Menunaikan zakat sebagai sebuah perintah yang
telah diperintahkan oleh Allah SWT tentu wajib kita laksanakan, jika kita
merasa adalah khalifahnya di muka bumi. Lalu adakah resiko jika kita tidak mau
menunaikan zakat yang tidak lain adalah Hak Allah SWT? Seperti halnya jika kita
tidak mau melaksanakan mandi yang sesuai dengan ilmu kesehatan, maka bersiaplah
kita merasakan bau badan, bersiaplah merasakan gatal-gatal, bersiaplah
merasakan daki yang menempel di tubuh kita, badan tidak segar, sehat jauh dari
kita, penyakit kulit dan lain sebagainya. Hal yang samapun berlaku jika kita
tidak mau menunaikan zakat saat hidup di bumi Allah SWT, yaitu bersiaplah
menerima resikonya. Apakah resikonya?
Berikut ini akan kami kemukakan beberapa
resiko yang diancamkan oleh Allah SWT kepada umatnya yang tidak mau menunaikan zakat,
yaitu :
A.
MENGANIAYA DIRI
SENDIRI.
Berdasarkan surat
Muhammad (47) ayat 38 berikut ini: “Ingatlah, kamu ini
orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di
antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir Sesungguhnya Dia hanyalah
kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah
orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia
akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu
ini.” Jika kita tidak mau
menunaikan zakat saat hidup di muka bumi ini berarti kita telah menganiaya diri
kita sendiri, kita telah menzalimi diri kita sendiri. Ingat, bukan orang lain
yang menganiaya diri kita melainkan kita sendiri yang menganiaya diri sendiri. Alangkah
dzalimnya diri kita yang menganiaya diri sendiri.
Sedangkan Allah SWT berdasarkan
ketentuan surat Ar Ruum (30) ayat 9 berikut ini: “dan Apakah mereka tidak
Mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang
diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebihkuat
dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya
lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada
mereka Rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah
sekali-kali tidak Berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang
Berlaku zalim kepada diri sendiri.”(tidak pernah berbuat zhalim kepada
manusia. Melainkan manusia sendirilah yang berbuat zhalim baik kepada orang
lain maupun kepada dirinya sendiri. Pernahkah kita melihat orang yang menganiaya
dirinya sendiri atau berbuat zhalim kepada dirinya sendiri?
Mungkin kita langsung
membayangkan seseorang yang memotong urat nadinya dengan pisau, atau
menjatuhkan dirinya dari lantai sekian gedung tinggi, atau menenggak racun. Akan
tetapi sebenarnya dalam Islam, arti dari “menganiaya diri sendiri” tidak hanya
itu. Bukan sekadar menyakiti fisik sendiri, melainkan segala kezaliman yang
dilakukan terhadap diri sendiri yang berakibat kepada kefitrahan ruh/ruhani
yang menjadikan kita mendapat siksa di akhirat kelak.
Untuk mempertegas
tentang menganiaya diri sendiri, perkenankan kami untuk mengemukakan hal hal
sebagai berikut: Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu berpasangpasangan,
dimana di dalam berpasangpasangan yang telah diciptakan oleh Allah SWT tersebut
agar kita selalu mengingat akan kebesaran Allah SWT sebagaimana termaktub dalam
surat Yaa Siin (36) ayat 36 berikut ini: “Maha suci Tuhan yang telah menciptakan
pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari
diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” Dan juga dalam surat Adz Dzariyaat (51) ayat
49 berikut ini: “dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah.” Apa contohnya? Contohnya adalah adanya hitam
dan putih, adanya kaya dan miskin, adanya negatif dan positif, adanya atas dan
bawah, adanya luar dan dalam, adanya proton dan neutron, adanya menerima dan
memberi, adanya iman dan kafir dan lain sebagainya. Inilah sunnatullah yang
berlaku di muka bumi ini. Lalu apakah hanya ini saja?
Berdasarkan ketentuan
surat At Taubah (9) ayat 11 berikut ini: “Jika mereka
bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang
mengetahui.” Dan juga berdasarkan surat Al Bayyinah
(98) ayat 5 berikut ini: “Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat
dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.”
[1595] Lurus berarti jauh
dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.
Allah SWT juga telah menciptakan
ibadah yang berpasangpasangan yaitu dirikanlah shalat dan tunaikan zakat.
Adanya ketentuan ini maka kita harus selalu melaksanakan ibadah ini secara
berpasangpasangan pula. Maksudnya adalah kita tidak bisa hanya mendirikan
shalat semata tanpa menunaikan zakat, kedua ibadah ini harus dilaksanakan
keduanya secara konsisten dari waktu ke waktu dan jangan pernah dipisahkan
diantara keduanya oleh sebab apapun juga.
Sekarang apa
hubungannya dengan menganiaya diri sendiri dengan adanya ibadah mendirikan
shalat dan menunaikan zakat? Jika kita memisahkan ibadah mendirikan shalat
dengan ibadah menunaikan zakat termasuk dalam kategori menganiaya diri sendiri
dikarenakan kita telah memisahkan kesalehan pribadi yang berasal dari
mendirikan shalat dengan kesalehan sosial yang berasal dari menunaikan zakat.
Padahal kita telah mengetahui bahwa kenikmatan berpunya atau memiliki harta
kekayaan baru akan terasa nikmat saat diri kita berbagi kepada yang membutuhkan
(mustahik). Dengan diri kita tidak mau menunaikan zakat berarti kita telah
menganiaya diri sendiri terutama dalam hal menjadikan diri kita sendiri menjadi
orang yang egois yang hanya mementingkan diri sendiri menikmati kesalehan
pribadi tanpa mau berbagi melalui kesalehan sosial.
Selain daripada itu,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat dapat juga dimaknai sebagai menerima dan
memberi. Kita tidak bisa hanya menerima saja (menjadikan diri sendiri menjadi
mustahik atau tangan di bawah) dari rezeki yang berasal dari Allah SWT tanpa pernah
memberi kepada orang lain atas segala rezeki yang kita terima. Sedangkan jati diri
kita yang sesungguhnya bukan saat diri kita menerima, melainkan saat diri kita
memberi kepada mustahik.
Menerima dan memberi
juga bermakna keseimbangan. Apa maksudnya? Jika kita hanya menerima saja atau
hanya memperoleh penghasilan saja tanpa ada yang diberikan kepada orang lain
(mustahik) melalui zakat, infaq atau sedekah berarti kita hanya mampu
menjadikan diri kita sendiri tangan di bawah tanpa pernah menjadikan tangan
kita di atas dengan cara menumpuk harta kekayaan atau penghasilan semata.
Sekarang bayangkan jika tangan kita hanya bisa menengadah ke atas saja tanpa
bisa dibalikkan ke bawah, lalu apa yang bisa kita lakukan dengan kondisi ini?
Disinilah letak
betapa pentingnya keseimbangan dimana tangan kita tidak bisa selamanya
menengadah tetapi juga harus dibalikkan ke bawah untuk menuang apa yang ada
pada saat menengadah. Jika ini terjadi maka terjadilah apa yang dinamakan
dengan berbagi kepada sesama melalui aktivitas menunaikan zakat, infaq atau
sedekah. Lalu terjadilah pemerataan kebahagiaan yang hakiki kepada mustahik dan
dengan adanya ini pula maka mendorong mustahik menjadi muzakki muzakki generasi
baru maka terjadilah keseimbangan baru dalam kehidupan. Untuk itu Allah SWT
telah memberikan peringatan kepada umat manusia agar manusia tidak bakhil
dengan hartanya, sebagaimana termaktub
dalam surat Ali Imran (3) ayat 180 berikut ini: “Sekali-kali janganlah
orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari
karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan
dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala
warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (surat Ali Imran (3) ayat 180)
Apabila kita tidak
mau menunaikan zakat berarti kita telah memisahkan antara Habblumminallah
dengan Habblumminannas yang telah ditetapkan berlaku oleh Allah SWT. Dengan
dipisahkannya Habblumminallah dengan Habblumminannas oleh diri kita berarti
kita hanya berusaha untuk menyelematkan atau menjaga kefitrahan ruh/ruhani
semata tanpa pernah membuat Allah SWT tersenyum pada kita. Padahal nilai yang
hakiki diri kita di dapat saat diri kita melaksanakan Habblumminannas.
Jika sampai diri kita
hanya melaksanakan Habblumminallah berarti kita termasuk orang yang egois yang
hanya mementingkan diri sendiri. Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas ini
menunjukkan kepada diri kita perintah menunaikan zakat selain berdimensi
ketuhanan (habblumminallah) juga berdimensi sosial (habblumminannas). Disinilah
letak dari inti dari menunaikan zakat dimana zakat mengajarkan bagaimana
seorang muslim peduli dengan lingkungannya, peduli dengan orang-orang yang
kurang beruntung diantara mereka. Allah SAW menghendaki hambaNya hidup
harmonis, dan saling menyayangi antar sesamanya. Menunaikan zakat adalah salah
satu dari sekian banyak perintah Allah SWT bertujuan memperbaiki kondisi sosial
kemasyarakatan.Keengganan seseorang muslim menunaikan zakat, sama halnya dengan
memupuk sifat bakhil (kikir bin pelit) di dalam diri kita dan sifat tersebut
adalah sifat sangat dibenci dan diharamkan oleh Allah SWT.
Selain daripada itu,
masih berdasarkan ketentuan surat Ali Imran (3) ayat 180 di atas, Allah SWT
akan mengalungkan ke leher orang orang yang bakhil (kikir) terhadap harta
kekayaan yang dimilikinya kelak di hari kiamat. Bisa kita bayangkan berapa
berat kalung yang akan dikalungkan ke leher kita jika tidak mau menunaikan
zakat. Jika harta berupa tanah dan bangunan maka seberat itulah kalung yang
akan dikalungkan ke leher kita.
Untuk menambah
wawasan tentang cara kerja atau mekanisme kerja perintah menunaikan zakat.
Berikut ini akan kami kemukakan sistem pengairan yang ada di pulau Bali yang
dinamakan dengan Subak, yang prinsip utamanya sangat berkesesuaian dengan
prinsip dasar dari perintah menunaikan zakat. Subak sangat bergantung dengan
aliran air yang sudah tentu fungsinya adalah untuk mengairi tanaman yang ada di
sawah. Air yang mengalir inilah yang kemudian dimanfaatkan sedemikian rupa oleh
para kelian (pengorganisir) subak untuk kesejahteraan para petani lainnya. Lihatlah
bagaimana air mengalir dalam satu subak, yang tidak hanya terfokus di satu
lokasi saja, melainkan merata di semua sawah yang terorganisir dalam satu
subak. Tidak akan pernah ada di dalam sistem subak, air yang ada di atas tidak
mengalir ke bawah. Ungkapan ini sangat sesuai dengan prinsip subak yaitu
“berair sawah di atas berair pula sawah di bawah.”
Kondisi yang terjadi
pada sistem pengairan subak dapat dikatakan merupakan penampilan yang
sesungguhnya dari perintah menunaikan zakat. Dimana konsentrasi dari
kepemilikan harta kekayaan atau penghasilan tidak hanya terfokus pada golongan
atas semata atau orang yang berpunya semata. Namun kepemilikan harta kekayaan
atau penghasilan itu harus pula diturunkan melalui zakat, infaq ataupun sedekah
sehingga masyarakat yang di bawah maksudnya golongan tidak mampu atau mustahik dapat tertolong dan terbantu dari adanya
pengalihan sebahagian harta kekayaan atau penghasilan dari orang yang mampu.
Hasil akhirnya adalah harus menjadikan adanya muzakki muzakki generasi baru
dari zakat, infaq dan sedekah.
Jika hal ini terjadi
maka dapat mengurangi jurang antara yang kaya dengan yang miskin, mengurangi
kesenjangan dan kecemburuan sosial dalam masyarakat. Akhirnya hidup menjadi
nyaman, aman, damai dan bersahaja bagi yang menunaikan zakat dan bagi penerima (mustahik)
terjadilah apa yang dinamakan dengan memanusiakan manusia. Lalu terlihat dengan
jelas kesalehan diri tampil dalam kesalehan sosial. Subhanallah, alangkah
hebatnya negeri kita jika semua orang yang beragama Islam mampu melaksanakan
konsep zakat dalam kehidupan sehari hari.
B.
KELUAR DARI KONSEP
ASMAUL HUSNA
Berdasarkan surat Al
Baqarah (2) ayat 138 yang kami kemukakan berikut ini: “Shibghah Allah[91]. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada
Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyembah.”
[91] Shibghah artinya
celupan. Shibghah Allah: celupan Allah yang berarti iman kepada Allah yang
tidak disertai dengan kemusyrikan.
Allah SWT telah
mensibghah atau mencelup setiap manusia dengan shibghah yang berasal dari pada
Allah SWT. Adanya konsep shibghah ini ada hal yang harus kita jadikan perhatian
yaitu: (a) Allah SWT adalah pemberi shibghah, Allah SWT lah yang memberikan Shibghah
atau Allah SWT sumber utama dari Shibghah yang akan dishibghahkan; (b) Ada penerima
Sbibghah; (c) Ada Shibghah; (4) Ada saat proses Shibghah dilakukan oleh Allah
SWT; (5) Ada tujuan dari pemberian Shibgah.
Lalu kepada siapakah
shibghah yang akan dishibghahkan itu, apakah kepada ruh/ruhani ataukah kepada jasmani
karena setiap manusia pasti terdiri dari 2 (dua) hal ini? Jika kita meyakini
dan mengimani bahwa jasmani asalnya dari tanah/alam maka jasmani pasti akan
memiliki sifat yang sesuai dengan asal usulnya, yaitu tanah/alam. Sedangkan ruh/ruhani
asalnya dari Allah SWT maka ruh/ruhani akan memiliki sifat yang sesuai dengan
asal usulnya yaitu Allah SWT. Jika sekarang Ruh/Ruhani asalnya dari Allah SWT
maka melalui proses shibghah inilah ruh/ruhani akan memiliki sifat yang sesuai
dengan asal usulnya.
Berdasarkan uraian di
atas ini maka Shibghah dapat dikatakan sebagai proses pewarnaan atau mencelup ruh/ruhani
yang pada akhirnya ruh/ruhani akan memiliki sifat sifat ilahiah yang berasal
dari af’al (perbuatan) Allah SWT sehingga melalui proses ini akan tampillah
penampilan Allah SWT di muka bumi melalui ruh/ruhani manusia sepanjang manusia
mampu menampilkan hal tersebut. Inilah salah satu tujuan dari menshibghah
manusia.
Sekali lagi kami
kemukakan, Allah SWT menshibghah ruh/ruhani dengan nama nama Allah SWT yang
indah yang termaktub dalam Asmaul Husna sehingga ruh/ruhani akan memiliki sifat
yang berkesesuaian dengan Asmaul Husna seperti yang Allah SWT miliki. Proses
shibghah yang dilakukan oleh Allah SWT seperti layaknya proses menginstall atau
memprogram Asmaul Husna ke dalam ruh/ruhani sehingga ruh/ruhani mampu berbuat
atau menampilkan Asmaul Husna menjadi perbuatan ruh/ruhani atau menjadikan
Asmaul Husna menjadi perilaku ruh/ruhani. Lalu kapan proses shibghah dilakukan
oleh Allah SWT kepada Ruh/Ruhani?
Proses menshibghah ruh/ruhani
berdasarkan ketentuan surat As Sajdah (32) ayat 7 sampai 9 berikut ini: “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang
memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya
dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke
dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” Terjadi pada saat ruh/ruhani
mulai dipertemukan atau disatukan dengan jasmani saat masih dalam rahim seorang
ibu melalui proses peniupan. Adanya proses shibghah yang terjadi saat masih di
dalam rahim ibu berarti ruh/ruhani sejak awal sudah dishibghah oleh Allah SWT sehingga
memiliki perbuatan yang sesuai dengan konsep Asmaul Husna. Kondisi inilah yang
menunjukkan perbuatan diri kita yang paling hakiki (fitrah) adalah sesuai
dengan nilai nilai ilahiah.
Untuk apa Allah SWT
menshibghah ruh/ruhani setiap manusia dengan Asmaul Husna? Sebagai khalifah
Allah SWT yang tidak lain adalah pengganti, perpanjangan tangan Allah SWT di
muka bumi maka sudah sepantasnya orang yang menjadi pengganti dan yang menjadi
perpanjangan tangan Allah SWT memiliki pola dan perbuatan yang mencerminkan
Allah SWT selaku pengutusnya. Dan adalah sebuah kejanggalan jika yang menjadi
pengganti dan yang menjadi perpanjangan tangan Allah SWT memiliki sifat yang
berlainan atau berlawanan dengan Allah SWT, dalam hal ini bersifat alam. Sebagai
khalifah Allah SWT di muka bumi, kita harus tahu dan paham tentang hal ini
karena hal ini adalah asal usul dari diri kita. Jika kita tahu asal usul diri
kita maka akan memudahkan kita melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah SWT di
muka bumi.
Sekarang mari kita
pertegas dan perjelas tentang shibghah yang ada pada diri kita. Untuk itu
ketahuilah bahwa setiap dzat memiliki sifat yang akan melahirkan sebuah
perbuatan serta setiap dzat juga memiliki kemampuan. Hal yang samapun terjadi
pada Jasmani dan Ruh/Ruhani diri kita juga memiliki sifat yang akan melahirkan
perbuatan dan juga memiliki kemampuan. Jasmani jika ditinjau dari sifatnya, di
dalam AlQuran dikatakan sebagai Insan sedangkan dari sisi perbuatannya di dalam
AlQuran dikatakan sebagai ahwa (hawa nafsu). Sedangkan kemampuan jasmani
disebut sebagai bashyar. Salah satu sifat jasmani adalah pelit dan jika ini
sifatnya maka perbuatannya adalah memelitkan sehingga orang yang bersangkutan
akan mementingkan kepentingan dirinya sendiri tanpa menghiraukan orang lain.
Sedangkan kemampuan dari memelitkan/mementingkan diri sendiri sangat tergantung
besar atau kecilnya pengaruh ahwa (hawa nafsu) yang ada dalam diri seseorang.
Semakin besar kekuatan ahwanya (hawa nafsunya) semakin kuat mementingkan diri
sendiri, demikian pula sebaliknya.
Demikian pula dengan ruh/ruhani.
Ruh jika ditinjau dari sisi sifatnya dinamakan dalam AlQuran sebagai Nass. Ruh
akan dinamakan dengan Nafs/Anfuss jika ditinjau sisi perbuatannya sedangkan
kemampuannya tetap dinamakan dengan Ruh/Ruhani. Untuk itu perhatikan garam.
Garam memiliki sifat asin. Adanya sifat asin pada garam maka garam akan
mengasinkan segala sesuatu yang diliputinya. Akan tetapi akan menjadi sebuah
persoalan jika garam yang seharusnya bersifat asin justru tidak asin sehingg
tidak mampu mengasinkan segala sesuatu yang diliputinya. Jika hal ini terjadi
maka garam sudah tidak bisa lagi dikatakan sebagai garam (tidak pantas
menyandang preditat garam) karena sudah tidak mencerminkan lagi sifat dan
perbuatannya.
Lalu bagaimana dengan
ruh/ruhani yang tidak lain adalah jati diri kita yang sesungguhnya yang telah
disifati dishibghah dengan Ar Rahmaan dan Ar Rahiem lalu justru berbuat semena
mena terhadap orang lain, hanya mementingkan diri dan kelompoknya saja. Jika
ini terjadi maka kejadian yang menimpa garam di atas terjadi pula kepada diri
kita yaitu sudah tidak pantas lagi menyandang predikat Nass ataupun sudah tidak
bisa lagi dianggap sebagai khalifah Allah SWT karena sudah menyimpang dari
sifat dan perbuatan yang hakiki, yaitu sesuai dengan nilai nilai ilahiah.
Sekarang bagaimana
jika ruh/ruhani diri kita telah disifati dengan Asmaul Husna Ar Razaaq melalui
proses shibghah berarti perilaku diri kita setelah memperoleh Rezeki dari Allah
SWT maka rezeki itu tidak untuk kepentingan diri sendiri, melainkan harus pula
dibelanjakan di jalan Allah melalui infaq, shadaqah ataupun wakaf sehingga jika
kita tidak memberi sesuatu akan terasa ada yang mengganjal di dalam diri. Disinilah
letaknya penampilan dari orang yang berpunya yaitu selalu memberi atau
menempatkan dirinya sebagai Muzakki dari waktu ke waktu. Jika tidak berarti
perilaku diri kita seperti garam yang sudah tidak asin lagi. Demikian
seterusnya dengan sifat sifat ruh/ruhani yang lainnya yang telah disifati
dengan Asmaul Husna.
A S M A
U L H U S N A
|
1 |
Al Ghoniyy Al Halim |
Maha Kaya lagi Maha
Penyantun |
|
2 |
Al Ghoniyy Al Hamid |
Maha Kaya lagi Maha
Terpuji |
|
3 |
Al Ghoniyy Al
Kariem |
Maha Kaya lagi Maha
Mulia |
Sekarang mari kita
hubungkan antara konsep Asmaul Husna di atas dengan perintah menunaikan zakat,
seperti yang telah kami kemukakan di atas. Dimana konsep Asmaul Husna di atas berisi
tentang: (1) penegasan atas kemahaan dan kebesaran Allah SWT yang memang sudah
maha dan akan maha selama lamanya (2) pedoman saat diri kita melaksanakan
profesi profesi tertentu atau perbuatan
yang harus kita laksanakan agar sesuai dengan kehendak Allah SWT.
1.
Maha Kaya lagi Maha
Penyantun. Berdasarkan
surat Al Baqarah (2) ayat 263 yang kami kemukakan berikut ini: “Perkataan
yang baik dan pemberian maaf[167] lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan
sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha
Penyantun.”
[167] Perkataan yang baik Maksudnya menolak dengan cara
yang baik, dan maksud pemberian ma’af ialah mema’afkan tingkah laku yang kurang
sopan dari si penerima.
Allah
SWT telah menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT memiliki dua buah af’al
(perbuatan) yang bergandengan yaitu: Al Ghoniyy dan Al Halim yang artinya Yang Maha Kaya lagi Yang Maha
Penyantun secara berbarengan. Apa maksudnya? Allah SWT memiliki af’al atau
perbuatan Al Ghoniyy yang artinya tidak membutuhkan orang lain. Allah SWT tidak
membutuhkan sesuatu apapun karena Dia yang menciptakan, mengatur dan memberi
rezeki. Dia yang memutuskan dan melestarikan. Dia yang mempunyai apa yang ada
di langit dan yang ada di bumi. Semua makhluk membutuhkan Allah SWT. Disinilah
letak Allah SWT Dzat Yang Maha Kaya.
Allah SWT juga
memiliki af’al (perbuatan) Al Halim yang artinya santun, peduli, punya
perhatian, dan punya perasaan. Hilm Allah SWT adalah Dia menunda menghukum
orang orang yang patut dihukum, sehingga Dia menangguhkan penghukuman untuk
mereka atau memaafkan kesalahan mereka. Dan jika seseorang memiliki sifat
santun dan murah hati, maka dia akan sering memaafkan kesalahan dan menutupi
kekurangan orang lain. Allah SWT memaafkan setelah menutupi dosa hambaNya.
Allah SWT selalu welas asih, tepat janjiNya, memaafkan orang yang melanggar
hukumNya, tidak terprovokasi oleh kedurhakaan orang orang yang durhaka dan oleh
penindasan orang orang yang menindas.
Sebagai abd’ (hamba)
yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi maka apa yang telah dikemukakan oleh
Allah SWT berupa Maha Kaya lagi Maha Penyantun harus kita jadikan pedoman saat
diri kita melaksanakan tugas di muka bumi. Apa maksudnya? Adanya pernyataan
Allah SWT Maha Kaya lagi Maha Penyantun mengajarkan kita yang memiliki kekayaan
(penghasilan) tidak hanya menjadikan diri kita memiliki harta kekayaan atau
penghasilan semata. Namun harus bisa harus menghantarkan diri kita menjadi
orang yang penyantun, orang yang peduli, orang yang memiliki perhatian dan
memiliki perasaan yang lembut melalui harta yang kita miliki.
Sekarang diri kita
telah memiliki harta kekayaan atau penghasilan lalu tidak menjadikan diri kita
orang yang penyantun berarti kita hanya mampu mengumpulkan kekayaan atau penghasilan
untuk kepentingan diri sendiri tanpa pernah berusaha untuk berbuat kebaikan
bagi orang yang tidak mampu. Sehingga penampilan diri kita menjadi orang yang
pelit yang tidak mau berbagi, yang hilang kepeduliannya kepada orang lain. Jika
sudah seperti ini akan terjadilah jurang yang semakin lebar antara yang kaya
dengan yang miskin yang pada akhirnya tumbuhlah bibit bibit kecemburuan sosial di
dalam masyarakat. Akhirnya hilanglah keseimbangan antara kesalehan diri dengan
kesalehan sosial.
Jika sampai diri kita
tidak mau menunaikan zakat, atau jika kita tidak mau menunaikan infaq dan
sedekah berarti kita kita telah keluar dari konsep Asmaul Husna yaitu tidak
menjadikan diri kita penyantun melalui harta kekayaan/penghasilan yang kita
miliki. Alangkah buruknya keadaan diri kita yang memiliki harta kekayaan/penghasilan
tanpa diiringi dengan rasa santun, tanpa rasa peduli, tanpa rasa perhatian dan
juga tanpa memiliki perasaan. Padahal Allah SWT tidak pernah berkehendak
seperti itu kepada khalifahnya. Semoga diri kita dan anak keturunan kita tidak
seperti ini saat hidup di dunia ini. Amiin.
2.
Maha Kaya lagi Maha
Terpuji. Berdasarkan
surat Al Baqarah (2) ayat 267 berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah
(di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” dan juga berdasarkan surat Surat Ibrahim (14)
ayat 8 yang kami kemukakan berikut ini: “dan Musa berkata: “Jika kamu dan
orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) Maka
Sesungguhnya Allah Maha Kaya[782] lagi Maha Terpuji”.(surat Ibrahim (14) ayat
8)
[782] Maksudnya:
Allah tidak memerlukan syukur hamba-hamba-Nya.
Allah SWT telah menyatakan
bahwa diriNya memiliki af’al (perbuatan) Maha Kaya lagi Maha Terpuji secara
bergandengan. Apa maksudnya. Al Hamid kata dasarnya adalah hamd artinya pujian,
sesuatu yang lebih umum dibanding dengan bersyukur. Al Hamid adalah juga al
Mahmud, Yang Terpuji. Allah SWT adalah Al Hamid karena memuji DiriNya sendiri
sejak dahulu kala dan juga karena hambaNya memujinya. Al Hamid menganugerahi
diri kita kesuksesan dan memuji diri kita karena kesuksesan itu. Allah SWT
menghapus dosa dosa kita dan tidak mempermalukan kita dengan membeberkan dosa
dosa kita. Allah SWT terpuji karena kualitasNya dan juga karena memang patut
dipuji.
Sebagai abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, saat ini Allah SWT sudah
menunjukkan kepada diri kita af’alNya (perbuatanNya) yang menunjukkan Maha Kaya
lagi Maha Terpuji, maka kita harus menjadikan bisa menjadikan konsep Asmaul
Husna ini menjadi pedoman saat hidup di muka bumi ini. Jika sekarang Allah SWT
sudah menyatakan Maha Kaya lagi Maha Terpuji maka secara otomatis kita yang
memiliki harta kekayaan atau penghasilan harus pula tercermin dalam tindakan
kita yang sangat terpuji baik dihadapan Allah SWT maupun dihadapan manusia.
Apalah artinya kita memiliki harta kekayaan atau penghasilan yang banyak jika
perilaku atau perbuatan diri kita tidak terpuji seperti memberi dengan kata
kata kasar, memberi tapi diungkit ungkit kembali atau memberi tetapi pamrih
untuk kepentingan sesaat, dan lain sebagainya.
Disinilah letak dari
kita memahami Allah SWT Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji, dan jika kita telah
mengaku sebagai khalifahNya di muka bumi berarti kitapun harus bisa menjadi
orang yang terpuji yang tercermin dalam perilaku kita sendiri. Alangkah ruginya
diri kita, jika sampai miskin saat hidup di dunia lalu miskin pula perilaku
kita dengan bersikap tidak terpuji. Semoga kita dan anak keturunan kita mampu
menjadi orang orang yang terpuji perilakunya namun juga memiliki harta kekayaan
atau penghasilan yang banyak serta berkah bagi diri, keluarga dan masyarakat.
3. Maha Kaya lagi Maha Mulia. Lain halnya
berdasarkan surat An Naml (27) ayat 40 yang kami kemukakan berikut ini: “Berkatalah
seorang yang mempunyai ilmu dari AlKitab: “Aku akan membawa singgasana itu
kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu
terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk
mencoba aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan
Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan)
dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha
Kaya lagi Maha Mulia”.
Allah SWT juga
menyatakan bahwa af’al (perbuatan)Nya adalah Dzat Yang Maha Kaya lagi Maha
Mulia. Zumhur ulama mengatakan bahwa apa saja yang dipandang baik, berharga,
mulia, penting, maka itulah karim. Sedangkan menurut ilmu bahasa, orang yang
bersikap ramah, pemurah, dermawan juga disebut karim. Sesuatu yang dijunjung tinggi
atau dihargai maka disebut juga karim.
Allah SWT mendapat
sebutan Al Karim, sebuah sifat yang melukiskan perbuatan baik, kebajikan dan
kemurahan hati. Allah SWT selalu pemurah. Dia akan senantiasa Pemurah. Dia Maha
Mulia, sehingga mustahil Dia bersifat atau bersikap rendah atau hina. Berlimpah
ruah yang Dia berikan, dan kebaikan yang Dia berikan. Allah SWT Al Karim,
sekalipun Dia kuasa menjatuhkan hukuman sangat pedih, tetapi memberikan
ampunan. Dia menepati janjiNya. Dia memberikan lebih kepada hamba yang meminta
kepadaNya. Dia tidak keberatan sedikit pun untuk memberikan sebanyak apa pun
dan kepada siapapun. Dia tidak menghendaki hambaNya yang berlindung kepadaNya
untuk menderita kesusahan. Dia tidak membutuhkan sarana untuk melakukan
sesuatu. Yang dalam DiriNya berpadu semua kualitas ini, maka Dialah Al Karim
Mutlak dan hanya Allah SWT sajalah yang seperti ini.
Allah SWT selaku
pengutus diri kita di muka bumi sudah menunjukkan bahwa Dia adalah Dzat Yang
Maha Kaya lagi Maha Mulia. Bayangkan Kaya dan Mulia lalu sudahkah kita yang
saat ini menjadi khalifahNya di muka bumi yang memiliki harta kekayaan atau
penghasilan juga menjadi orang yang berperilaku mulia seperti ramah, pemurah
dan dermawan. Sehingga keberadaan diri kita di tengah masyarakat bukanlah
menjadi benalu melainkan berguna bagi masyarakat. Jika sampai diri kita memiliki
harta kekayaan atau penghasilan yang tinggi namun masyarakat tidak terbantu
atau tertolong oleh diri kita berarti kita sudah tidak pantas lagi menyandang
titel khalifahNya di muka bumi dan telah keluar pula dari konsep Asmaul Husna.
Bayangkan kita
memiliki harta kekayaan dan penghasilan yang tinggi namun hanya diri kita
sendiri saja yang menikmati, lalu dimana letak hati nurani kita? Apalah artinya
harta kekayaan atau penghasilan yang tinggi lagi besar justru menghantarkan
diri kita mulia dihadapan syaitan? Lalu apa yang bisa kita banggakan dari
kekayaan dan penghasilan yang kita miliki tetapi kita tidak bisa menjadi orang
yang mulia dihadapan Allah SWT. Jika orang yang memiliki harta kekayaan atau
penghasilan sudah tidak mulia dihadapan Allah SWT lalu apa yang bisa diharapkan
dari mereka untuk kepentingan masyarakat atau mustahik? Jangan pernah salahkan
Allah SWT jika kita pulang kampung ke Neraka Jahannam karena ulah diri kita
sendiri yang tidak mau menunaikan zakat saat hidup di dunia ini.
Allah SWT melalui
konsep Asmaul Husna yang kami kemukakan di atas, sudah menunjukkan kepada diri
kita bahwa harta kekayaan atau penghasilan harus menjadikan diri kita menjadi
orang yang penyantun, harus menjadikan diri kita terpuji baik dihadapan Allah
SWT maupun dihadapan manusia serta harus
menjadikan diri kita mulia dihadapan Allah SWT dan juga dihadapan manusia. Jika
tidak berarti kita telah keluar dari konsep Asmaul Husna yang berarti juga kita
telah sesuai dengan konsep syaitan sang laknatullah.Alangkah indahnya konsep
zakat yang telah dibuat oleh Allah SWT yang menjadikan diri kita mulia dan juga
penerimanya (mustahiknya) juga mulia dihadapan Allah SWT.
Selain dari ketiga
konsep Asmaul Husna yang telah kami kemukakan di atas, ketahuilah bahwa segala sesuatu yang telah
diciptakan oleh Allah SWT juga memiliki makna keseimbangan yang menjadikan
masyarakat menjadi sejahtera. Sekarang bayangkan apa yang terjadi dalam
masyarakat akibat dari adanya orang orang yang tidak mau menunaikan zakat yang
mengakibatkan tidak terjadinya keseimbangan seperti orang fakir miskin yang
menjadi lebih fakir dan miskin selamanya.
Kaum dhuafa yang
teraniaya semakin teraniaya sehingga keterpurukan menjadi pemandangan sehari
hari. Ilmu dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat minim dan dangkal sehingga
mudah diadu domba untuk kepentingan sesaat. Masyarakat belajar dengan caranya
sendiri sehingga keterbelakangan dan jauh dari peradaban menjadi pemandangan umum
dalam kehidupan sehari hari.
“Tiap
tiap sesuatu ada pensuciannya (zakatnya).
Zakat
harta ialah sedekah kepada fakir miskin dan yang membutuhkannya.
Zakat kekuatan ialah membela kaum dhuafa yang
teraniaya.
Zakat argumentasi dan kefasehan lidah ialah
mengokokoh hujjah dan dalil dalil agama.
Dan
Zakat ilmu pengetahuan adalah dengan mengajarkan ilmunya kepada orang lain”.
(alim
ulama)
Alangkah hebatnya
umat Islam jika mampu menjalankan apa apa yang tertuang dalam nasehat alim ulama di atas ini, yaitu: (1) Memberi bukanlah sebatas sedekah yang
berasal dari harta kekayaan atau penghasilan semata; (2) Memberi juga bisa kita
lakukan dengan cara membela kaum dhuafa yang teraniaya melalui zakat/sedekah
yang berasal kekuatan atau kekuasaan yang kita miliki; (3). Memberi juga bisa
kita lakukan dalam kerangka untuk mengokohkan hujjah dan dalil dalil agama
melalui zakat/sedekah argumentasi dan kefasehan lidah yang kita miliki; (4).
Dan yang terakhir memberi juga bisa kita lakukan dengan cara mengajarkan ilmu
pengetahuan yang melalui jalan zakat/sedekah ilmu pengetahuan yang kita miliki.
Sekarang mari kita
renungkan apa yang dinamakan dengan sambal lado, dimana sambal lado merupakan
gabungan dari bumbu bumbu yang disatukan seperti cabai, garam, tomat, terasi,
gula dan lain sebagainya dalam ukuran ukuran tertentu. Setiap dzat yang
dipersatukan semuanya mempertontonkan dan mempertunjukkan sifat sifat yang
dimilikinya, seperti cabai dengan pedasnya, garam dengan asinnya, tomat dengan
rasa tomatnya, terasi dengan rasa khasnya, gula dengan rasa manisnya. Hasil
akhir dari itu semua adalah sambal lado yang enak dan lezat. Sekarang apa
jadinya jika garam yang memiliki sifat asin menahan rasa asinnya? Kurang asin
atau kurang garam akan menyebabkan sambal lado menjadi kurang enak.
Hal yang samapun
berlaku dalam kehidupan manusia, jika sampai sifat alamiah ruh/ruhani ditahan
dalam pergaulan sehari hari atau jika sampai sifat pengasih dan penyayang tidak
ada di dalam kehidupan bermasyarakat maka hidup terasa hambar dan terjadilah
apa yang dinamakan kebencian, kecurigaan serta tindas menindas karena hilangnya
rasa welas asih diantara sesama manusia. Demikian seterusnya dengan Asmaul
Husna yang lain yang harus menjadi perilaku diri kita saat hidup di muka bumi
ini. Inilah salah satu bentuk kebaikan dalam kerangka melaksanakan Diinul Islam
secara kaffah dalam kehidupan kita. Ingat, kondisi ini baru bisa kita lakukan
jika kita tahu dan mengerti bahwa ruh/ruhani adalah jati diri manusia yang
sesungguhnya yang telah disifati oleh Allah SWT dengan Asmaul Husna.
Sekarang semuanya
tergantung kepada diri kita sendiri, maukah menjadikan sifat alamiah ruh/ruhani
menjadi perbuatan diri kita seperti garam yang mampu berperilaku mengasinkan
apa apa yang diliputinya. Jika kita tidak mampu berarti diri kita sama dengan
garam yang sudah tidak asin lagi. Jika garam sudah tidak asin lagi maka tidak
pantas ia mengaku garam atau disebut sebagai garam. Hal yang samapun jika kita
tidak mampu menjadikan sifat ruh/ruhani menjadi sifat dan perbuatan kita maka
kitapun sudah tidak pantas lagi disebut sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi
ini. Ayo buktikan jika kita memang pantas menyandang status khalifah Allah SWT
di muka bumi dengan selalu berbuat kebaikan sebagai wujud dari pelaksanaan Diinul
Islam sekarang juga melalui perbuatan diri kita yang mencerminkan nilai nilai
ilahiah yang berasal dari Asmaul Husna. Jika sampai ini terjadi berarti salah
satu tujuan dari kekhalifahan di muka bumi berhasil yaitu diri kita mampu
menjadi menampilkan penampilan Allah SWT di muka bumi melalui nilai nilai
ilahiah yang berasal dari Asmaul Husna.
Semoga kita dan anak
keturunan kita mampu melakukan hal ini dari waktu ke waktu sepanjang hayat
masih di kandung badan. Begitu hebat dan begitu nyata konsep zakat yang telah
ditetapkan berlaku di langit dan di muka bumi oleh Allah SWT. Alangkah hebatnya
negeri ini jika seluruh orang yang beragama Islam mampu memahami konsep zakat
ini serta negeri gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo bukanlah
mimpi di siang bolong, namun bisa nyata terjadi.
C.
TIMBULNYA PERMUSUHAN
DAN KEBENCIAN.
Berdasarkan surat Al Maaidah
(5) ayat 64 yang kami kemukakan berikut ini: “Orang-orang
Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”[426], sebenarnya tangan merekalah
yang dibelenggu[427] dan merekalah yang dila’nat disebabkan apa yang telah
mereka katakan itu. (tidak demikian),
tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia
kehendaki. Dan AlQuran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh
akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan
Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari
kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka
berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat
kerusakan.”
[426] Maksudnya ialah kikir.
[427] Kalimat-kalimat ini
adalah kutukan dari Allah terhadap orang-orang Yahudi berarti bahwa mereka akan
terbelenggu di bawah kekuasaan bangsa-bangsa lain selama di dunia dan akan
disiksa dengan belenggu neraka di akhirat kelak.
Yang harus siap kita
hadapi jika kita tidak mau melaksanakan perintah menunaikan zakat adalah
bersiaplah menghadapi permusuhan, bersiaplah menghadapi kedengkian, bersiaplah
menghadapi rasa curiga mencurigai ditengah masyarakat dikarenakan terjadinya
jurang sangat dalam antara yang kaya dan yang miskin yang tidak dapat
terjembatani dengan baik. Akibat yang kaya bertambah kaya dan yang miskin
bertambah miskin. Jika ini sampai terjadi, maka yang paling senang adalah syaitan
karena kesempatan untuk merusak suatu bangsa dan negara melalui politik adu
domba menjadi lebih mudah dilakukan. Selanjutnya terjadilah apa yang dinamakan
permusuhan dan kebencian di tengah masyarakat.
Jika sudah seperti
ini yang terjadi di dalam masyarakat, tentu rasa nyaman, rasa tentram, rasa
aman hilang karena terjadinya penumpukan harta kekayaan atau penghasilan yang
tidak mengalir ke bawah. Bagi masyarakat miskin yang menghadapi kondisi ini
sangatlah tidak mengenakkan apalagi jika yang kaya mempertontonkan tingkah
lakunya yang tidak bermartabat. Lain halnya jika yang kaya (muzakki) melakukan
tindakan memanusiakan manusia kepada orang miskin (mustahik) dengan memberikan
zakat, infaq dan sedekah dengan cara mendatangi secara langsung.
Jika ini yang terjadi
kecemburuan sosial, permusuhan ataupun pandangan tidak suka/memandang dengan
kebencian kepada yang kaya tidak akan terjadi. Hasil akhirnya adalah terjadilah
kedamaian dalam masyarakat. Sedangkan telah kita ketahui bersama bahwa zakat
merupakan amal sosial dari awal hingga akhir. Zakat merupakan tali penghubung
yang kokoh antara muslim yang kaya dan yang miskin. Jika zakat diatur dengan
baik, maka zakat akan dapat mencukupi kebutuhan
umat Islam dalam jumlah besar, sehingga dapat mengubah mereka dari
kondisi membutuhkan kepada kondisi menghasilkan dan memberi (dari mustahik
menjadi generasi muzakki muzakki baru).
Sekarang mari kita
pertegas kembali tentang kehidupan yang terjadi di dalam masyarakat. Dimana saat
manusia hidup di muka bumi ini, dapat dipastikan tidak semuanya kaya dan tidak
semuanya miskin, sehingga ada yang kaya dan ada yang miskin. Allah SWT selaku
pencipta manusia, tentu sangat bertanggung jawab tidak hanya kepada orang kaya
melainkan juga kepada orang yang miskin.
Salah satu methode
yang telah dipersiapkan oleh Allah SWT untuk menciptakan keselarasan,
keserasian, kebersamaan serta keseimbangan antara yang kaya dengan yang miskin,
dibuatlah ketentuan mendirikan shalat dan menunaikan zakat dalam satu paket.
Sekarang apa jadinya jika yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah
miskin saat mereka sama sama hidup di muka bumi ini? Tentu akan terjadi apa
yang dinamakan gesekan, kecemburuan sosial diantara sesama penduduk bumi yang
pada akhirnya menimbulkan permusuhan dan kebencian. Sedangkan baik yang kaya
ataupun yang miskin sama statusnya yaitu sama sama khalifah Allah SWT di muka
bumi. Agar sesama khalifah terjadi kebersamaan maka Allah SWT memerintahkan hal
sama kepada orang yang kaya maupun orang yang miskin untuk mendirikan shalat
dan menunaikan zakat.
Adanya perintah yang
sama baik kepada yang kaya dan juga kepada yang miskin, menunjukkan kepada diri
kita bahwa Allah SWT berkehendak agar baik yang kaya ataupun yang miskin
memiliki kesalehan pribadi. Sedangkan kesalehan sosial terikat dengan ketentuan
nishab dan haul sehingga besar kemungkin hanya orang kaya saja yang memenuhi
nishab dan haul. Sedangkan orang yang miskin tidak bisa memenuhi nishab dan
haul, yang pada akhirnya orang miskin
tidak memiliki kewajiban untuk menunaikan zakat. Bagi orang kaya sebaliknya
yaitu memiliki kewajiban menunaikan zakat. Adanya kondisi yang kami kemukakan
di atas, akan ada beberapa kemungkinan yang terjadi dalam masyarakat, yaitu :
1. Ada orang kaya
(muzakki) yang memiliki kesalehan pribadi dan juga telah memenuhi syarat nishab
dan haul akan tetapi tidak mau menunaikan zakat. Jika ini yang terjadi maka orang
tersebut belum dapat dikatakan telah mendirikan shalat yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT karena orang yang memiliki kesalehan pribadi akan
menampilkan kesalahen sosial di dalam masyarakat. Adanya orang yang tidak mau
menunaiakn zakat terjadilah konsentrasi kepemilikan harta kekayaan atau
penghasilan hanya pada titik tertentu saja atau hanya berkumpul di atas saja
tanpa mengalir ke bawah sehingga yang dibawah tetap fakir dan miskin.
2. Ada orang kaya
(muzakki) yang memiliki kesalehan pribadi dan juga telah memenuhi syarat nishab
dan haul lalu mereka menunaikan zakatnya. Jika ini yang terjadi maka
tercerminlah kesalehan pribadi di dalam masyarakat melalui kesalehan sosial
saat menunaikan zakat sehingga masyarakat tertolong dan terbantu oleh
keberadaan diri kita. Lalu hidup nyaman, aman, damai dan bersahaja dapat kita
rasakan dikarenakan ruh/ruhani dan jasmani sehat melalui shalat serta
masyarakat sejahtera melalui zakat.
3. Ada orang kaya
(muzakki) yang tidak memiliki kesalehan pribadi tetapi telah memenuhi syarat
nishab dan haul tetapi tidak mau menunaikan zakat. Jika ini yang terjadi maka keberkahan
harta kekayaan atau penghasilan hilang serta tercampur dengan kotoran kotoran
yang berasal dari tidak ditunaikannya zakat, infaq dan sedekah. Dan jika
kotoran sudah masuk ke dalam harta kekayaan atau penghasilan maka warnanya akan
berubah. Setelah warna berubah selanjutnya rasa dari harta kekayaan juga akan
berubah yang pada akhirnya memudahkan syaitan melaksanakan aksinya kepada
pemilik harta tersebut.
4. Ada orang miskin
(mustahik) yang memiliki kesalehan pribadi tetapi yang bersangkutan tidak
memenuhi syarat nishab dan haul sehingga tidak memiliki kewajiban untuk
menunaikan zakat. Jika hal ini terjadi maka orang miskin yang memiliki
kesalehan pribadi, akan tetap berbuat
kebaikan di luar menunaikan zakat seperti bersedekah karena kewajiban
berzakatnya tidak ada. Mustahik type ini tidak akan mau meletakkan tangannya di
bawah dan apabila para muzakki bisa memberikan zakat, infaq dan sedekah
kepadanya maka akan lahirlah muzakki muzakki baru dari golongan ini.
5. Ada orang miskin
(mustahik) yang tidak memiliki kesalehan pribadi dan juga tidak memenuhi syarat
nishab dan haul sehingga tidak memiliki kewajiban untuk menunaikan zakat. Jika
ini yang terjadi maka nilai nilai keburukan yang ada pada diri mustahik type
ini akan dapat menimbulkan kegaduhan sosial di tengah masyarakat. Akan menjadi
biang keonaran, biang permusuhan dan kebencian kepada orang yang memiliki harta
kekayaan atau penghasilan yang besar.
Orang dengan type
seperti ini akan rela menjadikan kemiskinan yang dimilikinya menjadi komoditas untuk
diperjualbelikan atau bahkan berusaha agar kemiskinannya langgeng sehingga ia
tidak malu malu untuk menjadi peminta minta zakat, infaq dan sedekah. Selain
daripada itu, orang dengan type seperti ini akan selalu berfikir untuk diri
sendiri saja tidak cukup, bagaimana mungkin saya akan menunaikan zakat, infaq
dan sedekah.
Sekarang bertanyalah
kepada diri sendiri lalu tentukan yang manakah posisi diri kita itu, apakah
point a, apakah point b, apakah point c, apakah point d, atau apakah point e ?
Jawablah dengan jujur pertanyaan ini karena dengan kejujuran ini kita akan
mudah melaksanakan perubahan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Semoga diri
kita atau anak keturunan kita termasuk dalam kriteria point b seperti yang kami kemukakan di atas atau kalaupun
tidak minimal masuk dalam kriteria point
d di atas. Ingat, hidup itu dinamis sehingga kadang di atas kadang di bawah. Pada
saat hidup dalam posisi di atas (memenuhi nishab dan haul) kita masuk dalam
kriteria point b, sedangkan saat di bawah (tidak memenuhi nishab dan haul) kita
masuk dalam kriteiaa point d. Selain dari ke dua point ini, jangan pernah
jadikan diri kita seperti itu karena resikonya sangat luar biasa
dahsyatnya.
D.
MENJADI TAMU YANG
TIDAK TAHU DIRI DIHADAPAN ALLAH SWT.
Islam adalah agama
positif, produktif dan kotributif. Positif memiliki arti mengandung nilai nilai
kemuliaan. Produktif memiliki makna bahwa Islam selalu menganjurkan untuk selalu bekerja dengan berbagai profesi
yang halal. Kontributif memiliki makna Islam selalu menganjurkan umatnya selalu
memiliki semangat untuk memberi. Islam sebagai agama yang bersifat produktif
ditunjukkan dengan anjuran bekerja bagi umatnya. Islam membenci umatnya yang
malas dan tidak mau bekerja. Allah SWT mencintai umatnya yang kuat dan membenci
umatnya yang lemah. Sehingga bekerja adalah kewajiban seorang muslim, terutama
laki laki sebagai cara untuk memenuhi nafkah keluarga, sebagaimana firman Allah
SWT berikut ini: “Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (surat At Taubah (9)
ayat 105)
Islam adalah agama kontributif
yang ditunjukkan melalui anjuran kepada umatnya untuk menjadi pemberi dan melarang menjadi peminta minta. Islam
melarang umatnya untuk menjadi seorang pengemis. Islam memandang orang orang
yang tangannya di atas untuk memberi lebih disenangi dari orang orang yang yang
tangannya di bawah karena meminta minta.
Agar konsep Islam
sebagai agama positif, produktif dan kotributif berjalan sesuai dengan kehendak
Allah SWT maka Allah SWT menetapkan adanya ketentuan untuk menunaikan zakat.
Hasilnya adalah terlihat dengan jelas bahwa Islam adalah Agama Rahmat bagi
Seluruh Alam.Inilah salah satu ketentuan dasar yang berlaku dalam Islam, namun
yang terjadi adalah khalifahnya atau bahkan diri kita justru keluar dari konsep
ini atau tidak mampu melaksanakan konsep itu sehingga kita menjadi tamu yang
tidak tahu diri dihadapan Allah SWT dengan berperilaku malas untuk bekerja atau
lebih suka meminta minta daripada memberi. Padahal konsep dari dari zakat
bukanlah menjadikan manusia seperti itu.
Untuk mempertegas
keberadaan diri kita dihadapan Allah SWT, perkenankan kami mengemukakan hal hal
sebagai berikut : Berdasarkan surat Ar Ruum (30) ayat 20,21, 22 berikut ini; “Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian
tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan
bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” Dan juga
berdasarkan surat Al An’am (6) ayat 12 yang kami kemukakan sebagaimana berikut
ini: “Katakanlah: “Kepunyaan siapakah
apa yang ada di langit dan di bumi.” Katakanlah: “Kepunyaan Allah.” Dia telah
menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang[462]. Dia sungguh akan menghimpun kamu
pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. Orang-orang yang meragukan
dirinya mereka itu tidak beriman[463].”
[462] Maksudnya: Allah telah berjanji sebagai
kemurahan-Nya akan melimpahkan rahmat kepada mahluk-Nya.
[463] Maksudnya: orang-orang yang tidak menggunakan
akal-fikirannya, tidak mau beriman.
Allah SWT adalah
pencipta dan pemilik dari alam semesta ini termasuk di dalamnya kekhalifahan di
muka bumi. Ini menunjukkan bahwa di alam semesta ini hanya berlaku ketentuan, hukum, peraturan,
undan undang Allah SWT yang berlaku dan harus dipelajari, harus dilaksanakan
oleh semua yang ada di alam semesta ini, termasuk di dalamnya oleh diri kita.
Yang tentunya harus dipelajari dan dilaksanakan
sesuai dengan kehendak Allah SWT itu sendiri.
Sekarang Allah SWT
selaku pencipta dan pemilik sudah menetapkan adanya perintah menunaikan zakat
yang sebelumnya diiringi dengan perintah mendirikan shalat, berarti perintah
ini wajib dipelajari dan dilaksanakan dengan sebaik baiknya. Agar diri kita
tidak salah dalam hal ini maka sudah sepatutnya diri kita belajar tentang
ketentuan ini lalu melaksanakannya dengan baik dan benar. Lalu apa jadinya jika
kita yang saat ini sedang menumpang di alam semesta ini, tidak mau menunaikan
zakat?
Jika kita tidak mau
menunaikan zakat berarti kita telah menjadikan diri kita sendiri sebagai orang
yang menumpang, sebagai tamu dan sebagai khalifah yang tidak tahu diri, karena
sudahlah menumpang, sudahlah menjadi tamu, sudahlah menjadi khalifah, lalu
ketentuan pencipta dan pemilik dari langit dan bumi kita lawan. Lalu bersiaplah
mengalahkan ahwa (hawa nafsu) dan syaitan seorang diri. Dikarenakan Allah SWT
tidak akan mau menjadi penolong diri kita serta bersiaplah pula menjalani hidup
tanpa pertolongan dan perlindungan Allah SWT, dan akhirnya bersiaplah merasakan
panasnya api neraka yang panasnya tujuh puluh kali panasnya api dunia.
Bayangkan diri kita
yang sudah diangkat oleh Allah SWT sebagai khalifahNya di muka bumi lalu dengan
kesadaran penuh menurunkan derajatnya sendiri dihadapan Allah SWT menjadi
makhluk yang tidak terhormat karena tidak mau menunaikan zakat. Inilah kondisi
yang dikatakan sebagai jatuh tapai, jatuh derajat serendah rendahnya. Ingat, Allah
SWT memerintahkan diri kita menunaikan zakat bukanlah untuk menyusahkan diri
kita melainkan untuk kebaikan diri kita. Allah SWT memerintah menunaikan zakat
karena Allah SWT sayang kepada diri kita. Jika sudah seperti ini, apa yang bisa
Allah SWT lakukan kepada diri kita selain membiarkan diri kita hidup dalam
kesusahan, hidup dalam keresahan, hidup dalam ketidaknyamanan serta hidup di
dalam kehendak syaitan sang laknatullah karena ulah kita sendiri.
Nikmatilah hidup
seperti ini karena hidup adalah pilihan dan dibalik pilihan ada konsekuensi
yang harus kita ambil dan rasakan. Semoga kita dan anak keturunan kita tidak
termasuk di dalam orang yang salah di dalam memilih jalan hidup dan kehidupan
karena hidup hanya sekali dan kita sendirilah yang menentukan apakah mau
bahagia ataukah mau celaka. Sekarang katakan
saat ini ita sudah menjadi tamu yang tidak dikehendaki oleh Allah SWT lalu kita
sendiri malas, tidak mau bekerja, hanya mau meletakkan tangan di bawah dengan
cara meminta minta atau menjadi pengemis. Padahal hal ini paling tidak disukai
oleh Allah SWT. Dan jika sampai ini terjadi maka lengkap sudah penderitaan kita
di muka bumi. Dan jika hasil akhirnya menghantarkan diri kita ke Neraka
Jahannam, karena memang sepatutnya itu berlaku kepada diri kita. Namun apabila
saat ini kita masih hidup di muka bumi ini berarti kita masih diberikan
kesempatan ke dua oleh Allah SWT untuk segera bertaubat. Lakukan taubat saat
ini juga lalu lakukanlah perubahan untuk kebaikan diri kita sendiri.
E.
KEBERKAHAN HARTA
KEKAYAAN HILANG.
Berdasarkan surat Al
Baqarah (2) ayat 276 dan 277 yang kami kemukakan berikut ini: “Allah
memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah[177]. Dan Allah tidak menyukai Setiap
orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa[178]. Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
[177] Yang dimaksud dengan memusnahkan Riba ialah
memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. Dan yang dimaksud dengan
menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan
sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya.
[178] Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan Riba
dan tetap melakukannya.
Allah
SWT memusnahkan riba dikarenakan kemudharatannya lebih besar dibandingkan
dengan manfaatnya terutama dalam hal
keberkahannya. Allah SWT menyuburkan sedekah agar sedekah menjadi subur yang
pada akhirnya melipatgandakan keberkahan yang menyertai sedekah. Hal yang harus
kita hadapi atau resiko yang harus siap kita hadapi jika kita tidak mau
menunaikan zakat adalah memiliki harta kekayaan banyak atau penghasilan tinggi tetapi
tanpa ada keberkahan di dalamnya.
Bayangkan
kita memiliki banyak harta kekayaan atau penghasilan yang tinggi tetapi tidak
memberikan kebaikan kepada diri kita dan juga kepada anak keturunan kita. Harta
kekayaan atau penghasilan yang seharusnya membawa keberkahan justru menjadi menjadi
beban. Harta kekayaan atau penghasilan yang seharusnya menjadi obyek yang akan
diatur oleh subyek (pemiliknya) justru menjadikan pemiliknya menjadi obyek yang
diatur oleh subyek (diatur oleh harta kekayaan atau penghasilan). Jika sampai
ini yang terjadi maka terjadilah apa yang dinamakan dengan banyak harta tanpa
keberkahan.
Lalu
apa yang bisa kita lakukan dengan harta kekayaan atau penghasilan yang tidak
memiliki keberkahan di dalamnya? Jika sampai diri kita memiliki harta kekayaan
atau penghasilan yang di dalamnya tanpa ada keberkahaan kondisi ini hampir sama
kedudukannya dengan memiliki harta kekayaan yang haram. Harta kekayaan atau
penghasilan yang haram akan mendorong pemiliknya atau yang menguasainya untuk
berbuat yang haram pula. Dan jika ini yang timbul maka akan mendorong adanya
kehidupan yang sangat dikehendaki oleh syaitan dan juga membuka peluang bagi
ahli ahli waris untuk memperebutkan harta warisan yang ditinggalkan oleh
pemiliknya. Semoga kondisi ini tidak terjadi pada diri kita dan juga pada anak
dan keturunan kita. Amien.
Untuk menambah
wawasan dan pengetahuan tentang zakat, berikut ini akan kami kemukakan kisah
tiga orang yang menolak menunaikan zakat di zaman Rasulullah SAW, dimana kisah
ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya. Ketika itu,
Rasulullah SAW mengutus sahabat Umar untuk mengumpulkan zakat dari
orang-orang kaya, “Pergilah, kumpulkanlah harta zakat!”
Umar pun pergi untuk
melaksanakan tugasnya. Dia berkeliling mengunjungi kaum muslimin dengan sebuah
perintah, “Bayarlah zakat kalian!”. Harta zakat yang didapatkannya
bukanlah untuk istana atau kantor-kantor, melainkan untuk diberikan kepada
fakir dan miskin serta orang-orang yang membutuhkannya. Ketika bertugas, Umar
pergi dari satu pintu ke pintu lainnya dengan menyampaikan
perintah, “Bayarlah zakat!” . Semua orang yang didatangi Umar
bertanya, “Siapakah yang telah mengutus engkau?” “Yang mengutusku ialah
Rasulullah SAW,” jawab Umar.
Ketika orang-orang
mendengar nama Rasulullah disebutkan, serta-merta mereka membayar kewajiban
zakat. Betapa kuatnya pengaruh Rasulullah SAW untuk “mengendalikan hati”
mereka. Sampai-sampai, para wanita perawan pun menyimak sabda Rasulullah
SAW dari dalam kamarnya. Kekuatan inilah yang tidak dimiliki oleh Umar
walaupun dia memiliki kelebihan dalam hal lainnya. Setelah Umar mendatangi
seluruh kaum muslimin, sampailah Umar pada tiga sahabat yang menolak untuk
membayar zakat. Mereka adalah Abbas, Khalid bin Walid dan Ibnu Jamil. Yang
pertama Umar mendatangi Abbas dan berkata padanya, “Bayarlah zakat!” Abbas
bertanya, “Siapakah yang telah mengutusmu?” “Rasulullah SAW,” jawab
Umar. Abbas berkata, “Aku tidak akan membayarnya.”
Lalu Umar pergi
menuju Khalid bin Walid, seorang ahli strategi perang, dan berkata
kepadanya, “Bayarlah zakat!”. Khalid bertanya, “Siapakah yang telah
mengutusmu?”. Rasulullah SAW,” jawab Umar. Khalid berkata, “Aku tidak akan
membayarnya.” Kemudian Umar pergi mengunjungi Ibnu Jamil dan berkata
kepadanya, “Bayarlah zakat!”. Ibnu Jamil bertanya, “Siapakah yang
telah mengutusmu?”.
“Rasulullah
SAW,” jawab Umar. Ibnu Jamil berkata, “Aku tidak akan membayarnya.”. Setelah
itu, Umar pulang dan menghadap Rasulullah dengan membawa harta zakat.
Ketika tiba di hadapan Rasulullah SAW, ia berkata, “Seluruh kaum muslimin
membayar zakat harta kecuali tiga orang.”. “Siapakah mereka?” Tanya
Rasulullah SAW. “Abbas, Khalid bin Walid, dan Ibnu Jamil,” jawab Umar. Rasulullah
SAW bersabda, “Wahai Umar, tidakkah Engkau tahu bahwa Abbas adalah
pamanku? Akulah yang akan membayar zakatnya untuk dua tahun. Zakatnya menjadi
kewajibanku untuk membayarnya selama dua tahun, sebab aku telah meminjam uang
zakat darinya untuk dua tahun.” Rasulullah SAW melanjutkan, “Adapun
Khalid, kalian telah berbuat zalim kepadanya. Dia telah mewakafkan seluruh
perbekalan dan perlengkapan miliknya di jalan Allah.”
Beliau berkata
lagi, “Semua telah tergadai dan menjadi wakaf di jalan Allah. Apakah dalam
harta wakaf terdapat kewajiban membayar zakat? Wahai Umar, mengapa engkau
meminta zakat darinya padahal dia telah mewakafkannya?”. Jika Khalid hendak
pergi berperang, dia memanggil 100 orang pasukan berkuda dan memberi mereka 100
pedang, 100 tombak, serta 100 ekor kuda perang; semua itu dia jadikan sebagai
wakaf untuk Allah. Oleh karenanya, anak-anaknya tidak dapat mewarisinya. Ketika
Khalid wafat, dia tidak meninggalkan harta, kecuali baju yang dia pakai.
Adapun Ibnu Jamil,
Rasulullah SAW bersabda tentangnya, “Adapun Ibnu Jamil, tidaklah
(pantas) dia menolak membayar zakat, karena dahulu dia orang yang fakir lalu
Allah membuatnya kaya.” Maksudnya, tidak ada alasan bagi Ibnu Jamil untuk
menolak membayar zakat. Allah SWT berfirman berkenaan dengan Ibnu Jamil
dan orang-orang yang serupa dengannya:“dan diantara mereka ada orang yang telah
berikrar kepada Allah: “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian
karunia-Nya kepada Kami, pastilah Kami akan bersedekah dan pastilah Kami
Termasuk orang-orang yang saleh.Maka setelah Allah memberikan kepada mereka
sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling,
dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).Maka
Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka
menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah
mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta.(surat At
Taubah (9) ayat 75, 76, 77)
Maka dalam kasus
ini, tidak ada keringanan bagi Ibnu Jamil dalam hal membayar zakat.
Berbeda dengan Abbas dan Khalid, mereka diberi keringanan untuk
tidak membayar zakat karena alasan-alasan yang telah disebut Rasulullah
SAW di atas. Semoga dengan adanya pelajaran yang kami kemukakan di atas ini,
mampu menyadarkan diri kita betapa berbahayanya jika kita tidak mau menunaikan
zakat dalam kerangka menunaikan hak Allah SWT.
Selanjutnya, untuk
lebih mempertegas resiko yang akan terjadi jika zakat tidak mau ditunaikan
seperti yang telah kami kemukakan di atas. Berikut ini akan kami kemukakan
beberapa ancaman yang siap Allah SWT berikan kepada orang orang yang tidak mau
menunaikan zakat saat di akhirat kelak, yaitu:
1. Dibakar. Berdasarkan surat At Taubah (9) ayat 34, 35
sebagaimana kami kemukakan berikut ini: “Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu
dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan)
kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. Orang
yang tidak mau menunaikan zakat akan dibakar dengan emas dan perak yang
dimilikinya tersebut mulai dari bagian dahi, lambung dan punggung mereka.
Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang memiliki emas dan
perak, tetapi dia tidak membayar zakatnya, niscaya di hari kiamat akan
dibuatkan setrika api untuknya yang dinyalakan di dalam neraka, lalu
disetrikakan ke perut, dahi dan punggungnya. Setiap setrika itu dingin, maka
akan dipanaskan kembali lalu disetrikakan kembali kepadanya setiap hari –di
mana sehari setara lima puluh tahun di dunia – hingga perkaranya diputuskan.
Setelah itu, barulah ia melihat jalannya keluar, adakalanya ke surga dan
adakalanya ke neraka.” (Hadits Riwayata Muslim: 987)
2. Ditusuk besi panas di neraka. Salah satu siksaan
pedih bagi mereka yang menunggak membayar zakat adalah mereka akan ditusuk
dengan besi panas. Hal ini tertuang dalam hadis riwayat Bukhari berikut ini: “Saya
pernah berada di antara kaum Quraisy. Kemudian Abu Dzar lewat dan berkata,
‘Sampaikanlah berita gembira pada orang-orang yang menyimpan hartanya (tidak
mau membayar zakat) bahwa punggung mereka akan ditusuk hingga tembus
lambungnya, dan tengkuk mereka ditusuk hingga tembus keningnya’" (Hadits Riwayat
Bukhari). Dan dalam hadits yang lainnya juga disebutkan mengenai
siksaan pedih bagi mereka penunggak zakat. Mereka akan diberikan batu-batu yang
dipanaskan dari neraka jahanam, sebagaimana hadits berikut ini: “Sampaikanlah
berita gembira pada orang-orang yang menyimpan hartanya (tidak mau membayar
zakat) bahwa batu-batu yang dipanaskan di neraka Jahannam akan diletakan di
puting mereka hingga keluar dari pundaknya, dan diletakan di pundaknya hingga
keluar dari puting kedua dadanya, hingga membuat tubuhnya bergetar tidak
karuan." (Hadits Riwayat Bukhari)
3. Dililitkan ular beracun. Rasulullah SAW bersabda,“Barangsiapa
yang diberikan harta oleh Allah, namun tidak mengeluarkan zakatnya, niscaya pada
hari kiamat harta itu akan berubah wujud menjadi seekor ular jantan yang
bertanduk dan memiliki dua taring lalu melilit orang itu pada hari kiamat. Lalu
ular itu memakannya dengan kedua rahangnya, yaitu dengan mulutnya seraya
berkata, ‘Aku inilah hartamu, akulah harta simpananmu”. Kemudian Beliau membaca
firman Allah Ta’ala di surat Ali ‘Imran ayat 180 yang artinya, “ Sekali-kali
janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka
dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan
dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala
warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (Hadits Riwayata Bukhari: 1405)
4. Diamuk dan diinjak injak oleh hewan ternak yang dimilikinya.
Apabila
harta yang wajib dizakatkan berupa hewan, maka si pembangkang zakat akan
menerima siksaan dari hewan peliharaannya itu sendiri. Ia akan diamuk dan
diinjak oleh hewan peliharaannya. Rasulullah SAW bersabda sebagai berikut: “Tidak
ada pemilik unta, sapi, dan kambing yang tidak membayar zakatnya kecuali
binatang-binatang tersebut datang di hari kiamat dengan ukuran yang sangat
besar dan sangat gemuk yang menyeruduk pemiliknya dengan tanduk-tanduk dan
menginjak-nginjaknya dengan kaki-kaki mereka. Ketika binatang yang paling
belakang habis, maka yang depan kembali datang lagi padanya hingga umat manusia
selesai dihisab." (Hadits Riwayat Muslim).
Selain 4 (empat) hal
yang telah kami kemukakan di atas, masih ada beberapa hadits yang mengemukakan
tentang akibat dari meninggalkan zakat :
1. Rasululah SAW bersabda:
“Golongan
orang-orang yang tidak membayar zakat akan ditimpa kelaparan, dan kemarau panjang”
(Hadits Riwayat Ath Thabrani). Sedangkan
menurut Imam Al Baihaqi, hadits diatas berbunyi: “Apabila (warga) kampung tidak
berzakat, Allah akan menahan hujan”. Imam Hakim juga menyatakan bahwa
hadits tersebut menurut Imam Muslim adalah shohih.
2. Ibnu Umar ra
menyatakan, Rasulullah SAW telah bersabda: “Bila mereka tidak mengeluarkan
zakat, berarti mereka menghambat hujan turun. Seandainya tidak ada
binatang, pastilah mereka tidak diberi hujan” (Hadits Riwayat Ibnu
Majah, Al Bazzar dan Al Baihaqi)
3. Nabi Saw mengirimkan
utusan kepada seorang laki-laki dari kabilah Asyja’ untuk memungut zakat, namun
laki-laki itu menolaknya. Ketika Nabi Saw mengirimkan utusan untuk kedua
kalinya, laki-laki itu masih membangkang tidak mau membayar zakat. Maka sewaktu
mengirim utusan ketiga, Nabi Saw berpesan: “Apabila ia masih membangkang, pukullah
lehernya” (Hadits Riwayat Ath Thabrani & Hakiim)
Sebagai
abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, bisakah kita
membayangkan betapa sakitnya dan betapa sengsaranya badan ini disiksa dan
dianiaya oleh apa apa yang pernah kita miliki saat di dunia. Jangan sampai kita
mengalami hal ini. Ayo segera tunaikan zakat dengan baik dan benar!