ANAK ANGKAT DAN
SENGKETA WARIS
Oleh: Drs. H. Nur
Mujib, MH.
Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Timur
Kompilasi
Hukum Islam (KHI) mendefinisikan anak angkat dalam pasal 171 huruf (h) sebagai
:”anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan
sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orangtua asal kepada orangtua
angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan”. Sedangkan hukum kewarisan adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing;
Pengangkatan
anak, adopsi, selayaknya dilakukan dengan sebuah putusan Pengadilan. Dengan
menggunakan putusan Pengadilan maka dapat dijadikan sebagai bukti autentik
tentang adanya pengangkatan anak. Bila dikemudian hari ada sengketa tentang
pengangkatan anak tersebut maka putusan Pengadilan dapat dijadikan sebagai alat
bukti.
Dalam
hukum kewarisan anak angkat tidak termasuk ahli waris, karena secara biologis
tidak ada hubungan kekeluargaan antara anak angkat dengan orangtua angkatnya
kecuali anak angkat itu diambil dari keluarga orangtua angkatnya. Karena bukan
ahli waris, maka anak angkat tidak mendapatkan bagian sebagai ahli waris dari
warisan orangtua angkatnya. Walaupun tidak mendapat warisan dari orangtua
angkatnya akan tetapi anak angkat mendapat wasiat wajibat untuk mendapatkan
harta warisan orangtua angkatnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh KHI dalam
pasal 209 ayat (a) :”Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orangtua angkatnya”.
Kalaulah
pengangkatan anak itu dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka
tidak akan menimbulkan sengketa kewarisan. Sebab sudah jelas kedudukan anak angkat
tidak sebagai ahli waris dari orangtua angkatnya, anak angkat dapat menerima
warisan orangtua angkatnya dengan jalan wasiat wajibat. Tetapi faktanya ada
sengketa kewarisan antara anak angkat dengan ahli waris orangtua angkat
sebagaimana kasus dibawah ini.
Seorang
pewaris tidak mempunyai anak dan kedua orangtuanya sudah meninggal dunia tetapi
mempunyai seorang anak angkat dan meninggalkan beberapa orang ahli waris yang
terdiri dari saudara-saudara kandung pewaris. Para saudara kandung pewaris ini
menggugat anak angkat pewaris di Pengadilan Agama terhadap warisan pewaris,
karena warisan pewaris dikuasai oleh anak angkat tanpa mau berbagi dengan para
saudara pewaris. Menurut para saudara pewaris karena pewaris sudah tidak punya
orang tua dan tidak mempunyai anak kandung, maka mereka sebagai saudara-saudara
pewarislah yang menjadi ahli waris pewaris sedang anak angkat tidak mendapat
warisan tetapi hanya mendapat wasiat wajibat.
Dalam
pemeriksaan di persidangan anak angkat pewaris membantah gugatan saudara-saudara
pewaris bahwa ia bukan anak angkat pewaris tetapi ia adalah anak kandung
pewaris dan oleh karena pewaris mempunyai anak kandung maka saudara-saudara
pewaris terhalang (terhijab) untuk mendapat warisan pewaris. Maka sudah sesuai
dengan ketentuan hukum kalau ia menguasai harta warisan pewaris.
Para
saudara-saudara pewaris dan anak angkat pewaris bersikukuh pada pendiriannya
masing-masing.
Dalam
acara pembuktian saudara-saudara pewaris mengajukan bukti 2 orang saksi yang
mengetahui pengangkatan anak tersebut yang salah satu dari saksi itu adalah ibu
kandung anak angkat pewaris. Dalam kesaksiannya ibu kandung anak angkat pewaris
menyatakan bahwa benar anak angkat pewaris itu adalah anak kandung saksi dengan
suaminya yang diambil anak angkat oleh pewaris. Sewaktu diambil sebagai anak
angkat saksi masih di rumah sakit bersalin dan semua administrasi diatas
namakan pewaris.
Surat
keterangan lahir dibuat ayah kandungnya atas nama pewaris. Semua surat menyurat
yang berkenaan dengan kelahiran anak angkat diatas namakan pewaris. Anak angkat
mengajukan bukti dengan akta kelahiran yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil. Dalam akta kelahiran tersebut tertulis bahwa anak angkat
tersebut sebagai anak kandung pewaris.
Tentang
alat bukti dapat disampaikan bahwa alat bukti surat berupa akta kelahiran yang
dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil adalah akta otentik yang
mempunyai nilai pembuktian yang sempurna. Kesaksian adalah kepastian yang
diberikan di depan persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan
jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu
pihak yang berperkara di pengadilan. Batas minimal saksi adalah 2 orang.
Kekuatan kesaksian 2 orang saksi bersifat bebas (vrij bewijs kracht), maksudnya
hakim bebas untuk memberikan penilaian. Dalam kasus diatas jalan keluar yang
dianjurkan adalah pemeriksaan DNA. Pengadilan memerintahkan untuk pemeriksaan
DNA terhadap anak angkat, untuk ditetapkan adakah hubungannya biologis dengan
orangtua angkatnya atau yang mengaku sebagai orangtua kandungnya (salah satu
dari saksi). Dengan pemeriksaan DNA dapat dipastikan apakah anak angkat adalah
anak kandung pewaris atau bukan.
Tes
DNA adalah prosedur yang digunakan untuk mengetahui informasi genetika seseorang.
Dengan tes DNA, dapat diketahui garis
keturunan seseorang dan juga risiko penyakit tertentu. DNA
adalah deoxyribonucleic acid atau asam deoksiribonukleat. DNA akan
membentuk materi genetika yang terdapat di dalam tubuh tiap orang yang diwarisi
dari kedua orang tua. Setiap orang memiliki DNA yang berbentuk double
helix atau rantai ganda, satu rantai diturunkan dari ibu dan satu rantai
lagi diturunkan dari ayah. Hal inilah yang bisa mengungkapkan asal usul
keturunan. Hal ini bisa dilihat dari susunan DNA anak, lalu dibandingkan dengan
kedua orang tuanya. Kalau susunan DNA ibu dan ayah itu ada pada anak, berarti
anak itu adalah anak kandung. Keberhasilan tes DNA adalah 100 persen
akurat bila dikerjakan dengan benar. Tes DNA memberikan hasil lebih dari 99.99
persen kemungkinan paternitas bila DNA terduga orang tua dan
DNA anak akan cocok.
Dalam
kasus diatas terdapat beberapa kesalahan dalam mengangkat anak. Pertama bahwa
pengangkatan anak tersebut tidak dilakukan didepan persidangan Pengadilan
sehingga dalam kasus ini tidak ada bukti tertulis tentang pengangkatan anak.
Yang kedua pewaris dalam membuat akta kelahiran bagi anak angkatnya memang
sengaja menghilangkan nasab anak angkat dari orangtua kandungnya dengan
mengganti orangtua kandungnya itu dengan diri pewaris. Seharusnya dalam akta
kelahiran anak angkat itu tetap dicantumkan nama orang tua kandungnya yang asli
bukan pewaris sebagai orangtua kandungnya. Perbuatan pengangkatan anak seperti
yang dilakukan pewaris ini banyak dilakukan oleh masyarakat. Mengangkat anak
dengan menghilangkan hubungan hukum anak angkat dengan orangtua kandungnya
dengan cara, anak angkat tersebut dibuatkan akta kelahiran di Disdukcapil
dengan mencantumkan orangtua angkat sebagai orangtua kandungnya.
Islam
tidak membenarkan pengangkatan anak sebagaimana dilakukan pewaris
tersebut. Islam melarang mengambil anak orang lain untuk diberi status anak
kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta
peninggalannya dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua. Hal
ini sebagaimana ditegaskan dalam Surah al-Ahzab ayat 40 : “Muhammad
itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.”
Sebagaimana
kita ketahui sebelum nabi Muhammad diutus sebagai Rasulullah, dahulu ia
mempunyai seorang anak angkat yaitu Zaid Bin Haritsah. Waktu itu karena anak
angkat dihukumi sebagai anak kandung, maka Zaid itupun dipanggil oleh orang
banyak dengan panggilan Zaid Bin Muhammad, sampai kemudian turun ayat diatas
yang membatalkan anak angkat sebagai anak kandung, dan tetaplah Zaid dipanggil
dengan Zaid Bin Haritsah. Sejak itu anak angkat tetap menjadi anak kandung
orang tua biologisnya, hanya pemeliharaan dan biaya hidup sehari-harinya beralih
kepada orang tua angkatnya.
Perbuatan
semacam ini mungkin dipandang sepele oleh orang tua angkatnya, hanya masalah
administrasi saja. Masalahnya bukan sebatas hanya administrasi saja, tetapi
berkaitan dengan nasab, kemahraman, kewarisan dan perwalian seseorang yang
harus dikaitkan dengan orang tua kandung. Perbuatan semacam ini merupakan
kebohongan yang sangat dilarang dalam Islam. Islam mengatur bahwa penyebutan
anak itu tidak bisa dibangsakan kepada orang lain yang bukan ayahnya.
Penyebutan seorang anak hanya dibenarkan digandengkan dengan ayah kandungnya.
Harus menyebut Bin atau Binti ayah kandungnya. Tidak bisa disebut dengan Bin
atau Binti ayah angkatnya. Allah berfirman dalam surat al-Ahzab ayat 5:
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak
mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah”. Memanggil anak angkat dengan
membangsakan kepada bapak angkatnya adalah kebohongan, dosa besar.
Diriwayatkan
dari Saad Bin Abi Waqas bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang mengakui (bapak) yang bukan bapaknya sendiri, atau
membangsakan maula yang bukan maulanya sendiri, maka ia akan mendapatkan
kutukan Allah swt, Malaikat dan seluruh manusia. Allah tidak berkenan
menerima taubat dan tebusannya”. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
Rasululah
bersabda: “Tiada seorang laki-laki yang
mengakui bapak yang bukan bapaknya sendiri sedangkan ia mengetahui (hal itu),
melainkan dia telah kufur”. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
Rasulullah
bersabda: “Barang siapa mengakui bapak yang
bukan bapaknya sendiri, sedangkan ia mengetahui bahwa ia bukan bapaknya, maka
surga haram baginya”. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
Sungguh
sangat fatal akibat orang yang membangsakan seorang anak bukan dengan ayah
kandungnya tetapi dengan orang tua angkatnya. Dalam hadits-hadits diatas, orang
yang membangsakan anak dengan orang yang bukan ayah kandungnya akan mendapat
kutukan Allah, Malaikat dan seluruh manusia dan Allah tidak menerima taubat dan
tebusannya, juga ia dikatakan telah kufur dan surga haram baginya. Masyaallah,
na’udzubillah min dzalik.
Bagaimanapun
dekatnya hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, tetap saja
orang tua angkat adalah orang lain, tidak bisa menggantikan kedudukan orang tua
kandung. Ketika ia menikah haruslah berwali dengan orang tua
kandungnya tidak bisa berwali dengan orang tua angkatnya. Ketika membagi
waris juga hanya berhubungan dengan orang tua kandungnya. Anak angkat tidak
bisa menjadi ahli waris orang tua angkatnya. Demikian juga sebaliknya, orang
tua angkat tidak bisa menjadi ahli waris anak angkatnya.
Dalam
hukum kewarisan, sesuai dengan ketentuan pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
kalau orang tua angkat meninggal dunia, maka anak angkat akan mendapat wasiat
wajibat. Demikian juga kalau anak angkat meninggal dunia maka orang tua
angkatnya akan mendapat wasiyat wajibat.
Makna
“wasiat wajibah” adalah seseorang dianggap menurut hukum telah menerima wasiat
meskipun tidak ada wasiat secara nyata. Anggapan hukum itu lahir dari asas
apabila dalam suatu hal hukum telah menetapkan harus berwasiat, maka ada atau
tidak ada wasiat dibuat, wasiat itu dianggap ada dengan sendirinya.
Kalaulah
pengangkatan anak itu dibuat sesuai ketentuan yang berlaku, maka tidak akan
menimbulkan sengketa kewarisan. Karena kedudukan anak angkat sudah jelas, anak
angkat tetap sebagai anak angkat, tidak bisa menjadi ahli waris dari orangtua
angkatnya. Kalau orangtua angkatnya meninggal dunia anak angkat tidak mendapat
warisan dari orangtua angkatnya tetapi anak angkat mendapatkan wasiat wajibah
dari orangtua angkatnya. Wallahu a’lam bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar