Sebuah perintah yang berkmakna hakiki yang telah diperintahkan kepada
diri kita dapat dipastikan perintah itu sendiri bukanlah tujuan akhir. Perintah
adalah sarana atau alat bantu bagi yang diperintah untuk mencapai, merasakan,
mendapatkan makna yang hakiki yang
terdapat dibalik perintah. Sebagai contoh melaksanakan perintah mandi adalah
sarana atau alat bantu bagi diri kita untuk memperoleh, merasakan sehat dan
segar sehingga mandi itu sendiri bukanlah tujuan utama dari melaksanakan
perintah mandi. Mandi hanyalah sarana bagi diri kita untuk mendapatkan dan
merasakan sehat dan segar. Hal yang samapun berlaku kepada perintah menunaikan
Zakat, yang tidak lain menunaikan Hak Allah SWT, merupakan sarana atau alat
bantu kita untuk memperoleh, merasakan, mendapatkan makna yang hakiki yang
terdapat dibalik perintah menunaikan Zakat (lihat pembahasan hikmah menunaikan
Zakat).
Sebagai orang yang telah diperintahkan untuk menunaikan Zakat yang tidak
bisa dipisahkan dengan pelaksanaan Diinul Islam secara kaffah, harus mendorong
diri kita untuk memperoleh, merasakan dan mendapatkan hakikat dari menunaikan
zakat yang kesemuanya harus tercermin di dalam diri kita. Jika tidak berarti
ada yang salah di dalam pelaksanaan perintah yang telah diperintahkan kepada
diri kita. Agar diri kita selalu berada di dalam koridor memperoleh, merasakan
dan mendapatkan makna yang hakiki dari menunaikan hak Allah SWT. Berikut ini
akan kami kemukakan beberapa ciri yang harus menjadi bukti nyata setelah diri
kita sukses menunaikan Hak Allah SWT sebagai sebuah kebutuhan diri, yaitu :
A. HABBLUM MINALLAH YANG TERCERMIN DALAM
HABBLUM MINANNASS
Salah satu bukti yang harus menjadi
ciri orang yang telah mampu mendirikan Shalat dan menunaikan hak Allah SWT
adalah mampu membuktikan, mampu memperlihatkan hasil akhir dari melaksanakan Habblum
Minallah harus tercermin saat melakukan hubungan dengan sesama manusia (Habblum
Minannass) sehingga diri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara mampu merasakan
buah dari hasil kedekatan kita kepada Allah SWT atau dengan kata lain
keberadaan diri kita di tengah masyarakat bukanlah menjadi beban bagi
masyarakat melainkan berkah bagi masyarakat.
Sekarang katakan diri kita sudah
mampu Habblum Minallah, berarti saat ini kita sedang mensinergikan Ruhani kita
dengan Allah SWT, kita sedang mensinergikan Amanah yang 7 yang ada pada diri
kita dengan sifat Ma’ani Allah SWT yang 7 serta kita juga sedang mensinergikan
Sibghah Asmaul Husna yang menjadi sifat alamiah Ruh diri kita dengan Asmaul
Husna Allah SWT. Akan tetapi jika proses
sinergi yang telah kita lakukan dengan Allah SWT tidak dapat dikatakan berjalan
sesuai dengan kehendak Allah SWT jika apa-apa yang telah tersambung dengan Allah SWT, jika
apa-apa yang telah bersinergi dengan Allah SWT, tidak mampu kita tunjukkan di
dalam perbuatan kepada sesama umat
manusia secara utuh.
“Tiap-tiap sesuatu ada zakatnya (penyuciannya). Zakat
harta ialah sedekah kepada fakir miskin dan yang membutuhkan lainnya. Zakat
kekuatan ialah membela kaum dhuafa yang teraniaya. Zakat argumentasi dan
kefasehan lidah ialah mengokohkan hujjah dan dalil-dalil agama. Dan Zakat ilmu
pengetahuan adalah dengan mengajarkan ilmunya kepada orang lain”.
(Alim Ulama)
Untuk maksud itu maka kita harus
bisa menghilangkan saat ini juga konsep
untung rugi di dalam berbuat dan bertindak, jika baik untuk diri, keluarga
serta kelompok kita kerjakan. Jika buruk untuk diri, keluarga serta kelompok
ambil untungnya buang ruginya ke tempat lain. Selain daripada itu konsep
menyembunyikan sesuatu saat mengajarkan sesuatu hilang atau tidak berlaku lagi,
yang ada hanyalah Ikhlas berbuat karena Allah SWT semata tanpa ada udang di
balik batu.
Orang
yang mampu mendirikan Shalat dan Menunaikan Zakat yang sesuai dengan kehendak Allah
SWT yaitu mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar yang tercermin dari
perbuatan diri kita yang selalu bermanfaat bagi orang lain. Hal ini dikarenakan
melalui Shalat yang kita dirikan dan Zakat yang kita tunaikan berarti kita
telah berusaha untuk mensinergikan Ruh/Ruhani dan Amanah yang 7 yang berasal
dari Allah SWT dengan Kebesaran dan Kemahaan Allah SWT yang mengakibatkan diri
kita selalu berada di dalam Kemahaan dan Kebesaran Allah SWT. Hasil akhir dari
ini adalah Ruh/Ruhani mampu mengalahkan Jasmani atau kondisi jiwa manusia masuk
dalam kategori Jiwa Taqwa yang dibarengi keberadaan diri kita berguna bagi
masyarakat.
bacalah apa yang telah
diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.
dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(surat Al Ankaabut (29) ayat 45)
Selanjutnya
jika ini yang terjadi maka pengaruh-pengaruh negatif yang mencerminkan
Nilai-Nilai Keburukan yang berasal dari sifat-sifat Jasmani dapat kita kalahkan
atau dapat kita hilangkan sehingga yang ada adalah Nilai-Nilai Kebaikan yang
berasal dari Ruhani. Apa contohnya? Malas yang dibawa Jasmani hilang menjadi Produktif, Pelit yang dibawa
Jasmani hilang menjadi Dermawan, Keji dan Mungkar yang dibawa Jasmani hilang
menjadi Kasih Sayang kepada sesama, demikian seterusnya sesuai dengan Asmaul
Husna yang dimiliki oleh Allah SWT. Jika sudah demikian keadaannya berarti
Nila-Nilai Kebaikan akan selalu menyertai individu-individu yang telah
mendirikan Shalat dan menunaikan Zakat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Sekarang
bagaimana jika setelah mendirikan Shalat dan Menunaikan Zakat, justru perbuatan
korupsi, kolusi, nepotisme, pembalakan liar, menipu, menyebarkan fitnah,
melakukan tindakan keji dan mungkar, mementingkan golongan tidak juga hilang
dalam kehidupan kita atau Nilai-Nilai Keburukan yang disukai oleh Syaitan masih
tetap kita lakukan bahkan kualitasnya malah meningkat dari waktu ke waktu? Jika apa yang kami kemukakan diatas masih
tetap kita lakukan setelah mendirikan Shalat dan Menunaikan Zakat belum sesuai
dengan kehendak Allah SWT ada sesuatu yang salah di dalam Shalat dan Zakat yang
kita laksanakan.
Agar diri kita mampu mempertunjukkan Habblum Minallah tercermin di dalam
Habblum Minanass, berikut ini akan kami berikan sebuah renungan dan pelajaran
dari Nabi Musa, as, yaitu: Pada suatu
saat Nabi Musa as berkomunikasi dengan ALLAH SWT. Nabi Musa
as.: "Wahai Allah aku sudah melaksanakan ibadah.Lalu manakah ibadahku
yang membuat engkau senang?" Allah SWT: “Syahadat mu
itu untuk dirimu sendiri, karena dengan engkau bersyahadat maka terbukalah
pintu bagimu untuk bertuhankan kepada Ku. Allah SWT: "Shalat mu bukan
untuk Ku tetapi untukmu sendiri, karena dengan kau mendirikan shalat, engkau
terpelihara dari perbuatan keji dan munkar. Dzikir? Dzikirmu itu membuat hatimu
menjadi tenang. Puasa ? Puasamu itu melatih dirimu untuk memerangi hawa
nafsumu". Zakat itu untuk membersihkan apa apa yang telah engkau miliki.
Menunaikan Haji untuk menjadikan kamu menjadi lebih dekat kepadaKu setelah
berkunjung kerumahKu.
Nabi Musa as: "Lalu apa ibadahku yang membuatmu senang ya
Allah?" Allah SWT: "Sedekah, Infaq, Wakaf serta akhlaqul
karimah-mu yang menceriminkan Asmaul Husna. Itulah yang membuat aku
senang, Karena tatkala engkau membahagiakan orang yang sedang susah, aku hadir
disampingnya. Dan aku akan mengganti dengan ganjaran kepadamu”.
perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir,
pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa
yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.
orang-orang
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa
yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati.
(surat
Al Baqarah (2) ayat 261 dan 262)
[166] Pengertian menafkahkan harta di jalan
Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah
sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Bila kamu sibuk dengan ibadah ritual dan bangga akan itu maka itu tandanya
kamu hanya mencintai dirimu sendiri, bukan Allah. Tapi, bila kau berbuat
dan berkorban untuk orang lain serta melunakan hatimu kepada orang lain. Maka
itu tandanya kau mencintai Allah dan tentu Allah senang karenanya. Buatlah
Allah senang maka Allah akan limpahkan rahmat-Nya dengan membuat hidupmu lapang
dan bahagia. Tentu jangan lupa sebelumnya engkau selesaikan kewajiban kepada
Allah, walaupun itu merupakan kebutuhan kita sebagai hambanya, karena kewajiban
kepada Allah merupakan kunci dari mencintai dan kesenangan Allah kepada kita.
Sebagai Khalifah di muka bumi,
jangan sampai diri kita hanya mampu Habblum Minallah semata, tanpa bisa
membuktikan saat melaksanakan Habblum Minannass, atau kita harus bisa
melaksanakan Habblum Minannass yang sesuai dengan konsep Habblum Minallah.
Timbul pertanyaan, kapan kita harus melaksanakan itu semua? Melaksanakan
Habblum Minallah dan Habblum Minannass harus kita laksanakan saat hidup di
dunia karena hanya pada saat itulah kita diberi kesempatan untuk membuktikan
itu semua dihadapan Allah SWT sebelum akhirnya kita mempertanggung jawabkan itu
semua.
Selanjutnya
jika semua orang yang telah Ma’rifatullah mampu melaksanakan Habblum Minallah
dan Habblum Minannass secara selaras, serasi dan seimbang, terjadilah apa yang
dinamakan dengan Gemah Ripah Loh Jinawi, Masyarakat Madani serta tidak akan
terjadi apa yang dinamakan dengan kesenjangan sosial. Dan jika sekarang yang
terjadi adalah sebaliknya, seperti jurang yang kaya dan yang miskin sangat
jauh, korupsi, kolusi serta nepotisme semakin merajalela, ketidakadilan semakin
menjadi-jadi, kampanye hitam semakin tumbuh subur, berarti Ma’rifatullah yang
telah kita lakukan belum sesuai dengan kehendak Allah SWT, atau ada sesuatu
yang salah di dalam Ma’rifatullah yang kita lakukan.
B.
SESUAI KATA dengan PERBUATAN
Bukti
yang harus ada di dalam diri setelah kita mampu mendirikan shalat dan
menunaikan zakat adalah sesuai kata dengan perbuatan, atau kita harus bisa
membuktikan apa-apa yang telah kita katakan atau nyatakan dengan perbuatan yang
kita lakukan. Sebagai contoh, jika kita hanya mengaku-ngaku Jujur tanpa pernah
dibuktikan, tentu hal ini tidak dapat dijadikan patokan bahwa diri kita adalah
seorang yang Jujur. Untuk itu kejujuran yang ada pada diri kita harus
dibuktikan terlebih dahulu di tengah masyarakat barulah timbul kepercayaan
orang terhadap kejujuran yang kita miliki. Adanya kondisi seperti ini
menunjukkan bahwa apa yang kita katakan baru dapat dipercayai oleh orang lain
sepanjang apa yang kita katakan tersebut sesuai dengan apa yang kita perbuat.
Tanpa
ada kesesuaian Kata dengan Perbuatan maka apa-apa yang telah kita katakan tidak
akan dapat memberikan dampak positif di masyarakat tentang apa yang kita
katakan tersebut. Untuk itulah penilaian kejujuran harus diperoleh dan didapat
dari orang lain atau harus berasal dari pihak ke tiga. Setelah memiliki
predikat Jujur lalu selamanyakah kita akan Jujur? Jujur yang ada di dalam diri
tidak selamanya bisa bertahan dari waktu ke waktu, untuk itu Kejujuran harus
terus dibina dan dipertahankan dari waktu ke waktu. Tanpa ada perawatan dan
tanpa ada pembinaan tentang kejujuran yang kita miliki maka kejujuran yang ada
pada diri kita kemungkinan akan luntur atau bahkan hilang.
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka
dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,
dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan
dengan mereka. dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(surat Al Jumu'ah
(62) ayat 2-3)
Hal
yang harus kita perhatikan adalah, jika kita telah mampu mendirikan Shalat dan
menunaikan Zakat maka antara kata dan perbuatan haruslah seiring dan sejalan.
Jangan sampai Kata yang kita ucapkan adalah Iman dan Yakin kepada Allah SWT
namun Perbuatan yang kita lakukan tidak mencerminkan apa-apa yang telah kita
Katakan tersebut.
Untuk
itu kita harus dapat membuktikan Keimanan dan Keyakinan kepada Allah SWT yang
telah kita ikrarkan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang mendukung apa-apa
yang telah kita Katakan. Ingat, Allah SWT Maha Tahu dengan apa yang kita
ucapkan dan Allah SWT juga Maha Tahu dengan apa yang kita perbuat. Adanya kemampuan
Allah SWT yang mengetahui itu semua maka Allah SWT tidak akan pernah mampu
dibohongi, atau Allah SWT tidak akan
pernah mampu ditipu jika kita hanya berpura-pura Iman dan Yakin.
Sekarang
kita sudah menyatakan Allah Maha Besar saat mendirikan shalat, lalu sudahkah
hal ini menjadi pernyataan sikap kita yang menunjukkan bahwa diri kita kecil
setelah menyatakan Allah Maha Besar? Jika kita masih bersikap sombong setelah
menyatakan Allah Maha Besar berarti kata dan perbuatan kita tidak sesuai. Jika
kita sudah menyatakan sikap bahwa Allah Maha Besar maka kita adalah yang kecil
sehingga kita tidak bisa mensejajarkan diri dengan Allah SWT dan selanjutnya harus
berbuat sopan lagi santun baik dihadapan Allah SWT maupun dihadapan sesama umat
manusia.
dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?"
mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi".
(kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)",
(surat
Al A’raaf (7) ayat 172)
Selain itu juga kita telah
menyatakan bertuhankan kepada Allah SWT saat di dalam rahim seorang ibu, lalu
sudahkah kata dengan perbuatan kita sesuai dengan pernyataan kita tersebut?
Jika kata dengan perbuatan kita sesuai dengan pernyataan saat di dalam rahim
maka perilaku diri kita harus sesuai perilaku ruh/ruhani yang sesuai dengan
Asmaul Husna. Jika tidak berarti kata dengan perbuatan kita berlainan atau
tidak berkesesuaian. Kondisi inilah yang dikehendaki oleh Syaitan. Jangan
sampai diri kita seperti ini.
Selain daripada itu, jika seluruh ruh manusia telah
menyatakan bertuhankan kepada Allah SWT berarti semua orang yang pernah lahir
ke muka bumi kesemuanya telah beriman kepada Allah SWT tanpa terkecuali. Akan
tetapi setelah dilahirkan tidak semuanya beriman kepada Allah SWT karena sangat
tergantung siapa yang melahirkannya. Ada yang dilahirkan oleh ibu yang beragama
Islam maka beragama Islamlah orang tersebut, namun jika yang melahirkan adalah
ibu yang bukan beragama Islam maka Non Islamlah dia. Jika kita telah mampu
menunaikan Zakat berarti kita tidak bisa menyatakan bahwa kita lebih hebat
daripada orang yang dilahirkan dari ibu yang bukan beragama Islam hanya karena
kita dilahirkan oleh seorang ibu yang beragama Islam. Adanya perbedaan siapa
yang melahirkan akan menjadikan diri kita berbeda dengan orang lain namun bukan
berarti kita lebih baik dari orang lain.
Jika kita merasa Ruh diri kita berasal dari Allah
SWT dan Ruh orang lainpun juga berasal dari Allah SWT maka kita semua adalah bersaudara.
Apalagi seluruh Ruh juga telah menyatakan beriman kepada Allah SWT. Adanya kondisi
ini maka kita yang dilahirkan dari seorang ibu yang beragama Islam memiliki kewajiban
untuk memberikan pembelajaran yang baik dan benar tentang hal ini kepada orang lain
yang kebetulan dilahirkan dari ibu yang bukan beragama Islam. Disinilah letaknya
adanya hak dan kewajiban diantara sesama umat manusia di dalam memberikan pelajaran
tentang adanya kesaksian bertuhankan kepada Allah SWT saat di dalam rahim seorang
ibu. Jika kita mengaku telah menunaikan Zakat maka sudahkah kewajiban ini kita lakukan
dengan cara yang sesuai dengan azas kepatutan dan kepantasan?
Sebagai Khalifah yang sedang menumpang di muka bumi; sebagai Khalifah
yang sedang merantau ke muka bumi, sebagai Khalifah yang sedang menjadi tamu di
muka bumi, dikarenakan langit dan bumi bukan kita yang ciptakan dan bukan pula
kita yang miliki. Sebagai Tamu yang tahu diri maka kita harus memiliki apa yang dinamakan
dengan adab, sopan santun, tata karma sehingga dapat menyenangkan hati tuan
rumah; sebagai perantau yang baik kita wajib mempersiapkan bekal (maksudnya
amal shaleh) sebanyak mungkin yang harus kita persiapkan saat hidup di muka
bumi untuk persiapan pulang kampung ke negeri akhirat.
Sekarang setelah menjadi tamu yang baik dapatkah kita sewenang-wenang
memperlakukan langit dan bumi seolah-olah kita yang memiliki? dapatkah kita
merusak langit dan bumi atas nama pemilik? dapatkah kita
menghambur-hamburkankan segala jerih payah di muka bumi tanpa memikirkan bekal
untuk pulang ke negeri akhirat? Jika kita termasuk tamu yang baik yang
menyenangkan hati tuan rumah maka kita harus menjaga, merawat, memelihara
langit dan bumi sesuai dengan kehendak dari pencipta dan pemiliknya. Sedangkan
jika kita termasuk perantau yang baik maka kita harus mencari, membekali diri
dengan bekal yang cukup untuk pulang kampung ke negeri akhirat.
Selanjutnya
setelah diri kita sukses menjadi pembesar, setelah sukses menjadi legislatif,
setelah sukses menjadi eksekutif, setelah sukses menjadi yudikatif, setelah
sukses menjadi konglomerat, apakah dengan kesuksesan tersebut kita bisa
semena-mena merubah ketentuan Allah SWT atau merusak alam. Apapun bentuk
kesuksesan yang kita raih di muka bumi tidak akan pernah menjadikan diri kita
menjadi pencipta dan pemilik dari langit dan bumi; tidak akan pernah menjadikan
diri kita mampu menciptakan Ruhani, Amanah 7, Hubbul, perasaan, air dan udara;
tidak akan pernah menjadikan manusia menjadi tuan rumah di muka bumi ini
dikarenakan manusia tidak akan mungkin bisa menciptakan langit dan bumi.
Jika ini kondisi dari manusia baik yang sukses ataupun tidak sukses, yang
menjadi pejabat ataukah yang tidak, yang menjadi pemuka agama ataupun yang
tidak, maka tidak ada alasan bagi kita untuk merubah, atau menyesuaikan segala
ketentuan Allah SWT yang berlaku di muka bumi ini sesuai dengan kehendak diri
kita.
dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk
(isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati,
tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.
(surat Al A’raaf (7) ayat 179)
Allah SWT selaku pengutus diri kita di muka bumi, melalui surat Al A’raaf
(7) ayat 179 di atas telah menunjukkan etika saat hidup di dunia, yaitu wajib
mempergunakan apa apa yang telah diberikan Allah SWT kepada diri kita seperti
hati, mata, telinga dan juga anggota tubuh yang lainnya. Setelah memiliki hati
maka hati harus dipergunakan untuk memahami ayat Allah SWT. Setelah memiliki
mata maka mata harus dipergunakan untuk melihat tanda tanda kekuasaan Allah
SWT. Setelah memliki telinga maka telinga harus dipergunakan untuk mendengar
ayat ayat Allah SWT. Setelah memiliki hati maka hati harus dipergunakan untuk
merasakan apa apa yang dirasakan oleh orang lain.
kemudian Dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.
(surat As Sajdah (32) ayat 9)
Jika kita termasuk orang yang beriman yang mampu mendirikan Shalat dan
menunaikan Zakat maka kita akan terhindar dari hidup yang tidak beretika,
seperti berjantung tapi tidak berhati, bermata tapi tidak melihat, bertelinga
tapi tidak mendengar, serta berhati tapi tidak berperasaan. Hasil akhir dari
hidup yang seperti ini adalah hidup yang tidak bermanfaat baik bagi diri
sendiri, keluarga dan anak keturunan juga tidak bermanfaat bagi orang lain.
D. TAHU SIAPA DIRI KITA dan TAHU SIAPA ALLAH SWT
Sebagai khalifah di muka bumi yang beriman, ketahuilah dengan seksama
bahwa di langit dan di bumi yang sedang kita tempati memiliki ketentuan, yaitu
dimana bumi dipijak di sana langit di junjung. Apa maksudnya? Kita tidak bisa
seenak-enaknya saja bertindak dan berbuat sesuatu di muka bumi ini tanpa
menghiraukan ketentuan-ketentuan yang berlaku di muka bumi. Disinilah
letaknya kita harus bisa hidup di dunia secara beretika. Selanjutnya ada
ketentuan apakah di muka bumi ini? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa
ketentuan yang bersifat mendasar yang berlaku di jagat raya ini, yaitu:
1. Berdasarkan surat Al Hadiid (57) ayat
1-2 dikemukakan bahwa Allah SWT adalah pemilik kerajaan langit dan bumi. Jika
ini kondisi Allah SWT berarti segala ketentuan, segala hukum, segala
undang-undang, segala peraturan yang wajib berlaku di langit dan di bumi adalah
ketentuan Allah SWT.
semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada
Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan
mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
(surat Al Hadiid
(57) ayat 1-2)
Anas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Barangsiapa tidak rela
dengan hukum-Ku dan taqdir-Ku maka hendaklah ia mencari Tuhan selain Aku.
(HQR Al Baihaqi dari
Ibnu Umar serta Ath Thabarani dan Ibnu Hibban dari Abi Hind, Al Baihaqi dan
Ibnu Najjar, 272:153)
Sebagai
oran g yang menumpang di langit dan di bumi maka
kita harus melaksanakan segala ketentuan Allah SWT dan jika kita tidak mau
berarti diri kita termasuk tamu yang tidak tahu diri. Selain daripada itu, jika
kita tidak mau menerima ketentuan, hukum, undang-undang Allah SWT saat menjadi
Khalifah di muka bumi, kita dipersilahkan oleh Allah SWT untuk mencari Tuhan
lain selain Allah SWT, atau silahkan keluar dari langit dan bumi yang dimiliki
Allah SWT.
2. Berdasarkan surat Thaahaa (20) ayat 14
dikemukakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT, di jagad raya.
Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain
Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.
(surat Thaahaa (20)
ayat 14)
Sebagai
Khalifah yang sedang menumpang di jagad raya, sudahkah kita bertuhankan hanya
kepada Allah SWT semata? Jika tidak berarti kita telah menempatkan diri sebagai
tamu yang tidak tahu diri.
3. Berdasarkan surat Al Ahzab (33) ayat
40 dikemukakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Rasul Allah SWT dan penutup
nabi-nabi. Adanya kondisi ini berarti setelah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia
tidak akan ada Nabi Baru atau Rasul Baru di muka bumi ini sehingga tidak akan
ada pula Wahyu baru yang akan disampaikan oleh Malaikat Jibril as.
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu[1223]., tetapi Dia
adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.
(surat Al Ahzab (33)
ayat 40)
[1223] Maksudnya:
Nabi Muhammad s.a.w. bukanlah ayah dari salah seorang sahabat, karena itu janda
Zaid dapat dikawini oleh Rasulullah s.a.w.
Adanya
kondisi ini berarti Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul Terakhir serta
Al-Qur'an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT ke muka
bumi. Sekarang jika ada oran g yang mengaku-ngaku
Nabi Baru atau Rasul Baru setelah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia berarti oran g tersebut telah menantang Allah SWT di langit dan di
bumi yang tidak pernah ia ciptakan, akibat melanggar ketentuan Allah SWT yang
berlaku setelah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia.
4. Berdasarkan
Hadits Qudsi yang kami kemukakan dibawah ini, dikemukakan bahwa Syahadat
memegang peranan yang sangat penting bagi kelangsungan langit dan bumi. Hal ini
dikarenakan Syahadat mampu menghindarkan langit dan bumi dari Jahannam yang
akan ditimpakan kepadanya.
Anas ra, berkata Nabi Saw bersabda, Allah ta'ala berfirman: Allah SWT
telah mewahyukan kepada Nabi Musa! Coba tidak karena mereka yang mengucapkan
Syahadat " Laailaha Illa Allah" niscaya Ku-timpakan "Jahannam'
di atas dunia. Wahai Musa! Coba tidak karena mereka yang bersembah kepada-Ku
tidaklah Aku lepaskan mereka yang bermaksiat sekejab matapun. Wahai Musa!
Sesungguhnya barangsiapa yang beriman kepada-Ku adalah makhluk yang termulia
dalam pandangan-Ku. Wahai Musa! Sesungguhnya sepatah kata dari seorang yang
durhaka (terhadap kedua orang tuanya) adalah sama beratnya dengan seluruh pasir
bumi. Bertanya Nabi Musa: "Siapakah orang yang durhaka itu ya
Tuhan-Ku?" ialah orang yang berkata kepada kedua orang tuanya:
"Tidak-tidak" ketika di panggil .
(HQR Abu Nu'aim;
272:225)
Sebagai KHALIFAH yang sedang menumpang
di langi dan di bumi yang dimiliki oleh AL LAH
SWT, sudahkah diri kita melaksanakan Syahadat sesuai dengan kehendak pencipta
dan pemilik langit dan bumi?
5. Berdasarkan surat
Ali Imran (3) ayat 19 dan juga ayat 85 dikemukakan bahwa Agama yang berlaku di
alam semesta ini hanyalah Diinul Islam, selain daripada Diinul Islam tidak
diterima oleh ALLAH SWT. Sebagai KHALIFAH di muka bumi, sebagai tamu yang
sedang menumpang, bagaimana jika kita tidak mau menjadikan Diinul Islam sebagai
Agama yang Haq saat hidup di dunia?
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang
yang rugi.
(surat Ali Imran (3)
ayat 85)
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[189] kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat
cepat hisab-Nya.
(surat Ali Imran (3)
ayat 19)
[189] Maksudnya
ialah Kitab-Kitab yang diturunkan sebelum Al Quran.
Jika
ini yang kita lakukan maka cara yang terhormat bagi bagi diri kita yang tidak
mau menjadikan Diinul Islam sebagai Agama yang Haq adalah mencari bumi lain
selain bumi yang dimiliki AL LAH
SWT.
6. Berdasarkan
surat Al Hajj (22) ayat 18 dikemukakan bahwa bersujud kepada ALLAH SWT apa-apa
yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, air,
udara, binatang dan sebagaian manusia. Sekarang sebagai tamu, sebagai perantau,
sebagai KHALIFAH sudahkah diri kita sujud kepada ALLAH SWT seperti sujud dan
patuhnya apa-apa yang ada di langit dan di bumi?
Apakah kamu tiada mengetahui,
bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan,
bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian
besar daripada manusia? dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab
atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang
memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.
(surat Al Hajj (22) ayat 18)
Jika
diri kita termasuk orang yang tahu diri maka kita harus pula sujud kepada Allah
SWT, patuh dan taat kepada Allah SWT melebihi makhluk lainnya dikarenakan diri
kita adalah KHALIFAH. Akan tetapi jika sampai diri kita tidak mau sujud kepada
ALLAH SWT atau tidak mau patuh dan taat kepada ALLAH SWT berarti kita memang
tidak pantas menyandang status sebagai makhluk yang terhormat.
7. Berdasarkan surat Al Hadiid (57) ayat
1 dikemukakan bahwa semua yang ada di langit dan yang ada di muka bumi, bertasbih kepada AL LAH
SWT dengan menyatakan kebesaran ALLAH SWT.
semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada
Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
(surat Al Hadiid
(57) ayat 1)
Jika
sampai diri kita yang sedang menumpang di muka bumi tidak mau bertasbih kepada AL LAH SWT berarti diri
kita lebih rendah kedudukannya dibandingkan dengan binatang, tumbuhan, air,
udara, gunung dan lain sebagainya.
8. Berdasarkan surat Thaahaa (20) ayat
117 dikemukakan bahwa ketentuan yang berlaku bagi kekhalifahan yang ada di
langit dan di bumi adalah manusia wajib bermusuhan dengan Iblis beserta
sekutunya. Ada nya
ketentuan ini maka kita harus melaksanakannya sebaik mungkin, sekarang
bagaimana jika diri kita justru menjadikan Iblis beserta sekutunya sebagai
teman, sebagai atasan, sebagai pimpinan, sebagai konsultan?
Maka Kami berkata: "Hai Adam, Sesungguhnya ini (iblis) adalah
musuh bagimu dan bagi isterimu, Maka sekali-kali janganlah sampai ia
mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.
(surat Thaahaa (20)
ayat 117)
Jika
sampai diri kita keluar dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh AL LAH SWT berarti kita
telah siap untuk di ajak pulang kampung ke Neraka Jahannam.
9. Berdasarkan surat Al Ankabuut (29)
ayat 41 dikemukakan bahwa jika diri kita mengambil pelindung selain dari pada AL LAH SWT berarti diri kita telah menjadikan sarang
laba-laba menjadi pelindung/penolong diri kita.
perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah
adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan Sesungguhnya rumah yang paling
lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.
(surat Al Ankabuut
(29) ayat 41)
10. Berdasarkan surat An Nisaa' (4) ayat
49) dikemukakan bahwa kita tidak diperkenankan untuk menganggap diri bersih,
menganggap diri mampu, menganggap diri hebat padahal kita menumpang di rumah oran g lain.
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya
bersih?[308]. sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka
tidak aniaya sedikitpun.
(surat An Nisaa' (4)
ayat 49)
[308] Yang dimaksud
di sini ialah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menganggap diri mereka
bersih. Lihat surat Al Baqarah ayat 80 dan ayat 111 dan surat Al Maa-idah ayat
18.
Sebagai manusia yang hidup secara beretika tentu kita harus mengerti dan
paham betul terhadap sepuluh hal yang kami kemukakan di atas sehingga hal hal
tersebut di atas harus kita jadikan pedoman dan pelajaran saat menjadi Khalifah
di muka bumi ini, terkecuali jika kita sendiri yang memilih menjadi Khalifah yang
dibanggakan oleh Syaitan.
E. TERHINDAR DARI KEPEMIMPINAN SYAITAN
Berdasarkan surat Al A’raaf (7) ayat 27 di bawah ini, sebagai orang yang
beriman yang telah mampu mendirikan shalat dan juga menunaikan Zakat maka kita
dihindarkan dari kepemimpinan syaitan yang terkutuk kepada diri kita sehingga hanya
orang orang yang tidak berimanlah yang akan dipimpin oleh syaitan syaitan saat
hidup di muka bumi ini. Bayangkan syaitan yang seharusnya menjadi musuh,
berubah drastis menjadi pemimpin pemimpin bagi orang yang tidak beriman.
Tentunya hasil akhir dari kondisi ini sangatlah berbeda jika syaitan yang
menjadi musuh bagi setiap manusia.
Hai anak Adam, janganlah sekali-kali
kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu
bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan
kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat
kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami
telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang
tidak beriman.
(Surat Al A’raaf (7) ayat 27)
Sebagai Khalifah di muka bumi yang telah berimana kita harus bisa
menjadikan Syaitan sebagai musuh abadi diri kita, bagi anak dan keturunan
selama hayat masih dikandung badan. Dan jika kita sampai diri kita menjadikan
Syaitan beserta antek-anteknya sebagai kawan, sebagai komandan, sebagai
konsultan, sebagai pengawal, sebagai guru, sebagai atasan bagi diri kita
berarti kita telah melanggar ketetapan Allah SWT yang berlaku di muka bumi ini
dan berarti bersiap-siaplah menanggung segala resiko yang ditimbulkan oleh
tindakan kita sendiri yang tidak menjadikan Syaitan sebagai Musuh.
Sekarang Syaitan sudah diciptakan Allah SWT dan saat ini pun mereka semua
sedang melaksanakan apa-apa yang telah dikehendaki oleh Allah SWT, selanjutnya
apa yang harus kita sikapi? Untuk menghadapi Musuh, untuk mengalahkan Musuh,
maka hal yang pertama yang harus kita lakukan adalah memiliki Ilmu tentang
Musuh yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Tanpa kita tahu dan mengerti
tentang musuh kita, lalu bagaimana mungkin kita akan mengalahkan musuh kita.
Sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT lebih baik dari pada
Syaitan maka sudah sepantasnya dan seharusnya kita dapat mengalahkan segala
ajakan, mengalahkan segala pengaruh, mengalahkan segala hasutan, mengalahkan
segala iming-iming dari Syaitan. Selain daripada itu sudah seharusnya pula diri
kita mampu memenangkan pertandingan
melawan Syaitan saat menjadi Khalifah di muka bumi. Selanjutnya Syaitan yang
hanya tahu dan mengerti bahwa manusia hanya terdiri dari Jasmani saja dan
beranggapan bahwa Api lebih baik dari Tanah serta Syaitan tidak pula mempunyai
ilmu dan pengetahuan tentang Ruh dan Amanah 7, lalu pantaskah jika Syaitan yang
menjadi pemenang, atau diri kita malah jadi pecundang di dalam melaksanakan
Kekhalifahan di muka bumi sedangkan Allah SWT di dalam Kehendak-Nya sewaktu
menciptakan manusia mempunyai skenario bahwa manusia adalah pemenangnya.
Dan jika saat ini kita menjadi Pecundang dan Syaitan malah menjadi
Pemenang berarti apa yang dikehendaki oleh Allah SWT kepada diri kita, tidak
mampu kita laksanakan dengan baik karena kita tidak tahu diri, karena kita
tidak mau belajar tentang diri sendiri. Dan jika kita termasuk orang yang telah
beriman yang mampu mendirikan shalat dan menunaikan Zakat tentunya
kehendak Allah SWT itulah yang menjadi
Panduan dan Pedoman kita di dalam melaksanakan Kekhalifahan di muka bumi dan
ini berarti kita adalah Pemenang sehingga berhak pulang kampung ke tempat yang
terhormat, dengan cara yang terhormat, untuk bertemu dengan Yang Maha
Terhormat, dalam suasana yang saling hormat menghormati.
Sebagai Khalifah di muka bumi ketahuilah
dengan seksama, di langit dan di bumi yang diciptakan oleh Allah SWT, tidak
berlaku ketentuan waktu bisa diputar ulang, tidak akan pernah ada toko yang
khusus memperjualbelikan dosa dan juga pahala serta tidak akan pernah ada pula
peribahasa, menyesal adanya di muka. Adanya ketentuan ini, maka tidak ada jalan
lain bagi diri kita untuk segera memperbaiki diri jika kita belum sesuai dengan
kehendak Allah SWT, gunakan kesempatan yang masih kita miliki dengan
sebaik-baiknya, manfaat sisa usia kita sebelum Malaikat Izrail memisahkan Ruh
dengan Jasmani diri kita.
Hal ini dikarenakan Allah SWT
tidak akan pernah merubah keadaan diri kita yang hina, yang penuh dosa, yang
sesuai dengan kehendak Syaitan, yang berada di dalam jiwa Fujur, sepanjang diri
kita tidak mau melakukan perubahan di usia kita yang masih tersisa. Sehingga
jika kita berdosa maka kitalah yang akan menanggung segala akibat dari dosa
yang pernah kita lakukan dan ingat hanya saat hidup di muka bumi inilah kita
memiliki kesempatan langsung untuk
meminta ampunan kepada Allah SWT. Sekarang segera tentukan sikap, dengan
mengambil tindakan nyata, apakah kita mau menjadi makhluk yang terhormat
dihadapan Allah SWT atau mau menjadi makhluk yang terhormat dihadapan Syaitan.
Sebagai penutup, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan saat diri
kita melaksanakan perintah menunaikan Zakat yang sesuai dengan kehendak Allah
SWT, yaitu :
1.
jangan pernah sekalipun menjadikan diri kita sendiri
sebagai penerima Zakat (mustahik), akan lebih terhormat jika kita mampu
menjadikan diri kita sebagai Muzakki, atau menjadikan diri kita menjadi
orang-orang yang mampu selalu menunaikan Zakat, dimanapun, kapanpun dan dalam
kondisi apapun. Ingat, Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.
2.
Jika pada suatu waktu dan karena keadaan tertentu kita
tidak wajib menunaikan Zakat karena tidak memunuhi syarat Nishab dan Haul,
bukan berarti kesempatan untuk berbagi kepada orang lain tertutup bagi kita.
Masih ada jalan untuk membuktikan bahwa kita masih berguna bagi orang lain,
yaitu melalui pintu Infaq dan Shadaqah.
3.
Dan jangan pernah sekalipun kita membayarkan Zakat
kepada kedua orang tua kita sendiri, atau jangan pernah sekalipun kita
membayarkan Zakat kepada kedua orang mertua kita sendiri, karena mereka semua
bukanlah penerima Zakat dari diri kita, melainkan pemberian kita kepada orang
tua, kepada mertua, merupakan bukti bakti kita sebagai anak kepada mereka semua.
bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat
itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji,
dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang
yang bertakwa.
(surat Al Baqarah (2) ayat 177)
Hal ini dikarenakan ALLAH SWT telah menentukan siapa-siapa saja yang
berhak menerima Zakat seperti yang tertuang di dalam surat Al Baqarah (2) ayat
177 di atas, dimana orang tua kita atau mertua kita tidak termasuk sebagai
orang yang berhak menerima Zakat oleh sebab apapun juga.
4.
Dan yang terakhir, jika kita yang membutuhkan untuk
menunaikan Zakat maka kitalah yang membutuhkan fakir miskin, ingat yang
membutuhkan fakir miskin adalah diri kita, bukannya fakir miskin yang
membutuhkan kita sehingga kitalah yang harus mendatangi mereka saat menunaikan
Zakat, atau kita dapat juga menunaikan Zakat melalui Badan-Badan Amil Zakat
yang telah mendapat izin resmi dari pemerintah yang tentunya harus amanah
dengan tugasnya.
Hamba Allah SWT yang kami
hormati, hanya inilah yang mampu kami tulis, hanya inilah yang mampu kami ungkapkan,
hanya inilah yang mampu kami berikan, sebagai sumbangsih kami kepada diri,
keluarga, anak dan keturunan, masyarakat, bangsa dan juga negara. Semoga
buku ini bermanfaat sesuai dengan peruntukannya yaitu mampu menjadikan diri
kita tetap sebagai Makhluk yang Terhormat, yang mampu berperilaku Terhormat,
untuk bisa pulang kampung ke tempat yang Terhormat dengan cara yang Terhormat
sehingga kita bisa bertemu dengan Yang Maha Terhormat dalam suasana yang saling
hormat menghormati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar