Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Minggu, 19 Maret 2017

APA ITU IKHSAN (KEBAIKAN ) (part 1 of 2)


Ikhsan berasal dari bahasa Arab yaitu hasana yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk masdarnya adalah ihsanan, yang artinya kebaikan. Ikhsan adalah sebuah ibadah kebaikan yang harus kita laksanakan dalam kerangka melaksanakan Diinul Islam secara kaffah seakan akan kita melihat Allah SWT dan jika kita tidak bisa melihatnya pasti Allah SWT melihat kebaikan yang kita lakukan dan pada akhirnya kebaikan yang kita perbuat ini menjadi cerminan diri kita sehari hari.

Ikhsan adalah kebaikan dan jika ikhsan adalah kebaikan lalu kebaikan yang seperti apakah Ikhsan itu? Berdasarkan surat Al Israa’ (17) ayat 7 dan surat Al Qashash (28) ayat 77 di bawah ini, Kebaikan di dalam pelaksanaan ibadah Ikhsan bukan hanya untuk kebaikan diri sendiri, melainkan juga untuk kebaikan keluarga, untuk kebaikan anak keturunan, untuk kebaikan masyarakat, bangsa dan negara serta kepada seluruh makhluk Allah SWT yang ada di muka bumi ini yang tidak hanya saat ini saja namun bisa dinikmati oleh generasi yang datang di kemudian hari.
  
jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.
(surat Al Israa’ (17) ayat 7)

dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
(surat Al Qashash (28) ayat 77)

Adanya kebaikan untuk masa saat ini maupun saat akan datang, dalam hal ini generasi yang datang dikemudian hari, mengharuskan diri kita untuk bisa selalu berbuat kebaikan dalam skala yang besar seperti yang dicontohkan oleh ibunda Siti Hajar dengan air zam zamnya yang bisa dinikmati sampai dengan hari kiamat kelak. Adanya kondisi ini menunjukkan betapa banyaknya dan betapa panjangnya kebaikan kebaikan yang akan diterima oleh ibunda Siti Hajar. Lalu bagaimana dengan diri kita, sudahkah kita berbuat kebaikan seperti yang telah dicontohkan oleh ibunda Siti Hajar?

Ibadah Ikhsan meliputi tiga aspek yang fundamental yaitu ibadah, muamalah, dan ahklak dalam satu kesatuan, sehingga ibadah yang kita lakukan (habblum minallah) tercermin dalam muamallah (habblum minannas) yang pada akhirnya kebaikan itu menjadi akhlak atau kepribadian atau cerminan dari diri kita sendiri. Adanya tiga aspek fundamental dari ibadah Ikhsan maka kita berkewajiban melaksanakan ikhsan dalam beribadah, ikhsan dalam bermuamalah, dan ikhsan dalam akhlak yang mulia selama hayat masih di kandung badan.

Selanjutnya agar diri kita mampu melaksanakan ibadah Ikhsan dalam bentuk ibadah, dalam bentuk muamalah dan juga menjadi akhlak kepribadian diri kita secara konsisten dari waktu ke waktu. Ada beberapa hal penting yang harus kita ketahui saat melaksanakan kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan yaitu: (1) kebaikan yang kita lakukan tanpa disuruh suruh lagi oleh siapapun melainkan dilakukan karena kesadaran diri sendiri; (2) kebaikan yang kita lakukan  tanpa ada paksaan dari siapapun serta tanpa ada pamrih kecuali ikhlas hanya karena Allah SWT semata; (3) kebaikan yang kita lakukan bukan untuk unjuk diri atau untuk dipandang orang lain melainkan karena melaksanakan cerminan diri kita saat hidup di dunia; (4) kebaikan yang kita lakukan haruslah konsisten dari waktu ke waktu walaupun kecil atau sedikit dan yang terakhir adalah setelah berbuat kebaikan jangan pernah diungkit kembali agar orang lain tahu bahwa kita telah berbuat sesuatu atau dengan kata lain apa yang pernah kita lakukan jangan pernah diingat kembali.

Jangan pernah berniat untuk melaksanakan segala perintah Allah SWT  atau berbuat kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan menunggu tua atau nanti saja setelah kaya atau kalau sudah pensiun baru kita mulai serius menjalankan perintah Allah SWT sedangkan resiko yang kita hadapi sangatlah besar yaitu kita tidak tahu sampai kapan kita bisa hidup di muka bumi ini serta adanya musuh abadi berupa ahwa dan juga syaitan. Untuk itu manfaatkanlah, pergunakanlah, dengan baik-baiknya waktu yang kita jalani saat ini, jangan sampai menyesal setelah ruh tiba dikerongkongan.

Selain daripada itu, jangan sampai kita berbuat kebaikan bersifat musiman seperti pohon yang berbuah musiman, atau bahkan kadang kadang saja berbuat kebaikan atau mungkin kita berbuat kebaikan karena ingin dipuja orang atau untuk tujuan tertentu katakan untuk tujuan politik praktis tertentu. Berbuatlah kebaikan seperti pohon yang selalu berbuah setiap waktu tanpa mengenal musim. Setelah diri kita berbuat kebaikan jangan kita rusak kebaikan itu, namun jagalah kebaikan itu dengan selalu berbuat kebaikan sepanjang hayat masih di kandung badan. Lihatlah pohon belimbing sayur yang selalu berbuah tanpa mengenal waktu, tidak peduli musim panas ataupun musim hujan ia selalu berbuah. Hal yang samapun harus kita lakukan saat diri kita berbuat kebaikan yaitu berbuatlah kebaikan sepanjang waktu sepanjang diri kita mampu melaksanakannya dengan ikhlas. Lalu jangan pernah pedulikan omongan orang lain yang mengomentari secara negatif atas apa yang kita lakukan.

dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain[838]. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. dan Sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.
(surat An Nahl (16) ayat 92)

[838] Kaum muslimin yang jumlahnya masih sedikit itu telah Mengadakan Perjanjian yang kuat dengan Nabi di waktu mereka melihat orang-orang Quraisy berjumlah banyak dan berpengalaman cukup, lalu timbullah keinginan mereka untuk membatalkan Perjanjian dengan Nabi Muhammad s.a.w. itu. Maka perbuatan yang demikian itu dilarang oleh Allah s.w.t.

Ingat, omongan ataupun komentar negatif  jangan dibalas dengan omongan atau komentar pula. Omongan ataupun komentar negatif hanya bisa dikalahkan dengan buah dari hasil kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan yang kita laksanakan. Jangan sampai kita hanya bisa menyatakan salah, rusak tanpa bisa memperbaiki yang salah dan rusak.

Sesungguhnya membalas sebuah kebaikan dengan kebaikan itu sudah biasa dan sangat biasa. Membalas keburukan dengan keburukan juga hal yang biasa dan tidak bisa dibanggakan. Hal yang luar biasa adalah jika kita mampu membalas keburukan dengan kebaikan seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Ayo segera kita membalas keburukan dengan berbuat kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan atau selalu berbuat kebaikan kepada siapapun juga, sekarang juga, dengan mengambil peran masing masing yang sesuai dengan bakat dan kemampuan yang kita miliki.     

Untuk memudahkan diri kita melaksanakan ibadah Ikhsan dimaksud, berikut ini akan kami kemukakan ilustrasi tentang perintah mandi. Perintah mandi bukanlah tujuan akhir melainkan sarana atau alat bantu bagi yang melaksanakan mandi memperoleh tujuan akhir dari perintah mandi, dalam hal ini adalah menjadikan diri kita menjadi sehat, bersih dan segar. Hal yang harus kita jadikan pedoman adalah setelah sehat, bersih dan segar, maka penampilan dari hasil dari mandi itu yang harus menjadi cerminan diri kita. Apakah itu?  

Seseorang yang telah sehat, bersih dan segar maka ia harus berpenampilan semangat, ceria, wangi serta optimis sehingga siap beraktivitas kembali. Akan menjadi sebuah kegagalan jika sehabis mandi jika kita masih garuk garuk kegatalan ataupun berpenampilan loyo, kurang semangat. Jika mandi saja mengharuskan diri kita berpenampilan seperti ini, maka hal yang samapun berlaku setelah diri kita mampu melaksanakan Shalat Khusyu’, Haji Mabrur, atau mampu melaksanakan Diinul Islam secara kaffah.

Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas berarti tujuan akhir dari ibadah yang kita laksanakan baru akan bermakna bagi diri kita atau baru akan menjadi menjadi cerminan dari diri kita sepanjang diri kita mampu mempertunjukkan tujuan hasil akhir dalam perilaku kita sehari hari. Sebagai contoh jika kita mampu melaksanakan shalat khusyu’ maka perilaku kita adalah selalu berbuat kebaikan kepada sesama sebagai bentuk dari mencegah perbuatan keji lagi munkar. Jika kita mampu menjadikan diri kita orang yang berpunya (memiliki harta kekayaan) maka perilaku kita bukan tercermin dari penampilan phisik maupun saldo tabungan yang banyak melainkan selalu memberi infaq dan shadaqah (selalu menjadi muzakki) sehingga akan terasa dalam diri kebahagiaan memiliki harta kekayaan setelah memberi kepada sesama. Ayo menjadi muzakki muzakki di tengah masyarakat lalu kita berusaha untuk menjadikan mustahik mustahik menjadi muzakki muzakki baru.    

 Berikut ini akan kami kemukakan bentuk bentuk penampilan diri kita setelah mampu melaksanakan ibadah Ikhsan dalam kerangka melaksanakan Diinul Islam secara kaffah, yaitu:  

A.   BERPERILAKU ASMAUL HUSNA

Setiap manusia adalah Khalifah Allah SWT di muka bumi, sebagai Khalifah maka kita wajib tahu dan paham serta mengerti benar siapa Allah SWT dan siapa diri kita yang sesungguhnya. Sebagai Khalifah Allah SWT berarti diri kita adalah duta besar duta besar Allah SWT di muka bumi yang harus mencerminkan dari keberadaan Allah SWT itu sendiri, dalam hal ini adalah Asmaul Husna yang tidak lain akhlak Allah SWT yang termaktub di dalam nama namaNya yang indah.

hanya milik Allah asmaa-ul husna[585], Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya[586]. nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.
(surat Al A’raf (7) ayat 180)

[585] Maksudnya: Nama-nama yang Agung yang sesuai dengan sifat-sifat Allah.
[586] Maksudnya: janganlah dihiraukan orang-orang yang menyembah Allah dengan Nama-nama yang tidak sesuai dengan sifat-sifat dan keagungan Allah, atau dengan memakai asmaa-ul husna, tetapi dengan maksud menodai nama Allah atau mempergunakan asmaa-ul husna untuk Nama-nama selain Allah.

Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang baik),
(surat Thaahaa (20) ayat 8)

Di lain sisi, setiap dzat memiliki sifat. Dimana sifat yang dimiliki dzat akan menjadi perbuatan dari dzat itu sendiri. Sebagai contoh garam memiliki sifat asin, jika sifat garam asin maka perbuatan garam adalah mengasinkan apa apa yang diliputinya sesuai dengan kemampuan garam. Hal yang sam apun berlaku kepada diri kita yang sesungguhnya adalah Ruh/Ruhani, dimana Ruh telah disifatkan Asmaul Husna oleh Allah SWT melalui proses shibghah. Jika Ruh/Ruhani telah memiliki sifat Asmaul Husna maka perilaku Ruh/Ruhani yang tidak lain adalah Asmaul Husna maka perbuatan Ruhpun harus sesuai dengan Asmaul Husna. 

Rasulullah SAW bersabda: “Maukah kalian aku tunjukkan orang yang haram (tersentuh) api neraka? Para sahabat berkata, iya, wahai Rasulullah. ‘Beliau menjawab (haram tersentuh api neraka) adalah Hayyin (orang yang memiliki ketenangan dan keteduhan lahir bathin); Layyin (orang yang lembut berkata dan berbuat); Qarib (orang yang ramah dan menyenangkan) dan Sahl (orang yang gemar mempermudah orang lain)”.
(Hadits Riwayat Ath Thirmidzi, Ibnu Hibban)

Berdasarkan hadits yang kami kemukakan di atas, kebaikan yang utama bagi diri kita yang telah diangkat oleh Allah SWT sebagai Khalifah di muka bumi adalah kita wajib berperilaku yang sesuai dengan Asmaul Husna yang telah menjadi sifat Ruh/Ruhani diri kita. Jika Ruh/Ruhani diri kita telah disifati oleh Allah SWT dengan Ar Rachman (Yang Maha Pengasih) dan Ar Rahiem (Yang Maha Penyayang) berarti perbuatan dan perilaku diri kita harus pula mencerminkan perilaku Pengasih dan Penyayang pula, dalam hal ini saling tolong menolong dalam kebaikan, saling hormat menghormati. Jika hal ini mampu kita laksanakan berarti kita sudah bertindak apa yang dinamakan dengan Layyin (sesuai kata dengan perbuatan).  

Shibghah Allah[91]. dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyembah.
(surat Al Baqarah (2) ayat 138)

[91] Shibghah artinya celupan. Shibghah Allah: celupan Allah yang berarti iman kepada Allah yang tidak disertai dengan kemusyrikan.

Sekarang bagaimana jika Ruh/Ruhani diri kita telah disifati dengan Asmaul Husna Ar Razaaq melalui proses shibghah berarti perilaku diri kita setelah memperoleh Rezeki dari Allah SWT maka rezeki itu tidak untuk kepentingan diri sendiri, melainkan harus pula dibelanjakan di jalan Allah melalui infaq, shadaqah ataupun wakaf sehingga jika kita tidak memberi sesuatu akan terasa ada yang mengganjal di dalam diri. Disinilah letaknya penampilan dari orang yang berpunya yaitu selalu memberi atau menempatkan dirinya sebagai Muzakki dari waktu ke waktu. Jika tidak berarti perilaku diri kita seperti garam yang sudah tidak asin lagi. Demikian seterusnya dengan sifat sifat Ruh/Ruhani yang lainnya yang telah disifati dengan Asmaul Husna.

Untuk itu mari kita renungkan apa yang dinamakan dengan sambal lado, dimana sambal lado merupakan gabungan dari bumbu bumbu yang disatukan seperti cabai, garam, tomat, terasi, gula dan lain sebagainya. Setiap dzat yang dipersatukan semuanya mempertontonkan dan mempertunjukkan sifat sifat yang dimilikinya, seperti cabai dengan pedasnya, garam dengan asinnya, tomat dengan rasa tomatnya, gula dengan rasa manisnya. Hasil akhir dari itu semua adalah sambal lado yang enak dan lezat. Sekarang apa jadinya jika garam yang memiliki sifat asin menahan rasa asinnya? Kurang asin atau kurang garam akan menyebabkan sambal lado menjadi kurang enak. 

Hal yang samapun berlaku dalam kehidupan manusia, jika sampai sifat Ruh/Ruhani ditahan dalam pergaulan sehari hari atau jika sampai sifat pengasih dan penyayang tidak ada di dalam kehidupan bermasyarakat maka hidup terasa hambar dan terjadilah apa yang dinamakan kebencian, kecurigaan serta tindas menindas karena hilangnya rasa welas asih di antara sesama manusia. Demikian seterusnya dengan Asmaul Husna yang lain yang harus menjadi perilaku diri kita saat hidup di muka bumi ini.Inilah salah satu bentuk kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan yang utama dalam kehidupan kita. Ingat, kondisi ini baru bisa kita lakukan jika kita tahu dan mengerti bahwa Ruh/Ruhani adalah jati diri manusia yang sesungguhnya yang telah disifati oleh Allah SWT dengan Asmaul Husna.

Sekarang semuanya tergantung kepada diri kita sendiri, maukah menjadikan sifat alamiah Ruh/Ruhani menjadi perbuatan diri kita seperti garam yang mampu yang berperilaku mengasinkan apa apa yang diliputinya. Jika kita tidak mampu berarti diri kita sama dengan garam yang sudah tidak asin lagi. Jika garam sudah tidak asin lagi maka tidak pantas ia mengaku garam atau disebut sebagai garam. Hal yang samapun jika kita tidak mampu menjadikan sifat Ruh/Ruhani menjadi sifat dan perbuatan kita maka kitapun sudah tidak pantas lagi disebut sabagai Khalifah di muka bumi. 

Ayo buktikan jika kita memang pantas menyandang status khalifah Allah SWT di muka bumi dengan selalu berbuat kebaikan sebagai wujud dari pelaksanaan Rukun Iman dan Rukun Islam sekarang juga melalui perbuatan diri kita yang mencerminkan nilai nilai ilahiah yang berasal dari Asmaul Husna. Jika sampai ini terjadi berarti salah satu tujuan dari kekhalifahan di muka bumi berhasil yaitu diri kita mampu menjadi menampilkan penampilan Allah SWT di muka bumi melalui nilai nilai ilahiah yang berasal dari Asmaul Husna. Semoga kita dan anak keturunan kita mampu melakukan hal ini dari waktu ke waktu sepanjang hayat masih di kandung badan. 

B.   MENTAATI ALLAH SWT & RASUL NYA  

Berdasarkan surat Al Anfaal (8) ayat 46 yang kami kemukakan di bawah ini, salah satu bentuk kebaikan yang harus kita laksanakan sebagai wujud dari pelaksanaan ibadah Ikhsan adalah mentaati Allah SWT dan RasulNya. Adanya ketentuan ini berarti Allah SWT menegaskan bahwa mentaati Rasul merupakan bagian daripada mentaati Allah SWT. Jika kita tidak mau mentaati Rasul berarti bertentangan dengan apa yang kehendaki Allah SWT atau keluar dari kehendak Allah SWT. Selanjutnya untuk memudahkan pemahaman ini, akan kami kemukakan hal hal sebagai berikut: Nabi adalah penerima risalah. Rasul adalah penyampai risalah. Nabi dan Rasul berarti penerima dan penyampai risalah dan jika sekarang Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir berarti sudah tidak ada lagi risalah baru sehingga risalah yang ada sudah final dan sempurna.

dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
(surat Al Anfaal (8) ayat 46)

Dan jika sekarang kita diwajibkan untuk mentaati Allah SWT dan Rasul berarti kita wajib mentaati penyampai risalah yang telah dirisalahkan (dalam hal ini risalah yang sudah final dan sempurna dalam hal ini adalah Al Qur’an) dengan tidak mengaku ngaku sebagai Nabi. Rasul yang ada sekarang adalah para pewaris Nabi dalam hal ini ulama, da’i, ustadz, kyai, syeikh, habib dan lain sebagainya. Disinilah letak perbedaan antara Nabi dan Rasul yang wajib kita imani dengan Rasul yang dimaksudkan oleh Allah SWT dalam surat An Anfaal (8) ayat 46 di atas.
    
Di lain sisi, Allah SWT adalah pencipta dan pemilik dari alam semesta ini dan jika ini kondisi Allah SWT berarti segala hukum, segala undang undang, segala peraturan, segala ketentuan yang berlaku di alam semesta ini adalah ketentuan Allah SWT. Dan jika kita tidak pernah merasa menciptakan dan memiliki alam semesta ini berarti kita wajib mempelajari, wajib mentaati, wajib melaksanakan segala ketentuan yang berlaku di alam semesta ini sesuai dengan kehendak Allah SWT. Ini adalah kondisi dasar yang harus kita ketahui jika kita tahu diri. Tahu siapa Allah SWT yang sesungguhnya dan Tahu siapa diri kita yang sebenarnya. 

Sekarang Allah SWT selaku Tuan Rumah telah mengeluarkan perintah, maka kita wajib melaksanakan perintah dimaksud karena dibalik perintah pasti ada kebaikan yang siap diberikan kepada yang diperintah mau melaksanakan perintah. Contohnya, jika Allah SWT melarang untuk berbantah bantahan maka jangan lakukan itu karena akan mengakibatkan diri kita menjadi gentar menghadapi sesuatu serta hilang kekuatan. Selanjutnya jika Allah SWT telah menetapkan adanya larangan maka kita wajib menghentikan atau jangan pernah melanggar larangan dimaksud karena dibalik larangan pasti ada keburukan yang siap diberikan kepada yang melanggar aturan. Ingat, Allah SWT mengeluarkan perintah dan juga larangan kepada diri kita karena Allah SWT sayang kepada diri kita. Sekali lagi, Allah SWT sangat sayang kepada diri kita.

(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka[574]. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.
(surat Al A’raaf (7) ayat 157)

[574] Maksudnya: dalam syari'at yang dibawa oleh Muhammad itu tidak ada lagi beban-beban yang berat yang dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya: mensyari'atkan membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan kisas pada pembunuhan baik yang disengaja atau tidak tanpa membolehkan membayar diat, memotong anggota badan yang melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain yang kena najis.

Agar setiap larangan dan perintah berjalan sesuai dengan kehendak Allah SWT maka Allah SWT menurunkan Nabi dan Rasulnya untuk memberikan contoh secara langsung atas apa apa yang dikehendakinya tersebut. Disinilah salah satu letak dari pentingnya keberadaan Nabi atau Rasul dalam kerangka rencana besar Allah SWT tentang kekhalifahan di muka bumi. Bayangkan jika sampai Allah SWT tidak menurunkan Nabi dan Rasul ke muka bumi, kita tidak akan tahu bagaimana cara bersikap kepada Allah SWT dan tidak tahu cara untuk beribadah kepada Allah SWT?

bagi orang-orang yang memenuhi seruan Tuhannya, (disediakan) pembalasan yang baik. dan orang-orang yang tidak memenuhi seruan Tuhan, Sekiranya mereka mempunyai semua (kekayaan) yang ada di bumi dan (ditambah) sebanyak isi bumi itu lagi besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan kekayaan itu. orang-orang itu disediakan baginya hisab yang buruk dan tempat kediaman mereka ialah Jahanam dan Itulah seburuk-buruk tempat kediaman.
(surat Ar Ra’d (13) ayat 18)

Saat ini, kita telah disiapkan oleh Allah SWT apa yang dinamakan dengan Diinul Islam yang tidak lain konsep Ilahiah untuk kepentingan kekhalifahan di muka bumi yang kesemuanya sudah lengkap. Lalu apakah yang sudah disiapkan oleh Allah SWT untuk diri kita kemudian kita tidak pergunakan untuk kesuksesan hidup di dunia dan akhirat? Berdasarkan surat Ar Ra’d (13) ayat 18 di atas, yaitu adalah pulang kampung ke Neraka Jahannam.

Nabi SAW bersabda, “(Panasnya) api yang kalian (Bani Adam) nyalakan  di dunia ini merupakan sebagian dari tujuh puluh (70) bagian panasnya api Neraka Jahannam.”  Para sahabat bertanya: “Demi Allah! Apakah itu sudah cukup wahai Rasulullah?” Beliau SAW bersabda: “(Belum), sesungguhnya panasnya sebagian yang satu melebihi sebagian yang lainnya sebanyak enam puluh (60) kali lipat.”
(Hadits Riwayat  Muslim no. 2843)

Sekarang bertanyalah ke hati nurani diri  kita sendiri, mampukah kita menahan panasnya api Neraka yang panasnya 70 (tujuh puluh) kali panasnya api yang ada dunia? Sebagai contoh api untuk melebur baja katakan 3000 derajat Celsius lalu dikalikan 70 kali  dan jika ini api yang terpanas lalu mampukah kita menahannya serta jika tidak segeralah menerima dan melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah saat ini juga sesuai dengan kehendak Allah SWT. 

C.   PERSATUAN  VS  PERPECAHAN

Berdasarkan surat Yusuf (12) ayat 100 dan 101 yang kami kemukakan di bawah ini, dimana Allah SWT mengemukakan cerita tentang sejarah Nabi Ayyub as, yang di dalamnya terdapat cerita Nabi Yusuf as, dan saudara saudaranya. Berdasarkan cerita dimaksud terlihat dengan jelas adanya perpecahan diantara anak anak Nabi Ayyub as, yang pada akhirnya terpisahlah Nabi Yusuf as, dengan Nabi Ayyub as, oleh sebab anak anaknya yang tidak mau bersatu dalam suatu persatuan.

Persatuan adalah sebuah kebaikan, sedangkan perpecahan adalah sebuah keburukan. Inilah salah satu pelajaran yang utama yang terdapat di balik cerita Nabi Ayyub as, beserta anak anaknya, terutama dengan Nabi Yusuf as. Persatuan adalah alah satu bentuk dari kebaikan yang harus diraih dan dirasakan serta selalu dipelihara oleh setiap manusia yang ada di muka bumi.

dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud[763] kepada Yusuf. dan berkata Yusuf: "Wahai ayahku Inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu; Sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. dan Sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaKu, ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari dusun padang pasir, setelah syaitan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir mimpi. (ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam Keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.
(Surat Yusuf (12) ayat 100-101)

[763] Sujud disini ialah sujud penghormatan bukan sujud ibadah.

Perpecahan bisa diibaratkan dengan adanya lidi sebatang yang tidak bisa berbuat apa apa, namun apabila lidi yang satu itu dipersatukan menjadi sebuah kumpulan yang menjadi sapu lidi, maka sapu lidi bisa berguna dan bermanfaat untuk membersihkan sesuatu. Sebagai Khalifah di muka bumi, sudahkah persatuan dapat kita wujudkan dalam masyarakat? Jika perpecahan yang kita wujudkan atau perpecahan yang kita usahakan berarti kita harus belajar kepada lidi sebatang yang tidak berguna jika hanya terdiri dari satu lidi saja. Lalu belajarlah untuk menjadi sapu lidi yang bisa bermanfaat setelah dipersatukan dalam satu ikatan. 

Persatuan tidak akan bisa diraih dan dirasakan manfaatnya jika hanya dilakukan sendiri sendiri. Persatuan mengharuskan kesadaran masyarakat untuk melakukan suatu persatuan dalam sebuah ikatan yang kuat berupa pernyataan sikap untuk selalu bersatu dalam satu kesatuan. Contoh nyata untuk Indonesia adalah kemerdekaan Indonesia dapat diraih melalui ikatan terlebih dahulu yaitu adanya Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda merupakan ikatan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu, Indonesia. Adanya ikatan Sumpah Pemuda ini akhirnya mampu menghantarkan Indonesia meraih kemerdekaan.   

Sebagai Khalifah di muka bumi maka kita harus bisa menjadikan diri kita penjaga dari persatuan dan kesatuan, perawat dari persatuan dan kesatuan, pelopor dalam rangka mempertahan persatuan dan kesatuan. Hal ini dikarenakan persatuan dan kesatuan bukan sesuatu yang bersifat statis, namun bersifat dinamis. Persatuan dan kesatuan harus terus dipupuk secara bersama sama karena ia mengikat secara bersama sama pula. Persatuan dan kesatuan bukan pula bersifat individual sehingga tergantung kepada individu tertentu saja. Persatuan dan kesatuan adalah tangggung jawab bersama.

Sekarang apa yang terjadi jika persatuan dan kesatuan dibiarkan berjalan tanpa ada perawatan, tanpa ada penjagaan, tanpa ada pertahanan? Persatuan dan kesatuan bisa hilang atau bahkan hancur ditelan perubahan jaman, dihantam oleh ketidaksenangan serta dirubah karena pengaruh ahwa dan syaitan. Disinilah letak pentingnya mempertahankan persatuan dan kesatuan yang harus dijaga dan dirawat secara bersama sama secara konsisten dari waktu ke waktu. 

Lalu dimanakah letaknya ibadah Ikhsan dalam persolan persatuan dan kesatuan? Persatuan dan kesatuan adalah sesuatu yang dikehendaki oleh Allah SWT sehingga di dalam persatuan dan kesatuan tidak bisa dilepaskan dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT dan Allah SWT sendiri selalu berada bersama persatuan dan kesatuan. Jika kondisi ini sudah terjadi pada persatuan dan kesatuan maka sudah sepatutnya kita mampu berbuat dan bertindak untuk selalu menjadi pelopor, pelaku, penjaga, perawat dari persatuan dan kesatuan dalam hidup dan kehidupan ini. Ingat, kita tidak bisa berbuat sesuatu sendiri seperti halnya lidi hanya satu. Semakin kuat persatuan dan kesatuan maka hasil akhir dari persatuan dan kesatuan menjadi sangat luar biasa.

D.   BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA

Berdasarkan surat Al Ahqaaf (46) ayat 16 dan 17; Surat Al Ankabuut (29) ayat 8 dan surat Al Israa’ (17) ayat 23 sampai 25 di bawah ini, salah satu bentuk kebaikan yang harus kita laksanakan sebagai wujud dari pelaksanaan ibadah Ikhsan yaitu berbakti kepada kedua orang tua tanpa terkecuali. Allah SWT sangat menghormati kedudukan orang tua, dimana setiap anak tanpa terkecuali wajib untuk menghomati dan selalu berbuat kebaikan kepadanya. Allah SWT melarang kepada diri kita untuk berkata “Cis” kepada orang tua. Bayangkan Allah SWT saja melarang berkata “Cis” kepada orang tua, apalagi berbuat keburukan kepadanya.

Saat ini Allah SWT sudah mewajibkan kepada diri kita untuk berbuat kebaikan kepada kedua orang tua, lalu sudahkah kita mampu melaksanakan kewajiban itu dengan baik dan benar? 

mereka Itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.
dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi kamu keduanya, Apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, Padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan: "Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar". lalu Dia berkata: "Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka".
(surat Al Ahqaaf (46) ayat 16 dan 17)

Selain daripada itu, Allah SWT juga sudah mengingatkan kepada diri kita agar berbuat kebaikan kepada kedua orang tua dengan sebaik baiknya. Akan tetapi jika kedua orang tua memaksa kita untuk mempersekutukan Allah SWT dengan sesuatu maka kita dilarang mengikuti perintah orang tua tersebut. Dan jika antara diri kita dengan orang tua berbeda Agama maka kita tetap diwajibkan untuk menghormatinya dan wajib tetap berbuat kebaikan kepadanya. Lalu jika sampai usia ke dua orang tua kita berusia lanjut dalam pemeliharaan kita, kita dilarang mengatakan perkataan “ah” dan jangan pernah membentak mereka melainkan ucapkan kepada mereka perkataan yang mulia serta selalu merendahkan diri dihadapan mereka.

dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya. hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
(surat Al Ankabuut (29) ayat 8)

dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia[850].
dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, Maka Sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.
(surat Al Israa’ (17) ayat 23 s/d 25)

[850] Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.

Anas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah Ta’ala berfirman: Allah SWT telah mewahyukan kepada Nabi Musa: “Jika saja tidak karena mereka yang mengucapkan Syahadat La illaha illa Allah niscaya telah kutimpakan Jahannam di atas dunia. Wahai Musa, jika saja tidak karena mereka yang beribadah kepada Ku niscaya tidaklah Aku lepaskan mereka yang berbuat maksiat sekejap matapun. Wahai Musa, sesungguhnya orang orang beriman kepada Ku mereka itulah makhluk yang termulia dalam pandangan Ku. Wahai Musa, sesungguhnya sepatah kata dari seorang yang durhaka (terhadap kedua orangtuanya) adalah sama beratnya dengan seluruh pasir bumi. Bertanya Nabi Musa: “Siapakah orang durhaka itu wahai Tuhan Ku?” Yaitu orang berkata kepada kedua orang tuanya: Tidak…..tidak” ketika dipanggil.”
(Hadits Qudsi Riwayat Abu Nu’aim; 272:225)

Untuk itu mari kita pelajari apa yang dikemukakan hadits yang kami kemukakan di atas, dimana Allah SWT telah melarang kepada diri kita untuk tidak berkata tidak….. tidak ketika dipanggil oleh orang tua karena sama beratnya dengan seluruh pasir bumi.

Allah SWT juga telah meletakkan ridhaNya dibawah ridha orang tua dan jika ketentuan ini telah ditetapkan oleh Allah SWT berarti salah satu prasyarat untuk memperoleh ridha Allah SWT maka kita harus bisa mendapatkan dan memperoleh ridha orang tua. Sepanjang orang tua ridha kepada diri kita maka keridhan Allah SWT terbuka untuk diri kita. Adanya ketentuan ini terlihat dengan jelas Allah SWT bahwa Allah SWT sangat  menghormati kedudukan orang tua di dalam silsilah keluarga. Saat ini ketentuan ini sudah berlaku di muka bumi ini, untuk itu jangan pernah berharap memperoleh ridha Allah SWT jika kita durhaka kepada orang tua, jika kita menghardik orang tua, jika kita memperbudak orang tua atau menjadikan orang tua sebagai penerima pembayaran zakat kita.

Sekarang katakan kita telah berhasil, bisa menjabat, bisa memiliki harta kekayaan, bisa memiliki pendidikan tinggi, dan lain sebagainya maka apa yang kit raih hari merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan apa apa yang telah dilakukan oleh kedua orang tua kita. Keberhasilan yang kita raih merupakan mata rantai yang tidak bisa dipisahkan dengan kasih sayang, pengayoman, pembiayaan, kecintaan, doa, pengorbanan ke dua orang tua kepada diri kita. Siapapun orangnya pasti menerima hal ini dari ke dua orang tua. Apalagi kita hadir di muka bumi tidak bisa apa apa dan tidak memiliki apa apa. Dan jika sekarang Allah SWT memerintahkan kepada diri kita untuk berbakti kepada ke dua orang tua, hal ini bukanlah sesuatu yang berlebihan karena memang sudah seharusnya kita lakukan kepada ke dua orang tua kita, termasuk kepada ke dua orang mertua kita.

Di lain sisi, ada hal lain yang harus kita jadikan bahan pemikiran yaitu apa yang kita peroleh saat ini tidak bisa dilepaskan dari dan doa dan harapan yang pernah mereka mintakan kepada Allah SWT atau juga kerena perbuatan baik yang pernah mereka lakukan sehingga  memudahkan, menolong, diri kita saat berkarir, saat berkarya dan saat berbuat di masyarakat luas. Itulah orang tua, kadang ia berbuat bukan untuk kepentingan pribadinya namun untuk kepentingan anak dan keturunannya kelak. Dan jika saat ini kita juga telah menjadi orang tua bagi anak anak kita, jangan pernah menciderai kebaikan yang telah kita terima dari kedua orang tua dan mertua kita dengan berbuat keburukan/kejahatan yang mengakibatkan anak dan orang tua kita tercoreng akibat ulah diri kita. Betapa malunya anak, betapa malunya istri/suami, betapa malunya orang tua dan mertua menanggung sesuatu keburukan/kejahatan yang tidak pernah mereka lakukan. Semoga hal ini tidak terjadi pada diri kita dan juga pada anak dan keturunan kita.  

Jangan pernah berfikir berbuat baik kepada kedua orang tua dan kepada kedua orang mertua menjadi beban dalam hidup dan kehidupan kita atau bahkan memberatkan diri kita. Jika saat ini kita mampu berbuat baik kepada orang tua dan mertua  maka hal itu harus kita syukuri karena kesempatan ini tidak bisa dinikmati oleh setiap anak. Adanya kesempatan berbuat baik kepada orang tua dan mertua haruslah menjadikan diri kita bersyukur dan berbahagia karena Allah SWT memberikan kesempatan yang langka kepada diri kita serta secara tidak langsung melaksanakan apa apa yang dikehendaki oleh Allah SWT melalui orang tua dan mertua kita. Jangan sampai diri kita menyesal tidak bisa berbakti kepada orang tua setelah orang tua dan mertua tiada.           
 

E.   PERDAMAIAN

Berdasarkan surat An Nisaa’ (4) ayat 128 yang kami kemukakan di bawah ini, Allah SWT menunjukkan salah satu bentuk kebaikan dalam rumah tangga yaitu adanya perdamaian antar suami dengan istri. Tanpa ada kedamaian antara suami dengan istri maka tidak akan ada pula kebahagiaan rumah tangga serta anak shaleh dan shalehah hanyalah mimpi belaka. Kehancuran rumah tangga ada di depan mata. Adanya kedamaian akan menghantarkan kita kepada kehidupan keluarga yang sakinah ma waddah wa rahmah.  

dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz[357] atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya[358], dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir[359]. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(Surat An Nisaa (4) ayat 128)

[357] Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya.
[358] Seperti isteri bersedia beberapa haknya dikurangi Asal suaminya mau baik kembali.
[359] Maksudnya: tabi'at manusia itu tidak mau melepaskan sebahagian haknya kepada orang lain dengan seikhlas hatinya, Kendatipun demikian jika isteri melepaskan sebahagian hak-haknya, Maka boleh suami menerimanya.

Adanya kedamaian keluarga, maka akan melahirkan kedamaian lingkungan sekitar, yang pada akhirnya mampu menghantarkan kedamaian suatu daerah dan seterusnya mampu menjadikan suatu negara yang aman dan damai. Sekarang bagaimana mungkin kita berharap suatu kedamaian jika pertengkaran yang selalu terjadi, baik dalam skala rumah tangga ataupun dalam skala nasional? Ingat, perdamaian bukanlah input melainkan ouput dari serangkaian input yang diproses dengan cara yang baik dan benar.

Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan[1020].
(surat Al Mu’minuun (23) ayat 96)

[1020] Maksudnya: perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan kaum musyrikin yang tidak baik itu hendaklah dihadapi oleh Nabi dengan yang baik, umpama dengan memaafkannya, Asal tidak membawa kepada Kelemahan dan kemunduran dakwah.

Untuk maksud tersebut diatas, Allah SWT melalui surat Al Mu’minuun (23) ayat 96 di atas mengemukakan salah satu caranya, yaitu jangan pernah membalas perbuatan buruk dengan perbuatan buruk. Api hanya bisa dipadamkan dengan Air. Jika kuku kita panjang jangan jari yang dipotong tetapi potonglah kukunya saja. Jika ada persoalan dengan orang lain, selesaikan persoalannya, bukan orangnya yang diselesaikan. Balaslah perbuatan buruk dengan perbuatan baik yang diikuti dengan memaafkan orang yang berbuat keburukan tersebut lalu berdamailah dengan mereka.

Sebagai Khalifah di muka bumi yang membutuhkan ibadah Ikhsan yang tidak lain adalah cerminan diri kita, berarti kita harus bisa menjadi pelopor pelopor perdamaian, kita harus bisa menjadi penengah penengah pertengkaran, serta harus menjadi pemelihara, perawat dari perdamaian selama hayat masih di kandung badan. Jika sampai diri kita justru menjadi pembuat keonaran, pembuat kerusakan, perusak persatuan, berarti kitalah menjadi sumber masalah dalam masyarakat. Dan jangan salahkan syaitan jika kita menjadi kawan yang dikehendaki oleh Syaitan sang laknatullah.Sekarang apa yang bisa kita nikmati jika kita hidup dalam suatu negara jika di dalam negara itu tidak ada kedamaian dan perdamaian? Jika kita tidak menghendaki kondisi hidup dalam suasana tidak ada kedamaian dan perdamaian maka tidak ada jalan lain kita harus mampu menjadi pelopor, perawat, penjaga dari perdamaian yang sudah ada saat dan berusaha untuk  meningkatkan kualitas perdamaian. Ayo segera bertindak dan berbuat sebelum segala sesuatunya terlambat. 

F.    MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH SWT

Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 195 yang kami kemukakan di bawah ini, salah satu bentuk kebaikan yang harus kita laksanakan sebagai wujud dari pelaksanaan ibadah Ikhsan adalah membelanjakan harta kekayaan atau penghasilan di jalan Allah SWT apakah melalui  infaq, melalui shadaqah, atau melalui wakaf.  Hal yang harus kita pahami dengan benar adalah kita datang ke muka bumi tidak memiliki apa apa, lalu mempergunakan dan mendayagunakan apa apa yang dimiliki oleh Allah SWT seperti udara, air, tanah, tumbuhan, ruh, jasmani dan lain sebagainya dengan cuma cuma. Sekarang coba kita bayangkan jika sampai Allah SWT selaku pemilik dan pencipta oksigen yang kita hirup meminta bayaran kepada kita, apakah kita sanggup membayarnya? 

dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
(surat Al Baqarah (2) ayat 195)

Disinilah letaknya bagaimana kita wajib mengetahui dengan pasti tentang kondisi dasar diri kita yang tidak bisa berbuat apa apa dan juga tidak memiliki apa apa saat hadir di muka bumi, lalu setelah kita memiliki apa apa karena mempergunakan dan mendayagunakan apa apa yang dimiliki Allah SWT lalu kita diam saja dengan itu semua? Sebagai orang yang telah mampu melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah, tentunya kita harus bisa menunjukkan rasa bersyukur kita kepada Allah SWT dengan melakukan ibadah Ikhsan melalui membelanjakan harta kekayaan ataupun  penghasilan di jalan Allah SWT melalui infaq, melalui shadaqah atau melalui wakaf.

(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
(surat Ali Imran (3) ayat 134)

Lalu kapankah kita harus membelanjakan harta kekayaan atau penghasilan diri kita di jalan Allah SWT tersebut? Allah SWT melalui surat Ali Imran (3) ayat 134 menunjukkannya yaitu kita bisa membelanjakannya tidak hanya pada saat lapang  juga di saat sempitpun kita harus membelanjakannya. Adanya dua buah kondisi yang berbeda (lapang dan sempit) maka dampak bagi yang melakukannya pun akan berbeda pula, terutama pahala dari nilai kebaikan sanagt tergantung dengan kondisi lapang ataupun kondisi sempit.   

Hal yang harus kita jadikan pedoman adalah belum pernah ada di dalam kehidupan di dunia ini, seseorang jatuh miskin karena ia membelanjakan harta atau penghasilannya setelah melakukan infaq, setelah bersedekah ataupun setelah menunaikan wakaf. Jika kondisi ini tidak pernah terjadi kenapa kita harus takut berbuat kebaikan melalu infaq, melalui shadaqah dan melalui wakaf dalam kerangka melaksanakan ibadah Ikhsan? 

Sepanjang harta kekayaan atau penghasilan di dapat dengan cara cara halal lagi diridhai Allah SWT tidak ada alasan untuk tidak mau berbagi kepada sesama umat manusia melalui infaq, shadaqah dan wakaf. Terkecuali jika harta kekayaan ataupun penghasilan itu berasal dari yang haram lagi dikehendaki oleh syaitan maka kesemuanya akan berakhir dengan kemudharatan, untuk berfoya foya, untuk berjudi dan lain sebagainya. Sekarang bertanyalah kepada diri sendiri, halalkah atau haramkah harta kekayaan atau penghasilan yang kita miliki saat ini, karena dampaknya sangat berbeda. 

dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, Padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekkah). mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(surat Al Hadiid (57) ayat 10)


Berdasarkan surat Al Hadiit (57) ayat 10 di atas, Allah SWT mengemukakan siapakah yang mempunyai langit dan bumi ini? Jika Allah SWT yang memiliki langit dan bumi ini maka ketentuan dan hukum Allah SWT lah yang wajib berlaku di muka bumi ini. Sekarang jika sampai diri kita tidak mau menafkahkan atau membelanjakan harta kekayaan atau penghasilan di jalan Allah SWT saat di muka bumi, bertanyalah kepada diri sendiri siapakah yang mempusakai atau yang memiliki langit dan bumi ini, lalu siapakah yang lebih tinggi derajatnya apakah diri kita ataukah Allah SWT?  Jika kita termasuk orang yang tahu diri berarti kita harus mentaati segala ketentuan dan hukum Allah SWT saat hidup di  muka bumi ini lalu membelanjakan harta kekayaan atau penghasilan di  jalan Allah SWT semaksimal mungkin.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar