Dzikir (ingat) kepada Allah ada dua macam, yaitu dzikir
wajib dan dzikir sunnah. Kita wajib berdzikir (mengingat Allah) dalam tiga
situasi.
1.
Kita
melihat adanya makhluk maka kita harus mengingat khalik-Nya.
2.
Apabila
kita melihat ciptaan, maka kita harus bisa menyadari kekuatan dan kebijaksanaan
Tuhan yang tidak terbatas karena telah memperlihatkan karya nyata berupa alam
semesta ini.
3. Kita
harus memandang Allah sebagai sumber anugerah dan seharusnyalah kita tidak
menyianyiakan cinta-Nya yang ditanamkan ke dalam hati kita. Dan sebagai
tingkatan pertama mengenal Allah, dzikir seperti ini adalah sebuah kewajiban
bagi setiap manusia. Apabila manusia telah mengenal Allah pada tingkat wajib
dan mulai mencintai-Nya dan mengabdi kepada-Nya maka dzikir yang terus
dilakukannya menjadi sunnah baginya. Artinya, disunahkan kepadanya agar setiap
kali melihat makhluk, ia selayaknya mengingat penciptanya. Setiap kali ia
melihat suatu karunia, haruslah ia menganggapnya sebagai hadiah dari Allah. Dan
dengan begitu, ia tak akan melupakan Allah SWT selama hayat masih di kandung
badan. Dzikir semacam ini tergolong ibadah yang paling baik.
Selain
dzikir wajib dan dzikir sunnah yang telah kami kemukakan di atas, masih ada
pilihan berdzikir kepada Allah SWT dalam bentuk yang lainnya, yaitu:
1. Dzikir
yang dikaitkan dengan Ingat kepada hasil ciptaan-Nya, kebesaran-Nya, kemahaan-Nya.
Jika dzikir ini yang kita lakukan terdapat pemisah antara diri kita selaku
hamba (abd’) dengan Allah SWT selaku Rabb;
2. Dzikir
yang dikaitkan dengan ingat langsung kepada Allah SWT. Jika ini yang kita
lakukan tidak ada lagi tirai, perantaraan, hijab atau penghalang antara diri
kita selalu hamba (abd’) dengan Allah selaku Rabb.
Selanjutnya
agar kita mampu berdzikir seperti yang kami kemukakan diatas ini, berikut ini
akan kami berikan sebuah ilustrasinya, yaitu: Sewaktu kita mengingat presiden
pertama dan kedua Indonesia, yaitu Ir Soekarno dan Jenderal Soeharto, secara
utuh. Tentu kita tidak bisa hanya mengingat sosok dan penampilan dari
penampilan phisik mereka belaka. Jika ini yang kita lakukan kepada mereka
berdua, tidak cukup bagi kita untuk mengingat secara baik dan benar. Kita juga
wajib mengetahui sejarah perjuangan keduanya, kita juga wajib mengetahui dan
memahami hasil dan karya nyata yang telah ditorehkannya baik yang tampil ke
permukaan (told story) maupun yang tidak tampil ke permukaan (untold story).
Barulah kita bisa mengenang mereka sebagai seorang yang berjiwa besar dan
pahlawan bagi bangsa Indonesia.
Kita
tidak akan bisa mengucapkan rasa kagum dan menaruh hormat kepada Ir Soekarno
dan Jenderal Soeharto selaku presiden Republik Indonesia, jika hanya
mengandalkan lisan semata. Kita harus mempergunakan segala elemen yang ada di
dalam diri seperti mempergunakan mata untuk melihat, telinga untuk mendengar,
ilmu untuk berpikir, hati untuk merasakan karya nyata mereka berdua, yang
dipergunakan secara utuh satu kesatuan, maka barulah kita bisa mengingat kedua
presiden Indonesia ini dengan baik dan benar.
Jika
kepada manusia saja kita harus seperti itu, lalu bagaimana kita bisa mengingat
Nabi Muhammad SAW dan juga Allah SWT sesuai dengan kehendak Allah SWT jika
hanya melalui lisan semata? Agar kita mampu melakukan mengingat (dzikir) wajib
kepada Allah SWT seperti yang kami kemukakan di atas, maka kita tidak bisa
melakukannya hanya sebatas lisan semata. Namun kita harus mempergunakan ilmu
dan pengetahuan yang diiringi dengan mata dan penglihatan, telinga dan
pendengaran, hati dan perasaan kita untuk merasakan langsung tentang Allah SWT.
Akhirnya dzikir (ingat
Allah SWT) harus kita maknai bukanlah
sebagai titik, melainkan sebagai koma. Sehingga tidak boleh berhenti sampai
disitu. Jika dzikir
dipahami sebagai titik, kita akan terjebak ke dalam ritual ibadah. Tak ubahnya
seperti orang orang Nasrani, Yahudi atau Majusi dalam melakukan ritual. Mereka
mengingat dan menangis saat beribadah, mereka pun merasa berada di titik nol,
mereka pun merasa berdosa dan memohon kepada tuhan mereka.
Kalau
kita dapat memahami hal itu, maka orang orang yang berdzikir sejatinya adalah
orang orang yang dapat melahirkan kesalehan individu yang tercermin dalam
kesalehan sosial dalam dirinya. Inilah salah satu tujuan paling mulia yang dimaksud
dari pelaksanaan ibadah dzikir kepada Allah, sebagaimana firman-Nya berikut
ini: “Apabila
kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah dengan menyebut
Allah, sebagaimana kamu menyebut nyebut (membangga banggakan) nenek moyangmu,
atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka diantara manusia ada
yang berdoa: “Ya Tuhan Kami, berilah Kami (kebaikan) di dunia”, dan Tiadalah
baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. (surat Al Baqarah (2) ayat
200).”
Seseorang
yang senantiasa berdzikir (mengingat Allah) pasti tidak akan menyia-nyiakan
atas apa apa yang telah diberikan Allah SWT sehingga hidupnya tidak akan
digunakan untuk mendatangkan dosa dan bencana bagi dirinya, bagi keluarga, bagi
masyarakat, bagi bangsa dan negaranya.
Pribadi
yang berdzikir tentu memiliki mata, telinga, hidung, perasaan, mulut, tangan,
kaki yang juga berdzikir. Hal ini karena semuanya selalu terjaga dan dijaga
oleh Allah SWT dan hasil dzikirnya tercermin dalam sikap dan dalam perbuatan. Untuk
itu kita bisa berkaca dengan apa yang dikemukakan oleh “Abu Darda ra, berikut
ini: “Setiap
sesuatu itu mempunyai kilapan dan kilapan hati itu adalah dengan berdzikir
kepada Allah SWT.” Dan Ibnu Taimiyah juga pernah berkata,
“Sesungguhnya kelezatan, kebahagiaan, dan keindahan yang tak bisa diungkapkan
dengan kata kata, hanya terdapat pada saat mengenal Allah SWT, mengesakan-Nya,
dan beriman kepada-Nya, serta saat mengambil manfaat lewat hakikat keimanan dan
pengetahuan Al-Qur’an.”
Selain
itu “Ibnu Al Qayyim Al Jauziyah yang juga
berkata, “Sesungguhnya hati itu bisa berkarat seperti halnya tembaga dan perak.
Maka untuk membersihkan karat tersebut adalah dengan berdzikir, sebab ia akan
membuantnya mengkilap seperti cermin putih. Apabila hari dibiarkan, maka ia
akan berkarat dan apabila dibawa berdzikir, maka ia akan cemerlang. Hati
berkarat itu disebabkan oleh dua hal, kelaiaan dan dosa. Sedangkan cara
membuatnya mengkilap adalah dengan istighfar dan dzikir.” Sehingga tetesan air matanya mudah
jatuh dan hatinya mudah tergetar ketika telinga, mata, perasaannya menangkap
lantunan ayat suci Al-Qur’an atau ketika melihat ada orang yang didekatnya
mengalami kesusahan atau mudah mendoakan orang lain tanpa diketahui oleh orang
yang bersangkutan. Hatinya selalu berbisik kepada matanya, kepada telinganya,
kepada tangan dan kakinya agar ia selalu mampu menampilkan penampilan Allah SWT
dalam hidupnya selama hayat masih di kandung badan. Sungguh Allah Maha Besar,
lalu nikmat mana lagi yang kita dustakan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar