Diinul Islam berdasarkan surat Ar Ruum (30) ayat 30 yang
kami kemukakan di bawah ini, bukanlah sekedar dimaknai sebagai Agama Islam semata. Diinul Islam
adalah sebuah konsep Ilahiah yang diciptakan dari Fitrah Allah SWT oleh Allah
SWT untuk kepentingan rencana besar Allah SWT yaitu kekhalifahan yang ada di
muka bumi. Agar kekhalifahan yang ada di muka ini selalu di dalam konsep
kefitrahan maka Allah SWT memerintahkan kepada seluruh khalifahnya untuk
menghadapkan wajahnya kepada Diinul Islam dengan lurus.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui [1168],
(surat Ar Ruum (30) ayat 30)
[1168] Fitrah Allah:
Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama
Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu
tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh
lingkungan.
Selanjutnya masih berdasarkan surat Ar Ruum (30)
ayat 30 di atas, Allah SWT menegaskan bahwa manusia (dalam hal ini Nass) juga
diciptakan menurut Fitrah Allah SWT sama dengan Diinul Islam yang juga
diciptakan dari Fitrah. Adanya kondisi ini jika manusia (maksudnya adalah Nass)
diperintahkan untuk menghadapkan wajahnya dengan lurus kepada Diinul Islam
berarti fitrah yang ada pada manusia (maksudnya adalah Nass) disambungkan
dengan fitrah yang ada di dalam Diinul Islam sehingga manusia berada di dalam
fitrah Allah SWT. Adanya keadaan ini maka terjadilah apa yang dinamakan dengan segitiga yang tidak
terpisahkan antara manusia, termasuk di dalamnya diri kita (maksudnya adalah Nass)
dengan Fitrah Allah SWT melalui Diinul Islam yang juga berasal dari Fitrah
Allah SWT.
Inilah konsep dasar yang harus kita pahami dengan baik
dan benar bahwa diri kita yang sesungguhnya adalah Nass (dalam ini adalah Ruh/Ruhani)
jangan pernah dipisahkan dengan asal
usulnya dalam hal ini Fitrah Allah SWT melalui Diinul Islam yang juga berasal
dari Fitrah Allah SWT. Jika sampai Nass
(Ruh/Ruhani diri kita) dipisahkan dengan Diinul Islam dan juga dengan Fitrah
Allah SWT maka terjadilah proses hilangnya kefitrahan dalam diri sehingga
konsep datang fitrah kembali fitrah tidak akan pernah terjadi. Padahal kita
syarat untuk bertemu dengan Allah SWT selaku Dzat Yang Maha Fitrah adalah
datang fitrah kembali fitrah.
Disinilah letak betapa diri kita sangat membutuhkan
Diinul Islam yang berasal dari Fitrah Allah SWT yang bukan sebatas diartikan
sebagai Agama Islam semata. Namun Diinul Islam wajib kita letakkan dan
tempatkan sebagai konsep ilahiah yang berasal dari Fitrah Allah SWT untuk
kepentingan yang hakiki bagi diri kita yang sesungguhnya.
Abu Hurairah r.a. berkata: Pada suatu hari ketika Nabi SAW duduk
bersama sahabat, tiba-tiba datang seorang bertanya: Apakah Iman? Jawab Nabi
SAW: Iman ialah percaya pada Allah, dan Malaikat-Nya, dan akan berhadapan
kepada Allah, dan pada Nabi utusan-Nya dan percaya pada hari bangkit dari
kubur. Lalu ditanya; Apakah Islam? Jawab Nabi SAW; Islam ialah menyembah kepada
Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan mendirikan
sembahyang. Lalu bertanya: Apakah Ihsan? Jawab Nabi SAW: Ihsan ialah menyembah
pada Allah seakan-akan anda melihat-Nya, maka jika tidak dapat melihat-Nya,
ketahuilah bahwa Allah melihatmu. Lalu bertanya: Bilakah hari qiyamat? Jawan
Nabi SAW: Orang yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang menanya,
tetapi saya memberitakan padamu beberapa syarat (tanda-tanda) akan tibanya hari
qiyamat, yaitu jika budak sahaya telah melahirkan majikannya, dan jika
penggembala onta dan ternak lainnya telah berlomba membangun gedung-gedung,
termasuk dalam lima macam yang tidak dapat mengetahuinya kecuali Allah, yang
tersebut dalam ayat: "Sesungguhya hanya Allah yang mengetahui, bilakah
hari qiyamat, dan Dia pula yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang di
dalam rahim ibu, dan tiada seorangpun
yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari, dan tidak seorang pun yang
mengetahui di manakah ia akan mati. Sesungguhnya Allah maha mengetahui
sedalam-dalamnya".Kemudian pergilah orang itu. Lalu Nabi SAW menyuruh
sahabat: Kembalikanlah orang itu! Tetapi sahabat tidak melihat bekas orang itu.
Maka Nabi SAW bersabda: Itu Malaikat Jibril datang untuk mengajarkan agama
kepada manusia.
(Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Al-Lu'lu Wal Marjan: No.5)
Saat ini sampai dengan hari kiamat kelak Diinul
Islam sebagai konsep ilahiah sudah ada dan sudah berlaku di muka bumi ini.
Diinul Islam yang tidak lain adalah konsep ilahiah untuk kepentingan hakiki
diri kita terdiri dari 3(tiga) ketentuan pokok yaitu ketentuan tentang Rukun
Iman, ketentuan tentang Rukun Islam dan ketentuan tentang Ikhsan. Dimana
ketiganya tidak dapat dipisahkan oleh sebab apapun juga. Apa maksudnya? Adanya
ketentuan di atas, maka kita tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan Rukun Iman
saja dengan mengabaikan ketentuan Rukun Islam dan Ikhsan. Demikian pula
sebaliknya kita tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan Rukun Islam saja dengan
mengabaikan ketentuan Rukun Iman dan Ikhsan, atau kita tidak bisa melaksanakan
ketentuan Ikhsan saja dengan mengabaikan ketentuan Rukun Iman dan Rukun Islam. Iman, Islam, Ikhsan
adalah tiga kata yang maknanya saling berkaitan.
Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh
yang nyata bagimu.
(surat Al
Baqarah (2) ayat 208)
Begitulah jika dilihat
dari segi aspek lahirnya, maka agama yang diajarkan oleh Malaikat Jibril
adalah islam.
Agama juga disebut iman jika yang diamati adalah aspek bathinnya.
Kemudian agama baru disebut ikhsan jika aspek bathin (iman)
dan lahirnya (amal saleh) telah dipenuhi secara utuh dan sempurna. Sehingga ketiganya tidak
terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Apa contohnya? Contohnya
perintah mendirikan Shalat, dimana perintah mendirikan Shalat juga tidak bisa
dipisahkan dengan ketentuan Rukun Islam yang lainnya seperti Syahadat, Puasa,
Zakat, Haji serta ketentuan Rukun Iman dan ketentuan Ikhsan. Adanya kondisi ini
berarti :
a. kita tidak
bisa hanya mendirikan Shalat saja dengan mengabaikan ketentuan Diinul Islam
yang lainnya, atau
b. kita tidak
bisa hanya melaksanakan ketentuan tentang Syahadat saja dengan mengabaikan
ketentuan Diinul Islam yang lainnya, atau
c. kita tidak
bisa hanya melaksanakan ketentuan Zakat saja dengan mengabaikan ketentuan
Diinul Islam yang lainnya, atau
d. kita tidak
bisa hanya melaksanakan ketentuan Puasa saja dengan mengabaikan ketentuan
Diinul Islam yang lainnya, atau
e. kita tidak
bisa hanya melaksanakan ketentuan Haji saja dengan mengabaikan ketentuan Diinul
Islam yang lainnya, atau
f. kita tidak
bisa hanya melaksanakan Rukun Iman saja dengan mengabaikan ketentuan Diinul
Islam yang lainnya, atau
g. kita tidak
bisa hanya melaksanakan Ikhsan saja dengan mengabaikan ketentuan Rukun Iman dan
Rukun Islam.
Adanya kondisi dasar yang seperti ini maka kita
harus mampu melaksanakan Diinul Islam secara satu kesatuan yang tidak
terpisahkan (maksudnya adalah melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah) jika
kita ingin selalu sesuai dengan kehendak Allah SWT, atau sesuai dengan fitrah
Allah SWT dari waktu ke waktu selama Ruh/Ruhani belum berpisah dengan Jasmani.
Ibadah Ikhsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang
senantiasa menjadi target seluruh umat manusia. Hal ini dikarenakan ibadah
Ikhsan akan menjadikan kita menjadi sosok yang mendapatkan kemuliaan dihadapan
Allah SWT. Sebaliknya, apabila diri kita tidak mampu mencapai target ini akan
kehilangan kesempatan yang sangat berharga yaitu menduduki posisi terhormat
dihadapan Allah SWT.
Nabi Muhammad SAW sangat menaruh perhatiaan akan hal
ini, sehingga seluruh ajaran ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai
ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia. Oleh karenanya, seorang mukmin
hendaknya tidak memandang ibadah Ikhsan itu hanya sebatas akhlak yang utama saja,
melainkan harus dipandang sebagai bagian dari Aqidah dan bagian terbesar dari
keislamannya. Ingat Diinul Islam dibangun di atas tiga landasan utama yaitu
Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhasan.
dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
(surat Al Baqarah (2) ayat 195)
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.
(surat An Nahl (16) ayat 90)
Ibadah Ikhsan
dapat dikatakan pula sebagai buah atau hasil dari pelaksanaan Rukun Iman
dan Rukun Islam yang telah kita laksanakan yang akan tercermin dari seberapa
tinggi perbuatan baik atau kebaikan yang telah kita lakukan selama menjalankan
tugas sebagai Khalifah di muka bumi, yang kesemuanya terbukti saat diri kita
melaksanakan Habblum Minannass. Semakin baik dan tinggi kualitas Rukun Iman dan
Rukun Islam yang kita laksanakan maka semakin tinggi pula tingkat kualitas
Ikhsan yang telah kita laksanakan, atau yang tercermin di dalam diri kita,
demikian pula sebaliknya.
Disinilah letak daripada “Islam Rahmat Untuk Semua”
dimana setiap orang yang telah mengaku melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah
maka ia wajib berguna bagi orang lain sehingga terlihatlah dengan jelas bahwa
Islam adalah baik tidak hanya bagi pemeluknya saja namun juga baik bagi seluruh
umat manusia. Selain daripada itu ibadah Ikhsan merupakan bukti dari hasil
menunaikan Habblum Minallah yang tercermin di dalam Habblum Minannass.
Seseorang tidak bisa dikatakan telah mampu melaksanakan ibadah Habblum Minallah
jika tidak tercermin di dalam ibadah Habblum Minanass.Agar diri kita mampu mempertunjukkan
Habblum Minallah tercermin di dalam Habblum Minanass, berikut ini akan kami
berikan sebuah renungan dan pelajaran dari Nabi Musa, as, yaitu:
Pada
suatu saat Nabi Musa as berkomunikasi dengan Allah SWT. Nabi Musa
as.: "Wahai Allah aku sudah melaksanakan ibadah. Lalu manakah
ibadahku yang membuat engkau senang?".
Allah SWT: “Syahadat mu itu untuk dirimu sendiri, karena dengan engkau
bersyahadat maka terbukalah pintu bagimu untuk bertuhankan kepada Ku. Allah
SWT: "Shalat mu bukan untuk Ku tetapi untukmu sendiri, karena dengan
kau mendirikan shalat, engkau terpelihara dari perbuatan keji dan munkar.
Dzikir? Dzikirmu itu membuat hatimu menjadi tenang. Puasa ? Puasamu itu melatih
dirimu untuk memerangi hawa nafsumu". Zakat itu untuk membersihkan apa apa
yang telah engkau miliki. Menunaikan Haji untuk menjadikan kamu menjadi lebih
dekat kepada Ku setelah berkunjung kerumah Ku.
Nabi Musa as, :
"lalu apa ibadahku yang membuatmu senang ya Allah?" Allah
SWT: "Sedekah, Infaq, Wakaf serta akhlaqul karimah-mu yang
menceriminkan Asmaul Husna. Itulah yang membuat aku senang, Karena tatkala
engkau membahagiakan orang yang sedang susah, aku hadir disampingnya. Dan aku
akan mengganti dengan ganjaran kepadamu”.
perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka
tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut
pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka
memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(surat Al Baqarah (2) ayat 261 dan 262)
[166] Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah
meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit,
usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Apabila kita hanya sibuk
dengan ibadah ritual semata dan bangga akan itu (maksudnya sibuk dengan ibadah
Habblum Minannallah) maka itu tandanya kamu hanya mencintai dirimu sendiri
(egois), bukan cinta kepada Allah SWT. Akan tetapi, bila kita berbuat dan
berkorban untuk orang lain serta melunakkan hati untuk kepentingan orang lain
maka itu tandanya kita mencintai Allah SWT dan tentu Allah SWT senang
karenanya. Buatlah Allah SWT senang maka Allah SWT akan limpahkan rahmat-Nya
dengan membuat hidupmu lapang dan bahagia. Jangan lupa jadikan perintah yang
telah diperintahkan oleh Allah SWT kepada diri kita sebagai sebuah kebutuhan
karena ini adalah kunci kesuksesan hidup di dunia dan akhirat kelak. Ingat,
dibalik diri kita melaksanakan setiap perintah Allah SWT yang telah
diperintahkan kepada diri kita disana
ada ketertundukan dan kepatuhan kepada Allah SWT.
Sebagai
Khalifah di muka bumi, jangan sampai diri kita hanya mampu Habblum Minallah
semata, tanpa bisa membuktikan saat melaksanakan Habblum Minannass, atau kita
harus bisa melaksanakan Habblum Minannass yang sesuai dengan konsep Habblum
Minallah. Timbul pertanyaan, kapan kita harus melaksanakan itu semua?
Melaksanakan Habblum Minallah dan Habblum Minannass harus kita laksanakan saat
hidup di dunia karena hanya pada saat itulah kita diberi kesempatan untuk
membuktikan itu semua dihadapan Allah SWT sebelum akhirnya kita mempertanggung jawabkan
itu semua kelak dikemudian hari.
Sebagai Khalifah Allah SWT yang membutuhkan Diinul Islam berarti hasil
dari pelaksanaan Diinul Islam tidak hanya dapat kita rasakan secara personal
semata. Akan tetapi keluarga, anak keturunan, masyarakat, bangsa dan negara
juga wajib memperolah dampak positif dari keberhasilan diri kita melaksanakan
Diinul Islam secara Kaffah. Sekarang jika hanya diri kita saja yang
merasakan dampak positif dari pelaksanaan Diinul Islam berarti kita egois yang
hanya mementingkan diri sendiri. Sikap egois merupakan sifat yang dikehendaki
oleh Syaitan sang laknatullah. Untuk itu kita wajib menujukkan dan melaksanakan
ibadah Ikhsan sebagai cerminan diri kita yang berguna bagi masyarakat luas.
Ingat, sebaik baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain dan inilah
yang dikehendaki oleh Allah SWT melalui ibadah Ikhsan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar