C. ADANYA KETENTUAN HIDUP SEKALI SEHARUSNYA
BERARTI LALU MATI.
Konsep Tahu Aturan Main
yang berikutnya yang harus kita ketahui dan pahami adalah hidup di dunia ini
hanya sekali dan seharusnya menjadi hidup yang sangat berarti bagi diri,
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara lalu kita akan mati. Inilah hakekat
hidup yang sedang kita laksanakan saat ini. Di
lain sisi, hidup yang kita jalani saat ini tidak bisa selamanya kita
laksanakan. Hidup ini ada jangka waktunya. Dan hanya di dalam jangka waktu yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT itulah kita bisa melaksanakan tugas baik selaku
abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya di muka bumi serta disitulah kesempatan
yang telah diberikan oleh Allah SWT bagi diri kita menjalani hidup yang
berarti, yang bermakna, yang bermanfaat,
dan yang berguna serta yang bisa menghantarkan diri ini pulang kampung ke
syurga. Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari rencana besar penghambaan
dan kekhalifahan di muka bumi telah memberikan modal yang sama kepada setiap orang
yaitu berupa waktu atau usia atau lamanya kita hidup di dunia. Di dalam waktu inilah kita harus bisa menunjukkan
kualitas diri masing-masing. Apakah menjadi kebanggaan Allah SWT yang mampu
mempertahankan datang fitrah kembali juga dalam keadaan fitrah sehingga mampu
meninggalkan jejak-jejak kebaikan bagi orang banyak, ataukah menjadi kebanggaan
setan sang laknatullah yang tidak mampu mempertahankan konsep datang fitrah
kembali fitrah sehingga hanya mampu meninggalkan jejak-jejak keburukan bagi
orang banyak. Untuk itu ketahuilah apabila kita mampu menjadi kebanggaan
Allah SWT maka pulang kampung-nya ke syurga dan apabila menjadi kebanggaan setan
pulang kampungnya ke neraka.
Hal yang harus kita
pahami adalah bahwa waktu kita hidup di dunia sangatlah terbatas, kita tidak bisa
selamanya hidup, sebagaimana hadits berikut ini: Rasulullah SAW bersabda: Usia
umatku berkisar antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun. Sedikit yang
berhasil melewatinya. (Hadits Riwayat Ath Thirmidzi dan Ibnu Majah).” Hal
ini dikarenakan lamanya kita hidup di dunia ini bukanlah kita yang menentukan
melainkan Allah SWT yang menetapkan, yaitu dimulai saat ditiupkannya ruh ke
dalam jasmani sampai dengan dipisahkannya kembali ruh dengan jasmani. Dimana di
dalamnya ada ketentuan jika nyawa (ruh) telah tiba di kerongkongan maka
kesempatan untuk bertaubat hilang (tidak ada lagi kesempatan) untuk meminta
ampun kepada Allah SWT atas segala dosa dan kesalahan yang pernah kita perbuat.
Lalu apakah itu
hidup? Hidup yang kita jalani saat ini, dapat kita maknai dalam beberapa makna,
yaitu:
a. Saat
diri kita melaksanakan tugas sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus seba-gai
khalifah-Nya di muka bumi;
b. Saat masih bersatunya
antara ruh dengan jasmani;
c. Saat
terjadinya tarik menarik kepentingan nilai nilai kebaikan (nass) yang dibawa
oleh ruh dengan nilai nilai keburukan yang dibawa oleh jasmani (insan);
d. Saat diri kita
menjadi pemain dalam permainan untuk bisa mengalahkan ahwa (hawa nafsu) dan
juga setan;
e. Saat
diri melakukan sebuah perjalanan dari perantauan (muka bumi) menuju tem-pat
keabadian (syurga atau neraka);
f. Saat
diri kita membuktikan apakah kita mampu menjadi kebanggaan Allah SWT ataukah
menjadi kebanggaan setan;
g. Saat
diri kita mempersiapkan bekal untuk kehidupan di akhirat kelak, apakah un-tuk ke
syurga ataukah untuk ke neraka dan lain sebagainya.
Lalu dimanakah kita bisa
hidup yang bisa melaksanakan konsep hidup di atas? Berdasarkan ketentuan yang
dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al A’raaf (7) ayat 24 dan 25 berikut
ini: “Allah
berfirman: “Turunlah kamu! Kamu akan saling bermusuhan satu sama lain. Bumi
adalah tempat kediaman dan kesenanganmu sampai waktu yang telah ditentukan.
Allah berfirman, “Disana kamu hidup, disana kamu mati dan dari sana (pula) kamu
akan dibangkitkan.” Hidup hanya
dapat kita lakukan di muka bumi ini. Dan tidak hanya kita hidup di muka bumi ini,
namun kitapun mati di muka bumi serta akan dibangkitkan dari muka bumi. Dan
ingat, hidup yang kita laksanakan dan jalani di muka bumi ini hanya sebentar dan
hal ini tidak bisa kita hindari, namun harus kita laksanakan sesuai dengan
kaidah kaidah yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Sebagai pelaksana
dari hidup ini maka kita harus bisa mengetahui dan memahami dengan baik dan
benar tentang makna (arti) dari kehidupan dunia yang kita laksanakan saat ini.
Hal ini menjadi penting karena makna (arti) dari kehidupan di dunia tidak hanya
satu pengertian saja. Akan tetapi ada 6 (enam) maknanya (artinya) sebagaimana yang
dikemukakan oleh Allah SWT di dalam AlQuran dan juga berdasarkan ketentuan hadits
berikut ini:
1. Dunia adalah Tempat Kesenanangan Sementara. Dunia adalah la’ib (main-main) dan laghwu
(senda gurau). Dunia hanyalah tempat sandiwara kehidupan dipentaskan. Bukankah
hidup ini sebenarnya adalah sangat sederhana? Kita bagaikan aktor ataupun artis
yang sedang memegang peran masing-masing. Sedangkan sutradaranya adalah Allah
SWT. Di sandiwara kehidupan ini, ada skenario Tuhan yang wajib diperankan dengan
sebaik-baiknya dan juga semaksimal mungkin diperankan oleh diri kita,
sebagaimana termaktub dalam surat Al An'am (6) ayat 32 berikut ini: “dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda
gurau belaka[468]. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang
yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”.
[468] Maksudnya:
kesenangan-kesenangan duniawi itu hanya sebentar dan tidak kekal. janganlah
orang terperdaya dengan kesenangan-kesenangan dunia, serta lalai dari memperhatikan
urusan akhirat.
Jika kehidupan dunia
sudah dikatakan oleh Allah SWT sebagai tempat kesenangan sementara berarti ada
tempat kesenangan yang tetap yang akan disediakan Allah SWT. Timbul pertanyaan
dimanakah letak kesenangan tetap tersebut? Letak kesenangan tetap ada pada
kehidupan akhirat dan sebagai seorang abd’ (hamba)Nya yang sekaligus khalifahNya
yang sedang melaksanakan tugas di muka bumi ini kita diminta oleh Allah SWT
untuk memahani hal ini dengan baik dan benar. Lalu untuk siapakah kesenangan
tetap yang ada di negeri akhirat itu, apakah untuk Allah SWT ataukah untuk diri
kita? Allah SWT tidak membutuhkan itu semua, dan jika Allah SWT tidak
membutuhkan, lalu siapakah yang membutuhkan? Jika kita merasa sangat membutuhkan kesenangan
tetap yang ada di negeri akhirat, maka kita harus memiliki bekal untuk menuju
kesana atau kita harus berusaha memiliki tiket masuk menuju kesenangan tetap
yang ada di negeri akhirat. Hal yang harus kita perhatikan adalah
kita tidak akan mungkin memperoleh tempat kembali berupa syurga jika tiket yang
kita miliki adalah tiket masuk ke neraka atau bekal yang sesuai dengan kehendak
setan.
2.
Dunia adalah Tempat
Ujian. Kehidupan
dunia adalah tempat ujian, hal ini berdasarkan surat Thaahaa (20) ayat
131-132 berikut ini: “dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami
berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia
untuk Kami cobai mereka dengannya. dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan
lebih kekal.dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan
bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu,
kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi
orang yang bertakwa.” Jika kehidupan dunia sudah dikatakan oleh Allah SWT
sebagai tempat ujian berarti saat ini diri kita sedang melaksanakan test atau
sedang diuji oleh Allah SWT untuk menghadapi musuh abadi manusia, dalam hal ini
ahwa (hawa nafsu) dan juga setan. Adanya test atau ujian yang dilakukan oleh
Allah SWT maka akan menghasilkan apa yang dinamakan dengan nilai seseorang,
kelulusan seseorang, kemenangan seseorang atau kekalahan seseorang. Jika kita
lulus ujian melawan ahwa (hawa nafsu) dan juga setan berarti diri kita adalah
pemenang dan setan adalah pecundang. Pemenang akan memperoleh syurga sedangkan
pecundang akan memperoleh neraka.Selanjutnya sudahkah diri kita mempersiapkan
diri untuk menjadi pemenang atau lulus dari ujian Allah SWT?
3.
Dunia adalah Laksana
Air Hujan. Allah
SWT melalui surat Al Kahfi (18) ayat 45-46
berikut ini mengemukakan: “dan berilah
perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang
Kami turunkan dari langit, Maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka
bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin.
dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu.harta dan anak-anak adalah
perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah
lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” Allah SWT melalui ayat ini telah mengingatkan
kepada diri kita agar jangan sampai diri kita tertipu dengan kehidupan dunia
lalu lupa dengan kehidupan akhirat yang menjadi tujuan akhir diri kita. Allah
SWT memberikan peringatan dini kepada diri kita seperti ini karena setan dengan
segala kemampuan yang dimilikinya mampu memanipulasi sesuatu yang tidak baik
menjadi baik atau mampu menjadikan sesuatu yang baik menjadi sesuatu yang tidak
baik. Jika sampai diri kita mampu dipengaruhi setan maka kita tidak akan mampu
menjadi seorang pemenang, atau yang akan disambut dengan karpet merah saat
pulang kampung. Untuk itu
berhati-hatilah dengan setan saat diri kita melaksanakan tugas di muka bumi
dengan tetap menjadikan setan sebagai musuh yang nyata bagi diri kita.
4.
Dunia adalah Mataa’ (kesenangan yang menipu). Berdasarkan ketentuan surat Ali Imran (3) ayat
14 berikut ini: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa apa yang
diingini, yaitu: wanita wanita, anak anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang binatang ternak dan sawah lading. Itulah
kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik
(syurga). (surat Ali Imran (3) ayat 14)”. Dunia adalah mataa’
(kesenangan yang menipu). Ketertipuan terhadap dunia terjadi ketika kita
menjadikan dunia sebagai tujuan akhir. Padahal dunia ini hanyalah perantara
atau media untuk menggapai kebahagiaan hidup di alam abadi. Dunia adalah media
untuk mencari bekal hidup agar kelak kita meraih syurga.
5.
Dunia adalah Qalil (kecil). Berdasarkan ketentuan surat An Nisaa (4) ayat
77 berikut ini: “Kesenangan di dunia ini hanya kecil (sebentar) dan akhirat itu lebih
baik untuk orang orang yang bertaqwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.
(surat An Nisaa (4) ayat 77)”. Dunia adalah qalil (kecil). Dalam ayat
ini Allah SWT membandingkan dunia dengan akhirat. Segala yang ada dunia ini
kecil. Manusia itu kecil. Harta itu kecil. Nikmat di dunia itu kecil.
Kesengsaraan di dunia itu kecil. Kelak di akhiratlah segala yang besar besar
itu berada. Kenikmatan di syurga, kata Rasul SAW, belum pernah terdengar telinga,
belum pernah terlihat mata, bahkan belum pernah terjamah oleh pikiran manusia.
Begitu pula dengan kesengsaraan dan kebinasaan di neraka, yang belum pernah
terjamah dan dirasakan oleh manusia. Untuk itu bersabarlah di dunia
yang singkat dan kecil ini. Jangan terlena dengan kenikmatan dunia yang kecil
ini. Jangan menyerah dengan cobaan dan kesengsaraan hidup di dunia yang juga
kecil ini. Asalkan kita berada di titian iman dan taqwa hingga ajal tiba, Allah
SWT akan menjanjikan kenikmatan yang jauh lebih indah, kekal dan abadi.
6.
Dunia adalah Penjara. Dunia adalah penjara. Ada yang mengungkapkan
bahwa yang dimaksud dengan penjara adalah beragam aturan aturan yang membatasi
diri seorang muslim. Hal ini tertuang dalam hadits berikut ini: “Dari Abu Hurairah ra,
Rasulullah SAW bersabda, “Dunia itu penjara bagi orang mukmin dan syurga bagi
orang kafir.” (Hadits Riwayat Ahmad)”. Sebagaimana kita ketahui bahwa di dunia ini
seorang muslim diikat oleh aturan yang bernama syariat. Ada perintah dan ada
larangan. Ada perintah untuk mengontrol dan mengalahkan hawa nafsu. Ada
kewajiban, sunnah, mubah, makruh, serta haram. Ada perintah shalat, puasa,
zakat, serta berhaji bagi yang mampu. Ada larangan judi, zinah, korupsi, minum
minuman keras, meninggalkan shalat dan lain lain.
Sebagian ulama berpendapat bahwa semua itulah
yang dimaksud dengan belenggu. Kematian adalah saat dimana belenggu belenggu
itu terlepas. Kematian adalah masa terbebasnya diri seorang muslim dari segala
belenggu belenggu yang selama di dunia telah mengikatnya. Allah SWT berfirman: “Kehidupan dunia
dijadikan terasa indah dalam pandangan orang-orang yang kafir, dan mereka
menghina orang-orang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu berada di
atas mereka pada hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang yang Dia
kehendaki tanpa perhitungan. (surat Al-Baqarah (2) ayat 212)”.
Kematian adalah masa
kebahagiaan bagi seorang muslim karena ia akan segera disambut dengan
kenikmatan kenikmatan akhirat sebagai hadiah atas kesabarannya meniti jalan
yang telah diatur oleh Allah SWT saat hidup di dunia.
Itulah 6 (enam) makna dari kehidupan dunia, yang kesemuanya harus dapat
kita maknai sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Selain makna (arti)
kehidupan dunia yang telah kami kemukakan di atas, masih ada makna (arti)
kehidupan dunia yang lainnya, sebagaimana hadits berikut ini: “Sahabat
yang mulia, Jabir bin Abdullah ra, mengabarkan bahwa Rasulullah pernah melewati
sebuah pasar hingga kemudian banyak orang yang mengelilinginya. Sesaat kemudian
beliau melihat bangkai anak kambing yang cacat telinganya. Beliau mengambil dan
memegang telinga kambing itu seraya bersabda, ''Siapa di antara kalian yang mau
memiliki anak kambing ini dengan harga satu dirham.'' Para sahabat menjawab,
''Kami tidak mau anak kambing itu menjadi milik kami walau dengan harga murah,
lagi pula apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?'' Kemudian Rasulullah
berkata lagi, ''Apakah kalian suka anak kambing ini menjadi milik kalian?''
Mereka menjawab, ''Demi Allah, seandainya anak kambing ini hidup, maka ia cacat
telinganya. Apalagi dalam keadaan mati.'' Mendengar pernyataan mereka, Nabi
bersabda, ''Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah
daripada bangkai anak kambing ini untuk kalian.'' (Hadits Riwayat Muslim). Berdasarkan
hadits ini kehidupan dunia lebih rendah dan hina di mata Allah SWT dibandingkan
dengan bangkai anak kambing.
Dalam riwayat lain
disebutkan: “Pada suatu waktu, Rasulullah memegang pundak Abdullah bin Umar Beliau
berpesan, ''Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing atau orang yang
sekadar melewati jalan (musafir).'' Abdullah menyimak dengan khidmat pesan itu
dan memberikan nasihat kepada sahabatnya yang lain: ''Apabila engkau berada di
sore hari, maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya, bila
engkau berada di pagi hari, janganlah engkau menanti datangnya sore. Ambillah
(manfaatkanlah) waktu sehatmu sebelum engkau terbaring sakit, dan gunakanlah
masa hidupmu untuk beramal sebelum datangnya kematianmu.'' (Hadits Riwayat Bukhari).
Sedang berdasarkan hadits ini kita telah diiingatkan oleh Nabi Muhammad SAW
agar menjadikan kehidupan dunia ini sekedar melewati jalan atau menjadikan diri
kita sebagai musafir semata sehingga bukan untuk menetap selamanya di dunia.
Sekarang setelah menjadi tamu yang baik dapatkah kita
sewenang-wenang memperlakukan langit dan bumi seolah-olah kita yang memiliki?
Dapatkah kita merusak langit dan bumi atas nama pemilik? Dapatkah kita
menghambur-hamburkankan segala jerih payah di muka bumi tanpa memikirkan bekal
untuk pulang ke negeri akhirat? Jika kita termasuk tamu yang baik yang
menyenangkan hati tuan rumah maka kita harus menjaga, merawat, memelihara
langit dan bumi sesuai dengan kehendak dari pencipta dan pemiliknya. Sedangkan
jika kita termasuk perantau yang baik maka kita harus mencari, membekali diri
dengan bekal yang cukup untuk pulang kampung ke negeri akhirat. Dan agar hidup dan
kehidupan yang kita laksanakan saat ini sesuai dengan kehendak Allah SWT. Berikut
ini akan kami kemukakan 3 (tiga) buah cara hidup di muka bumi yang harus bisa
kita laksanakan, yaitu:
1.
Jangan pernah Sombong di saat dunia. Sebagai abd’ (hamba)-Nya
yang sekaligus khalifah-Nya pernahkah diri kita membayangkan punya apakah diri
kita saat lahir ke muka bumi ini? Apakah diri kita lahir ke muka bumi langsung
menciptakan sendiri jasmani, ruh, Amanah yang 7, Hubbul yang 7, hati ruhani,
akal, perasaan, udara, air, langit dan bumi serta Diinul Islam? Jika kita
memiliki kemampuan untuk menciptakan itu
semua, kenapa saat diri kita lahir dalam kondisi lemah yang hanya bisa menangis
untuk segala apa yang kita rasakan? Setiap manusia yang ada di muka bumi ini,
termasuk diri kita, tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan langit dan bumi,
untuk menciptakan jasmani dan ruhani,
untuk menciptakan amanah yang 7, hubbul yang 7, akal, perasaan, untuk
menciptakan udara dan air, serta untuk menciptakan Diinul Islam, apapun
kedudukan manusia itu.
Setiap manusia yang
ada di muka bumi adalah tamu yang menumpang di bumi Allah SWT, setiap manusia
adalah perantau yang harus pulang ke negeri akhirat. Jika setiap manusia itu
miskin, jika setiap manusia itu hina, jika setiap manusia tidak memiliki apa-apa
saat datang (lahir) pertama kali di muka bumi, sekarang patut dan pantaskah
manusia sombong di langit dan di bumi Allah SWT ini? Jika kita termasuk orang
yang sudah tahu diri maka jangan sampai diri kita mencontoh perbuatan karun
yang bersikap sombong atau menjadi karun-karun generasi baru di muka bumi ini,
sebagaimana Allah SWT berfirman berikut ini: “Karun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi
harta itu, karena ilmu yang ada padaku". dan Apakah ia tidak mengetahui,
bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih
kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? dan tidaklah perlu
ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka
keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya [1139]. berkatalah
orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita
mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; Sesungguhnya ia
benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar". (surat Al Qashash (28) ayat
78-79)
[1139] Menurut mufassir: Karun
ke luar dalam satu iring-iringan yang lengkap dengan pengawal, hamba sahaya dan
inang pengasuh untuk memperlihatkan kemegahannya kepada kaumnya.
Sebagai orang yang tidak
pernah menciptakan dan memiliki langit dan bumi, berarti diri kita tidak memiliki
alasan apapun yang dapat dipertanggung jawabkan untuk berlaku sombong di muka
bumi ini yang dimiliki Allah SWT. Jika sampai diri kita kita berlaku sombong di muka
bumi berarti diri kita telah menerapkan prinsip hidup atau peribahasa sebagai
berikut, tamu yang berlagak seperti tuan rumah, atau dikasih hati minta rempela
atau sudahlah menumpang masih pula kurang ajar alias tidak tahu diri.
Sekarang dari manakah asalnya sikap sombong yang ada pada diri manusia? Sikap sombong yang ada pada diri manusia
ditularkan oleh iblis/setan. Selanjutnya jika kita bersikap sombong berarti diri
kita sudah berperilaku seperti iblis/setan. Dan perilaku sombong,
angkuh, congkak, tidak akan dapat menghantarkan diri kita ke kampung
kebahagiaan, dikarenakan tempat kembali orang sombong adalah neraka Jahannam.
Sebagai makhluk yang
terhormat, tentu diri kita wajib mencerminkan, menjaga serta mempertahankan
kehormatan yang kita miliki tersebut saat diri kita hidup di muka bumi. Dan
jika sampai diri kita tidak dapat mempertahankan kehormatan yang dimiliki-nya
saat hidup di dunia ini seperti sombongnya iblis melawan perintah Allah SWT; hidup tanpa etika, tanpa sopan santun, tanpa
tata krama sehingga perintah dan larangan Allah SWT dilanggar, hidup seenaknya
saja sehingga alam yang tidak pernah diciptakan dan dimiliki di rusak? Jika ini
yang kita lakukan berarti memang diri kita tidak pantas menyandang gelar
sebagai makhluk yang terhormat atau menjadi perpanjangan tangan Allah SWT di
muka bumi. Hasil akhir dari ini semua adalah pulang kampung ke tempat yang
tidak terhormat yaitu ke neraka Jahannam.
2.
Jangan Mencintai Dunia. Seorang perantau yang
menetap di negeri orang, suatu saat pasti akan kembali ke kampung halaman. Jika
ini adalah konsep dasar merantau berarti hidup di rantau yang dilakukan oleh
seseorang bukanlah tujuan akhir, akan tetapi tujuan sementara dalam rangka untuk
mencari bekal pulang kampung atau untuk pembuktian diri atas keberhasilan hidup
di rantau. Adanya kondisi ini berarti
kualitas hidup di rantau sangat berhubungan erat dengan keberhasilan di kampung
halaman. Ini berarti segala apa yang kita lakukan saat hidup di rantau, akan
mempengaruhi keberhasilan atau ketidakberhasilan hidup di kampung halaman kelak.
Sekarang bagaimana dengan diri kita yang saat ini sedang merantau ke muka bumi,
apakah kualitas merantau yang kita lakukan saat ini akan memberikan dampak
keberhasilankah atau memberikan dampak ketidakberhasilankah untuk pulang ke
negeri akhirat? Agar diri kita berhasil menuju negeri akhirat yang bernama
syurga, tentu saat ini kita harus mencari bekal sebanyak mungkin di dalam
koridor ketentuan untuk masuk syurga.
Hal yang harus kita
perhatikan adalah bekal untuk masuk syurga tidak sama dengan bekal untuk masuk
neraka. Adanya perbedaan bekal untuk masuk syurga dan neraka, hal ini akan
mempengaruhi pula pola kerja saat diri kita menjadi khalifah di muka bumi.
Untuk itu sewaktu menjadi khalifah kita harus menentukan mau pulang kemanakah
diri kita, apakah mau ke syurga ataukah ke neraka. Jika pilihan kita adalah
neraka jahannam, nomorsatukan kehidupan dunia, nomor-akhirkan kehidupan akhirat,
atau cintai kehidu-pan dunia saja, lalu lalaikan kehidupan akhirat. Akan tetapi
jika kita mengambil keputusan untuk pulang kampung ke syurga berarti kita tidak
boleh mencintai dunia, kita tidak boleh menomorsatukan dunia, dengan
mengakhirkan akhirat.
Apalagi Allah SWT selaku
pencipta dan pemilik kekhalifahan di muka bumi melalui surat Al Baqarah (2)
ayat 204 berikut ini: “dan di antara manusia ada
orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan
dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, Padahal ia adalah
penantang yang paling keras.” telah mengingatkan agar jangan sampai
kehidupan dunia menarik hati kita sehingga meng-abaikan kehidupan akhirat. Adanya peringatan
dari Allah SWT seharusnya dapat menjadikan diri kita mawas diri saat menjadi khalifah
di muka bumi karena kehidupan dunia bukanlah kehidupan yang hakiki.
Yang menjadi
persoalan saat ini adalah kita berkehendak untuk pulang kampung ke syurga namun
perilaku hidup kita selalu tidak konsisten dengan apa yang kita hendaki.
Seolah-olah dengan perilaku ziq-zaq, kadang baik kadang buruk, dapat
menghantarkan diri kita ke syurga. Dan jika ini yang kita lakukan kita akan
berada di daerah abu-abu, sedangkan Allah SWT hanya menetapkan hitam (neraka)
atau putih (syurga) saja. Untuk itu perhatikanlah firman Allah SWT sebagaimana
berikut ini: “Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang
berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi.
Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling
mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling
mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (surat An Najm (53) ayat 29-30).” Selain daripada itu
Allah SWT juga mengingatkan kepada diri kita untuk tidak banyak bergaul dengan
orang yang menomorsatukan kehidupan dunia dibandingkan kehidupan akhirat atau
orang yang selalu menginginkan kehidupan duniawi. Hal ini agar diri kita tidak
tergoda atau digoda oleh mereka sehingga maksud dan tujuan kita yang seharusnya
pulang ke syurga justru berubah menjadi ke neraka Jahannam.
D. ADANYA KETENTUAN BAHWA SETAN BUKANLAH TEMAN
MELAIN-KAN MUSUH NYATA BAGI MANUSIA.
Konsep Tahu Aturan Main yang selanjutnya adalah setan bukanlah teman
melainkan musuh yang nyata bagi manusia. Inilah ketetapan Allah SWT yang sudah
berlaku sampai hari kiamat tiba sehingga kita wajib mengetahuinya dan wajib
pula memahami serta wajib melaksanakannya dan jangan sampai setan mengalahkan
diri kita.
Allah SWT selaku pencipta setan sudah memperingatkan kepada diri kita dan
juga kepada umat manusia tentang adanya setan. Hal ini sebagaimana firman-Nya
berikut ini: “Sungguh, setan itu musuh
bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya setan itu
hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala
nyala. (surat Fathir (35) ayat 6).” Ayat ini menerangkan bahwa Allah
SWT tidak memperkenankan diri kita untuk menjadikan setan sebagai teman,
sebagai penolong, sebagai konsultan apalagi jika kita jadikan tempat sandaran
hidup. Setan sudah ditetapkan oleh Allah SWT adalah musuh yang nyata bagi
manusia. Jika sampai diri kita keluar dari ketetapan Allah SWT tentang setan
maka bersiaplah untuk dibawa oleh setan sebagai penghuni neraka.
Adanya ketatapan yang berasal dari Allah SWT melahirkan konsep permusuhan
abadi antara manusia dengan setan yang mana konsep permusuhan ini sejalan
dengan konsep hidup ini adalah permainan, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan
dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang
orang yang bertaqwa. Tidakkah kamu mengerti? (surat Al An’am (6) ayat 32). Ingat,
hidup sebagai sebuah permainan maka hidup harus memenuhi konsep dasar sebuah
permainan, yaitu adanya musuh, adanya waktu permainan, adanya arena, adanya
aturan permainan, adanya wasit serta yang paling utama adalah menghasilkan apa
yang dinamakan pemenang atau juga pecundang. Jika saat ini kita sedang hidup
berarti kita sedang melaksanakan konsep hidup adalah permainan. Sebagai pemain maka kita harus mengetahui
dengan pasti siapa musuh kita, sampai kapan kita bermain, dimana kita
melaksanakan permainan, bagaimana cara bermain yang sesuai dengan konsep dasar
permainan, kita harus paham aturan permainan serta mengetahui pula siapa
pendukung diri kita. Setelah kita paham dan mengerti tentang konsep
hidup adalah permainan maka kita harus bisa menjadi pemenang di dalam
permainan, jika tidak bersiaplah menjadi pecundang.
Setan sebagai musuh
abadi manusia, memiliki hal-hal yang tidak dimiliki oleh manusia yang telah
dijadikannya kafir, yang telah dijadikannya tersesat, yang telah dijadikannya
menyim-pang dari jalan yang lurus, yaitu :
1.
Sejahat-jahatnya
iblis/setan, dia masih dapat menempatkan diri sebagai seorang hamba kepada
Tuhannya. Iblis/setan masih tetap mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya Yang Maha
Mulia. Hal
ini sangat bertolak belakang dengan manusia yang telah kafir atau yang telah
berbuat syirik lagi musyrik, dimana ia telah meniadakan Allah SWT sebagai Tuhan
bagi semesta alam. Adanya kondisi ini berarti setan masih tinggi kedudukannya
dibandingkan dengan manusia kafir, atau manusia yang telah berbuat
syirik/musyrik;
2.
Sesombong-sombongnya
setan yang bertekad untuk menggoda dan merayu anak keturunan Nabi Adam as,
melalui muka, belakang, kanan, kiri serta melalui aliran darah. Setan masih
memiliki kejujuran untuk mengakui keutamaan manusia-manusia yang mukhlis, sebagaimana terdapat dalam surat Shaad
(38) ayat 82, 83 berikut ini: “iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka
semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.” Adanya informasi ini,
jika kita ingin keluar dari gangguan dan godaan setan, pintu keluar yang diakui
secara jujur oleh setan adalah pintu manusia yang mukhlis. Sekarang bandingkan
dengan manusia-manusia yang telah dibuat menjadi kesetanan, perilakunya telah
melebihi setan itu sendiri. Ia sudah tidak takut lagi dengan Allah SWT, apalagi
dengan manusia.
Adanya dua hal yang
kami kemukakan di atas, kiranya dapat kita jadikan pembelajaran agar diri kita
tahu bahwa setan selaku musuh diri kita masih memiliki martabat dengan tetap
masih mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya. Dan jika sampai kita berperilaku
melebihi setan, memang sudah sepantasnya diri kita diberi ganjaran pulang
kampung ke neraka Jahannam oleh Allah SWT.
Saat ini setan sudah menyertai diri kita dimanapun kita berada. Lalu berjarakkah
setan kepada diri kita? Jika kita memperhatikan surat Az Zukhruf (43) ayat 36
berikut ini: “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (AlQur’an), Kami adakan baginya syaitan (yang
menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.
(surat Az Zukhruf (43) ayat 36). Ketahuilah bahwa
walaupun setan sudah menyertai diri kita namun tidak otomatis setan itu
memiliki jarak kepada diri kita. Jauh dekatnya setan kepada diri kita sangat
tergantung kepada diri kita sendiri, yaitu sejauh mana kita mau diganggu atau
digoda, atau dipengaruhi oleh setan. Jika kita mau diganggu, mau digoda, atau
mau dipengaruhi oleh setan maka syaitan
sudah tidak berjarak lagi dengan diri kita.
Lain halnya jika kita berusaha untuk menghindar dari gangguan dan godaan serta
pengaruh setan maka jarak antara antara diri kita dengan setan memiliki jarak,
walaupun setan itu sendiri ada pada aliran darah dan daging kita. Dan adanya
kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa jauh dekatnya setan kepada diri
kita sangat tergantung kepada diri kita sendiri, yaitu sejauh mana kita mau
menerima ataupun menolak gangguan dan godaan serta rayuan dari setan melalui
ahwa (hawa nafsu) atau melalui sifat alamiah jasmani yang kita perturutkan.
Contohnya jika kita
mempeturutkan rasa malas untuk belajar maka setan akan melancarkan aksinya
kepada diri kira. Saat diri kita belajar yang seharusnya konsentrasi ke depan
lalu kita membuka hp maka setan datang kepada diri kita untuk membuyarkan
konsetrasi belajar. Jika ini kondisi dasar setan kepada diri kita dan
juga kondisi dasar kita kepada setan, lalu apa yang bisa kita perbuat dengan
keadaan ini? Keberadaan setan adalah sunnatullah yang harus kita hadapi sebagai
musuh tidak dapat kita hindari. Akan tetapi kita harus bisa menghadapi setan dengan
cara-cara yang terhormat sesuai dengan kehormatan yang kita miliki yang
tentunya harus sesuai dengan kehendak Allah SWT seperti memohon perlindungan
kepada Allah SWT.
Lalu dimanakah posisi Allah SWT saat setan mengepung diri kita? Posisi Allah SWT sudah pula bersama diri
kita. Hal ini dikarenakan jarak antara
kemahaan dan kebesaran Allah SWT kepada diri kita lebih dekat, atau bahkan diri
kita sudah tidak bisa dipisahkan dengan kebesaran dan kemahaan Allah SWT
dibandingkan posisi diri kita kepada setan. Adanya kondisi ini berarti
antara diri kita dengan setan masih memiliki jarak sedangkan kepada Allah SWT
sudah tidak berjarak sepanjang diri kita tidak melepaskan diri dari Allah SWT. Hal
ini telah dikemukakan oleh Allah SWT melalui surat An Nahl (16) ayat 99-100 yang
kami kemukakan berikut ini: Sesungguhnya
syaitan itu tidak ada kekuasaanNya atas orang-orang yang beriman dan
bertawakkal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaanNya (syaitan) hanyalah atas
orang-orang yang mengambilnya Jadi pemimpin dan atas orang-orang yang
mempersekutukannya dengan Allah.”
Ayat ini menerangkan bahwa setan tidak memiliki kemampuan apapun, atau setan tidak
akan bisa mengganggu dan menggoda orang yang beriman kepada Allah SWT dan juga
kepada orang yang bertawakkal kepada Allah SWT.Selanjutnya jika posisi Allah
SWT lebih dekat kepada diri kita, kenapa harus kepada setan kita melapor,
kenapa harus kepada setan kita berlindung, kenapa kepada setan kita mengadu,
kenapa harus setan yang kita jadikan konsultan, padahal Allah SWT sudah bersama
diri kita.
Kami senantiasa berharap jangan sampai diri kita termasuk orang-orang
yang ingin terhindar dari gangguan setan, namun mempergunakan jalan yang paling
disukai oleh setan, atau jangan sampai diri kita bermaksud terhindar dari
gangguan setan namun jalannya justru yang
paling dibenci oleh Allah SWT. Mudah-mudahan diri kita mampu mengatasi setan
baik dalam wujud aslinya maupun yang sudah berubah wujud menjadi manusia, atau
manusia itu sendiri yang telah berubah wujud menjadi setan. Sekarang mari kita
perhatikan 2 (dua) buah sikap setan kepada diri kita, yang keduanya pasti
dilaksanakan oleh setan tanpa memandang latar belakang siapa diri kita,
sebagaimana firmanNya berikut ini:“iblis menjawab:
“Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali
hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka[1304]. (surat Shaad (38) ayat
82-83)
[1304] Yang dimaksud dengan
mukhlis ialah orang-orang yang telah diberi taufiq untuk mentaati segala petunjuk
dan perintah Allah SWT.
Selain ayat di atas, Allah SWT juga berfirman: “iblis menjawab: “Karena Engkau
telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi)
mereka dari jalan Engkau yang lurus,
kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka,
dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan
mereka bersyukur (taat). (surat Al
A’raaf (7) ayat 16-17).
Berdasarkan kedua ayat di atas, setan akan mengganggu, menggoda siapapun tanpa tanpa terkecuali termasuk di
dalamnya diri kita, untuk dihalangi dari
jalan yang lurus dari muka, dari belakang, dari kiri, dari kanan, semuanya akan
disesatkan. Jika ini sikap setan kepada diri kita lalu bagaimana sikap Allah
SWT kepada diri kita? Sikap Allah SWT kepada diri kita sangat berbeda dengan
sikap setan kepada diri kita. Apa buktinya? Berikut ini akan kami kemukakan (3)
buah sikap Allah SWT kepada diri kita, yaitu:
1.
Allah SWT Tidak Lepas Tangan. Hal ini dikemukakan
oleh Allah SWT dalam surat Al Hijr (15) ayat 40-41-42 yang kami kemukakan
berikut ini: kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis[799] di
antara mereka”. Allah berfirman: “Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban
Aku-lah (menjaganya) [800]. Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan
bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, Yaitu orang-orang
yang sesat.
[799] Yang dimaksud dengan
mukhlis ialah orang-orang yang telah diberi taufiq untuk mentaati segala
petunjuk dan perintah Allah s.w.t.
[800] Maksudnya pemberian
taufiq dari Allah s.w.t. untuk mentaati-Nya, sehingga seseorang terlepas dari tipu
daya syaitan mengikuti jalan yang Lurus yang dijaga Allah s.w.t. Jadi sesat
atau tidaknya seseorang adalah Allah yang menentukan.
Berdasarkan ayat di atas, Allah SWT tidak akan lepas
tangan kepada diri kita dengan selalu memberikan penjagaan kepada diri kita
sepanjang diri kita mau menjadi hamba Allah SWT yang mukhlis.
2.
Allah SWT Tidak Berpaling. Hal ini dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Az Zukhruf (43) ayat 36
yang kami kemukakan berikut ini, “Barangsiapa yang berpaling
dari pengajaran Tuhan yang Maha Pemurah (AlQuran), Kami adakan baginya syaitan
(yang menyesatkan) Maka syaitan Itulah yang menjadi teman yang selalu
menyertainya.” Allah SWT tidak akan pernah berpaling dari diri kita
sepanjang diri kita selalu berada di dalam pengajaran Allah SWT; selama kita
selalu berada bersama Allah SWT dan selama kita selalu di dalam kehendak Allah
SWT.
3.
Allah SWT Memberikan
Ampunan. Hal
ini juga telah dikemukakan oleh Allah SWT dalam hadits qudsi yang kami kemukakan berikut ini: “Abu Dardaa ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah
ta’ala berfirman: Andaikan hamba-Ku menghadap Aku dengan dosa-dosa sepenuh
wadah-wadah yang ada di bumi, namun ia tidak bersyirik menyekutukan sesuatu
kepada-Ku, akan kuhadapinya dengan pengampunan sepenuh wadah-wadah itu. (Hadits
Riwayat Ath Thabrani, 272:127)” Dimana Allah
SWT akan tetap memberikan ampunan kepada diri kita walaupun dosa dan kesalahan
kita sepenuh wadah di muka bumi, sepanjang diri kita tidak pernah melakukan perbuatan
syirik/musyrik kepada Allah SWT.
Selain
dari pada itu, berdasarkan hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Abu Said ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah
ta’ala berfirman: Berkata Iblis kepada Tuhannya: Demi keagungan dan
kebesaran-Mu, akan aku sesatkan selalu anak-anak Adam selama ruh dikandung
badan mereka. Lalu Allah berfirman kepadanya: Demi keagungan dan kebesaran-Ku
akan Aku ampuni mereka selama mereka beristighfar minta ampun pada-Ku. (Hadits
Riwayat Abu Nua’im, 272:261). Allah SWT akan tetap memberikan ampunan
kepada diri kita, sepanjang diri kita minta ampun kepada Allah SWT.
Lalu adakah perbedaan yang mencolok antara sikap setan kepada diri kita
dibandingkan dengan sikap Allah SWT kepada diri kita? Berdasarkan uraian yang
kami kemukakan diatas, terlihat sangat jelas bahwa sikap setan kepada diri kita
sangatlah bertolak belakang dengan sikap Allah SWT kepada diri kita. Dimana
Allah SWT tetap terus ingat kepada diri kita walaupun kita tidak ingat kepada
Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang kami kemukakan
berikut ini:
“Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi
SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Wahai anak Adam! Jika engkau ingat
kepada-Ku Aku Ingat kepadamu dan bila engkau lupa kepada-Ku Akupun ingat
kepadamu. Dan jika engkau ta’at kepada-Ku pergilah kemana saja engkau suka, pada
tempat dimana Aku berkawan dengan engkau dan engkau berkawan dengan da-Ku.
Engkau berpaling dari pada-Ku padahal Aku menghadap kepadamu. Siapakah yang
memberimu makan dikala engkau masih janin di dalam perut ibumu. Aku selalu
mengurusmu dan memeliharamu sampai terlaksanalah kehendak-Ku bagimu, maka
setelah Aku keluarkan engkau ke alam dunia engkau berbuat banyak maksiat.
Apakah demikian seharusnya pembalasan kepada yang telah berbuat kebaikan
kepadamu. (Hadits Riwayat Abu Nasher Rabi’ah bin Ali Al-ajli dan Arrafi’ie,
272:182).”
Sebagai orang yang pasti berhadapan dengan setan, sekarang semuanya
terpulang kepada diri kita saat menghadapi setan. Hal ini dikarenakan pada saat
diri kita menghadapi setan, maka pada saat itu juga Allah SWT juga sudah
bersama diri kita, yang kedekatannya bahkan lebih dekat dengan kedekatan diri
kita kepada setan. Silahkan kita memilih, karena pilihan hanya ada dua. Jika kita berpaling dari Allah SWT, maka setan
siap mengganggu dan menggoda diri kita dan jika kita menghadap kepada Allah SWT,
jika kita berkomunikasi dengan Allah STW dan
jika kita bersinergi dengan Allah SWT melalui shalat maka setan yang akan berpaling
dari diri kita.
Dan yang harus kita ketahui dan pahami adalah setan yang ada di dalam
diri ataupun yang ada di luar diri, keberadaannya tidak dapat kita hilangkan
atau kita bunuh. Setan tetap akan terus bersama diri kita sampai ruh berpisah
dengan jasmani. Namun yang bisa kita
lakukan hanyalah mengurangi kekuatan setan, mensayat-sayat kekuatan setan di
dalam mengganggu diri kita melalui makanan dan minuman yang memenuhi konsep
halal lagi baik (thayib), melalui pekerjaan dan penghasilan yang memenuhi
konsep halal lagi baik, serta melalui
sinergi dengan Allah SWT melalui ibadah wajib dan ibadah sunnah di dalam kerangka
melaksanakan Diinul Islam secara kaffah. Sehingga setannya tetap ada
bersama diri kita, namun kekuatan untuk mempengaruhi diri kita menjadi lemah.
Semoga hal ini mampu kita laksanakan.
Sebagai pengingat bagi kita semua, ada beberapa hal yang harus kami
tegaskan kembali dan hendaknya menjadi perhatian diri kita saat menghadapi
musuh abadi diri kita, yaitu :
1. Jangan pernah menganggap remeh tentang musuh yang kita hadapi. Jangan
pernah menganggap kalau kita sudah mampu melaksanakan Diinul Islam secara
kaffah maka kita bisa terbebas dari serangan musuh. Syaitan sebagai musuh akan
terus menyerang musuhnya sampai dengan proses “sakratul maut” tiba. Jika
syaitan sudah tidak bisa menyerang lagi diri kita karena kita sudah termasuk
manusia yang mukhlis, maka syaitan akan menyerang melalui anak keturunan kita,
syaitan akan menyerang melalui harta kekayaan kita, syaitan juga akan menyerang
melalui suami atau istri kita serta melalui keikhlasan kita di dalam melalukan
ibadah. Ingat, Prinsip perang adalah jangan pernah mengasumsikan musuh tidak akan
datang, melainkan bersiaplah menyambut kedatangannya. Jangan menduga musuh
tidak akan menyerang, melainkan buatlah agar posisi anda tidak bisa diserang. (Sun
Tzu dalam the art of war)
2. Jangan pernah berhenti melawan musuh, karena musuh kita akan terus
menyerang musuhnya sampai kapanpun juga sepanjang diri kita masih dinamakan
dengan manusia. Sebagai musuh dari iblis/syaitan jangan pernah menganggap kita
dibiarkan begitu saja oleh musuh kita. Musuh tetaplah musuh dan musuh harus
terus kita kalahkan karena kita harus menjadi pemenang.
3. Jumlah jin, iblis dan syaitan saat ini sudah lebih banyak dibandingkan
dengan jumlah manusia, dikarenakan setelah ruh berpisah dari jasmani syaitan
yang menyertai diri kita tidak serta merta ikut meninggal dunia ditambah ada
manusia manusia yang telah berubah menjadi syaitan. Jika jumlah jin,
iblis/syaitan sudah lebih banyak dari jumlah manusia, berarti Nilai-Nilai
Keburukan saat ini pasti lebih mendominasi di dalam kehidupan. Untuk itu kita
tidak bisa sendirian menghadapinya, kita sangat membutuhkan Allah SWT untuk
mengalahkan jin, iblis/syaitan yang jumlahnya lebih banyak dari diri kita. Yang menjadi persoalan adalah sudahkah diri kita sesuai dengan kehendak
Allah SWT jika membutuhkan Allah SWT?
4. Allah SWT sudah mempersiapkan 2(dua) buah tempat kembali bagi manusia,
yaitu syurga dan neraka. Jika syurga dan neraka sudah ditetapkan oleh Allah
SWT berarti saat ini ada calon penghuni neraka dan calon penghuni syurga.
Adanya kondisi ini tidak hanya calon penghuni syurga saja yang memiliki “Hak
Hidup” di muka bumi ini, akan tetapi
calon penghuni neraka juga memiliki “Hak Hidup” yang sama di muka bumi ini. Jika calon penghuni neraka dan calon penghuni syurga sama-sama memiliki
hak hidup, maka kita tidak boleh saling mencaci maki, tidak boleh saling bunuh
membunuh, saling benar sendiri.
5. Syaitan sudah ditetapkan sebagai musuh, sebagai musuh maka syaitan
tidak akan pernah senang kepada musuhnya. Musuh akan selalu bertindak dan
berbuat untuk mengalahkan, menjatuhkan
musuhnya. Untuk itu kita harus dapat mengalahkan serta melumpuhkan musuh tersebut sebab tanpa
melalui musuh kita tidak akan pernah memperoleh kemenangan yang pada akhirnya
akan menghantarkan diri kita ke kampung Kebahagiaan.
6. Selain daripada itu, masih ada hal lainnya yang harus kita perhatikan
yaitu jarak antara kemahaan dan kebesaran Allah SWT kepada diri kita lebih dekat atau bahkan diri
kita sudah tidak bisa dipisahkan dengan kebesaran dan kemahaan Allah SWT
dibandingkan posisi diri kita kepada setan. Adanya kondisi ini berarti antara
diri kita dengan Syaitan masih memiliki Jarak sedangkan kepada Allah SWT tidak
berjarak sepanjang diri kita tidak melepaskan diri dari Allah SWT. Selanjutnya jika posisi Allah SWT lebih
dekat kepada diri kita, kenapa harus kepada setan kita melapor, kenapa harus
kepada setan kita berlindung, kenapa kepada setan kita mengadu, kenapa harus setan
yang kita jadikan konsultan, padahal Allah
SWT sudah bersama diri kita.
Dan mudah-mudahan diri kita mampu mengatasi setan baik dalam wujud
aslinya maupun yang sudah berubah wujud menjadi manusia atau manusia yang telah
berubah menjadi setan melalui bantuan dan pertolongan Allah SWT yang pada akhirnya dapat
menghantarkan diri kita sesuai dengan kehendak Allah SWT.
#tahu diri #tahu Allah
#tahu aturan main # tahu konsep berpasang pasangan
#tahu adanya konsep hidup sekali seharusnya berarti lalu mati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar