Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Minggu, 12 Maret 2017

CIRI ORANG YANG TELAH MENUNAIKAN ZAKAT


Sebuah perintah yang berkmakna hakiki yang telah diperintahkan kepada diri kita dapat dipastikan perintah itu sendiri bukanlah tujuan akhir. Perintah adalah sarana atau alat bantu bagi yang diperintah untuk mencapai, merasakan, mendapatkan makna yang hakiki  yang terdapat dibalik perintah. Sebagai contoh melaksanakan perintah mandi adalah sarana atau alat bantu bagi diri kita untuk memperoleh, merasakan sehat dan segar sehingga mandi itu sendiri bukanlah tujuan utama dari melaksanakan perintah mandi. Mandi hanyalah sarana bagi diri kita untuk mendapatkan dan merasakan sehat dan segar. Hal yang samapun berlaku kepada perintah menunaikan Zakat, yang tidak lain menunaikan Hak Allah SWT, merupakan sarana atau alat bantu kita untuk memperoleh, merasakan, mendapatkan makna yang hakiki yang terdapat dibalik perintah menunaikan Zakat (lihat pembahasan hikmah menunaikan Zakat).

Sebagai orang yang telah diperintahkan untuk menunaikan Zakat yang tidak bisa dipisahkan dengan pelaksanaan Diinul Islam secara kaffah, harus mendorong diri kita untuk memperoleh, merasakan dan mendapatkan hakikat dari menunaikan zakat yang kesemuanya harus tercermin di dalam diri kita. Jika tidak berarti ada yang salah di dalam pelaksanaan perintah yang telah diperintahkan kepada diri kita. Agar diri kita selalu berada di dalam koridor memperoleh, merasakan dan mendapatkan makna yang hakiki dari menunaikan hak Allah SWT. Berikut ini akan kami kemukakan beberapa ciri yang harus menjadi bukti nyata setelah diri kita sukses menunaikan Hak Allah SWT sebagai sebuah kebutuhan diri, yaitu :

A.    HABBLUM MINALLAH YANG TERCERMIN DALAM HABBLUM MINANNASS

Salah satu bukti yang harus menjadi ciri orang yang telah mampu mendirikan Shalat dan menunaikan hak Allah SWT adalah mampu membuktikan, mampu memperlihatkan hasil akhir dari melaksanakan Habblum Minallah harus tercermin saat melakukan hubungan dengan sesama manusia (Habblum Minannass) sehingga diri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara mampu merasakan buah dari hasil kedekatan kita kepada Allah SWT atau dengan kata lain keberadaan diri kita di tengah masyarakat bukanlah menjadi beban bagi masyarakat melainkan berkah bagi masyarakat.

Sekarang katakan diri kita sudah mampu Habblum Minallah, berarti saat ini kita sedang mensinergikan Ruhani kita dengan Allah SWT, kita sedang mensinergikan Amanah yang 7 yang ada pada diri kita dengan sifat Ma’ani Allah SWT yang 7 serta kita juga sedang mensinergikan Sibghah Asmaul Husna yang menjadi sifat alamiah Ruh diri kita dengan Asmaul Husna Allah SWT.  Akan tetapi jika proses sinergi yang telah kita lakukan dengan Allah SWT tidak dapat dikatakan berjalan sesuai dengan kehendak Allah SWT jika apa-apa yang  telah tersambung dengan Allah SWT, jika apa-apa yang telah bersinergi dengan Allah SWT, tidak mampu kita tunjukkan di dalam perbuatan kepada  sesama umat manusia secara utuh.

“Tiap-tiap sesuatu ada zakatnya (penyuciannya). Zakat harta ialah sedekah kepada fakir miskin dan yang membutuhkan lainnya. Zakat kekuatan ialah membela kaum dhuafa yang teraniaya. Zakat argumentasi dan kefasehan lidah ialah mengokohkan hujjah dan dalil-dalil agama. Dan Zakat ilmu pengetahuan adalah dengan mengajarkan ilmunya kepada orang lain”.
(Alim Ulama)

Untuk maksud itu maka kita harus bisa menghilangkan saat ini juga  konsep untung rugi di dalam berbuat dan bertindak, jika baik untuk diri, keluarga serta kelompok kita kerjakan. Jika buruk untuk diri, keluarga serta kelompok ambil untungnya buang ruginya ke tempat lain. Selain daripada itu konsep menyembunyikan sesuatu saat mengajarkan sesuatu hilang atau tidak berlaku lagi, yang ada hanyalah Ikhlas berbuat karena Allah SWT semata tanpa ada udang di balik batu.

Orang yang mampu mendirikan Shalat dan Menunaikan Zakat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT yaitu mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar yang tercermin dari perbuatan diri kita yang selalu bermanfaat bagi orang lain. Hal ini dikarenakan melalui Shalat yang kita dirikan dan Zakat yang kita tunaikan berarti kita telah berusaha untuk mensinergikan Ruh/Ruhani dan Amanah yang 7 yang berasal dari Allah SWT dengan Kebesaran dan Kemahaan Allah SWT yang mengakibatkan diri kita selalu berada di dalam Kemahaan dan Kebesaran Allah SWT. Hasil akhir dari ini adalah Ruh/Ruhani mampu mengalahkan Jasmani atau kondisi jiwa manusia masuk dalam kategori Jiwa Taqwa yang dibarengi keberadaan diri kita berguna bagi masyarakat.


bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(surat Al Ankaabut (29) ayat 45)

Selanjutnya jika ini yang terjadi maka pengaruh-pengaruh negatif yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan yang berasal dari sifat-sifat Jasmani dapat kita kalahkan atau dapat kita hilangkan sehingga yang ada adalah Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari Ruhani. Apa contohnya? Malas yang dibawa Jasmani hilang menjadi Produktif, Pelit yang dibawa Jasmani hilang menjadi Dermawan, Keji dan Mungkar yang dibawa Jasmani hilang menjadi Kasih Sayang kepada sesama, demikian seterusnya sesuai dengan Asmaul Husna yang dimiliki oleh Allah  SWT. Jika sudah demikian keadaannya berarti Nila-Nilai Kebaikan akan selalu menyertai individu-individu yang telah mendirikan Shalat dan menunaikan Zakat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Sekarang bagaimana jika setelah mendirikan Shalat dan Menunaikan Zakat, justru perbuatan korupsi, kolusi, nepotisme, pembalakan liar, menipu, menyebarkan fitnah, melakukan tindakan keji dan mungkar, mementingkan golongan tidak juga hilang dalam kehidupan kita atau Nilai-Nilai Keburukan yang disukai oleh Syaitan masih tetap kita lakukan bahkan kualitasnya malah meningkat dari waktu ke waktu? Jika apa yang kami kemukakan diatas masih tetap kita lakukan setelah mendirikan Shalat dan Menunaikan Zakat belum sesuai dengan kehendak Allah SWT ada sesuatu yang salah di dalam Shalat dan Zakat yang kita laksanakan.

Agar diri kita mampu mempertunjukkan Habblum Minallah tercermin di dalam Habblum Minanass, berikut ini akan kami berikan sebuah renungan dan pelajaran dari Nabi Musa, as, yaitu:  Pada suatu saat Nabi Musa as berkomunikasi dengan ALLAH SWT. Nabi Musa as.: "Wahai Allah aku sudah melaksanakan ibadah.Lalu manakah ibadahku yang membuat engkau senang?"                       Allah SWT: “Syahadat mu itu untuk dirimu sendiri, karena dengan engkau bersyahadat maka terbukalah pintu bagimu untuk bertuhankan kepada Ku. Allah SWT: "Shalat mu bukan untuk Ku tetapi untukmu sendiri, karena dengan kau mendirikan shalat, engkau terpelihara dari perbuatan keji dan munkar. Dzikir? Dzikirmu itu membuat hatimu menjadi tenang. Puasa ? Puasamu itu melatih dirimu untuk memerangi hawa nafsumu". Zakat itu untuk membersihkan apa apa yang telah engkau miliki. Menunaikan Haji untuk menjadikan kamu menjadi lebih dekat kepadaKu setelah berkunjung kerumahKu.

Nabi Musa as: "Lalu apa ibadahku yang membuatmu senang ya Allah?" Allah SWT: "Sedekah, Infaq, Wakaf serta akhlaqul karimah-mu yang menceriminkan Asmaul Husna. Itulah yang membuat aku senang, Karena tatkala engkau membahagiakan orang yang sedang susah, aku hadir disampingnya. Dan aku akan mengganti dengan ganjaran kepadamu”.

perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(surat Al Baqarah (2) ayat 261 dan 262)

[166] Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Bila kamu sibuk dengan ibadah ritual dan bangga akan itu maka itu tandanya kamu hanya mencintai dirimu sendiri, bukan Allah. Tapi, bila kau berbuat dan berkorban untuk orang lain serta melunakan hatimu kepada orang lain. Maka itu tandanya kau mencintai Allah dan tentu Allah senang karenanya. Buatlah Allah senang maka Allah akan limpahkan rahmat-Nya dengan membuat hidupmu lapang dan bahagia. Tentu jangan lupa sebelumnya engkau selesaikan kewajiban kepada Allah, walaupun itu merupakan kebutuhan kita sebagai hambanya, karena kewajiban kepada Allah merupakan kunci dari mencintai dan kesenangan Allah kepada kita.

Sebagai Khalifah di muka bumi, jangan sampai diri kita hanya mampu Habblum Minallah semata, tanpa bisa membuktikan saat melaksanakan Habblum Minannass, atau kita harus bisa melaksanakan Habblum Minannass yang sesuai dengan konsep Habblum Minallah. Timbul pertanyaan, kapan kita harus melaksanakan itu semua? Melaksanakan Habblum Minallah dan Habblum Minannass harus kita laksanakan saat hidup di dunia karena hanya pada saat itulah kita diberi kesempatan untuk membuktikan itu semua dihadapan Allah SWT sebelum akhirnya kita mempertanggung jawabkan itu semua.

Selanjutnya jika semua orang yang telah Ma’rifatullah mampu melaksanakan Habblum Minallah dan Habblum Minannass secara selaras, serasi dan seimbang, terjadilah apa yang dinamakan dengan Gemah Ripah Loh Jinawi, Masyarakat Madani serta tidak akan terjadi apa yang dinamakan dengan kesenjangan sosial. Dan jika sekarang yang terjadi adalah sebaliknya, seperti jurang yang kaya dan yang miskin sangat jauh, korupsi, kolusi serta nepotisme semakin merajalela, ketidakadilan semakin menjadi-jadi, kampanye hitam semakin tumbuh subur, berarti Ma’rifatullah yang telah kita lakukan belum sesuai dengan kehendak Allah SWT, atau ada sesuatu yang salah di dalam Ma’rifatullah yang kita lakukan.

B.     SESUAI KATA dengan PERBUATAN

Bukti yang harus ada di dalam diri setelah kita mampu mendirikan shalat dan menunaikan zakat adalah sesuai kata dengan perbuatan, atau kita harus bisa membuktikan apa-apa yang telah kita katakan atau nyatakan dengan perbuatan yang kita lakukan. Sebagai contoh, jika kita hanya mengaku-ngaku Jujur tanpa pernah dibuktikan, tentu hal ini tidak dapat dijadikan patokan bahwa diri kita adalah seorang yang Jujur. Untuk itu kejujuran yang ada pada diri kita harus dibuktikan terlebih dahulu di tengah masyarakat barulah timbul kepercayaan orang terhadap kejujuran yang kita miliki. Adanya kondisi seperti ini menunjukkan bahwa apa yang kita katakan baru dapat dipercayai oleh orang lain sepanjang apa yang kita katakan tersebut sesuai dengan apa yang kita perbuat.

Tanpa ada kesesuaian Kata dengan Perbuatan maka apa-apa yang telah kita katakan tidak akan dapat memberikan dampak positif di masyarakat tentang apa yang kita katakan tersebut. Untuk itulah penilaian kejujuran harus diperoleh dan didapat dari orang lain atau harus berasal dari pihak ke tiga. Setelah memiliki predikat Jujur lalu selamanyakah kita akan Jujur? Jujur yang ada di dalam diri tidak selamanya bisa bertahan dari waktu ke waktu, untuk itu Kejujuran harus terus dibina dan dipertahankan dari waktu ke waktu. Tanpa ada perawatan dan tanpa ada pembinaan tentang kejujuran yang kita miliki maka kejujuran yang ada pada diri kita kemungkinan akan luntur atau bahkan hilang.


Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,
dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(surat Al Jumu'ah (62) ayat 2-3)

Hal yang harus kita perhatikan adalah, jika kita telah mampu mendirikan Shalat dan menunaikan Zakat maka antara kata dan perbuatan haruslah seiring dan sejalan. Jangan sampai Kata yang kita ucapkan adalah Iman dan Yakin kepada Allah SWT namun Perbuatan yang kita lakukan tidak mencerminkan apa-apa yang telah kita Katakan tersebut.

Untuk itu kita harus dapat membuktikan Keimanan dan Keyakinan kepada Allah SWT yang telah kita ikrarkan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang mendukung apa-apa yang telah kita Katakan. Ingat, Allah SWT Maha Tahu dengan apa yang kita ucapkan dan Allah SWT juga Maha Tahu dengan apa yang kita perbuat. Adanya kemampuan Allah SWT yang mengetahui itu semua maka Allah SWT tidak akan pernah mampu dibohongi, atau  Allah SWT tidak akan pernah mampu ditipu jika kita hanya berpura-pura Iman dan Yakin.

Sekarang kita sudah menyatakan Allah Maha Besar saat mendirikan shalat, lalu sudahkah hal ini menjadi pernyataan sikap kita yang menunjukkan bahwa diri kita kecil setelah menyatakan Allah Maha Besar? Jika kita masih bersikap sombong setelah menyatakan Allah Maha Besar berarti kata dan perbuatan kita tidak sesuai. Jika kita sudah menyatakan sikap bahwa Allah Maha Besar maka kita adalah yang kecil sehingga kita tidak bisa mensejajarkan diri dengan Allah SWT dan selanjutnya harus berbuat sopan lagi santun baik dihadapan Allah SWT maupun dihadapan sesama umat manusia.

 dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
(surat Al A’raaf (7) ayat 172)

Selain itu juga kita telah menyatakan bertuhankan kepada Allah SWT saat di dalam rahim seorang ibu, lalu sudahkah kata dengan perbuatan kita sesuai dengan pernyataan kita tersebut? Jika kata dengan perbuatan kita sesuai dengan pernyataan saat di dalam rahim maka perilaku diri kita harus sesuai perilaku ruh/ruhani yang sesuai dengan Asmaul Husna. Jika tidak berarti kata dengan perbuatan kita berlainan atau tidak berkesesuaian. Kondisi inilah yang dikehendaki oleh Syaitan. Jangan sampai diri kita seperti ini.    

Selain daripada itu, jika seluruh ruh manusia telah menyatakan bertuhankan kepada Allah SWT berarti semua orang yang pernah lahir ke muka bumi kesemuanya telah beriman kepada Allah SWT tanpa terkecuali. Akan tetapi setelah dilahirkan tidak semuanya beriman kepada Allah SWT karena sangat tergantung siapa yang melahirkannya. Ada yang dilahirkan oleh ibu yang beragama Islam maka beragama Islamlah orang tersebut, namun jika yang melahirkan adalah ibu yang bukan beragama Islam maka Non Islamlah dia. Jika kita telah mampu menunaikan Zakat berarti kita tidak bisa menyatakan bahwa kita lebih hebat daripada orang yang dilahirkan dari ibu yang bukan beragama Islam hanya karena kita dilahirkan oleh seorang ibu yang beragama Islam. Adanya perbedaan siapa yang melahirkan akan menjadikan diri kita berbeda dengan orang lain namun bukan berarti kita lebih baik dari orang lain.

Jika kita merasa Ruh diri kita berasal dari Allah SWT dan Ruh orang lainpun juga berasal dari Allah SWT maka kita semua adalah bersaudara. Apalagi seluruh Ruh juga telah menyatakan beriman kepada Allah SWT. Adanya kondisi ini maka kita yang dilahirkan dari seorang ibu yang beragama Islam memiliki kewajiban untuk memberikan pembelajaran yang baik dan benar tentang hal ini kepada orang lain yang kebetulan dilahirkan dari ibu yang bukan beragama Islam. Disinilah letaknya adanya hak dan kewajiban diantara sesama umat manusia di dalam memberikan pelajaran tentang adanya kesaksian bertuhankan kepada Allah SWT saat di dalam rahim seorang ibu. Jika kita mengaku telah menunaikan Zakat maka sudahkah kewajiban ini kita lakukan dengan cara yang sesuai dengan azas kepatutan dan kepantasan?


Sebagai Khalifah yang sedang menumpang di muka bumi; sebagai Khalifah yang sedang merantau ke muka bumi, sebagai Khalifah yang sedang menjadi tamu di muka bumi, dikarenakan langit dan bumi bukan kita yang ciptakan dan bukan pula kita yang miliki. Sebagai Tamu yang tahu diri maka kita harus memiliki apa yang dinamakan dengan adab, sopan santun, tata karma sehingga dapat menyenangkan hati tuan rumah; sebagai perantau yang baik kita wajib mempersiapkan bekal (maksudnya amal shaleh) sebanyak mungkin yang harus kita persiapkan saat hidup di muka bumi untuk persiapan pulang kampung ke negeri akhirat.

Sekarang setelah menjadi tamu yang baik dapatkah kita sewenang-wenang memperlakukan langit dan bumi seolah-olah kita yang memiliki? dapatkah kita merusak langit dan bumi atas nama pemilik? dapatkah kita menghambur-hamburkankan segala jerih payah di muka bumi tanpa memikirkan bekal untuk pulang ke negeri akhirat? Jika kita termasuk tamu yang baik yang menyenangkan hati tuan rumah maka kita harus menjaga, merawat, memelihara langit dan bumi sesuai dengan kehendak dari pencipta dan pemiliknya. Sedangkan jika kita termasuk perantau yang baik maka kita harus mencari, membekali diri dengan bekal yang cukup untuk pulang kampung ke negeri akhirat.

Selanjutnya setelah diri kita sukses menjadi pembesar, setelah sukses menjadi legislatif, setelah sukses menjadi eksekutif, setelah sukses menjadi yudikatif, setelah sukses menjadi konglomerat, apakah dengan kesuksesan tersebut kita bisa semena-mena merubah ketentuan Allah SWT atau merusak alam. Apapun bentuk kesuksesan yang kita raih di muka bumi tidak akan pernah menjadikan diri kita menjadi pencipta dan pemilik dari langit dan bumi; tidak akan pernah menjadikan diri kita mampu menciptakan Ruhani, Amanah 7, Hubbul, perasaan, air dan udara; tidak akan pernah menjadikan manusia menjadi tuan rumah di muka bumi ini dikarenakan manusia tidak akan mungkin bisa menciptakan langit dan bumi.

Jika ini kondisi dari manusia baik yang sukses ataupun tidak sukses, yang menjadi pejabat ataukah yang tidak, yang menjadi pemuka agama ataupun yang tidak, maka tidak ada alasan bagi kita untuk merubah, atau menyesuaikan segala ketentuan Allah SWT yang berlaku di muka bumi ini sesuai dengan kehendak diri kita.

dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.
(surat Al A’raaf (7) ayat 179)


Allah SWT selaku pengutus diri kita di muka bumi, melalui surat Al A’raaf (7) ayat 179 di atas telah menunjukkan etika saat hidup di dunia, yaitu wajib mempergunakan apa apa yang telah diberikan Allah SWT kepada diri kita seperti hati, mata, telinga dan juga anggota tubuh yang lainnya. Setelah memiliki hati maka hati harus dipergunakan untuk memahami ayat Allah SWT. Setelah memiliki mata maka mata harus dipergunakan untuk melihat tanda tanda kekuasaan Allah SWT. Setelah memliki telinga maka telinga harus dipergunakan untuk mendengar ayat ayat Allah SWT. Setelah memiliki hati maka hati harus dipergunakan untuk merasakan apa apa yang dirasakan oleh orang lain.

kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.
(surat As Sajdah (32) ayat 9)

Jika kita termasuk orang yang beriman yang mampu mendirikan Shalat dan menunaikan Zakat maka kita akan terhindar dari hidup yang tidak beretika, seperti berjantung tapi tidak berhati, bermata tapi tidak melihat, bertelinga tapi tidak mendengar, serta berhati tapi tidak berperasaan. Hasil akhir dari hidup yang seperti ini adalah hidup yang tidak bermanfaat baik bagi diri sendiri, keluarga dan anak keturunan juga tidak bermanfaat bagi orang lain.     

D.    TAHU SIAPA DIRI KITA dan TAHU SIAPA ALLAH SWT

Sebagai khalifah di muka bumi yang beriman, ketahuilah dengan seksama bahwa di langit dan di bumi yang sedang kita tempati memiliki ketentuan, yaitu dimana bumi dipijak di sana langit di junjung. Apa maksudnya? Kita tidak bisa seenak-enaknya saja bertindak dan berbuat sesuatu di muka bumi ini tanpa menghiraukan ketentuan-ketentuan yang berlaku di muka bumi. Disinilah letaknya kita harus bisa hidup di dunia secara beretika. Selanjutnya ada ketentuan apakah di muka bumi ini? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa ketentuan yang bersifat mendasar yang berlaku di jagat raya ini, yaitu:


1.      Berdasarkan surat Al Hadiid (57) ayat 1-2 dikemukakan bahwa Allah SWT adalah pemilik kerajaan langit dan bumi. Jika ini kondisi Allah SWT berarti segala ketentuan, segala hukum, segala undang-undang, segala peraturan yang wajib berlaku di langit dan di bumi adalah ketentuan Allah SWT.

semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
(surat Al Hadiid (57) ayat 1-2)

Anas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah  ta'ala berfirman: Barangsiapa tidak rela dengan hukum-Ku dan taqdir-Ku maka hendaklah ia mencari Tuhan selain Aku.
(HQR Al Baihaqi dari Ibnu Umar serta Ath Thabarani dan Ibnu Hibban dari Abi Hind, Al Baihaqi dan Ibnu Najjar, 272:153)

Sebagai orang yang menumpang di langit dan di bumi maka kita harus melaksanakan segala ketentuan Allah SWT dan jika kita tidak mau berarti diri kita termasuk tamu yang tidak tahu diri. Selain daripada itu, jika kita tidak mau menerima ketentuan, hukum, undang-undang Allah SWT saat menjadi Khalifah di muka bumi, kita dipersilahkan oleh Allah SWT untuk mencari Tuhan lain selain Allah SWT, atau silahkan keluar dari langit dan bumi yang dimiliki Allah SWT.

2.      Berdasarkan surat Thaahaa (20) ayat 14 dikemukakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT, di jagad raya.

Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.
(surat Thaahaa (20) ayat 14)

Sebagai Khalifah yang sedang menumpang di jagad raya, sudahkah kita bertuhankan hanya kepada Allah SWT semata? Jika tidak berarti kita telah menempatkan diri sebagai tamu yang tidak tahu diri.

3.      Berdasarkan surat Al Ahzab (33) ayat 40 dikemukakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Rasul Allah SWT dan penutup nabi-nabi. Adanya kondisi ini berarti setelah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia tidak akan ada Nabi Baru atau Rasul Baru di muka bumi ini sehingga tidak akan ada pula Wahyu baru yang akan disampaikan oleh Malaikat Jibril as. 

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang  laki-laki di antara kamu[1223]., tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
(surat Al Ahzab (33) ayat 40)

[1223] Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. bukanlah ayah dari salah seorang sahabat, karena itu janda Zaid dapat dikawini oleh Rasulullah s.a.w.

Adanya kondisi ini berarti Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul Terakhir serta Al-Qur'an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT ke muka bumi. Sekarang jika ada orang yang mengaku-ngaku Nabi Baru atau Rasul Baru setelah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia berarti orang tersebut telah menantang Allah SWT di langit dan di bumi yang tidak pernah ia ciptakan, akibat melanggar ketentuan Allah SWT yang berlaku setelah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia.

4.  Berdasarkan Hadits Qudsi yang kami kemukakan dibawah ini, dikemukakan bahwa Syahadat memegang peranan yang sangat penting bagi kelangsungan langit dan bumi. Hal ini dikarenakan Syahadat mampu menghindarkan langit dan bumi dari Jahannam yang akan ditimpakan kepadanya. 

Anas ra, berkata Nabi Saw bersabda, Allah ta'ala berfirman: Allah SWT telah mewahyukan kepada Nabi Musa! Coba tidak karena mereka yang mengucapkan Syahadat " Laailaha Illa Allah" niscaya Ku-timpakan "Jahannam' di atas dunia. Wahai Musa! Coba tidak karena mereka yang bersembah kepada-Ku tidaklah Aku lepaskan mereka yang bermaksiat sekejab matapun. Wahai Musa! Sesungguhnya barangsiapa yang beriman kepada-Ku adalah makhluk yang termulia dalam pandangan-Ku. Wahai Musa! Sesungguhnya sepatah kata dari seorang yang durhaka (terhadap kedua orang tuanya) adalah sama beratnya dengan seluruh pasir bumi. Bertanya Nabi Musa: "Siapakah orang yang durhaka itu ya Tuhan-Ku?" ialah orang yang berkata kepada kedua orang tuanya: "Tidak-tidak" ketika di panggil .
(HQR Abu Nu'aim; 272:225)

Sebagai KHALIFAH yang sedang menumpang di langi dan di bumi yang dimiliki oleh ALLAH SWT, sudahkah diri kita melaksanakan Syahadat sesuai dengan kehendak pencipta dan pemilik langit dan bumi?

5. Berdasarkan surat Ali Imran (3) ayat 19 dan juga ayat 85 dikemukakan bahwa Agama yang berlaku di alam semesta ini hanyalah Diinul Islam, selain daripada Diinul Islam tidak diterima oleh ALLAH SWT. Sebagai KHALIFAH di muka bumi, sebagai tamu yang sedang menumpang, bagaimana jika kita tidak mau menjadikan Diinul Islam sebagai Agama yang Haq saat hidup di dunia? 

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.
(surat Ali Imran (3) ayat 85)

Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[189] kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat  hisab-Nya.
(surat Ali Imran (3) ayat 19)

[189] Maksudnya ialah Kitab-Kitab yang diturunkan sebelum Al Quran.

Jika ini yang kita lakukan maka cara yang terhormat bagi bagi diri kita yang tidak mau menjadikan Diinul Islam sebagai Agama yang Haq adalah mencari bumi lain selain bumi yang dimiliki ALLAH SWT.

6.   Berdasarkan surat Al Hajj (22) ayat 18 dikemukakan bahwa bersujud kepada ALLAH SWT apa-apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, air, udara, binatang dan sebagaian manusia. Sekarang sebagai tamu, sebagai perantau, sebagai KHALIFAH sudahkah diri kita sujud kepada ALLAH SWT seperti sujud dan patuhnya apa-apa yang ada di langit dan di bumi?

Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.
(surat Al Hajj (22) ayat 18)

Jika diri kita termasuk orang yang tahu diri maka kita harus pula sujud kepada Allah SWT, patuh dan taat kepada Allah SWT melebihi makhluk lainnya dikarenakan diri kita adalah KHALIFAH. Akan tetapi jika sampai diri kita tidak mau sujud kepada ALLAH SWT atau tidak mau patuh dan taat kepada ALLAH SWT berarti kita memang tidak pantas menyandang status sebagai makhluk yang terhormat.

7.   Berdasarkan surat Al Hadiid (57) ayat 1 dikemukakan bahwa semua yang ada di langit dan yang ada di muka bumi,  bertasbih kepada ALLAH SWT dengan menyatakan kebesaran ALLAH SWT. 

semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(surat Al Hadiid (57) ayat 1)

Jika sampai diri kita yang sedang menumpang di muka bumi tidak mau bertasbih kepada ALLAH SWT berarti diri kita lebih rendah kedudukannya dibandingkan dengan binatang, tumbuhan, air, udara, gunung dan lain sebagainya.

8.   Berdasarkan surat Thaahaa (20) ayat 117 dikemukakan bahwa ketentuan yang berlaku bagi kekhalifahan yang ada di langit dan di bumi adalah manusia wajib bermusuhan dengan Iblis beserta sekutunya. Adanya ketentuan ini maka kita harus melaksanakannya sebaik mungkin, sekarang bagaimana jika diri kita justru menjadikan Iblis beserta sekutunya sebagai teman, sebagai atasan, sebagai pimpinan, sebagai konsultan?

Maka Kami berkata: "Hai Adam, Sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, Maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.
(surat Thaahaa (20) ayat 117)

Jika sampai diri kita keluar dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh ALLAH SWT berarti kita telah siap untuk di ajak pulang kampung ke Neraka Jahannam.

9.   Berdasarkan surat Al Ankabuut (29) ayat 41 dikemukakan bahwa jika diri kita mengambil pelindung selain dari pada ALLAH SWT berarti diri kita telah menjadikan sarang laba-laba menjadi pelindung/penolong diri kita.

perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.
(surat Al Ankabuut (29) ayat 41)

10. Berdasarkan surat An Nisaa' (4) ayat 49) dikemukakan bahwa kita tidak diperkenankan untuk menganggap diri bersih, menganggap diri mampu, menganggap diri hebat padahal kita menumpang di rumah orang lain.

Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih?[308]. sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak aniaya sedikitpun.
(surat An Nisaa' (4) ayat 49)

[308] Yang dimaksud di sini ialah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menganggap diri mereka bersih. Lihat surat Al Baqarah ayat 80 dan ayat 111 dan surat Al Maa-idah ayat 18.

Sebagai manusia yang hidup secara beretika tentu kita harus mengerti dan paham betul terhadap sepuluh hal yang kami kemukakan di atas sehingga hal hal tersebut di atas harus kita jadikan pedoman dan pelajaran saat menjadi Khalifah di muka bumi ini, terkecuali jika kita sendiri yang memilih menjadi Khalifah yang dibanggakan oleh Syaitan. 

E.     TERHINDAR DARI KEPEMIMPINAN SYAITAN

Berdasarkan surat Al A’raaf (7) ayat 27 di bawah ini, sebagai orang yang beriman yang telah mampu mendirikan shalat dan juga menunaikan Zakat maka kita dihindarkan dari kepemimpinan syaitan yang terkutuk kepada diri kita sehingga hanya orang orang yang tidak berimanlah yang akan dipimpin oleh syaitan syaitan saat hidup di muka bumi ini. Bayangkan syaitan yang seharusnya menjadi musuh, berubah drastis menjadi pemimpin pemimpin bagi orang yang tidak beriman. Tentunya hasil akhir dari kondisi ini sangatlah berbeda jika syaitan yang menjadi musuh bagi setiap manusia.

Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman.
(Surat Al A’raaf (7) ayat 27)


Sebagai Khalifah di muka bumi yang telah berimana kita harus bisa menjadikan Syaitan sebagai musuh abadi diri kita, bagi anak dan keturunan selama hayat masih dikandung badan. Dan jika kita sampai diri kita menjadikan Syaitan beserta antek-anteknya sebagai kawan, sebagai komandan, sebagai konsultan, sebagai pengawal, sebagai guru, sebagai atasan bagi diri kita berarti kita telah melanggar ketetapan Allah SWT yang berlaku di muka bumi ini dan berarti bersiap-siaplah menanggung segala resiko yang ditimbulkan oleh tindakan kita sendiri yang tidak menjadikan Syaitan sebagai Musuh.

Sekarang Syaitan sudah diciptakan Allah SWT dan saat ini pun mereka semua sedang melaksanakan apa-apa yang telah dikehendaki oleh Allah SWT, selanjutnya apa yang harus kita sikapi? Untuk menghadapi Musuh, untuk mengalahkan Musuh, maka hal yang pertama yang harus kita lakukan adalah memiliki Ilmu tentang Musuh yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Tanpa kita tahu dan mengerti tentang musuh kita, lalu bagaimana mungkin kita akan mengalahkan musuh kita.

Sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT lebih baik dari pada Syaitan maka sudah sepantasnya dan seharusnya kita dapat mengalahkan segala ajakan, mengalahkan segala pengaruh, mengalahkan segala hasutan, mengalahkan segala iming-iming dari Syaitan. Selain daripada itu sudah seharusnya pula diri kita mampu  memenangkan pertandingan melawan Syaitan saat menjadi Khalifah di muka bumi. Selanjutnya Syaitan yang hanya tahu dan mengerti bahwa manusia hanya terdiri dari Jasmani saja dan beranggapan bahwa Api lebih baik dari Tanah serta Syaitan tidak pula mempunyai ilmu dan pengetahuan tentang Ruh dan Amanah 7, lalu pantaskah jika Syaitan yang menjadi pemenang, atau diri kita malah jadi pecundang di dalam melaksanakan Kekhalifahan di muka bumi sedangkan Allah SWT di dalam Kehendak-Nya sewaktu menciptakan manusia mempunyai skenario bahwa manusia adalah pemenangnya.

Dan jika saat ini kita menjadi Pecundang dan Syaitan malah menjadi Pemenang berarti apa yang dikehendaki oleh Allah SWT kepada diri kita, tidak mampu kita laksanakan dengan baik karena kita tidak tahu diri, karena kita tidak mau belajar tentang diri sendiri. Dan jika kita termasuk orang yang telah beriman yang mampu mendirikan shalat dan menunaikan Zakat tentunya kehendak  Allah SWT itulah yang menjadi Panduan dan Pedoman kita di dalam melaksanakan Kekhalifahan di muka bumi dan ini berarti kita adalah Pemenang sehingga berhak pulang kampung ke tempat yang terhormat, dengan cara yang terhormat, untuk bertemu dengan Yang Maha Terhormat, dalam suasana yang saling hormat menghormati.

Sebagai Khalifah di muka bumi ketahuilah dengan seksama, di langit dan di bumi yang diciptakan oleh Allah SWT, tidak berlaku ketentuan waktu bisa diputar ulang, tidak akan pernah ada toko yang khusus memperjualbelikan dosa dan juga pahala serta tidak akan pernah ada pula peribahasa, menyesal adanya di muka. Adanya ketentuan ini, maka tidak ada jalan lain bagi diri kita untuk segera memperbaiki diri jika kita belum sesuai dengan kehendak Allah SWT, gunakan kesempatan yang masih kita miliki dengan sebaik-baiknya, manfaat sisa usia kita sebelum Malaikat Izrail memisahkan Ruh dengan Jasmani diri kita.

Hal ini dikarenakan Allah SWT tidak akan pernah merubah keadaan diri kita yang hina, yang penuh dosa, yang sesuai dengan kehendak Syaitan, yang berada di dalam jiwa Fujur, sepanjang diri kita tidak mau melakukan perubahan di usia kita yang masih tersisa. Sehingga jika kita berdosa maka kitalah yang akan menanggung segala akibat dari dosa yang pernah kita lakukan dan ingat hanya saat hidup di muka bumi inilah kita memiliki kesempatan langsung untuk  meminta ampunan kepada Allah SWT. Sekarang segera tentukan sikap, dengan mengambil tindakan nyata, apakah kita mau menjadi makhluk yang terhormat dihadapan Allah SWT atau mau menjadi makhluk yang terhormat dihadapan Syaitan.

Sebagai penutup, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan saat diri kita melaksanakan perintah menunaikan Zakat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT, yaitu :

1.      jangan pernah sekalipun menjadikan diri kita sendiri sebagai penerima Zakat (mustahik), akan lebih terhormat jika kita mampu menjadikan diri kita sebagai Muzakki, atau menjadikan diri kita menjadi orang-orang yang mampu selalu menunaikan Zakat, dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun. Ingat, Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.

2.      Jika pada suatu waktu dan karena keadaan tertentu kita tidak wajib menunaikan Zakat karena tidak memunuhi syarat Nishab dan Haul, bukan berarti kesempatan untuk berbagi kepada orang lain tertutup bagi kita. Masih ada jalan untuk membuktikan bahwa kita masih berguna bagi orang lain, yaitu melalui pintu Infaq dan Shadaqah.

3.      Dan jangan pernah sekalipun kita membayarkan Zakat kepada kedua orang tua kita sendiri, atau jangan pernah sekalipun kita membayarkan Zakat kepada kedua orang mertua kita sendiri, karena mereka semua bukanlah penerima Zakat dari diri kita, melainkan pemberian kita kepada orang tua, kepada mertua, merupakan bukti bakti kita sebagai anak kepada mereka semua.

bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.
(surat Al Baqarah (2) ayat 177)

Hal ini dikarenakan ALLAH SWT telah menentukan siapa-siapa saja yang berhak menerima Zakat seperti yang tertuang di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 177 di atas, dimana orang tua kita atau mertua kita tidak termasuk sebagai orang yang berhak menerima Zakat oleh sebab apapun juga.

4.      Dan yang terakhir, jika kita yang membutuhkan untuk menunaikan Zakat maka kitalah yang membutuhkan fakir miskin, ingat yang membutuhkan fakir miskin adalah diri kita, bukannya fakir miskin yang membutuhkan kita sehingga kitalah yang harus mendatangi mereka saat menunaikan Zakat, atau kita dapat juga menunaikan Zakat melalui Badan-Badan Amil Zakat yang telah mendapat izin resmi dari pemerintah yang tentunya harus amanah dengan tugasnya.


Hamba Allah SWT yang kami hormati, hanya inilah yang mampu kami tulis, hanya inilah yang mampu kami ungkapkan, hanya inilah yang mampu kami berikan, sebagai sumbangsih kami kepada diri, keluarga, anak dan keturunan, masyarakat, bangsa dan juga negara. Semoga buku ini bermanfaat sesuai dengan peruntukannya yaitu mampu menjadikan diri kita tetap sebagai Makhluk yang Terhormat, yang mampu berperilaku Terhormat, untuk bisa pulang kampung ke tempat yang Terhormat dengan cara yang Terhormat sehingga kita bisa bertemu dengan Yang Maha Terhormat dalam suasana yang saling hormat menghormati.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar