diinul Islam secara kaffah atau secara menyeluruh dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sekarang seperti apakah Diinul Islam itu? Diinul Islam dapat dibedakan menjadi 3(tiga) ketentuan pokok yang terdiri 3(tiga) ketentuan induk yang terdiri dari:

 

1.       Adanya ketentuan Rukun Iman yang terdiri dari 6 (enam) ketentuan pokok, yaitu : (a) Iman kepada Allah; (b) Iman kepada para Rasul-Nya; (c) Iman kepada para Malaikat-Nya; (d) Iman kepada Kitab-Kitab-Nya; (e) Iman kepada hari Akhirat; (f) Iman kepada Qada; Qadar dan Taqdir.

2.       Adanya ketentuan Rukun Islam yang terdiri dari 5(lima) ketentuan pokok, yaitu: (a) syahadat; (b) mendirikan shalat; (c) menunaikan zakat; (d) puasa di bulan Ramadhan; (e) menunaikan haji, jika mampu.

3.       Adanya ketentuan ikhsan yaitu "Menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu".

 

Diinul Islam dapat dikatakan sebagai sebuah rangkaian ketentuan yang berasal dari Allah SWT atau sebuah konsep yang berasal dari Allah SWT untuk kepentingan umat manusia yang ada di muka bumi yang terdiri dari Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan yang harus dilaksanakan dalam satu kesatuan (keseluruhan). Adanya ketentuan ini maka kita tidak bisa meletakkan, menempatkan, mengkotak-kotakkan Diinul Islam secara terpisah-pisah sehing-ga kita tidak bisa hanya melaksanakan Rukun Iman dengan mengabaikan Rukun Islam dan Ikhsan atau kita tidak bisa memisahkan Rukun Iman dengan Rukun Islam dan Ikhsan, demikian pula sebaliknya.

 

Diinul Islam sebagai sebuah rangkain  ketentuan yang terdiri dari Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan, juga memiliki beberapa karakteristik dasar yang harus kita ketahui dan pahami serta harus dijadikan pedoman sewaktu diri melaksanakan konsep hidup sebagai sebuah permainan. Adapun karakteristik dasar dari Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan, dapat kami kemukakan sebagai berikut:

 

1.    Suatu Bangunan tidak akan dapat berdiri kokoh jika tanpa ada pondasi yang ko-koh pula. Demikian pula dengan Diinul Islam tidak akan dapat berdiri kokoh tanpa dilandasi dengan pondasi yang kokoh pula (dalam hal ini adalah Rukun Iman). Selanjutnya bangunan tidak akan dapat berdiri kokoh atau tidak akan dapat dikatakan sebagai bangunan yang sempurna walaupun sudah memiliki pondasi yang kokoh jika tidak ada sesuatu yang dapat merekatkan atau adanya sesuatu yang dapat menyatukan tembok, jendela, pintu, rangka atap, genting, dan lain sebagainya ke dalam bangunan. Untuk itulah semen sangat dibutuhkan di dalam membuat sebuah bangunan. Sekarang bagaimana dengan bangunan Diinul Islam? Bangunan Diinul Islam tidak akan dapat berdiri dengan kokoh jika tidak ada perekatnya, atau bangunan Diinul Islam tidak akan berdiri tegak jika tidak ada penyatunya, dalam hal ini adalah syahadat. Adanya syahadat yang kita laksanakan maka Rukun Iman sebagai pondasi dapat menyatu atau dapat direkatkan dengan Rukun Islam yang merupakan bagian dari bangunan sehingga lahirlah apa yang dinamakan dengan Ikhsan.

 

2.    Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan memiliki posisi dan kedudukan yang tidak bisa saling menghilangkan apalagi meniadakan kedudukan yang lainnya. Maksudnya Rukun Iman tidak bisa menghilangkan atau meniadakan Rukun Islam dan Ikhsan, demikian pula sebaliknya Rukun Islam tidak bisa meniadakan ketentuan Rukun Iman dan Ikhsan, demikian seterusnya dengan ketentuan Ikhsan yang juga tidak dapat menghilangkan Rukun Iman dan Rukun Islam. Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan memiliki kedudukan yang sama pentingnya sebab kesemuanya satu kesatuan dari bangunan Diinul Islam. Jika salah satu Rukun ada yang lebih tinggi kedudukannya bagaimana jadinya suatu bangunan padahal ketiganya adalah bagian integral dari bangunan Diinul Islam? Adanya kondisi ini dapat dikatakan kedudukan Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan tidak ada yang lebih tinggi di antara ketiganya, namun ketiganya saling lengkap melengkapi, atau saling menyempurnakan.

 

3.   Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan sebagai satu kesatuan yang tidak terpi-sahkan dan hanya dapat dibedakan atau berbeda jika ditinjau dari sisi pelaksanaannya saja atau Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan hanya dapat dibedakan dari sisi pelaksanaan tata cara ibadahnya saja. Adanya perbedaan pelaksanaan antara Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan, tentu akan menimbulkan syariat yang berbeda-beda pula di dalam melaksanakan ketentuan dimaksud.

 

Berikut ini akan kami kemukakan mekanisme kerja pelaksanaan Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yang kiranya dapat kita jadikan patokan awal di saat melaksanakaan Diinul Islam secara kaffah (menyeluruh dan lengkap) yaitu:

 

1.     Melalui Rukun Iman yang terdiri dari 6(enam) ketentuan pokok, Allah SWT ber-kehendak kepada manusia untuk mengenal, untuk mengetahui, untuk meyakini, serta untuk mengimani seluruh ketentuan Rukun Iman yang terdiri: Iman kepada Allah; Iman kepada para Rasul, Iman kepada para Kitab, Iman kepada Malaikat; Iman kepada Hari Kiamat; Iman kepada Qadha, Qadar dan Taqdir. Hasil akhir dari pelaksanaan dari Rukun Iman harus dapat menghantarkan diri kita mampu menempatkan dan meletak-kan ketentuan Rukun Iman dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hal yang paling mendasar dari pelaksanaan Rukun Iman adalah Iman kepada Allah SWT. Hal ini dikarenakan kedudukan Allah SWT sangat sentral dan sangat sakral, dan juga dikarenakan tanpa Iman kepada Allah SWT maka Iman yang lainnya menjadi batal.

 

2.    Melalui Rukun Islam yang terdiri dari 5(lima) ketentuan pokok, Allah SWT ber-kehendak kepada manusia untuk berinteraksi, untuk merasakan secara langsung dengan apa-apa yang telah di-Imaninya, apakah itu Iman kepada Allah SWT, apakah itu iman kepada Rasul, apakah itu iman kepada Kitab, apakah itu iman kepada Malaikat, apakah itu Iman kepada Hari Akhirat, apakah itu iman kepada Qadha, Qadar dan Taqdir melalui syahada yang kita laksanakan, melalui shalat yang kita dirikan, melalui puasa, melalui zakat yang kita tunaikan dan melalui haji yang kita laksanakan, dengan catatan sebagai berikut: 

 

a.   Melalui pelaksanaan syahadat manusia diperintahkan oleh Allah SWT untuk mempersaksikan Allah SWT baik melalui kemahaan dan kebesaran yang dimiliki-Nya juga melalui ciptaan-Nya, melalui diri manusia, melalui alam, melalui binatang dan sebagainya. Sehingga diri kita akan dapat mempersaksikan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT yang mampu memperlihatkan, yang mampu menunjukkan kebesaran yang dimiliki-Nya dengan sejelas-jelasnya. Dan agar manusia tidak salah langkah, atau agar manusia tidak salah di dalam melaksanakan Diinul Islam maka Allah SWT mengutus manusia pilihan-Nya yaitu Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT untuk dijadikan suri teladan bagi manusia sewaktu menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi.

 

Selain itu, ada hal yang harus kita perhatikan yaitu kita tidak akan dapat merasakan atau memperoleh apa-apa yang terdapat di balik maksud dan tujuan perintah shalat, puasa, zakat dan haji  jika kita tidak pernah melaksanakan syahadat. Syahadat di dalam Rukun Islam memegang peranan sangat penting dikarenakan syahadat merupakan pintu gerbang atau syarat utama untuk menjadikan Agama Islam sebagai Agama yang Haq atau prasyarat untuk merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT atau kunci pembuka bagi kesuksesan hidup dan kehidupan yang kita jalani saat ini.   

 

b.     Melalui shalat, manusia diperintahkan oleh Allah SWT untuk merasakan sen-diri-sendiri secara langsung rasa atau kenikmatan dari bertuhankan kepada Allah SWT atau merasakan hasil dari komunikasi antara diri kita dengan Allah SWT melalui shalat yang kita dirikan. Hal ini dimungkinkan sebab melalui shalat yang khusyu' manusia akan dapat berdialog atau akan dapat berbisik langsung dengan Allah SWT; manusia dapat meminta pertolongan;  dapat meminta petunjuk, dapat meminta ampunan, dapat mensucikan diri, supaya hidup subur dan makmur, dan lain sebagainya serta melalui shalat pula Allah SWT hendak menyempurnakan nikmat-nikmat yang Allah SWT telah berikan. Sekarang apa-apa yang terdapat di balik perintah shalat tidak akan dapat kita peroleh sebelum diri kita melaksanakan syahadat apalagi jika kita sendiri tidak mau mendirikan shalat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.

 

c.     Melalui puasa, manusia diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengembalikan kefitrahan diri yang telah tercemar akibat pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan setan selama kurun waktu 11 (sebelas) bulan. Hal dimungkinkan karena yang berpuasa adalah jasmani sedangkan ruh pada bulan Ramadhan justru tidak dipuasakan. Selanjutnya dengan dipuasakannya jasmani selama kurun waktu tertentu maka kesehatan jasmani dapat terjaga karena di-istirahatkan serta dengan dikuranginya makan kepada jasmani diharapkan pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan juga setan kepada ruh dapat berkurang. Dilain sisi, ruhani selama puasa diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk diberi makan (maksud ibadah) seluas-luasnya tanpa batasan melalui ibadah Sunnat yang ditingkatkan oleh Allah SWT menjadi ibadah wajib, sedangkan ibadah wajib dilipat gandakan pahalanya. 

 

d.    Melalui zakat, manusia diperintahkan oleh Allah SWT untuk membersihkan segala hasil usaha yang telah kita kerjakan selama kurun waktu setahun dengan menge-luarkan hak Allah SWT atas segala hasil usaha yang kita lakukan di muka bumi yang tidak pernah kita miliki.  Hal yang harus kita ingat adalah diri kita tidak memiliki apapun juga saat hadir di muka bumi ini, karena Allah SWT lah yang memberikan modal berupa jasmani, berupa ruh, berupa Amanah yang 7, berupa Hubbul yang 7, berupa hati ruhani tempat diletakkanya iradat, akal dan perasaaan, termasuk diberikannya air, udara, tumbuhan. Adanya zakat yang ditunaikan maka akan terciptalah keseimbangan antara orang yang berpunya (muzakki) dengan orang yang tidak berpunya (mustahik) di muka bumi, atau tercerminlah keshalehan diri di dalam keshalehan sosial.

 

e.    Melalui ibadah haji, manusia diundang oleh Allah SWT untuk datang ke ru-mah Allah SWT (Baitullah) sebagai tamu sedangkan Allah SWT sebagai Tuan Rumah,  atau diundang untuk menghadiri Open House yang diadakan oleh Allah SWT di Padang Arafah, minimal sekali seumur hidup. Hal yang harus diingat sewaktu melaksanakan ibadah haji adalah jadilah tamu yang dapat menyenangkan tuan rumah, atau tamu yang paling dikehendaki oleh tuan rumah dengan selalu mematuhi segala protokoler yang ditetapkan oleh tuan rumah berupa rukun haji, wajib haji ataupun sunnah haji.

 

3.   Ikhsan dapat dikatakan buah, atau hasil dari pelaksanaan Rukun Iman dan Rukun Islam yang telah kita laksanakan yang akan tercermin dari seberapa tinggi perbuatan baik yang telah kita lakukan selama menjalankan tugas sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya muka bumi. Semakin baik dan tinggi kualitas Rukun Iman dan Rukun Islam yang kita laksanakan maka semakin tinggi pula tingkat kualitas Ikhsan yang telah kita laksanakan atau yang tercermin di dalam diri kita, demikian pula sebaliknya.

 

Setelah diri kita mengetahui dengan pasti bahwa Diinul Islam terdiri dari Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan, masih ada hal lainnya yang harus kita jadikan pemahaman yang baik lagi benar yaitu Diinul Islam sebagai sebuah konsep yang berasal dari Allah SWT maka kita harus yakini bahwa konsep yang diturunkan dan yang diciptakan oleh Allah SWT merupakan cerminan dari pemilik konsep itu sendiri. Jika Diinul Islam hanya dipandang sebagai sebuah agama semata, tentu hal ini tidak akan dapat mencerminkan kebesaran dan kemahaan dari pemilik konsep itu sendiri, dalam hal ini  Allah SWT. Apalagi jika Diinul Islam hanya dimaknai hanya sebatas syurga dan neraka, sebatas pahala dan dosa, sebatas halal dan haram, sebatas kafir dan taat, sebatas syahadat dan puasa, sebatas shalat dan zakat, sebatas haji, sebatas rukun Iman dan Ikhsan saja, hal ini bukannya salah. Akan tetapi Diinul Islam sebagai Konsep Ilahiah bukan berarti sekedar itu semata. Diinul Islam sebagai Konsep Ilahiah lebih dari itu semua dikarenakan Diinul Islam merupakan cerminan langsung dari Fitrah Allah SWT .

 

Adanya kondisi ini berarti kondisi dasar Diinul Islam harus dapat mencerminkan Kemahaan Allah SWT dan jika kita hanya mampu mengatakan Diinul Islam sebatas pahala dan dosa atau sebatas syurga atau neraka saja maka kemahaan dan kebesaran Allah SWT yang terdapat di dalam Diinul Islam seolah-olah hanya sebatas itu saja dan jika kita tetap berpedoman atau tetap berpandangan bahwa Diinul Islam hanya sebatas itu saja, maka kita sendirilah yang telah menutup diri atau telah membatasi diri dengan arti dan makna dari sebuah konsep yang berasal dari Allah SWT sebagai sebuah tuntunan dan pedoman bagi keselamatan diri kita di muka bumi. Untuk itu jangan pernah salahkan Allah SWT jika kita hanya memperoleh dan mendapatkan sesuai dengan apa-apa yang telah kita persepsikan dan sangkakan kepada Diinul Islam tersebut. Untuk dapat memperoleh makna dan arti Diinul Islam yang sesuai dengan Kehendak Allah SWT, jangan pernah berprasangka atau mempersepsikan seperti yang kami sebutkan di atas. Akan tetapi kita wajib meletakkan, mendudukkan, serta menempatkan Diinul Islam sebagai cerminan langsung dari kebesaran dan kemahaan Allah SWT itu sendiri.

 

Dengan demikian kita akan dapat memperoleh dan mendapatkan apa-apa yang terkandung di dalam Diinul Islam sesuai dengan kehendak Allah SWT atau sesuai dengan kebesaran Allah SWT itu sendiri. Sekarang apa jadinya jika kita berbuat atau menilai atau mempersep-sikan Diinul Islam hanya berdasarkan prasangka yang bersifat dangkal? Hasilnya adalah  tidak bedanya kita seperti "katak di dalam tempurung". Untuk itu jadikan Hadits Qudsi yang kami kemukakan berikut ini: “Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: “Aku selalu mengikuti sangkaan hamba-Ku pada-Ku, maka terserah padanya akan menyangka apa saja kepada-Ku. (Hadits Qudsi Riwyata Muslim dan Alhakiem dari Watsilah dan Ibu Abud-Dunia, Alhakiem dari Abu Hurairah ra: 272: 67)

 

Watsilah bin Al-asqa' ra. berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: “Aku selalu menurutkan sangkaan hamba-Ku terhadap diri-Ku, jika ia baik sangka kepada-Ku maka ia dapat dari padaku apa yang ia sangka. Dan bila ia jahat (jelek) sangka kepada-Ku, maka ia dapat apa yang ia sangka dari pada-Ku. (Hadits Qudsi Riwayat Atthabarani dan Ibn Hibban; 272:71). Hadits di atas ini wajib kita jadikan pedoman agar diri kita tidak bersikap dan tidak memandang sempit Diinul Islam hanya sebatas ritual belaka seperti kita menganggap Diinul Islam hanya sebatas pahala dan dosa, sebatas syurga dan neraka,  sebatas halal dan haram semata, sehingga tugas kita hanya pengumpul pahala, sehingga setelah tua saja kita beribadah kepada Allah SWT. Kita harus bisa keluar dari pengertian dan pemahaman itu semua, sebab jika kita terus berprinsip seperti itu maka yang akan kita peroleh dari Diinul Islam hanya sebatas itu pula. Sedangkan telah kita ketahui bersama  bahwa Allah SWT lebih dari sekadar itu semua sebab Allah SWT adalah segala-galanya.

 

Allah SWT memang memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk berprasangka kepada-Nya, apakah itu prasangka baik ataupun prasangka buruk, atau apakah itu prasangka sempit ataupun prasangka yang mendalam. Adanya prasangka atau penilaian yang diberikan manusia kepada Diinul Islam,  maka dari sinilah Allah SWT memulai penilaian kepada manusia. Semakin baik dan semakin tinggi manusia menilai atau berprasangka baik kepada Allah SWT atau semakin tinggi manusia  berprasangka terhadap Diinul Islam yang diturunkan oleh Allah SWT maka akan semakin tinggi dan semakin baik pula yang akan diberikan Allah SWT kepada manusia. Apa buktinya? Berdasarkan hadits qudsi yang kami kemukakan berikut ini: Anas ra. berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Wahai Anak Adam! Jika ingat kepada-Ku dalam dirimu, Akupun ingat kepadamu dalam diri-Ku dan bila engkau ingat kepada-Ku di dalam himpunan orang, akan Aku ingat kepadamu dalam himpunan yang lebih baik dari himpunanmu. Jika engkau mendekati-Ku sejengkal, Aku mendekatimu sedepa, bila engkau mendekati-Ku sedepa Aku dekati engkau sehasta. Dan bila engkau datang kepada-Ku berjalan, Aku akan datang kepadamu berlari. (Hadits Qudsi Riwayat Ahmad dan Abd. Bin Hamid; 272:185)

 

Berdasarkan ketentuan hadits ini, terlihat dengan jelas bagaimanakah Allah SWT bersikap kepada hamba-Nya yang selalu ingat kepada-Nya, yaitu Allah SWT selalu bersikap melebihi apa yang diperbuat oleh hambanya, terutama jika hambanya melakukan penilaian ataupun berprasangka atau mempunyai perbuatan yang bersifat positif point kepada Allah SWT. Akan tetapi Allah SWT tidak melakukan sesuatu yang melebihi perbuatan hamba-Nya jika hamba-Nya berbuat negatif atau berbuat yang berseberangan dengan kehendak Allah SWT. Allah SWT hanya membalas sebatas penilaian atau sebatas prasangka yang dikemukakan oleh hamba-Nya tersebut.

 

Disinilah Allah SWT menunjukkan kasih sayang-Nya kepada diri kita yang tidak lain adalah abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi. Untuk itu jangan pernah salahkan Allah SWT jika Allah SWT hanya bersikap apa adanya kepada diri kita, atau bahkan Allah SWT tidak bersikap sama sekali kepada kita, atau Allah SWT justru mengacuhkan diri kita, hal ini disebabkan Allah SWT berbuat sesuai dengan apa yang kita persangkakan kepada-Nya. Akan tetapi jika kita ingin memperoleh dan mendapatkan sesuatu yang melebihi dari yang kita perbuat maka bersikaplah sesuai dengan apa-apa yang dikehendaki oleh Allah SWT selaku pemilik, pencipta dari langit dan bumi serta Diinul Islam. Selanjutnya apa yang dapat kita peroleh jika kita melaksanakan Diinul Islam secara kaffah? Banyak hal yang akan kita peroleh jika kita melaksanakan Diinul Islam secara kaffah saat diri menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi, yaitu:

 

1.   Kita tidak sendirian saat melaksanakan tugas di muka bumi karena Allah SWT akan selalu menyertai diri kita sepanjang diri kita mau menghadapkan wajah yang lurus  ke fitrah Allah SWT melalui Diinul Islam.

2.     Adanya Diinul Islam yang kita laksanakan akan menjadikan diri kita memiliki pe-gangan, pedoman, patokan, ukuran, saat melaksanakan konsep hidup sebagai sebuah permainan dan membuat dari kita terbebas dari pertanggungjawaban Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7 yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada diri kita.

3.     Adanya Diinul Islam yang kita laksanakan akan menjadikan diri kita selalu di da-lam kehendak Allah SWT serta akan memudahkan diri kita mengalahkan ahwa (hawa nafsu) dan juga setan serta dapat menghilangkan pengaruh buruk yang berasal dari ahwa (hawa nafsu) dan juga Setan serta Adanya Diinul Islam yang kita laksanakan maka diri kita telah masuk ke dalam benteng Allah SWT. 

 

Hal yang harus kita perhatikan adalah Allah SWT tidak butuh dengan kaffah yang kita lakukan. Allah SWT tidak butuh dengan Amanah yang kita lakukan. Allah SWT tidak butuh dengan ibadah wajib dan ibadah sunnah yang kita lakukan. Manusialah, diri kitalah yang membutuhkan Diinul Islam. Selain itu Allah SWT juga memberikan kebebasan memilih kepada diri kita, untuk memilih jalan yang terbaik bagi diri kita, mau pulang ke syurga silahkan dan jika ingin pulang ke neraka silahkan. Pilihan hanya satu, mau menjadi calon penghuni syurga atau menjadi calon penghuni neraka. Selamat memilih dan bersiap-siaplah menerima konsekuensi masing-masing.

 

Jika kita merasa bahwa diri kita bukanlah siapa-siapa, jika kita merasa bahwa diri kita misikin saat hadir di muka bumi, sudah sepantasnya diri kita mau menerima, mau melaksanakan, segala apa yang telah menjadi ketentuan pencipta dan pemilik langit dan bumi. Akan tetapi jika kita tidak mau melaksanakan, tidak mau menerima Diinul Islam sebagai Agama yang haq berarti diri kita termasuk orang yang tidak tahu diri. Untuk itu bersiap-siaplah menerima hal-hal yang dikemukakan di dalam surat Al Hajj (22) ayat 9-10 yang kami kemukakan berikut ini: “dengan memalingkan lambungnya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. ia mendapat kehinaan di dunia dan di hari kiamat Kami merasakan kepadanya azab neraka yang membakar.(akan dikatakan kepadanya): "Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu dan Sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya.”

 

Allah SWT akan memberikan hadiah berupa kehinaan di dunia dan juga kehinaan di hari kiamat kelak. Jika sampai hal ini terjadi pada diri kita berarti diri kita telah keluar dari konsep awal penciptaan manusia. Apa buktinya? Dari makhluk yang terhormat telah turun pangkat menjadi makhluk yang dihinakan seperti halnya iblis/syaitan. Dari makhluk yang berhak menempati syurga menjadi makhluk penghuni neraka. Dan kita tidak bisa menganggap remeh apalagi menganggap remeh ancaman Allah SWT ini dikarenakan Allah SWT tidak akan pernah ingkar janji kepada makhluk-Nya. Untuk itu jika saat ini diri kita masih belum juga mampu melaksanakan Diinul Islam secara kaffah, segera perbaiki diri saat ini juga sebab waktu tidak akan pernah kembali lagi serta penyesalan tidak pernah ada di muka. Atau jika saat ini diri kita masih percaya bahwa ada Agama lain selain Diinul Islam mampu mempertahankan kefitrahan diri yang sesuai dengan kehendak Allah SWT serta mampu menghantarkan diri kita ke syurga, cepat-cepatlah lakukan “Taubatan Nasuha” sebelum ruh tiba di kerongkongan, terkecuali jika kita ingin merasakan panasnya api Neraka Jahannam yang panasnya 70 (tujuh puluh) kali dari api dunia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar