Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Sabtu, 28 Januari 2017

RESIKO BAGI YANG TIDAK MAU MENUNAIKAN ZAKAT

 

 

Menunaikan zakat sebagai sebuah perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT tentu wajib kita laksanakan, jika kita merasa adalah khalifahnya di muka bumi. Lalu adakah resiko jika kita tidak mau menunaikan zakat yang tidak lain adalah Hak Allah SWT? Seperti halnya jika kita tidak mau melaksanakan mandi yang sesuai dengan ilmu kesehatan, maka bersiaplah kita merasakan bau badan, bersiaplah merasakan gatal-gatal, bersiaplah merasakan daki yang menempel di tubuh kita, badan tidak segar, sehat jauh dari kita, penyakit kulit dan lain sebagainya. Hal yang samapun berlaku jika kita tidak mau menunaikan zakat saat hidup di bumi Allah SWT, yaitu bersiaplah menerima resikonya. Apakah resikonya?

 

Berikut ini akan kami kemukakan beberapa resiko yang diancamkan oleh Allah SWT kepada umatnya yang tidak mau menunaikan zakat, yaitu :

 

A.     MENGANIAYA DIRI SENDIRI.

 

Berdasarkan surat Muhammad (47) ayat 38 berikut ini: “Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir Sesungguhnya Dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.”  Jika kita tidak mau menunaikan zakat saat hidup di muka bumi ini berarti kita telah menganiaya diri kita sendiri, kita telah menzalimi diri kita sendiri. Ingat, bukan orang lain yang menganiaya diri kita melainkan kita sendiri yang menganiaya diri sendiri. Alangkah dzalimnya diri kita yang menganiaya diri sendiri.

 

Sedangkan Allah SWT berdasarkan ketentuan surat Ar Ruum (30) ayat 9 berikut ini: “dan Apakah mereka tidak Mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebihkuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka Rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak Berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang Berlaku zalim kepada diri sendiri.”(tidak pernah berbuat zhalim kepada manusia. Melainkan manusia sendirilah yang berbuat zhalim baik kepada orang lain maupun kepada dirinya sendiri. Pernahkah kita melihat orang yang menganiaya dirinya sendiri atau berbuat zhalim kepada dirinya sendiri?

 

Mungkin kita langsung membayangkan seseorang yang memotong urat nadinya dengan pisau, atau menjatuhkan dirinya dari lantai sekian gedung tinggi, atau menenggak racun. Akan tetapi sebenarnya dalam Islam, arti dari “menganiaya diri sendiri” tidak hanya itu. Bukan sekadar menyakiti fisik sendiri, melainkan segala kezaliman yang dilakukan terhadap diri sendiri yang berakibat kepada kefitrahan ruh/ruhani yang menjadikan kita mendapat siksa di akhirat kelak.

 

Untuk mempertegas tentang menganiaya diri sendiri, perkenankan kami untuk mengemukakan hal hal sebagai berikut: Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu berpasangpasangan, dimana di dalam berpasangpasangan yang telah diciptakan oleh Allah SWT tersebut agar kita selalu mengingat akan kebesaran Allah SWT sebagaimana termaktub dalam surat Yaa Siin (36) ayat 36 berikut ini: “Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”  Dan juga dalam surat Adz Dzariyaat (51) ayat 49 berikut ini: “dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” Apa contohnya? Contohnya adalah adanya hitam dan putih, adanya kaya dan miskin, adanya negatif dan positif, adanya atas dan bawah, adanya luar dan dalam, adanya proton dan neutron, adanya menerima dan memberi, adanya iman dan kafir dan lain sebagainya. Inilah sunnatullah yang berlaku di muka bumi ini. Lalu apakah hanya ini saja? 

 

Berdasarkan ketentuan surat At Taubah (9) ayat 11 berikut ini: “Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” Dan juga berdasarkan surat Al Bayyinah (98) ayat 5 berikut ini: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.”

 

[1595] Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.

 

Allah SWT juga telah menciptakan ibadah yang berpasangpasangan yaitu dirikanlah shalat dan tunaikan zakat. Adanya ketentuan ini maka kita harus selalu melaksanakan ibadah ini secara berpasangpasangan pula. Maksudnya adalah kita tidak bisa hanya mendirikan shalat semata tanpa menunaikan zakat, kedua ibadah ini harus dilaksanakan keduanya secara konsisten dari waktu ke waktu dan jangan pernah dipisahkan diantara keduanya oleh sebab apapun juga.

 

Sekarang apa hubungannya dengan menganiaya diri sendiri dengan adanya ibadah mendirikan shalat dan menunaikan zakat? Jika kita memisahkan ibadah mendirikan shalat dengan ibadah menunaikan zakat termasuk dalam kategori menganiaya diri sendiri dikarenakan kita telah memisahkan kesalehan pribadi yang berasal dari mendirikan shalat dengan kesalehan sosial yang berasal dari menunaikan zakat. Padahal kita telah mengetahui bahwa kenikmatan berpunya atau memiliki harta kekayaan baru akan terasa nikmat saat diri kita berbagi kepada yang membutuhkan (mustahik). Dengan diri kita tidak mau menunaikan zakat berarti kita telah menganiaya diri sendiri terutama dalam hal menjadikan diri kita sendiri menjadi orang yang egois yang hanya mementingkan diri sendiri menikmati kesalehan pribadi tanpa mau berbagi melalui kesalehan sosial.

 

Selain daripada itu, mendirikan shalat dan menunaikan zakat dapat juga dimaknai sebagai menerima dan memberi. Kita tidak bisa hanya menerima saja (menjadikan diri sendiri menjadi mustahik atau tangan di bawah) dari rezeki yang berasal dari Allah SWT tanpa pernah memberi kepada orang lain atas segala rezeki yang kita terima. Sedangkan jati diri kita yang sesungguhnya bukan saat diri kita menerima, melainkan saat diri kita memberi kepada mustahik.

 

Menerima dan memberi juga bermakna keseimbangan. Apa maksudnya? Jika kita hanya menerima saja atau hanya memperoleh penghasilan saja tanpa ada yang diberikan kepada orang lain (mustahik) melalui zakat, infaq atau sedekah berarti kita hanya mampu menjadikan diri kita sendiri tangan di bawah tanpa pernah menjadikan tangan kita di atas dengan cara menumpuk harta kekayaan atau penghasilan semata. Sekarang bayangkan jika tangan kita hanya bisa menengadah ke atas saja tanpa bisa dibalikkan ke bawah, lalu apa yang bisa kita lakukan dengan kondisi ini?

 

Disinilah letak betapa pentingnya keseimbangan dimana tangan kita tidak bisa selamanya menengadah tetapi juga harus dibalikkan ke bawah untuk menuang apa yang ada pada saat menengadah. Jika ini terjadi maka terjadilah apa yang dinamakan dengan berbagi kepada sesama melalui aktivitas menunaikan zakat, infaq atau sedekah. Lalu terjadilah pemerataan kebahagiaan yang hakiki kepada mustahik dan dengan adanya ini pula maka mendorong mustahik menjadi muzakki muzakki generasi baru maka terjadilah keseimbangan baru dalam kehidupan. Untuk itu Allah SWT telah memberikan peringatan kepada umat manusia agar manusia tidak bakhil dengan hartanya, sebagaimana  termaktub dalam surat Ali Imran (3) ayat 180 berikut ini: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (surat Ali Imran (3) ayat 180)

 

Apabila kita tidak mau menunaikan zakat berarti kita telah memisahkan antara Habblumminallah dengan Habblumminannas yang telah ditetapkan berlaku oleh Allah SWT. Dengan dipisahkannya Habblumminallah dengan Habblumminannas oleh diri kita berarti kita hanya berusaha untuk menyelematkan atau menjaga kefitrahan ruh/ruhani semata tanpa pernah membuat Allah SWT tersenyum pada kita. Padahal nilai yang hakiki diri kita di dapat saat diri kita melaksanakan Habblumminannas.

 

Jika sampai diri kita hanya melaksanakan Habblumminallah berarti kita termasuk orang yang egois yang hanya mementingkan diri sendiri. Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas ini menunjukkan kepada diri kita perintah menunaikan zakat selain berdimensi ketuhanan (habblumminallah) juga berdimensi sosial (habblumminannas). Disinilah letak dari inti dari menunaikan zakat dimana zakat mengajarkan bagaimana seorang muslim peduli dengan lingkungannya, peduli dengan orang-orang yang kurang beruntung diantara mereka. Allah SAW menghendaki hambaNya hidup harmonis, dan saling menyayangi antar sesamanya. Menunaikan zakat adalah salah satu dari sekian banyak perintah Allah SWT bertujuan memperbaiki kondisi sosial kemasyarakatan.Keengganan seseorang muslim menunaikan zakat, sama halnya dengan memupuk sifat bakhil (kikir bin pelit) di dalam diri kita dan sifat tersebut adalah sifat sangat dibenci dan diharamkan oleh Allah SWT.

 

Selain daripada itu, masih berdasarkan ketentuan surat Ali Imran (3) ayat 180 di atas, Allah SWT akan mengalungkan ke leher orang orang yang bakhil (kikir) terhadap harta kekayaan yang dimilikinya kelak di hari kiamat. Bisa kita bayangkan berapa berat kalung yang akan dikalungkan ke leher kita jika tidak mau menunaikan zakat. Jika harta berupa tanah dan bangunan maka seberat itulah kalung yang akan dikalungkan ke leher kita.

 

Untuk menambah wawasan tentang cara kerja atau mekanisme kerja perintah menunaikan zakat. Berikut ini akan kami kemukakan sistem pengairan yang ada di pulau Bali yang dinamakan dengan Subak, yang prinsip utamanya sangat berkesesuaian dengan prinsip dasar dari perintah menunaikan zakat. Subak sangat bergantung dengan aliran air yang sudah tentu fungsinya adalah untuk mengairi tanaman yang ada di sawah. Air yang mengalir inilah yang kemudian dimanfaatkan sedemikian rupa oleh para kelian (pengorganisir) subak untuk kesejahteraan para petani lainnya. Lihatlah bagaimana air mengalir dalam satu subak, yang tidak hanya terfokus di satu lokasi saja, melainkan merata di semua sawah yang terorganisir dalam satu subak. Tidak akan pernah ada di dalam sistem subak, air yang ada di atas tidak mengalir ke bawah. Ungkapan ini sangat sesuai dengan prinsip subak yaitu “berair sawah di atas berair pula sawah di bawah.”

 

Kondisi yang terjadi pada sistem pengairan subak dapat dikatakan merupakan penampilan yang sesungguhnya dari perintah menunaikan zakat. Dimana konsentrasi dari kepemilikan harta kekayaan atau penghasilan tidak hanya terfokus pada golongan atas semata atau orang yang berpunya semata. Namun kepemilikan harta kekayaan atau penghasilan itu harus pula diturunkan melalui zakat, infaq ataupun sedekah sehingga masyarakat yang di bawah maksudnya golongan tidak mampu atau mustahik  dapat tertolong dan terbantu dari adanya pengalihan sebahagian harta kekayaan atau penghasilan dari orang yang mampu. Hasil akhirnya adalah harus menjadikan adanya muzakki muzakki generasi baru dari zakat, infaq dan sedekah.

 

Jika hal ini terjadi maka dapat mengurangi jurang antara yang kaya dengan yang miskin, mengurangi kesenjangan dan kecemburuan sosial dalam masyarakat. Akhirnya hidup menjadi nyaman, aman, damai dan bersahaja bagi yang menunaikan zakat dan bagi penerima (mustahik) terjadilah apa yang dinamakan dengan memanusiakan manusia. Lalu terlihat dengan jelas kesalehan diri tampil dalam kesalehan sosial. Subhanallah, alangkah hebatnya negeri kita jika semua orang yang beragama Islam mampu melaksanakan konsep zakat dalam kehidupan sehari hari.  

 

B.      KELUAR DARI KONSEP ASMAUL HUSNA

 

Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 138 yang kami kemukakan berikut ini: “Shibghah Allah[91]. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyembah.”

 

[91] Shibghah artinya celupan. Shibghah Allah: celupan Allah yang berarti iman kepada Allah yang tidak disertai dengan kemusyrikan.

 

Allah SWT telah mensibghah atau mencelup setiap manusia dengan shibghah yang berasal dari pada Allah SWT. Adanya konsep shibghah ini ada hal yang harus kita jadikan perhatian yaitu: (a) Allah SWT adalah pemberi shibghah, Allah SWT lah yang memberikan Shibghah atau Allah SWT sumber utama dari Shibghah yang akan dishibghahkan; (b) Ada penerima Sbibghah; (c) Ada Shibghah; (4) Ada saat proses Shibghah dilakukan oleh Allah SWT; (5) Ada tujuan dari pemberian Shibgah.  

 

Lalu kepada siapakah shibghah yang akan dishibghahkan itu, apakah kepada ruh/ruhani ataukah kepada jasmani karena setiap manusia pasti terdiri dari 2 (dua) hal ini? Jika kita meyakini dan mengimani bahwa jasmani asalnya dari tanah/alam maka jasmani pasti akan memiliki sifat yang sesuai dengan asal usulnya, yaitu tanah/alam. Sedangkan ruh/ruhani asalnya dari Allah SWT maka ruh/ruhani akan memiliki sifat yang sesuai dengan asal usulnya yaitu Allah SWT. Jika sekarang Ruh/Ruhani asalnya dari Allah SWT maka melalui proses shibghah inilah ruh/ruhani akan memiliki sifat yang sesuai dengan asal usulnya.

 

Berdasarkan uraian di atas ini maka Shibghah dapat dikatakan sebagai proses pewarnaan atau mencelup ruh/ruhani yang pada akhirnya ruh/ruhani akan memiliki sifat sifat ilahiah yang berasal dari af’al (perbuatan) Allah SWT sehingga melalui proses ini akan tampillah penampilan Allah SWT di muka bumi melalui ruh/ruhani manusia sepanjang manusia mampu menampilkan hal tersebut. Inilah salah satu tujuan dari menshibghah manusia.

 

Sekali lagi kami kemukakan, Allah SWT menshibghah ruh/ruhani dengan nama nama Allah SWT yang indah yang termaktub dalam Asmaul Husna sehingga ruh/ruhani akan memiliki sifat yang berkesesuaian dengan Asmaul Husna seperti yang Allah SWT miliki. Proses shibghah yang dilakukan oleh Allah SWT seperti layaknya proses menginstall atau memprogram Asmaul Husna ke dalam ruh/ruhani sehingga ruh/ruhani mampu berbuat atau menampilkan Asmaul Husna menjadi perbuatan ruh/ruhani atau menjadikan Asmaul Husna menjadi perilaku ruh/ruhani. Lalu kapan proses shibghah dilakukan oleh Allah SWT kepada Ruh/Ruhani?

 

Proses menshibghah ruh/ruhani berdasarkan ketentuan surat As Sajdah (32) ayat 7 sampai 9 berikut ini: “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” Terjadi pada saat ruh/ruhani mulai dipertemukan atau disatukan dengan jasmani saat masih dalam rahim seorang ibu melalui proses peniupan. Adanya proses shibghah yang terjadi saat masih di dalam rahim ibu berarti ruh/ruhani sejak awal sudah dishibghah oleh Allah SWT sehingga memiliki perbuatan yang sesuai dengan konsep Asmaul Husna. Kondisi inilah yang menunjukkan perbuatan diri kita yang paling hakiki (fitrah) adalah sesuai dengan nilai nilai ilahiah.

 

Untuk apa Allah SWT menshibghah ruh/ruhani setiap manusia dengan Asmaul Husna? Sebagai khalifah Allah SWT yang tidak lain adalah pengganti, perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi maka sudah sepantasnya orang yang menjadi pengganti dan yang menjadi perpanjangan tangan Allah SWT memiliki pola dan perbuatan yang mencerminkan Allah SWT selaku pengutusnya. Dan adalah sebuah kejanggalan jika yang menjadi pengganti dan yang menjadi perpanjangan tangan Allah SWT memiliki sifat yang berlainan atau berlawanan dengan Allah SWT, dalam hal ini bersifat alam. Sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi, kita harus tahu dan paham tentang hal ini karena hal ini adalah asal usul dari diri kita. Jika kita tahu asal usul diri kita maka akan memudahkan kita melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi.

 

Sekarang mari kita pertegas dan perjelas tentang shibghah yang ada pada diri kita. Untuk itu ketahuilah bahwa setiap dzat memiliki sifat yang akan melahirkan sebuah perbuatan serta setiap dzat juga memiliki kemampuan. Hal yang samapun terjadi pada Jasmani dan Ruh/Ruhani diri kita juga memiliki sifat yang akan melahirkan perbuatan dan juga memiliki kemampuan. Jasmani jika ditinjau dari sifatnya, di dalam AlQuran dikatakan sebagai Insan sedangkan dari sisi perbuatannya di dalam AlQuran dikatakan sebagai ahwa (hawa nafsu). Sedangkan kemampuan jasmani disebut sebagai bashyar. Salah satu sifat jasmani adalah pelit dan jika ini sifatnya maka perbuatannya adalah memelitkan sehingga orang yang bersangkutan akan mementingkan kepentingan dirinya sendiri tanpa menghiraukan orang lain. Sedangkan kemampuan dari memelitkan/mementingkan diri sendiri sangat tergantung besar atau kecilnya pengaruh ahwa (hawa nafsu) yang ada dalam diri seseorang. Semakin besar kekuatan ahwanya (hawa nafsunya) semakin kuat mementingkan diri sendiri, demikian pula sebaliknya.

 

Demikian pula dengan ruh/ruhani. Ruh jika ditinjau dari sisi sifatnya dinamakan dalam AlQuran sebagai Nass. Ruh akan dinamakan dengan Nafs/Anfuss jika ditinjau sisi perbuatannya sedangkan kemampuannya tetap dinamakan dengan Ruh/Ruhani. Untuk itu perhatikan garam. Garam memiliki sifat asin. Adanya sifat asin pada garam maka garam akan mengasinkan segala sesuatu yang diliputinya. Akan tetapi akan menjadi sebuah persoalan jika garam yang seharusnya bersifat asin justru tidak asin sehingg tidak mampu mengasinkan segala sesuatu yang diliputinya. Jika hal ini terjadi maka garam sudah tidak bisa lagi dikatakan sebagai garam (tidak pantas menyandang preditat garam) karena sudah tidak mencerminkan lagi sifat dan perbuatannya.

 

Lalu bagaimana dengan ruh/ruhani yang tidak lain adalah jati diri kita yang sesungguhnya yang telah disifati dishibghah dengan Ar Rahmaan dan Ar Rahiem lalu justru berbuat semena mena terhadap orang lain, hanya mementingkan diri dan kelompoknya saja. Jika ini terjadi maka kejadian yang menimpa garam di atas terjadi pula kepada diri kita yaitu sudah tidak pantas lagi menyandang predikat Nass ataupun sudah tidak bisa lagi dianggap sebagai khalifah Allah SWT karena sudah menyimpang dari sifat dan perbuatan yang hakiki, yaitu sesuai dengan nilai nilai ilahiah.

Sekarang bagaimana jika ruh/ruhani diri kita telah disifati dengan Asmaul Husna Ar Razaaq melalui proses shibghah berarti perilaku diri kita setelah memperoleh Rezeki dari Allah SWT maka rezeki itu tidak untuk kepentingan diri sendiri, melainkan harus pula dibelanjakan di jalan Allah melalui infaq, shadaqah ataupun wakaf sehingga jika kita tidak memberi sesuatu akan terasa ada yang mengganjal di dalam diri. Disinilah letaknya penampilan dari orang yang berpunya yaitu selalu memberi atau menempatkan dirinya sebagai Muzakki dari waktu ke waktu. Jika tidak berarti perilaku diri kita seperti garam yang sudah tidak asin lagi. Demikian seterusnya dengan sifat sifat ruh/ruhani yang lainnya yang telah disifati dengan Asmaul Husna.

 

A S M A U L   H U S N A

1

Al Ghoniyy Al Halim

Maha Kaya lagi Maha Penyantun

2

Al Ghoniyy Al Hamid

Maha Kaya lagi Maha Terpuji

3

Al Ghoniyy Al Kariem

Maha Kaya lagi Maha Mulia

 

Sekarang mari kita hubungkan antara konsep Asmaul Husna di atas dengan perintah menunaikan zakat, seperti yang telah kami kemukakan di atas. Dimana konsep Asmaul Husna di atas berisi tentang: (1) penegasan atas kemahaan dan kebesaran Allah SWT yang memang sudah maha dan akan maha selama lamanya (2) pedoman saat diri kita melaksanakan profesi profesi tertentu atau  perbuatan yang harus kita laksanakan agar sesuai dengan kehendak Allah SWT.

 

1.       Maha Kaya lagi Maha Penyantun. Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 263 yang kami kemukakan berikut ini: Perkataan yang baik dan pemberian maaf[167] lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.”

 

[167] Perkataan yang baik Maksudnya menolak dengan cara yang baik, dan maksud pemberian ma’af ialah mema’afkan tingkah laku yang kurang sopan dari si penerima.

 

Allah SWT telah menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT memiliki dua buah af’al (perbuatan) yang bergandengan yaitu: Al Ghoniyy dan Al Halim  yang artinya Yang Maha Kaya lagi Yang Maha Penyantun secara berbarengan. Apa maksudnya? Allah SWT memiliki af’al atau perbuatan Al Ghoniyy yang artinya tidak membutuhkan orang lain. Allah SWT tidak membutuhkan sesuatu apapun karena Dia yang menciptakan, mengatur dan memberi rezeki. Dia yang memutuskan dan melestarikan. Dia yang mempunyai apa yang ada di langit dan yang ada di bumi. Semua makhluk membutuhkan Allah SWT. Disinilah letak Allah SWT Dzat Yang Maha Kaya.

 

Allah SWT juga memiliki af’al (perbuatan) Al Halim yang artinya santun, peduli, punya perhatian, dan punya perasaan. Hilm Allah SWT adalah Dia menunda menghukum orang orang yang patut dihukum, sehingga Dia menangguhkan penghukuman untuk mereka atau memaafkan kesalahan mereka. Dan jika seseorang memiliki sifat santun dan murah hati, maka dia akan sering memaafkan kesalahan dan menutupi kekurangan orang lain. Allah SWT memaafkan setelah menutupi dosa hambaNya. Allah SWT selalu welas asih, tepat janjiNya, memaafkan orang yang melanggar hukumNya, tidak terprovokasi oleh kedurhakaan orang orang yang durhaka dan oleh penindasan orang orang yang menindas.

 

Sebagai abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi maka apa yang telah dikemukakan oleh Allah SWT berupa Maha Kaya lagi Maha Penyantun harus kita jadikan pedoman saat diri kita melaksanakan tugas di muka bumi. Apa maksudnya? Adanya pernyataan Allah SWT Maha Kaya lagi Maha Penyantun mengajarkan kita yang memiliki kekayaan (penghasilan) tidak hanya menjadikan diri kita memiliki harta kekayaan atau penghasilan semata. Namun harus bisa harus menghantarkan diri kita menjadi orang yang penyantun, orang yang peduli, orang yang memiliki perhatian dan memiliki perasaan yang lembut melalui harta yang kita miliki.

 

Sekarang diri kita telah memiliki harta kekayaan atau penghasilan lalu tidak menjadikan diri kita orang yang penyantun berarti kita hanya mampu mengumpulkan kekayaan atau penghasilan untuk kepentingan diri sendiri tanpa pernah berusaha untuk berbuat kebaikan bagi orang yang tidak mampu. Sehingga penampilan diri kita menjadi orang yang pelit yang tidak mau berbagi, yang hilang kepeduliannya kepada orang lain. Jika sudah seperti ini akan terjadilah jurang yang semakin lebar antara yang kaya dengan yang miskin yang pada akhirnya tumbuhlah bibit bibit kecemburuan sosial di dalam masyarakat. Akhirnya hilanglah keseimbangan antara kesalehan diri dengan kesalehan sosial.

 

Jika sampai diri kita tidak mau menunaikan zakat, atau jika kita tidak mau menunaikan infaq dan sedekah berarti kita kita telah keluar dari konsep Asmaul Husna yaitu tidak menjadikan diri kita penyantun melalui harta kekayaan/penghasilan yang kita miliki. Alangkah buruknya keadaan diri kita yang memiliki harta kekayaan/penghasilan tanpa diiringi dengan rasa santun, tanpa rasa peduli, tanpa rasa perhatian dan juga tanpa memiliki perasaan. Padahal Allah SWT tidak pernah berkehendak seperti itu kepada khalifahnya. Semoga diri kita dan anak keturunan kita tidak seperti ini saat hidup di dunia ini. Amiin.

 

2.       Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 267 berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”  dan juga berdasarkan surat Surat Ibrahim (14) ayat 8 yang kami kemukakan berikut ini: “dan Musa berkata: “Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya[782] lagi Maha Terpuji”.(surat Ibrahim (14) ayat 8)

 

[782] Maksudnya: Allah tidak memerlukan syukur hamba-hamba-Nya.

 

Allah SWT telah menyatakan bahwa diriNya memiliki af’al (perbuatan) Maha Kaya lagi Maha Terpuji secara bergandengan. Apa maksudnya. Al Hamid kata dasarnya adalah hamd artinya pujian, sesuatu yang lebih umum dibanding dengan bersyukur. Al Hamid adalah juga al Mahmud, Yang Terpuji. Allah SWT adalah Al Hamid karena memuji DiriNya sendiri sejak dahulu kala dan juga karena hambaNya memujinya. Al Hamid menganugerahi diri kita kesuksesan dan memuji diri kita karena kesuksesan itu. Allah SWT menghapus dosa dosa kita dan tidak mempermalukan kita dengan membeberkan dosa dosa kita. Allah SWT terpuji karena  kualitasNya dan juga karena memang patut dipuji.

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, saat ini Allah SWT sudah menunjukkan kepada diri kita af’alNya (perbuatanNya) yang menunjukkan Maha Kaya lagi Maha Terpuji, maka kita harus menjadikan bisa menjadikan konsep Asmaul Husna ini menjadi pedoman saat hidup di muka bumi ini. Jika sekarang Allah SWT sudah menyatakan Maha Kaya lagi Maha Terpuji maka secara otomatis kita yang memiliki harta kekayaan atau penghasilan harus pula tercermin dalam tindakan kita yang sangat terpuji baik dihadapan Allah SWT maupun dihadapan manusia. Apalah artinya kita memiliki harta kekayaan atau penghasilan yang banyak jika perilaku atau perbuatan diri kita tidak terpuji seperti memberi dengan kata kata kasar, memberi tapi diungkit ungkit kembali atau memberi tetapi pamrih untuk kepentingan sesaat, dan lain sebagainya.

 

Disinilah letak dari kita memahami Allah SWT Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji, dan jika kita telah mengaku sebagai khalifahNya di muka bumi berarti kitapun harus bisa menjadi orang yang terpuji yang tercermin dalam perilaku kita sendiri. Alangkah ruginya diri kita, jika sampai miskin saat hidup di dunia lalu miskin pula perilaku kita dengan bersikap tidak terpuji. Semoga kita dan anak keturunan kita mampu menjadi orang orang yang terpuji perilakunya namun juga memiliki harta kekayaan atau penghasilan yang banyak serta berkah bagi diri, keluarga dan masyarakat.

 

3.       Maha Kaya lagi Maha Mulia. Lain halnya berdasarkan surat An Naml (27) ayat 40 yang kami kemukakan berikut ini: Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AlKitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.  

 

Allah SWT juga menyatakan bahwa af’al (perbuatan)Nya adalah Dzat Yang Maha Kaya lagi Maha Mulia. Zumhur ulama mengatakan bahwa apa saja yang dipandang baik, berharga, mulia, penting, maka itulah karim. Sedangkan menurut ilmu bahasa, orang yang bersikap ramah, pemurah, dermawan juga disebut karim. Sesuatu yang dijunjung tinggi atau dihargai maka disebut juga karim.

 

Allah SWT mendapat sebutan Al Karim, sebuah sifat yang melukiskan perbuatan baik, kebajikan dan kemurahan hati. Allah SWT selalu pemurah. Dia akan senantiasa Pemurah. Dia Maha Mulia, sehingga mustahil Dia bersifat atau bersikap rendah atau hina. Berlimpah ruah yang Dia berikan, dan kebaikan yang Dia berikan. Allah SWT Al Karim, sekalipun Dia kuasa menjatuhkan hukuman sangat pedih, tetapi memberikan ampunan. Dia menepati janjiNya. Dia memberikan lebih kepada hamba yang meminta kepadaNya. Dia tidak keberatan sedikit pun untuk memberikan sebanyak apa pun dan kepada siapapun. Dia tidak menghendaki hambaNya yang berlindung kepadaNya untuk menderita kesusahan. Dia tidak membutuhkan sarana untuk melakukan sesuatu. Yang dalam DiriNya berpadu semua kualitas ini, maka Dialah Al Karim Mutlak dan hanya Allah SWT sajalah yang seperti ini.

 

Allah SWT selaku pengutus diri kita di muka bumi sudah menunjukkan bahwa Dia adalah Dzat Yang Maha Kaya lagi Maha Mulia. Bayangkan Kaya dan Mulia lalu sudahkah kita yang saat ini menjadi khalifahNya di muka bumi yang memiliki harta kekayaan atau penghasilan juga menjadi orang yang berperilaku mulia seperti ramah, pemurah dan dermawan. Sehingga keberadaan diri kita di tengah masyarakat bukanlah menjadi benalu melainkan berguna bagi  masyarakat. Jika sampai diri kita memiliki harta kekayaan atau penghasilan yang tinggi namun masyarakat tidak terbantu atau tertolong oleh diri kita berarti kita sudah tidak pantas lagi menyandang titel khalifahNya di muka bumi dan telah keluar pula dari konsep Asmaul Husna.

 

Bayangkan kita memiliki harta kekayaan dan penghasilan yang tinggi namun hanya diri kita sendiri saja yang menikmati, lalu dimana letak hati nurani kita? Apalah artinya harta kekayaan atau penghasilan yang tinggi lagi besar justru menghantarkan diri kita mulia dihadapan syaitan? Lalu apa yang bisa kita banggakan dari kekayaan dan penghasilan yang kita miliki tetapi kita tidak bisa menjadi orang yang mulia dihadapan Allah SWT. Jika orang yang memiliki harta kekayaan atau penghasilan sudah tidak mulia dihadapan Allah SWT lalu apa yang bisa diharapkan dari mereka untuk kepentingan masyarakat atau mustahik? Jangan pernah salahkan Allah SWT jika kita pulang kampung ke Neraka Jahannam karena ulah diri kita sendiri yang tidak mau menunaikan zakat saat hidup di dunia ini.

 

Allah SWT melalui konsep Asmaul Husna yang kami kemukakan di atas, sudah menunjukkan kepada diri kita bahwa harta kekayaan atau penghasilan harus menjadikan diri kita menjadi orang yang penyantun, harus menjadikan diri kita terpuji baik dihadapan Allah SWT maupun dihadapan manusia  serta harus menjadikan diri kita mulia dihadapan Allah SWT dan juga dihadapan manusia. Jika tidak berarti kita telah keluar dari konsep Asmaul Husna yang berarti juga kita telah sesuai dengan konsep syaitan sang laknatullah.Alangkah indahnya konsep zakat yang telah dibuat oleh Allah SWT yang menjadikan diri kita mulia dan juga penerimanya (mustahiknya) juga mulia dihadapan Allah SWT. 

 

Selain dari ketiga konsep Asmaul Husna yang telah kami kemukakan di atas,  ketahuilah bahwa segala sesuatu yang telah diciptakan oleh Allah SWT juga memiliki makna keseimbangan yang menjadikan masyarakat menjadi sejahtera. Sekarang bayangkan apa yang terjadi dalam masyarakat akibat dari adanya orang orang yang tidak mau menunaikan zakat yang mengakibatkan tidak terjadinya keseimbangan seperti orang fakir miskin yang menjadi lebih fakir dan miskin selamanya.

 

Kaum dhuafa yang teraniaya semakin teraniaya sehingga keterpurukan menjadi pemandangan sehari hari. Ilmu dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat minim dan dangkal sehingga mudah diadu domba untuk kepentingan sesaat. Masyarakat belajar dengan caranya sendiri sehingga keterbelakangan dan jauh dari peradaban menjadi pemandangan umum dalam kehidupan sehari hari. 

 

“Tiap tiap sesuatu ada pensuciannya (zakatnya).

Zakat harta ialah sedekah kepada fakir miskin dan yang membutuhkannya.

 Zakat kekuatan ialah membela kaum dhuafa yang teraniaya.

 Zakat argumentasi dan kefasehan lidah ialah mengokokoh hujjah dan dalil dalil agama.

Dan Zakat ilmu pengetahuan adalah dengan mengajarkan ilmunya kepada orang lain”.

(alim ulama)

 

Alangkah hebatnya umat Islam jika mampu menjalankan apa apa yang tertuang dalam  nasehat alim ulama di atas ini, yaitu: (1) Memberi bukanlah sebatas sedekah yang berasal dari harta kekayaan atau penghasilan semata; (2) Memberi juga bisa kita lakukan dengan cara membela kaum dhuafa yang teraniaya melalui zakat/sedekah yang berasal kekuatan atau kekuasaan yang kita miliki; (3). Memberi juga bisa kita lakukan dalam kerangka untuk mengokohkan hujjah dan dalil dalil agama melalui zakat/sedekah argumentasi dan kefasehan lidah yang kita miliki; (4). Dan yang terakhir memberi juga bisa kita lakukan dengan cara mengajarkan ilmu pengetahuan yang melalui jalan zakat/sedekah ilmu pengetahuan yang kita miliki.

 

Sekarang mari kita renungkan apa yang dinamakan dengan sambal lado, dimana sambal lado merupakan gabungan dari bumbu bumbu yang disatukan seperti cabai, garam, tomat, terasi, gula dan lain sebagainya dalam ukuran ukuran tertentu. Setiap dzat yang dipersatukan semuanya mempertontonkan dan mempertunjukkan sifat sifat yang dimilikinya, seperti cabai dengan pedasnya, garam dengan asinnya, tomat dengan rasa tomatnya, terasi dengan rasa khasnya, gula dengan rasa manisnya. Hasil akhir dari itu semua adalah sambal lado yang enak dan lezat. Sekarang apa jadinya jika garam yang memiliki sifat asin menahan rasa asinnya? Kurang asin atau kurang garam akan menyebabkan sambal lado menjadi kurang enak. 

 

Hal yang samapun berlaku dalam kehidupan manusia, jika sampai sifat alamiah ruh/ruhani ditahan dalam pergaulan sehari hari atau jika sampai sifat pengasih dan penyayang tidak ada di dalam kehidupan bermasyarakat maka hidup terasa hambar dan terjadilah apa yang dinamakan kebencian, kecurigaan serta tindas menindas karena hilangnya rasa welas asih diantara sesama manusia. Demikian seterusnya dengan Asmaul Husna yang lain yang harus menjadi perilaku diri kita saat hidup di muka bumi ini. Inilah salah satu bentuk kebaikan dalam kerangka melaksanakan Diinul Islam secara kaffah dalam kehidupan kita. Ingat, kondisi ini baru bisa kita lakukan jika kita tahu dan mengerti bahwa ruh/ruhani adalah jati diri manusia yang sesungguhnya yang telah disifati oleh Allah SWT dengan Asmaul Husna.

 

Sekarang semuanya tergantung kepada diri kita sendiri, maukah menjadikan sifat alamiah ruh/ruhani menjadi perbuatan diri kita seperti garam yang mampu berperilaku mengasinkan apa apa yang diliputinya. Jika kita tidak mampu berarti diri kita sama dengan garam yang sudah tidak asin lagi. Jika garam sudah tidak asin lagi maka tidak pantas ia mengaku garam atau disebut sebagai garam. Hal yang samapun jika kita tidak mampu menjadikan sifat ruh/ruhani menjadi sifat dan perbuatan kita maka kitapun sudah tidak pantas lagi disebut sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi ini. Ayo buktikan jika kita memang pantas menyandang status khalifah Allah SWT di muka bumi dengan selalu berbuat kebaikan sebagai wujud dari pelaksanaan Diinul Islam sekarang juga melalui perbuatan diri kita yang mencerminkan nilai nilai ilahiah yang berasal dari Asmaul Husna. Jika sampai ini terjadi berarti salah satu tujuan dari kekhalifahan di muka bumi berhasil yaitu diri kita mampu menjadi menampilkan penampilan Allah SWT di muka bumi melalui nilai nilai ilahiah yang berasal dari Asmaul Husna.

 

Semoga kita dan anak keturunan kita mampu melakukan hal ini dari waktu ke waktu sepanjang hayat masih di kandung badan. Begitu hebat dan begitu nyata konsep zakat yang telah ditetapkan berlaku di langit dan di muka bumi oleh Allah SWT. Alangkah hebatnya negeri ini jika seluruh orang yang beragama Islam mampu memahami konsep zakat ini serta negeri gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo bukanlah mimpi di siang bolong, namun bisa nyata terjadi.  

 

C.     TIMBULNYA PERMUSUHAN DAN KEBENCIAN.

 

Berdasarkan surat Al Maaidah (5) ayat 64 yang kami kemukakan berikut ini: “Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”[426], sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu[427] dan merekalah yang dila’nat disebabkan apa yang telah mereka katakan  itu. (tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan AlQuran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.”

 

[426] Maksudnya ialah kikir.

[427] Kalimat-kalimat ini adalah kutukan dari Allah terhadap orang-orang Yahudi berarti bahwa mereka akan terbelenggu di bawah kekuasaan bangsa-bangsa lain selama di dunia dan akan disiksa dengan belenggu neraka di akhirat kelak.

 

Yang harus siap kita hadapi jika kita tidak mau melaksanakan perintah menunaikan zakat adalah bersiaplah menghadapi permusuhan, bersiaplah menghadapi kedengkian, bersiaplah menghadapi rasa curiga mencurigai ditengah masyarakat dikarenakan terjadinya jurang sangat dalam antara yang kaya dan yang miskin yang tidak dapat terjembatani dengan baik. Akibat yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin. Jika ini sampai terjadi, maka yang paling senang adalah syaitan karena kesempatan untuk merusak suatu bangsa dan negara melalui politik adu domba menjadi lebih mudah dilakukan. Selanjutnya terjadilah apa yang dinamakan permusuhan dan kebencian di tengah masyarakat.

 

Jika sudah seperti ini yang terjadi di dalam masyarakat, tentu rasa nyaman, rasa tentram, rasa aman hilang karena terjadinya penumpukan harta kekayaan atau penghasilan yang tidak mengalir ke bawah. Bagi masyarakat miskin yang menghadapi kondisi ini sangatlah tidak mengenakkan apalagi jika yang kaya mempertontonkan tingkah lakunya yang tidak bermartabat. Lain halnya jika yang kaya (muzakki) melakukan tindakan memanusiakan manusia kepada orang miskin (mustahik) dengan memberikan zakat, infaq dan sedekah dengan cara mendatangi secara langsung.

 

Jika ini yang terjadi kecemburuan sosial, permusuhan ataupun pandangan tidak suka/memandang dengan kebencian kepada yang kaya tidak akan terjadi. Hasil akhirnya adalah terjadilah kedamaian dalam masyarakat. Sedangkan telah kita ketahui bersama bahwa zakat merupakan amal sosial dari awal hingga akhir. Zakat merupakan tali penghubung yang kokoh antara muslim yang kaya dan yang miskin. Jika zakat diatur dengan baik, maka zakat akan dapat mencukupi kebutuhan  umat Islam dalam jumlah besar, sehingga dapat mengubah mereka dari kondisi membutuhkan kepada kondisi menghasilkan dan memberi (dari mustahik menjadi generasi muzakki muzakki baru).

 

Sekarang mari kita pertegas kembali tentang kehidupan yang terjadi di dalam masyarakat. Dimana saat manusia hidup di muka bumi ini, dapat dipastikan tidak semuanya kaya dan tidak semuanya miskin, sehingga ada yang kaya dan ada yang miskin. Allah SWT selaku pencipta manusia, tentu sangat bertanggung jawab tidak hanya kepada orang kaya melainkan juga kepada orang yang miskin.

 

Salah satu methode yang telah dipersiapkan oleh Allah SWT untuk menciptakan keselarasan, keserasian, kebersamaan serta keseimbangan antara yang kaya dengan yang miskin, dibuatlah ketentuan mendirikan shalat dan menunaikan zakat dalam satu paket. Sekarang apa jadinya jika yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin saat mereka sama sama hidup di muka bumi ini? Tentu akan terjadi apa yang dinamakan gesekan, kecemburuan sosial diantara sesama penduduk bumi yang pada akhirnya menimbulkan permusuhan dan kebencian. Sedangkan baik yang kaya ataupun yang miskin sama statusnya yaitu sama sama khalifah Allah SWT di muka bumi. Agar sesama khalifah terjadi kebersamaan maka Allah SWT memerintahkan hal sama kepada orang yang kaya maupun orang yang miskin untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat.

 

Adanya perintah yang sama baik kepada yang kaya dan juga kepada yang miskin, menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT berkehendak agar baik yang kaya ataupun yang miskin memiliki kesalehan pribadi. Sedangkan kesalehan sosial terikat dengan ketentuan nishab dan haul sehingga besar kemungkin hanya orang kaya saja yang memenuhi nishab dan haul. Sedangkan orang yang miskin tidak bisa memenuhi nishab dan haul,  yang pada akhirnya orang miskin tidak memiliki kewajiban untuk menunaikan zakat. Bagi orang kaya sebaliknya yaitu memiliki kewajiban menunaikan zakat. Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas, akan ada beberapa kemungkinan yang terjadi dalam masyarakat, yaitu :

 

1.       Ada orang kaya (muzakki) yang memiliki kesalehan pribadi dan juga telah memenuhi syarat nishab dan haul akan tetapi tidak mau menunaikan zakat. Jika ini yang terjadi maka orang tersebut belum dapat dikatakan telah mendirikan shalat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT karena orang yang memiliki kesalehan pribadi akan menampilkan kesalahen sosial di dalam masyarakat. Adanya orang yang tidak mau menunaiakn zakat terjadilah konsentrasi kepemilikan harta kekayaan atau penghasilan hanya pada titik tertentu saja atau hanya berkumpul di atas saja tanpa mengalir ke bawah sehingga yang dibawah tetap fakir dan miskin.

2.       Ada orang kaya (muzakki) yang memiliki kesalehan pribadi dan juga telah memenuhi syarat nishab dan haul lalu mereka menunaikan zakatnya. Jika ini yang terjadi maka tercerminlah kesalehan pribadi di dalam masyarakat melalui kesalehan sosial saat menunaikan zakat sehingga masyarakat tertolong dan terbantu oleh keberadaan diri kita. Lalu hidup nyaman, aman, damai dan bersahaja dapat kita rasakan dikarenakan ruh/ruhani dan jasmani sehat melalui shalat serta masyarakat sejahtera melalui zakat. 

 

3.       Ada orang kaya (muzakki) yang tidak memiliki kesalehan pribadi tetapi telah memenuhi syarat nishab dan haul tetapi tidak mau menunaikan zakat. Jika ini yang terjadi maka keberkahan harta kekayaan atau penghasilan hilang serta tercampur dengan kotoran kotoran yang berasal dari tidak ditunaikannya zakat, infaq dan sedekah. Dan jika kotoran sudah masuk ke dalam harta kekayaan atau penghasilan maka warnanya akan berubah. Setelah warna berubah selanjutnya rasa dari harta kekayaan juga akan berubah yang pada akhirnya memudahkan syaitan melaksanakan aksinya kepada pemilik harta tersebut.

 

4.       Ada orang miskin (mustahik) yang memiliki kesalehan pribadi tetapi yang bersangkutan tidak memenuhi syarat nishab dan haul sehingga tidak memiliki kewajiban untuk menunaikan zakat. Jika hal ini terjadi maka orang miskin yang memiliki kesalehan pribadi,  akan tetap berbuat kebaikan di luar menunaikan zakat seperti bersedekah karena kewajiban berzakatnya tidak ada. Mustahik type ini tidak akan mau meletakkan tangannya di bawah dan apabila para muzakki bisa memberikan zakat, infaq dan sedekah kepadanya maka akan lahirlah muzakki muzakki baru dari golongan ini.

 

5.       Ada orang miskin (mustahik) yang tidak memiliki kesalehan pribadi dan juga tidak memenuhi syarat nishab dan haul sehingga tidak memiliki kewajiban untuk menunaikan zakat. Jika ini yang terjadi maka nilai nilai keburukan yang ada pada diri mustahik type ini akan dapat menimbulkan kegaduhan sosial di tengah masyarakat. Akan menjadi biang keonaran, biang permusuhan dan kebencian kepada orang yang memiliki harta kekayaan atau penghasilan yang besar.

 

Orang dengan type seperti ini akan rela menjadikan kemiskinan yang dimilikinya menjadi komoditas untuk diperjualbelikan atau bahkan berusaha agar kemiskinannya langgeng sehingga ia tidak malu malu untuk menjadi peminta minta zakat, infaq dan sedekah. Selain daripada itu, orang dengan type seperti ini akan selalu berfikir untuk diri sendiri saja tidak cukup, bagaimana mungkin saya akan menunaikan zakat, infaq dan sedekah.

 

Sekarang bertanyalah kepada diri sendiri lalu tentukan yang manakah posisi diri kita itu, apakah point a, apakah point b, apakah point c, apakah point d, atau apakah point e ? Jawablah dengan jujur pertanyaan ini karena dengan kejujuran ini kita akan mudah melaksanakan perubahan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Semoga diri kita atau anak keturunan kita termasuk dalam kriteria point b  seperti yang kami kemukakan di atas atau kalaupun tidak minimal  masuk dalam kriteria point d di atas. Ingat, hidup itu dinamis sehingga kadang di atas kadang di bawah. Pada saat hidup dalam posisi di atas (memenuhi nishab dan haul) kita masuk dalam kriteria point b, sedangkan saat di bawah (tidak memenuhi nishab dan haul) kita masuk dalam kriteiaa point d. Selain dari ke dua point ini, jangan pernah jadikan diri kita seperti itu karena resikonya sangat luar biasa dahsyatnya. 

 

D.    MENJADI TAMU YANG TIDAK TAHU DIRI DIHADAPAN ALLAH SWT.

 

Islam adalah agama positif, produktif dan kotributif. Positif memiliki arti mengandung nilai nilai kemuliaan. Produktif memiliki makna bahwa Islam selalu menganjurkan  untuk selalu bekerja dengan berbagai profesi yang halal. Kontributif memiliki makna Islam selalu menganjurkan umatnya selalu memiliki semangat untuk memberi. Islam sebagai agama yang bersifat produktif ditunjukkan dengan anjuran bekerja bagi umatnya. Islam membenci umatnya yang malas dan tidak mau bekerja. Allah SWT mencintai umatnya yang kuat dan membenci umatnya yang lemah. Sehingga bekerja adalah kewajiban seorang muslim, terutama laki laki sebagai cara untuk memenuhi nafkah keluarga, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (surat At Taubah (9) ayat 105)

 

Islam adalah agama kontributif yang ditunjukkan melalui anjuran kepada umatnya untuk menjadi pemberi  dan melarang menjadi peminta minta. Islam melarang umatnya untuk menjadi seorang pengemis. Islam memandang orang orang yang tangannya di atas untuk memberi lebih disenangi dari orang orang yang yang tangannya di bawah karena meminta minta.

 

Agar konsep Islam sebagai agama positif, produktif dan kotributif berjalan sesuai dengan kehendak Allah SWT maka Allah SWT menetapkan adanya ketentuan untuk menunaikan zakat. Hasilnya adalah terlihat dengan jelas bahwa Islam adalah Agama Rahmat bagi Seluruh Alam.Inilah salah satu ketentuan dasar yang berlaku dalam Islam, namun yang terjadi adalah khalifahnya atau bahkan diri kita justru keluar dari konsep ini atau tidak mampu melaksanakan konsep itu sehingga kita menjadi tamu yang tidak tahu diri dihadapan Allah SWT dengan berperilaku malas untuk bekerja atau lebih suka meminta minta daripada memberi. Padahal konsep dari dari zakat bukanlah menjadikan manusia seperti itu.  

 

Untuk mempertegas keberadaan diri kita dihadapan Allah SWT, perkenankan kami mengemukakan hal hal sebagai berikut : Berdasarkan surat Ar Ruum (30) ayat 20,21, 22 berikut ini; “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” Dan juga berdasarkan surat Al An’am (6) ayat 12 yang kami kemukakan sebagaimana berikut ini:  “Katakanlah: “Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi.” Katakanlah: “Kepunyaan Allah.” Dia telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang[462]. Dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. Orang-orang yang meragukan dirinya mereka itu tidak beriman[463].”

 

[462] Maksudnya: Allah telah berjanji sebagai kemurahan-Nya akan melimpahkan rahmat kepada mahluk-Nya.

[463] Maksudnya: orang-orang yang tidak menggunakan akal-fikirannya, tidak mau beriman.

 

Allah SWT adalah pencipta dan pemilik dari alam semesta ini termasuk di dalamnya kekhalifahan di muka bumi. Ini menunjukkan bahwa di alam semesta ini  hanya berlaku ketentuan, hukum, peraturan, undan undang Allah SWT yang berlaku dan harus dipelajari, harus dilaksanakan oleh semua yang ada di alam semesta ini, termasuk di dalamnya oleh diri kita. Yang tentunya harus dipelajari dan dilaksanakan  sesuai dengan kehendak Allah SWT itu sendiri.

 

Sekarang Allah SWT selaku pencipta dan pemilik sudah menetapkan adanya perintah menunaikan zakat yang sebelumnya diiringi dengan perintah mendirikan shalat, berarti perintah ini wajib dipelajari dan dilaksanakan dengan sebaik baiknya. Agar diri kita tidak salah dalam hal ini maka sudah sepatutnya diri kita belajar tentang ketentuan ini lalu melaksanakannya dengan baik dan benar. Lalu apa jadinya jika kita yang saat ini sedang menumpang di alam semesta ini, tidak mau menunaikan zakat?

 

Jika kita tidak mau menunaikan zakat berarti kita telah menjadikan diri kita sendiri sebagai orang yang menumpang, sebagai tamu dan sebagai khalifah yang tidak tahu diri, karena sudahlah menumpang, sudahlah menjadi tamu, sudahlah menjadi khalifah, lalu ketentuan pencipta dan pemilik dari langit dan bumi kita lawan. Lalu bersiaplah mengalahkan ahwa (hawa nafsu) dan syaitan seorang diri. Dikarenakan Allah SWT tidak akan mau menjadi penolong diri kita serta bersiaplah pula menjalani hidup tanpa pertolongan dan perlindungan Allah SWT, dan akhirnya bersiaplah merasakan panasnya api neraka yang panasnya tujuh puluh kali panasnya api dunia.

 

Bayangkan diri kita yang sudah diangkat oleh Allah SWT sebagai khalifahNya di muka bumi lalu dengan kesadaran penuh menurunkan derajatnya sendiri dihadapan Allah SWT menjadi makhluk yang tidak terhormat karena tidak mau menunaikan zakat. Inilah kondisi yang dikatakan sebagai jatuh tapai, jatuh derajat serendah rendahnya. Ingat, Allah SWT memerintahkan diri kita menunaikan zakat bukanlah untuk menyusahkan diri kita melainkan untuk kebaikan diri kita. Allah SWT memerintah menunaikan zakat karena Allah SWT sayang kepada diri kita. Jika sudah seperti ini, apa yang bisa Allah SWT lakukan kepada diri kita selain membiarkan diri kita hidup dalam kesusahan, hidup dalam keresahan, hidup dalam ketidaknyamanan serta hidup di dalam kehendak syaitan sang laknatullah karena ulah kita sendiri.

 

Nikmatilah hidup seperti ini karena hidup adalah pilihan dan dibalik pilihan ada konsekuensi yang harus kita ambil dan rasakan. Semoga kita dan anak keturunan kita tidak termasuk di dalam orang yang salah di dalam memilih jalan hidup dan kehidupan karena hidup hanya sekali dan kita sendirilah yang menentukan apakah mau bahagia ataukah mau celaka.  Sekarang katakan saat ini ita sudah menjadi tamu yang tidak dikehendaki oleh Allah SWT lalu kita sendiri malas, tidak mau bekerja, hanya mau meletakkan tangan di bawah dengan cara meminta minta atau menjadi pengemis. Padahal hal ini paling tidak disukai oleh Allah SWT. Dan jika sampai ini terjadi maka lengkap sudah penderitaan kita di muka bumi. Dan jika hasil akhirnya menghantarkan diri kita ke Neraka Jahannam, karena memang sepatutnya itu berlaku kepada diri kita. Namun apabila saat ini kita masih hidup di muka bumi ini berarti kita masih diberikan kesempatan ke dua oleh Allah SWT untuk segera bertaubat. Lakukan taubat saat ini juga lalu lakukanlah perubahan untuk kebaikan diri kita sendiri.

 

E.      KEBERKAHAN HARTA KEKAYAAN HILANG.

 

Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 276 dan 277 yang kami kemukakan berikut ini: “Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah[177]. Dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa[178]. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

 

[177] Yang dimaksud dengan memusnahkan Riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. Dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya.

[178] Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan Riba dan tetap melakukannya.

 

Allah SWT memusnahkan riba dikarenakan kemudharatannya lebih besar dibandingkan dengan  manfaatnya terutama dalam hal keberkahannya. Allah SWT menyuburkan sedekah agar sedekah menjadi subur yang pada akhirnya melipatgandakan keberkahan yang menyertai sedekah. Hal yang harus kita hadapi atau resiko yang harus siap kita hadapi jika kita tidak mau menunaikan zakat adalah memiliki harta kekayaan banyak atau penghasilan tinggi tetapi tanpa ada keberkahan di dalamnya.

 

Bayangkan kita memiliki banyak harta kekayaan atau penghasilan yang tinggi tetapi tidak memberikan kebaikan kepada diri kita dan juga kepada anak keturunan kita. Harta kekayaan atau penghasilan yang seharusnya membawa keberkahan justru menjadi menjadi beban. Harta kekayaan atau penghasilan yang seharusnya menjadi obyek yang akan diatur oleh subyek (pemiliknya) justru menjadikan pemiliknya menjadi obyek yang diatur oleh subyek (diatur oleh harta kekayaan atau penghasilan). Jika sampai ini yang terjadi maka terjadilah apa yang dinamakan dengan banyak harta tanpa keberkahan.

 

Lalu apa yang bisa kita lakukan dengan harta kekayaan atau penghasilan yang tidak memiliki keberkahan di dalamnya? Jika sampai diri kita memiliki harta kekayaan atau penghasilan yang di dalamnya tanpa ada keberkahaan kondisi ini hampir sama kedudukannya dengan memiliki harta kekayaan yang haram. Harta kekayaan atau penghasilan yang haram akan mendorong pemiliknya atau yang menguasainya untuk berbuat yang haram pula. Dan jika ini yang timbul maka akan mendorong adanya kehidupan yang sangat dikehendaki oleh syaitan dan juga membuka peluang bagi ahli ahli waris untuk memperebutkan harta warisan yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Semoga kondisi ini tidak terjadi pada diri kita dan juga pada anak dan keturunan kita. Amien.

 

Untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang zakat, berikut ini akan kami kemukakan kisah tiga orang yang menolak menunaikan zakat di zaman Rasulullah SAW, dimana kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya. Ketika itu, Rasulullah SAW mengutus sahabat Umar untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya, “Pergilah, kumpulkanlah harta zakat!”

 

Umar pun pergi untuk melaksanakan tugasnya. Dia berkeliling mengunjungi kaum muslimin dengan sebuah perintah, “Bayarlah zakat kalian!”. Harta zakat yang didapatkannya bukanlah untuk istana atau kantor-kantor, melainkan untuk diberikan kepada fakir dan miskin serta orang-orang yang membutuhkannya. Ketika bertugas, Umar pergi dari satu pintu ke pintu lainnya dengan menyampaikan perintah, “Bayarlah zakat!” . Semua orang yang didatangi Umar bertanya, “Siapakah yang telah mengutus engkau?” “Yang mengutusku ialah Rasulullah SAW,” jawab Umar.

 

Ketika orang-orang mendengar nama Rasulullah disebutkan, serta-merta mereka membayar kewajiban zakat. Betapa kuatnya pengaruh Rasulullah SAW untuk “mengendalikan hati” mereka. Sampai-sampai, para wanita perawan pun menyimak sabda Rasulullah SAW dari dalam kamarnya. Kekuatan inilah yang tidak dimiliki oleh Umar walaupun dia memiliki kelebihan dalam hal lainnya. Setelah Umar mendatangi seluruh kaum muslimin, sampailah Umar pada tiga sahabat yang menolak untuk membayar zakat. Mereka adalah Abbas, Khalid bin Walid dan Ibnu Jamil. Yang pertama Umar mendatangi Abbas dan berkata padanya, “Bayarlah zakat!” Abbas bertanya, “Siapakah yang telah mengutusmu?” “Rasulullah SAW,” jawab Umar. Abbas berkata, “Aku tidak akan membayarnya.”

 

Lalu Umar pergi menuju Khalid bin Walid, seorang ahli strategi perang, dan berkata kepadanya, “Bayarlah zakat!”. Khalid bertanya, “Siapakah yang telah mengutusmu?”. Rasulullah SAW,” jawab Umar. Khalid berkata, “Aku tidak akan membayarnya.” Kemudian Umar pergi mengunjungi Ibnu Jamil dan berkata kepadanya, “Bayarlah zakat!”. Ibnu Jamil bertanya, “Siapakah yang telah mengutusmu?”.

“Rasulullah SAW,” jawab Umar. Ibnu Jamil berkata, “Aku tidak akan membayarnya.”. Setelah itu, Umar pulang dan menghadap Rasulullah dengan membawa harta zakat. Ketika tiba di hadapan Rasulullah SAW, ia berkata, “Seluruh kaum muslimin membayar zakat harta kecuali tiga orang.”. “Siapakah  mereka?” Tanya Rasulullah SAW. “Abbas, Khalid bin Walid, dan Ibnu Jamil,” jawab Umar. Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Umar, tidakkah Engkau tahu bahwa Abbas adalah pamanku? Akulah yang akan membayar zakatnya untuk dua tahun. Zakatnya menjadi kewajibanku untuk membayarnya selama dua tahun, sebab aku telah meminjam uang zakat darinya untuk dua tahun.” Rasulullah SAW melanjutkan, “Adapun Khalid, kalian telah berbuat zalim kepadanya. Dia telah mewakafkan seluruh perbekalan dan perlengkapan miliknya di jalan Allah.”

 

Beliau berkata lagi, “Semua telah tergadai dan menjadi wakaf di jalan Allah. Apakah dalam harta wakaf terdapat kewajiban membayar zakat? Wahai Umar, mengapa engkau meminta zakat darinya padahal dia telah mewakafkannya?”. Jika Khalid hendak pergi berperang, dia memanggil 100 orang pasukan berkuda dan memberi mereka 100 pedang, 100 tombak, serta 100 ekor kuda perang; semua itu dia jadikan sebagai wakaf untuk Allah. Oleh karenanya, anak-anaknya tidak dapat mewarisinya. Ketika Khalid wafat, dia tidak meninggalkan harta, kecuali baju yang dia pakai.

 

Adapun Ibnu Jamil, Rasulullah SAW bersabda tentangnya, “Adapun Ibnu Jamil, tidaklah (pantas) dia menolak membayar zakat, karena dahulu dia orang yang fakir lalu Allah membuatnya kaya.” Maksudnya, tidak ada alasan bagi Ibnu Jamil untuk menolak membayar zakat. Allah SWT berfirman berkenaan dengan Ibnu Jamil dan orang-orang yang serupa dengannya:“dan diantara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada Kami, pastilah Kami akan bersedekah dan pastilah Kami Termasuk orang-orang yang saleh.Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta.(surat At Taubah (9) ayat 75, 76, 77)

 

Maka dalam kasus ini, tidak ada keringanan bagi Ibnu Jamil dalam hal membayar zakat. Berbeda dengan Abbas dan Khalid, mereka diberi keringanan untuk tidak membayar zakat karena alasan-alasan yang telah disebut Rasulullah SAW di atas. Semoga dengan adanya pelajaran yang kami kemukakan di atas ini, mampu menyadarkan diri kita betapa berbahayanya jika kita tidak mau menunaikan zakat dalam kerangka menunaikan hak Allah SWT.

 

Selanjutnya, untuk lebih mempertegas resiko yang akan terjadi jika zakat tidak mau ditunaikan seperti yang telah kami kemukakan di atas. Berikut ini akan kami kemukakan beberapa ancaman yang siap Allah SWT berikan kepada orang orang yang tidak mau menunaikan zakat saat di akhirat kelak, yaitu:

 

1.       Dibakar. Berdasarkan surat At Taubah (9) ayat 34, 35 sebagaimana kami kemukakan berikut ini:  “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. Orang yang tidak mau menunaikan zakat akan dibakar dengan emas dan perak yang dimilikinya tersebut mulai dari bagian dahi, lambung dan punggung mereka.

 

Rasulullah SAW  bersabda, “Siapa yang memiliki emas dan perak, tetapi dia tidak membayar zakatnya, niscaya di hari kiamat akan dibuatkan setrika api untuknya yang dinyalakan di dalam neraka, lalu disetrikakan ke perut, dahi dan punggungnya. Setiap setrika itu dingin, maka akan dipanaskan kembali lalu disetrikakan kembali kepadanya setiap hari –di mana sehari setara lima puluh tahun di dunia – hingga perkaranya diputuskan. Setelah itu, barulah ia melihat jalannya keluar, adakalanya ke surga dan adakalanya ke neraka.” (Hadits Riwayata Muslim: 987)

 

2.       Ditusuk besi panas di neraka. Salah satu siksaan pedih bagi mereka yang menunggak membayar zakat adalah mereka akan ditusuk dengan besi panas. Hal ini tertuang dalam hadis riwayat Bukhari berikut ini: “Saya pernah berada di antara kaum Quraisy. Kemudian Abu Dzar lewat dan berkata, ‘Sampaikanlah berita gembira pada orang-orang yang menyimpan hartanya (tidak mau membayar zakat) bahwa punggung mereka akan ditusuk hingga tembus lambungnya, dan tengkuk mereka ditusuk hingga tembus keningnya’" (Hadits Riwayat Bukhari). Dan dalam hadits yang lainnya juga disebutkan mengenai siksaan pedih bagi mereka penunggak zakat. Mereka akan diberikan batu-batu yang dipanaskan dari neraka jahanam, sebagaimana hadits berikut ini: “Sampaikanlah berita gembira pada orang-orang yang menyimpan hartanya (tidak mau membayar zakat) bahwa batu-batu yang dipanaskan di neraka Jahannam akan diletakan di puting mereka hingga keluar dari pundaknya, dan diletakan di pundaknya hingga keluar dari puting kedua dadanya, hingga membuat tubuhnya bergetar tidak karuan." (Hadits Riwayat  Bukhari)

 

3.       Dililitkan ular beracun. Rasulullah SAW bersabda,“Barangsiapa yang diberikan harta oleh Allah, namun tidak mengeluarkan zakatnya, niscaya pada hari kiamat harta itu akan berubah wujud menjadi seekor ular jantan yang bertanduk dan memiliki dua taring lalu melilit orang itu pada hari kiamat. Lalu ular itu memakannya dengan kedua rahangnya, yaitu dengan mulutnya seraya berkata, ‘Aku inilah hartamu, akulah harta simpananmu”. Kemudian Beliau membaca firman Allah Ta’ala di surat Ali ‘Imran ayat 180 yang artinya, “ Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Hadits Riwayata Bukhari: 1405)

 

4.       Diamuk dan diinjak injak oleh hewan ternak yang dimilikinya. Apabila harta yang wajib dizakatkan berupa hewan, maka si pembangkang zakat akan menerima siksaan dari hewan peliharaannya itu sendiri. Ia akan diamuk dan diinjak oleh hewan peliharaannya. Rasulullah SAW bersabda sebagai berikut: “Tidak ada pemilik unta, sapi, dan kambing yang tidak membayar zakatnya kecuali binatang-binatang tersebut datang di hari kiamat dengan ukuran yang sangat besar dan sangat gemuk yang menyeruduk pemiliknya dengan tanduk-tanduk dan menginjak-nginjaknya dengan kaki-kaki mereka. Ketika binatang yang paling belakang habis, maka yang depan kembali datang lagi padanya hingga umat manusia selesai dihisab." (Hadits Riwayat  Muslim).

 

Selain 4 (empat) hal yang telah kami kemukakan di atas, masih ada beberapa hadits yang mengemukakan tentang akibat dari meninggalkan zakat :

 

1.       Rasululah SAW bersabda: “Golongan orang-orang yang tidak membayar zakat akan ditimpa kelaparan, dan kemarau panjang” (Hadits Riwayat Ath Thabrani).  Sedangkan menurut Imam Al Baihaqi, hadits diatas berbunyi: “Apabila (warga) kampung tidak berzakat, Allah akan menahan hujan”. Imam Hakim juga menyatakan bahwa hadits tersebut menurut Imam Muslim adalah shohih.


2.       Ibnu Umar ra menyatakan, Rasulullah SAW telah bersabda: “Bila mereka tidak mengeluarkan zakat, berarti mereka menghambat hujan turun. Seandainya tidak ada binatang, pastilah mereka tidak diberi hujan” (Hadits Riwayat Ibnu Majah, Al Bazzar dan Al Baihaqi)

 

3.       Nabi Saw mengirimkan utusan kepada seorang laki-laki dari kabilah Asyja’ untuk memungut zakat, namun laki-laki itu menolaknya. Ketika Nabi Saw mengirimkan utusan untuk kedua kalinya, laki-laki itu masih membangkang tidak mau membayar zakat. Maka sewaktu mengirim utusan ketiga, Nabi Saw berpesan: “Apabila ia masih membangkang, pukullah lehernya” (Hadits Riwayat Ath Thabrani & Hakiim)

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, bisakah kita membayangkan betapa sakitnya dan betapa sengsaranya badan ini disiksa dan dianiaya oleh apa apa yang pernah kita miliki saat di dunia. Jangan sampai kita mengalami hal ini. Ayo segera tunaikan zakat dengan baik dan benar!

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar