Hamba
ALLAH SWT yang selalu dirahmati-Nya
Dalam kehidupan sehari-hari, kita
tidak bisa mengatakan diri kita jujur jika kejujuran yang kita miliki belum
pernah kita buktikan kepada diri sendiri ataupun kepada orang banyak. Adanya
kondisi ini berarti jujur tidak bisa hanya dikatakan secara lisan semata,
tetapi harus bisa dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari. Jika jujur yang
kita miliki harus dibuktikan dalam
kehidupan sehari-hari, sekarang bagaimana dengan diri kita yang telah mengaku
Route to ALLAH SWT, apakah juga harus ada buktinya (maksudnya adalah jika kita
telah mampu Ma’rifatullah yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT juga harus ada
buktinya)? Hal yang samapun terjadi pada diri kita yang telah Mengimani dan
Meyakini ALLAH SWT harus bisa pula dibuktikan dalam perbuatan & dalam
tingkah laku.
Sekarang seperti apakah bukti dari orang yang telah
Ma’rifatullah itu? Berikut ini akan kami kemukakan bukti-bukti yang harus
kita miliki jika benar kita telah Ma’rifatullah yang tentunya harus sesuai
dengan Kehendak ALLAH SWT, yaitu:
A. TAHU
SIAPA DIRI SESUNGGUHNYA dan TAHU SIAPA ALLAH SWT SESUNGGUHNYA
Bukti
pertama yang harus dimiliki oleh orang yang telah mampu Route to ALLAH SWT,
atau bukti dari orang yang telah Ma’rifatullah yang sesuai dengan kehendak
ALLAH SWT adalah kita harus Tahu Diri, yaitu Tahu Siapa diri kita sebenarnya
dan Tahu siapa ALLAH SWT itu sebenarnya. Sekarang
apa buktinya kita telah tahu siapa diri kita sebenarnya dan apa buktinya pula
kita telah tahu siapa ALLAH SWT sebenarnya? Sepanjang diri kita tidak mampu
membuktikan siapa diri kita sebenarnya dan siapa ALLAH SWT sebenarnya maka kita
belum bisa dikatakan telah Route to ALLAH SWT atau kita belum bisa dikatakan
telah Ma’rifatullah yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT.
Sekarang
mari kita pelajari keberadaan diri kita dari sisi ALLAH SWT selaku pencipta.
Sebagaimana kita ketahui, untuk dapat menciptakan sesuatu, harus di mulai dari
adanya Kehendak, Kemampuan dan Ilmu yang dimiliki oleh pencipta sesuatu. Hal
ini dikarenakan jika yang ada hanya Kehendak saja tanpa diiringi dengan
kemampuan berarti yang ada hanyalah angan-angan. Sedangkan jika yang ada
hanyalah Kemampuan saja tanpa diiringi dengan kehendak berarti yang ada hanya
khayalan belaka. Demikian pula jika kita hanya memiliki Ilmu tanpa dibarengi
dengan adanya kehendak dan kemampuan maka yang ada hanyalah konsep semata.
Sekarang langit dan bumi sudah ada dan diri kitapun sudah ada pula muka bumi,
timbul pertanyaan wajibkah pencipta langit dan bumi beserta isinya, termasuk
pencipta diri kita, memiliki Kehendak dan Kemampuan serta Ilmu? Tanpa adanya Kehendak dan Kemampuan serta
Ilmu dari Pencipta langit dan bumi serta diri kita maka langit dan bumi dan
juga diri kita tidak akan pernah ada.
Sekarang
siapakah yang memiliki Kehendak dan Kemampuan serta Ilmu yang begitu hebat
sehingga mampu menciptakan langit dan bumi dan juga diri kita? Berdasarkan
surat Ibrahim (14) ayat 19 yang kami kemukakan di bawah ini, ALLAH SWT lah yang
menciptakan langit dan bumi dengan haq dan jika ALLAH SWT yang menciptakan langit dan
bumi dengan haq berarti yang memiliki
Kehendak dan Kemampuan serta Ilmu yang sangat hebat adalah ALLAH SWT. Jika ini adalah kondisi dasar dari ALLAH
SWT kepada segala ciptaannya, lalu siapakah yang paling berkuasa di langit dan
di bumi? Berdasarkan akal sehat manusia, yang paling berkuasa di langit dan
di bumi pasti pencipta dan pemilik dari langit dan bumi itu sendiri, yaitu
ALLAH SWT.
tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya
Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan hak[784]? jika Dia menghendaki,
niscaya Dia membinasakan kamu dan mengganti(mu) dengan makhluk yang baru,
(surat Ibrahim
(14) ayat 19)
[784] Maksudnya: Allah menjadikan semua yang
disebutkan itu bukanlah dengan percuma, melainkan dengan penuh hikmah.
Sekarang punya apakah diri kita di langit dan di
bumi atau merasakah kita semua menciptakan langit dan bumi dengan segala
isinya? Berdasarkan kondisi di atas, maka dapat dipastikan kita tidak punya
apa-apa, kita ini miskin, karena kita tidak pernah sekalipun menciptakan langit
dan bumi beserta isinya. Sekarang jika
kita tidak punya-punya apa-apa di langit dan di bumi, atau jika kita bukan yang
menciptakan dan bukan pula yang memiliki langit dan bumi, lalu sebagai apakah
diri kita di muka bumi ini, serta patut dan pantaskah kita berlaku sombong di
langit dan di bumi ALLAH SWT?
Allah, Dialah yang
menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah
Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu
lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan
Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.
(surat
Ar Ruum (30) ayat 54)
Lalu bagaimana dengan keberadaan diri kita yang
saat ini sedang menempati langit dan bumi, atau telah bertempat tinggal di
langit dan di bumi yang diciptakan oleh ALLAH SWT, apakah diri kita ada dengan
sendirinya?
ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui."
(surat
Al Baqarah (2) ayat 30)
Berdasarkan surat Ar Ruum (30) ayat 54 dan surat Al
Baqarah (2) ayat 30 yang kami kemukakan di atas, bahwa pencipta diri kita
adalah ALLAH SWT sehingga keberadaan kita saat ini karena adanya ALLAH SWT.
Jika ALLAH
SWT adalah pencipta diri kita berarti keberadaan diri kita, keberadaan anak dan
keturunan kita, di muka bumi ini tidak akan bisa dilepaskan dari adanya
kehendak, adanya kemampuan dan adanya Ilmu ALLAH SWT yang sangat hebat serta
keberadaan diri kita tidak akan mungkin mendahului ALLAH SWT selaku pencipta
serta kita tidak akan pernah ada di muka bumi ini jika tidak pernah diciptakan
oleh ALLAH SWT (kita ada karena ALLAH
SWT).Adanya kondisi ini maka sudah sepatutnyalah kita berlaku sopan, berlaku
santun, selalu merendahkan diri dihadapan pencipta dan pemilik langit dan bumi,
terkecuali jika kita ingin memperoleh penilaian sebagai orang yang tidak tahu
diri.
Sebagai
orang yang telah Ma’rifatullah, patut dan pantaskah kita menempatkan diri kita
di atas ALLAH SWT, atau berlaku sombong di langit dan di bumi yang bukan kita
ciptakan dan bukan pula kita yang miliki saat hidup di dunia ini? Jika kita
telah Ma’rifatullah berarti kita tidak boleh mensejajarkan diri dengan ALLAH
SWT, kita harus selalu menghormati ALLAH SWT dimanapun, kapanpun dan dalam
kondisi apapun serta kita harus selalu melaksanakan segala ketentuan yang telah
ditetapkan berlaku oleh ALLAH SWT saat hidup di langit dan di bumi yang tidak
pernah kita ciptakan.
Timbul pertanyaan, apakah keberadaan diri kita di muka bumi
ini hanya sebatas Ciptaan yang diangkat menjadi KHALIFAH belaka sehingga kita
menjadi perpanjangan tangan ALLAH SWT atau Wakil ALLAH SWT di muka bumi ataukah
masih ada hal-hal lain yang lebih mendasar dari itu semua? Untuk
menjawab pertanyaan ini, kami akan mengilustrasikan sesuatu hal yang sering
kita lakukan, yaitu cerita tentang Stempel dan Cap. Cap dalam kehidupan
sehari-hari tidak akan ada di atas kertas jika tidak ada Stempel yang sesuai
dengan Cap tersebut yang di-Cap-kan di atas kertas. Dan jika sekarang Cap itu
sudah ada di atas kertas berarti Stempel yang sesuai dengan Cap pasti ada dan
sudah pula di-Cap-kan di atas kertas. Berikutnya berbedakah Cap yang ada di
atas kertas dengan Stempel itu sendiri?
Sepanjang Stempel tidak mengalami perubahan atau tidak pernah
berubah maka Cap yang ada di atas kertas akan sama persis dengan Stempel. Adanya
kondisi ini kita dapat mengambil pelajaran dari Stempel dan Cap, yaitu Cap
yang sesuai dengan Stempel yang ada di atas kertas pada hakekatnya adalah
bentuk dari manifestasi, atau tampilan dari Stempel itu sendiri sehingga Cap
akan selalu membawa nilai-nilai yang ada pada stempel, yang pada akhirnya Cap
harus bisa pula menampilkan perbuatan stempel kepada orang-orang yang berada
ditengah-tengah Cap.
Sekarang bagaimana dengan
keberadaan diri kita di muka bumi ini yang telah menjadi KHALIFAH, apakah
keberadaan diri kita juga seperti cerita Stempel dan Cap di atas? Keberadaan
diri kita pada dasarnya hampir sama dengan cerita Stempel dan Cap yang kami
kemukakan di atas. Adapun kondisi
keberadaan diri kita dapat dibedakan menjadi 3(tiga) tingkatan,
yaitu:
a. Secara Tersurat, atau
secara apa adanya, keberadaan diri kita di muka bumi adalah ciptaan ALLAH SWT. Adanya kondisi ini berarti
ALLAH SWT selaku pencipta dapat dipastikan lebih dahulu ada dibandingkan dengan
diri kita dan mustahil di akal, kita ada terlebih dahulu dibandingkan dengan
ALLAH SWT yang menciptakan kita.
b. Secara Tersirat,
keberadaan diri kita di muka bumi ini dapat dikatakan sebagai Tanda-Tanda
dari Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT; Simbol penampilan ALLAH SWT di alam;
misteri dari keghaiban ALLAH SWT; pemandangan bagi penampilan keindahan ALLAH
SWT; Gudang perbendaharaan ALLAH SWT; Gambaran dari Sifat dan Asmaul Husna
ALLAH SWT; Eksistensi ALLAH SWT bagi tersingkap-Nya hijab ALLAH SWT; Bayangan
ALLAH SWT di muka bumi, serta Rembulan yang memantulkan Cahaya Matahari
(Tuhan).
c. Secara tersembunyi, ALLAH
SWT berada di balik keberadaan diri kita sehingga diri kita tidak akan
mungkin dapat dipisahkan dengan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT itu sendiri.
Sebagai
KHALIFAH di muka bumi, sadarkah kita, mengertikah kita dengan ketiga kondisi
dasar yang telah kami kemukakan di atas? Jika
kita termasuk orang yang sadar dan juga tahu diri berarti kita sadar dan
mengerti benar bahwa ALLAH SWT sudah menempatkan dan sudah meletakkan diri kita
serta sudah pula memprogram diri sebagai Makhluk yang Terhormat yang
keberadaannya bukanlah sesuatu yang bersifat insidentil, datang tiba-tiba pergi
tanpa kesan.
Untuk itu
jika kita merasa sebagai perpanjangan tangan ALLAH SWT di muka bumi, atau jika
kita merasa sebagai wakil ALLAH SWT di muka bumi, maka sudah sepatutnya dan sepantasnyalah diri kita mampu melaksanakan,
mampu berbuat, mampu mempertunjukkan dan memperlihatkan segala Nilai-Nilai
Ilahiah yang termaktub dalam sifat Ma’ani dan Asmaul Husna ALLAH SWT kepada diri sendiri maupun kepada
masyarakat luas sepanjang hayat masih dikandung badan, seperti yang dilakukan
oleh Cap kepada Stempel dan juga mampu mengatakan pula bahwa manusia-manusia
lain yang ada di muka bumi kondisinya sama dengan diri kita, yaitu laksana Cap
dengan Stempel.
Jika ini
kita mampu lakukan berarti modal dasar untuk membangun masyarakat madani sudah
kita miliki. Selain daripada itu, sebagai makhluk yang terhormat, apa yang
harus kita lakukan setelah mengetahui bahwa keberadaan diri kita seperti hal
keberadaan Cap dengan Stempel? Sebagai
makhluk yang terhormat tentu kita harus berperilaku terhormat sesuai dengan
perbuatan Yang Maha Terhormat yang termaktub dalam sifat Ma’ani dan Nama-Nama
ALLAH SWT yang Indah, saat hidup di muka bumi ini, untuk bisa pulang kampung
kampung ke tempat yang terhormat, dengan cara yang terhormat, untuk bertemu dengan Yang Maha Terhormat
dalam suasana yang saling hormat menghormati.
Sekarang mari kita perhatikan apa
yang ALLAH SWT kemukakan di dalam surat Al Qiyamah (75) ayat 36 di bawah ini.
Berdasarkan surat Al Qiyamah (75) ayat 36, ALLAH SWT akan meminta pertanggungjawaban
kepada diri kita atas apa-apa yang telah diberikan ALLAH SWT kepada diri kita,
seperti Amanah7, seperti Hubbul, seperti Hati Ruhani tempat diletakkannya
Af’idah dan Akal. Adanya
kondisi ini berarti saat diri kita hidup di dunia, kita tidak bisa sembarangan
hidup, kita tidak bisa seenaknya hidup, kita tidak bisa sembrono saat hidup,
kita tidak bisa melanggar segala ketentuan dari pencipta dan pemilik alam
semesta ini. Terkecuali diri kita mampu mempertanggung jawabkan atas apa-apa
yang telah diberikan kepada diri kita. Agar pertanggung jawaban diri
kita diterima oleh ALLAH SWT, agar diri kita menjadi Pemenang dalam permainan
kekhalifahan di muka bumi, agar diri kita menjadi calon penghuni Syurga, agar
diri kita selalu sesuai dengan kehendak ALLAH SWT, maka kita harus beragama
saat hidup di dunia ini.
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan
begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?
(surat
Al Qiyamah (75) ayat 36)
Apakah hanya dengan berdiam diri saja, hanya dengan berpangku
tangan saja, hanya dengan duduk duduk santai saja maka kehormatan yang telah
kita miliki akan tetap terjaga dan terpelihara dari waktu ke waktu yang pada
akhirnya dapat menghantar diri kita pulang ke Syurga? Agar kehormatan yang telah kita miliki tetap terjaga, terpelihara kita
harus berjuang, kita harus berusaha memenuhi segala aturan yang mengatur
tentang kehormatan dari yang Maha Terhormat. Lalu apa yang harus kita
lakukan setelah memiliki agama? Jawaban dari pertanyaan ini ada pada pembahasan
selanjutnya.
a. AGAMA NABI
IBRAHIM as
Berdasarkan surat Al
Baqarah (2) ayat 132 yang kami kemukakan di bawah ini, Agama yang harus
dipeluk, atau yang dimiliki, atau yang harus kita laksanakan adalah Agama Nabi
Ibrahim as, yaitu Diinul Islam. Sekarang
timbul pertanyaan, kenapa harus Diinul Islam yang kita jadikan Agama yang Haq
saat diri kita melaksanakan tugas sebagai KHALIFAH di muka bumi?
dan Ibrahim telah Mewasiatkan Ucapan itu kepada
anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku!
Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, Maka janganlah kamu mati
kecuali dalam memeluk agama Islam".
(surat
Al Baqarah (2) ayat 132)
Diinul Islam berdasarkan
surat Ar Ruum (30) ayat 30 yang kami kemukakan di bawah ini, Diinul Islam
adalah Konsep Ilahiah yang diciptakan dari Fitrah ALLAH SWT yang khusus
dipersiapkan untuk kekhalifahan di muka bumi. Di lain sisi ALLAH SWT juga
menciptakan manusia (maksudnya adalah Ruhani) dari Fitrah ALLAH SWT sedangkan
ALLAH SWT itu sendiri adalah Maha Fitrah. Jika ini adalah kondisi dasar dari
Diinul Islam, kondisi dasar dari Ruhani berarti jika kita diperintahkan oleh
ALLAH SWT untuk menghadapkan wajah yang lurus ke Fitrah ALLAH SWT berarti kita
diberikan kesempatan oleh untuk melakukan sinergi antara diri kita dengan ALLAH
SWT melalui Diinul Islam dikarenakan kesemuanya tidak lain adalah Fitrah ALLAH
SWT.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168],
(surat
Ar Ruum (30) ayat 30)
[1168]
Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai
naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid,
Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara
pengaruh lingkungan.
Berdasarkan surat Ar Rumm (30) ayat 30 yang kami
kemukakan di atas ini, kita akan memperoleh beberapa ketentuan yang mendasar
tentang Diinul Islam, yaitu :
a. ALLAH SWT menegaskan
bahwa Manusia (maksudnya adalah Ruhani) diciptakan berdasarkan Fitrah ALLAH
SWT, ini berarti bahwa ALLAH SWT adalah Dzat
yang Maha Fitrah sehingga dengan kemahafitrahan-Nya diciptakanlah
manusia (termasuk di dalamnya Amanah 7
dan Hubbul).
b.
Fitrah ALLAH SWT tidak
akan pernah mengalami perubahan sedikitpun oleh sebab apapun juga, dengan
demikian maka Ruhani, Amanah 7 dan juga Hubbul yang dimiliki oleh manusiapun
tidak akan mengalami perubahan sifat Fitrahnya jika kita selalu berada di dalam
Fitrah ALLAH SWT.
c. Diri kita diperintahkan
oleh ALLAH SWT untuk menghadapkan wajah kita kepada Agama ALAH SWT, ini berarti bahwa manusia
diperintahkan oleh ALLAH SWT untuk selalu tetap berada di dalam Fitrah ALLAH
SWT.
d. Jika ALLAH SWT adalah
Dzat yang Maha Fitrah kemudian Manusia diciptakan berdasarkan Fitrah ALLAH SWT
maka Agama yang Lurus juga adalah Fitrah ALLAH SWT.
Berdasarkan apa-apa yang kami kemukakan di atas,
maka Diinul Islam dapat dikatakan
sebagai Konsep Fitrah yang berisi Tuntunan dan Pedoman yang harus dilaksanakan
oleh Manusia jika ia ingin tetap berada di dalam Kefitrahan ALLAH SWT. Jika
sekarang ALLAH SWT memerintahkan kepada Manusia untuk menghadapkan wajahnya
menuju Agama yang Lurus, ini berarti bahwa Fitrah yang dimiliki Manusia (dalam
hal ini adalah Ruhani dan Amanah 7 manusia) dipertemukan dengan Fitrah yang
dimiliki oleh ALLAH SWT, selanjutnya apa yang terjadi?
Jika Fitrah bertemu dengan Fitrah maka terjadilah kesesuaian,
terjadilah keserasian, dan terjadilah pulalah keselarasan antara diri kita
dengan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT, atau terjadilah sinergi antara Fitrah
yang dimiliki Manusia dengan Fitrah yang dimiliki ALLAH SWT melalui jalan Agama
yang Fitrah (dalam hal ini adalah Diinul Islam). Sekarang jika Manusia diciptakan oleh ALLAH SWT dari Fitrah-Nya (dalam
hal ini adalah Ruhani dan Amanah 7) maka Fitrah yang dimiliki manusia sudah
pasti lebih sedikit atau bahkan jika dibandingkan dengan Fitrah ALLAH SWT
mungkin Fitrah yang dimiliki manusia laksana setetes air yang menempel di ujung
jari ditengah lautan luas.
Sekarang manusia
diperintahkan oleh ALLAH SWT untuk menghadapkan wajahnya ke
Fitrah ALLAH SWT, siapakah yang paling diuntungkan dengan keadaan tersebut? Dalam hukum alam yang berlaku, yang kecil pasti dikalahkan oleh yang
besar, akan tetapi dalam Ilmu ALLAH SWT tentang Diinul Islam, hal ini tidak berlaku sebab jika Fitrah yang
Kecil bertemu dengan Fitrah yang Maha Besar maka yang kecil akan terbantu atau
akan tertolong oleh yang besar. Yang sering menjadi persoalan adalah Kita
yang Kecil berusaha ingin selamat, berusaha ingin di tolong, tetapi jalan yang
ditempuh justru melawan dan menentang Yang Maha Besar dengan menambah,
mengurangi apa-apa yang telah ditetapkan sebagai Syarat dan Ketentuan dari Yang
Maha Besar. Sekarang ALLAH SWT sudah menetapkan kepada Khalifah-Nya jika ia
ingin Selamat maka kita wajib melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah dengan
cara tidak menambah atau tidak mengurangi, atau tidak merubah-rubah, atas
apa-apa yang telah ALLAH SWT tentukan.
Lalu dapatkah kita Selamat jika antara diri kita
dengan ALLAH SWT tidak terjadi keselarasan, tidak terjadi keserasian dan tidak terjadi keseimbangan dalam hal Fitrah
atau tidak sesuai dengan Kehendak ALLAH SWT? Jika Handphone saja wajib
selaras, serasi dan seimbang dengan Operator Selular, apalagi kita dengan ALLAH
SWT. Untuk itu, kitapun harus selalu selaras, serasi dan seimbang dengan
gelombang dan siaran ALLAH SWT. Jika hal ini tidak terjadi atau kiita tidak
dapat melakukannya maka jangan berharap pertolongan, bantuan dari ALLAH SWT
atau Apa-Apa yang telah ALLAH SWT
janjikan kepada kita, dapat kita raih dan dapat kita peroleh.
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke
dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
(surat
Al Baqarah (2) ayat 208)
Apa yang dapat kita peroleh
jika kita melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah? Banyak hal yang akan kita
peroleh jika kita melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah saat diri menjadi
KHALIFAH di muka bumi, yaitu:
a. Kita tidak
sendirian saat melaksanakan tugas di muka bumi karena ALLAH SWT akan selalu
menyertai diri kita sepanjang diri kita mau menghadapkan wajah yang lurus
(maksudnya menghadapkan kefitrahan Ruhani) ke fitrah ALLAH SWT melalui Diinul
Islam.
b. Adanya Diinul
Islam yang kita laksanakan akan menjadikan diri kita memiliki pegangan,
pedoman, patokan, ukuran, saat melaksanakan kekhalifahan di muka bumi.
c. Adanya
Diinul Islam akan membuat dari kita terbebas dari pertanggungjawaban Amanah 7
dan Hubbul yang telah diberikan oleh ALLAH SWT kepada diri kita.
d. Adanya
Diinul Islam yang kita laksanakan akan menjadikan diri kita selalu di dalam
kehendak ALLAH SWT.
e. Adanya
Diinul Islam akan memudahkan diri kita mengalahkan Ahwa dan juga Syaitan serta
dapat menghilangkan pengaruh buruk yang berasal dari Ahwa dan juga Syaitan.
f. Adanya Diinul Islam yang kita laksanakan maka diri
kita telah masuk ke dalam benteng atau dalam lindungan ALLAH SWT.
Hal
yang harus kita perhatikan saat diri kita menjadi KHALIFAH di muka bumi adalah ALLAH SWT tidak butuh dengan KAFFAH yang
kita lakukan, ALLAH SWT tidak butuh dengan Amanah yang kita lakukan, ALLAH SWT
tidak butuh dengan Ibadah Wajib dan Ibadah Sunnah yang kita lakukan. ALLAH SWT
memberikan kebebasan memilih kepada diri kita, untuk memilih jalan yang terbaik
bagi diri kita, mau pulang ke Syurga silahkan dan jika ingin pulang ke Neraka
silahkan. Pilihan hanya satu, mau menjadi calon penghuni Syurga
ataukah menjadi calon penghuni Neraka. Selamat Memilih dan bersiap-siaplah
menerima konsekuensi masing-masing.
b. TIDAK BERAGAMA
DI DUNIA akan HINA
Sekarang adakah resiko bagi manusia yang tidak mau menjadikan
Diinul Islam sebagai Agama yang Haq di muka bumi ini? Jika kita merasa bahwa
diri kita bukanlah siapa-siapa, jika kita merasa bahwa diri kita misikin saat
hadir di muka bumi, sudah sepantasnya diri kita mau menerima, mau melaksanakan,
segala apa yang telah menjadi ketentuan pencipta dan pemilik langit dan bumi.
Akan tetapi jika kita tidak mau melaksanakan, tidak mau menerima Diinul Islam
sebagai Agama yang Haq berarti diri kita termasuk orang yang tidak tahu diri.
Untuk itu bersiap-siaplah menerima hal-hal yang dikemukakan di dalam surat Al
Hajj (22) ayat 9-10 yang kami kemukakan dibawah ini. Apakah itu? Berdasarkan
surat Al Hajj (22) ayat 9-10, ALLAH SWT
akan memberikan hadiah berupa kehinaan di dunia dan juga kehinaan di hari
Kiamat kelak.
dengan memalingkan lambungnya[979] untuk
menyesatkan manusia dari jalan Allah. ia mendapat kehinaan di dunia dan dihari
kiamat Kami merasakan kepadanya azab neraka yang membakar. (akan dikatakan
kepadanya): "Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang
dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu dan Sesungguhnya Allah sekali-kali
bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya".
(surat
Al Hajj (22) ayat 9-10)
[979]
Maksudnya: menyombongkan diri.
Jika sampai hal ini terjadi pada diri kita berarti diri kita
telah keluar dari konsep awal penciptaan manusia. Apa buktinya? Dari makhluk yang terhormat telah turun
pangkat menjadi makhluk yang dihinakan. Dari makhluk yang berhak menempati
Syurga menjadi penghuni Neraka. Sebagai KHALIFAH di muka bumi, kita
tidak bisa menganggap remeh apalagi menganggap enteng Ancaman ALLAH SWT ini
dikarenakan ALLAH SWT tidak akan pernah ingkar janji kepada makhluk-Nya. Untuk itu jika saat ini diri kita masih
belum melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah, segera perbaiki diri saat ini
juga sebab waktu tidak akan pernah kembali
lagi. Atau jika saat ini diri
kita masih percaya bahwa ada Agama lain selain Diinul Islam mampu
mempertahankan kefitrahan diri serta mampu menghantarkan diri kita ke Syurga,
cepat-cepatlah lakukan Taubat Nasuha sebelum Ruh tiba dikerongkongan,
terkecuali jika kita ingin merasakan panasnya api Neraka Jahannam.
c.
DI DUNIA HARUS MENCARI RIDHA ALLAH
SWT dan AMAL SHALEH
Sebagai
makhluk yang menumpang di muka bumi, sebagai makhluk yang ada karena dihendaki
oleh pencipta dan pemilik dari langit dan bumi, sebagai tamu yang tahu diri
tentu sudah seharusnya dan sudah pula sepatutnya diri kita menjadi tamu yang
menyenangkan bagi pemilik langit dan bumi, atau menjadi tamu yang keberadaannya
sesuai dengan kehendak pemilik langit dan bumi. Timbul pertanyaan, agar diri
kita bisa melakukan hal itu semua, apa yang harus kita lakukan? Berdasarkan
surat Al Kahfi (18) ayat 28 yang kami kemukakan di bawah ini, kita harus selalu mencari ridha ALLAH SWT
di dalam setiap aktivitas yang kita lakukan serta mengerjakan amal shaleh.
Selain daripada itu kita tidak diperkenankan untuk mengejar kehidupan dunia
semata dengan mengabaikan kehidupan akhirat serta kita tidak diperkenankan pula
untuk memperturutkan Ahwa. Timbul
pertanyaan, apakah hanya sekedar itu saja kita berbuat saat menjadi KHALIFAH di
muka bumi?
dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan
orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap
keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena)
mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang
hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan
adalah keadaannya itu melewati batas.
(surat
Al Kahfi (18) ayat 28)
Sebagai KHALIFAH yang
keberadaannya ada karena kehendak ALLAH SWT maka sudah sepatutnya diri kita
selalu menyamakan perilaku dan perbuatan yang kita lakukan sesuai dengan
perilaku dan perbuatan dari pencipta dan pemilik langit dan bumi. Apa maksudnya? Jika ALLAH SWT selaku
pencipta dan pemilik memiliki nama Ar Rachman maka saat diri kita menjadi
KHALIFAH juga harus melakukan perbuatan yang sesuai dengan Ar Rachman yang
dimiliki ALLAH SWT.
Lalu bagaimana dengan Al Aliem yang dimiliki ALLAH SWT?
Sebagai KHALIFAH kita pun harus mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah
diberikan oleh ALLAH SWT sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan kepada esame
manusia. Demikian seterusnya sesuai dengan sifat Ma’ani dan Asmaul Husna ALLAH
SWT. Sekarang bagaimana jika diri kita tidak mau menyesuaikan diri sesuai
dengan perilaku dan perbuatan ALLAH SWT saat kita hidup di dunia atau kita
tidak mau melaksanakan perintah dari pemilik dan pencipta langit dan bumi? Jika sampai diri kita melakukan hal ini
berarti diri kita telah menjadi tamu yang tidak bisa menyenangkan bagi pencipta
dan pemilik langit dan bumi atau telah menjadi tamu yang tidak tahu diri
dikarenakan perintah tuan rumah sudah kita langgar atau diri kita sudah berani
menantang ALLAH SWT.
Selanjutnya sebagai KHALIFAH di muka bumi sudahkah
kita menyadari bahwa ALLAH SWT sangat berkuasa, sudahkah kita mengakui bahwa
ALLAH SWT Maha segalanya, sudahkah kita melaksanakan segala apa-apa yang telah
diperintahkan ALLAH SWT dengan ikhlas? Jika kita masih berkeinginan untuk hidup di muka bumi yang tidak pernah
kita ciptakan dan juga tidak pernah kita miliki, tidak ada jalan lain kecuali
menjadi tamu yang sesuai dengan kehendak pencipta dan pemiliki langit dan bumi
atau jadilah yang dapat menyenangkan hati tuan rumah, terkecuali
jika kita ingin menjadi tamu yang tidak tahu diri di langit dan di bumi ini.
B. MAMPU
menunjukkan dan membuktikan bahwa diri kita yang sesungguhnya adalah RUHANI
Bukti kedua yang harus kita
tunjukkan setelah kita mampu Route to ALLAH SWT, atau bukti dari diri kita yang
telah Ma’rifatullah yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT adalah Mampu
menunjukkan dan mampu membuktikan bahwa diri kita yang sesungguhnya adalah
Ruhani, serta mampu pula menempatkan orang lain yang ada di muka bumi ini juga
adalah Ruhani. Sekarang jika diri kita dan orang lain (maksudnya adalah
seluruh umat manusia) yang ada di muka bumi ini adalah Ruhani berarti semua
manusia yang ada di muka bumi, baik yang beragama Islam ataupun yang tidak
beragama Islam, asal sepanjang ia adalah manusia, dapat dipastikan semuanya
berasal dari ALLAH SWT atau dengan kata lain kita sekampung. Apa
dasarnya?
Berdasarkan surat As Sajdah (32)
ayat 9, setiap Ruhani manusia yang ada di muka bumi asalnya dari ALLAH SWT,
dimana Ruhani itu sendiri Ruhani adalah Nur ALLAH SWT. Selain daripada itu
setelah Ruhani ditiupkan langsung ke dalam Janin yang ada di dalam Rahim
seorang Ibu, ALLAH SWT juga memberikan kepada setiap manusia apa yang dinamakan
dengan Pendengaran, Penglihatan dan juga Af’idah atau disebut juga dengan
perasaaan. Adanya kondisi yang
dikemukakan ALLAH SWT melalui surat As Sajdah (32) ayat 9 berarti kondisi
dasar, atau kualiatas awal dari manusia yang sesungguhnya (maksudnya Ruhani dan
Amanah 7), atau kualitas awal dari diri kita yang sesungguhnya, sama
kualitasnya karena tidak pernah dibeda-bedakan oleh ALLAH SWT dan berdasarkan
surat Al A’raaf (7) ayat 172 seluruh Ruh manusia, siapapun orangnya, telah pula
menyatakan bertuhankan kepada ALLAH SWT.
kemudian Dia
menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan
bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali
bersyukur.
(surat As Sajdah (32)
ayat 9)
Timbul pertanyaan, seperti apakah
sifat dan perbuatan dari Ruhani yang berasal dari ALLAH SWT itu? Seperti kita
ketahui bersama, sifat dan perbuatan sangat dipengaruhi dari asal usul sesuatu.
Jika Ruhani asalnya dari ALLAH SWT maka sifat Ruhani tentu akan sama dengan
Perbuatan ALLAH SWT, dalam hal ini sifat Ma’ani dan Asmaul Husna.
Jika diri kita yang sesungguhnya adalah Ruhani berarti sifat dan perbuatan diri kita yang sesungguhnya harus pula mencerminkan perbuatan ALLAH SWT yang termaktub di dalam sifat Ma’ani dan Asmaul Husna, atau yang sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari Nilai-NIlai Ilahiah. Sekarang sudahkah perilaku diri kita yang sesungguhnya sesuai dengan kehendak ALLAH SWT? Jika apa yang kami kemukakan di atas ini belum dapat kita tunjukkan dan perlihatkan dalam kehidupan sehari-hari, berarti kita belum dapat dikatakan Ma’rifatullah yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT.
Sebagai KHALIFAH yang sudah Ma’rifatullah, berarti kita sudah menyatakan bahwa diri kita yang sesungguhnya adalah Ruhani yang tidak lain adalah Nur ALLAH SWT. Timbul pertanyaan, butuhkah diri kita yang sesungguhnya (maksudnya adalah Ruhani) dengan ALLAH SWT selaku pencipta dan peniup langsung Ruhani yang juga pemilik alam semesta ini, atau butuhkah Nur ALLAH SWT dengan ALLAH SWT selaku pencipta dari Nur itu sendiri? Berikut ini akan kami kemukakan jawaban dari pertanyan dimaksud, yaitu:
a.
Jika kita mengacu kepada surat Al Baqarah (2) ayat
30 yang menerangkan setiap manusia yang ada di muka bumi ini adalah KHALIFAH,
atau perpanjangan tangan ALLAH SWT di muka bumi, maka alangkah lucunya, alangkah
naifnya, alangkah tidak tahu dirinya seorang KHALIFAH yang ada di dunia ini
karena adanya Kehendak, Kemampuan dan Ilmu ALLAH SWT, serta sedang menumpang
pula di langit dan di bumi ALLAH SWT. Akan tetapi tidak mau mengakui, tidak mau
berhubungan, tidak mau berkomunikasi dengan yang mengutusnya dan yang
menjadikan dirinya sebagai KHALIFAH sedangkan ALLAH SWT itu sendiri ada
bersamanya.
Dan jika ini sampai kita lakukan kepada ALLAH SWT berarti memang kita tidak tahu diri. Selanjutnya jika kita termasuk orang yang tahu diri maka sudah sepatutnyalah kita selalu berkomunikasi dengan ALLAH SWT kapanpun, dimanapun, dan dalam kondisi apapun karena keberadaan diri kita di muka bumi ini ada karena ALLAH SWT, ada karena dikehendaki oleh ALLAH SWT dalam rangka melaksanakan rencana besar kekhalifahan di muka bumi serta karena Ruhani kita sangat membutuhkan ALLAH SWT.
Selain daripada itu, sebagai seorang KHALIFAH di muka bumi tentu kita tidak dapat begitu saja melaksanakan tugas sebagai perpanjangan tangan ALLAH SWT di muka bumi ini karena undang-undang, ketentuan, hukum yang berlaku di muka bumi bukan berasal dari diri kita, melainkan dari ALLAH SWT.
Untuk itu kita harus sadar dan kita harus mengerti bahwa ALLAH SWT adalah pencipta dan pemilik dari apa saja yang ada di langit dan di bumi sedangkan kita adalah sesuatu yang tidak memiliki apapun juga di langit dan di bumi ini. Kita hanyalah orang yang sedang menumpang, kita adalah tamu yang sedang bertamu, maka sudah sepatutnyalah kita berusaha dari waktu ke waktu untuk menjadi makhluk yang terhormat dihadapan Yang Maha Terhormat, dengan cara mematuhi segala ketentuan ALLAH SWT.
b.
Cahaya lampu tidak bisa melepaskan diri dari lampu,
karena dari lampulah cahaya itu berasal, atau cahaya ada karena adanya lampu.
Adanya kondisi ini berarti cahaya lampu tidak akan pernah ada jika lampunya
tidak ada dengan demikian cahaya lampu sangat membutuhkan lampu. Sekarang
bagaimana dengan Ruhani (Nur ALLAH SWT) yang asalnya dari ALLAH SWT? Jika
cahaya lampu saja sangat membutuhkan lampu, maka hal yang samapun berlaku pada
Ruhani yaitu Ruhani sangat membutuhkan
ALLAH SWT, atau Nur ALLAH SWT sangat membutuhkan ALLAH SWT.
Sekarang apa jadinya cahaya lampu jika tidak disambungkan dengan lampu? Cahaya lampu menjadi tidak ada, atau cahaya lampu akan mengalami degradasi kualitas, atau cahaya lampu menjadi suram karena tidak memiliki cahaya lagi, atau cahaya lampu hilang ditelan kegelapann (maksudnya Ahwa dan juga Syaitan). Sekarang bagaimana jika Ruhani tidak kita sambungkan dengan ALLAH SWT? Jika sampai Ruhani diri kita tidak kita sambungkan, atau tidak kita sinergikan dengan ALLAH SWT maka kualitas dari diri kita yang sesungguhnya mengalami penurunan, kemampuan Ruhani mengalami degradasi sehingga tidak mampu menolong Jasmani saat mengalami gangguan kesehatan, serta Ruhani akan mudah dipengaruhi oleh Ahwa dan juga Syaitan. Hasil dari ini semua dapat menjadikan diri kita dimasukkan ke dalam Jiwa Fujur, sesuatu yang paling dikehendaki oleh Syaitan sang Laknatullah serta paling tidak sesuai dengan kehendak ALLAH SWT.
Sebagai KHALIFAH di muka bumi yang telah menyatakan dirinya yang sesungguhnya adalah Ruhani, berarti sampai dengan kapanpun juga kita sangat membutuhkan ALLAH SWT, seperti halnya cahaya lampu yang sangat membutuhkan lampu. Sekarang jika Ruhani adalah diri kita yang sesungguhnya lalu bagaimana dengan orang lain yang ada di muka bumi? Hal yang samapun berlaku bagi semua orang yang ada di muka bumi ini, yaitu diri mereka semua yang sesungguhnya adalah Ruhani yang asalnya hanya dari ALLAH SWT semata dan berarti pula mereka semua sangat membutuhkan ALLAH SWT.
Wajibkah kita yang sudah menyatakan diri sebagai Ruhani untuk memperlihatkan, untuk mempertunjukkan sifat-sifat alamiah Ruhani yang selalu berkesesuaian dengan Nilai-Nilai Ilahiah dalam kehidupan sehari-hari? Jika kita merasa KHALIFAH di muka bumi yang sedang menumpang di langit dan di bumi ALLAH SWT, jika kita merasa orang yang tahu diri serta jika kita berkeinginan untuk menjadi Makhluk yang Terhormat, maka sudah sepatutnya berbuat, bertindak sesuai dengan Nilai-Nilai Ilahiah saat hidup di muka bumi, karena jika sampai hal ini tidak kita lakukan berarti kita belum bisa dikatakan Ma’rifatullah yang sesuai dengan Kehendak ALLAH SWT.
Selain daripada itu, jika kita membutuhkan ALLAH SWT berarti kita sangat membutuhkan pula Diinul Islam saat menjadi KHALIFAH di muka bumi. Sekarang apa jadinya kita yang sangat membutuhkan ALLAH SWT, akan tetapi jalan yang kita tempuh justru berseberangan dengan ALLAH SWT, atau tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki ALLAH SWT, dengan tidak mau mengakui dan melaksanakan Diinul Islam? Jika sampai ini terjadi pada diri kita berarti kita belum dapat dikatakan telah Ma’rifatullah yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT. Segeralah perbaiki diri mulai saat ini juga, sebelum semuanya terlambat dan juga karena kita tidak tahu kapan Ruh akan dipisahkan dengan Jasmani oleh malaikat pencabut nyawa, yaitu Malaikat Izrail.
C. MAMPU melaksanakan Diinul Islam secara KAFFAH.
Bukti ketiga yang harus ada di dalam diri setelah kita mampu Route to ALLAH SWT atau ciri dari diri kita yang telah Ma’rifatullah yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT adalah Mampu melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah, atau mampu melaksanakan Diinul Islam dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara satu ketentuan rukun dengan ketentuan rukun yang lainnya, selama hayat masih di kandung badan. Timbul pertanyaan, apakah itu Diinul Islam? Berdasarkan surat Ar Ruum (30) ayat 30, Diinul Islam bukanlah Agama melainkan konsep ALLAH SWT yang diciptakan dari Fitrah ALLAH SWT untuk kepentingan kekhalifahan yang ada di muka bumi sehingga melalui Diinul Islam inilah antara diri kita selaku KHALIFAH dapat memiliki keterikatan dengan ALLAH SWT di dalam Fitrah itu sendiri, karena diri kita juga diciptakan dari Fitrah sehingga kesemuanya berada di dalam satu kesatuan Fitrah.
Lalu seperti apakah Diinul Islam itu? Diinul Islam terdiri dari 3(tiga) ketentuan pokok yaitu ketentuan tentang Rukun Iman, ketentuan tentang Rukun Islam dan ketentuan tentang Ikhsan, dimana ketiganya tidak dapat dipisahkan oleh sebab apapun juga. Apa maksudnya? Adanya ketentuan di atas, maka kita tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan Rukun Iman saja dengan mengabaikan ketentuan Rukun Islam dan Ikhsan. Demikian pula sebaliknya kita tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan Rukun Islam saja dengan mengabaikan ketentuan Rukun Iman dan Ikhsan, atau kita tidak bisa melaksanakan ketentuan Ikhsan saja dengan mengabaikan ketentuan Rukun Iman dan Rukun Islam.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168],
(surat
Ar Rumm (30) ayat 30)
[1168]
Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai
naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid,
Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara
pengaruh lingkungan.
Apa contohnya? Contohnya perintah
mendirikan SHALAT, dimana perintah mendirikan SHALAT juga tidak bisa dipisahkan
dengan ketentuan Rukun Islam yang lainnya seperti Syahadat, Puasa, Zakat, Haji
serta ketentuan Rukun Iman dan ketentuan Ikhsan. Adanya kondisi ini berarti :
a. kita tidak bisa hanya mendirikan SHALAT saja dengan mengabaikan ketentuan Diinul Islam yang lainnya, atau
b. kita tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan tentang Syahadat saja dengan mengabaikan ketentuan Diinul Islam yang lainnya, atau
c. kita tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan Zakat saja dengan mengabaikan ketentuan Diinul Islam yang lainnya, atau
d. kita tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan Puasa saja dengan mengabaikan ketentuan Diinul Islam yang lainnya, atau
e. kita tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan Haji saja dengan mengabaikan ketentuan Diinul Islam yang lainnya, atau
f. kita tidak bisa hanya melaksanakan Rukun Iman saja dengan mengabaikan ketentuan Diinul Islam yang lainnya, atau
g. kita tidak bisa hanya melaksanakan Ikhsan saja dengan mengabaikan ketentuan Rukun Iman dan Rukun Islam.
Hal ini dikarenakan, pengertian dasar dari Rukun itu sendiri adalah ketentuan dasar yang harus dilaksanakan dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan oleh sebab apapun juga. Adanya kondisi dasar yang seperti ini maka kita harus mampu melaksanakan Diinul Islam secara satu kesatuan yang tidak terpisahkan (maksudnya adalah melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah) jika kita ingin selalu sesuai dengan kehendak ALLAH SWT, atau sesuai dengan fitrah ALLAH SWT dari waktu ke waktu selama Ruhani belum berpisah dengan Jasmani. Sekarang seperti apakah mekanisme Kerja pelaksanaan Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan itu dalam kehidupan sehari-hari? Berikut ini akan kami kemukakan mekanisme kerja pelaksanaan Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yang kiranya dapat kita jadikan patokan awal saat diri kita melaksanakaan Diinul Islam secara Kaffah, yaitu:
1. Ketentuan Rukun Iman.
Melalui Rukun Iman yang terdiri
dari 6(enam) ketentuan pokok, ALLAH SWT
berkehendak kepada diri kita untuk mengenal, untuk mengetahui, untuk mengimani,
serta untuk meyakini seluruh ketentuan Rukun IMAN yang terdiri: Iman kepada
ALLAH; Iman kepada para Rasul, Iman kepada Kitab-Kitab ALLAH SWT, Iman kepada
Malaikat; Iman kepada Hari Kiamat; Iman kepada Qadha, Qadar dan Taqdir. Sehingga
hasil akhir dari pelaksanaan dari Rukun Iman ini, harus dapat menghantarkan
diri kita mampu menempatkan dan meletakkan ketentuan Rukun Iman dalam satu
kesatuan yang tidak terpisahkan. Hal yang paling mendasar dari pelaksanaan
Rukun Iman adalah Iman kepada ALLAH SWT. Hal ini dikarenakan kedudukan ALLAH SWT sangat sentral dan
sangat sakral, dan juga dikarenakan tanpa Iman kepada ALLAH SWT maka Iman yang
lainnya menjadi batal. Selain daripada itu melalui Iman kepada ALLAH yang kita
lakukan harus dapat menghantarkan diri kita merasakan kenikmatan bertuhankan
kepada ALLAH SWT.
2. Ketentuan Rukun Islam
Melalui Rukun Islam yang terdiri dari 5(lima) ketentuan pokok, ALLAH SWT berkehendak kepada diri kita untuk selalu berinteraksi, untuk selalu merasakan secara langsung dengan apa-apa yang telah kita imani, apakah itu Iman kepada ALLAH SWT, apakah itu iman kepada Rasul, apakah itu iman kepada Kitab, apakah itu iman kepada Malaikat, apakah itu Iman kepada Hari Akhirat, apakah itu iman kepada Qadha, Qadar dan Taqdir melalui SYAHADAT yang kita laksanakan, melalui SHALAT yang kita dirikan, melalui PUASA, melalui ZAKAT yang kita tunaikan dan melalui ibadah HAJI yang kita laksanakan, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. melalui pelaksanaan SYAHADAT kita diperintahkan oleh ALLAH SWT untuk mempersaksikan ALLAH SWT secara langsung melalui segala Kemahaan dan Kebesaran ALLAH SWT yang yang ditampilkannya melalui ciptaan-Nya, melalui diri kita sendiri, melalui alam, melalui tumbuhan, melalui binatang, melalui udara, melalui air dan lain sebagainya. Sehingga berdasarkan itu semua kita akan mampu menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain ALLAH SWT yang mampu memperlihatkan, yang mampu mempertunjukkan segala kebesaran dan kemahaan yang dimiliki-Nya dengan sejelas-jelasnya, dengan segamblang-gamblangnya bahwa tiada Tuhan selain ALLAH SWT yang sanggup menciptakan itu semua.
Agar diri kita tidak salah langkah,
atau tidak salah di dalam melaksanakan
Diinul Islam maka ALLAH SWT
mengutus manusia pilihan-Nya yaitu Nabi Muhammad SAW sebagai utusan ALLAH SWT, yang akan
dijadikan sebagai suri teladan bagi seluruh umat manusia saat menjalankan tugas sebagai KHALIFAH di muka
bumi. Berikutnya, ada hal yang harus kita perhatikan yaitu kita tidak akan
dapat merasakan atau memperoleh apa-apa yang terdapat di balik maksud dan
tujuan perintah SHALAT, perintah PUASA, perintah ZAKAT dan perintah HAJI jika
kita tidak pernah melaksanakan SYAHADAT. SYAHADAT di dalam Rukun Islam
memegang peranan sangat penting dikarenakan SYAHADAT merupakan syarat utama
untuk menjadikan Agama Islam sebagai Agama yang Haq atau prasyarat untuk
merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT atau kunci pembuka bagi
kesuksesan hidup dan kehidupan yang kita jalani saat ini.
b. melalui
SHALAT, kita diperintahkan oleh ALLAH SWT untuk merasakan sendiri-sendiri rasa
dari kenikmatan bertuhankan ALLAH SWT, atau merasakan langsung hasil dari
berkomunikasi dengan ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan. Hal ini
dimungkinkan sebab melalui SHALAT yang Khusyu' maka kita dapat berdialog, dapat
berbisik langsung dengan ALLAH SWT, kita dapat meminta pertolongan kepada ALLAH
SWT, kita dapat meminta petunjuk kepada ALLAH SWT, kita dapat meminta ampunan
kepada ALLAH SWT, kita dapat mensucikan diri, agar diri kita hidup subur dan
makmur, dan lain sebagainya serta melalui SHALAT pula ALLAH SWT hendak
menyempurnakan segala nikmat-nikmat yang telah ALLAH SWT berikan. Sekarang
apa-apa yang terdapat di balik perintah mendirikan SHALAT tidak akan dapat kita
peroleh sebelum diri kita sendiri mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak
pemberi perintah mendirikan SHALAT.
c. melalui
PUASA, manusia diperintahkan oleh ALLAH SWT untuk mengembalikan Kefitrahan diri
yang telah tercemar akibat pengaruh Ahwa dan Syaitan selama kurun waktu 11
(sebelas) bulan. Hal ini dikarenakan yang berpuasa adalah Jasmani sedangkan
Ruhani pada bulan puasa, atau Ruhani pada saat berpuasa jangan pernah
dipuasakan sedetikpun.
Dengan dipuasakannya Jasmani selama kurun waktu tertentu maka kesehatan Jasmani dapat terjaga karena di-istirahatkan serta dengan dikuranginya makan kepada Jasmani diharapkan pengaruh Ahwa atau Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Jasmani dapat berkurang diganti dengan Nilai-Nilai Kebaikan yang dibawa oleh Ruhani sehingga pengaruh Syaitan kepada Ruhani dapat berkurang. Dilain sisi, Ruhani selama PUASA diberi kesempatan oleh ALLAH SWT untuk diberi makan seluas-luasnya tanpa batasan melalui ibadah Sunnah yang ditingkatkan oleh ALLAH SWT menjadi Wajib sedangkan ibadah Wajib dilipat gandakan pahalanya.
d. melalui ZAKAT, manusia diperintahkan oleh ALLAH SWT untuk membersihkan segala hasil usaha yang telah kita kerjakan selama kurun waktu setahun dengan mengeluarkan Hak ALLAH SWT atas segala hasil usaha yang telah kita lakukan di muka bumi yang tidak pernah kita miliki. Hal yang harus kita ingat adalah diri kita tidak memiliki apapun di muka bumi ini, karena ALLAH SWT lah kita bisa memiliki modal dasar berupa Jasmani, berupa Ruhani, berupa Amanah 7, berupa Hubbul, berupa Hati Ruhani tempat diletakkanya Akal dan Perasaan. Selanjutnya dengan adanya ZAKAT yang ditunaikan maka akan terciptalah keseimbangan antara orang yang berpunya (Muzakki) dengan orang yang tidak berpunya atau orang yang berhak menerima Zakat (Mustahik).
e. melalui ibadah HAJI, kita diundang oleh ALLAH SWT untuk datang ke Rumah ALLAH SWT (Baitullah) sebagai Tamu sedangkan ALLAH SWT sebagai Tuan Rumah, lalu kita diundang pula untuk menghadiri Open House yang diadakan oleh ALLAH SWT di Padang Arafah, minimal sekali seumur hidup. Hal yang harus kita perhatikan sewaktu melaksanakan ibadah HAJI adalah jadilah Tamu yang dapat menyenangkan Tuan Rumah dengan selalu mematuhi segala syarat Protokoler yang telah ditetapkan oleh Tuan Rumah berupa RUKUN Haji, WAJIB Haji ataupun SUNNAH Haji dan semoga ALLAH SWT ember oleh-oleh kepada diri kita Haji Mabrur.
3. Ketentuan Ikhsan
Ikhsan dapat dikatakan Buah atau Hasil dari pelaksanaan Rukun Iman dan Rukun Islam yang telah kita laksanakan yang akan tercermin dari seberapa tinggi Perbuatan Baik atau Kebaikan yang telah kita lakukan selama menjalankan tugas sebagai KHALIFAH di muka bumi yang kesemuanya terbukti saat diri kita melaksanakan Habblum Minannass. Semakin baik dan tinggi kualitas Rukun Iman dan Rukun Islam yang kita laksanakan maka semakin tinggi pula tingkat kualitas IKHSAN yang telah kita laksanakan, atau yang tercermin di dalam diri kita, demikian pula sebaliknya.
Sebagai KHALIFAH yang juga sudah Ma’rifatullah berarti kita sudah mampu melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah. Jika ini kondisinya berarti hasil dari pelaksanaan Diinul Islam tidak hanya dapat kita rasakan secara personal semata. Akan tetapi keluarga, anak keturunan, masyarakat, bangsa dan negara juga memperolah dampak positif dari keberhasilan diri kita melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah. Sekarang jika hanya diri kita saja yang merasakan dampak positif dari pelaksanaan Diinul Islam berarti kita belum bisa dikatakan telah Ma’rifatullah yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT.
D. Hasil
dari HUBUNGAN dengan ALLAH SWT (HABBLUM MINALLAH) terbukti saat berhubungan
dengan sesama manusia (HABBLUM MINANNASS)
Bukti keempat yang harus ada di dalam diri setelah kita mampu Route to ALLAH SWT, atau bukti dari diri kita yang telah Ma’rifatullah yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT adalah Mampu membuktikan, mampu memperlihatkan hasil akhir dari melaksanakan Hubungan dengan ALLAH SWT (Habblum Minallah) tercermin saat melakukan hubungan dengan sesama manusia (Habblum Minannass) sehingga diri, keluarga, masyarakat, bangsa, Negara mampu merasakan buah dari hasil kedekatan kita kepada ALLAH SWT atau dengan kata lain keberadaan diri kita di tengah masyarakat bukanlah menjadi beban bagi masyarakat melainkan berkah bagi masyarakat.
Sekarang seperti apakah Hubungan dengan ALLAH SWT (Habblum Minallah) itu? Hubungan dengan ALLAH SWT tidak dapat terjadi begitu saja terjadi, Hubungan dengan ALLAH SWT tidak dapat begitu saja terjalin dua arah. Hubungan dengan ALLAH SWT baru akan dapat terjadi dan memberikan dampak positif kepada diri kita jika:
a. Kita yang kecil wajib menyelaraskan, wajib menyerasikan, dan wajib menyeimbangkan dengan kondisi dan keadaan ALLAH SWT Yang Maha Besar.
b. Kita yang kecil harus berada di dalam ketentuan ALLAH SWT Yang Maha Besar.
c. Kita yang kecil harus sesuai dengan Syarat dan Ketentuan yang dikehendaki oleh ALLAH SWT Yang Maha Besar.
d. Kita yang kecil jangan pernah sekalipun meninggalkan ALLAH SWT Yang Maha Besar.
e. Kita yang kecil jangan pernah mencoba mengalahkan ALLAH SWT Yang Maha Besar.
f. Kita yang kecil jangan pernah sekalipun melecehkan ALLAH SWT Yang Maha Besar.
g. Kita yang kecil harus selalu berada di dalam gelombang dan siaran yang sama dengan ALLAH SWT Yang Maha Besar.
Selaku Makhluk yang tidak memiliki apapun juga saat datang ke muka bumi ini, sudahkah kita melaksanakan tujuh ketentuan yang kami kemukakan di atas? Jika kita termasuk orang yang telah Tahu Diri, apa yang kami kemukakan di atas sudah pasti dapat kita lakukan dengan sebaik mungkin karena hanya dengan itulah kita bisa bersinergi dengan ALLAH SWT. Sekarang siapakah yang paling diuntungkan jika kita mampu bersinergi dengan ALLAH SWT? ALLAH SWT sampai kapanpun juga tidak butuh dengan sinergi, akan tetapi kitalah yang sangat membutuhkan sinergi dengan ALLAH SWT. Adanya kondisi ini berarti yang paling diuntungkan adalah diri kita sendiri.
Sekarang diri kita sudah mampu Habblum Minallah, berarti saat ini kita sedang mensinergikan Ruhani kita dengan ALLAH SWT, kita sedang mensinergikan Amanah 7 yang ada pada diri kita dengan ALLAH SWT serta kita juga sedang mensinergikan Sibghah Asmaul Husna yang ada pada diri kita dengan ALLAH SWT. Akan tetapi jika proses sinergi yang telah kita lakukan dengan ALLAH SWT tidak dapat dikatakan berjalan sesuai dengan konsep Ma’rifatullah jika jika apa-apa yang telah tersambung dengan ALLAH SWT, jika apa-apa yang telah bersinergi dengan ALLAH SWT, tidak mampu kita tunjukkan di dalam perbuatan kepada sesama umat manusia secara utuh.
Untuk itu kita harus bisa menghilangkan saat ini juga konsep untung rugi di dalam berbuat dan bertindak, jika baik untuk diri, keluarga serta kita kelompok kerjakan, jika buruk untuk diri, keluarga serta kelompok ambil untungnya buang ruginya ketempat lain. Selain daripada itu konsep menyembunyikan sesuatu saat mengajarkan sesuatu hilang atau tidak berlaku lagi, yang ada hanyalah Ikhlas berbuat karena ALLAH SWT semata tanpa ada udang di balik batu. Apa maksudnya? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa contoh dari sinergi dimaksud, yaitu:
a.
Jika Ruhani bersinergi dengan ALLAH SWT, atau
Ruhani diri kita tersambung dengan ALLAH SWT berarti Ruhani diri kita mampu
menguasai Jasmani diri kita, sehingga Nilai-Nilai Kebaikan yang dibawa oleh
Ruhani mampu mengalahkan Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Jasmani. Dan
jika ini terjadi pada diri kita berarti segala perbuatan diri kita selalu
berada di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang tidak hanya dapat dinikmati
oleh diri sendiri, tetapi juga oleh keluarga, oleh anak dan keturunan, oleh
masyarakat, oleh Bangsa dan Negara.
b. Jika Ilmu yang kita miliki mampu bersinergi dengan Ilmu ALLAH SWT maka Ilmu tersebut tidak disimpan hanya untuk kepentingan diri, keluarga atau kelompok tertentu saja. Namun Ilmu itu harus diajarkan kepada semua orang tanpa ada yang ditutup-tutupi, tanpa ada yang disembunyikan sehingga berguna bagi semua orang.
c. Jika Qudrat yang kita miliki mampu tersambung dengan Qudrat ALLAH SWT maka segala kekuatan, segala kekuasaan yang kita miliki tidak hanya bermanfaat bagi diri, keluarga semata. Akan tetapi dengan Qudrat itu semua orang menjadi tertolong, terbantu, atau tidak mengakibatkan kerugian bagi masyarakat luas.
d. Jika Kalam yang kita miliki mampu tersambung dengan Kalam ALLAH SWT maka kata-kata, tutur kata, omongan yang keluar dari mulut kita tidak akan menyakiti hati orang lain, selalu bermanfaat, dapat menyenangkan banyak orang, dapat menjadi pendengar yang baik serta mampu menerapkan falsafah diam itu emas.
e. Jika Ar Rahman dan Ar Rahhiem, yang kita miliki tersambung dengan ALLAH SWT maka banyak orang tidak mampu yang ada disekitar diri kita tertolong, terbantu, oleh sebab keberadaan diri kita tanpa melihat siapa mereka, darimana mereka berasal serta kesenjangan sosial dapat teratasi dengan sendirinya.
f. Jika Ar Razaq yang kita miliki dapat tersambung dengan Af’al Ar Razaq yang dimiliki ALLAH SWT? Hal yang akan terjadi adalah kita tidak mau mengambil hak orang lain, kita tidak akan mau Kolusi, Korupsi, Nepotisme di dalam mencari Rezeki serta setelah memperoleh Rezeki sebagian dari Rezeki itu dikeluarkan kembali dalam bentuk Zakat, Infaq, Shadaqah, Jariah, yang pada intinya untuk menolong banyak orang. Demikian seterusnya.
Sekarang bagaimana dengan SHALAT yang didirikan oleh orang yang telah Ma’rifatullah (dalam hal ini telah mampu Habblum Minallah, Habblum Minannass) yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT? Orang yang telah Ma’rifatullah pasti mampu mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak dari pemberi perintah mendirikan SHALAT. Dalam hal ini mampu melaksanakan apa dikemukakan oleh ALLAH SWT dalam surat Al Ankaabut (29) ayat 45 yaitu mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar. Apa dasarnya? Hal ini dikarenakan melalui SHALAT yang kita dirikan berarti kita telah berusaha untuk mempertemukan Ruhani dan Amanah 7 yang berasal dari ALLAH SWT dengan ALLAH SWT (maksudnya adalah berusaha untuk mempertemukan Ruhani dan Amanah 7 dengan Kemahaan dan Kebesaran ALLAH SWT) sehingga dengan adanya pertemuan Ruhani dan Amanah 7 dengan ALLAH SWT akan terjadi apa yang dinamakan dengan sinergi antara Ruhani dan Amanah 7 diri kita dengan ALLAH SWT yang mengakibatkan diri kita selalu berada di dalam Kemahaan dan Kebesaran ALLAH SWT. Hasil akhir dari ini adalah Ruhani mampu mengalahkan Jasmani atau kondisi jiwa manusia masuk dalam kategori Jiwa Taqwa.
bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(surat Al Ankaabut (29) ayat 45)
Jika ini yang terjadi maka
pengaruh-pengaruh negatif yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan yang berasal
dari sifat-sifat Jasmani dapat kita kalahkan atau dapat kita hilangkan sehingga
yang ada adalah Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari Ruhani. Apa contohnya? Malas yang dibawa Jasmani hilang menjadi
Produktif, Pelit yang dibawa Jasmani hilang menjadi Dermawan, Keji dan Mungkar
yang dibawa Jasmani hilang menjadi Kasih Sayang kepada sesama, demikian
seterusnya sesuai dengan Asmaul Husna yang dimiliki oleh ALLAH SWT. Jika
sudah demikian keadaannya berarti Nila-Nilai Kebaikan akan selalu menyertai
individu-individu yang telah mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak
pemberi perintah mendirikan SHALAT.
Selain daripada itu, orang yang telah Ma’rifatullah akan mampu pula merasakan nikmat atau dampak positif SHALAT bagi kesehatan Jasmani, yaitu melalui gerakan-gerakan yang terdapat di dalam SHALAT seperti saat berdiri, saat takbiratul ihram, saat rukuk, saat sujud, saat I'tidal (bangun dari rukuk), duduk di antara dua sujud, saat duduk tasyahud awal, saat duduk tasyahud akhir dan saat salam, yang kesemuanya memiliki manfaat ditinjau dari sudut kesehatan jasmani. Adanya kondisi ini berarti mendirikan SHALAT memiliki dua manfaat bagi Jasmani, yaitu mampu menghilangkan atau meniadakan sifat-sifat Jasmani yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan akibat dari Ruhani tersambung atau bersinergi dengan kemahaan dan kebesaran ALLAH SWT dan juga mampu memberikan manfaat kepada Jasmani itu sendiri melalui gerakan SHALAT. Sekarang kita telah mengetahui bahwa manfaat SHALAT tidak hanya untuk kepentingan Ruhani saja, akan tetapi juga untuk kepentingan Jasmani.
Sekarang bagaimana jika setelah SHALAT kita dirikan, akan tetapi justru perbuatan korupsi, kolusi, nepotisme, pembalakan liar, menipu, menyebarkan fitnah, melakukan tindakan keji dan mungkar, mementingkan golongan tidak juga hilang dalam kehidupan kita atau Nilai-Nilai Keburukan yang disukai oleh Syaitan masih tetap kita lakukan bahkan kualitasnya malah meningkat dari waktu ke waktu? Jika apa yang kami kemukakan diatas masih tetap kita lakukan setelah mendirikan SHALAT berarti SHALAT yang kita dirikan belum sesuai dengan kehendak ALLAH SWT selaku pemberi perintah mendirikan SHALAT atau ada sesuatu yang salah di dalam SHALAT yang kita dirikan, yaitu kita tidak bisa melaksanakan perintah mendirikan SHALAT yang sesuai dengan perintah ALLAH SWT dan yang juga berarti kita belum bisa dikatakan telah ma’rifatullah yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT.
Sebagai KHALIFAH di muka bumi, jangan sampai diri kita hanya mampu Habblum Minallah semata, tanpa bisa membuktikan saat melaksanakan Habblum Minannass, atau kita harus bisa melaksanakan Habblum Minannass yang sesuai dengan konsep Habblum Minallah. Timbul pertanyaan, kapan kita harus melaksanakan itu semua? Melaksanakan Habblum Minallah dan Habblum Minannass harus kita laksanakan saat hidup di dunia karena hanya pada saat itulah kita diberi kesempatan untuk membuktikan itu semua dihadapan ALLAH SWT sebelum akhirnya kita mempertanggung jawabkan itu semua. Jika semua orang yang telah Ma’rifatullah mampu melaksanakan Habblum Minallah dan Habblum Minannass secara selaras, serasi dan seimbang, terjadilah apa yang dinamakan dengan Gemah Ripah Loh Jinawi, Masyarakat Madani serta tidak akan terjadi apa yang dinamakan dengan kesenjangan sosial. Dan jika sekarang yang terjadi adalah sebaliknya, seperti jurang yang kaya dan yang miskin sangat jauh, korupsi, kolusi serta nepotisme semakin merajalela, ketidakadilan semakin menjadi-jadi, kampanye hitam semakin tumbuh subur, berarti Ma’rifatullah yang telah kita lakukan belum sesuai dengan kehendak ALLAH SWT, atau ada sesuatu yang salah di dalam Ma’rifatullah yang kita lakukan.
E. Selalu
Memperhatikan Makanan dan Minuman Yang Dikonsumsi
Bukti kelima yang harus ada di dalam diri setelah kita mampu Route to ALLAH SWT atau ciri dari diri kita yang telah Ma’rifatullah yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT adalah mampu melaksanakan ketentuan ALLAH SWT yang tertuang di dalam surat Abasa (80) ayat 24, yaitu mampu memperhatikan dengan seksama apa-apa yang akan dimakannya, apa-apa yang akan dikonsumsinya, termasuk apa-apa yang akan dikonsumsi oleh istrinya/suaminya, oleh anak dan keturunannya.
Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.
(surat
Abasa (80) ayat 24)
ALLAH SWT masih memiliki ketentuan
lain yang mengatur tentang makanan dan minuman yang akan kita konsumsi, yaitu
berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 168 dan surat An Nahl (16) ayat 114 di
bawah ini, kita diwajibkan, kita diperintahkan oleh ALLAH SWT untuk selalu
mengkonsumsi makanan dan minuman yang memenuhi kriteria Halalan wa Thayiban,
atau Halal lagi Baik (maksudnya Halal lagi sesuai dengan ilmu gizi dan
kesehatan).
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari
apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
(surat Al Baqarah (2) ayat 168)
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah
diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya
kepada-Nya saja menyembah.
(surat An Nahl (16) ayat 114)
Selain ketentuan di atas,
masih ada ketentuan lain yang harus kita perhatikan sebelum makan dan minum,
yaitu berdasarkan Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, di bawah
ini, kita Wajib membaca Basmallah sebelum mengkonsumsi segala sesuatu, baik
makanan atau minuman. Dan juga kita juga diwajibkan untuk membaca doa sebelum
makan dan minum. Hal ini dikarenakan melalui doa yang kita panjatkan kepada
ALLAH SWT, semoga ALLAH SWT memberikan berkah dan karunia serta dihindarkannya
diri kita dari mudharat yang terdapat di dalam makanan dan minuman yang kita
konsumsi.
Ibnu Abbas r.a. berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Berkata Iblis: Ya Tuhan; Semua makhluk-Mu telah engkau tentukan rezekinya, maka manakah rezekiku. Allah berfirman: Rezekimu adalah makanan yang tidak disebut nama-Ku padanya.
(HQR Abussyekh; 272-259)
Sebagai KHALIFAH di muka bumi yang telah mampu Route to ALLAH SWT, ada satu hal penting lainnya yang harus kita perhatikan dengan seksama, yaitu ketentuan Halal lagi Baik (Thayib) dari makanan dan minuman yang akan kita konsumsi bukanlah ketentuan yang berdiri sendiri. Akan tetapi ketentuan ini juga sangat berkaitan erat atau tidak bisa dilepaskan dengan cara memperoleh makanan dan minuman yang akan kita konsumsi, atau ketentuan Halal lagi Baik sangat berhubungan erat dengan cara memperoleh penghasilan, atau sangat berhubungan erat dengan pekerjaan yang kita lakukan untuk mendapatkan makanan dan minuman. Sebagai kepala keluarga, sebagai suami yang baik, sebagai istri yang baik, ada baiknya kita memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.
Kita tidak bisa sembarangan bekerja. Kita harus memperhatikan apa yang
kita kerjakan itu sudah memenuhi Syariat yang berlaku ataukah melanggar Syariat, karena
hasil dari pekerjaan itu akan kita konsumsi bersama istri, suami dan anak
keturunan.
2. Kita tidak bisa sembarangan memperoleh penghasilan, atau uang. Kita harus memperhatikan dengan pasti dari manakah asalnya penghasilan atau uang tersebut, apakah halal, apakah haram, apakah melanggar ketentuan undang-undang yang berlaku, karena halal dan haram tidak bisa dicampur adukkan. Halal dan Haram adalah sesuatu yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri.
3. Kita tidak bisa sembarangan di dalam mendapatkan makanan dan minuman. Kita harus jeli dan tahu persis bagaimana makanan dan minuman itu kita peroleh, apakah dibeli dengan uang yang halal, apakah di dalam dengan cara mencuri, karena apa yang kita lakukan dapat berdampak negatif kepada apa yang akan kita konsumsi.
4. Untuk mendapatkan keluarga Syakinah, anak dan keturunan yang Shaleh dan Shalehah tidak akan mungkin bisa kita wujudkan, jika penghasilan, jika pekerjaan, jika makanan dan minuman yang kita konsumsi berasal dari yang Haram lagi Syaiat.
Sebagai KHALIFAH di muka bumi kita harus paham dan mengerti benar bahwa Haram dan Halal tidak akan mungkin sama kedudukannya dihadapan ALLAH SWT. Halal dan Haram sampai dengan hari kiamat akan tetap berbeda. Halal akan membawa kepada kebaikan sedangkan Haram akan membawa kepada keburukan. Jika ini adalah kondisi dasar dari ketentuan Halal dan Haram yang berlaku di muka bumi ini, maka mulai saat ini kita tidak bisa begitu saja makan dan minum, kita bisa begitu saja bekerja, kita tidak bisa begitu saja memperoleh penghasilan, kita tidak bisa begitu saja memperoleh makanan dan minuman, terkecuali jika kita ingin pulang kampung ke Neraka Jahannam bersama Syaitan sang laknatullah.
Sekarang pernahkah kita semua membayangkan jika Jasmani yang secara Sunnatullah sudah memiliki Sifat-Sifat yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan, atau disebut dengan Ahwa, lalu kondisi ini ditambah dengan sewaktu kita merawat dan memeliharanya, atau menjadikan regenerasi kekhalifahan di muka bumi dimana sumbernya atau makanan dan minuman yang kita konsumsi bersifat Haram lagi Syaiat? Apabila makanan dan minuman yang kita konsumsi memenuhi unsur Haram lagi Syaiat maka hal-hal sebagai berikut akan terjadi, yaitu :
a.
Sifat-sifat alamiah Jasmani yang mencerminkan
Nilai-Nilai Keburukan akan lebih sempurna keburukan-keburukannya.
b. Nilai-Nilai Keburukan yang terdapat di dalam Jasmani menjadi lebih kental, atau bahkan menjadi bertambah dengan adanya unsur Haram lagi Syaiat.
c. Adanya makanan dan minuman yang Haram lagi Syaiat maka Ahwa akan memperoleh tambahan bahan bakar sehingga kemampuan Ahwa untuk mengendalikan, mempengaruhi Ruhani menjadi bertambah kuat.
Jika sampai diri kita selalu memberikan makanan dan minuman kepada Jasmani berupa makanan dan minuman yang masuk dalam kategori Haram lagi Syaiat berarti kita telah memberikan kesempatan bagi Syaitan untuk membangun rumahnya, membangun istananya di dalamnya Jasmani diri kita, yang pada akhirnya akan memudahkan Syaitan untuk melaksanakan aksinya mengganggu, dan mengoda diri kita serta menjauhkan diri kita kepada jalan yang lurus dan juga menggagalkan diri kita memperoleh anak dan keturunan yang shaleh dan shalehah.
Setiap manusia pasti terdiri dari Jasmani dan Ruhani, lalu apakah hanya Jasmani saja yang membutuhkan makanan dan minuman untuk merawatnya, sehingga Ruhani tidak perlu di rawat dan dipelihara? Selama diri kita masih terdiri dari Jasmani dan Ruhani maka keduanya harus dirawat dan dijaga kesehatannya. Dan jika kita berpedoman kepada asal usul dari Jasmani dan Ruhani maka makanan dan minuman untuk merawat dan menjaga Jasmani dan Ruhani pasti berbeda. Sekarang makanan dan minuman apakah yang paling dibutuhkan oleh Ruhani?
Ruhani yang asalnya dari ALLAH SWT pasti Ruhani memerlukan kedekatan dengan ALLAH SWT. Untuk dapat mendekatkan Ruhani dengan ALLAH SWT, maka makanan dan minuman Ruhani adalah melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah, membaca dan mengamalkan Al-Qur’an, mendirikan Shalat, Menunaikan Zakat, melaksanakan Puasa, pergi Haji atau Umroh, Shadaqah Zariah serta Dzikir kepada ALLAH SWT. Adanya perbedaan makanan dan minuman antara Jasmani dan Ruhani maka kita harus pandai-pandai menyeimbangkan pemberian makanan dan minuman baik kepada Jasmani dan Ruhani. Untuk itulah kita tidak bisa hanya condong kepada Jasmani semata dengan melalaikan kebutuhan Ruhani, karena Ruhani juga membutuhkan Jasmani yang sehat. Demikian pula sebaliknya kita tidak bisa hanya condong kepada Ruhani semata dengan melalaikan kesehatan Jasmani, karena hidup adalah saat bersatunya Jasmani dengan Ruhani. Untuk itu kita tidak bisa hanya mementingkan makanan Ruhani saja dengan mengabaikan kepentingan Jasmani sebab baik Ruhani maupun Jasmani harus kita pelihara dan harus kita rawat sesuai dengan kondisinya masing-masing.
F. JIWANYA
adalah Jiwa TAQWA
Bukti ke enam yang harus ada di dalam diri setelah kita mampu Route to ALLAH SWT atau bukti dari diri kita yang telah Ma’rifatullah yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT adalah Jiwanya bukan Jiwa Fujur (dalam hal ini Jiwa Hewani, Jiwa Amarah dan Jiwa Musawwilah), akan tetapi jiwanya masuk di dalam kategori Jiwa Taqwa (dalam hal ini Jiwa Lawwamah dan Jiwa Muthmainnah). Timbul pertanyaan, seperti apakah Jiwa Taqwa itu? Jiwa Taqwa adalah bentuk kejiwaan seseorang dimana sifat-sifat alamiah Ruhani yang bisa mengalahkan sifat-sifat alamiah Jasmani sehingga tindakan atau perbuatan seseorang selalu berada di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari Nilai-Nilai Ilahiyah. Dan jika yang terjadi sebaliknya jiwa yang demikian dinamakan dengan Jiwa Fujur. Selain daripada itu Jiwa Taqwa dapat pula dikatakan sebagai sebuah keadaan dimana Ruhani mampu menjadi Komandan bagi Amanah 7 dan Hubbul yang ada di dalam diri manusia sehingga manusia selalu berada di dalam Kehendak ALLAH SWT.
Ukuran kesuksesan bagi manusia yang menjadikan
Ruhani sebagai Komandan bagi Amanah 7 dan Hubbul akan tercermin dari hasil
akhir atau menjadikan dirinya selalu melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik
dan dibenarkan oleh ALLAH SWT atau mengakibatkan orang lain menjadi senang atau
membawa manusia ke jalan menuju Syurga. Selanjutnya seperti apakah Jiwa Taqwa
tersebut? Jiwa Taqwa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Jiwa Lawwamah dan Jiwa
Muthmainnah.
1. Jiwa Lawwamah
Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).
(surat Al Qiyaamah (75) ayat 2)
Dan
adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya.
(surat
An Naazi’aat (79) ayat 40)
Selain
ke 4 (empat) hal yang kami kemukakan di atas ini, seseorang yang memiliki
Jiwa Lawwamah, ia akan cepat kembali ke jalan yang benar, atau tidak akan
berlama-lama di jalur keburukan setelah menyesali berbuat sesuatu yang tidak
sesuai dengan Syariat yang telah ditetapkan ALLAH SWT. Selanjutnya jika
kondisi yang kami kemukakan di atas ini terjadi pada diri kita, maka akan
mengakibatkan diri kita berada di daerah abu-abu, kadang-kadang berbuat baik
dan kadang-kadang masih berbuat jahat. Ketidakstabilan, kelabilan, menahan diri untuk berbuat baik, menyesali
perbuatan jahat yang telah dilakukan, tidak dapat dibiarkan terus berada di
dalam diri manusia atau tidak bisa dipelihara selamanya akan tetapi kita harus
keluar dari keadaan ini untuk menjadi lebih baik lagi.
Timbul
pertanyaan kenapa kita harus keluar dari Jiwa Lawwamah untuk menuju Jiwa
Muthmainnah? Hal ini dikarenakan Diinul Islam adalah Agama yang Haq dan juga
karena ketentuan ALLAH SWT tidak ada yang bersifat Abu-Abu, semuanya jelas,
apakah itu Putih dan apakah itu Hitam. Selain daripada itu adanya dua tempat
kembali manusia, bernama Syurga dan Neraka memiliki konsekuensi yang tegas pula
yaitu adanya ketentuan siapa yang berhak menempati Syurga dan siapa yang berhak
menempati Neraka. Adanya kondisi ini berarti
tidak akan pernah ada tempat kembali bagi yang Abu-Abu. Jika saat
ini, jiwa kita masuk dalam kategori Jiwa Lawwamah atau masuk wilayah Abu-Abu
dikarenakan kadang menang kadang kalah yang mengakibatkan diri kita tidak tahu
akan pulang ke mana, maka kita harus dapat meningkatkan jiwa kita dari Jiwa
Lawwamah menjadi Jiwa Muthmainnah sehingga kita akan dimasukkan oleh ALLAH SWT ke dalam calon penghuni Syurga dan
mampu mengalahkan Syaitan dan Ahwa.
2. Jiwa
Muthmainnah
Jiwa Muthmainnah berdasarkan surat Al Fajr (89) ayat 24-25-26-27 dibawah ini dikatakan sebagai Jiwa yang Tenang. Timbul pertanyaan, atas dasar apakah jiwa dikatakan Tenang? Jiwa dikatakan Jiwa yang Tenang karena Jiwa sudah tidak terpengaruh lagi oleh pengaruh alam (dalam hal ini pengaruh jasmani) karena jiwa mampu tersambung atau mampu bersinergi terus dengan ALLAH SWT dari waktu ke waktu, dimanapun, kapanpun, dan dalam kondisi apapun.
Untuk dapat menggambarkan Jiwa Muthmainnah yang ada pada diri manusia dapat kami kemukakan sebagai berikut: Pada saat diri kita mengalami suatu cobaan atau suatu keadaan yang mengakibatkan kerugian, maka yang dilakukan oleh manusia yang berjiwa Muthmainnah adalah ia tidak langsung mempergunakan Hubbul Hurriyah dan Amanah 7 yang dimilikinya bekerja. Akan tetapi ia terlebih dahulu mengadukan permasalahan yang di alaminya kepada ALLAH SWT atau memohon terlebih dahulu kepada ALLAH SWT untuk dicarikan jalan keluar yang terbaik atas permasalahan yang di alaminya. Setelah itu barulah orang tersebut menggerakkan Hubbul Hurriyah serta Amanah 7 yang ada di dalam diri untuk berbuat sesuatu guna keluar dari permasalahan yang dihadapinya melalui bantuan ALLAH SWT atau dengan melibatkan ALLAH SWT yang tentunya berada di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan.
Hal yang harus kita perhatikan jika
kita ingin memperoleh Jiwa Muthmainnah adalah nomor satukan ALLAH SWT
terlebih dahulu sebelum berbuat atau nomor satukan ALLAH SWT sebelum
mempergunakan Hubbul dan Amanah 7 serta yakin bahwa ALLAH SWT pasti akan
menolong diri kita sepanjang diri kita berada di dalam kehendak-Nya.
Dia mengatakan: "Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan
(amal saleh) untuk hidupku ini".
Maka pada hari itu tiada seorangpun yang menyiksa seperti
siksa-Nya[1577].
dan tiada seorangpun yang mengikat seperti ikatan-Nya.
Hai jiwa yang tenang.
(surat Al Fajr (89) ayat 24-25-26-27)
[1577] Maksudnya: kekerasan azab Allah sesuai dengan
keadilan-Nya.
Jiwa Muthmainnah merupakan bentuk
kejiwaan yang paling sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan yang dibawa oleh Ruhani
sehingga kita mampu melakukan segala aktivitas, selalu berbuat dalam
ketenangan, yakin, percaya diri, berilmu, mampu menghargai orang lain, mampu
bersikap tolerans, dermawan dikarenakan Amanah 7 dan Hubbul yang ada di dalam
diri selalu dipergunakan di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan. Selain
daripada itu, Jiwa
Muthmainnah merupakan kondisi kejiwaan yang paling sempurna sebab manusia telah
mampu menempatkan Ruhani sebagai jati diri manusia yang sebenarnya atau
manusia telah menjalankan jati diri manusia yang sebenarnya adalah RUH sehingga Nilai-Nilai Kebaikan menjadi pedoman di
dalam mengarungi kehidupan.
Adanya Jiwa Muthmainnah
di dalam diri manusia, akan menjadikan manusia mudah menjadi KHALIFAH di muka
bumi yang sekaligus Makhluk yang Terhormat. Di sinilah letak perjuangan manusia
yang sebenarnya yaitu dengan menjadikan diri menjadi jiwa yang tenang, jiwa
yang tahu akan kebesaran ALLAH SWT atau jiwa yang dapat memuluskan jalan untuk
pulang ke Kampung Kebahagiaan. Jika Jiwa
Muthmainnah yang terjadi di dalam diri kita, ini berarti pengakuan Ruh kepada
ALLAH SWT di waktu masih di dalam Rahim Ibu tetap teguh dan tidak tergoyangkan
sehingga Kenikmatan bertuhankan kepada ALLAH SWT dapat kita rasakan dalam hidup
dan kehidupan kita di dunia.
Di dunia kita akan
memperoleh kemudahan, akan mendapatkan pemeliharaan, pengawasan, jaminan serta
perlindungan dari ALLAH SWT sedangkan di akhirat kelak akan pulang ke Kampung
Kebahagiaan untuk bertemu Nabi Muhammad SAW dan ALLAH SWT. Sekarang apa yang
harus kita lakukan jika saat ini Jiwa kita masih berada di dalam kategori Jiwa
Fujur lalu ingin menjadi Jiwa Muthmainnah? Hal yang pertama kita lakukan adalah
melakukan Taubatan Nasuha yang kemudian melakukan Jihad atau bersungguh-sungguh melawan
Ahwa yang disenangi oleh Syaitan atau Perjuangkan secara sungguh-sungguh untuk
menundukkan Keinginan-Keinginan yang berada di dalam koridor Nilai-Nilai
Keburukan menjadi Nilai-Nilai Kebaikan sehingga berguna dan bermanfaat tidak
hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bagi masyarakat, bangsa dan negara serta
mungkin untuk dunia. Jika hal ini dapat dicapai oleh manusia maka
sukseslah manusia itu sebagai KHALIFAH di muka bumi yang sekaligus Makhluk yang
Terhormat. Sekarang ada pertanyaan baru
untuk kita semua, yaitu sudah sampai dimanakah posisi kejiwaan kita saat ini?
Mudah-mudahan jiwa kita sudah dalam kondisi Jiwa Muthmainnah.
G. Mampu BERSYUKUR dari waktu ke waktu
Bukti ketujuh yang harus ada di
dalam diri setelah kita mampu Route to ALLAH SWT atau ciri dari diri kita yang
telah Ma’rifatullah yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT adalah kita harus
mampu bersyukur kepada ALLAH SWT dari waktu ke waktu selama hayat masih
dikandung badan. Sekarang apa arti yang sesungguh bersyukur kepada ALLAH SWT?
Bersyukur kepada ALLAH SWT bukanlah mengucapkan Hamdallah, atau mengucapkan
terima kasih kepada ALLAH SWT karena diri kita telah mendapatkan sesuatu.
Syukur kepada ALLAH SWT adalah tindakan nyata yang kita laksanakan setelah
menerima sesuatu dari ALLAH SWT dimana tindakan yang kita lakukan harus sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh ALLAH SWT.
Hai orang-orang yang beriman,
ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikurniakan) kepadamu ketika datang
kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan
tentara yang tidak dapat kamu melihatnya[1204]. dan adalah Allah Maha melihat
akan apa yang kamu kerjakan.
(surat Al Ahzab (33) ayat 9)
[1204]
Ayat ini menerangkan kisah AHZAB Yaitu golongan-golongan yang dihancurkan pada
peperangan Khandaq karena menentang Allah dan Rasul-Nya. yang dimaksud dengan
tentara yang tidak dapat kamu Lihat adalah Para Malaikat yang sengaja didatangkan
Tuhan untuk menghancurkan musuh-musuh Allah itu.
Untuk memudahkan pemahaman tentang
Syukur, akan kami ilustrasikan hal-hal sebagai berikut: Katakan kita menerima
hadiah berupa kain sarung dari seseorang, lalu kita ucapkan terima kepada yang memberikan
kain sarung itu dan jika hal ini kita lakukan kita belum dapat dikatakan telah
bersyukur. Hal ini dikarenakan ucapan terima kasih adalah adab atau sopan
santun jika menerima pemberian dari orang lain. Kita baru bisa dikatakan
bersyukur jika kain sarung yang diberikan oleh seseorang kita pergunakan
sebagaimana mestinya. Jika kain sarung yang kita peroleh dari seseorang tadi
kita pergunakan untuk mengepel lantai, atau mencuci mobil, itulah bentuk dari
ketidaksyukuran diri kita akan hadiah kain sarung. Sekarang bagaimana dengan ALLAH SWT yang telah memberikan kepada diri
kita, hal-hal sebagai berikut:
a. ALLAH SWT telah memberikan Ruhani dan Jasmani kepada diri kita, lalu setelah Ruhani dan Jasmani bersatu yang melahirkan hidup, lalu sudahkah hidup yang kita laksanakan hari ini sesuai dengan kehendak ALLAH SWT, atau sudahkah hidup yang kita lakukan saat ini mampu menghantarkan diri kita menjadi Makhluk yang Terhormat?
b. ALLAH SWT telah memberikan Amanah 7 (dalam hal ini adalah Qudrat, Iradat, Sami' ,Bashir, Kalam, Hayat dan Ilmu), Akal, Perasaan, Hubbul (dalam hal ini Hubbul Maal, Hubbul Maadah, Hubbul Riasah, Hubbul Istitlaq, Hubbul Jam'i, Hubbul Syahwat, Hubbul Hurriyah), lalu sudahkah pemberian hal itu kita pergunakan sesuai dengan kehendak ALLAH SWT selaku pencipta dan pemberi itu semua?
c. ALLAH SWT telah memberikan kepada kita nikmat dan karunia kesehatan, sudahkah kesehatan yang diberikan oleh ALLAH SWT itu kita pergunakan untuk melakukan ibadah serta berbuat kebaikan kepada sesama?
d. ALLAH SWT telah memberikan kepada kita nikmat dan karunia rezeki yang berlebih, sudahkah hak ALLAH SWT yang terdapat di dalam rezeki dikeluarkan sebagai zakat, infaq dan sedekah sehingga jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin menjadi lebih sempit?
e. ALLAH SWT telah memberikan kepada kita Ilmu, sudahkah Ilmu yang diberikan oleh ALLAH SWT di ajarkan dan di amalkan kepada sesama tanpa ada yang disembunyikan karena takut dikalahkan oleh murid?
Sebagai makhluk yang sejak awal diciptakan oleh ALLAH SWT sebagai Makhluk yang Terhormat, jika kita hanya mampu mengucapkan Hamdallah atau ucapan terima kasih kepada ALLAH SWT atas nikmat dan karunia yang telah diberikannya kepada diri kita berarti diri kita bukanlah makhluk terhormat yang dikehendaki oleh ALLAH SWT sebab diri kita tidak mampu mencerminkan, atau tidak dapat menunjukkan perilaku terhormat kepada ALLAH SWT setelah menerima sesuatu yang paling berharga dari ALLAH SWT. Jika demikian kondisi dan keadaan diri kita kepada ALLAH SWT, tentu tempat kembali diri kita bukan yang terhormat lagi, melainkan Neraka Jahannam.
H. SESUAI KATA dengan PERBUATAN
Bukti kedelapan yang harus ada di dalam diri setelah kita mampu Route to ALLAH SWT atau bukti dari diri kita yang telah Ma’rifatullah yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT adalah sesuai kata dengan perbuatan, atau kita harus bisa membuktikan apa-apa yang telah kita katakan atau nyatakan dengan perbuatan yang kita lakukan. Sebagai contoh, jika kita hanya mengaku-ngaku Jujur tanpa pernah dibuktikan, tentu hal ini tidak dapat dijadikan patokan bahwa diri kita adalah seorang yang Jujur.
Untuk itu kejujuran yang ada pada diri kita harus dibuktikan terlebih dahulu di tengah masyarakat barulah timbul kepercayaan orang terhadap kejujuran yang kita miliki. Adanya kondisi seperti ini menunjukkan bahwa apa yang kita katakan baru dapat dipercayai oleh orang lain sepanjang apa yang kita katakan tersebut sesuai dengan apa yang kita perbuat. Tanpa ada kesesuaian Kata dengan Perbuatan maka apa-apa yang telah kita katakan tidak akan dapat memberikan dampak positif di masyarakat tentang apa yang kita katakan tersebut. Untuk itulah penilaian kejujuran harus diperoleh dan didapat dari orang lain atau harus berasal dari pihak ke tiga.
Setelah memiliki predikat Jujur lalu selamanyakah kita akan Jujur? Jujur yang ada di dalam diri tidak selamanya bisa bertahan dari waktu ke waktu, untuk itu Kejujuran harus terus dibina dan dipertahankan dari waktu ke waktu. Tanpa ada perawatan dan tanpa ada pembinaan tentang kejujuran yang kita miliki maka kejujuran yang ada pada diri kita kemungkinan akan luntur atau bahkan hilang. Bagaimana dengan Keimanan dan Keyakinan kita kepada ALLAH SWT, apakah Keimanan dan Keyakinan kondisinya sama dengan Kejujuran (maksudnya adalah sesuai kata dengan perbuatan)? Kualitas Keimanan dan Keyakinan yang ada dalam diri bukanlah diri kita sendiri yang menilainya. Untuk itu jika kita telah menyatakan Iman dan Yakin kepada ALLAH SWT maka hanya ALLAH SWTlah yang akan menilai Iman dan Yakin yang ada di dalam diri kita.
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,
dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang
belum berhubungan dengan mereka. dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
(surat
Al Jumu'ah (62) ayat 2-3)
Untuk membuktikan adanya Keimanan
dan Keyakinan kepada ALLAH SWT, tidak bisa hanya dikatakan dengan ucapan secara
lisan semata. Akan tetapi Keimanan dan Keyakinan kepada ALLAH SWT harus
ditunjukkan dan harus dibuktikan dalam perbuatan serta sikap kita kepada ALLAH
SWT dan juga kepada sesama manusia seperti halnya diri kita membuktikan adanya
Kejujuran. Jika Iman dan Yakin kepada ALLAH SWT yang kita miliki tidak bisa
dibuktikan kepada ALLAH SWT, lalu bagaimana ALLAH SWT akan tahu bahwa diri kita
telah Iman dan yakin kepada-Nya, atau bagaimana ALLAH SWT akan memberikan
penilaian atas keimanan dan keyakinan yang kita lakukan? Untuk
menunjukkan bahwa diri kita telah Iman dan Yakin kepada ALLAH SWT maka kita diharuskan untuk
menunjukkan bukti atas apa-apa yang telah kita nyatakan tersebut. Tanpa adanya Bukti
yang tercermin dari Perbuatan dan Tingkah Laku kita kepada ALLAH SWT yang kita
Imani dan Yakini maka diri kita belum dapat dikatakan telah Iman dan Yakin
kepada ALLAH SWT.
Hal yang harus kita perhatikan
adalaj, jika kita telah mampu Route to ALLAH SWT maka antara Kata dan
Perbuatan haruslah seiring dan sejalan. Jangan sampai Kata yang kita ucapkan
adalah Iman dan Yakin kepada ALLAH SWT namun Perbuatan yang kita lakukan tidak
mencerminkan apa-apa yang telah kita Katakan tersebut. Untuk itu kita harus
dapat membuktikan Keimanan dan Keyakinan kepada ALLAH SWT yang telah kita
ikrarkan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang mendukung apa-apa yang telah
kita Katakan. Ingat, ALLAH SWT, Maha Tahu dengan apa yang kita ucapkan dan
ALLAH SWT juga Maha Tahu dengan apa yang kita perbuat. Adanya kemampuan ALLAH SWT yang mengetahui itu semua
maka ALLAH SWT tidak akan pernah mampu dibohongi, atau ALLAH SWT tidak akan pernah mampu ditipu jika
kita hanya berpura-pura Iman dan Yakin.
Di dalam melaksanakan Iman dan
Yakin kepada ALLAH SWT hanya ada 2(dua) kondisi di hadapan ALLAH SWT yaitu Iman
dan Yakin kepada ALLAH SWT ataukah Ingkar kepada ALLAH SWT sebab tidak ada
Istilah Abu-Abu di dalam Iman dan Yakin kepada ALLAH SWT, atau yang pasti ALLAH
SWT tidak mengenal istilah Standard Ganda di dalam pelaksanaan Diinul Islam
secara Kaffah. Hal yang sering terjadi di tengah masyarakat adalah kita mau
menyatakan Iman dan Yakin kepada ALLAH SWT,
akan tetapi konsekuensi untuk menunjukkan keimanan dan keyakinan kepada
ALLAH SWT tidak mau kita lakukan. Sedangkan hasil akhir dari keimanan dan
keyakinan kepada ALLAH SWT tetap ingin kita peroleh. Dan hal yang pasti jika
kita menerapkan prinsip ini kepada ALLAH SWT, jangan pernah berharap kenikmatan
bertuhankan kepada ALLAH SWT dapat kita
rasakan, atau jangan pernah berharap kita berada di dalam Kehendak ALLAH SWT,
atau jangan pernah berharap dapat pulang kampung ke Syurga.
I. Mampu Menempatkan dan Meletakkan ALLAH SWT sesuai dengan Kebesaran yang dimilikinya
Langit dan bumi yang kita tempati saat ini bukan kita yang ciptakan dan bukan pula kita yang miliki. Langit dan bumi diciptakan dan dimiliki oleh ALLAH SWT dan jika langit dan bumi diciptakan dan dimiliki oleh ALLAH SWT maka ketentuan, undang-undang, hukum, peraturan yang berlaku adalah ketentuan, undang-undang, hukum dan peraturan ALLAH SWT. Adanya ketentuan, undang-undang, hukum dan peraturan yang berasal dari ALLAH SWT berarti kita yang sedang menumpang, kita yang sedang menjadi tamu di langit dan di bumi, tidak memiliki hak untuk menggantikan kedudukan ALLAH SWT untuk menilai, atau memberikan penilaian kepada diri sendiri, atau kepada orang lain yang sama-sama menumpang dan menjadi tamu di langit dan di bumi ALLAH SWT ini.
Apa contohnya?
Berikut ini akan kami kemukakan beberapa contoh dari ketentuan, hukum,
undang-undang dan peraturan ALLAH SWT yang ada di langit dan di bumi ini,
yaitu:
a. Di langit
dan di bumi ALLAH SWT telah berlaku ketentuan bahwa Agama yang Haq adalah
Diinul Islam. Dan jika Diinul Islam adalah Agama yang Haq berarti seluruh
penduduk bumi, seluruh yang menumpang, seluruh yang menjadi tamu, harus
melaksanakan Diinul Islam sesuai dengan kehendak ALLAH SWT, atau menjadikan
Diinul Islam sebagai Agama yang Haq di muka bumi ini.
Adanya kondisi ini berarti hanya ALLAH SWT sajalah yang boleh menilai, yang boleh memberikan penilaian kepada setiap manusia yang ada di muka bumi ini di dalam melaksanakan Diinul Islam. Dan jika sampai diri kita turut pula memberikan penilaian kepada diri sendiri atas pelaksanaan Diinul Islam, atau bahkan berani mengatakan diri kita saja yang benar di dalam melaksanakan Diinul Islam sedangkan orang lain salah, atau bahkan berani mengatakan orang lain Kafir sehingga harus dimusuhi berarti kita telah mengambil kedudukan ALLAH SWT, atau berani menggantikan posisi ALLAH SWT, padahal kita dan orang lain adalah tamu yang sama-sama sedang menumpang.
b. Sebelum diri kita ada di muka bumi, ALLAH SWT sudah menetapkan adanya Syurga dan adanya Neraka sebagai tempat kembali. Dan jika ini ketentuannya maka saat ini sampai dengan hari kiamat kelak, akan ada calon penghuni Syurga dan calon penghuni Neraka dan berarti pula ada hak hidup bagi calon penghuni Syurga maupun calon penghuni Neraka di langit dan di bumi ALLAH SWT.
Dan jika sampai diri kita merasa yang paling berhak menempati langit dan bumi yang dimiliki oleh ALLAH SWT sehingga orang lain yang tidak seagama dimusuhi berarti kita telah melebihi ALLAH SWT selaku pencipta dan pemilik. Hal yang harus kita perhatikan adalah ALLAH SWT yang paling berhak menentukan siapa yang akan masuk Syurga dan siapa yang berhak masuk Neraka sehingga kita tidak dapat mengklaim bahwa Syurga dan Neraka hanya untuk diri kita dan untuk kelompok kita saja.
c. Syaitan
sebelum manusia ada di muka bumi, sudah mendapatkan persetujuan untuk
mengganggu, menggoda seluruh anak dan keturunan dari Nabi Adam as, sampai hari
kiamat kelak. Dan jika saat ini Syaitan melaksanakan aksinya memang sudah
seharusnya demikian yang dilakukan oleh Syaitan kepada diri kita. Dan jika hal
ini sudah menjadi ketetapan ALLAH SWT kepada Syaitan maka kita tidak memiliki
hak apapun juga untuk membatalkan perjanjian ALLAH SWT dengan Syaitan.
Untuk itu kita tidak boleh memusuhi orang lain yang tidak mau beragama Diinul Islam karena mereka memiliki hak hidup di muka bumi, atau kita tidak boleh mengklaim hanya calon penghuni Syurga sajalah yang berhak hidup di langit dan di bumi ALLAH SWT ini dan jika hal ini sampai kita lakukan berarti memang kita tidak tahu diri.
Selain daripada itu, jika kita telah Ma’rifatullah maka kita harus dapat meletakkan dan menempatkan Nabi Muhammad SAW sesuai dengan kedudukannya dihadapan ALLAH SWT. Hal ini penting kami kemukakan karena Nabi Muhammad SAW tidak bisa menggantikan posisi ALLAH SWT, karena Nabi Muhammad SAW tidak bisa disejajarkan dengan ALLAH SWT, karena Nabi Muhammad SAW ada karena dikehendaki oleh ALLAH SWT. Nabi Muhammad SAW sebagai utusan ALLAH SWT tetaplah utusan, sebab pengutus lebih tinggi kedudukannya dibandingkan utusan itu sendiri. Sebagai KHALIFAH di muka bumi kita tidak boleh mendewakan Nabi Muhammad SAW seolah-olah lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan ALLAH SWT.
Nabi Muhammad SAW diutus oleh ALLAH SWT untuk menjadi suri teladan bagi diri kita saat menjalankan tugas sebagai KHALIFAH di muka bumi serta ALLAH SWT tidak pernah memerintahkan kepada umatnya untuk meniru penampilan phisik dari Nabi Muhammad SAW saat menjadi KHALIFAH di muka bumi. Dan jika di dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah ra, dikemukakan bahwa Akhlak Nabi Muhammad SAW adalah Al-Qur’an maka Akhlak kitapun harus seperti Akhlak Nabi Muhammad SAW, yaitu Al-Qur’an pula dan juga mampu menampilkan perbuatan ALLAH SWT yang termaktub dalam sifat Ma’ani dan Asmaul Husna saat hidup di muka bumi, seperti halnya Cap dengan Stempel.
Hal lain yang harus kita perhatikan yaitu ALLAH SWT bukan hanya bertindak sebatas pembuat ketentuan, pembuat undang-undang, pembuat hukum, pembuat peraturan, yang berlaku di langit dan di bumi ini. Akan tetapi ALLAH SWT juga bertindak sebagai penilai dari pelaksanaan ketentuan, penilai pelaksanaan undang-undang, penilai pelaksanaan hukum dan penilai pelaksanaan peraturan, yang dilaksanakan oleh seluruh manusia yang pernah ada di muka bumi ini dan yang terakhir ALLAH SWT adalah penentu siapa yang berhak menempati Syurga dan siapa yang berhak menempati Neraka. Sekarang ketentuan ini sudah berlaku di langit dan di bumi, lalu apakah kita sanggup melawan dan melanggar ketentuan ALLAH SWT ini?
J. Tahu dan Mengerti Bagaimana Cara Hidup di dunia
Sebagai KHALIFAH yang sedang menumpang di muka bumi; sebagai KHALIFAH yang sedang merantau ke muka bumi, sebagai KHALIFAH yang sedang menjadi tamu di muka bumi, dikarenakan langit dan bumi bukan kita yang ciptakan dan bukan pula kita yang miliki. Sebagai Tamu yang tahu diri maka kita harus memiliki apa yang dinamakan dengan adab, sopan santun, tata karma sehingga dapat menyenangkan hati tuan rumah; sebagai perantau yang baik kita wajib mempersiapkan bekal (maksudnya amal shaleh) sebanyak mungkin yang harus kita persiapkan saat hidup di muka bumi untuk persiapan pulang kampung ke negeri akhirat.
Sekarang setelah menjadi tamu yang baik dapatkah kita sewenang-wenang memperlakukan langit dan bumi seolah-olah kita yang memiliki? dapatkah kita merusak langit dan bumi atas nama pemilik? dapatkah kita menghambur-hamburkankan segala jerih payah di muka bumi tanpa memikirkan bekal untuk pulang ke negeri akhirat? Jika kita termasuk tamu yang baik yang menyenangkan hati tuan rumah maka kita harus menjaga, merawat, memelihara langit dan bumi sesuai dengan kehendak dari pencipta dan pemiliknya. Sedangkan jika kita termasuk perantau yang baik maka kita harus mencari, membekali diri dengan bekal yang cukup untuk pulang kampung ke negeri akhirat.
Selanjutnya setelah diri kita sukses menjadi pembesar, setelah sukses menjadi legislatif, setelah sukses menjadi eksekutif, setelah sukses menjadi yudikatif, setelah sukses menjadi konglomerat, apakah dengan kesuksesan tersebut kita bisa semena-mena merubah ketentuan ALLAH SWT atau merusak alam? Apapun bentuk kesuksesan yang kita raih di muka bumi tidak akan pernah menjadikan diri kita menjadi pencipta dan pemilik dari langit dan bumi; tidak akan pernah menjadikan diri kita mampu menciptakan Ruhani, Amanah 7, Hubbul, perasaan, air dan udara; tidak akan pernah menjadikan manusia menjadi tuan rumah di muka bumi ini dikarenakan manusia tidak akan mungkin bisa menciptakan langit dan bumi.
Jika ini kondisi dari manusia baik yang sukses ataupun tidak sukses, yang menjadi pejabat ataukah yang tidak, yang menjadi pemuka agama ataupun yang tidak, maka tidak ada alasan bagi kita untuk merubah, atau menyesuaikan segala ketentuan ALLAH SWT yang berlaku di muka bumi ini sesuai dengan kehendak diri kita. Untuk membuktikan bahwa diri kita telah Ma’rifatullah, maka ada beberapa hal yang harus kita lakukan saat hidup di dunia, yaitu :
a. Jangan Sombong di dunia
Sebagai KHALIFAH pernahkah diri kita membayangkan punya apakah diri kita saat lahir ke muka bumi ini? Apakah diri kita lahir ke muka bumi langsung menciptakan sendiri Jasmani, Ruhani, Amanah 7, Hubbul, Hati Ruhani, Akal, Perasaan, Udara, Air, langit dan bumi serta Diinul Islam? Jika kita memiliki kemampuan untuk menciptakan itu semua, kenapa saat diri kita lahir dalam kondisi lemah yang hanya bisa menangis untuk segala apa yang kita rasakan? Setiap manusia yang ada di muka bumi ini, termasuk diri kita, tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan langit dan bumi, untuk menciptakan jasmani dan ruhani, untuk menciptakan amanah 7, hubbul, akal, perasaan, untuk menciptakan udara dan air, serta untuk menciptakan Diinul Islam, apapun kedudukan manusia itu.
Setiap manusia yang ada di muka bumi adalah tamu yang menumpang di bumi ALLAH SWT, setiap manusia adalah perantau yang harus pulang ke negeri akhirat. Jika setiap manusia itu miskin, jika setiap manusia itu hina, jika setiap manusia tidak memiliki apa-apa dimuka bumi, sekarang patut dan pantaskah manusia sombong di langit dan di bumi ALLAH SWT ini? Jika kita termasuk orang yang sudah tahu diri maka jangan sampai diri kita mencontoh perbuatan Karun yang bersikap sombong, atau menjadi Karun-Karun generasi baru di muka bumi ini.
Karun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". dan Apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya[1139]. berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar".
(surat Al Qashash (28) ayat 78-79)
[1139]
Menurut mufassir: Karun ke luar dalam satu iring-iringan yang lengkap dengan
pengawal, hamba sahaya dan inang pengasuh untuk memperlihatkan kemegahannya
kepada kaumnya.
Sebagai KHALIFAH yang tidak pernah menciptakan dan memiliki langit dan bumi, berarti diri kita tidak memiliki alasan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk berlaku sombong di muka bumi ini yang dimiliki ALLAH SWT. Jika sampai diri kita kita berlaku sombong di muka bumi berarti diri kita telah menerapkan prinsip hidup atau peribahasa sebagai berikut, tamu yang berlagak seperti tuan rumah, atau dikasih hati minta rempela atau sudahlah menumpang masih pula kurang ajar alias tidak tahu diri. Sekarang dari manakah asalnya sikap sombong yang ada pada diri manusia? Sikap sombong yang ada pada diri manusia ditularkan oleh Iblis atau oleh Syaitan.
Jika kita bersikap sombong berarti diri kita sudah berperilaku seperti Iblis atau Syaitan. Sebagai KHALIFAH yang sedang menjadi tamu yang baik, jangan pernah sekalipun diri kita berlaku sombong baik kepada sesama apalagi kepada ALLAH SWT. Hal ini dikarenakan perilaku sombong, angkuh, congkak, tidak akan dapat menghantarkan diri kita ke Kampung Kebahagiaan, dikarenakan tempat kembali orang sombong adalah Neraka Jahannam. Sebagai Makhluk yang terhormat, tentu diri kita wajib mencerminkan, menjaga serta mempertahankan kehormatan yang kita miliki tersebut saat diri kita hidup di muka bumi. Sekarang mungkinkah seorang yang terhormat dapat mempertahan kan kehormatan yang dimilikinya jika saat hidup di dunia selalu sombong seperti sombongnya iblis melawan perintah ALLAH SWT, hidup tanpa etika, tanpa sopan santun, tanpa tata krama sehingga perintah dan larangan ALLAH SWT dilanggarya, hidup seenaknya saja sehingga alam yang tidak pernah diciptakan dan dimiliki di rusak? Jika ini yang kita lakukan berarti memang diri kita tidak pantas menyandang gelar sebagai Makhluk yang Terhormat atau menjadi perpanjangan tangan ALLAH SWT di muka bumi. Hasil akhir dari ini semua adalah pulang kampung ke Neraka Jahannam.
b. Jangan Pernah Mencintai Dunia
Seorang perantau yang menetap di negeri orang, suatu saat pasti akan kembali ke kampung halaman. Jika ini adalah konsep dasar merantau berarti hidup di rantau yang dilakukan oleh seseorang bukanlah tujuan akhir, akan tetapi tujuan sementara dalam rangka untuk mencari bekal pulang kampung atau untuk pembuktian diri atas keberhasilan hidup di rantau. Adanya kondisi ini berarti kualitas hidup di rantau sangat berhubungan erat dengan keberhasilan di kampung halaman. Adanya kondisi ini berarti segala apa yang kita lakukan saat hidup di rantau, akan mempengaruhi keberhasilan atau ketidakberhasilan hidup di kampung halaman. Sekarang bagaimana dengan diri kita yang saat ini sedang merantau ke muka bumi, apakah kualitas merantau yang kita lakukan saat ini akan memberikan dampak keberhasilankah atau memberikan dampak ketidakberhasilan kah untuk pulang ke negeri akhirat?
Agar diri kita berhasil menuju negeri
akhirat yang bernama Syurga, tentu saat ini kita harus mencari bekal sebanyak
mungkin di dalam koridor ketentuan untuk masuk Syurga. Hal yang harus kita perhatikan
adalah bekal untuk masuk Syurga tidak
sama dengan bekal untuk masuk Neraka. Selanjutnya dengan adanya perbedaan
bekal untuk masuk Syurga dan Neraka, hal ini akan mempengaruhi pula pola kerja
saat diri kita menjadi KHALIFAH di muka bumi. Untuk itu sewaktu kita menjadi KHALIFAH maka kita harus menentukan mau
pulang kemanakah diri kita, apakah mau ke Syurga ataukah ke Neraka. Jika
pilihan kita adalah Neraka Jahannam, nomorsatukan kehidupan dunia, nomor-akhirkan kehidupan akhirat atau cintai kehidupan
dunia, lalaikan kehidupan akhirat. Akan tetapi jika kita mengambil keputusan
untuk pulang kampung ke Syurga berarti kita tidak boleh mencintai dunia, kita
tidak boleh menomorsatukan dunia, dengan mengakhirkan akhirat.
dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, Padahal ia adalah penantang yang paling keras.
(surat Al Baqarah (2) ayat 204)
ALLAH SWT selaku pencipta dan pemilik kekhalifahan di muka bumi melalui surat Al Baqarah (2) ayat 204, mengingatkan agar jangan sampai kehidupan dunia menarik hati kita sehingga mengabaikan kehidupan akhirat.
Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.
(surat An Najm (53) ayat 29-30)
Adanya peringatan dari ALLAH SWT seharusnya dapat menjadikan diri kita mawas diri saat menjadi KHALIFAH di muka bumi karena kehidupan dunia bukanlah kehidupan yang hakiki. Yang menjadi persoalan saat ini adalah kita berkehendak untuk pulang kampung ke Syurga, namun perilaku hidup kita selalu tidak konsisten dengan apa yang kita hendaki. Seolah-olah dengan perilaku ziq-zaq, kadang baik kadang buruk, dapat menghantarkan diri kita ke Syurga. Jika ini yang kita lakukan kita akan berada di daerah abu-abu, sedangkan ALLAH SWT hanya menetapkan hitam atau putih saja. Selain daripada itu ALLAH SWT juga mengingatkan kepada diri kita untuk tidak banyak bergaul dengan orang yang menomorsatukan kehidupan dunia dibandingkan kehidupan akhirat atau orang yang selalu menginginkan kehidupan duniawi. Hal ini agar diri kita tidak tergoda atau digoda oleh mereka sehingga maksud dan tujuan kita yang seharusnya pulang ke Syurga justru berubah menjadi ke Neraka Jahannam.
C. Jangan Tukar Akhirat dengan Dunia
Seorang perantau yang menetap di negeri orang, suatu saat pasti akan kembali ke kampung halamannya sendiri. Jika ini adalah konsep dasar merantau berarti hidup di rantau bukan tujuan akhir, akan tetapi tujuan sementara dalam rangka untuk mencari bekal pulang kampung. Adanya kondisi ini berarti sukses dan gagalnya kehidupan di rantau sangat menentukan kehidupan di kampung halaman. Jika sukses di rantau akan menghasilkan bekal yang baik untuk pulang ke kampung halaman. Sedangkan jika gagal dirantau akan menghasilkan bekal yang buruk untuk pulang kampung. Sekarang bagaimana dengan kekhalifahan yang sedang kita laksanakan di muka bumi saat ini?
Kekhalifahan di muka bumi yang sedang kita laksanakan saat ini pada prinsipnya sama dengan kehidupan di rantau, yaitu jika kita sukses menjadi KHALIFAH yang dikehendaki ALLAH SWT maka akan menghantarkan diri kita ke Syurga. Sedangkan jika kita gagal menjadi KHALIFAH yang dikehendaki ALLAH SWT maka akan menghantarkan diri kita ke Neraka Jahannam. Adanya kondisi ini berarti kehidupan dunia yang saat ini kita jalani sangat menentukan keberhasilan diri kita untuk pulang kampung, apakah ke Syurga ataukah ke Neraka. Sebagai KHALIFAH sudahkah diri kita menyesuaikan diri secara konsisten dengan tujuan akhir kehidupan diri kita?
Hai Nabi, Katakanlah kepada
isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan
perhiasannya, Maka Marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah[1212] dan aku
ceraikan kamu dengan cara yang baik.
dan jika kamu sekalian
menghendaki (keredhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri
akhirat, Maka Sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik
diantaramu pahala yang besar.
(surat
Al Ahzab (33) ayat 28-29)
[1212]
Mut'ah Yaitu: suatu pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah
diceraikan menurut kesanggupan suami.
Sekarang bagaimana dengan
kehidupan akhirat, apakah itu Syurga ataukah Neraka, yang akan menjadi tujuan
akhir kita, apakah keduanya dapat diraih dengan begitu saja? Untuk dapat meraih
Syurga ataupun Neraka sangat dibutuhkan konsistensi perilaku atau perbuatan
saat hidup di dunia dengan apa yang akan hendak kita capai. Untuk memperoleh tiket masuk Syurga, kita
harus konsisten dari waktu ke waktu berada di dalam kehendak ALLAH SWT.
Sedangkan untuk memperoleh tiket Neraka kitapun harus konsisten berada di dalam
kehendak Ahwa dan Syaitan. Sekarang manakah yang lebih baik antara
kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat?
dan apa saja[1130] yang diberikan kepada kamu, Maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka Apakah kamu tidak memahaminya?
Maka Apakah orang yang Kami
janjikan kepadanya suatu janji yang baik (surga) lalu ia memperolehnya, sama
dengan orang yang Kami berikan kepadanya kenikmatan hidup duniawi[1131];
kemudian Dia pada hari kiamat Termasuk orang-orang yang diseret (ke dalam
neraka)?
(surat Al Qashash (28) ayat 60-61)
[1130]
Maksudnya: hal-hal yang berhubungan dengan duniawi Seperti, pangkat kekayaan
keturunan dan sebagainya.
[1131]
Maksudnya: orang yang diberi kenikmatan hidup duniawi, tetapi tidak
dipergunakannya untuk mencari kebahagiaan hidup di akhirat, karena itu Dia di
akhirat diseret ke dalam neraka.
Berdasarkan surat Al Ahzab (33) ayat 28-29 dan surat Al Qashash (28) ayat 60-61 di atas, ALLAH SWT mengemukakan bahwa kehidupan dunia tidak sama dengan kehidupan akhirat, kehidupan dunia tidak sebanding dengan kehidupan akhirat, kehidupan akhirat lebih baik dari kehidupan dunia. Lalu apa yang harus kita sikapi dengan ketentuan ALLAH SWT ini? Sebagai KHALIFAH di muka bumi jangan sampai diri kita menukar kehidupan akhirat yang lebih baik dengan kehidupan dunia yang kelihatannya baik padahal buruk. Timbul pertanyaan dari manakah asalnya kehidupan dunia dapat ditampilkan seolah-olah lebih baik dibandingkan dengan kehidupan akhirat? Disinilah letak kelihaian Syaitan, kehebatan Syaitan mempengaruhi manusia dengan membuat suatu yang sebenarnya hanya tujuan sementara menjadi tujuan akhir, yang sebenarnya kehidupan dunia tempat mencari bekal untuk kehidupan akhirat diputar bahwa kehidupan dunia itulah yang sebenarnya. Sekarang bagaimanakah caranya jika kita telah terlanjur dipengaruhi oleh Syaitan? Langkah pertama lakukan Taubatan Nasuha, yang dilanjutkan kembali ke jalan ALLAH SWT dengan melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah saat ini juga.
Hamba ALLAH SWT, itulah sepuluh ciri yang harus ada pada diri kita jika kita termasuk orang-orang yang telah mampu Route to ALLAH SWT, yang kesemuanya bukanlah ciri yang berdiri sendiri-sendiri, namun kesemua ciri yang kami kemukakan di atas, harus saling kait mengkait yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai KHALIFAH di muka bumi sudahkah kesepuluh ciri dimaksud kita miliki dan mampu pula kita buktikan dalam kehidupan sehari-hari?
Semoga setelah mempelajari buku ini kita mampu memiliki ciri dimaksud dan membuktikan itu semua dihadapan ALLAH SWT. Selain daripada itu, masih terdapat ciri-ciri yang lain yang juga harus ada pada diri kita jika kita termasuk orang yang telah Ma’rifatullah yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT, yaitu :
1. Jika kita termasuk orang yang telah mampu Route to ALLAH SWT berarti kita adalah orang yang telah mampu bertekad bulad untuk selalu bertuhankan kepada ALLAH SWT selamanya, dimanapun dan dalam kondisi apapun juga sehingga mampu merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT tidak hanya sekali-kali saja, namun terus dan terus dari waktu ke waktu sepanjang Hayat masih dikandung badan.
Sesungguhnya Allah,
Tuhanku dan Tuhanmu, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus".
(surat Al Imran (3)
ayat 51)
2.
Jika kita termasuk orang yang telah mampu Route to
ALLAH SWT berarti kita tidak akan pernah sekalipun menjadikan diri kita
sendiri sebagai Tuhan selain ALLAH SWT oleh sebab apapun juga, termasuk di
dalamnya mengaku-ngaku sebagai Nabi.
tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani[208], karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
(surat Ali Imran (3)
ayat 79)
[208]
Rabbani ialah orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah s.w.t.
3.
Jika kita termasuk orang yang telah mampu Route to
ALLAH SWT berarti kita adalah tidak akan pernah menyuruh orang lain,
mengajarkan orang lain untuk bertuhankan kepada selain ALLAH SWT oleh sebab
apapun juga, termasuk di dalamnya tidak menyuruh orang lain untuk menjadi Nabi
Palsu.
dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan Malaikat dan Para Nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) Dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?".
(surat Ali Imran (3) ayat 80)
4.
Jika kita termasuk orang yang telah mampu Route to
ALLAH SWT berarti kita tidak akan pernah memakai calo, atau perantara untuk
berkomunikasi dengan ALLAH SWT, dan tidak pula menjadikan diri sendiri
sebagai calo atau perantara untuk berkomunikasi dengan ALLAH SWT oleh sebab
apapun juga.
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.
(surat Az Zumar (39) ayat 3)
5. Jika kita termasuk orang yang telah mampu Route to ALLAH SWT berarti kita tidak akan pernah meminta upah, meminta imbalan, baik langsung ataupun tidak langsung kepada masyarakat, kepada jamaah, sewaktu menjalankan tugas bagi kemaslahatan orang banyak. Hal ini dikarenakan upah dan imbalan bagi orang yang telah Route to ALLAH SWT hanyalah dari ALLAH SWT semata.
Katakanlah: "Upah apapun yang aku minta kepadamu,
Maka itu untuk kamu[1245]. Upahku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha mengetahui
segala sesuatu".
(surat Saba’ (34) ayat 47)
[1245] Yang dimaksud dengan Perkataan ini ialah
bahwa Rasulullah s.a.w. sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka. tetapi
yang diminta Rasulullah s.a.w. sebagai upah ialah agar mereka beriman kepada
Allah. dan iman itu adalah buat kebaikan mereka sendiri.
6.
Jika kita termasuk orang yang telah mampu Route to
ALLAH SWT berarti kita telah paham dan telah mengerti benar bahwa jika
bertuhankan kepada selain ALLAH SWT
adalah seperti berlindung kepada sarang laba-laba, atau berlindung kepada
rumah yang paling lemah, yaitu berlindung kepada sarang laba-laba.
perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.
(surat Al Ankabuut (29) ayat 41)
7.
Jika kita termasuk orang yang telah mampu Route
to ALLAH SWT berarti kita tidak akan
pernah mempertuhankan guru, ulama,
ustad, orang pintar, tokoh panutan, pemimpin menjadi Tuhan selain ALLAH SWT
oleh sebab apapun juga dan dalam kondisi apapun.
mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah[639] dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
(surat At Taubah (9) ayat 31)
[639] Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran
orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun
orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan
yang halal.
8. Jika kita termasuk orang yang telah mampu Route to ALLAH SWT berarti kita tidak akan pernah sekalipun menjadikan Ahwa atau Hawa Nafsu sebagai Tuhan selain ALLAH SWT atau tidak akan mempertuhankan Ahwa.
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?,
(surat Al Furqaan (25) ayat 43)
9. Jika kita
termasuk orang yang telah mampu Route to
ALLAH SWT berarti kita tidak akan pernah takut lagi, resah dan
gelisah lagi karena telah dilindungi oleh ALLAH SWT dan juga telah dijamin
kehidupannya baik di dunia maupun di akhirat kelak oleh ALLAH SWT.
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu".
kamilah
pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu
memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang
kamu minta.
(surat Fushshilat (41) ayat
30-31)
Selain daripada itu, kita harus bisa menjadikan Syaitan sebagai musuh abadi diri kita, bagi anak dan keturunan selama Hayat masih dikandung badan. Dan jika kita sampai diri kita menjadikan Syaitan beserta antek-anteknya sebagai kawan, sebagai komandan, sebagai konsultan, sebagai pengawal, sebagai guru, sebagai atasan bagi diri kita berarti kita telah melanggar ketetapan ALLAH SWT yang berlaku di muka bumi ini dan berarti bersiap-siaplah menanggung segala resiko yang ditimbulkan oleh tindakan kita sendiri yang tidak menjadikan Syaitan sebagai Musuh.
Sekarang Syaitan sudah diciptakan ALLAH SWT dan saat ini pun mereka semua sedang melaksanakan apa-apa yang telah dikehendaki oleh ALLAH SWT, apa yang harus kita sikapi? Untuk menghadapi Musuh, untuk mengalahkan Musuh, maka hal yang pertama yang harus kita lakukan adalah memiliki Ilmu tentang Musuh yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT. Tanpa kita tahu dan mengerti tentang musuh kita, lalu bagaimana mungkin kita akan mengalahkan musuh kita. Dan jika sekarang kita telah mampu Route to ALLAH SWT berarti saat ini kita sudah memiliki Ilmu dan juga pengetahuan tentang musuh abadi diri kita yaitu Syaitan sang laknatullah.
Sebagai makhluk yang diciptakan oleh ALLAH SWT lebih baik dari pada Syaitan maka sudah sepantasnya dan seharusnya kita dapat mengalahkan segala ajakan, mengalahkan segala pengaruh, mengalahkan segala hasutan, mengalahkan segala iming-iming dari Syaitan. Selain daripada itu sudah seharusnya pula diri kita mampu memenangkan pertandingan melawan Syaitan saat menjadi KHALIFAH di muka bumi. Selanjutnya Syaitan yang hanya tahu dan mengerti bahwa manusia hanya terdiri dari Jasmani saja dan beranggapan bahwa Api lebih baik dari Tanah serta Syaitan tidak pula mempunyai ilmu dan pengetahuan tentang Ruh dan Amanah 7, lalu pantaskah jika Syaitan yang menjadi pemenang, atau diri kita malah jadi pecundang di dalam melaksanakan Kekhalifahan di muka bumi sedangkan ALLAH SWT di dalam Kehendak-Nya sewaktu menciptakan manusia mempunyai skenario bahwa manusia adalah pemenangnya?
Dan jika saat ini kita menjadi Pecundang dan Syaitan malah menjadi Pemenang berarti apa yang dikehendaki oleh ALLAH SWT kepada diri kita, tidak mampu kita laksanakan dengan baik karena kita tidak tahu diri, karena kita tidak mau belajar tentang diri sendiri. Dan jika kita termasuk orang yang telah Route to ALLAH SWT atau termasuk orang yang tahu diri tentunya kehendak ALLAH SWT itulah yang menjadi Panduan dan Pedoman kita di dalam melaksanakan Kekhalifahan di muka bumi dan ini berarti kita adalah Pemenang sehingga berhak pulang kampung ke tempat yang terhormat, dengan cara yang terhormat, untuk bertemu dengan Yang Maha Terhormat, dalam suasana yang saling hormat menghormati.
Sebagai penutup buku ini, ketahuilah dengan seksama bahwa di langit dan di bumi yang sedang kita tempati memiliki ketentuan, yaitu dimana bumi dipijak di sana langit di junjung. Apa maksudnya? Kita tidak bisa seenaknya saja bertindak dan berbuat sesuatu di muka bumi ini tanpa menghiraukan ketentuan-ketentuan yang berlaku di muka bumi. Selanjutnya ada ketentuan apakah di muka bumi ini? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa ketentuan yang bersifat mendasar yang berlaku di jagat raya ini, yaitu:
1. Berdasarkan
semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia
menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
(surat
Al Hadiid (57) ayat 1-2)
Anas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Barangsiapa tidak rela dengan hukum-Ku dan taqdir-Ku maka hendaklah ia mencari Tuhan selain Aku.
(HQR
Al Baihaqi dari Ibnu Umar serta Ath Thabarani dan Ibnu Hibban dari Abi Hind, Al
Baihaqi dan Ibnu Najjar, 272:153)
Sebagai
2. Berdasarkan
Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.
(surat
Thaahaa (20) ayat 14)
Sebagai KHALIFAH yang
sedang menumpang di jagad raya, sudahkah kita bertuhankan hanya kepada AL LAH SWT semata? Jika
tidak berarti kita telah menempatkan diri sebagai tamu yang tidak tahu diri.
3. Berdasarkan
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu[1223]., tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
(surat Al Ahzab (33) ayat 40)
[1223]
Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. bukanlah ayah dari salah seorang sahabat,
karena itu janda Zaid dapat dikawini oleh Rasulullah s.a.w.
Adanya kondisi ini berarti Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul Terakhir serta Al-Qur'an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh ALLAH SWT ke muka bumi. Sekarang jika ada
4. Berdasarkan Hadits Qudsi yang kami kemukakan dibawah ini, dikemukakan bahwa Syahadat memegang peranan yang sangat penting bagi kelangsungan langit dan bumi. Hal ini dikarenakan Syahadat mampu menghindarkan langit dan bumi dari Jahannam yang akan ditimpakan kepadanya.
Anas ra, berkata Nabi Saw bersabda, Allah ta'ala berfirman: Allah SWT telah mewahyukan kepada Nabi Musa! Coba tidak karena mereka yang mengucapkan Syahadat " Laailaha Illa Allah" niscaya Ku-timpakan "Jahannam' di atas dunia. Wahai Musa! Coba tidak karena mereka yang bersembah kepada-Ku tidaklah Aku lepaskan mereka yang bermaksiat sekejab matapun. Wahai Musa! Sesungguhnya barangsiapa yang beriman kepada-Ku adalah makhluk yang termulia dalam pandangan-Ku. Wahai Musa! Sesungguhnya sepatah kata dari seorang yang durhaka (terhadap kedua orang tuanya) adalah sama beratnya dengan seluruh pasir bumi. Bertanya Nabi Musa: "Siapakah orang yang durhaka itu ya Tuhan-Ku?" ialah orang yang berkata kepada kedua orang tuanya: "Tidak-tidak" ketika di panggil .
(HQR
Abu Nu'aim; 272:225)
Sebagai KHALIFAH yang sedang menumpang di langi dan di bumi
yang dimiliki oleh AL LAH
SWT, sudahkah diri kita melaksanakan Syahadat sesuai dengan kehendak pencipta
dan pemilik langit dan bumi?
5. Berdasarkan
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.
(surat
Ali Imran (3) ayat 85)
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah
hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[189]
kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada)
di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya
Allah sangat cepat hisab-Nya.
(surat
Ali Imran (3) ayat 19)
[189]
Maksudnya ialah Kitab-Kitab yang diturunkan sebelum Al Quran.
Jika ini yang kita
lakukan maka cara yang terhormat bagi bagi diri kita yang tidak mau menjadikan
Diinul Islam sebagai Agama yang Haq adalah mencari bumi lain selain bumi yang
dimiliki AL LAH
SWT.
6. Berdasarkan surat Al Hajj (22) ayat 18
dikemukakan bahwa bersujud kepada ALLAH SWT apa-apa yang ada di langit, di
bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, air, udara, binatang dan
sebagaian manusia. Sekarang sebagai tamu, sebagai perantau, sebagai KHALIFAH
sudahkah diri kita sujud kepada ALLAH SWT seperti sujud dan patuhnya apa-apa
yang ada di langit dan di bumi?
Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.
(surat Al Hajj (22) ayat 18)
Jika diri kita termasuk orang yang tahu diri maka kita harus pula sujud kepada ALLAH SWT, patuh dan taat kepada ALLAH SWT melebihi makhluk lainnya dikarenakan diri kita adalah KHALIFAH. Akan tetapi jika sampai diri kita tidak mau sujud kepada ALLAH SWT atau tidak mau patuh dan taat kepada ALLAH SWT berarti kita memang tidak pantas menyandang status sebagai makhluk yang terhormat.
7. Berdasarkan surat Al Hadiid (57) ayat 1 dikemukakan bahwa
semua yang ada di langit dan yang ada di muka bumi, bertasbih kepada AL LAH
SWT dengan menyatakan kebesaran ALLAH SWT.
semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(surat
Al Hadiid (57) ayat 1)
Jika sampai diri kita yang sedang menumpang di muka bumi tidak mau bertasbih kepada
8. Berdasarkan surat Thaahaa (20) ayat 117 dikemukakan bahwa
ketentuan yang berlaku bagi kekhalifahan yang ada di langit dan di bumi adalah
manusia wajib bermusuhan dengan Iblis beserta sekutunya. Ada nya ketentuan ini maka kita harus
melaksanakannya sebaik mungkin, sekarang bagaimana jika diri kita justru
menjadikan Iblis beserta sekutunya sebagai teman, sebagai atasan, sebagai
pimpinan, sebagai konsultan?
Maka Kami berkata: "Hai Adam, Sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, Maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.
(surat
Thaahaa (20) ayat 117)
Jika sampai diri kita
keluar dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh AL LAH SWT berarti kita telah siap untuk di
ajak pulang kampung ke Neraka Jahannam.
9. Berdasarkan surat Al Ankabuut (29) ayat 41 dikemukakan
bahwa jika diri kita mengambil pelindung selain dari pada AL LAH
SWT berarti diri kita telah menjadikan sarang laba-laba menjadi
pelindung/penolong diri kita.
perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.
(surat
Al Ankabuut (29) ayat 41)
10. Berdasarkan
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang
menganggap dirinya bersih?[308]. sebenarnya Allah membersihkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan mereka tidak aniaya sedikitpun.
(surat
An Nisaa' (4) ayat 49)
[308]
Yang dimaksud di sini ialah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menganggap diri
mereka bersih. Lihat surat Al Baqarah ayat 80
dan ayat 111 dan surat
Al Maa-idah ayat 18.
Inilah sepuluh ketentuan
yang berlaku di langit dan di bumi yang saat ini kita tempati dan masih banyak
lagi ketentuan, hukum, peraturan, ketetapan AL LAH SWT yang berlaku di muka bumi ini,
yang kesemuanya harus kita laksanakan sebaik mungkin sesuai dengan kehendak ALLAH SWT. Sebagai orang yang menjadi tamu di
langit dan di bumi ALLAH SWT, maka sudah sepatutnya kita wajib melaksanakan
seluruh ketentuan yang kami kemukakan di atas ini dengan sebaik-baiknya,
terkecuali kita ingin menjadi tamu yang tidak tahu diri serta mampu mencari
bumi lain yang diciptakan oleh selain ALLAH SWT, atau mampu mencari tuhan
lain selain ALLAH SWT.
lain selain ALLAH SWT.
Untuk
itu ketahuilah dengan seksama, apa yang kami kemukakan di bawah ini, di
langit dan di bumi yang diciptakan oleh ALLAH SWT, tidak berlaku ketentuan
waktu bisa diputar ulang, tidak akan pernah ada toko yang khusus
memperjualbelikan dosa dan juga pahala serta tidak akan pernah ada pula
peribahasa, menyesal adanya di muka. Adanya ketentuan ini, maka tidak ada
jalan lain bagi diri kita untuk segera memperbaiki diri jika kita belum sesuai
dengan kehendak ALLAH SWT, gunakan kesempatan yang masih kita miliki dengan
sebaik-baiknya, manfaat sisa usia kita sebelum Malaikat Izrail memisahkan Ruh
dengan Jasmani diri kita.
Hal ini dikarenakan ALLAH SWT tidak akan pernah merubah keadaan diri kita yang hina, yang penuh dosa, yang sesuai dengan kehendak Syaitan, yang berada di dalam jiwa Fujur, sepanjang diri kita tidak mau melakukan perubahan di usia kita yang masih tersisa. Sehingga jika kita berdosa maka kitalah yang akan menanggung segala akibat dari dosa yang pernah kita lakukan dan ingat hanya saat hidup di muka bumi inilah kita memiliki kesempatan langsung untuk meminta ampunan kepada ALLAH SWT. Sekarang segera tentukan sikap, dengan mengambil tindakan nyata, apakah kita mau menjadi makhluk yang terhormat dihadapan ALLAH SWT atau mau menjadi makhluk yang terhormat dihadapan Syaitan.
Hal ini dikarenakan ALLAH SWT tidak akan pernah merubah keadaan diri kita yang hina, yang penuh dosa, yang sesuai dengan kehendak Syaitan, yang berada di dalam jiwa Fujur, sepanjang diri kita tidak mau melakukan perubahan di usia kita yang masih tersisa. Sehingga jika kita berdosa maka kitalah yang akan menanggung segala akibat dari dosa yang pernah kita lakukan dan ingat hanya saat hidup di muka bumi inilah kita memiliki kesempatan langsung untuk meminta ampunan kepada ALLAH SWT. Sekarang segera tentukan sikap, dengan mengambil tindakan nyata, apakah kita mau menjadi makhluk yang terhormat dihadapan ALLAH SWT atau mau menjadi makhluk yang terhormat dihadapan Syaitan.
Hamba-Hamba ALLAH SWT yang kami hormati, hanya inilah yang mampu kami tulis, hanya inilah yang mampu kami ungkapkan, hanya inilah yang mampu kami berikan, sebagai sumbangsih kami kepada diri, keluarga, anak dan keturunan, masyarakat, bangsa dan juga negara. Semoga buku ini bermanfaat sesuai dengan peruntukannya yaitu mampu menjadikan diri kita tetap sebagai Makhluk yang Terhormat, yang mampu berperilaku Terhormat, untuk bisa pulang kampung ke tempat yang Terhormat dengan cara yang Terhormat sehingga kita bisa bertemu dengan Yang Maha Terhormat dalam suasana yang saling hormat menghormati.
Dan
tak lupa kami ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada siapapun juga
yang turut membantu kami di dalam menulis buku hingga sampai ke tangan pembaca
dan semoga ALLAH SWT menjadikan hal ini sebagai ibadah yang pahalanya terus dan
terus mengalir sepanjang buku ini ada. Mohon maaf jika ada kata-kata yang tidak
berkenan di hati. Semoga ALLAH SWT menambah Ilmu kita, semoga ALLAH SWT
memberikan pemahaman yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT itu sendiri, semoga
ALLAH SWT mengabulkan harapan dan doa yang kita panjatkan kepada-Nya dan kita
semua selalu di dalam lindungan-Nya.
Am