E. ADANYA ALQURAN SEBAGAI
BUKU MANUAL HIDUP & KEHIDUPAN.
Sekarang mari kita
pelajari konsep Tahu Aturan Main selanjutnya, yaitu adanya AlQuran sebagai buku
manual bagi hidup dan kehidupan umat manusia saat hidup di muka bumi ini. Allah
SWT menurunkan AlQuran bukanlah untuk menjadikan umat manusia menjadi susah,
ataupun menjadikan umat manusia menjadi celaka ataupun sengsara. Hal ini
sebagai-mana firman-Nya berikut ini: “Kami tidak menurunkan AlQuran ini kepadamu
(Muhammad) agar engkau menjadi susah. (surat Thaahaa (20) ayat 2)”. AlQuran
diturunkan oleh Allah SWT dalam kerangka menjadikan umat manusia bahagia, aman,
sentosa, nyaman dan bisa melaksanakan konsep datang fitrah kembali kepada Allah
SWT dalam kondisi fitrah pula dan akhirnya bisa pulang kampung ke kampung
kebahagiaan, yaitu syurga.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya
yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi tentunya kita diutus ke muka bumi ini
bukan begitu saja diutus, kita hidup di muka bumi ini bukan hanya sekedar
hidup, melainkan ada tanggung jawabnya, ada maksud dan tujuannya, ada yang
harus dicapai, ada yang harus diperjuangkan, ada yang harus dipersiapkan sebagai
bekal untuk kembali kepada-Nya dalam kerangka untuk mempertanggungjawabkan atas
apa apa yang telah kita lakukan saat hidup di muka bumi ini.
Sekarang bagaimana
kita bisa menjadi manusia-manusia yang sesuai dengan kehendak Allah SWT jika
kita sendiri tidak mau mengimanai, mempelajari, memahami, mengamalkan,
melaksanakan, mengajarkan, menyebarluaskan buku manual yang telah diturunkan oleh
Allah SWT kepada diri kita serta mampu pula menjadikan diri kita menjadi
AlQuran berjalan sehingga AlQuran menjadi akhlak bagi diri kita. Untuk itu mari
kita perhatikan hadits berikut ini: Nabi SAW bersabda: “Orang yang pandai membaca AlQuran (di hari Kiamat) bersama malaikat
yang mulia dan patuh kepada Allah, dan orang yang membaca AlQuran sedang ia
tidak lancar membacanya dan mengalami kesukaran atas bacaannya baginya dua
pahala” (Hadits Riwayat Bukhari Muslim)”. Apa yang
dikemukakan dalam hadits ini tidak ada yang salah, namun akan menjadi masalah
yang besar jika kita hanya pandai membaca AlQuran dengan tartil, tajwid dan qiraat
yang baik dan benar jika tanpa diiringi dengan mengimani, tanpa memahami, tanpa
menghayati, tanpa mengamalkan, dan tanpa menyebarluaskan untuk kemaslahatan
diri dan juga orang lain serta tidak mampu menjadikan AlQuran sebagai akhlak
bagi diri kita.
AlQuran diturunkan ke muka bumi oleh Allah SWT, bukan untuk kepentingan Allah
SWT karena Allah SWT tidak butuh dengan AlQuran; karena Allah SWT sudah maha dan akan maha selamanya. AlQur’an diturunkan oleh Allah SWT untuk
kepentingan diri kita, untuk kepentingan anak dan keturunan kita selaku abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi sampai dengan hari kiamat
kelak. Allah SWT tidak akan pernah berkurang kekuasaan-Nya, Allah SWT tidak
akan pernah berkurang kemahaan-Nya jika manusia tidak mau mengakui, tidak mau
menerima, tidak mau melaksanakan segala ketentuan yang ada di dalam AlQuran.
Akan tetapi manusialah yang membutuhkan AlQuran saat hidup di muka bumi ini.
Dan sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi, yang sangat
berkepentingan dengan AlQuran dan sangat membutuhkan AlQuran ketahuilah bahwa
AlQuran diturunkan oleh Allah SWT ke muka bumi ini untuk hal-hal sebagai
berikut:
1.
Untuk Dijadikan
Petunjuk dan Pedoman. Sebelum kami membahas tentang AlQuran adalah petunjuk
bagi manusia, perkenankan kami mengemukakan ilustrasi sebagai berikut: Saat ini
jalan tol antara kota Surabaya sampai dengan
pelabuhan Merak sudah tersambung. Lalu bisakah kita menempuh perjalanan
melalui jalan tol dari Surabaya menuju ke pelabuhan Merak jika di jalan tol itu
tidak ada sama sekali rambu-rambu penunjuk jalan? Jika di jalan tol Surabaya
sampa Merak tidak ada rambu-rambu penunjuk jalan maka kemungkinan besar
perjalanan diri kita dari Surabaya menuju pelabuhan Merak tidak sampai atau
kesasar. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa untuk sampai ke
pelabuhan Merak dari Surabaya kita sangat membutuh-kan buku panduan perjalanan
yang di dalamnya ada rambu rambu
penunjuk jalan dari satu kota menuju kota lain sehingga memudahkan pengguna
jalan sampai ke tujuannya.
Sekarang bagaimana
dengan diri kita yang telah diangkat sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga
khalifah-Nya di muka bumi bisa sukses melaksanakan tugas jika tidak ada buku
panduan yang berfungsi sebagai buku petunjuk? Lalu bagaimana dengan perja-lanan
diri kita yang datang fitrah harus kembali dalam keadaan fitrah untuk bertemu
dengan Allah SWT selaku Dzat Yang Maha Fitrah, apakah bisa kita lakukan? Apakah
kita akan sampai? Untuk itulah AlQuran diturunkan Allah SWT ke muka bumi. Hal
ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Al
Baqarah (2) ayat 185 berikut ini: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.”
Berdasarkan ayat di atas, ada satu hal yang wajib kita perhatikan yaitu
AlQuran diturunkan dan jika AlQuran itu diturunkan berarti asal muasal dari
AlQuran bukanlah dari bumi yang letaknya di bawah melainkan berasal dari atas,
dalam hal ini dari Allah SWT yang berkedudukan di Arsy, karena mustahil di akal jika makna diturunkan
bera-sal dari bawah. Setelah AlQuran oleh Allah SWT maka salah satu tujuan dari
diturunkannya AlQuran ke muka bumi adalah untuk menjadi petunjuk bagi setiap
Nass (ruh/jiwa) setiap manusia yang ada di muka bumi ini (maksudnya adalah untuk
kepen-tingan seluruh untuk manusia dalam arti ruh yang tidak lain adalah jati
diri manusia yang sesungguhnya).
Hal ini penting kami kemukakan karena setiap ruh saat datang ke muka bumi
(maksudnya saat dipersatukan dengan jasmani) dalam kondisi fitrah dan harus
kembali dalam kondisi fitrah pula. Fitrahnya ruh akan mempengaruhi pula
kesehatan jasmani diri kita. Semakin fitrah ruh maka semakin sehat jasmani diri
kita. Sekarang bagaimana kita bisa mempertahankan kefitrahan ruh dan juga
kesehatan jasmani jika tidak ada sesuatu yang fitrah pula untuk merawat dan
menjaga kefitrahan ruh dan kesehatan jasmani. Disinilah letaknya betapa Allah
SWT sangat sayang kepada diri kita dengan menurunkan AlQuran yang berasal dari
fitrahNya untuk kepentingan seluruh manusia, termasuk untuk diri kita.
Dan dengan adanya AlQuran yang telah diturunkan oleh Allah SWT maka kita
memiliki petunjuk yang sesuai dengan kehendak Allah SWT untuk menjaga, untuk merawat,
untuk mempertahankan kefitrahan ruh dan juga untuk menjaga kesehatan jasmani dari
waktu ke waktu yang pada akhirnya mampu menghantarkan diri kita bisa bertemu
dengan Dzat Yang Maha Fitrah di tempat yang fitrah (syurga). Sekarang apa yang
terjadi jika AlQuran sebagai buku petunjuk kita abaikan atau bahkan kita anggap
tidak ada? Jika ini yang terjadi maka konsep datang fitrah kembali fitrah tidak
bisa kita laksanakan. Justru yang terjadi adalah datang fitrah namun kembalinya
tidak fitrah sehingga akhir dari perjalanan akan difitrahkan oleh Allah SWT
melalui jalur neraka jahannam.
Allah SWT menurunkan AlQuran ke muka bumi bukanlah
untuk mencelakakan Nass (mencelakakan ruh diri kita dan kesehatan jasmani kita).
AlQuran diturunkan bukan pula untuk menyusahkan Nass (ruh dan jasmani diri
kita) sehingga membuat Nass (ruh diri kita) menjadi sengsara (masuk neraka) dan
juga jasmani menjadi sakit. AlQuran diturunkan oleh Allah SWT dalam kerangka
kebaikan bagi Nass (ruh dan jasmani diri kita) agar tetap fitrah bagi ruhani
dan sehat bagi jasamani sepanjang hayat masih di kandung badan atau selama diri
kita menjadi khalifah Allah SWT di muka bumi. Timbul pertanyaan, kebaikan
apakah yang ada di dalam AlQuran? Salah satu kebaikan yang terdapat di dalam
AlQuran yaitu adanya banyak petunjuk dari Allah SWT kepada diri kita. Adanya petunjuk
yang ada di dalam AlQuran maka :
a.
Diri kita selalu berada di jalan keselamatan atau
ditunjukkan oleh Allah SWT untuk menuju ke jalan keselamatan;
b.
Diri kita dikeluarkan dari jalan kegelapan atau
kesesatan menuju jalan yang terang atau jalan yang dikehendaki oleh Allah SWT;
c.
Diri kita ditunjukkan jalan yang lurus atau selalu
berada di jalan yang lurus yang sesuai dengan kehendak Allah SWT;
d.
Diri kita selalu berada di dalam kesesuaian kehendak
Allah SWT.
Untuk itu ada baiknya sekarang kita lihat dan perhatikan rambu lalu
lintas yang telah dibuat oleh aparat kepolisian, apakah keberadaan rambu lalu
lintas itu ada karena adanya aparat kepolisian ataukah karena adanya pengguna
jalan? Rambu lalu lintas dibuat bukanlah karena adanya aparat kepolisian
semata, akan tetapi aparat kepolisian membuat rambu lalu lintas dikarenakan
adanya pengguna jalan yang mempergunakan jalan secara bersama-sama untuk menuju
suatu tujuan dengan selamat tanpa mengalami kemacetan. Adanya kondisi seperti
ini maka aparat kepolisian sebagai pihak yang bertanggung jawab mengatur lalu
lintas perlu menetapkan dan membuat rambu lalu lintas agar terjadi ketertiban
dan keselamatan di jalan raya.
Lalu siapakah yang menjadikan rambu lalu lintas itu berlaku, apakah aparat
kepolisian ataukah diri kita sebagai pengguna jalan? Berlaku atau tidaknya
rambu lalu lintas setelah dibuat oleh aparat Kepolisian sangat tergantung mau
atau tidaknya diri kita sebagai pengguna jalan untuk mentaati rambu lalu lintas
tersebut. Jika semua pengguna jalan mau mentaati maka terjadilah ketertiban di
jalan raya serta keselamatan pengguna jalan raya. Sekarang bagaimana dengan petunjuk
Allah SWT yang telah ada di dalam AlQuran, apakah kita akan memanfaatkannya
ataukah akan mencampakkannya ataukah hanya membiarkan nya saja tersimpan di rak
buku?
Allah SWT selaku
narasumber tunggal AlQuran sudah mengingatkan dalam firman-Nya kepada umat
manusia sebagaimana berikut ini: “dengan kitab Itulah Allah menunjuki
orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan
kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada
cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan
yang lurus. (surat Al Maa-idah (5) ayat 16).” Dalam permasalahan
ini yang jelas adalah Allah SWT tidak membutuhkan sama sekali petunjuk yang ada
di dalam AlQuran, jika ini adalah keadaan Allah SWT, bagaimana dengan diri
kita? Sikap yang kita ambil dengan adanya petunjuk yang ada di dalam AlQuran,
akan mencerminkan keadaan diri kita sendiri, yaitu apabila kita telah merasa
cukup sehingga tidak membutuhkan lagi AlQuran sebagai petunjuk dari Allah SWT
dapat dipastikan diri kita termasuk jiwa fujur.
Demikian pula sebaliknya yaitu jika kita merasa sangat membutuhkan
AlQuran, yang merupakan petunjuk dari Allah SWT maka diri kita dapat dipastikan
berada di dalam jiwa taqwa. Lalu samakah atau berbedakah antara petunjuk Allah
SWT yang ada di dalam AlQuran dengan petunjuk yang berasal langsung dari Allah
SWT (maksudnya petunjuk yang masih ada pada Allah SWT) yang didapatkan dari
petunjuk yang terdapat di dalam AlQuran? Untuk menjawab pertanyaan ini mari
kita perhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.
Allah SWT memiliki sifat kalam (berkata kata) dimana
sifat kalam tersebut bersifat “Baqa” dan juga bersifat “Mukhalafah Lil Hawadish”.
Allah SWT juga memiliki asma Al Haadii yang juga bersifat “Baqa” dan juga
bersifat “Mukhalafah Lil Hawadish”. Adanya kondisi ini berarti baik sifat kalam
maupun asma Al Haadii yang dimiliki oleh
Allah SWT akan tetap utuh selamanya dan akan tetap ada pada Allah SWT.
b.
Untuk menunjukkan sifat kalam yang dimilikiNya maka
Allah SWT menzhahirkan sifat kalam tersebut sehingga jadilah AlQuran sebagai
kumpulan dari kalam Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui
perantaraan Malaikat Jibril as. Demikian pula dengan asma Al Haadii yang
dimiliki Allah SWT maka Allah SWT menzhahirkan asma Al Haadii (Maha Pemberi
Petunjuk) yang dimiliki-Nya tersebut dengan menjadikan AlQuran sebagai petunjuk
bagi umat manusia.
Adanya 2(dua) buah keterangan yang kami kemukakan di atas, dapat
dikatakan bahwa petunjuk yang ada di dalam AlQuran sangat berbeda dengan petunjuk
yang berasal langsung dari Allah SWT. Petunjuk
yang ada di dalam AlQuran merupakan bentuk penzhahiran dari Sifat Kalam dan
Asma Al Haadii sedangkan Sifat Kalam dan Asma Al Haadii yang masih dimiliki
oleh Allah SWT masih tetap utuh dan masih ada pada Allah SWT walaupun sudah dizhahirkan. Jika
ini adalah keadaanya maka kita harus dapat meletakkan dan menempatkan kondisi
ini dengan sebenar-benarnya yaitu dengan menjadikan petunjuk yang ada di dalam
AlQuran untuk memperoleh dan mendapatkan petunjuk yang berasal langsung dari
Allah SWT. Jika kita hanya berpedoman dan berpatokan kepada AlQuran adalah
segalanya berarti kita telah menempatkan AlQuran lebih tinggi daripada Allah
SWT.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya yang sedang menjalankan
tugas di muka bumi, yang manakah yang sering kita dapatkan, apakah petunjuk
yang berasal dari AlQuran ataukah petunjuk yang berasal langsung dari Allah SWT
melalui petunjuk yang berasal dari AlQuran? Kami sangat berharap jamaah sekalian
adalah orang-orang yang telah dapat menjadikan AlQuran sebagai alat bantu, atau
media untuk memperoleh dan mendapatkan petunjuk yang berasal langsung dari
Allah SWT melalui hati nurani. Dan untuk memperoleh dan merasakan petunjuk dari
Allah SWT maka kita harus memper-siapkan tempat diletakkannya petunjuk itu
terlebih dahulu, dalam hal ini adalah hati nurani, barulah petunjuk dari Allah
SWT akan kita dapatkan. Sepanjang hati
nurani sebagai tempat diletakkannya petunjuk Allah SWT belum sesuai dengan apa-apa
yang dikehendaki oleh Allah SWT selaku pemberi petunjuk maka petunjuk dari
Allah SWT tidak akan diberikan. Agar diri kita selalu memperoleh petunjuk
Allah SWT yang masih di Allah SWT, penuhilah syarat yang dikehendaki oleh Allah
SWT yaitu jadikan diri kita dan juga hati nurani kita masuk dalam kategori mukmin
yaitu beriman dan beramal Shaleh, sebagaimana hadits berikut ini: “Wahab bin Munabbih berkata, Allah ta'ala berfirman: Sesungguhnya
langit-langit dan bumi tidak berdaya menjangkau-Ku namun Aku telah dijangkau
oleh hati seorang mukmin. (Hadits Qudsi Riwayat Ahmad dari Wahab bin Munabbih, 272:32).”
Hal yang harus kita pahami adalah petunjuk yang berasal dari Allah SWT
bukanlah petunjuk yang dapat dikalkulasi atau bisa dikonversi dengan bilangan
atau nilai tertentu. Petunjuk dari Allah
SWT tidak dapat dinilai atau tidak dapat dikalkulasi ke dalam bentuk bilangan atau dalam bentuk
angka-angka sebab petunjuk dari Allah SWT dapat berupa:(1) Diberikannya
firasat yang baik melalui Hati Ruhani atau dibukanya pintu Ilham atau ide dan
pemikiran yang brilian tanpa disangka-sangka; (2) Diberikannya pemahaman
dan kemantapan hati di dalam mempelajari Diinul Islam, termasuk hal-hal
lainnya; (3) Diturunkannya Maunah atau Pertolongan di
luar jangkauan kemampuan atau nalar manusia yang digetarkan melalui hati
nuraninya.
Sekarang bagaimana dengan petunjuk yang berasal dari syaitan? Untuk
memperoleh petunjuk dari syaitan syaratnya sangat mudah dan murah, yaitu: (1) cukup dengan konsisten dari waktu ke waktu
berada di luar kehendak Allah SWT atau: (2) jadikan ahwa/hawa nafsu sebagai Tuhan pengganti selain Allah SWT atau;
(3) jangan pernah terima Diinul Islam sebagai
agama yang haq dari Allah SWT atau; (4) jangan
pernah laksanakan Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan dalam satu kesatuan atau;
(5) saat belajar agama lakukan tindakan
ngobrol atau sibuk dengan hp saat belajar agama atau mendengarkan nasehat. Jika
kita mampu melaksanakan hal-hal yang kami sebutkan di atas secara konsisten
maka syaitan akan konsisten pula memberikan petunjuk kepada diri kita dari
waktu ke waktu dan ingat konsekuensinya adalah kita diajak oleh syaitan untuk
pulang kampung ke kampung kesengsaraan dan kebinasaan yaitu neraka.
2.
Untuk Dijadikan Peringatan dan Pelajaran. AlQuran itu bukanlah perkataan dari syaitan yang terkutuk, melainkan
peringatan bagi seluruh alam yang berasal dari Allah SWT. Jika hal ini sudah
dikondisikan oleh Allah SWT berarti Allah SWT adalah pemberi peringatan
sedangkan diri kita termasuk anak keturunan kita adalah orang yang diberi
peringatan, sebagaimana dikemukakan dalam surat At Takwiir (81) ayat 25 sampai
27 yang kami kemukakan berikut ini: “dan AlQuran itu bukanlah Perkataan syaitan yang
terkutuk, Maka ke manakah kamu akan pergi[1560]? AlQuran itu tiada lain
hanyalah peringatan bagi semesta alam.”
[1560]
Maksudnya: sesudah diterangkan bahwa AlQuran itu benar-benar datang dari Allah
dan di dalamnya berisi pelajaran dan petunjuk yang memimpin manusia ke jalan
yang lurus, ditanyakanlah kepada orang-orang kafir itu:"Jalan manakah yang
akan kamu tempuh lagi?"
Allah SWT selaku pemberi
peringatan melalui AlQuran yang telah diturunkan-Nya dapat dipastikan tidak
memiliki kepentingan apapun kepada peringatan yang telah diperingatkannya,
namun peringatan itu dapat menjadi suatu bentuk kasih sayang Allah SWT kepada hamba-Nya
yang juga khalifah-Nya, sepanjang hamba-Nya dan khalifah-Nya mau diperingatkan
oleh Allah SWT dan sepanjang hamba-Nya dan khalifah-Nya mau menerima peringatan
Allah SWT karena peringatan itu untuk kebaikan manusia. Dan Allah SWT selaku
permberi peringatan melalui AlQuran tentu tidak sembarangan dalam memberi
peringatan, tentu ada dasarnya kenapa Allah SWT harus memperi-ngatkan umat
manusia. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Al A’laa (87) ayat 9
berikut ini: “oleh sebab itu berikanlah
peringatan karena peringatan itu bermanfaat.” Allah SWT menyatakan bahwa
peringatan itu sangat bermanfaat bagi kesuksesan diri kita dan juga bagi anak
keturunan kita saat melaksanakan tugas sebagai hamba dan juga khalifah di muka
bumi. Hal ini dikarenakan peringatan dari Allah SWT merupakan suatu bentuk
“early warning system” buat kepentingan dan kesuksesan hidup manusia. Dan yang
pasti adalah Allah SWT tidak akan pernah rugi sedikitpun apalagi berkurang
kemahaanNya jika peringatan yang telah diperingatkan diabaikan oleh manusia.
Lalu siapakah orang yang mau diperingatkan oleh Allah SWT? Jika kita
mengacu kepada ketentuan surat Al Haaqqah (69) ayat 12 yang kami kemukakan berikut
ini: “agar Kami
jadikan Peristiwa itu peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga
yang mau mendengar.” Orang yang mau diperingatkan
adalah orang yang mau memperha-tikan apa apa yang telah terjadi dan yang mau
mendengar apa apa yang telah dikemu-kakan. Disinilah pentingnya kita
mempergunakan apa-apa yang telah diberikan Allah SWT kepada diri kita seperti
mata, telinga, perasaan serta ilmu. Sepanjang apa yang telah diberikan oleh
Allah SWT tidak dipergunakan sesuai dengan kehendak Allah SWT maka sepanjang itu pula peringatan Allah SWT
tidak akan tepat sasaran.
AlQuran selain sebagai sebuah peringatan dan AlQuran juga sebagai kumpulan
pelajaran yang berasal dari Allah SWT. Hal ini tertuang dalam surat Al Haaqqah
(69) ayat 40 sampai 43 berikut ini: “Sesungguhnya AlQuran itu
adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia,dan
AlQuran itu bukanlah Perkataan seorang penyair. sedikit sekali kamu beriman
kepadanya.dan bukan pula Perkataan tukang tenung. sedikit sekali kamu mengambil
pelajaran daripadanya. ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam.”
Lalu, siapakah yang bisa dan yang mau
menjadikan AlQuran itu adalah sebuah pelajaran? Berdasarkan surat
Al Haaqqah (69) ayat 48 yang kami
kemukakan berikut ini: “dan Sesungguhnya AlQuran itu
benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” Hanya orang yang bertaqwalah yang mampu menjadikan AlQuran adalah
pelajaran. Pelajaran itu sampai ke tujuan akhir. Pelajaran agar bisa
memenangakan pertandingan melawan ahwa (hawa nafsu) dan syaitan. Pelajaran agar
mampu menjadi khalifah dikehendaki Allah SWT, yang kesemuanya hanya bisa
dilaksanakan oleh orang yang bertaqwa. Lalu sudahkah kita
mengambil pelajaran yang dikemukakan Allah SWT untuk kebahagiaan hidup dan
kehidupan kita, sebagaimana dikemukakan dalam firmanNya berikut ini: “Dan Sesungguhnya telah Kami mudahkan AlQuran untuk
pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran? (surat Al Qamar (54)
ayat 40).” Sekarang semuanya sangat tergantung kepada diri kita
sendiri maukah mengambil pelajaran dan belajar melalui AlQuran yang memang
sudah dipersiapkan oleh Allah SWT untuk untuk kepentingan diri kita.
Saat ini kitab suci AlQuran sudah ada dihadapan kita dan kitab suci
AlQuran yang ada sekarang ini juga merupakan bagian dari mata rantai
kitab-kitab yang telah diturunkan oleh Allah SWT ke muka bumi. Adanya kondisi
ini tentu AlQuran tidak terlepas dari perjalanan panjang dari rencana besar kekhalifahan
di muka bumi termasuk di dalamnya perjalanan umat-umat terdahulu baik yang
mengakui Allah SWT dan Rasul-Nya serta yang tidak mau mengakui Allah SWT dan Rasul-Nya. Jika ini kondisi
dari AlQuran yang diturunkan oleh Allah SWT maka sudah sepantasnya Allah SWT
selaku inisiator, pencipta dan pemilik dari AlQuran menerangkan kembali tentang
kejadian-kejadian yang baik-baik maupun yang buruk dari umat-umat terdahulu
atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau agar manusia termasuk diri
kita yang datang dikemudian hari dapat mengambil pelajaran atau mengambil
hikmah atau menjadi peringatan bagi diri kita agar jangan mengulangi
peristiwa-peristiwa yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT sebagaimana
firman-Nya berikut ini: “ini adalah sebuah kitab yang
diturunkan kepadamu, Maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya,
supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu (kepada orang kafir), dan
menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman. (surat Al A'raaf (7) ayat 2).”
Allah SWT mengemukakan dan menceritakan kembali peristiwa-peristiwa masa
lampau tentu bukanlah sekedar cerita belaka (dongeng) yang diceritakan kembali
tanpa maksud dan tujuan atau cerita untuk menakut-nakuti umat manusia yang
datang di kemudian hari. Allah SWT mengemukakan dan menceritakan kembali hal
ini karena Allah SWT sangat sayang kepada umat manusia atau sangat sayang
kepada diri kita sehingga jangan sampai kita terjerumus ke dalam lubang yang
sama dua kali, atau jangan sampai keledai lebih pintar dari diri kita yang
tidak masuk lubang yang sama dua kali, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “dan Apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan
kepadamu Alkitab (AlQuran) sedang Dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya
dalam (AlQuran) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang
yang beriman.(surat Al Ankabuut (29) ayat 51)
Selanjutnya jika kita mengacu kepada AlQuran sebagai bagian dari mata
rantai kitab-kitab Allah SWT yang telah diturunkan ke muka bumi, dalam hal ini
taurat, injil dan zabur, maka diri kitapun tidak terlepas dari mata rantai dari
keberadaan umat-umat yang terdahulu. Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah
khalifah-Nya yang sedang menjalankan tugas di muka bumi, kita tidak dapat
menghindar atau terhindar dari sejarah umat manusia sebelum diri kita ada di
muka bumi ini. Dan jika di dalam AlQuran ada cerita tentang:
a.
Umat Nabi Luth as, umat Nabi Nuh as, umat Nabi Musa
as, atau cerita tentang Fir’aun, dan juga cerita tentang Qarun yang kesemuanya
diazab oleh Allah SWT karena ke-ingkaran mereka lalu sudahkah kita mengambil
hikmah dan pelajaran sehingga kita tidak meniru mereka? ;
b.
Nabi Ibrahim as, yang tidak hangus di makan api,
Nabi Yunus as, yang tetap hidup walaupun berada di dalam perut ikan, Nabi Isa
as, yang dapat berbicara sejak bayi, Nabi Musa as, yang mampu membelah lautan
lalu sudah kita mengambil hikmah dan pelajaran di balik kejadian tersebut?
Jika kita termasuk orang yang telah tahu diri, tahu aturan main dan tahu
tujuan akhir, maka dengan diceritakannya kembali oleh Allah SWT
kejadian-kejadian yang menimpa umat terdahulu baik yang buruk maupun yang
sukses, sudah sepatutnya dan sepantasnya apa yang diwahyukan oleh Allah SWT
kita percayai, tanpa dibantah, serta kita harus bercermin dengan kejadian
tersebut agar diri kita tidak mengalami kejadian serupa dengan umat yang
terdahulu terutama umat yang telah diazab oleh Allah SWT sebab azab itu bukan
tidak mungkin dapat menimpa diri kita dan juga menimpa anak keturunan kita
sendiri oleh sebab perbuatan yang kita lakukan.
3.
Untuk Membedakan Kualitas Manusia. AlQuran adalah pembeda antara orang yang beriman dengan orang yang kafir.
Jika AlQuran adalah pembeda berarti AlQuran yang diturunkan oleh Allah SWT
dapat menjadi alat bantu untuk menseleksi kekhalifahan yang ada di muka bumi
ini secara alamiah melalui kriteria iman kepada AlQuran atau kriteria ingkar
kepada AlQuran. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Israa’ (17) ayat 45 yang
kami kemukakan berikut ini: dan apabila kamu membaca
AlQuran niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada
kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup.” Hasil akhir dari adanya seleksi
alamiah terhadap abd’ (hamba) yang juga khalifah di muka bumi melalui AlQuran,
akan menghasilkan dua kelompok manusia yang berbeda, yaitu manusia yang beriman
(bertaqwa) atau manusia yang kafir, dan juga manusia yang berhak masuk syurga
dan yang berhak masuk neraka.
Sekarang, mari kita bandingkan posisi AlQuran diantara orang yang beriman
(bertaqwa) dengan orang yang kafir. Berdasarkan surat Al Ma’arij (70) ayat 48
dikemukakan: “Dan sungguh, AlQuran itu
pelajaran bagi orang orang yang bertaqwa.” Sedangkan berdasarkan surat
Al Ma’arij (70) ayat 50 dikemukakan bahwa: “Dan sungguh, AlQuran itu akan menimbulkan penyesalan bagi orang orang
kafir (di akhirat).” Berdasarkan ketentuan dua buah ayat di atas ini,
menandakan bahwa AlQuran mampu membedakan umat manusia berdasarkan perlakuannya
terhadap AlQuran.
Selain itu AlQuran juga bisa membedakan kemana pulang kampungnya
seseorang apakah ke syurga ataukah ke neraka, atau mampu pula membedakan saat
malaikat maut melaksanakan tugasnya. Allah SWT berfirman: Demi malaikat yang mencabut nyawa dengan
keras. (surat An Naziat (79) ayat 1)”. Dan Allah SWT juga berfirman: Demi malaikat yang mencabut nyawa dengan
lemah lembut. (surat An Naziat (79) ayat 2). Sekarang yang manakah
posisi diri kita, apakah orang yang beriman yang dicabut nyawanya dengan lemah
lembut ataukah orang yang kafir yang dicabut nyawanya dengan keras? Yang pasti adalah Allah SWT tidak butuh dengan
iman dan kafir yang kita miliki, tetapi kitalah yang membutuhkan iman (taqwa) jika
ingin pulang kampung ke syurga serta kita juga yang butuh dengan kekafiran jika
kita ingin pulang kampung ke neraka.
Dan tidak akan mungkin orang yang kafir akan memperoleh syurga sedangkan
orang yang beriman akan memperoleh neraka. Pilihan menjadi orang yang beriman
(bertaqwa) atau menjadi orang kafir ada di tangan kita karena Allah SWT sudah
menginformasikan di dalam AlQuran
tentang resiko yang akan dirasakan oleh orang yang kafir saat hidup di dunia
maupun saat di akhirat kelak. Hal yang samapun juga diinformasikan oleh Allah
SWT tentang apa apa yang diperoleh saat
hidup di dunia dan saat di akhirat kelak bagi orang yang beriman. Adanya
kondisi ini akan terlihat adanya perbedaan di antara keduanya sehingga
terpisahlah kedua kelompok ini dengan dinding yang tertutup rapat.
AlQuran juga menjadi pembeda diantara sesama orang orang yang beriman
karena kemampuan seseorang di dalam mensikapi AlQuran dapat berbeda-beda pula
kualitas pemahamannya antara yang satu dengan yang lainnya. Bisa saja seseorang
menjadi sangat berbeda dikarenakan ia hanya mampu membaca AlQuran semata,
sedangkan yang lainnya mampu membaca dan memahami yang diikuti dengan
mengamalkan dan mengajarkannya atau mendakawahkannya kepada sesama. Dimana
keduanya memiliki banyak tingkatan di dalamnya. Semoga kita termasuk orang
orang yang tidak hanya mampu membaca AlQuran semata, melainkan mampu pula
memahaminya serta mampu menyebarluaskannya ke sesama manusia dan mampu pula
menjadikan AlQuran sebagai akhlak bagi diri kita.
4.
Untuk Menyempurnakan Kitab-Kitab Allah SWT yang turun terlebih dahulu.
Allah
SWT telah menurunkan 4(empat) buku manual
bagi kepentingan kekhalifahan yang ada di muka bumi ini, yang terdiri
dari Kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud as; Kitab Taurat yang
diturunkan kepada Nabi Musa as.; Kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa
as; dan Kitab AlQuran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Hal ini
sebagaimana dikemukakan dalam surat An Nisaa' (4) ayat 163 yang kami kemukakan
berikut ini:“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami
telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami
telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak
cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan Kami berikan Zabur kepada
Daud.” Dimana Allah SWT telah menurunkan kitab Zabur kepada Nabi Daud as,.
Sedangkan berdasarkan surat surat Ali Imran (3)
ayat 3 berikut ini: “Dia menurunkan Alkitab (AlQuran) kepadamu dengan sebenarnya;
membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan
Injil.” Allah SWT juga telah
menurunkan Kitab Taurat kepada Nabi Musa as, dan kitab Injil kepada Nabi Isa
as,. Sedangkan
berdasarkan surat Yunus (10) ayat 37 yang kami kemukakan berikut ini: “tidaklah mungkin
AlQuran ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (AlQuran itu) membenarkan Kitab-Kitab yang
sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada
keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam.” Allah
SWT menurunkan kitab AlQuran kepada Nabi Muhammad SAW.
Timbul pertanyaan kitab
yang manakah yang saat ini berlaku bagi program peng-hambaan dan juga program kekhalifahan
di muka bumi sampai dengan hari kiamat? Jika kita mengacu kepada urut-urutan
dari mata rantai Nabi dan Rasul yang diutus Allah SWT ke muka bumi serta kitab
yang diturunkan oleh Allah SWT, maka posisi Nabi Muhammad SAW selain penerus
dari Nabi-Nabi dan juga sebagai penutup dari rangkaian Nabi-Nabi yang diutus Allah
SWT ke muka bumi maka kitab yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW adalah kitab yang terakhir diturunkan Allah
SWT ke muka bumi. Adanya kondisi ini dapat dikatakan bahwa: (1) Kitab AlQuran yang diturunkan Allah SWT ke
muka bumi kepada Nabi Muhammad SAW merupakan bagian dari mata rantai Kitab yang
telah diturunkan Allah SWT ke muka bumi
(ingat AlQuran adalah penyempurna bagi Kitab Allah SWT sebelumnya); (2) Kitab AlQuran merupakan kitab penutup dari
rangkaian kitab yang telah diturunkan Allah SWT
ke muka bumi sehingga AlQuran inilah yang akan berlaku sampai dengan
hari kiamat kelak.Adanya 2(dua) buah kondisi yang kami kemukakan di atas
ini, maka kita harus dapat menempatkan Kitab-Kitab Allah SWT sebagai berikut:
a.
Kita harus dan wajib mengimani kedudukan AlQuran sebagai penerus atau bagian dari mata
rantai Kitab-Kitab yang telah diturunkan oleh Allah SWT ke muka
bumi;
b.
Kita harus dan wajib menjadikan AlQuran sebagai kitab terakhir yang diturunkan Allah
SWT ke muka bumi untuk menggantikan dan menyempurnakan Kitab Zabur, Kitab
Taurat, dan Kitab Injil yang telah diturunkan sebelum AlQuran diturunkan.
Dijadikannya
AlQuran sebagai satu-satunya kitab yang berlaku saat ini sampai dengan hari kiamat
tiba dalam rangka untuk memberikan kemudahan serta untuk tidak menim-bulkan
kebingungan bagi manusia yang ada di muka bumi.
Adanya
kesamaan buku manual yang berlaku akan memudahkan penghambaan kepada Allah SWT
dan juga memudahkan kekhalifahan yang ada di muka bumi menjalankan tugas yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT. Hal
ini didukung karena hanya AlQuran lah satu-satunya kitab suci yang dijamin oleh
Allah SWT baik isi, makna, keaslian maupun kandungan yang terdapat di dalamnya.
Sedangkan kitab kitab yang lainnya seperti Zabur, Taurat dan Injil sudah tidak
bisa lagi dipertanggungjawabkan keasliannya karena memang tidak dijamin oleh
Allah SWT. Adanya kepastian AlQuran yang isinya tidak akan ada perubahan apapun
maka terjadilah kepastian hukum yang mengikat antara umat manusia dengan Allah
SWT.
5.
Untuk Menjadi Rahmat dan Kebaikan Dari Allah SWT untuk
Manusia. Buku Manual yang dibuat oleh pabrikan berfungsi
sebagai sarana bagi pabrikan untuk mengemukakan hal-hal yang berhubungan dengan
produk yang dihasilkannya. Hal ini dikarenakan hanya pabrikanlah satu satunya
pihak yang paling mengerti dan yang paling mengetahui secara detail dari produk
yang dihasilkannya. Buku manual juga merupakan wujud tanggung jawab pabrikan
kepada konsumen atas suatu produk yang telah diproduksinya. Hal ini terlihat
dari bagaimana produsen sangat berharap kepada konsumen, jika ingin produk yang
dibelinya awet dan tahan lama maka lakukanlah hal-hal yang telah dikemukakan
dalam buku manual. Adanya kondisi ini berarti keberadaan buku manual (manual
handbook) merupakan bagian yang tidak terpisahkan antara produsen dengan
konsumen melalui keberadaan produk yang dihasilkannya.
Selanjutnya jika produsen saja memberlakukan hal itu
kepada konsumennya melalui produk yang dihasilkanya. Sekarang bagaimana dengan
Allah SWT kepada umat manusia yang telah diangkatnya menjadi hamba yang
sekaligus khalifah-Nya di muka bumi? Allah SWT menurunkan AlQuran kepada umat
manusia bukan hanya sekedar sarana untuk memperkenalkan Nama-Nya, akan tetapi
lebih dari itu semua. Allah SWT menurunkan AlQuran kepada umat manusia
merupakan wujud tanggung jawab Allah SWT selaku pencipta yang sekaligus pemilik
dari langit dan bumi serta pemilik dan pencipta rencana besar kekhalifahan yang
ada di muka bumi. AlQuran juga merupakan wujud kasih sayang Allah SWT kepada umat
manusia yang telah diangkat oleh Allah SWT menjadi abd’ (hamba)-Nya yang
sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “dan kamu tidak pernah mengharap agar AlQuran diturunkan kepadamu,
tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Tuhanmu [1143],
sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir. (surat Al Qashash (28) ayat
86)
[1143] Maksudnya: AlQuranul
karim itu diturunkan bukanlah karena Nabi Muhammad s.a.w. mengharap agar
diturunkan, melainkan karena rahmat daripada Allah.
Jika ini adalah asumsi dasar dari diturunkannya
AlQuran oleh Allah SWT ke muka bumi, berarti AlQuran diturunkan Allah SWT
bukanlah sesuatu yang sia-sia belaka, atau AlQuran bukanlah sesuatu kemudharatan yang diturunkan
oleh Allah SWT ke muka bumi. AlQuran diturunkan kepada manusia, termasuk kepada
diri kita merupakan rahmat dari Allah SWT untuk kemaslahatan umat manusia.
Selain daripada itu, AlQuran juga diturunkan oleh Allah SWT merupakan bagian
yang tidak terpisahkan antara Allah SWT dengan rencana besar penghambaan dan
kekhalifahan yang ada di muka bumi ini.
Sekarang bagaimana jadinya jika sampai Allah SWT
tidak pernah menurunkan AlQuran kepada umat manusia? Yang jelas umat manusia
tidak akan tahu dan tidak akan mengerti hal-hal sebagai berikut: (a) tentang Allah SWT; (b) tentang
kekhalifahan di muka bumi; (c)
tentang siapa diri kita yang sesungguhnya; (d) tentang hak dan kewajiban diri kita kepada Allah SWT; (e) tentang apa itu Diinul Islam yang terdiri
Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan; (f) tentang
musuh diri kita, dan lain sebagainya. Sudahkah kita bersyukur kepada Allah
SWT atas diturunkannya AlQuran ke muka bumi ini? Syukur kepada Allah SWT tidak cukup dengan
mengatakan terima kasih atau dengan mengucapkan bacaan “Alhamdulillah”.
Syukur kepada Allah SWT atas diturunkannya AlQuran tidak cukup AlQuran hanya
sekedar dibaca saja atau menjadikan AlQuran sebagai buku bacaan wajib yang
harus dibaca setiap hari atau dihafalkan.
Bersyukur kepada Allah SWT atas diturunkannya
AlQuran maka kita harus dapat meletakkan dan juga menempatkan AlQuran sesuai
dengan apa-apa yang dikehendaki Allah
SWT selaku pemilik dari kumpulan wahyu lalu berusaha untuk mengimaninya,
mempelajarinya, memahaminya, mengamalkan apa apa yang telah dipahaminya, lalu
menyebarluas-kannya dengan cara mengajarkan kepada orang lain (mendakwahkan)
dan yang terakhir berusaha untuk menjadikan AlQuran menjadi akhlak bagi diri
kita. Dan semoga kita mampu mengemban dan melaksanakan itu semua melalui contoh
dan suri teladan Nabi Muhammad SAW saat menjadi hambaNya dan yang juga
khalifahNya di muka bumi ini serta mampu pula mengajarkan itu semua kepada anak
keturunan kita sendiri serta masyarakat luas sebagai salah satu bukti syukur
diri kita atas diturunkannya AlQuran. Sudahkah kita mencoba untuk
melaksanakannya!
6.
Untuk Dijadikan Sahabat bagi Manusia. AlQuran adalah
sahabat. AlQuran sebagai sahabat tidak bisa berdiri sendiri karena persahabatan
tidak mengenal satu pihak saja melainkan harus ada pihak lainnya, dalam hal ini
adalah diri kita, keluarga dan anak keturunan kita. AlQuran sebagai sahabat tentu
akan memberikan sesuatu yang sangat luar biasa kepada sahabatnya, sepanjang
sahabatnya mau melaksanakan apa yang disebut inti dari sebuah persahabatan,
yaitu adanya pengorbanan untuk sebuah persahabatan; adanya perhatian khusus
untuk sebuah persahabatan; adanya karya nyata sebagai bukti adanya sebuah
persahabatan.
AlQuran adalah nikmat
terbesar bagi umat manusia harus yang diikuti dengan langkah nyata yang
menunjukkan bahwa memang AlQuran adalah kebutuhan dalam kehidupan umat manusia.
Kesadaran akan pentingnya AlQuran tanpa diikuti dengan langkah nyata, akan
mengakibatkan kehidupan kita kehilangan segalanya dan hilang pula persahabatan.
Sebagaimana dikemukakan dalam hadits berikut ini: Nabi SAW bersabda: “Berbahagialah
orang yang menjadikan AlQuran sebagai sebaik-baik sahabat. Tiap hari ia akrab
dengan Kalam Rabb-nya. Membacanya, mengamalkannya, menghafalnya, mempe-lajarinya,
bahkan mendakwahkannya. Ia menjadi sebaik-baik manusia sebagaimana sabda
Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “sebaik-baik dari kalian adalah
yang mempelajari AlQuran dan mengajarkannya.” (Hadits Riwayat Bukhari).
Dan agar persahabatan
antara diri kita dengan AlQuran bisa terbina dan terpelihara dari waktu ke
waktu, ada sebuah metode untuk menjadikan AlQuran sebagai sahabat bagi diri
kita yaitu “Metode Akrab dengan AlQuran”, sebagaimana dikemukakan dalam
laman “madaninews.id” berikut ini:
a.
AlQuran wajib dijadikan sebagai buku pelajaran harian,
karena mempelajari AlQuran adalah langkah awal dalam berinteraksi dengannya serta
pintu masuk untuk menjalin persahabatan dengannya. AlQuran hendaknya dijadikan
pelajaran utama kita setiap hari. Ada target belajar harian yang disesuaikan dengan kemampuan
kita.
b.
Mendengarkan bacaan AlQuran, sebagaimana Rasulullah SAW
sering meminta sahabat untuk membacakan AlQur’an untuknya. Saat ini selain bisa
mendengarkan bacaan qari secara langsung, banyak alat atau fasilitas elektronik
dimana kita bisa mendengarkan bacaan AlQur’an. Jika mendengar musik atau
hal-hal lain yang hanya mengeraskan hati maka mendengarkan bacaan AlQuran
justru akan menen-tramkan hati.
c.
Meluangkan waktu secara terjadwal untuk mentadabburinya
(memahami dan mengkajinya). Ayat-ayat AlQuran akan semakin menyentuh hati kita
saat kita mengetahui maknanya. Selain bisa mengetahui makna AlQuran dari
buku-buku tafsir, kitapun bisa mengikuti halaqah-halaqah kajian AlQuran.
d.
Mengamalkannya, yakni mengejawantahkan ajaran-ajaran AlQuran
dalam kehidu-pan sehari-hari. Menjadikannya rujukan disamping hadits dari
Rasulullah SAW baik dalam amalan ibadah maupun dalam hal muamalah dan lainnya.
e.
Berusaha untuk menghafalkan AlQuran. Mulai dari ayat atau
surah-surah yang mudah untuk kita hafal. Kesibukan ataupun faktor umur tidak
menjadi penghalang asalkan kita mempunyai kemauan kuat untuk “menyimpan” AlQuran
di dalam dada-dada kita. Banyak perangkat dan metode yang akhir-akhir ini
berkembang yang bisa menjadi sarana buat kita untuk menghafal AlQuran.
f.
Mendakwahkannya, yaitu menjadikan sebagai bahasan dan referensi
utama dalam berdakwah serta memperjuangkan agar isinya menjadi rujukan utama
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Inilah 6 (enam)
langkah mudah agar diri kita menjadi sahabat AlQuran. Lalu apa yang akan kita
peroleh dari persahabatan ini? Banyak hal yang akan diberikan AlQuran kepada sahabatnya
yang mana kualitasnya sangat tergantung kepada nilai persahabatan yang telah
kita lakukan kepada AlQuran dan jangan berharap banyak memperoleh sesuatu dari
persahabatan kita dengan AlQuran jika kita sendiri malas-malasan, tidak
bersemangat, tidak mau berbagi kepada sesama setelah memperoleh pelajaran dari
AlQuran. Dan inilah yang akan kita peroleh dari persahabatan diri kita dengan
AlQuran, yaitu: sebaik-baik sahabat karib adalah AlQuran yang dengannya akan
membuat hati kita menjadi tenteram, bahagia dan lebih dari itu AlQuran akan
menjadi pembela kita di hari kiamat kelak. “Pelajarilah AlQuran, sesungguhnya ia akan
datang pada hari kiamat menjadi pemberi syafa’at bagi orang-orang yang
bersahabat dengannya”. (Hadits Riwayat Muslim).
AlQuran juga akan
menentramkan hati bagi orang-orang beriman yang sering berinteraksi dengannya
melalui aktifitas mengimaninya, mempelajarinya, mengha-yatinya, memahaminya,
serta melaksanakannya, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Orang-orang yang beriman dan
hati mereka bisa merasa tentram dengan mengingat Allah, ketahuilah bahwa hanya
dengan mengingat Allah maka hati akan merasa tentram.” (surat Ar-Ra’d (13) ayat
28). Di lain sisi, Ibnul Qayyim Al Jauziyah juga telah menyebutkan
bahwa pendapat terpilih mengenai makna ‘mengingat Allah’ di sini adalah
mengingat (merenungkan) AlQuran. Hal itu disebabkan hati manusia tidak akan
bisa merasakan ketentraman kecuali dengan iman dan keyakinan yang tertanam di
dalam hatinya. Sementara iman dan keyakinan tidak bisa diperoleh kecuali dengan
menyerap bim-bingan AlQuran yang kita pelajari dan pahami secara konsisten dari
waktu ke waktu.
2. Untuk Dijadikan
Sarana dan Alat Bantu Berkomunikasi dan Berinteraksi dengan Allah SWT saat
mendirikan Shalat. AlQuran adalah kumpulan dari kata kata Allah SWT
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril
as,. AlQuran sebagai kumpulan dari kata kata Allah SWT dapat dikatakan sebagai
salah satu cara Allah SWT untuk berinteraksi, untuk berkomunikasi, untuk
berbicara kepada umat manusia dengan cara mengatakan kembali kata kata Allah
SWT tersebut kepada Allah SWT. Kondisi ini akan dapat tercapai atau dapat kita
rasakan jika diri kita mampu menjadikan AlQuran sebagai salah satu media bagi
diri kita untuk berinteraksi, berkomunikasi dan berbicara kepada Allah SWT
selaku pemilik kumpulan kata kata dengan cara mempelajarinya (dengan memulainya
melalui proses membaca AlQuran).
Adanya proses membaca sebagai bagian dari mempelajari AlQuran maka
terjadilah proses interaksi dalam bentuk melakukan pembicaraan kepada Allah SWT
melalui mengatakan kembali kata kata Allah SWT yang telah dikatakan yang ada di
dalam AlQuran kepada Allah SWT selaku pemilik kata kata maka terjadilah
komunikasi antara diri kita dengan Allah SWT. Dan hal yang harus kita
perhatikan dengan benar saat berkomunikasi dengan Allah SWT adalah kedudukan
diri kita tidak sejajar dengan Allah SWT sehingga kita yang kecil harus bisa
menempatkan diri dihadapan Dzat Yang Maha Besar dengan merendahkan posisi diri
kita saat berinteraksi dan berkomunikasi dengan Allah SWT. Adanya kondisi ini
mengharuskan diri kita untuk menyesuaikan diri kita dengan apa apa yang
dikehendaki oleh Allah SWT karena kitalah yang membutuhkan berkomunikasi dengan
Allah SWT.
Apabila hal ini mampu kita lakukan dengan baik dan benar disinilah salah
satu letak dari terjadinya interaksi dan juga adanya pembicaraan antara diri
kita dengan Allah SWT melalui AlQuran yang sedang kita baca sebagai bagian dari mempelajari AlQuran.
Selain daripada itu, ketahuilah bahwa jika kita mampu menghargai AlQuran
sebagai kata kata yang bersifat original hanya dari Allah SWT semata yang telah
dikatakan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW berarti kita telah menghargai
kebesaran, kemahaan dan kedudukan Allah
SWT selaku Tuhan seluruh alam. Adanya bentuk penghargaan diri kita kepada
AlQuran maka terbukalah jalan untuk mengimani Allah SWT sebagai satu satunya
narasumber AlQuran. Sudahkah kita mampu melakukannya dengan baik dan benar!
Di lain sisi, diri kita diperintahkan oleh Allah SWT untuk mendirikan
shalat wajib minimal 5 (lima) kali dalam sehari. Saat diri kita mendirikan
shalat maka kita diwajibkan untuk membaca bacaan shalat yang mana bacaan shalat
itu tidak bisa dilepaskan dengan kata
kata Allah SWT yang telah dikatakanNya yang kini ada di dalam AlQuran. Contohnya,
kita wajib membaca Alfatehah di setiap shalat yang kita dirikan, jika tidak
maka shalat yang kita dirikan menjadi tidak sah serta setelah diri kita
menyelesaikan membaca Alfatehah maka juga membaca minimal satu ayat yang ada di
dalam AlQuran. Lalu dimana letaknya kita bisa merasakan rasa berkomunikasi,
berdialog, berinteraksi dan berbicara kepada Allah SWT itu? Ibadah shalat
merupakan salah satu ibadah wajib yang menjadi kebutuhan diri kita sehari hari,
dimana di dalam ibadah shalat inilah terdapat bacaan shalat yang di dalamnya
ada ayat ayat AlQuran.
Saat diri kita mendirikan shalat maka pada saat itu pula terjadilah apa
yang dikatakan dengan terjadinya proses interaksi, komunikasi dan berbicara
dengan Allah SWT melalui bacaan shalat yang berasal dari AlQuran yang kita
katakan kembali kepada Allah SWT. Saat diri kita membaca Alfatehah dalam
shalat, maka terjadilah apa yang dikemukakan dalam dua buah hadits berikut ini:
“Ubay bin Ka’ab ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: “Wahai anak Adam, Aku telah menurunkan tujuh
ayat; tiga diantaranya untukKu, dan tiga untukmu serta satu antara Aku dengan
engkau. Adapun yang untukKu, yaitu: “Alhadulillahi Rabbil Alamin, Ar
rahmanirrahim, Maliki yaumiddin” (segala puja dan puji bagi Allah, Tuhan yang
memelihara alam semesta, Maha Pemurah lagi Pengasih, yang memiliki hari
pembasalan). Adapun yang antara Aku dan engkau, yaitu: “Iyyaka na’budu
wa Iyyakan nasta’in” (hanya kepadaMu lah aku menyembah, dan hanya kepadaMu lah
aku minta tolong. Dari engkau manusia beribadah dan Aku yang menolong)”. Adapun
yang untukmu, yaitu: “Ihdinasshiratal mustaqim, Shiratalladzina an’amta alaihim
ghairil magh dhubi alaihim waladh dhaaliin (bimbinglah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalan orang
orang yang Engkau anugerahi nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang
dimurka dan bukan pula jalan mereka yang sesat). (Hadits Riwayat Ath Thabrani
dalam Mu’jam Al Ayshath; 272:01)
Dan juga dikemukakan
dalam hadits berikut ini: “Abu Hurairah ra, berkata: “Bacalah
Al-fatihah untuk diri kalian sendiri karena aku mendengar Rasulullah SAW,
“Allah Ta’ala berfirman: Aku membagi shalat (maksudnya: Al-fatihah) menjadi dua
bagian, yaitu antara diri-Ku dan hamba-Ku dua bagian dan bagi hamba-Ku apa yang
ia minta. Jika hamba mengucapkan ’alhamdulillahi robbil ‘alamin (segala puji
hanya milik Allah)’, Allah ta’ala berfirman: Hamba-Ku telah memuji-Ku. Ketika
hamba tersebut mengucapkan ‘ar rahmanir rahiim (Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang)’, Allah ta’ala berfirman: Hamba-Ku telah menyanjung-Ku. Ketika hamba
tersebut mengucapkan ‘maaliki yaumiddiin (Yang Menguasai hari pembalasan)’, Allah
ta’ala berfirman: Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku. Beliau berkata sesekali:
Hamba-Ku telah memberi kuasa penuh pada-Ku. Jika ia mengucapkan ‘iyyaka na’budu
wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu kami menyebah dan hanya kepada-Mu kami
memohon pertolongan)’, Allah ta’ala berfirman: Ini antara-Ku dan hamba-Ku, bagi
hamba-Ku apa yang ia minta. Jika ia mengucapkan ‘ihdiinash shiroothol
mustaqiim, shirootolladzina an’amta ‘alaihim, ghoiril magdhuubi ‘alaihim wa
laaddhoollin’ (tunjukkanlah pada kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang yang
telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan jalan orang
yang sesat), Allah ta’ala berfirman: Ini untuk hamba-Ku, bagi hamba-Ku apa yang
ia minta.” (Hadits Riwayat Muslim no. 395).
Berdasarkan
dua buah hadits di atas ini, saat diri kita membaca surat Alfatehah ketika
mendirikan shalat, terjadilah tiga hal, yaitu:
a.
Adanya
pernyataan sikap kita yang khusus kita tujukan kepada Allah SWT;
b. Adanya permohonan
yang kita ajukan kepada Allah SWT yang sebelumnya didahului dengan adanya
pernyataan, “hanya kepada-Mu aku menyembah, dan hanya kepada-Mu aku minta tolong”;
c.
Adanya
interaksi, komunikasi dan dialog antara diri kita dengan Allah SWT secara
langsung tanpa perantara siapapun melalui bacaan AlFatehah yang kita katakan
kembali kepada Allah SWT.
Dan agar dialog, interakasi, komunikasi yang
kita lakukan dengan Allah SWT memberi-kan dampak yang luar biasa bagi diri kita
maka kita harus melakukannya secara dua arah. Dimana diri kitalah yang harus
aktif memulai terlebih dahulu untuk berdialog, berinteraksi, berkomunikasi maka
barulah Allah SWT beraksi sesuai dengan kualitas apa yang kita lakukan.
Sehingga berlakulah hukum aksi dan reaksi sebagaimana hadits berikut ini: Abu
Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah Ta’ala berfirman: “Apabila hamba-Ku
ingin menemui-Ku, Aku pun ingin menemuinya. Tetapi bila ia enggan menemui-Ku,
Aku pun enggan menemuinya. (Hadits Riwayat Bukhari, Malik, dan An Nasa’i;
272:17). Disinilah letak pentingnya kita memiliki adab dan sopan santun
saat berdialog, saat berinteraksi, dan saat berkomunikasi dengan Allah SWT. Jangan
sampai apa yang telah dikemukakan dalam hadits diatas tidak berlaku kepada diri
kita karena ulah diri kita sendiri yang melakukan interaksi, dialog dan
komunikasi secara satu arah, secara tergesa gesa, serta malas malasan, padahal
yang membutuhkan hasil dari interaksi, dialog dan komunikasi dengan Allah SWT
adalah diri kita.
Ingat, posisi dan kedudukan diri kita tidak
sejajar dengan Allah SWT sehingga diri kitalah yang harus menyesuaikan diri
dengan Allah SWT karena kitalah yang membu-tuhkan Allah SWT sedangkan Allah SWT
tidak membutuhkan diri kita. Katakan, jika Allah SWT adalah Dzat Yang Maha
Suci (Al Quddus) kitapun harus
mensucikan diri terlebih dahulu dengan melaksanakan proses thaharah sebelum
mendirikan shalat, sebelum berdoa dan memohon kepada-Nya serta sebelum
mempelajari AlQuran. Jika tidak, maka terjadilah ketidaksesuaian posisi
sehingga antara diri kita dengan keadaan Allah SWT berseberangan, dimana Allah
SWT Yang Maha Suci tidak akan mungkin bisa kita ajak beriteraksi, berdialog dan
berkumunikasi jika kita sendiri masih kotor, baik hadast kecil ataupun besar.
Sudahkah kita memahami hal ini dan mengetahui penting-nya melakukan proses
thaharah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar