Dzikir
(mengingat Allah SWT) juga dapat kita katakan sebagai cara yang paling efektif
untuk berdialog langsung dengan Allah sehingga membuat pedzikir atau hamba-hamba-Nya
mampu secara aktif berpartisipasi dalam komunikasi langsung dengan Allah SWT. Apalagi pedzikir yang sudah mampu
menampilkan penampilan Allah SWT setelah mereka berdzikir berarti ia mampu
membuat Allah SWT tersenyum bangga kepadanya.
Adanya
kondisi dzikir yang seperti ini tentu saja tidak bisa serta merta terlaksana
karena kondisi spiritual dari pikiran atau hati dari setiap orang yang berbeda
beda dalam menerimanya. Kesemuanya sangat tergantung dari ketinggian atau
kefitrahan spiritual yang dialami pedzikir pada saat berdzikir.
Allah SWT telah menyatakan apabila seorang hamba mengingat
(berdzikir kepada) Allah SWT dengan segala tingkatannya maka Allah SWT pun akan
mengingat diri kita lebih baik dari tingkatan dzikir yang dilakukannya.
Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Baqarah (2) ayat 152 berikut ini: “Maka
ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan
janganlah kamu ingkar kepada-Ku. (surat Al Baqarah (2) ayat 152).” Dan juga berdasarkan hadits qudsi
riwayat Ath Thabrani berikut ini: “Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi SAW bersabda:
Allah ta’ala berfirman: Apabila hamba-Ku berdzikir (ingat) kepadaKu sendiri,
maka Aku dzikir padanya sendirian. Dan apabila ia ingat (berdzikir) pada-Ku di
tengah khalayak ramai, niscaya Aku dzikir padanya di tengah kumpulan yang jauh
lebih baik dari kumpulan yang ia berdzikir
kepada-Ku itu. (hadits qudsi riwayat Ath Thabrani).”
Dzikir
kepada Allah SWT atau mengingat Allah SWT dapat pula dikatakan sebuah kehendak
dari diri kita untuk menemui Allah SWT sebagaimana dikemukakan di dalam hadits
berikut ini: “Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman:
Apabila hambaku ingin menemui-Ku, Aku pun ingin menemuinya. Tetapi bila ia
enggan menemui-Ku, Aku pun enggan menemuinya. (hadits qudsi riwayat Bukhari,
Malik dan An Nasa’i).” Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk terus menerus
berdzikir, mulai dari hendak tidur, bangun tidur, masuk dan keluar kamar mandi,
memakai baju, naik kendaraan, di perjalanan, melihat petir ataupun kejadian di
jalan, mau makan dan minum, selesai makan dan minum, dan di segala aktifitas
lainnya.
Kenapa
hampir tidak ada sedikitpun kegiatan kita yang luput dari berdzikir kepada-Nya?
Hal itu tak lain karena sesungguhnya rumah-rumah, rawa-rawa, gunung- gunung,
dan bumi ini akan menjadi saksi bagi orang orang yang berdzikir, pada hari
kiamat kelak, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Pada hari itu bumi menyampaikan
beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian
itu) padanya. (surat Az Zalzalah (99) ayat 4,5).
Kegiatan
mengingat Allah SWT (berdzikir) itu dapat dilakukan dengan tiga cara, dengan
catatan ketiganya tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya,
namun harus dalam satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, yang terdiri dari:
1.
Dzikir
dengan Lisan atau Ucapan. Dzikir dengan lisan (ucapan), yaitu dengan cara mengucapkan
lafazh-lafazh dzikir tertentu, baik dengan suara keras maupun dengan suara yang
hanya dapat didengar oleh orang yang berdzikir itu sendiri. Lafaz dzikir yang
baku itu harus dari Al-Qur’an dan Al Hadits di antaranya adalah tasbih, tahlil,
tahmid, asamaul husna, membaca Al-Qur’an, istighfar, doa, dan membaca shalawat
kepada Nabi Muhammad SAW. Allah SWT berfirman: “(Zakaria) berkata,, “Ya Tuhanku,
berilah aku suatu tanda.” Allah berfirman, “Tanda bagimu adalah bahwa engkau
tidak berbicara dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Dan
sebutlah (nama) Tuhanmu banyak banyak, dan bertasbihlah (memuji-Nya) pada waktu
petang dan pagi hari.” (surat Ali Imran (3) ayat 41)
Dzikir lisan adalah salah satu upaya
untuk melindungi mulut dari berkata kata yang tidak baik dan tidak bermanfaat.
Dengan berdzikir (mengingat Allah) diharapkan lisan dan hati kita selalu terjaga,
sebagaimana Rasulullah SAW telah mengingatkan kita, “Yang paling banyak memasukkan
manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, yaitu mulut dan farji (kemaluan).”
(hadits riwayat Ath Thirmidzi).” Dzikir melalui lisan bisa kita
laksanakan di manapun dan dalam kondisi apapun. Dzikir dengan lisan dapat kita gunakan untuk mengisi
waktu luang di tengah kemacetan atau di tengah antrian panjang sehingga dengan
dzikir lisan ini mampu menghilangkan kesempatan untuk mengucapkan sumpah
serapah. Akhirnya di tengah kemacetan dan antrian panjang kita bisa menikmati
apa yang dinamakan dengan ketenangan bathin. Dzikir dengan lisan ini juga dapat
menjadi alat bantu bagi kita untuk menghindarkan diri dari membicarakan aib
orang lain (ghibah), untuk tidak menyebarkan berita bohong dan lain
sebagainya.
Ingat, setiap lisan yang keluar dari
mulut merupakan parameter akhlak bagi si pengguna lisan itu. Misalnya, lisan
yang keluar dari mulut orang yang banyak omong dan sedikit berdzikir, maka
dzikirnya pun dapat berubah menjadi omongan. Sedangkan lisan yang keluar dari
pribadi yang berdzikir dan sedikit bicara maka bicaranya adalah dzikir. Seorang
pedzikir tentu tidak pernah menganggap remeh rendah peran mulut sebagai sarana
dzikirnya. Itu sebabnya ketika akan berdzikir, dia membersihkan mulutnya
melalui proses wudhu. Dia sucikan mulutnya secara lahiriah, sebelum menyucikan
secara bathiniah. Penyakit masuk melalui
mulut, malapetaka keluar dari mulut. (the best of Chinese Sayings)
Disamping menjaga lisannya, dia pun akan
menjaga mulutnya dari mengkonsumsi makanan yang haram, jika ditinjau dari sisi
dzatnya dan juga berhati-hati dalam mengkonsumsi barang-barang yang termasuk
dalam kondisi syubhat. Dia juga menjaga agar makanan yang dikonsumsinya
diperoleh dengan cara-cara yang halal.Sebagai pezikir jangan sampai kita
terjebak ke dalam kancah perhitungan pahala. Sehingga kita selalu menghitung-
hitung pahala dzikirnya, shalatnya, puasanya, sedekah dan zakatnya, umroh dan
hajinya. Pezikir yang seperti ini masih terjebak ke dalam parameter fikih.
Dzikir yang dilakukannya untuk mengejar pahala, bukan untuk menjadi sebuah
kebutuhan bagi dirinya dalam kerangka mencari rahmat dan ridha-Nya.
2.
Dzikir
dengan Hati (Kalbu). Dzikir dengan hati adalah dzikir yang memiliki keutamaan
yang paling tinggi karena si pelaku dzikir terus menerus berpikir tentang
keangungan Allah, kegagahan-Nya, keindahan ciptaan-Nya, dan ayat ayat-Nya di
langit dan di bumi. Praktik dzikir ini tanpa suara dan tanpa kata-kata. Allah
SWT berfirman: “Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut,
dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah
kamu termasuk orang orang yang lengah. (surat Al A’raf (7) ayat 205).” Melalui
dzikir hati atau kalbu ini mereka ingin memenuhi kalbu mereka dengan kesadaran
yang sangat dekat dengan Allah SWT, seirama dengan detak jantung serta
mengikuti keluar masuknya napas. Mereka meyakini bahwa keluar masuknya napas
yang dibarengi dengan kesadaran akan kehadiran Allah merupakan pertanda bahwa kalbu
ini hidup dan berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
3. Dzikir Perilaku (perbuatan) atau Amal
Shaleh. Dzikir
perilaku adalah patuh dan taat kepada Allah SWT dalam segala tindakan dan
ucapan. Inilah yang disebut dengan taqwa. Dzikir yang seperti ini merupakan
dzikir yang paling agung. Hal ini disebabkan seorang Muslim harus sudah berada
dalam posisi melaksanakan apa apa yang diperintahkan oleh Allah serta menjauhi
segala yang haram dan syubhat. Pedzikir ini telah mencapai puncaknya dzikir
yakni ketaqawaan, yang dibuktikan dengan amal shalehnya, sebagaimana firmanNya
berikut ini: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah yang paling bertwaqwa di antara kamu. (surat Al Hujuraat (49) ayat 13).”
Untuk itu dapat kami ilustrasikan sebagai
berikut: Katakan kita ingat bahwa Allah SWT adalah Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Jika ini yang kita ingat tentang Allah maka perilaku kita harus
sesuai dengan apa-apa yang kita ingat dari Allah SWT sehingga kitapun
berperilaku kasih dan sayang kepada sesama manusia. Demikian pula jika kita
mengingat Allah SWT adalah Yang Maha Pemberi Rezeki maka perilaku kitapun
setelah memperoleh rezeki harus siap membahagiakan orang lain melalui rezeki
yang kita terima dengan menunaikan infaq ataupun sedekah yang tidak lain adalah
perbuatan amal shaleh. Demikian seterusnya.
Sekarang mari kita bandingkan antara
pedzikir sejati dengan pedzikir munafik. Dzikirnya
pedzikir sejati akan sangat berbeda dengan perilaku pedzikir orang- orang
munafik. Orang munafik berdzikir mengingat Allah dengan lisannya hanya karena
ingin memamerkan aktivitas dzikirnya pada orang lain. Padahal, di hati mereka
tidak ada aktivitas dzikir itu, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “Sesungguhnya
orang orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan
apabila berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud ria
(dengan shalatnya itu) di hadapan orang lain dan tidaklah mereka menyebut Allah
kecuali sedikit sekali. (surat An Nisa’ (4) ayat 142).”
Usai berdzikir, mereka gunakan anggota
tubuh mereka untuk melakukan hal-hal yang tidak diridha Allah. Dengan mulut
yang sama, usai berdzikir mereka gunakan pula untuk berbohong, menipu,
membicarakan aib orang lain, mengeluarkan kata- kata yang tidak bermanfaat.
Bahkan mereka tidak sungkan-sungkan menerima sesuatu yang bukan haknya, pikiran
mereka berkata itu perbuatan dosa, tetapi hati mereka tak sanggup menolaknya. Nabi SAW bersabda: “Celaka, celaka, celaka, orang
yang banyak berdzikir dengan lidahnya, tetapi bermaksiat terhadap Allah dengan
perbuatannya. (Hadits Riwayat Adh Dailami)
Orang orang yang beriman berdzikir dengan
hatinya. Lisannya hanya menjadi jalan untuk dzikirnya. Lisannya ikhlas berdzikir karena Allah, tak ada maksud tersembunyi,
sehingga hasil dari dzikirnya akan sampai pada hatinya. Saat itulah
sesungguhnya, aktifitas dzikirnya menjadi sangat banyak, karena hatinya mampu
menterjemahkan dzikir lisannya menjadi dzikir perilaku dalam bentuk amal
shaleh. Akhirnya mereka menjadi orang-orang yang ringan tangan dalam
membantu saudara-saudaranya atau tetangga-tetangganya yang susah. Air matanya
mudah menetes melihat penderitaan dan kedzaliman yang berlangsung di sekitarnya.
Hidupnya didedikasikan untuk umat, dia ingin berbuat sesuatu yang bermanfaat
bagi orang banyak melalui aktifitas wakaf waktu atau mewakafkan sebahagian
waktunya untuk kemaslahatan umat. Selalu merasa berdosa atas sikap dan
perkataan yang dikeluarkannya, dia selalu melakukan kebaikan dan perbaikan
dalam hidupnya.
Secara umum jika kita mampu berdzikir
(baik lisan, hati dan perilaku) yang sesuai dengan kehendak Allah SWT akan
melahirkan sifat Al Muraqabah
(perasaan selalu diawasi oleh Allah) sehingga akan memasukkan pelakunya ke pintu Al
Ikhsan. Orang orang yang lalai tentu tidak akan sampai ke derajat Al Ikhsan. Dzikir juga akan melahirkan
sifat Al Inabah (dorongan jiwa ingin
selalu kembali kepada Allah) sehingga Allahlah yang ditakuti dan tempat kembali
serta tempat untuk berlindung. Seorang
pedzikir sejati tak pernah mengaku cinta kepada-Nya jika tak pernah merasa
rindu dengan-Nya. Dia tak akan pernah mengaku rindu kalau tak pernah mengingat-Nya.
Dan dia tak pernah merasa berdzikir apabila belum meneteskan air matanya. Air
mata rahmat, air mata yang menjaga dan melindungi dirinya pada Hari Kiamat
kelak. Insya Allah!.
Matinya hati adalah sebuah tragedi bagi
seorang manusia. Benar secara lahiriah dia hidup, fisiknya sehat dan bugar,
serta fikirannya cerdas. Tetapi di sisi lain, syahwatnya menggebu gebu, nafsu
berkuasanya tinggi, takabur dan ria dalam beramal, dan sepak terjang bisnisnya
menghalalkan segala cara. Inilah manusia yang hatinya telah mati. Karena itu,
pepatah Barat yang mengatakan, “Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang
sehat”, tidak cocok diberlakukan bagi orang yang beriman. Paradigma yang begitu
merasuk selama beberapa dekade di negeri ini memang sangat tidak cocok bagi
orang orang mukmin. Untuk apa kita memiliki tubuh yang sehat jika hatinya sakit atau
hatinya telah mati. Hidup yang kita jalani ternyata dapat membuat kita menjadi
mati. Maka sebelum mati itu datang menjemput. Jangan sia siakan manis
dan lezatnya kehidupan ini.
Ayo
berdzikir dan berpikir akan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Tak ada yang
lebih indah di dunia ini melainkan menjadi orang yang cerdas menurut kriteria
sang Pencipta berikut ini: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda tanda (kebesaran Allah)
bagi orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau
menciptakan semua ini sia sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab
neraka. (surat Ali Imran (3) ayat 190, 191).”
Celakalah
orang yang hidup tetapi hatinya sakit sebab di hidup di arena kemaksiatan. Dan
sia-sialah orang yang hidup tetapi memiliki hati yang mati sebab orang yang
demikian hidup dalam kekufuran. Hatinya dikunci mati oleh Allah, sama saja bagi
mereka diberi petunjuk atau tidak. Inilah hati orang kafir. Dan jangan biarkan
hidup ini diwarnai dengan semerbak wangi bunga kematian dan jangan biarkan hati
kita menjadi taman bagi sekuntum bunga kematian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar