Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Senin, 02 Januari 2017

APA ITU ZAKAT YANG SESUNGGUHNYA



Untuk mempertegas perintah menunaikan zakat seperti yang telah diperintahkan oleh Allah SWT kepada diri kita, mari kita bercermin pada kehidupan kita sebagai warganegara. Sebagai warganegara, saat ini dapat dipastikan kita juga menikmati segala fasilitas negara, seperti keamanan, ketertiban, jalan, jembatan, irigasi, air, listrik, gas, transportasi, kesehatan, perumahan, dan lain sebagainya. Dan jika sekarang negara mewajibkan warga nergaranya untuk membayar pajak apakah hal ini sesuatu yang bersifat berlebihan? Kewajiban membayar pajak kepada negara, bukanlah sesuatu yang berlebihan, dan bukan pula sesuatu yang memberatkan karena kita sendiri telah menikmati seluruh fasilitas yang telah negara siapkan serta melalui pajak inilah negara bisa membiayai segala keperluan negara dan keperluan warga negaranya.

 

Sekarang mari kita pelajari lagi tentang pajak yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari, yaitu ada istilah PTKP (penghasilan tidak kena pajak) yaitu batas seseorang mempunyai kewajiban pajak kepada negara, maka di dalam Zakatpun ada istilah Nishab, yaitu batas seseorang mempunyai kewajiban untuk menunaikan Zakat dan juga Haul, yaitu jangka waktu kepemilikan dari obyek zakat yang kita miliki.

 

Jika di dalam pajak ada istilah pajak penghasilan perseorangan dan pajak penghasil badan usaha, maka di dalam zakat juga ada istilah Zakat Fitrah dan Zakat Maal yang bersifat perseorangan dan juga perusahaan. Jika dalam istilah pajak ada istilah Wajib Pajak yang dikukuhkan dalam NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), maka di dalam istilah Zakat ada istilah Muzakki, yaitu orang orang yang sudah memiliki kewajiban untuk menunaikan zakat setelah memenuhi konsep Nishab dan Haul.

 

Di lain sisi, tidak semua warga negara memiliki penghasilan yang sama besarnya, karena ada juga penduduk yang miskin yang tidak memenuhi penghasilan tidak kena pajak. Sekarang bertanggung jawabkah negara kepada penduduk yang miskin? Negara memiliki kewajiban untuk mengayomi, melindungi seluruh warganya, termasuk di dalamnya untuk mengayomi, membiayai penduduk yang miskin dan melalui pajak inilah negara membiayai penduduk yang miskin itu. Sekarang bagaimana dengan Allah SWT kepada orang yang fakir dan miskin?

 

Allah SWT juga bertanggung jawab kepada seluruh umatnya termasuk kepada orang yang fakir dan miskin melalui perintah menunaikan zakat, infaq dan Sedekah serta wakaf.  Allah SWT memiliki cara khusus untuk kepentingan fakir miskin melalui para hambanya yang sudah memiliki kewajiban menunaikan zakat sepanjang sudah memenuhi ketentuan Nishab dan Haul untuk menunaikan zakat dan/atau melalui infaq dan shadaqah, atau juga melalui wakaf bagi sudah memiliki kecukupan.

 

Zakat dapat dikatakan sebagai media Allah SWT untuk mengangkat derajat bagi orang orang yang tidak mampu melalui orang orang yang mampu sehingga terjadilah saling tolong menolong antar umat manusia yang pada akhirnya membawa kemakmuran bersama. Lalu Allah SWT melalui surat At Taubah (9) ayat 60 yang kami kemukakan berikut ini: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[647].”

 

[647] Yang berhak menerima zakat Ialah: 1. Orang fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5. Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. Orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. Pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.

 

Allah SWT telah menegaskan tentang siapa siapa saja yang berhak berhak menerima Zakat (Mustahik) yang terdiri dari: orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan.

 

Jika yang berhak menerima zakat sudah ditentukan oleh Allah SWT berarti yang tidak termasuk dalam golongan yang berhak menerima zakat dapat dikatakan bahwa orang orang tersebut adalah orang orang yang wajib menunaikan zakat (Muzakki) sepanjang Nishab dan Haulnya tercapai. Sekarang dimanakah posisi diri kita, apakah yang berhak menerima zakat ataukah yang diwajibkan untuk menunaikan zakat? Mudah mudahan kita termasuk orang orang yang mampu menunaikan zakat sesuai dengan kehendak Allah SWT. Amien.

 

Mari kita perhatikan surat Qashshas (28) ayat 77 berikut ini: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” Allah SWT selaku pencipta dan pengutus diri kita untuk melaksanakan kekhalifahan di muka bumi, tidak melarang diri kita untuk memiliki harta yang banyak.

 

Allah SWT justru memerintahkan kepada diri kita untuk mencari apa-apa yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada diri kita sebanyak mungkin untuk kebahagiaan hidup di akhirat kelak dengan tidak melupakan bahagian untuk kepentingan dunia. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam hadits berikut ini: “Bukanlah engkau termasuk orang baik, jika kamu meninggalkan urusan dunia karena akhirat, dan tidak pula kamu dinamakan orang baik, kalau kamu meninggalkan akhirat karena dunia. Tetapi yang baik itu ialah yang mengerjakan kedua duanya, karena dunia ini adalah jalan untuk mencapai kebahagiaan di akhirat nanti. Dan janganlah kamu (karena kefakiran/kemiskinan) menjadi beban orang lain.” (Hadits Riwayat Ibnu Asakir)

 

Adanya kondisi ini, kita harus bisa menselaraskan dan juga menserasikan antara kepentingan akhirat dan juga kepentingan dunia saat hidup di muka bumi ini. Kita tidak hanya mementingkan kehidupan akhirat dengan mengorbankan kehidupan dunia melalui harta yang kita miliki. Demikian pula kita tidak bisa hanya mementingkan kehidupan dunia semata dengan mengorbankan kehidupan akhirat.

 

Sekarang ketentuan di atas sudah berlaku di muka bumi ini, sebagai khalifah yang sudah tahu diri tentu kita harus bisa melaksanakan ketentuan di atas dengan sebaik mungkin. Lalu apa hubungannya antara keselarasan dan keserasian kehidupan dunia dan kehidupan akhirat ditinjau dari sisi diperbolehkannya diri kita mencari harta sebanyak mungkin dengan perintah menunaikan zakat? Perintah menunaikan zakat yang telah diperintahkan oleh Allah SWT tidak bisa dipisahkan dengan keselarasan dan keserasian antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat yang kita laksanakan karena untuk dapat menselaraskan dan menserasikan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat kita tidak bisa terlepas dari segala fasilitas yang telah Allah SWT berikan kepada diri kita karena kita tidak mampu membuat itu semua untuk kepentingan kita sendiri.

 

Adanya kondisi ini maka sudah sepatutnya dan sepantasnyalah kita yang sudah menumpang di langit dan di muka bumi Allah SWT ini menunaikan zakat dalam rangka untuk kebaikan hidup di dunia dan kebaikan hidup di akhirat kelak. Selain daripada itu, sebagai khalifah yang sedang menjalankan tugas di muka bumi, sudah sepatutnya kita memiliki ilmu tentang zakat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Untuk itu mari kita sungguh sungguh mempelajari dan memiliki ilmu tentang zakat karena kita hidup langit dan di bumi yang memiliki aturan dan ketentuan yang berasal dari Allah SWT.

 

Berikut ini akan kami kemukakan beberapa pengertian dasar daripada zakat dimaksud yang kami tinjau dari sisi tersurat dan juga dari sisi tersirat dan juga dari sisi tersembunyi, yaitu:

 

A.      ZAKAT DALAM ARTI TERSURAT.

 

Berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang berlaku saat ini, zakat didefinisikan sebagai harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam yang berlaku. Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa hanya orang muslim atau yang beragama Islam sajalah yang wajib mengeluarkan atau menunaikan zakat.

 

Zakat ditinjau dari segi bahasa, merupakan kata dasar (mashdar) dari “zakaa” yag berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik. Sesuatu itu “zakaa” berarti sesuatu itu tumbuh dan berkembang, dan seseorang itu “zakaa”, berarti orang itu baik. Dari kata “zakaa”, menjadi kata “zakat”, yaitu sesuatu yang dikeluarkan oleh manusia dari sebagian hak Allah SWT, untuk disalurkan kepada yang berhak menerimannya (mustahik). Dinamakan demikian karena padanya ada harapan mendapat berkah atau membersihkan jiwa atau menumbuhkannya dengan kebaikan dan berkah.

 

Zakat masih menurut bahasa juga berarti berkembang dan suci yang berarti membersihkan jiwa/mengembangkan keutamaan-keutamaan jiwa dan menyucikannya dari dosa-dosa dengan menginfakkan harta di jalan Allah SWT dan menyucikannya dari sifat kikir, bakhil, dengki, dan lain-lain. Untuk itu mari kita pelajari beberapa beberapa makna atau pengertian zakat yang berlaku saat ini, yaitu antara lain :

 

1.        Zakat bermakna At-Thohuru (Membersihkan atau Mensucikan). Zakat bermakna membersihkan atau mensucikan maksudny adalah dengan menunaikan zakat sebagai Hak Allah SWT berarti kita telah membersihkan atau mensucikan harta dan jiwa kita (maksudnya Ruh/Ruhani diri kita sendiri).  Allah SWT berfirman: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan  mereka  dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu  ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (surat At-Taubah (9) ayat 103). Bersihnya harta yang kita miliki maka bergunalah diri kita bagi orang lain sehingga terlaksanalah Habblumminanass dan juga tampillah keshalehan pribadi dalam bentuk keshalehan sosial.

 

Bersihnya harta maka bersih pula sumber penghasilan diri kita dalam kerangka untuk membiayai kehidupan diri kita, keluarga, anak keturunan. Sedangkan bersihnya jiwa (kembali fitrah) maka perbuatan perbuatan diri kita sesuai dengan Nilai Nilai Ilahiah yang berasal dari sifat alamiah ruh/ruhani yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. 

 

 

2.        Zakat bermakna Al-Barakatu (Berkah).Zakat bermakna berkah maksudnya adalah dengan menunaikan zakat sebagai Hak Allah SWT maka harta yang telah bersih setelah ditunaikan zakatnya maka  hartanya tersebut akan selalu dilimpahkan keberkahan oleh Allah SWT. Kemudian keberkahan harta ini akan berdampak kepada keberkahan hidup. Keberkahan ini lahir karena harta yang kita gunakan adalah harta yang suci dan bersih, sebab harta kita telah dibersihkan dari kotoran dengan menunaikan zakat yang hakekatnya berfungsi untuk membersihkan dan mensucikan harta.

 

3.        Zakat bermakna An-Numuw (Tumbuh dan Berkembang). Zakat bermakna tumbuh dan berkembang maksudnya adalah dengan menunaikan zakat sebagai Hak Allah SWT maka harta yang telah dibersihkan akan  selalu terus tumbuh dan berkembang. Hal ini dikarenakan dengan menunaikan zakat maka zakat itulah yang menjadi pupuk bagi tumbuh dan berkembangnya harta yang telah dibersihkan. Tentu kita tidak pernah mendengar orang yang selalu menunaikan zakat dengan ikhlas karena Allah SWT, kemudian banyak mengalami masalah dalam harta dan usahanya, baik itu kebangkrutan, kehancuran, kerugian usaha, dan lain sebagainya. Tentu kita tidak pernah mendengar hal seperti itu, yang ada bahkan sebaliknya. Menurut ilmu Allah SWT yang Maha Pemberi rezeki, zakat yang kita keluarkan tidak mengurangi harta kita, bahkan menambah harta kita dengan berlipat ganda. 

 

Allah SWT berfirman: “Dan sesuatu riba  yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka  itulah orang-orang yang melipat gandakan .” (Suarat Ar Rum (30) ayat 39). Dalam ayat ini Allah SWT berfirman tentang zakat yang sebelumnya didahului dengan firman tentang riba. Dengan ayat ini Allah Maha Pemberi Rezeki menegaskan bahwa riba tidak akan pernah melipat gandakan harta manusia, yang sebenarnya dapat melipat gandakannya adalah dengan menunaikan zakat.

 

4.        Zakat bermakna As-Sholahu (Beres atau Keberesan). Zakat bermakna beres atau keberesan maksudnya adalah dengan menunaikan zakat sebagai Hak Allah SWT maka harta yang telah dibersihkan akan selalu beres dan jauh dari masalah. Hal ini berlawanan dengan orang yang tidak mau menunaikan Zakat dimana di dalam hartanya masih terdapat sesuatu yang kotor. Kekotoran yang ada di dalam harta inilah yang akan mendatangkan musibah atau  masalah bagi pemiliknya, misalnya kebangkrutan, pencurian, perampokan, hilang, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan mereka lalai dan abai menunaikan zakat yang sudah diperintahkan oleh Allah SWT. 

 

Itulah empat buah pengertian dasar dari zakat dalam arti yang tersurat, kemudian sudahkah kita memahami ke empatnya? Keempat pengertian dasar dari zakat yang kami kemukakan di atas bukanlah pengertian yang berdiri sendiri sendiri, melainkan pengertian yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Apa maksudnya? Maksudnya adalah dengan diri kita menunaikan zakat maka ke empat pengertian dari zakat secara sekaligus telah kita laksanakan termasuk juga kita telah menunaikan zakat sesuai dengan pengertian zakat berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia No.23 tahun 2011 sepanjang Nishab dan Haulnya tercapai. 

 

B.      ZAKAT DALAM ARTI TERSIRAT

 

Zakat selain memiliki arti tersurat seperti yang telah kami kemukakan di atas, zakat juga memiliki beberapa pengertian dalam arti tersirat seperti yang akan kami kemukakan di bawah ini,  yaitu :

 

 

1.       Zakat Adalah Hasil Dari Habbluminallah Yang Tercermin Dalam Habbluminannas.  Berdasarkan surat Al Bayyinah (98) ayat 5 yang kami kemukakan berikut ini: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.”  perintah mendirikan shalat dengan perintah menunaikan zakat adalah dua perintah Allah SWT yang telah diperintahkan yang tidak bisa dipisahkan antara perintah yang satu dengan perintah yang lainnya sehingga kedua perintah tersebut wajib kita laksanakan. Perintah mendirikan Shalat bermakna ibadah yang bersifat Habblumminallah, sedangkan perintah menunaikan zakat adalah ibadah yang bermakna Habblumminanass.

 

Jika kita termasuk orang yang mampu menjalankan agama yang lurus maka melaksanakan Habblumminallah tidak bisa dipisahkan dengan pelaksanaan Habblumminanass. Adanya ketentuan ini maka dapat dikatakan menunaikan zakat adalah hasil dari  pelaksanaan Habblumminallah, atau zakat dapat dikatakan bukti dari pelaksanaan Habblumminallah yang tercermin dalam Habblumminanass, sehingga diri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara mampu merasakan buah dari hasil kedekatan kita kepada Allah SWT atau dengan kata lain keberadaan diri kita di tengah masyarakat bukanlah menjadi beban bagi masyarakat melainkan berkah bagi masyarakat.

 

Sekarang apa terjadi jika kita hanya mampu melaksanakan Habblumminallah saja (hanya mampu mendirikan shalat saja), namun kita tidak mau menunaikan zakat setelah nishab dan haul terpenuhi? Jika ini terjadi pada diri kita berarti :

 

a.        Kita telah memisahkan konsep Habblumminallah dengan konsep Habblumminanass, padahal keduanya tidak bisa dipisahkan dan juga keduanya harus berjalan seiring dan sejalan.

 

b.       Kita telah keluar dari konsep sesuatu diciptakan secara berpasang pasangan seperti ada kaya ada miskin, ada kurang ada lebih, ada menerima ada memberi.  Dengan diri kita tidak mau menunaikan zakat berarti kita telah keluar dari konsep tersebut.

 

c.        Kita tidak mampu menjadi orang yang seimbang karena hanya mampu menerima sesuatu tanpa bisa memberi sesuatu atau dengan kata lain kita sendiri telah menempatkan diri sendiri sebagai peminta minta atau menjadikan diri kita sebatas mustahik padahal jati diri kita yang sesungguhnya adalah muzakki atau yang memberi.

 

d.       Kita telah keluar dari konsep lampu menyala yang seharusnya menyinari lingkungan. Hal ini dikarenakan konsep kesalehan diri tidak tercermin dalam kesale-han sosial. Inilah yang dinamakan dengan sikap egois, yang hanya mementingkan diri sendiri.

 

e.        Kita telah membuang jauh jauh kebahagiaan atau kenikmatan memiliki harta kekayaan dengan tidak menunaikan zakat. Hal ini dikarenakan kenikmatan berpunya atau memiliki sesuatu ada pada saat diri kita memberi (menunaikan zakat).

 

f.         Kita telah memasukkan kotoran atau racun ke dalam harta kekayaan yang kita miliki yang lama lama bisa mempengaruhi warna dari harta kekayaan akibat dari banyaknya kotoran yang masuk. Jika tidak cepat cepat ditunaikan zakatnya, bukan tidak mungkin kotoran atau racun yang kita masukkan ke dalam harta kekayaan mengakibatkan rasa dari harta kekayaan berubah menjadi harta yang tidak membawa keberkahan.

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, jangan sampai diri kita hanya mampu Habblumminallah semata, tanpa bisa membuktikannya melalui Habblum-minannass karena resikonya sangat berat bagi diri kita dan juga bagi anak dan keturunan kita. Semoga kita mampu melaksanakan Habblumminallah dan Habblum-minannass  saat hidup di dunia karena hanya pada saat itulah kita diberi kesempatan untuk membuktikan itu semua dihadapan Allah SWT sebelum akhirnya kita mempertanggung jawabkan itu semua di akhirat kelak. Dan jika semua orang  mampu melaksanakan Habblumminallah dan Habblumminannass secara selaras, serasi dan seimbang, terjadilah apa yang dinamakan dengan gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerto raharjo, masyarakat madani serta tidak akan terjadi apa yang dinamakan dengan kesenjangan sosial.

 

Dan jika sekarang yang terjadi adalah sebaliknya, seperti jurang yang kaya dan yang miskin sangat jauh, korupsi, kolusi serta nepotisme semakin merajalela, ketidakadilan semakin menjadi-jadi, kampanye hitam semakin tumbuh subur, berarti Diinul Islam yang telah kita lakukan belum sesuai dengan kehendak Allah SWT, atau ada sesuatu yang salah di dalam Diinul Islam yang kita lakukan, terutama saat mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Introspeksilah diri merupakan langkah awal untuk memperbaiki itu semua. Ayo jangan pernah menunda nunda perbuatan baik.

 

2.       Zakat Adalah Benteng Dari Gangguan Syaitan. Berdasarkan ketentuan yang ada di dalam surat Al Israa’ (17) ayat 64 berikut ini:  “Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka[861].”

 

[861] Maksud ayat ini ialah Allah memberi kesempatan kepada iblis untuk menyesatkan manusia dengan segala kemampuan yang ada padanya. Tetapi segala tipu daya syaitan itu tidak akan mampu menghadapi orang-orang yang benar-benar beriman.

 

Salah satu pintu masuk syaitan untuk menggoda diri kita adalah melalui pintu harta kekayaan yang kita miliki, atau hanya melalui zakat yang kita tunaikan maka kesempatan syaitan untuk mengganggu, untuk menggoda diri kita melalui pintu harta kekayaan menjadi tertutup karena harta kekayaan yang yang kita miliki telah kita bersihkan melalui zakat.

 

Timbul pertanyaan, ada apa dengan harta kekayaan yang kita miliki sehingga menjadi pintu masuk bagi syaitan untuk menggoda diri kita? Seperti kita ketahui bersama bahwa di dalam harta kekayaan yang kita miliki, ada hak Allah SWT yang harus kita tunaikan kepada orang orang yang berhak menerimanya (mustahik). Adanya kondisi ini berarti ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu ada orang yang mau menunaikan hak Allah SWT sehingga bersihlah harta kekayaan yang dimilikinya dan ada orang yang tidak mau menunaikan hak Allah SWT sehingga kotorlah harta kekayaan yang dimilikinya.

 

Sekarang yang manakah kondisi harta kekayaan yang kita miliki, apakah yang sudah bersih ataukah yang masih kotor? Hal yang harus kita ingat adalah syaitan berkehendak kepada diri kita agar harta kekayaan yang kita miliki kotor (masih tercampur dengan Hak Allah SWT yang belum kita tunaikan), sehingga dengan kekotoran harta yang kita miliki inilah syaitan memiliki pintu masuk untuk menggoda, dan mengganggu diri kita saat melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka bumi yang akhirnya mengakibatkan kefitrahan Ruh/Ruhani menjadi kotor.

 

Semakin bersih harta kekayaan/penghasilan yang kita miliki maka semakin kecil pintu masuk bagi syaitan untuk menggoda diri kita, atau dengan menunaikan zakat kita telah mempersempit ruang gerak syaitan menggoda diri kita, atau dengan zakat kita tidak memberikan kesempatan bagi syaitan untuk menggoda diri kita. Demikian pula sebaliknya, semakin kotor harta kekayaan yang kita miliki karena tidak menunaikan hak Allah SWT melalui zakat berarti kita sendirilah yang memberikan kesempatan bagi syaitan untuk melancarkan aksinya kepada diri kita. Untuk itu jangan pernah salahkan syaitan jika kita menjadi pecundang di dalam permainan kekhalifahan di muka bumi ini.

 

Adanya kekotoran harta yang kita miliki, atau dengan belum kita keluarkannya hak Allah SWT yang ada pada harta kekayaan yang kita miliki. Akan terjadi apa yang dinamakan dengan ketidaksesuaian antara diri kita dengan kondisi dan keadaan Allah SWT yang Maha Suci, yang akan mengakibatkan komunikasi kita dengan Allah SWT menjadi terganggu karena adanya ketidaksesuaian kondisi antara kita dengan Allah SWT. Dalam hal ini ada sesuatu yang kotor yang masih menyertai diri kita sedangkan Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Suci. Dan yang harus kita perhatikan adalah kondisi inilah yang sangat ditunggu-tunggu oleh Syaitan sang laknatullah. Untuk itu segeralah tunaikan hak Allah SWT sekarang juga dan ingat jangan pernah menunda nunda menunaikan zakat. Semakin ditunda maka kita sendirilah yang memberikan kesempatan bagi syaitan melaksanakan aksinya kepada diri kita yang pada akhirnya menunda pula kebaikan bagi masyarakat.

 

3.       Zakat Adalah Kebaikan. Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 177 yang kami kemukakan berikut ini: “Bukanlah menghadapkan wajahmu anyan timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.” Zakat adalah Kebaikan. Hal ini dimungkinkan karena perintah menunaikan zakat bukanlah tujuan akhir dari perintah yang diperintahkan Allah SWT. Zakat adalah sarana bagi diri kita untuk memperoleh segala manfaat yang terdapat dibalik perintah zakat. Jika kita mampu menunaikan Hak Allah SWT yang tidak lain adalah kebutuhan diri kita sendiri berarti kita telah berbuat kebaikan kepada diri sendiri maupun kepada keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, sesama umat manusia. Apa maksudnya?

 

Menunaikan zakat tidak seperti halnya diri kita melaksanakan perintah mandi, yaitu jika kita melaksanakan mandi dengan baik dan benar maka segala kebaikan dari mandi yang kita laksanakan seperti sehat, bersih dan segar untuk diri kita sendiri. Khusus untuk zakat tidak berlaku seperti itu, jika kita mampu menunaikan zakat yang tidak lain adalah Hak Allah SWT sebagai sebuah kebutuhan maka segala kebaikan dan manfaat dari perintah menunaikan zakat bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga memberi manfaat kepada orang banyak sehingga zakat berdimensi sosial.

 

Berdasarkan uraian di atas, dengan diri kita mampu menunaikan zakat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT maka bersihlah harta kita sehingga harta yang kita miliki tersebut mampu mendatangkan keberkahan serta tidak menjadi fitnah bagi diri, keluarga serta anak keturunan di masa datang.  Sekarang bagaimana dengan zakat yang juga berarti kebaikan bagi orang lain? Disinilah letak pentingnya zakat ditinjau diri sisi hubungan antar sesama manusia. Apa maksudnya? Seperti telah kita ketahui bersama, tidak semua penduduk di muka bumi kaya semua, atau miskin semua.

Di muka bumi ada penduduk yang kaya dan ada penduduk yang miskin. Allah SWT adalah pencipta itu semua (maksudnya pencipta seluruh manusia yang ada di muka bumi ini), sebagai pencipta tentu Allah SWT sangat bertanggung jawab dengan ciptaannya dan melalui perintah menunaikan zakat inilah Allah SWT berkehendak untuk menitipkan penduduk yang miskin kepada penduduk yang kaya melalui perintah menunaikan hak Allah SWT untuk kepentingan penduduk yang membutuhkan pertolongan. Sehingga terjadilah kesejahteraan di muka bumi, sehingga terjadilah pemerataan di muka bumi, sehingga berkuranglah gap antara si kaya dengan si miskin, yang pada akhirnya bisa menghantarkan kepada kehidupan masyarakat yang madani.

 

4.       Zakat Adalah Menunaikan Janji Kepada Allah SWT.

 

Setiap manusia yang ada di muka bumi ini, berdasarkan surat Al A’raf (7) ayat 172 berikut ini, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” telah berjanji dengan memberikan kesaksian untuk bertuhankan kepada Allah SWT. Adanya janji untuk bertuhankan kepada Allah SWT berarti setiap orang terikat dengan perjanjian yang telah dilakukannya dan kemudian harus membuktikan atau memenuhi janjinya itu kepada Allah SWT saat hidup di muka bumi ini.

 

Salah satu bentuk pemenuhan janji dari perjanjian bertuhankan kepada Allah SWT tertuang di dalam surat surat Al Baqarah (2) ayat 83 berikut ini: “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.” yaitu kita wajib menunaikan Zakat yang tidak lain adalah Hak Allah SWT dalam rangka untuk menuhi kebutuhan diri sendiri yang bermakna sosial kemasyarakatan.

 

Sebagai makhluk yang telah menyatakan berkomitmen untuk bertuhankan kepada Allah SWT, berarti kita harus konsekuen dengan apa yang telah kita nyatakan kepada Allah SWT dengan cara mematuhi segala perintah dan larangan Allah SWT saat hidup di dunia ini. Jika sekarang Allah SWT selaku pencipta dan pemilik alam semesta ini telah memerintahkan kepada seluruh umat manusia untuk melaksanakan Diinul Islam secara kaffah atau Allah SWT telah memerintahkan untuk menunaikan zakat yang tidak lain adalah Hak Allah SWT maka kita harus melaksanakan perintah Allah SWT dimaksud dalam rangka memenuhi janji atau komitmen yang telah kita nyatakan kepada Allah SWT tersebut tanpa ada bantahan sedikitpun.

 

Jika sampai diri kita tidak mau memenuhi janji yang telah kita nyatakan atau jika kita mengkhianati perjanjian yang telah kita lakukan berarti kita telah menjadi seorang pengkhianat dihadapan pemilik dan pencipta diri kita sendiri. Sebagai Khalifah yang sedang menumpang di langit dan di bumi Allah SWT tidak sepatutnya kita berbuat demikian kepada yang menciptakan diri kita sendiri dan juga langit dan bumi yang kita tempati saat ini.

 

Ingat, yang membutuhkan manfaat dibalik perintah menunaikan zakat sebagai bukti memenuhi janji bukanlah Allah SWT, melainkan  diri kita sendiri. Untuk itu segeralah penuhi janji janji yang telah kita nyatakan karena setiap janji yang kita langgar pasti ada sanksinya. Sanksi bisa diberikan di kehidupan dunia maupun di kehidupan akhirat kelak. Namun apabila kita mampu menunaikan janji janji kita maka segala manfaat dari apa yang kita perbuat akan dapat kita rasakan di kehidupan dunia dan di kehidupan akhirat kelak serta sampai kepada anak dan keturunan kita kelak dalam kondisi baik lagi dalam keberkahan. 

 

5.       Zakat Adalah Bukti Telah Bertaubat.

 

Zakat berdasarkan surat At Taubah (9) ayat 11 berikut ini: “Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” zakat adalah bukti telah bertaubat atau bukti telah kembali ke jalan yang lurus dengan cara mendirikan shalat dan menunaikan zakat (mampu melaksanakan Diinul Islam secara kaffah). Jika kita telah bertaubat berarti sebelum kita bertaubat kita pasti telah melanggar apa yang telah diperintah dan juga apa yang telah dilarang oleh Allah SWT sehingga kita berada di luar koridor kehendak Allah SWT namun sangat sesuai dengan kehendak  syaitan.

 

Allah SWT melalui ketentuan yang tertuang dalam surat At Taubah (9) ayat 11 di atas  ini, telah menetapkan bahwa pernyataan bertaubat tidak bisa serta merta begitu saja dengan menyatakan diri telah bertaubat. Allah SWT mensyaratkan harus ada buktinya yaitu melaksanakan perintah menunaikan zakat. Apabila seseorang telah menunaikan zakat saat bertaubat berarti orang tersebut  telah membersihkan dirinya dari harta dan jiwa yang kotor. Jika ini dilakukannya maka secara tidak langsung ia harus pula mendirikan shalat secara berbarengan. Ingat, shalat adalah Habblumminanallah sedangkan zakat adalah Habblumminanass yang keduanya harus dilaksanakan secara berbarengan dalam kerangka melaksanakan Diinul Islam secara kaffah.

 

Adanya syarat yang dipersyaratkan oleh Allah SWT berarti dengan pemenuhan syarat taubat yang telah dipenuhi oleh seseorang maka secara otomatis Allah SWT akan memudahkan orang yang bertaubat itu kembali ke jalan yang lurus atau Allah SWT akan memudahkan orang yang terlah bertaubat kembali ke masyarakat atau proses kembali fitrah dimudahkan oleh Allah SWT.

 

Adanya syarat untuk bertaubat dengan cara menunaikan zakat seperti yang telah dipersyaratkan Allah SWT,  sejalan dengan hadits yang kami kemukakan berikut ini: Hudzaifah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Allah SWT telah mewahyukan kepadaku: Wahai saudara para Rasul dan saudara para pemberi peringatan, berilah peringatan kepada kaummu untuk tidak memasuki Rumah Ku (masjid) kecuali dengan hati yang bersih, lidah yang jujur, tangan yang suci, dan kemaluan yang bersih. Dan janganlah mereka memasuki rumah Ku (masjid) padahal mereka masih tersangkut barang aniayaan hak hak orang lain. Sesungguhnya Aku mengutuknya selama ia berdiri mengerjakan shalat di hadapan Ku sehingga ia mengembalikan barang aniayaan itu kepada pemiliknya yang berhak. Apabila ia telah mengembalikannya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat, dan ia akan menjadi salah seorang kekasih Ku, orang pilihan Ku, dan bersanding bersama Ku bersama para Nabi, para shiddiqin dan para syuhada di dalam syurga”, (Hadits Riwayat Abu Nu’aim, Al Hakim, Ad Dailami dan Ibnu Asakir; 272:240) yaitu kita harus mengembalikan seluruh barang aniayaan yang pernah kita ambil kepada pemiliknya yang berhak sebelum beribadah kepada Allah SWT. Jika tidak, percuma saja kita shalat yang tidak lain Habblumminallah karena Allah SWT mengutuk orang yang berdiri dihadapan Nya sampai orang tersebut mengembalikan barang aniayaan yang pernah diambilnya kepada pemiliknya yang berhak.

 

Dengan mengembalikan barang aniayaan kepada pemiliknya yang berhak berarti diri kita telah berusaha membersihkan apa apa yang kotor pada diri kita. Padahal kita tahu bahwa Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Suci sehingga bagaimana kita akan bisa menghadap kepada Allah SWT dengan baik dan benar saat mendirikan shalat sedangkan di dalam diri kita masih ada sesuatu yang kotor. Kita yang masih kotor pasti tidak akan bisa mendekati atau sesuai dengan kehendak Dzat Yang Maha Suci. Adanya kekotoran inilah yang menyebabkan gagalnya proses taubat diri kita atau susahnya diri kita bertaubat dan jika sekarang Allah SWT memerintahkan untuk berzakat sebelum bertaubat berarti Allah SWT berkehendak agar diri kita mudah melaksanakan proses Habblumminallah melalui shalat yang kita dirikan sehingga mudah pula melakukan proses Habblumminanass saat menunaikan zakat. 

 

C.      ZAKAT DALAM ARTI TERSEMBUNYI.

 

Zakat selain memiliki arti secara tersurat dan juga arti tersirat, zakat juga memiliki arti secara tersembunyi. Berikut ini akan kami kemukakan 2 (dua) buah pengertian zakat dalam arti yang tersembunyi, yaitu :

 

1.       Zakat Adalah Kebutuhan Hakiki Diri. Perintah menunaikan zakat tidak terlepas dari apa yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya yang terdapat di surat Al Baqarah (2) ayat 83 berikut ini: “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.”

 

Kemudian ketentuan di atas diperkuat dengan adanya ketentuan Allah SWT lain yang terdapat di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 208 berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” yang mengharuskan diri kita melaksanakan Diinul Islam secara kaffah. Adanya perintah menunaikan zakat (melaksanakan Diinul Islam secara kaffah) yang telah diperintahkan oleh pemilik dan pencipta langit dan bumi maka perintah itu menjadi aturan, hukum, ketentuan, undang-undang, peraturan yang berlaku di langit dan di muka bumi ini.

 

Dan jika kita merasa tidak pernah sekalipun menciptakan dan memiliki langit dan bumi ini atau jika kita merasa orang yang sedang menumpang di langit dan di muka bumi ini  maka sudah seharusnya kita melaksanakan aturan, hukum, ketentuan, undang-undang, peraturan yang telah diperintahkan oleh pemilik dan pencipta langit dan bumi ini tanpa terkecuali.

 

Menunaikan zakat sebagai sebuah perintah yang telah diperintahkan oleh pemberi perintah kepada yang diperintah maka dapat dipastikan bahwa yang memerintahkan menunaikan zakat dapat dipastikan memiliki maksud dan tujuan yang hakiki dari perintah yang diperintahkannya. Pemberi perintah tidak memiliki kepentingan apapun atas maksud dan tujuan yang hakiki dari apa yang diperintahkannya. Pemberi Perintah memerintahkan sesuatu dikarenakan pemberi perintah sangat mengasihi dan menyayangi kepada yang diperintah. Jika ini kondisi dasar dari perintah menunaikan zakat berarti perintah yang diperintahkan oleh Allah SWT bukan  untuk kepentingan Allah SWT selaku pemberi perintah melainkan untuk yang diperintah, dalam hal ini diri kita, keluarga, anak dan keturunan dan juga untuk seluruh umat manusia.  

 

Untuk mempertegas uraian di atas, katakan kita memerintahkan kepada anak untuk mandi. Lalu apakah mandi yang menjadi tujuan dari perintah kita kepada anak ataukah sehat dan segar yang akan dinikmati oleh anak. Perintah mandi yang kita perintahkan kepada anak dikarenakan kita sayang kepada anak sehingga kita tidak memiliki kepentingan apapun kepada perintah mandi tersebut selain anak merasakan sehat dan segar melalui mandi yang di laksanakannya. Hal yang samapun berlaku kepada perintah menuaikan zakat  yang telah diperintahkan Allah SWT.

 

Adanya perintah menunaikan zakat yang  telah diperintahkan oleh Allah SWT kepada diri kita berarti zakat yang diperintahkan melalui wahyu oleh Allah SWT bukanlah tujuan akhir dari perintah yang diperintahkan oleh Allah SWT tersebut. Perintah menunaikan zakat adalah sarana atau alat bantu bagi yang menunaikan zakat, dalam hal ini diri kita dan setiap orang yang beriman, untuk memperoleh manfaat dan hikmah yang hakiki yang  terdapat dibalik perintah menuaikan zakat yang diperintahkan oleh Allah SWT.

 

Hal yang harus kita ketahui dan pahami dari apa apa yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al Baqarah (2) ayat 83  dan yang kemudian dipertegas dengan surat Al Baqarah (2) ayat 208, adalah :

 

a.        Manusia atau termasuk diri kita bisa saja memaknai perintah menunaikan zakat yang telah diperintahkan oleh Allah  SWT sebatas melaksanakan rukun islam semata. Jika ini yang kita lakukan saat melaksanakan menunaikan zakat maka sebatas itulah kita memperoleh makna dan hakekat dari perintah menunaikan zakat. Lalu apakah hal ini salah? Jawabannya adalah tidak, tetapi hanya sampai disitulah kemampuan diri kita dan hanya sampai disitulah kita mampu menikmati hakekat dari melaksanakan perintah menunaikan zakat, padahal makna yang hakiki dari zakat lebih dari itu.

 

b.       Manusia atau termasuk diri kita bisa saja memaknai perintah menunaikan zakat yang telah diperintahkan oleh Allah SWT sebagai sebuah kewajiban sehingga jika kita telah menunaikan zakat berarti kita telah menggugurkan kewajiban berzakat atas harta kekayaan/penghasilan yang kita miliki. Sehingga apa yang diperintahkan oleh Allah SWT kita laksanakan tanpa melihat makna yang tersembunyi yang ada di balik perintah menunaikan zakat.

 

Jika konsep ini yang kita lakukan saat menunaikan zakat maka akan ada perasaan dalam diri rasa terpaksa atau adanya keterpaksaan untuk menunaikan zakat sebagai sebuah kewajiban yang pada akhirnya jika zakat sudah ditunaikan maka selesai sudah kewajiban kita laksanakan dan akhirnya hanya sebatas itulah kita menunaikan zakat. Lalu apakah hal ini salah? Jawabannya adalah tidak, tetapi hanya sampai disitulah kemampuan diri kita dan hanya sampai disitulah kita mampu menikmati hakekat dari menunaikan zakat, padahal maksud dan tujuan yang hakiki dari menunaikan zakat lebih dari itu semua.

 

c.        Manusia atau termasuk juga diri kita bisa saja memaknai perintah menunaikan zakat yang telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk mencari nilai atau pahala dari menunaikan zakat yang kita laksanakan.Sehingga nilai atau pahala lah yang menjadi tujuan kita melaksanakan perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Jika konsep ini yang lakukan saat menunaikan zakat berarti kita melaksanakan kewajiban tersebut sebatas untuk mendapatkan iming-iming atau hadiah berupa pahala yang pada akhirnya kita tidak akan menikmati hadirnya Allah SWT saat berzakat yang kita laksanakan, dalam hal ini kebahagiaan berpunya (memiliki sesuatu) adalah saat memberi. Lalu apakah hal ini salah? Jawabannya adalah tidak, tetapi hanya sampai disitulah kemampuan diri kita dan hanya sampai disitulah kita mampu menikmati hakekat dari berzakat, padahal makna dan hakekat dari zakat lebih dari itu semua.

 

d.       Manusia atau termasuk diri kita juga bisa saja memaknai perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT melaksanakan kewajiban sekedar untuk menyenang-kan pemberi perintah. Sehingga kita tidak pernah merasakan hakekat yang terdapat di balik perintah menunaikan zakat. Selesai melaksanakan kewajiban maka selesai sudah kita menunaikan zakat tanpa memperoleh makna yang hakiki dari menunaikan zakat kita laksanakan. Lalu apakah hal ini salah? Jawabannya adalah tidak, tetapi hanya sampai disitulah kemampuan diri kita dan hanya sampai disitulah kita mampu menikmati hakekat dari berzakat, padahal makna yang hakiki dari menunaikan zakat lebih dari itu.

 

e.        Manusia atau termasuk diri kita juga bisa saja memaknai perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT sebagai sebuah kebutuhan yang hakiki bagi diri kita. Jika konsep ini  mampu kita laksanakan berarti kita mampu melihat apa-apa yang terdapat dibalik perintah menunaikan zakat  atau kita mampu melihat ada sesuatu yang luar bisa yang siap kita rasakan  atau akan kita dapatkan dari berzakat yang kita laksanakan. Jika ini kondisinya maka dapat dipastikan orang yang melaksanakan perintah menunaikan zakat sebagai sebuah kebutuhan maka ia akan menunaikan zakat secara suka rela tanpa keterpaksaan (ikhlas) bahkan merasa bahagia saat melaksanakannya serta merasakan hasilnya sepanjang hayat masih di kandung badan untuk kepentingan diri kita sendiri dan juga bagi para mustahik yang pada akhirnya mampu menunjukkan kesalehan pribadi di dalam bentuk kesalehan sosial.

 

Jika kita mampu menempatkan dan meletakkan bahwa menunaikan zakat yang telah diperintahkan oleh Allah SWT sebagai sebuah kebutuhan hakiki diri maka secara tidak langsung kita sudah melaksanakan Rukun Islam, kita juga sudah melaksanakan kewajiban menunaikan zakat, kita sudah pula menyenangkan Allah SWT dengan melaksanakan kewajiban, kita sudah pula mendapatkan nilai dari apa yang kita laksanakan. Akan tetapi jika kita tidak menjadikan puasa sebagai sebuah kebutuhan, maka hanya sebatas itulah yang kita dapatkan.

 

Selain daripada itu, jika kita mampu menunaikan zakat sebagai sebuah kebutuhan berarti kita mampu meletakkan dan menempatkan diri kita dihadapan Allah SWT, sebagai makhluk yang tidak memiliki apapun juga namun mempergunakan, memakai apa-apa yang telah diciptakan oleh Allah SWT seperti udara, air, tumbuhan, ruh, jasmani dan lain sebagainya. Jika ini mampu kita laksanakan maka konsep menunaikan zakat yang kita laksanakan adalah menunaikan hak Allah SWT untuk kepentingan mustahik dikarenakan semua yang ada di muka bumi adalah milik Allah SWT dan diciptakan oleh Allah SWT.

 

Allah SWT selaku pemberi perintah untuk menunaikan zakat, mempersilahkan diri kita untuk memilih makna dan hakekat dari perintah yang telah diperintahkan-Nya. Ingat, pilihan dari memaknai melaksanakan perintah yang telah diperintahkan  akan memberikan dampak yang berbeda beda pula. Awas jangan sampai kita salah memaknai perintah Allah SWT untuk menunaikan zakat yang sudah berlaku di langit dan di bumi ini sampai dengan hari kiamat kelak. Semakin baik kita memiliki ilmu tentang zakat maka semakin baik dan berkualitas pula pemahaman, penghayatan dan pengamalan diri kita berkenaan dengan zakat. 

 

Saat ini di langit dan di bumi yang diciptakan dan dimiliki Allah SWT, memiliki ketentuan yang termaktub dalam surat Al Baqarah (2) ayat 83 di atas, lalu apa yang harus kita sikapi? Jika kita merasa orang yang menumpang yang tahu diri, jika kita merasa tamu yang tahu diri, jika kita merasa khalifah yang tahu diri, maka sudah seharusnya kita melaksanakan segala ketentuan, segala hukum, segala undang-undang, segala peraturan Allah SWT yang berlaku di muka bumi, termasuk di dalamnya perintah menunaikan zakat. Adanya kondisi ini berarti kita tidak bisa seenaknya saja hidup di muka bumi ini.

 

Perintah menunaikan zakat, seperti halnya perintah mendirikan shalat, juga bukan tujuan akhir dari pelaksanaan perintah itu sendiri. Perintah menunaikan zakat adalah sarana, alat bantu, media bagi diri kita untuk mendapatkan dan merasakan langsung manfaat yang ada dibalik perintah menunaikan zakat, sehingga hanya pribadi-pribadi tertentulah yang bisa merasakan nikmatnya menunaikan zakat. Ingat, kenikmatan memiliki sesuatu baru bisa kita rasakan setelah diri kita memberikan sesuatu kepada orang lain (maksudnya adalah nikmatnya berpunya bukan pada saat kita memiliki sesuatu melainkan saat bisa berbagi kepada orang lain).

 

Allah SWT sampai kapanpun juga tidak butuh dengan zakat yang kita tunaikan, karena Allah SWT sudah maha  dan akan maha selamanya. Sehingga semuanya terpulang kepada diri kita, mau menunaikan zakat ataupun tidak tidak mau menunaikan zakat. Zakat yang kita tunaikan tidak akan mempengaruhi sedikitpun kebesaran dan kemahaan Allah SWT karena yang rugi jika tidak mau menunaikan zakat sehingga yang butuh menunaikan zakat adalah diri kita sendiri.

 

Sebagai khalifah yang membutuhkan untuk menunaikan zakat berarti kitalah yang butuh dengan orang orang yang berhak menerima zakat (mustahik) dan jika kita yang butuh kepada mustahik berarti orang orang yang berhak menerima zakat ini tidak memiliki kewajiban untuk menemui diri kita selaku yang wajib menunaikan zakat. Namun kitalah yang wajib menemui mereka karena kita yang butuh kepada mereka untuk menunaikan zakat sebagai sebuah kebutuhan. Dan dengan diri kita yang menemui mereka berarti kita telah mengangkat derajat mereka walaupun mereka hanyalah penerima zakat. Hal ini tidak akan terjadi jika mereka (orang yang menerima zakat/mustahik) yang mendatangi diri kita saat kita menunaikan zakat sebagai sebuah kebutuhan.

 

2.       Zakat Adalah Hak Allah SWT Yang Harus Ditunaikan. Sebagaimana telah kita imani bahwa Allah SWT lah yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya dengan Hak dan jika Allah SWT yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya dengan hak berarti Allah SWT pasti memiliki kehendak, pasti memiliki kemampuan serta pasti memiliki Ilmu yang sangat hebat dalam satu kesatuan. Hal yang samapun berlaku terhadap keberadaan seluruh umat manusia, termasuk di dalamnya keberadaan orang tua kita, diri kita, anak dan kerurunan kita di langit dan di bumi Allah SWT, yang tidak  datang dengan sendirinya. Semuanya ada karena ada yang menciptakan, dalam hal adalah Allah SWT yang berarti keberadaan manusia, termasuk di dalamnya keberadaan diri kita, tidak akan mungkin bisa dilepaskan dari adanya kehendak Allah SWT, adanya kemampuan Allah SWT serta adanya ilmu Allah SWT yang sangat hebat dalam satu kesatuan.

 

Dan jika ini adalah kondisi dasar dari Allah SWT saat menciptakan manusia, dan juga saat menciptakan langit dan bumi  berarti keberadaan langit dan bumi serta umat manusia di dunia ini bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba, bukan pula sesuatu yang bersifat insidentil, tanpa ada perencanaan yang matang, tanpa ada maksud dan tujuan yang jelas, melainkan sudah direncanakan dengan matang oleh Allah SWT untuk dijadikan sebagai khalifah di muka bumi, untuk dijadikan sebagai perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi, atau untuk menjadi wakil  Allah SWT di muka bumi.

 

Timbul pertanyaan, apa buktinya keberadaan diri kita sudah direncanakan dengan matang oleh Allah SWT? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita perhatikan hal-hal yang kami kemukakan di bawah ini dengan seksama, yaitu:

 

a.        Untuk itu renungkanlah keberadaan jasmani diri kita sendiri yang begitu canggih, yang begitu sempurna jaringan sel-sel syarafnya, lalu perhatikan pula ginjal, jantung, pankreas, otak dengan segala jaringannya dan lain sebagainya, yang begitu hebat keberadaannya, yang tentunya sudah dipersiapkan oleh Yang Maha Hebat pula.

 

b.       Untuk itu renungkanlah keberadaan ruh/ruhani diri kita yang berasal dari Nur Allah SWT, yang prosesnya berbeda dengan jasmani. Jasmani diciptakan, sedangkan ruh/ruhani ditiupkan yang berarti ruh/ruhani sebelum ditiupkan (dipersatukan) dengan jasmani sudah ada terlebih dahulu, yaitu ada pada peniupnya, dalam hal ini Allah SWT.

 

c.        Untuk itu renungkanlah Amanah yang 7 yang terdiri dari Qudrat, Iradat, Ilmu, Kalam, Hayat, Sami’, Bashir yang tidak lain bagian atau tetesan dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT yang termaktub di dalam sifat Ma’ani Allah SWT, yang sekarang telah menjadi modal dasar bagi diri kita saat menjadi khaliafah Allah SWT di muka bumi.

 

d.       Untuk itu renungkanlah sibghah Asmaul Husna yang menjadi sifat dari ruh/ruhani kita, sehingga diri kita memiliki celupan perbuatan-perbuatan yang termaktub di dalam Nama-Nama Allah SWT Yang Indah. 

 

e.        Untuk itu renungkanlah keberadaan Hubbul yang 7 yang terdiri dari Hubbul Syahwat, Hubbul Jam’i, Hubbul Hurriyah, Hubbul Maal, Hubbul Istitlaq, Hubbul Riasah, Hubbul Maadah, yang tidak lain adalah motor (energy) penggerak bagi diri kita untuk melaksanakan kekhalifahan Allah SWT di muka bumi ini.

 

f.         Untuk itu perhatikanlah hati ruhani tempat diletakkannya akal dan perasaan serta kehendak sehingga diri kita mampu merasakan apa yang dinamakan dengan ketenangan jiwa atau merasakan nikmatnya bertuhankan Allah SWT.

 

g.        Untuk itu lihat dan perhatikanlah apa yang dinamakan dangan Diinul Islam yang tidak lain konsep ilahiah untuk mensukseskan manusia melaksanakan tugas sebagai khalifah yang sesuai dengan kehendak-Nya.

 

h.       Untuk itu perhatikanlah udara, air, tumbuhan dan juga hewan yang sangat dibutuhkan oleh manusia, termasuk utuk diri kita.

 

i.         Lihatlah, lalu renungkanlah keberadaan langit yang diciptakan tanpa tiang dan juga bumi yang sudah pula dipersiapkan oleh Allah SWT untuk menjadi tempat bagi diri kita melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka bumi.

 

j.          Allah SWT juga sudah mempersiapkan dua buah tempat kembali yaitu syurga dan neraka, yang keduanya akan diisi oleh Allah SWT secara adil yang berkeadilan.

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, tahukah kita, sadarkah kita bahwa keberadaan diri kita, keberadaan langit dan bumi yang kita tempati saat ini, bukan kita yang menjadi inisiatornya, bukan pula kita yang menciptakannya, bukan pula kita yang memilikinya, atau merasakah kita menciptakan jasmani, pernahkah kita menciptakan ruhani, siapakh yang menciptakan langit, bumi, air serta udara yang kita butuhkan, atau mampukah kita menciptakan jasmani, ruhani, amanah yang 7, hati ruhani, akal, perasaan, hubbul yang 7, langit dan bumi beserta isinya serta Diinul Islam?  

 

Jika kita termasuk orang yang tahu diri, tahu siapa diri kita yang sesungguhnya dan tahu siapa Allah SWT yang sesungguhnya, yang diikuti dengan tahu aturan main dan juga tahu tujuan akhir,  maka kita harus menyatakan bahwa diri kita ada karena ada yang menciptakan. Jasmani, Ruh/Ruhani, Amanah yang 7, Hubbul yang 7, akal, perasaan ada karena ada yang menciptakan; langit dan bumi beserta isinya ada karena ada yang menciptakan. Dan jika hal-hal yang kami sebutkan di atas ini kami jadikan asumsi atas keberadaan diri kita di muka bumi ini, maka akan kita dapatkan beberapa pernyataan, sebagai berikut :

 

a.        Ciptaan adalah hasil dari suatu kehendak, kemampuan serta ilmu dari pencipta untuk suatu maksud  dan tujuan tertentu sehingga dapat dikatakan bahwa manusia atau diri kita adalah hasil dari suatu proses kehendak, kemampuan serta ilmu Allah SWT untuk sesuatu maksud dan tujuan tertentu, dalam hal ini adalah kekhalifahan di muka bumi.

 

b.       Setiap ciptaan tidak akan mungkin mendahului penciptanya sehingga pencipta harus selalu lebih dahulu ada dari apa-apa yang diciptakannya.

 

c.        Pencipta tentu akan bertanggung jawab kepada ciptaannya; Pencipta tentu akan selalu mengawasi ciptaannya; Pencipta tentu akan selalu memelihara dan menjaga dari segala sesuatu agar ciptaannya terjaga dengan baik dan benar sesuai dengan konsep awal sewaktu merencanakan ciptaannya; demikian seterusnya sepanjang ciptaan mau diperhatikan, sepanjang ciptaan mau menerima, sepanjang ciptaan mau sesuai dengan keinginan pencipta maka pencipta akan terus bertanggung jawab kepada ciptaannya.

 

d.       Kita tidak bisa mensejajarkan diri dengan Allah SWT. Pencipta dan ciptaan tidaklah sama kedudukannya. Pencipta tetaplah pencipta. Ciptaan tetaplah ciptaan sehingga tidak akan mungkin terjadi ciptaan mampu menciptakan pencipta dan juga mampu mendahului pencipta serta kita juga tidak bisa hidup seenaknya saja tanpa menghiraukan ketentuan dan jangka waktu yang telah ditetapkan Allah SWT selaku pencipta.

 

Selanjutnya jika ini adalah keadaannya maka antara langit dan bumi serta antara diri kita dengan Allah SWT tidak bisa dipisahkan begitu saja. Akan tetapi antara langit dan bumi serta antara diri kita dengan Allah SWT memiliki hubungan yang tidak terpisahkan oleh sebab apapun juga serta sampai dengan kapanpun juga. Jika ini kondisi dasar dari diri kita, lalu punya apakah diri kita saat hadir ke muka bumi ini? Jika kita termasuk orang yang sudah sadar diri maka kita wajib mengatakan kita tidak mempunyai apapun saat ada di muka bumi dan jika saat ini diri kita memiliki Jasmani yang begitu hebat, Ruh/Ruhani, Amanah yang 7, Hubbul yang 7, Hati, Perasaan, Akal, pasti ada yang memberikan, dalam hal ini adalah Allah SWT.

 

Tidak dapat dipungkiri bahwa saat pertama kali kita hadir di muka bumi ini, kita tidak memiliki apapun juga, kita miskin, kita hina dan kita ada karena diciptakan oleh Allah SWT. Akan tetapi setelah menjadi penumpang yang sedang menumpang, setelah menjadi tamu di muka bumi yang tidak pernah kita ciptakan, dan setelah menjadi khalifah di muka bumi yang dimiliki Allah SWT, kita mampu memiliki apapun juga, melalui apa-apa yang telah diberikan oleh Allah SWT dan melalui apa-apa yang dimiliki oleh Allah SWT, sehingga saat ini kita mampu memiliki apa yang dinamakan dengan kekayaan, jabatan, pangkat, kedudukan, saat hidup di dunia.

Timbul pertanyaan, jika kita tidak memiliki apa-apa, lalu sekarang bisa memiliki harta kekayaan, bisa memiliki jabatan, bisa memiliki pangkat dan kedudukan, apakah mungkin ini terjadi begitu saja jika kita tidak memiliki sesuatu yang begitu hebat yang berasal dari Allah SWT? Untuk itu perhatikanlah diri kita sendiri, mampukah kita memperoleh kekayaan, mampukah kita memperoleh pangkat dan jabatan dan lain sebagainya :

 

a.            jika kita tidak memiliki jasmani kita yang begitu canggih, yang begitu sempurna jaringan sel-sel dan syarafnya;

b.            jika kita tidak memiliki Ruh/Ruhani yang berasal dari Nur Allah SWT;

c.            jika kita tidak memiliki Amanah yang 7 (qudrat, iradat, ilmu, sami’, bashir, kalam, hayat) yang tidak lain bagian dari sifat Ma’ani Allah SWT;

d.            jika kita tidak memiliki Hubbul yang 7 (hubbul syahwat, hubbul maal, hubbul maadah; hubbul istitlaq; hubbul riasah; hubbul jam’i; hubbul hurriyah) yang tidak lain adalah motor penggerak bagi diri kita untuk melakukan sesuatu;

e.            jika kita tidak memiliki akal dan perasaan sehingga diri kita mampu merasakan apa yang dinamakan dengan ketenangan jiwa atau merasakan nikmatnya bertuhankan Allah SWT;

f.             jika kita tidak diberikan Diinul Islam yang tidak lain konsep ilahiah untuk kemudahan bagi manusia melaksanakan tugas sebagai Khalifah; serta

g.            jika kita tidak diberikann air, udara, tumbuhan, hewan yang begitu kita butuhkan saat hidup di muka bumi?

 

Sebagai orang yang datang ke muka bumi yang tidak bisa berbuat apa apa dan juga tidak memiliki apa apa. Bahkan saat ini selalu mempergunakan dan mendayagunakan seperti air dan udara serta bahkan mengakui apa apa yang diciptakan oleh Allah SWT seperti mengakui kepemilikan lahan atau tanah.

 

Lalu pernahkah kita membayangkan jika Allah SWT selaku pencipta air dan juga ginjal meminta bayaran setiap cc air yang diproses oleh ginjal dengan nilai tertentu. Sanggupkah kita membayar udara yang kita hirup selama ini? Mampukah kita membayar setiap detak jantung yang memompa darah dan udara (oksigen) keseluruh tubuh kita? Masih banyak lagi fasilitas yang kita pakai dan pergunakan yang kesemuanya diciptakan oleh Allah SWT. Kita tidak akan sanggup membayar itu semua.

 

Saat ini Allah SWT sudah menetapkan adanya ketentuan untuk menunaikan zakat kepada orang orang yang telah memenuhi Nishab dan Haul,  apakah hal ini wajar, apakah hal ini patut atau apakah memang sudah seharusnya kita menunaikan zakat karena kita tidak pernah menciptakan dan memiliki apa apa yang ada di langit dan di muka bumi ini dan bahkan  kita mempergunakan air dan udara yang Allah SWT miliki? Berdasarkan akal sehat yang kita milki, kita tidak akan mampu mengolah, kita tidak akan mampu mendayagunakan segala apa yang ada di langit dan di bumi menjadi harta kekayaan, atau tanpa memiliki apa-apa yang kami kemukakan di atas, kita tidak akan mungkin mampu menjadikan diri kita memiliki kedudukan, harta, pangkat dan jabatan saat hidup di muka bumi ini.

 

Sekarang jika kita tidak mampu melakukan hal itu semua, lalu siapakah yang mampu memberikan itu semua kepada diri kita? Berdasarkan surat Yunus (10) ayat 31 “Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka Katakanlah “Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” dan juga berdasarkan hadits yang kami kemukakan sebagaimana berikut ini: Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi saw bersabda: Allah ta’ala berfirman: Wahai anak Adam! Jika engkau ingat kepada-Ku, Aku ingat kepadamu dan bila engkau lupa kepada-Ku, Akupun ingat kepadamu. Dan jika engkau ta’at kepada-Ku pergilah kemana saja engkau suka, pada tempat dimana Aku berkawan dengan engkau dan engkau berkawan dengan da-Ku, Engkau berpaling dari pada-Ku padahal Aku menghadap kepadamu. Siapakah yang memberimu makan dikala engkau masih janin di dalam perut ibumu. Aku selalu mengurusmu dan memeliharamu sampai terlaksanalah kehendak-Ku bagimu, maka setelah Aku keluarkan engkau ke alam dunia engkau berbuat banyak maksiat. Apakah demikian seharusnya pembalasan kepada yang telah berbuat kebaikan kepadamu. (Hadits Qudsi Riwayat Abu Nasher Rabi’ah bin Ali Al-Ajli dan Arrafi’ie; 272:182)

 

Ketahuilah bahwa hanya Allah SWT sajalah yang mampu memberikan itu semua kepada diri kita dan jika ini kondisinya berarti kita harus memiliki rasa syukur, kita harus patuh dan taat kepada aturan Allah SWT karena banyak hal yang sudah diberikan Allah SWT kepada diri kita. Sekarang bagaimana dengan perintah menunaikan zakat yang telah diperintahkan oleh Allah SWT kepada diri kita?

 

Sebagai pemakai, sebagai pengelola serta sebagai pengambil manfaat dari apa-apa yang telah diciptakan oleh Allah SWT, seperti udara, air, tanaman, hewan, ruh/ruhani, jasmani, Amanah yang 7 (seperti Qudrat, Iradat, Ilmu, Kalam, Hayat, Sami’ dan Bashir), Hubbul yang 7 (seperti Hubbul Syahwat, Hubbul Maal, Hubbul Maadah, Hubbul Istitlaq, Hubbul Hurriyah, Hubbul Jam’i dan Hubbul Riasah), af’idah (perasaan), akal, dan lain sebagainya sehingga dengan itu semua kita bisa memiliki harta kekayaan, sehingga kita bisa memiliki pangkat dan jabatan maka sudah sepantasnya dan seharusnya:

 

a.       Kita harus menunaikan zakat karena memang ada hak Allah SWT di dalam harta kekayaan yang kita miliki;

b.       Kita harus menunaikan zakat sebagai bentuk rasa syukur kita karena telah diberikan banyak hal oleh Allah SWT;

c.       Kita harus menunaikan zakat sebagai bentuk rasa syukur kita karena telah menikmati, karena telah memakai, karena telah mendayagunakan apa-apa yang telah Allah SWT ciptakan saat kita hidup di muka bumi ini.

 

Jika sekarang Allah SWT selaku pencipta dan pemilik langit dan bumi memerintahkan kepada diri kita yang sudah memperoleh segala manfaat dari langit dan bumi serta telah pula merasakan manfaat dari apa-apa yang ada pada diri kita, untuk melaksanakan perintah menunaikan zakat, apakah hal ini suatu yang berlebihan ataukah suatu keharusan saat kita hidup di muka bumi yang tidak pernah sekalipun kita ciptakan? Jika kita termasuk orang yang telah tahu diri, memang sudah seharusnya kita melaksanakan perintah menunaikan zakat sesuai dengan kehendak pemberi perintah menunaikan zakat. Apa dasarnya? Hal ini dikarenakan kita bisa seperti ini di muka bumi, semuanya karena Allah SWT. Semuanya karena adanya modal dasar yang diberikan oleh Allah SWT kepada diri kita. Semuanya karena kita mempergunakan segala fasilitas yang telah Allah SWT ciptakan, sehingga kita bisa berbuat sesuatu di langit dan di bumi Allah SWT yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.

 

Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas maka dapat dikatakan bahwa perintah menunaikan zakat yang diperintahkan oleh Allah SWT bukanlah perintah untuk mengeluarkan hak fakir miskin yang ada di dalam harta kekayaan kita. Akan tetapi perintah menunaikan zakat adalah perintah untuk mengeluarkan hak Allah SWT yang ada pada harta kekayaan karena kita telah memanfaatkan segala fasilitas Allah SWT untuk kepentingan fakir miskin, atau zakat dapat menjadi bukti bahwa diri kita berguna bagi masyarakat dan juga dapat membersihkan kekayaan kita dari hak Allah SWT untuk kepentingan orang orang yang berhak menerima zakat yang besaran berdasarkan ketentuan yang berlaku.

 

Sekarang coba kita bandingkan dengan pengertian yang ada di dalam masyarakat dimana zakat sering diartikan adanya hak orang lain yang ada pada harta kekayaan kita sehingga kita wajib mengeluarkan hak orang lain itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika kita mengacu kepada ketentuan ini maka akan terasa adanya keterpaksaan di dalam diri, kita yang bekerja susah payah orang lain yang mendapatkan atau merakan hasil jerih payah kita. Sedangkan jika kita mempergunakan pendekatan zakat adalah hak Allah SWT yang harus kita tunaikan kepada orang orang yang berhak menerimanya karena memang seharusnya kita tunaikan, maka hilanglah keterpaksaan yang ada adalah keikhlasan saat menunaikannya. Adanya dua buah pengertian dasar tentang zakat, semuanya terpulang kepada diri kita, mau mempergunakan pengertian yang mana?

 

Jika mempergunakan pengertian zakat adanya hak orang lain pada harta kekayaan kita tidaklah salah, akan tetapi jika kita mempergunakan pengertian zakat adalah hak Allah SWT inilah pendekatan baru, sehingga mampu menambah wawasan keilmuan kita tentang zakat yang telah ada. Inilah konsep dasar dari apa itu zakat yang terdapat di dalam AlQuran, sekarang terserah kepada diri kita, apakah mau menunaikan hak Allah SWT ataukah tidak, karena yang membutuhkan manfaat yang hakiki dibalik perintah menunaikan zakat bukanlah Allah SWT, melainkan diri kita sendiri dan jika sampai diri kita tidak mau menunaikan zakat maka segera bersiaplah menghadapi ahwa (hawa nafsu) dan syaitan seorang diri, lalu bersiaplah merasakan ketidaknyamanan hidup di muka bumi karena Allah SWT telah lepas tangan karena ulah dari diri kita sendiri karena kita telah berada di dalam jalur kehendak syaitan. Akhirnya menjauhlah dari diri kita apa yang dinamakan hidup nyaman, aman, damai dan bersahaja di dalam kehendak Allah SWT.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar