Ikhsan berasal dari bahasa
Arab yaitu hasana yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk
masdarnya adalah ihsanan, yang artinya kebaikan. Ikhsan adalah sebuah ibadah
kebaikan yang harus kita laksanakan dalam kerangka melaksanakan Diinul Islam
secara kaffah seakan akan kita melihat Allah SWT dan jika kita tidak bisa
melihatnya pasti Allah SWT melihat kebaikan yang kita lakukan dan pada akhirnya
kebaikan yang kita perbuat ini menjadi cerminan diri kita sehari hari.
Ikhsan adalah kebaikan dan
jika ikhsan adalah kebaikan lalu kebaikan yang seperti apakah Ikhsan itu?
Berdasarkan surat Al Israa’ (17) ayat 7 dan surat Al Qashash (28) ayat 77 di
bawah ini, Kebaikan di dalam pelaksanaan ibadah Ikhsan bukan hanya untuk kebaikan
diri sendiri, melainkan juga untuk kebaikan keluarga, untuk kebaikan anak
keturunan, untuk kebaikan masyarakat, bangsa dan negara serta kepada seluruh
makhluk Allah SWT yang ada di muka bumi ini yang tidak hanya saat ini saja
namun bisa dinikmati oleh generasi yang datang di kemudian hari.
jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri
dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan
apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (kami datangkan
orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam
mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk
membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.
(surat Al Israa’ (17) ayat 7)
dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
(surat Al Qashash (28) ayat 77)
Adanya kebaikan untuk masa
saat ini maupun saat akan datang, dalam hal ini generasi yang datang dikemudian
hari, mengharuskan diri kita untuk bisa selalu berbuat kebaikan dalam skala
yang besar seperti yang dicontohkan oleh ibunda Siti Hajar dengan air zam
zamnya yang bisa dinikmati sampai dengan hari kiamat kelak. Adanya kondisi ini
menunjukkan betapa banyaknya dan betapa panjangnya kebaikan kebaikan yang akan
diterima oleh ibunda Siti Hajar. Lalu bagaimana dengan diri kita, sudahkah kita
berbuat kebaikan seperti yang telah dicontohkan oleh ibunda Siti Hajar?
Ibadah Ikhsan meliputi
tiga aspek yang fundamental yaitu ibadah, muamalah, dan ahklak dalam satu
kesatuan, sehingga ibadah yang kita lakukan (habblum minallah) tercermin dalam
muamallah (habblum minannas) yang pada akhirnya kebaikan itu menjadi akhlak
atau kepribadian atau cerminan dari diri kita sendiri. Adanya tiga aspek
fundamental dari ibadah Ikhsan maka kita berkewajiban melaksanakan ikhsan dalam
beribadah, ikhsan dalam bermuamalah, dan ikhsan dalam akhlak yang mulia selama
hayat masih di kandung badan.
Selanjutnya agar diri kita
mampu melaksanakan ibadah Ikhsan dalam bentuk ibadah, dalam bentuk muamalah dan
juga menjadi akhlak kepribadian diri kita secara konsisten dari waktu ke waktu.
Ada beberapa hal penting yang harus kita ketahui saat melaksanakan kebaikan
dalam kerangka ibadah Ikhsan yaitu: (1)
kebaikan yang kita lakukan tanpa disuruh suruh lagi oleh siapapun melainkan
dilakukan karena kesadaran diri sendiri; (2) kebaikan yang kita lakukan tanpa ada paksaan dari siapapun serta tanpa
ada pamrih kecuali ikhlas hanya karena Allah SWT semata; (3) kebaikan yang kita
lakukan bukan untuk unjuk diri atau untuk dipandang orang lain melainkan karena
melaksanakan cerminan diri kita saat hidup di dunia; (4) kebaikan yang kita
lakukan haruslah konsisten dari waktu ke waktu walaupun kecil atau sedikit dan
yang terakhir adalah setelah berbuat kebaikan jangan pernah diungkit kembali
agar orang lain tahu bahwa kita telah berbuat sesuatu atau dengan kata lain apa
yang pernah kita lakukan jangan pernah diingat kembali.
Jangan pernah berniat
untuk melaksanakan segala perintah Allah SWT atau berbuat kebaikan dalam kerangka ibadah
Ikhsan menunggu tua atau nanti saja setelah kaya atau kalau sudah pensiun baru
kita mulai serius menjalankan perintah Allah SWT sedangkan resiko yang kita
hadapi sangatlah besar yaitu kita tidak tahu sampai kapan kita bisa hidup di
muka bumi ini serta adanya musuh abadi berupa ahwa dan juga syaitan. Untuk itu
manfaatkanlah, pergunakanlah, dengan baik-baiknya waktu yang kita jalani saat
ini, jangan sampai menyesal setelah ruh tiba dikerongkongan.
Selain daripada itu, jangan
sampai kita berbuat kebaikan bersifat musiman seperti pohon yang berbuah
musiman, atau bahkan kadang kadang saja berbuat kebaikan atau mungkin kita
berbuat kebaikan karena ingin dipuja orang atau untuk tujuan tertentu katakan
untuk tujuan politik praktis tertentu. Berbuatlah kebaikan seperti pohon yang
selalu berbuah setiap waktu tanpa mengenal musim. Setelah diri kita berbuat
kebaikan jangan kita rusak kebaikan itu, namun jagalah kebaikan itu dengan
selalu berbuat kebaikan sepanjang hayat masih di kandung badan. Lihatlah pohon
belimbing sayur yang selalu berbuah tanpa mengenal waktu, tidak peduli musim panas
ataupun musim hujan ia selalu berbuah. Hal yang samapun harus kita lakukan saat
diri kita berbuat kebaikan yaitu berbuatlah kebaikan sepanjang waktu sepanjang
diri kita mampu melaksanakannya dengan ikhlas. Lalu jangan pernah pedulikan
omongan orang lain yang mengomentari secara negatif atas apa yang kita lakukan.
dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya
yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan
sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu
golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain[838]. Sesungguhnya
Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. dan Sesungguhnya di hari kiamat akan
dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.
(surat An Nahl (16) ayat 92)
[838] Kaum muslimin yang jumlahnya masih sedikit
itu telah Mengadakan Perjanjian yang kuat dengan Nabi di waktu mereka melihat
orang-orang Quraisy berjumlah banyak dan berpengalaman cukup, lalu timbullah
keinginan mereka untuk membatalkan Perjanjian dengan Nabi Muhammad s.a.w. itu.
Maka perbuatan yang demikian itu dilarang oleh Allah s.w.t.
Ingat, omongan ataupun
komentar negatif jangan dibalas dengan
omongan atau komentar pula. Omongan ataupun komentar negatif hanya bisa
dikalahkan dengan buah dari hasil kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan yang
kita laksanakan. Jangan sampai kita hanya bisa menyatakan salah, rusak tanpa
bisa memperbaiki yang salah dan rusak.
Sesungguhnya membalas
sebuah kebaikan dengan kebaikan itu sudah biasa dan sangat biasa. Membalas
keburukan dengan keburukan juga hal yang biasa dan tidak bisa dibanggakan. Hal
yang luar biasa adalah jika kita mampu membalas keburukan dengan kebaikan
seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Ayo segera kita membalas keburukan
dengan berbuat kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan atau selalu berbuat
kebaikan kepada siapapun juga, sekarang juga, dengan mengambil peran masing
masing yang sesuai dengan bakat dan kemampuan yang kita miliki.
Untuk memudahkan diri kita
melaksanakan ibadah Ikhsan dimaksud, berikut ini akan kami kemukakan ilustrasi
tentang perintah mandi. Perintah mandi bukanlah tujuan akhir melainkan sarana
atau alat bantu bagi yang melaksanakan mandi memperoleh tujuan akhir dari
perintah mandi, dalam hal ini adalah menjadikan diri kita menjadi sehat, bersih
dan segar. Hal yang harus kita jadikan pedoman adalah setelah sehat, bersih dan
segar, maka penampilan dari hasil dari mandi itu yang harus menjadi cerminan
diri kita. Apakah itu?
Seseorang yang telah
sehat, bersih dan segar maka ia harus berpenampilan semangat, ceria, wangi
serta optimis sehingga siap beraktivitas kembali. Akan menjadi sebuah kegagalan
jika sehabis mandi jika kita masih garuk garuk kegatalan ataupun berpenampilan
loyo, kurang semangat. Jika mandi saja mengharuskan diri kita berpenampilan
seperti ini, maka hal yang samapun berlaku setelah diri kita mampu melaksanakan
Shalat Khusyu’, Haji Mabrur, atau mampu melaksanakan Diinul Islam secara
kaffah.
Adanya kondisi yang kami
kemukakan di atas berarti tujuan akhir dari ibadah yang kita laksanakan baru
akan bermakna bagi diri kita atau baru akan menjadi menjadi cerminan dari diri
kita sepanjang diri kita mampu mempertunjukkan tujuan hasil akhir dalam
perilaku kita sehari hari. Sebagai contoh jika kita mampu melaksanakan shalat
khusyu’ maka perilaku kita adalah selalu berbuat kebaikan kepada sesama sebagai
bentuk dari mencegah perbuatan keji lagi munkar. Jika kita mampu menjadikan
diri kita orang yang berpunya (memiliki harta kekayaan) maka perilaku kita
bukan tercermin dari penampilan phisik maupun saldo tabungan yang banyak melainkan
selalu memberi infaq dan shadaqah (selalu menjadi muzakki) sehingga akan terasa
dalam diri kebahagiaan memiliki harta kekayaan setelah memberi kepada sesama.
Ayo menjadi muzakki muzakki di tengah masyarakat lalu kita berusaha untuk
menjadikan mustahik mustahik menjadi muzakki muzakki baru.
Berikut ini akan kami kemukakan bentuk bentuk
penampilan diri kita setelah mampu melaksanakan ibadah Ikhsan dalam kerangka
melaksanakan Diinul Islam secara kaffah, yaitu:
A.
BERPERILAKU ASMAUL HUSNA
Setiap manusia adalah
Khalifah Allah SWT di muka bumi, sebagai Khalifah maka kita wajib tahu dan
paham serta mengerti benar siapa Allah SWT dan siapa diri kita yang
sesungguhnya. Sebagai Khalifah Allah SWT berarti diri kita adalah duta besar
duta besar Allah SWT di muka bumi yang harus mencerminkan dari keberadaan Allah
SWT itu sendiri, dalam hal ini adalah Asmaul Husna yang tidak lain akhlak Allah
SWT yang termaktub di dalam nama namaNya yang indah.
hanya milik Allah
asmaa-ul husna[585], Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna
itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya[586]. nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa
yang telah mereka kerjakan.
(surat Al A’raf (7) ayat
180)
[585]
Maksudnya: Nama-nama yang Agung yang sesuai dengan sifat-sifat Allah.
[586]
Maksudnya: janganlah dihiraukan orang-orang yang menyembah Allah dengan Nama-nama
yang tidak sesuai dengan sifat-sifat dan keagungan Allah, atau dengan memakai
asmaa-ul husna, tetapi dengan maksud menodai nama Allah atau mempergunakan
asmaa-ul husna untuk Nama-nama selain Allah.
Dialah Allah, tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai Al asmaaul husna
(nama-nama yang baik),
(surat Thaahaa (20) ayat
8)
Di lain sisi, setiap dzat
memiliki sifat. Dimana sifat yang dimiliki dzat akan menjadi perbuatan dari
dzat itu sendiri. Sebagai contoh garam memiliki sifat asin, jika sifat garam
asin maka perbuatan garam adalah mengasinkan apa apa yang diliputinya sesuai
dengan kemampuan garam. Hal yang sam apun berlaku kepada diri kita yang
sesungguhnya adalah Ruh/Ruhani, dimana Ruh telah disifatkan Asmaul Husna oleh
Allah SWT melalui proses shibghah. Jika Ruh/Ruhani telah memiliki sifat Asmaul
Husna maka perilaku Ruh/Ruhani yang tidak lain adalah Asmaul Husna maka
perbuatan Ruhpun harus sesuai dengan Asmaul Husna.
Rasulullah SAW bersabda: “Maukah kalian aku tunjukkan orang yang haram
(tersentuh) api neraka? Para sahabat berkata, iya, wahai Rasulullah. ‘Beliau
menjawab (haram tersentuh api neraka) adalah Hayyin (orang yang memiliki
ketenangan dan keteduhan lahir bathin); Layyin (orang yang lembut berkata dan
berbuat); Qarib (orang yang ramah dan menyenangkan) dan Sahl (orang yang gemar
mempermudah orang lain)”.
(Hadits Riwayat Ath Thirmidzi, Ibnu Hibban)
Berdasarkan hadits yang
kami kemukakan di atas, kebaikan yang utama bagi diri kita yang telah diangkat
oleh Allah SWT sebagai Khalifah di muka bumi adalah kita wajib berperilaku yang
sesuai dengan Asmaul Husna yang telah menjadi sifat Ruh/Ruhani diri kita. Jika
Ruh/Ruhani diri kita telah disifati oleh Allah SWT dengan Ar Rachman (Yang Maha
Pengasih) dan Ar Rahiem (Yang Maha Penyayang) berarti perbuatan dan perilaku
diri kita harus pula mencerminkan perilaku Pengasih dan Penyayang pula, dalam
hal ini saling tolong menolong dalam kebaikan, saling hormat menghormati. Jika hal
ini mampu kita laksanakan berarti kita sudah bertindak apa yang dinamakan
dengan Layyin (sesuai kata dengan perbuatan).
Shibghah Allah[91]. dan
siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? dan hanya kepada-Nya-lah
Kami menyembah.
(surat Al Baqarah (2)
ayat 138)
[91]
Shibghah artinya celupan. Shibghah Allah: celupan Allah yang berarti iman
kepada Allah yang tidak disertai dengan kemusyrikan.
Sekarang bagaimana jika
Ruh/Ruhani diri kita telah disifati dengan Asmaul Husna Ar Razaaq melalui
proses shibghah berarti perilaku diri kita setelah memperoleh Rezeki dari Allah
SWT maka rezeki itu tidak untuk kepentingan diri sendiri, melainkan harus pula
dibelanjakan di jalan Allah melalui infaq, shadaqah ataupun wakaf sehingga jika
kita tidak memberi sesuatu akan terasa ada yang mengganjal di dalam diri. Disinilah
letaknya penampilan dari orang yang berpunya yaitu selalu memberi atau
menempatkan dirinya sebagai Muzakki dari waktu ke waktu. Jika tidak berarti
perilaku diri kita seperti garam yang sudah tidak asin lagi. Demikian
seterusnya dengan sifat sifat Ruh/Ruhani yang lainnya yang telah disifati
dengan Asmaul Husna.
Untuk itu mari kita
renungkan apa yang dinamakan dengan sambal lado, dimana sambal lado merupakan
gabungan dari bumbu bumbu yang disatukan seperti cabai, garam, tomat, terasi,
gula dan lain sebagainya. Setiap dzat yang dipersatukan semuanya
mempertontonkan dan mempertunjukkan sifat sifat yang dimilikinya, seperti cabai
dengan pedasnya, garam dengan asinnya, tomat dengan rasa tomatnya, gula dengan
rasa manisnya. Hasil akhir dari itu semua adalah sambal lado yang enak dan
lezat. Sekarang apa jadinya jika garam yang memiliki sifat asin menahan rasa
asinnya? Kurang asin atau kurang garam akan menyebabkan sambal lado menjadi
kurang enak.
Hal yang samapun berlaku
dalam kehidupan manusia, jika sampai sifat Ruh/Ruhani ditahan dalam pergaulan
sehari hari atau jika sampai sifat pengasih dan penyayang tidak ada di dalam
kehidupan bermasyarakat maka hidup terasa hambar dan terjadilah apa yang dinamakan
kebencian, kecurigaan serta tindas menindas karena hilangnya rasa welas asih di
antara sesama manusia. Demikian seterusnya dengan Asmaul Husna yang lain yang
harus menjadi perilaku diri kita saat hidup di muka bumi ini.Inilah salah satu
bentuk kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan yang utama dalam kehidupan kita.
Ingat, kondisi ini baru bisa kita lakukan jika kita tahu dan mengerti bahwa
Ruh/Ruhani adalah jati diri manusia yang sesungguhnya yang telah disifati oleh
Allah SWT dengan Asmaul Husna.
Sekarang semuanya
tergantung kepada diri kita sendiri, maukah menjadikan sifat alamiah Ruh/Ruhani
menjadi perbuatan diri kita seperti garam yang mampu yang berperilaku
mengasinkan apa apa yang diliputinya. Jika kita tidak mampu berarti diri kita
sama dengan garam yang sudah tidak asin lagi. Jika garam sudah tidak asin lagi
maka tidak pantas ia mengaku garam atau disebut sebagai garam. Hal yang samapun
jika kita tidak mampu menjadikan sifat Ruh/Ruhani menjadi sifat dan perbuatan
kita maka kitapun sudah tidak pantas lagi disebut sabagai Khalifah di muka
bumi.
Ayo buktikan jika kita
memang pantas menyandang status khalifah Allah SWT di muka bumi dengan selalu
berbuat kebaikan sebagai wujud dari pelaksanaan Rukun Iman dan Rukun Islam
sekarang juga melalui perbuatan diri kita yang mencerminkan nilai nilai ilahiah
yang berasal dari Asmaul Husna. Jika sampai ini terjadi berarti salah satu
tujuan dari kekhalifahan di muka bumi berhasil yaitu diri kita mampu menjadi
menampilkan penampilan Allah SWT di muka bumi melalui nilai nilai ilahiah yang
berasal dari Asmaul Husna. Semoga kita dan anak keturunan kita mampu melakukan
hal ini dari waktu ke waktu sepanjang hayat masih di kandung badan.
B.
MENTAATI ALLAH SWT & RASUL NYA
Berdasarkan surat Al
Anfaal (8) ayat 46 yang kami kemukakan di bawah ini, salah satu bentuk kebaikan
yang harus kita laksanakan sebagai wujud dari pelaksanaan ibadah Ikhsan adalah
mentaati Allah SWT dan RasulNya. Adanya ketentuan ini berarti Allah SWT
menegaskan bahwa mentaati Rasul merupakan bagian daripada mentaati Allah SWT.
Jika kita tidak mau mentaati Rasul berarti bertentangan dengan apa yang
kehendaki Allah SWT atau keluar dari kehendak Allah SWT. Selanjutnya untuk
memudahkan pemahaman ini, akan kami kemukakan hal hal sebagai berikut: Nabi adalah
penerima risalah. Rasul adalah penyampai risalah. Nabi dan Rasul berarti
penerima dan penyampai risalah dan jika sekarang Nabi Muhammad SAW adalah nabi
terakhir berarti sudah tidak ada lagi risalah baru sehingga risalah yang ada
sudah final dan sempurna.
dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu
dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
(surat Al Anfaal (8) ayat 46)
Dan jika sekarang kita
diwajibkan untuk mentaati Allah SWT dan Rasul berarti kita wajib mentaati
penyampai risalah yang telah dirisalahkan (dalam hal ini risalah yang sudah
final dan sempurna dalam hal ini adalah Al Qur’an) dengan tidak mengaku ngaku
sebagai Nabi. Rasul yang ada sekarang adalah para pewaris Nabi dalam hal ini
ulama, da’i, ustadz, kyai, syeikh, habib dan lain sebagainya. Disinilah letak
perbedaan antara Nabi dan Rasul yang wajib kita imani dengan Rasul yang
dimaksudkan oleh Allah SWT dalam surat An Anfaal (8) ayat 46 di atas.
Di lain sisi, Allah SWT
adalah pencipta dan pemilik dari alam semesta ini dan jika ini kondisi Allah
SWT berarti segala hukum, segala undang undang, segala peraturan, segala
ketentuan yang berlaku di alam semesta ini adalah ketentuan Allah SWT. Dan jika
kita tidak pernah merasa menciptakan dan memiliki alam semesta ini berarti kita
wajib mempelajari, wajib mentaati, wajib melaksanakan segala ketentuan yang
berlaku di alam semesta ini sesuai dengan kehendak Allah SWT. Ini adalah kondisi
dasar yang harus kita ketahui jika kita tahu diri. Tahu siapa Allah SWT yang
sesungguhnya dan Tahu siapa diri kita yang sebenarnya.
Sekarang Allah SWT selaku
Tuan Rumah telah mengeluarkan perintah, maka kita wajib melaksanakan perintah
dimaksud karena dibalik perintah pasti ada kebaikan yang siap diberikan kepada
yang diperintah mau melaksanakan perintah. Contohnya, jika Allah SWT melarang
untuk berbantah bantahan maka jangan lakukan itu karena akan mengakibatkan diri
kita menjadi gentar menghadapi sesuatu serta hilang kekuatan. Selanjutnya jika
Allah SWT telah menetapkan adanya larangan maka kita wajib menghentikan atau
jangan pernah melanggar larangan dimaksud karena dibalik larangan pasti ada
keburukan yang siap diberikan kepada yang melanggar aturan. Ingat, Allah SWT
mengeluarkan perintah dan juga larangan kepada diri kita karena Allah SWT
sayang kepada diri kita. Sekali lagi, Allah SWT sangat sayang kepada diri kita.
(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan
yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka[574]. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang
diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.
(surat Al A’raaf (7) ayat 157)
[574] Maksudnya: dalam syari'at yang dibawa oleh
Muhammad itu tidak ada lagi beban-beban yang berat yang dipikulkan kepada Bani
Israil. Umpamanya: mensyari'atkan membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan
kisas pada pembunuhan baik yang disengaja atau tidak tanpa membolehkan membayar
diat, memotong anggota badan yang melakukan kesalahan, membuang atau
menggunting kain yang kena najis.
Agar setiap larangan dan
perintah berjalan sesuai dengan kehendak Allah SWT maka Allah SWT menurunkan
Nabi dan Rasulnya untuk memberikan contoh secara langsung atas apa apa yang
dikehendakinya tersebut. Disinilah salah satu letak dari pentingnya keberadaan
Nabi atau Rasul dalam kerangka rencana besar Allah SWT tentang kekhalifahan di
muka bumi. Bayangkan jika sampai Allah SWT tidak menurunkan Nabi dan Rasul ke
muka bumi, kita tidak akan tahu bagaimana cara bersikap kepada Allah SWT dan
tidak tahu cara untuk beribadah kepada Allah SWT?
bagi orang-orang yang memenuhi seruan Tuhannya, (disediakan) pembalasan
yang baik. dan orang-orang yang tidak memenuhi seruan Tuhan, Sekiranya mereka
mempunyai semua (kekayaan) yang ada di bumi dan (ditambah) sebanyak isi bumi
itu lagi besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan kekayaan itu.
orang-orang itu disediakan baginya hisab yang buruk dan tempat kediaman mereka
ialah Jahanam dan Itulah seburuk-buruk tempat kediaman.
(surat Ar Ra’d (13) ayat 18)
Saat ini, kita telah
disiapkan oleh Allah SWT apa yang dinamakan dengan Diinul Islam yang tidak lain
konsep Ilahiah untuk kepentingan kekhalifahan di muka bumi yang kesemuanya
sudah lengkap. Lalu apakah yang sudah disiapkan oleh Allah SWT untuk diri kita
kemudian kita tidak pergunakan untuk kesuksesan hidup di dunia dan akhirat? Berdasarkan
surat Ar Ra’d (13) ayat 18 di atas, yaitu adalah pulang kampung ke Neraka
Jahannam.
Nabi SAW bersabda,
“(Panasnya) api yang kalian (Bani Adam) nyalakan di dunia ini merupakan
sebagian dari tujuh puluh (70) bagian panasnya api Neraka
Jahannam.” Para sahabat bertanya: “Demi Allah! Apakah itu sudah cukup
wahai Rasulullah?” Beliau SAW bersabda: “(Belum), sesungguhnya panasnya
sebagian yang satu melebihi sebagian yang lainnya sebanyak enam
puluh (60) kali lipat.”
(Hadits Riwayat Muslim no. 2843)
Sekarang bertanyalah ke
hati nurani diri kita sendiri, mampukah
kita menahan panasnya api Neraka yang panasnya 70 (tujuh puluh) kali panasnya
api yang ada dunia? Sebagai contoh api untuk melebur baja katakan 3000 derajat
Celsius lalu dikalikan 70 kali dan jika
ini api yang terpanas lalu mampukah kita menahannya serta jika tidak segeralah
menerima dan melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah saat ini juga sesuai
dengan kehendak Allah SWT.
C.
PERSATUAN VS PERPECAHAN
Berdasarkan surat Yusuf
(12) ayat 100 dan 101 yang kami kemukakan di bawah ini, dimana Allah SWT
mengemukakan cerita tentang sejarah Nabi Ayyub as, yang di dalamnya terdapat
cerita Nabi Yusuf as, dan saudara saudaranya. Berdasarkan cerita dimaksud
terlihat dengan jelas adanya perpecahan diantara anak anak Nabi Ayyub as, yang
pada akhirnya terpisahlah Nabi Yusuf as, dengan Nabi Ayyub as, oleh sebab anak
anaknya yang tidak mau bersatu dalam suatu persatuan.
Persatuan adalah sebuah
kebaikan, sedangkan perpecahan adalah sebuah keburukan. Inilah salah satu
pelajaran yang utama yang terdapat di balik cerita Nabi Ayyub as, beserta anak
anaknya, terutama dengan Nabi Yusuf as. Persatuan adalah alah satu bentuk dari
kebaikan yang harus diraih dan dirasakan serta selalu dipelihara oleh setiap
manusia yang ada di muka bumi.
dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. dan mereka
(semuanya) merebahkan diri seraya sujud[763] kepada Yusuf. dan berkata Yusuf:
"Wahai ayahku Inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu; Sesungguhnya Tuhanku
telah menjadikannya suatu kenyataan. dan Sesungguhnya Tuhanku telah berbuat
baik kepadaKu, ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa
kamu dari dusun padang pasir, setelah syaitan merusakkan (hubungan) antaraku
dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha lembut terhadap apa yang Dia
kehendaki. Sesungguhnya Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku
sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir mimpi. (ya
Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat,
wafatkanlah aku dalam Keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang
yang saleh.
(Surat Yusuf (12) ayat 100-101)
[763] Sujud disini ialah sujud penghormatan bukan
sujud ibadah.
Perpecahan bisa
diibaratkan dengan adanya lidi sebatang yang tidak bisa berbuat apa apa, namun
apabila lidi yang satu itu dipersatukan menjadi sebuah kumpulan yang menjadi
sapu lidi, maka sapu lidi bisa berguna dan bermanfaat untuk membersihkan
sesuatu. Sebagai Khalifah di muka bumi, sudahkah persatuan dapat kita wujudkan
dalam masyarakat? Jika perpecahan yang kita wujudkan atau perpecahan yang kita
usahakan berarti kita harus belajar kepada lidi sebatang yang tidak berguna
jika hanya terdiri dari satu lidi saja. Lalu belajarlah untuk menjadi sapu lidi
yang bisa bermanfaat setelah dipersatukan dalam satu ikatan.
Persatuan tidak akan bisa
diraih dan dirasakan manfaatnya jika hanya dilakukan sendiri sendiri. Persatuan
mengharuskan kesadaran masyarakat untuk melakukan suatu persatuan dalam sebuah
ikatan yang kuat berupa pernyataan sikap untuk selalu bersatu dalam satu
kesatuan. Contoh nyata untuk Indonesia adalah kemerdekaan Indonesia dapat
diraih melalui ikatan terlebih dahulu yaitu adanya Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda
merupakan ikatan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk berbangsa satu, bertanah
air satu, dan berbahasa satu, Indonesia. Adanya ikatan Sumpah Pemuda ini
akhirnya mampu menghantarkan Indonesia meraih kemerdekaan.
Sebagai Khalifah di muka
bumi maka kita harus bisa menjadikan diri kita penjaga dari persatuan dan
kesatuan, perawat dari persatuan dan kesatuan, pelopor dalam rangka mempertahan
persatuan dan kesatuan. Hal ini dikarenakan persatuan dan kesatuan bukan
sesuatu yang bersifat statis, namun bersifat dinamis. Persatuan dan kesatuan
harus terus dipupuk secara bersama sama karena ia mengikat secara bersama sama
pula. Persatuan dan kesatuan bukan pula bersifat individual sehingga tergantung
kepada individu tertentu saja. Persatuan dan kesatuan adalah tangggung jawab
bersama.
Sekarang apa yang terjadi
jika persatuan dan kesatuan dibiarkan berjalan tanpa ada perawatan, tanpa ada
penjagaan, tanpa ada pertahanan? Persatuan dan kesatuan bisa hilang atau bahkan
hancur ditelan perubahan jaman, dihantam oleh ketidaksenangan serta dirubah
karena pengaruh ahwa dan syaitan. Disinilah letak pentingnya mempertahankan
persatuan dan kesatuan yang harus dijaga dan dirawat secara bersama sama secara
konsisten dari waktu ke waktu.
Lalu dimanakah letaknya
ibadah Ikhsan dalam persolan persatuan dan kesatuan? Persatuan dan kesatuan
adalah sesuatu yang dikehendaki oleh Allah SWT sehingga di dalam persatuan dan
kesatuan tidak bisa dilepaskan dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT dan Allah
SWT sendiri selalu berada bersama persatuan dan kesatuan. Jika kondisi ini
sudah terjadi pada persatuan dan kesatuan maka sudah sepatutnya kita mampu
berbuat dan bertindak untuk selalu menjadi pelopor, pelaku, penjaga, perawat
dari persatuan dan kesatuan dalam hidup dan kehidupan ini. Ingat, kita tidak
bisa berbuat sesuatu sendiri seperti halnya lidi hanya satu. Semakin kuat
persatuan dan kesatuan maka hasil akhir dari persatuan dan kesatuan menjadi
sangat luar biasa.
D.
BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA
Berdasarkan surat Al
Ahqaaf (46) ayat 16 dan 17; Surat Al Ankabuut (29) ayat 8 dan surat Al Israa’
(17) ayat 23 sampai 25 di bawah ini, salah satu bentuk kebaikan yang harus kita
laksanakan sebagai wujud dari pelaksanaan ibadah Ikhsan yaitu berbakti kepada
kedua orang tua tanpa terkecuali. Allah SWT sangat menghormati kedudukan orang
tua, dimana setiap anak tanpa terkecuali wajib untuk menghomati dan selalu
berbuat kebaikan kepadanya. Allah SWT melarang kepada diri kita untuk berkata
“Cis” kepada orang tua. Bayangkan Allah SWT saja melarang berkata “Cis” kepada
orang tua, apalagi berbuat keburukan kepadanya.
Saat ini Allah SWT sudah
mewajibkan kepada diri kita untuk berbuat kebaikan kepada kedua orang tua, lalu
sudahkah kita mampu melaksanakan kewajiban itu dengan baik dan benar?
mereka Itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik
yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama
penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.
dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi
kamu keduanya, Apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan
dibangkitkan, Padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku? lalu kedua
ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan:
"Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar".
lalu Dia berkata: "Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu
belaka".
(surat Al Ahqaaf (46) ayat 16 dan 17)
Selain daripada itu, Allah
SWT juga sudah mengingatkan kepada diri kita agar berbuat kebaikan kepada kedua
orang tua dengan sebaik baiknya. Akan tetapi jika kedua orang tua memaksa kita
untuk mempersekutukan Allah SWT dengan sesuatu maka kita dilarang mengikuti
perintah orang tua tersebut. Dan jika antara diri kita dengan orang tua berbeda
Agama maka kita tetap diwajibkan untuk menghormatinya dan wajib tetap berbuat
kebaikan kepadanya. Lalu jika sampai usia ke dua orang tua kita berusia lanjut
dalam pemeliharaan kita, kita dilarang mengatakan perkataan “ah” dan jangan
pernah membentak mereka melainkan ucapkan kepada mereka perkataan yang mulia
serta selalu merendahkan diri dihadapan mereka.
dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang
ibu-bapaknya. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku dengan
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti
keduanya. hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu aku kabarkan kepadamu apa yang
telah kamu kerjakan.
(surat Al Ankabuut (29) ayat 8)
dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika
salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka Perkataan yang mulia[850].
dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".Tuhanmu lebih mengetahui apa
yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, Maka Sesungguhnya Dia
Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.
(surat Al Israa’ (17) ayat 23 s/d 25)
[850] Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak
dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka
dengan lebih kasar daripada itu.
Anas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah Ta’ala berfirman: Allah SWT
telah mewahyukan kepada Nabi Musa: “Jika saja tidak karena mereka yang
mengucapkan Syahadat La illaha illa Allah niscaya telah kutimpakan Jahannam di
atas dunia. Wahai Musa, jika saja tidak karena mereka yang beribadah kepada Ku
niscaya tidaklah Aku lepaskan mereka yang berbuat maksiat sekejap matapun.
Wahai Musa, sesungguhnya orang orang beriman kepada Ku mereka itulah makhluk
yang termulia dalam pandangan Ku. Wahai Musa, sesungguhnya sepatah kata dari
seorang yang durhaka (terhadap kedua orangtuanya) adalah sama beratnya dengan
seluruh pasir bumi. Bertanya Nabi Musa: “Siapakah orang durhaka itu wahai Tuhan
Ku?” Yaitu orang berkata kepada kedua orang tuanya: Tidak…..tidak” ketika
dipanggil.”
(Hadits Qudsi Riwayat Abu Nu’aim; 272:225)
Untuk itu mari kita
pelajari apa yang dikemukakan hadits yang kami kemukakan di atas, dimana Allah
SWT telah melarang kepada diri kita untuk tidak berkata tidak….. tidak ketika
dipanggil oleh orang tua karena sama beratnya dengan seluruh pasir bumi.
Allah SWT juga telah meletakkan
ridhaNya dibawah ridha orang tua dan jika ketentuan ini telah ditetapkan oleh
Allah SWT berarti salah satu prasyarat untuk memperoleh ridha Allah SWT maka
kita harus bisa mendapatkan dan memperoleh ridha orang tua. Sepanjang orang tua
ridha kepada diri kita maka keridhan Allah SWT terbuka untuk diri kita. Adanya
ketentuan ini terlihat dengan jelas Allah SWT bahwa Allah SWT sangat menghormati kedudukan orang tua di dalam
silsilah keluarga. Saat ini ketentuan ini sudah berlaku di muka bumi ini, untuk
itu jangan pernah berharap memperoleh ridha Allah SWT jika kita durhaka kepada
orang tua, jika kita menghardik orang tua, jika kita memperbudak orang tua atau
menjadikan orang tua sebagai penerima pembayaran zakat kita.
Sekarang katakan kita
telah berhasil, bisa menjabat, bisa memiliki harta kekayaan, bisa memiliki
pendidikan tinggi, dan lain sebagainya maka apa yang kit raih hari merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dengan apa apa yang telah dilakukan oleh kedua
orang tua kita. Keberhasilan yang kita raih merupakan mata rantai yang tidak
bisa dipisahkan dengan kasih sayang, pengayoman, pembiayaan, kecintaan, doa,
pengorbanan ke dua orang tua kepada diri kita. Siapapun orangnya pasti menerima
hal ini dari ke dua orang tua. Apalagi kita hadir di muka bumi tidak bisa apa
apa dan tidak memiliki apa apa. Dan jika sekarang Allah SWT memerintahkan
kepada diri kita untuk berbakti kepada ke dua orang tua, hal ini bukanlah
sesuatu yang berlebihan karena memang sudah seharusnya kita lakukan kepada ke
dua orang tua kita, termasuk kepada ke dua orang mertua kita.
Di lain sisi, ada hal lain
yang harus kita jadikan bahan pemikiran yaitu apa yang kita peroleh saat ini
tidak bisa dilepaskan dari dan doa dan harapan yang pernah mereka mintakan
kepada Allah SWT atau juga kerena perbuatan baik yang pernah mereka lakukan
sehingga memudahkan, menolong, diri kita
saat berkarir, saat berkarya dan saat berbuat di masyarakat luas. Itulah orang
tua, kadang ia berbuat bukan untuk kepentingan pribadinya namun untuk
kepentingan anak dan keturunannya kelak. Dan jika saat ini kita juga telah
menjadi orang tua bagi anak anak kita, jangan pernah menciderai kebaikan yang
telah kita terima dari kedua orang tua dan mertua kita dengan berbuat
keburukan/kejahatan yang mengakibatkan anak dan orang tua kita tercoreng akibat
ulah diri kita. Betapa malunya anak, betapa malunya istri/suami, betapa malunya
orang tua dan mertua menanggung sesuatu keburukan/kejahatan yang tidak pernah
mereka lakukan. Semoga hal ini tidak terjadi pada diri kita dan juga pada anak
dan keturunan kita.
Jangan pernah berfikir berbuat
baik kepada kedua orang tua dan kepada kedua orang mertua menjadi beban dalam
hidup dan kehidupan kita atau bahkan memberatkan diri kita. Jika saat ini kita
mampu berbuat baik kepada orang tua dan mertua maka hal itu harus kita syukuri karena
kesempatan ini tidak bisa dinikmati oleh setiap anak. Adanya kesempatan berbuat
baik kepada orang tua dan mertua haruslah menjadikan diri kita bersyukur dan berbahagia
karena Allah SWT memberikan kesempatan yang langka kepada diri kita serta
secara tidak langsung melaksanakan apa apa yang dikehendaki oleh Allah SWT
melalui orang tua dan mertua kita. Jangan sampai diri kita menyesal tidak bisa
berbakti kepada orang tua setelah orang tua dan mertua tiada.
E.
PERDAMAIAN
Berdasarkan surat An
Nisaa’ (4) ayat 128 yang kami kemukakan di bawah ini, Allah SWT menunjukkan
salah satu bentuk kebaikan dalam rumah tangga yaitu adanya perdamaian antar
suami dengan istri. Tanpa ada kedamaian antara suami dengan istri maka tidak
akan ada pula kebahagiaan rumah tangga serta anak shaleh dan shalehah hanyalah
mimpi belaka. Kehancuran rumah tangga ada di depan mata. Adanya kedamaian akan
menghantarkan kita kepada kehidupan keluarga yang sakinah ma waddah wa rahmah.
dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz[357] atau sikap tidak acuh
dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya[358], dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun
manusia itu menurut tabiatnya kikir[359]. dan jika kamu bergaul dengan isterimu
secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(Surat An Nisaa (4) ayat 128)
[357] Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban
bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin
suaminya. nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap isterinya;
tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya.
[358] Seperti isteri bersedia beberapa haknya
dikurangi Asal suaminya mau baik kembali.
[359] Maksudnya: tabi'at manusia itu tidak mau
melepaskan sebahagian haknya kepada orang lain dengan seikhlas hatinya,
Kendatipun demikian jika isteri melepaskan sebahagian hak-haknya, Maka boleh
suami menerimanya.
Adanya kedamaian keluarga,
maka akan melahirkan kedamaian lingkungan sekitar, yang pada akhirnya mampu
menghantarkan kedamaian suatu daerah dan seterusnya mampu menjadikan suatu
negara yang aman dan damai. Sekarang bagaimana mungkin kita berharap suatu
kedamaian jika pertengkaran yang selalu terjadi, baik dalam skala rumah tangga
ataupun dalam skala nasional? Ingat, perdamaian bukanlah input melainkan ouput
dari serangkaian input yang diproses dengan cara yang baik dan benar.
Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih
mengetahui apa yang mereka sifatkan[1020].
(surat Al Mu’minuun (23) ayat 96)
[1020] Maksudnya: perkataan-perkataan dan
perbuatan-perbuatan kaum musyrikin yang tidak baik itu hendaklah dihadapi oleh
Nabi dengan yang baik, umpama dengan memaafkannya, Asal tidak membawa kepada
Kelemahan dan kemunduran dakwah.
Untuk maksud tersebut
diatas, Allah SWT melalui surat Al Mu’minuun (23) ayat 96 di atas mengemukakan
salah satu caranya, yaitu jangan pernah membalas perbuatan buruk dengan
perbuatan buruk. Api hanya bisa dipadamkan dengan Air. Jika kuku kita panjang
jangan jari yang dipotong tetapi potonglah kukunya saja. Jika ada persoalan
dengan orang lain, selesaikan persoalannya, bukan orangnya yang diselesaikan.
Balaslah perbuatan buruk dengan perbuatan baik yang diikuti dengan memaafkan
orang yang berbuat keburukan tersebut lalu berdamailah dengan mereka.
Sebagai Khalifah di muka
bumi yang membutuhkan ibadah Ikhsan yang tidak lain adalah cerminan diri kita,
berarti kita harus bisa menjadi pelopor pelopor perdamaian, kita harus bisa
menjadi penengah penengah pertengkaran, serta harus menjadi pemelihara, perawat
dari perdamaian selama hayat masih di kandung badan. Jika sampai diri kita
justru menjadi pembuat keonaran, pembuat kerusakan, perusak persatuan, berarti
kitalah menjadi sumber masalah dalam masyarakat. Dan jangan salahkan syaitan
jika kita menjadi kawan yang dikehendaki oleh Syaitan sang laknatullah.Sekarang
apa yang bisa kita nikmati jika kita hidup dalam suatu negara jika di dalam
negara itu tidak ada kedamaian dan perdamaian? Jika kita tidak menghendaki kondisi
hidup dalam suasana tidak ada kedamaian dan perdamaian maka tidak ada jalan
lain kita harus mampu menjadi pelopor, perawat, penjaga dari perdamaian yang
sudah ada saat dan berusaha untuk
meningkatkan kualitas perdamaian. Ayo segera bertindak dan berbuat
sebelum segala sesuatunya terlambat.
F.
MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH
SWT
Berdasarkan surat Al
Baqarah (2) ayat 195 yang kami kemukakan di bawah ini, salah satu bentuk
kebaikan yang harus kita laksanakan sebagai wujud dari pelaksanaan ibadah Ikhsan
adalah membelanjakan harta kekayaan atau penghasilan di jalan Allah SWT apakah
melalui infaq, melalui shadaqah, atau
melalui wakaf. Hal yang harus kita
pahami dengan benar adalah kita datang ke muka bumi tidak memiliki apa apa,
lalu mempergunakan dan mendayagunakan apa apa yang dimiliki oleh Allah SWT
seperti udara, air, tanah, tumbuhan, ruh, jasmani dan lain sebagainya dengan
cuma cuma. Sekarang coba kita bayangkan jika sampai Allah SWT selaku pemilik
dan pencipta oksigen yang kita hirup meminta bayaran kepada kita, apakah kita
sanggup membayarnya?
dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
(surat Al Baqarah (2) ayat 195)
Disinilah letaknya
bagaimana kita wajib mengetahui dengan pasti tentang kondisi dasar diri kita
yang tidak bisa berbuat apa apa dan juga tidak memiliki apa apa saat hadir di
muka bumi, lalu setelah kita memiliki apa apa karena mempergunakan dan
mendayagunakan apa apa yang dimiliki Allah SWT lalu kita diam saja dengan itu
semua? Sebagai orang yang telah mampu melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah,
tentunya kita harus bisa menunjukkan rasa bersyukur kita kepada Allah SWT
dengan melakukan ibadah Ikhsan melalui membelanjakan harta kekayaan
ataupun penghasilan di jalan Allah SWT
melalui infaq, melalui shadaqah atau melalui wakaf.
(yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan.
(surat Ali Imran (3) ayat 134)
Lalu kapankah kita harus
membelanjakan harta kekayaan atau penghasilan diri kita di jalan Allah SWT
tersebut? Allah SWT melalui surat Ali Imran (3) ayat 134 menunjukkannya yaitu
kita bisa membelanjakannya tidak hanya pada saat lapang juga di saat sempitpun kita harus
membelanjakannya. Adanya dua buah kondisi yang berbeda (lapang dan sempit) maka
dampak bagi yang melakukannya pun akan berbeda pula, terutama pahala dari nilai
kebaikan sanagt tergantung dengan kondisi lapang ataupun kondisi sempit.
Hal yang harus kita
jadikan pedoman adalah belum pernah ada di dalam kehidupan di dunia ini,
seseorang jatuh miskin karena ia membelanjakan harta atau penghasilannya
setelah melakukan infaq, setelah bersedekah ataupun setelah menunaikan wakaf.
Jika kondisi ini tidak pernah terjadi kenapa kita harus takut berbuat kebaikan
melalu infaq, melalui shadaqah dan melalui wakaf dalam kerangka melaksanakan
ibadah Ikhsan?
Sepanjang harta kekayaan
atau penghasilan di dapat dengan cara cara halal lagi diridhai Allah SWT tidak
ada alasan untuk tidak mau berbagi kepada sesama umat manusia melalui infaq,
shadaqah dan wakaf. Terkecuali jika harta kekayaan ataupun penghasilan itu
berasal dari yang haram lagi dikehendaki oleh syaitan maka kesemuanya akan
berakhir dengan kemudharatan, untuk berfoya foya, untuk berjudi dan lain
sebagainya. Sekarang bertanyalah kepada diri sendiri, halalkah atau haramkah
harta kekayaan atau penghasilan yang kita miliki saat ini, karena dampaknya
sangat berbeda.
dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah,
Padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? tidak sama di
antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan
(Mekkah). mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan
(hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing
mereka (balasan) yang lebih baik. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(surat Al Hadiid (57) ayat 10)
Berdasarkan surat Al
Hadiit (57) ayat 10 di atas, Allah SWT mengemukakan siapakah yang mempunyai
langit dan bumi ini? Jika Allah SWT yang memiliki langit dan bumi ini maka
ketentuan dan hukum Allah SWT lah yang wajib berlaku di muka bumi ini. Sekarang
jika sampai diri kita tidak mau menafkahkan atau membelanjakan harta kekayaan
atau penghasilan di jalan Allah SWT saat di muka bumi, bertanyalah kepada diri
sendiri siapakah yang mempusakai atau yang memiliki langit dan bumi ini, lalu
siapakah yang lebih tinggi derajatnya apakah diri kita ataukah Allah SWT? Jika kita termasuk orang yang tahu diri
berarti kita harus mentaati segala ketentuan dan hukum Allah SWT saat hidup
di muka bumi ini lalu membelanjakan
harta kekayaan atau penghasilan di jalan
Allah SWT semaksimal mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar