Untuk mempertegas perintah menunaikan zakat
seperti yang telah diperintahkan oleh Allah SWT kepada diri kita, mari kita
bercermin pada kehidupan kita sebagai warganegara. Sebagai warganegara, saat
ini dapat dipastikan kita juga menikmati segala fasilitas negara, seperti
keamanan, ketertiban, jalan, jembatan, irigasi, air, listrik, gas,
transportasi, kesehatan, perumahan, dan lain sebagainya. Dan jika sekarang
negara mewajibkan warga nergaranya untuk membayar pajak apakah hal ini sesuatu
yang bersifat berlebihan? Kewajiban membayar pajak kepada negara, bukanlah
sesuatu yang berlebihan, dan bukan pula sesuatu yang memberatkan karena kita
sendiri telah menikmati seluruh fasilitas yang telah negara siapkan serta
melalui pajak inilah negara bisa membiayai segala keperluan negara dan
keperluan warga negaranya.
Sekarang mari kita pelajari lagi tentang pajak
yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari, yaitu ada istilah PTKP
(penghasilan tidak kena pajak) yaitu batas seseorang mempunyai kewajiban pajak
kepada negara, maka di dalam Zakatpun ada istilah Nishab, yaitu batas seseorang
mempunyai kewajiban untuk menunaikan Zakat dan juga Haul, yaitu jangka waktu
kepemilikan dari obyek zakat yang kita miliki.
Jika di dalam pajak ada istilah pajak
penghasilan perseorangan dan pajak penghasil badan usaha, maka di dalam zakat
juga ada istilah Zakat Fitrah dan Zakat Maal yang bersifat perseorangan dan
juga perusahaan. Jika dalam istilah pajak ada istilah Wajib Pajak yang
dikukuhkan dalam NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), maka di dalam istilah Zakat
ada istilah Muzakki, yaitu orang orang yang sudah memiliki kewajiban untuk
menunaikan zakat setelah memenuhi konsep Nishab dan Haul.
Di lain sisi, tidak semua warga negara
memiliki penghasilan yang sama besarnya, karena ada juga penduduk yang miskin
yang tidak memenuhi penghasilan tidak kena pajak. Sekarang bertanggung jawabkah
negara kepada penduduk yang miskin? Negara memiliki kewajiban untuk mengayomi,
melindungi seluruh warganya, termasuk di dalamnya untuk mengayomi, membiayai
penduduk yang miskin dan melalui pajak inilah negara membiayai penduduk yang
miskin itu. Sekarang bagaimana dengan Allah SWT kepada orang yang fakir dan
miskin?
Allah SWT juga bertanggung jawab kepada
seluruh umatnya termasuk kepada orang yang fakir dan miskin melalui perintah
menunaikan zakat, infaq dan Sedekah serta wakaf. Allah SWT memiliki cara khusus untuk
kepentingan fakir miskin melalui para hambanya yang sudah memiliki kewajiban menunaikan
zakat sepanjang sudah memenuhi ketentuan Nishab dan Haul untuk menunaikan zakat
dan/atau melalui infaq dan shadaqah, atau juga melalui wakaf bagi sudah
memiliki kecukupan.
Zakat dapat dikatakan sebagai media Allah SWT
untuk mengangkat derajat bagi orang orang yang tidak mampu melalui orang orang
yang mampu sehingga terjadilah saling tolong menolong antar umat manusia yang
pada akhirnya membawa kemakmuran bersama. Lalu Allah SWT melalui surat At
Taubah (9) ayat 60 yang kami kemukakan berikut ini: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[647].”
[647] Yang berhak menerima zakat Ialah: 1. Orang
fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga
untuk memenuhi penghidupannya. 2. Orang miskin: orang yang tidak cukup
penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang
diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir
yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih
lemah. 5. Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang
ditawan oleh orang-orang kafir. 6. Orang berhutang: orang yang berhutang karena
untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun
orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya
itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. Pada jalan Allah
(sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di
antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga
kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan
lain-lain. 8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami
kesengsaraan dalam perjalanannya.
Allah SWT telah menegaskan tentang siapa siapa
saja yang berhak berhak menerima Zakat (Mustahik) yang terdiri dari: orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan.
Jika yang berhak menerima zakat sudah
ditentukan oleh Allah SWT berarti yang tidak termasuk dalam golongan yang
berhak menerima zakat dapat dikatakan bahwa orang orang tersebut adalah orang
orang yang wajib menunaikan zakat (Muzakki) sepanjang Nishab dan Haulnya
tercapai. Sekarang dimanakah posisi diri kita, apakah yang berhak menerima zakat
ataukah yang diwajibkan untuk menunaikan zakat? Mudah mudahan kita termasuk orang
orang yang mampu menunaikan zakat sesuai dengan kehendak Allah SWT. Amien.
Mari kita perhatikan surat Qashshas (28) ayat
77 berikut ini: “Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.” Allah SWT selaku pencipta dan pengutus diri
kita untuk melaksanakan kekhalifahan di muka bumi, tidak melarang diri kita
untuk memiliki harta yang banyak.
Allah SWT justru memerintahkan kepada diri
kita untuk mencari apa-apa yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada diri kita
sebanyak mungkin untuk kebahagiaan hidup di akhirat kelak dengan tidak
melupakan bahagian untuk kepentingan dunia. Hal ini sebagaimana dikemukakan
dalam hadits berikut ini: “Bukanlah engkau termasuk orang baik, jika kamu meninggalkan urusan
dunia karena akhirat, dan tidak pula kamu dinamakan orang baik, kalau kamu
meninggalkan akhirat karena dunia. Tetapi yang baik itu ialah yang mengerjakan
kedua duanya, karena dunia ini adalah jalan untuk mencapai kebahagiaan di
akhirat nanti. Dan janganlah kamu (karena kefakiran/kemiskinan) menjadi beban
orang lain.” (Hadits Riwayat Ibnu Asakir)
Adanya kondisi ini, kita harus bisa
menselaraskan dan juga menserasikan antara kepentingan akhirat dan juga
kepentingan dunia saat hidup di muka bumi ini. Kita tidak hanya mementingkan
kehidupan akhirat dengan mengorbankan kehidupan dunia melalui harta yang kita
miliki. Demikian pula kita tidak bisa hanya mementingkan kehidupan dunia semata
dengan mengorbankan kehidupan akhirat.
Sekarang ketentuan di atas sudah berlaku di
muka bumi ini, sebagai khalifah yang sudah tahu diri tentu kita harus bisa
melaksanakan ketentuan di atas dengan sebaik mungkin. Lalu apa hubungannya
antara keselarasan dan keserasian kehidupan dunia dan kehidupan akhirat
ditinjau dari sisi diperbolehkannya diri kita mencari harta sebanyak mungkin
dengan perintah menunaikan zakat? Perintah menunaikan zakat yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT tidak bisa dipisahkan dengan keselarasan dan
keserasian antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat yang kita laksanakan
karena untuk dapat menselaraskan dan menserasikan kehidupan dunia dan kehidupan
akhirat kita tidak bisa terlepas dari segala fasilitas yang telah Allah SWT
berikan kepada diri kita karena kita tidak mampu membuat itu semua untuk
kepentingan kita sendiri.
Adanya kondisi ini maka sudah sepatutnya dan
sepantasnyalah kita yang sudah menumpang di langit dan di muka bumi Allah SWT
ini menunaikan zakat dalam rangka untuk kebaikan hidup di dunia dan kebaikan
hidup di akhirat kelak. Selain daripada itu, sebagai khalifah yang sedang menjalankan
tugas di muka bumi, sudah sepatutnya kita memiliki ilmu tentang zakat yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT. Untuk itu mari kita sungguh sungguh
mempelajari dan memiliki ilmu tentang zakat karena kita hidup langit dan di
bumi yang memiliki aturan dan ketentuan yang berasal dari Allah SWT.
Berikut ini akan kami kemukakan beberapa
pengertian dasar daripada zakat dimaksud yang kami tinjau dari sisi tersurat
dan juga dari sisi tersirat dan juga dari sisi tersembunyi, yaitu:
A.
ZAKAT DALAM ARTI TERSURAT.
Berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat yang berlaku saat ini, zakat didefinisikan sebagai
harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk
diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam yang
berlaku. Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa hanya orang muslim atau
yang beragama Islam sajalah yang wajib mengeluarkan atau menunaikan zakat.
Zakat ditinjau
dari segi bahasa, merupakan kata dasar (mashdar) dari “zakaa” yag
berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik. Sesuatu itu “zakaa” berarti
sesuatu itu tumbuh dan berkembang, dan seseorang itu “zakaa”, berarti
orang itu baik. Dari kata “zakaa”, menjadi kata “zakat”, yaitu sesuatu
yang dikeluarkan oleh manusia dari sebagian hak Allah SWT, untuk disalurkan
kepada yang berhak menerimannya (mustahik). Dinamakan demikian karena padanya
ada harapan mendapat berkah atau membersihkan jiwa atau menumbuhkannya dengan
kebaikan dan berkah.
Zakat masih
menurut bahasa juga berarti berkembang dan suci yang berarti membersihkan jiwa/mengembangkan
keutamaan-keutamaan jiwa dan menyucikannya dari dosa-dosa dengan menginfakkan
harta di jalan Allah SWT dan menyucikannya dari sifat kikir, bakhil, dengki,
dan lain-lain. Untuk itu mari kita pelajari
beberapa beberapa makna atau pengertian zakat yang berlaku saat ini, yaitu antara
lain :
1.
Zakat bermakna At-Thohuru (Membersihkan
atau Mensucikan). Zakat bermakna membersihkan atau mensucikan maksudny adalah dengan
menunaikan zakat sebagai Hak Allah SWT berarti kita telah membersihkan atau mensucikan harta dan jiwa
kita (maksudnya Ruh/Ruhani diri kita sendiri). Allah SWT berfirman: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo’alah
untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (surat At-Taubah (9) ayat 103). Bersihnya
harta yang kita miliki maka bergunalah diri kita bagi orang lain sehingga
terlaksanalah Habblumminanass dan juga tampillah keshalehan pribadi dalam
bentuk keshalehan sosial.
Bersihnya harta maka bersih pula sumber penghasilan diri kita
dalam kerangka untuk membiayai kehidupan diri kita, keluarga, anak keturunan.
Sedangkan bersihnya jiwa (kembali fitrah) maka perbuatan perbuatan diri kita
sesuai dengan Nilai Nilai Ilahiah yang berasal dari sifat alamiah ruh/ruhani
yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
2.
Zakat bermakna Al-Barakatu (Berkah).Zakat bermakna berkah maksudnya adalah dengan
menunaikan zakat sebagai Hak Allah SWT maka harta yang telah bersih setelah
ditunaikan zakatnya maka hartanya tersebut akan
selalu dilimpahkan keberkahan oleh Allah SWT. Kemudian keberkahan harta ini
akan berdampak kepada keberkahan hidup. Keberkahan ini lahir karena harta yang
kita gunakan adalah harta yang suci dan bersih, sebab harta kita telah
dibersihkan dari kotoran dengan menunaikan zakat yang hakekatnya
berfungsi untuk membersihkan dan mensucikan harta.
3.
Zakat bermakna An-Numuw (Tumbuh dan
Berkembang). Zakat bermakna tumbuh dan berkembang
maksudnya adalah dengan menunaikan zakat sebagai Hak Allah SWT maka harta yang
telah dibersihkan akan selalu terus tumbuh dan
berkembang. Hal ini dikarenakan dengan menunaikan zakat maka zakat itulah yang
menjadi pupuk bagi tumbuh dan berkembangnya harta yang telah dibersihkan. Tentu
kita tidak pernah mendengar orang yang selalu menunaikan zakat dengan ikhlas
karena Allah SWT, kemudian banyak mengalami masalah dalam harta dan usahanya,
baik itu kebangkrutan, kehancuran, kerugian usaha, dan lain sebagainya. Tentu
kita tidak pernah mendengar hal seperti itu, yang ada bahkan sebaliknya.
Menurut ilmu Allah SWT yang Maha Pemberi rezeki, zakat yang kita keluarkan
tidak mengurangi harta kita, bahkan menambah harta kita dengan berlipat
ganda.
Allah SWT
berfirman: “Dan sesuatu riba
yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk mencapai keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipat gandakan
.” (Suarat Ar Rum (30) ayat 39). Dalam
ayat ini Allah SWT berfirman tentang zakat yang sebelumnya didahului dengan
firman tentang riba. Dengan ayat ini Allah Maha Pemberi Rezeki menegaskan bahwa
riba tidak akan pernah melipat gandakan harta manusia, yang sebenarnya dapat
melipat gandakannya adalah dengan menunaikan zakat.
4.
Zakat bermakna As-Sholahu (Beres atau
Keberesan). Zakat bermakna beres atau keberesan
maksudnya adalah dengan menunaikan zakat sebagai Hak Allah SWT maka harta yang
telah dibersihkan akan selalu beres dan jauh dari masalah. Hal ini berlawanan dengan
orang yang tidak mau menunaikan Zakat dimana di dalam hartanya masih terdapat
sesuatu yang kotor. Kekotoran yang ada di dalam harta inilah yang akan
mendatangkan musibah atau masalah bagi pemiliknya, misalnya kebangkrutan,
pencurian, perampokan, hilang, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan mereka
lalai dan abai menunaikan zakat yang sudah diperintahkan oleh Allah SWT.
Itulah empat buah
pengertian dasar dari zakat dalam arti yang tersurat, kemudian sudahkah kita
memahami ke empatnya? Keempat pengertian dasar dari zakat yang kami kemukakan
di atas bukanlah pengertian yang berdiri sendiri sendiri, melainkan pengertian
yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Apa maksudnya? Maksudnya adalah
dengan diri kita menunaikan zakat maka ke empat pengertian dari zakat secara
sekaligus telah kita laksanakan termasuk juga kita telah menunaikan zakat
sesuai dengan pengertian zakat berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia
No.23 tahun 2011 sepanjang Nishab dan Haulnya tercapai.
B.
ZAKAT
DALAM ARTI TERSIRAT
Zakat selain
memiliki arti tersurat seperti yang telah kami kemukakan di atas, zakat juga
memiliki beberapa pengertian dalam arti tersirat seperti yang akan kami
kemukakan di bawah ini, yaitu :
1.
Zakat
Adalah Hasil Dari Habbluminallah Yang Tercermin Dalam Habbluminannas. Berdasarkan surat Al Bayyinah (98) ayat 5 yang
kami kemukakan berikut ini: “Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” perintah mendirikan shalat dengan perintah
menunaikan zakat adalah dua perintah Allah SWT yang telah diperintahkan yang
tidak bisa dipisahkan antara perintah yang satu dengan perintah yang lainnya
sehingga kedua perintah tersebut wajib kita laksanakan. Perintah mendirikan
Shalat bermakna ibadah yang bersifat Habblumminallah, sedangkan perintah
menunaikan zakat adalah ibadah yang bermakna Habblumminanass.
Jika kita
termasuk orang yang mampu menjalankan agama yang lurus maka melaksanakan
Habblumminallah tidak bisa dipisahkan dengan pelaksanaan Habblumminanass.
Adanya ketentuan ini maka dapat dikatakan menunaikan zakat adalah hasil
dari pelaksanaan Habblumminallah, atau zakat
dapat dikatakan bukti dari pelaksanaan Habblumminallah yang tercermin dalam
Habblumminanass, sehingga diri,
keluarga, masyarakat, bangsa, negara mampu merasakan buah dari hasil kedekatan
kita kepada Allah SWT atau dengan kata lain keberadaan diri kita di tengah
masyarakat bukanlah menjadi beban bagi masyarakat melainkan berkah bagi masyarakat.
Sekarang apa terjadi jika kita hanya mampu
melaksanakan Habblumminallah saja (hanya mampu mendirikan shalat saja), namun
kita tidak mau menunaikan zakat setelah nishab dan haul terpenuhi? Jika ini
terjadi pada diri kita berarti :
a.
Kita telah memisahkan
konsep Habblumminallah dengan konsep Habblumminanass, padahal keduanya tidak
bisa dipisahkan dan juga keduanya harus berjalan seiring dan sejalan.
b.
Kita telah keluar
dari konsep sesuatu diciptakan secara berpasang pasangan seperti ada kaya ada miskin,
ada kurang ada lebih, ada menerima ada memberi. Dengan diri kita tidak mau menunaikan zakat berarti
kita telah keluar dari konsep tersebut.
c.
Kita tidak mampu
menjadi orang yang seimbang karena hanya mampu menerima sesuatu tanpa bisa
memberi sesuatu atau dengan kata lain kita sendiri telah menempatkan diri
sendiri sebagai peminta minta atau menjadikan diri kita sebatas mustahik padahal
jati diri kita yang sesungguhnya adalah muzakki atau yang memberi.
d.
Kita telah keluar
dari konsep lampu menyala yang seharusnya menyinari lingkungan. Hal ini
dikarenakan konsep kesalehan diri tidak tercermin dalam kesale-han sosial. Inilah
yang dinamakan dengan sikap egois, yang hanya mementingkan diri sendiri.
e.
Kita telah membuang jauh
jauh kebahagiaan atau kenikmatan memiliki harta kekayaan dengan tidak
menunaikan zakat. Hal ini dikarenakan kenikmatan berpunya atau memiliki sesuatu
ada pada saat diri kita memberi (menunaikan zakat).
f.
Kita telah
memasukkan kotoran atau racun ke dalam harta kekayaan yang kita miliki yang
lama lama bisa mempengaruhi warna dari harta kekayaan akibat dari banyaknya
kotoran yang masuk. Jika tidak cepat cepat ditunaikan zakatnya, bukan tidak
mungkin kotoran atau racun yang kita masukkan ke dalam harta kekayaan
mengakibatkan rasa dari harta kekayaan berubah menjadi harta yang tidak membawa
keberkahan.
Sebagai abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, jangan sampai diri kita
hanya mampu Habblumminallah semata, tanpa bisa membuktikannya melalui Habblum-minannass
karena resikonya sangat berat bagi diri kita dan juga bagi anak dan keturunan
kita. Semoga kita mampu melaksanakan Habblumminallah dan Habblum-minannass saat hidup di dunia karena hanya pada saat
itulah kita diberi kesempatan untuk membuktikan itu semua dihadapan Allah SWT
sebelum akhirnya kita mempertanggung jawabkan itu semua di akhirat kelak. Dan jika
semua orang mampu melaksanakan Habblumminallah
dan Habblumminannass secara selaras, serasi dan seimbang, terjadilah apa yang
dinamakan dengan gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerto raharjo, masyarakat madani
serta tidak akan terjadi apa yang dinamakan dengan kesenjangan sosial.
Dan jika sekarang
yang terjadi adalah sebaliknya, seperti jurang yang kaya dan yang miskin sangat
jauh, korupsi, kolusi serta nepotisme semakin merajalela, ketidakadilan semakin
menjadi-jadi, kampanye hitam semakin tumbuh subur, berarti Diinul Islam yang
telah kita lakukan belum sesuai dengan kehendak Allah SWT, atau ada sesuatu
yang salah di dalam Diinul Islam yang kita lakukan, terutama saat mendirikan
shalat dan menunaikan zakat. Introspeksilah diri merupakan langkah awal untuk
memperbaiki itu semua. Ayo jangan pernah menunda nunda perbuatan baik.
2.
Zakat Adalah Benteng
Dari Gangguan Syaitan. Berdasarkan ketentuan yang ada di dalam surat Al Israa’
(17) ayat 64 berikut ini: “Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan
ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang
berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri
janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka
melainkan tipuan belaka[861].”
[861] Maksud ayat ini ialah Allah memberi kesempatan
kepada iblis untuk menyesatkan manusia dengan segala kemampuan yang ada
padanya. Tetapi segala tipu daya syaitan itu tidak akan mampu menghadapi
orang-orang yang benar-benar beriman.
Salah satu pintu
masuk syaitan untuk menggoda diri kita adalah melalui pintu harta kekayaan yang
kita miliki, atau hanya melalui zakat yang kita tunaikan maka kesempatan
syaitan untuk mengganggu, untuk menggoda diri kita melalui pintu harta kekayaan
menjadi tertutup karena harta kekayaan yang yang kita miliki telah kita
bersihkan melalui zakat.
Timbul
pertanyaan, ada apa dengan harta kekayaan yang kita miliki sehingga menjadi
pintu masuk bagi syaitan untuk menggoda diri kita? Seperti kita ketahui bersama
bahwa di dalam harta kekayaan yang kita miliki, ada hak Allah SWT yang harus
kita tunaikan kepada orang orang yang berhak menerimanya (mustahik). Adanya
kondisi ini berarti ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu ada orang yang mau
menunaikan hak Allah SWT sehingga bersihlah harta kekayaan yang dimilikinya dan
ada orang yang tidak mau menunaikan hak Allah SWT sehingga kotorlah harta kekayaan
yang dimilikinya.
Sekarang yang
manakah kondisi harta kekayaan yang kita miliki, apakah yang sudah bersih
ataukah yang masih kotor? Hal yang harus kita ingat adalah syaitan berkehendak
kepada diri kita agar harta kekayaan yang kita miliki kotor (masih tercampur
dengan Hak Allah SWT yang belum kita tunaikan), sehingga dengan kekotoran harta
yang kita miliki inilah syaitan memiliki pintu masuk untuk menggoda, dan
mengganggu diri kita saat melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka bumi yang
akhirnya mengakibatkan kefitrahan Ruh/Ruhani menjadi kotor.
Semakin bersih harta
kekayaan/penghasilan yang kita miliki maka semakin kecil pintu masuk bagi syaitan
untuk menggoda diri kita, atau dengan menunaikan zakat kita telah mempersempit
ruang gerak syaitan menggoda diri kita, atau dengan zakat kita tidak memberikan
kesempatan bagi syaitan untuk menggoda diri kita. Demikian pula sebaliknya,
semakin kotor harta kekayaan yang kita miliki karena tidak menunaikan hak Allah
SWT melalui zakat berarti kita sendirilah yang memberikan kesempatan bagi
syaitan untuk melancarkan aksinya kepada diri kita. Untuk itu jangan pernah
salahkan syaitan jika kita menjadi pecundang di dalam permainan kekhalifahan di
muka bumi ini.
Adanya kekotoran
harta yang kita miliki, atau dengan belum kita keluarkannya hak Allah SWT yang
ada pada harta kekayaan yang kita miliki. Akan terjadi apa yang dinamakan
dengan ketidaksesuaian antara diri kita dengan kondisi dan keadaan Allah SWT
yang Maha Suci, yang akan mengakibatkan komunikasi kita dengan Allah SWT
menjadi terganggu karena adanya ketidaksesuaian kondisi antara kita dengan
Allah SWT. Dalam hal ini ada sesuatu yang kotor yang masih menyertai diri kita
sedangkan Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Suci. Dan yang harus kita perhatikan
adalah kondisi inilah yang sangat ditunggu-tunggu oleh Syaitan sang laknatullah.
Untuk itu segeralah tunaikan hak Allah SWT sekarang juga dan ingat jangan
pernah menunda nunda menunaikan zakat. Semakin ditunda maka kita sendirilah
yang memberikan kesempatan bagi syaitan melaksanakan aksinya kepada diri kita
yang pada akhirnya menunda pula kebaikan bagi masyarakat.
3. Zakat Adalah Kebaikan. Berdasarkan surat
Al Baqarah (2) ayat 177 yang kami kemukakan berikut ini: “Bukanlah menghadapkan wajahmu anyan timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah,
hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta
yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka Itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.”
Zakat adalah Kebaikan. Hal ini dimungkinkan karena perintah menunaikan zakat
bukanlah tujuan akhir dari perintah yang diperintahkan Allah SWT. Zakat adalah
sarana bagi diri kita untuk memperoleh segala manfaat yang terdapat dibalik
perintah zakat. Jika kita mampu menunaikan Hak Allah SWT yang tidak lain adalah
kebutuhan diri kita sendiri berarti kita telah berbuat kebaikan kepada diri
sendiri maupun kepada keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, sesama umat
manusia. Apa maksudnya?
Menunaikan zakat tidak seperti halnya diri kita melaksanakan perintah mandi,
yaitu jika kita melaksanakan mandi dengan baik dan benar maka segala kebaikan
dari mandi yang kita laksanakan seperti sehat, bersih dan segar untuk diri kita
sendiri. Khusus untuk zakat tidak berlaku seperti itu, jika kita mampu
menunaikan zakat yang tidak lain adalah Hak Allah SWT sebagai sebuah kebutuhan
maka segala kebaikan dan manfaat dari perintah menunaikan zakat bukan hanya
untuk diri sendiri, melainkan juga memberi manfaat kepada orang banyak sehingga
zakat berdimensi sosial.
Berdasarkan uraian di atas, dengan diri kita mampu menunaikan zakat
yang sesuai dengan kehendak Allah SWT maka bersihlah harta kita sehingga harta
yang kita miliki tersebut mampu mendatangkan keberkahan serta tidak menjadi
fitnah bagi diri, keluarga serta anak keturunan di masa datang. Sekarang bagaimana dengan zakat yang juga
berarti kebaikan bagi orang lain? Disinilah letak pentingnya zakat ditinjau
diri sisi hubungan antar sesama manusia. Apa maksudnya? Seperti telah kita
ketahui bersama, tidak semua penduduk di muka bumi kaya semua, atau miskin
semua.
Di muka
bumi ada penduduk yang kaya dan ada penduduk yang miskin. Allah SWT adalah
pencipta itu semua (maksudnya pencipta seluruh manusia yang ada di muka bumi
ini), sebagai pencipta tentu Allah SWT sangat bertanggung jawab dengan
ciptaannya dan melalui perintah menunaikan zakat inilah Allah SWT berkehendak
untuk menitipkan penduduk yang miskin kepada penduduk yang kaya melalui
perintah menunaikan hak Allah SWT untuk kepentingan penduduk yang membutuhkan
pertolongan. Sehingga terjadilah kesejahteraan di muka bumi, sehingga
terjadilah pemerataan di muka bumi, sehingga berkuranglah gap antara si kaya
dengan si miskin, yang pada akhirnya bisa menghantarkan kepada kehidupan
masyarakat yang madani.
4.
Zakat
Adalah Menunaikan Janji Kepada Allah SWT.
Setiap manusia
yang ada di muka bumi ini, berdasarkan surat Al A’raf (7) ayat 172 berikut ini,
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka
menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami
(Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” telah berjanji
dengan memberikan kesaksian untuk bertuhankan kepada Allah SWT. Adanya janji
untuk bertuhankan kepada Allah SWT berarti setiap orang terikat dengan
perjanjian yang telah dilakukannya dan kemudian harus membuktikan atau memenuhi
janjinya itu kepada Allah SWT saat hidup di muka bumi ini.
Salah satu bentuk
pemenuhan janji dari perjanjian bertuhankan kepada Allah SWT tertuang di dalam
surat surat Al Baqarah (2) ayat 83 berikut ini: “Dan (ingatlah),
ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah
selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak
yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada
manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi
janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.” yaitu kita wajib
menunaikan Zakat yang tidak lain adalah Hak Allah SWT dalam rangka untuk menuhi
kebutuhan diri sendiri yang bermakna sosial kemasyarakatan.
Sebagai makhluk
yang telah menyatakan berkomitmen untuk bertuhankan kepada Allah SWT, berarti
kita harus konsekuen dengan apa yang telah kita nyatakan kepada Allah SWT
dengan cara mematuhi segala perintah dan larangan Allah SWT saat hidup di dunia
ini. Jika sekarang
Allah SWT selaku pencipta dan pemilik alam semesta ini telah memerintahkan
kepada seluruh umat manusia untuk melaksanakan Diinul Islam secara kaffah atau
Allah SWT telah memerintahkan untuk menunaikan zakat yang tidak lain adalah Hak
Allah SWT maka kita harus melaksanakan perintah Allah SWT dimaksud dalam rangka
memenuhi janji atau komitmen yang telah kita nyatakan kepada Allah SWT tersebut
tanpa ada bantahan sedikitpun.
Jika sampai diri kita
tidak mau memenuhi janji yang telah kita nyatakan atau jika kita mengkhianati
perjanjian yang telah kita lakukan berarti kita telah menjadi seorang
pengkhianat dihadapan pemilik dan pencipta diri kita sendiri. Sebagai Khalifah
yang sedang menumpang di langit dan di bumi Allah SWT tidak sepatutnya kita
berbuat demikian kepada yang menciptakan diri kita sendiri dan juga langit dan
bumi yang kita tempati saat ini.
Ingat, yang
membutuhkan manfaat dibalik perintah menunaikan zakat sebagai bukti memenuhi
janji bukanlah Allah SWT, melainkan diri
kita sendiri. Untuk itu segeralah penuhi janji janji yang telah kita nyatakan
karena setiap janji yang kita langgar pasti ada sanksinya. Sanksi bisa
diberikan di kehidupan dunia maupun di kehidupan akhirat kelak. Namun apabila
kita mampu menunaikan janji janji kita maka segala manfaat dari apa yang kita
perbuat akan dapat kita rasakan di kehidupan dunia dan di kehidupan akhirat
kelak serta sampai kepada anak dan keturunan kita kelak dalam kondisi baik lagi
dalam keberkahan.
5.
Zakat
Adalah Bukti Telah Bertaubat.
Zakat berdasarkan
surat At Taubah (9) ayat 11 berikut ini: “Jika mereka
bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang
mengetahui.” zakat adalah bukti telah bertaubat atau bukti telah kembali ke jalan
yang lurus dengan cara mendirikan shalat dan menunaikan zakat (mampu
melaksanakan Diinul Islam secara kaffah). Jika kita telah bertaubat berarti sebelum
kita bertaubat kita pasti telah melanggar apa yang telah diperintah dan juga
apa yang telah dilarang oleh Allah SWT sehingga kita berada di luar koridor
kehendak Allah SWT namun sangat sesuai dengan kehendak syaitan.
Allah SWT melalui
ketentuan yang tertuang dalam surat At Taubah (9) ayat 11 di atas ini, telah menetapkan bahwa pernyataan
bertaubat tidak bisa serta merta begitu saja dengan menyatakan diri telah
bertaubat. Allah SWT mensyaratkan harus ada buktinya yaitu melaksanakan
perintah menunaikan zakat. Apabila seseorang telah menunaikan zakat saat
bertaubat berarti orang tersebut telah
membersihkan dirinya dari harta dan jiwa yang kotor. Jika ini dilakukannya maka
secara tidak langsung ia harus pula mendirikan shalat secara berbarengan.
Ingat, shalat adalah Habblumminanallah sedangkan zakat adalah Habblumminanass
yang keduanya harus dilaksanakan secara berbarengan dalam kerangka melaksanakan
Diinul Islam secara kaffah.
Adanya syarat yang
dipersyaratkan oleh Allah SWT berarti dengan pemenuhan syarat taubat yang telah
dipenuhi oleh seseorang maka secara otomatis Allah SWT akan memudahkan orang
yang bertaubat itu kembali ke jalan yang lurus atau Allah SWT akan memudahkan
orang yang terlah bertaubat kembali ke masyarakat atau proses kembali fitrah
dimudahkan oleh Allah SWT.
Adanya syarat untuk
bertaubat dengan cara menunaikan zakat seperti yang telah dipersyaratkan Allah
SWT, sejalan dengan hadits yang kami
kemukakan berikut ini: “Hudzaifah ra,
berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Allah SWT telah mewahyukan
kepadaku: Wahai saudara para Rasul dan saudara para pemberi peringatan, berilah
peringatan kepada kaummu untuk tidak memasuki Rumah Ku (masjid) kecuali dengan
hati yang bersih, lidah yang jujur, tangan yang suci, dan kemaluan yang bersih.
Dan janganlah mereka memasuki rumah Ku (masjid) padahal mereka masih tersangkut
barang aniayaan hak hak orang lain. Sesungguhnya Aku mengutuknya selama ia
berdiri mengerjakan shalat di hadapan Ku sehingga ia mengembalikan barang
aniayaan itu kepada pemiliknya yang berhak. Apabila ia telah mengembalikannya,
maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, menjadi
penglihatannya yang dengannya ia melihat, dan ia akan menjadi salah seorang
kekasih Ku, orang pilihan Ku, dan bersanding bersama Ku bersama para Nabi, para
shiddiqin dan para syuhada di dalam syurga”, (Hadits Riwayat Abu Nu’aim, Al
Hakim, Ad Dailami dan Ibnu Asakir; 272:240) yaitu kita harus
mengembalikan seluruh barang aniayaan yang pernah kita ambil kepada pemiliknya
yang berhak sebelum beribadah kepada Allah SWT. Jika tidak, percuma saja kita shalat
yang tidak lain Habblumminallah karena Allah SWT mengutuk orang yang berdiri
dihadapan Nya sampai orang tersebut mengembalikan barang aniayaan yang pernah
diambilnya kepada pemiliknya yang berhak.
Dengan mengembalikan
barang aniayaan kepada pemiliknya yang berhak berarti diri kita telah berusaha
membersihkan apa apa yang kotor pada diri kita. Padahal kita tahu bahwa Allah
SWT adalah Dzat Yang Maha Suci sehingga bagaimana kita akan bisa menghadap kepada
Allah SWT dengan baik dan benar saat mendirikan shalat sedangkan di dalam diri
kita masih ada sesuatu yang kotor. Kita yang masih kotor pasti tidak akan bisa
mendekati atau sesuai dengan kehendak Dzat Yang Maha Suci. Adanya kekotoran
inilah yang menyebabkan gagalnya proses taubat diri kita atau susahnya diri
kita bertaubat dan jika sekarang Allah SWT memerintahkan untuk berzakat sebelum
bertaubat berarti Allah SWT berkehendak agar diri kita mudah melaksanakan
proses Habblumminallah melalui shalat yang kita dirikan sehingga mudah pula
melakukan proses Habblumminanass saat menunaikan zakat.
C. ZAKAT DALAM ARTI TERSEMBUNYI.
Zakat selain memiliki arti secara tersurat dan juga arti tersirat, zakat
juga memiliki arti secara tersembunyi. Berikut ini akan kami kemukakan 2 (dua)
buah pengertian zakat dalam arti yang tersembunyi, yaitu :
1.
Zakat Adalah
Kebutuhan Hakiki Diri. Perintah menunaikan zakat tidak terlepas dari apa yang
dikemukakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya yang terdapat di surat Al Baqarah
(2) ayat 83 berikut ini: “Dan (ingatlah), ketika Kami
mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain
Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim,
dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji
itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.”
Kemudian ketentuan di
atas diperkuat dengan adanya ketentuan Allah SWT lain yang terdapat di dalam
surat Al Baqarah (2) ayat 208 berikut ini: “Hai orang-orang
yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu
turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu.” yang
mengharuskan diri kita melaksanakan Diinul Islam secara kaffah. Adanya perintah
menunaikan zakat (melaksanakan Diinul Islam secara kaffah) yang telah
diperintahkan oleh pemilik dan pencipta langit dan bumi maka perintah itu
menjadi aturan, hukum, ketentuan, undang-undang, peraturan yang berlaku di
langit dan di muka bumi ini.
Dan jika kita merasa
tidak pernah sekalipun menciptakan dan memiliki langit dan bumi ini atau jika
kita merasa orang yang sedang menumpang di langit dan di muka bumi ini maka sudah seharusnya kita melaksanakan
aturan, hukum, ketentuan, undang-undang, peraturan yang telah diperintahkan
oleh pemilik dan pencipta langit dan bumi ini tanpa terkecuali.
Menunaikan zakat
sebagai sebuah perintah yang telah diperintahkan oleh pemberi perintah kepada
yang diperintah maka dapat dipastikan bahwa yang memerintahkan menunaikan zakat
dapat dipastikan memiliki maksud dan tujuan yang hakiki dari perintah yang
diperintahkannya. Pemberi perintah tidak memiliki kepentingan apapun atas
maksud dan tujuan yang hakiki dari apa yang diperintahkannya. Pemberi Perintah
memerintahkan sesuatu dikarenakan pemberi perintah sangat mengasihi dan
menyayangi kepada yang diperintah. Jika ini kondisi dasar dari perintah
menunaikan zakat berarti perintah yang diperintahkan oleh Allah SWT bukan untuk kepentingan Allah SWT selaku pemberi
perintah melainkan untuk yang diperintah, dalam hal ini diri kita, keluarga,
anak dan keturunan dan juga untuk seluruh umat manusia.
Untuk mempertegas
uraian di atas, katakan kita memerintahkan kepada anak untuk mandi. Lalu apakah
mandi yang menjadi tujuan dari perintah kita kepada anak ataukah sehat dan
segar yang akan dinikmati oleh anak. Perintah mandi yang kita perintahkan
kepada anak dikarenakan kita sayang kepada anak sehingga kita tidak memiliki
kepentingan apapun kepada perintah mandi tersebut selain anak merasakan sehat
dan segar melalui mandi yang di laksanakannya. Hal yang samapun berlaku kepada
perintah menuaikan zakat yang telah
diperintahkan Allah SWT.
Adanya perintah
menunaikan zakat yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT kepada diri kita berarti zakat yang diperintahkan
melalui wahyu oleh Allah SWT bukanlah tujuan akhir dari perintah yang
diperintahkan oleh Allah SWT tersebut. Perintah menunaikan zakat adalah sarana
atau alat bantu bagi yang menunaikan zakat, dalam hal ini diri kita dan setiap
orang yang beriman, untuk memperoleh manfaat dan hikmah yang hakiki yang terdapat dibalik perintah menuaikan zakat
yang diperintahkan oleh Allah SWT.
Hal yang harus kita
ketahui dan pahami dari apa apa yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al
Baqarah (2) ayat 83 dan yang kemudian
dipertegas dengan surat Al Baqarah (2) ayat 208, adalah :
a.
Manusia atau termasuk diri kita bisa saja memaknai
perintah menunaikan zakat yang telah diperintahkan oleh Allah SWT sebatas melaksanakan rukun islam semata.
Jika ini yang kita lakukan saat melaksanakan menunaikan zakat maka sebatas
itulah kita memperoleh makna dan hakekat dari perintah menunaikan zakat. Lalu
apakah hal ini salah? Jawabannya adalah tidak, tetapi hanya sampai disitulah
kemampuan diri kita dan hanya sampai disitulah kita mampu menikmati hakekat
dari melaksanakan perintah menunaikan zakat, padahal makna yang hakiki dari zakat
lebih dari itu.
b.
Manusia atau termasuk diri kita bisa saja memaknai
perintah menunaikan zakat yang telah diperintahkan oleh Allah SWT sebagai
sebuah kewajiban sehingga jika kita telah menunaikan zakat berarti kita telah
menggugurkan kewajiban berzakat atas harta kekayaan/penghasilan yang kita
miliki. Sehingga apa yang diperintahkan oleh Allah SWT kita laksanakan tanpa
melihat makna yang tersembunyi yang ada di balik perintah menunaikan zakat.
Jika konsep ini yang kita lakukan saat menunaikan zakat
maka akan ada perasaan dalam diri rasa terpaksa atau adanya keterpaksaan untuk
menunaikan zakat sebagai sebuah kewajiban yang pada akhirnya jika zakat sudah
ditunaikan maka selesai sudah kewajiban kita laksanakan dan akhirnya hanya
sebatas itulah kita menunaikan zakat. Lalu apakah hal ini salah? Jawabannya
adalah tidak, tetapi hanya sampai disitulah kemampuan diri kita dan hanya
sampai disitulah kita mampu menikmati hakekat dari menunaikan zakat, padahal
maksud dan tujuan yang hakiki dari menunaikan zakat lebih dari itu semua.
c.
Manusia atau termasuk juga diri kita bisa saja
memaknai perintah menunaikan zakat yang telah diperintahkan oleh Allah SWT
untuk mencari nilai atau pahala dari menunaikan zakat yang kita
laksanakan.Sehingga nilai atau pahala lah yang menjadi tujuan kita melaksanakan
perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Jika konsep ini yang lakukan
saat menunaikan zakat berarti kita melaksanakan kewajiban tersebut sebatas
untuk mendapatkan iming-iming atau hadiah berupa pahala yang pada akhirnya kita
tidak akan menikmati hadirnya Allah SWT saat berzakat yang kita laksanakan,
dalam hal ini kebahagiaan berpunya (memiliki sesuatu) adalah saat memberi. Lalu
apakah hal ini salah? Jawabannya adalah tidak, tetapi hanya sampai disitulah
kemampuan diri kita dan hanya sampai disitulah kita mampu menikmati hakekat
dari berzakat, padahal makna dan hakekat dari zakat lebih dari itu semua.
d.
Manusia atau termasuk diri kita juga bisa saja
memaknai perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT melaksanakan
kewajiban sekedar untuk menyenang-kan pemberi perintah. Sehingga kita tidak
pernah merasakan hakekat yang terdapat di balik perintah menunaikan zakat.
Selesai melaksanakan kewajiban maka selesai sudah kita menunaikan zakat tanpa
memperoleh makna yang hakiki dari menunaikan zakat kita laksanakan. Lalu apakah
hal ini salah? Jawabannya adalah tidak, tetapi hanya sampai disitulah kemampuan
diri kita dan hanya sampai disitulah kita mampu menikmati hakekat dari
berzakat, padahal makna yang hakiki dari menunaikan zakat lebih dari itu.
e.
Manusia atau termasuk diri kita juga bisa saja
memaknai perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT sebagai sebuah
kebutuhan yang hakiki bagi diri kita. Jika konsep ini mampu kita laksanakan berarti kita mampu
melihat apa-apa yang terdapat dibalik perintah menunaikan zakat atau kita mampu melihat ada sesuatu yang luar
bisa yang siap kita rasakan atau akan
kita dapatkan dari berzakat yang kita laksanakan. Jika ini kondisinya maka
dapat dipastikan orang yang melaksanakan perintah menunaikan zakat sebagai
sebuah kebutuhan maka ia akan menunaikan zakat secara suka rela tanpa
keterpaksaan (ikhlas) bahkan merasa bahagia saat melaksanakannya serta
merasakan hasilnya sepanjang hayat masih di kandung badan untuk kepentingan
diri kita sendiri dan juga bagi para mustahik yang pada akhirnya mampu
menunjukkan kesalehan pribadi di dalam bentuk kesalehan sosial.
Jika kita mampu menempatkan dan meletakkan bahwa menunaikan zakat yang
telah diperintahkan oleh Allah SWT sebagai sebuah kebutuhan hakiki diri maka
secara tidak langsung kita sudah melaksanakan Rukun Islam, kita juga sudah
melaksanakan kewajiban menunaikan zakat, kita sudah pula menyenangkan Allah SWT
dengan melaksanakan kewajiban, kita sudah pula mendapatkan nilai dari apa yang
kita laksanakan. Akan tetapi jika kita tidak menjadikan puasa sebagai sebuah
kebutuhan, maka hanya sebatas itulah yang kita dapatkan.
Selain daripada itu, jika kita mampu menunaikan
zakat sebagai sebuah kebutuhan berarti kita mampu meletakkan dan menempatkan
diri kita dihadapan Allah SWT, sebagai makhluk yang tidak memiliki apapun juga
namun mempergunakan, memakai apa-apa yang telah diciptakan oleh Allah SWT
seperti udara, air, tumbuhan, ruh, jasmani dan lain sebagainya. Jika ini mampu
kita laksanakan maka konsep menunaikan zakat yang kita laksanakan adalah
menunaikan hak Allah SWT untuk kepentingan mustahik dikarenakan semua yang ada
di muka bumi adalah milik Allah SWT dan diciptakan oleh Allah SWT.
Allah SWT selaku pemberi perintah untuk menunaikan zakat, mempersilahkan
diri kita untuk memilih makna dan hakekat dari perintah yang telah
diperintahkan-Nya. Ingat, pilihan dari memaknai melaksanakan perintah yang
telah diperintahkan akan memberikan
dampak yang berbeda beda pula. Awas jangan sampai kita salah memaknai perintah
Allah SWT untuk menunaikan zakat yang sudah berlaku di langit dan di bumi ini
sampai dengan hari kiamat kelak. Semakin baik kita memiliki ilmu tentang zakat
maka semakin baik dan berkualitas pula pemahaman, penghayatan dan pengamalan
diri kita berkenaan dengan zakat.
Saat ini di langit dan di bumi yang diciptakan
dan dimiliki Allah SWT, memiliki ketentuan yang termaktub dalam surat Al
Baqarah (2) ayat 83 di atas, lalu apa yang harus kita sikapi? Jika kita merasa
orang yang menumpang yang tahu diri, jika kita merasa tamu yang tahu diri, jika
kita merasa khalifah yang tahu diri, maka sudah seharusnya kita melaksanakan
segala ketentuan, segala hukum, segala undang-undang, segala peraturan Allah
SWT yang berlaku di muka bumi, termasuk di dalamnya perintah menunaikan zakat.
Adanya kondisi ini berarti kita tidak bisa seenaknya saja hidup di muka bumi
ini.
Perintah menunaikan zakat, seperti halnya
perintah mendirikan shalat, juga bukan tujuan akhir dari pelaksanaan perintah
itu sendiri. Perintah menunaikan zakat adalah sarana, alat bantu, media bagi
diri kita untuk mendapatkan dan merasakan langsung manfaat yang ada dibalik
perintah menunaikan zakat, sehingga hanya pribadi-pribadi tertentulah yang bisa
merasakan nikmatnya menunaikan zakat. Ingat, kenikmatan memiliki sesuatu baru
bisa kita rasakan setelah diri kita memberikan sesuatu kepada orang lain
(maksudnya adalah nikmatnya berpunya bukan pada saat kita memiliki sesuatu
melainkan saat bisa berbagi kepada orang lain).
Allah SWT sampai kapanpun juga tidak butuh dengan zakat yang kita
tunaikan, karena Allah SWT sudah maha
dan akan maha selamanya. Sehingga semuanya terpulang kepada diri kita,
mau menunaikan zakat ataupun tidak tidak mau menunaikan zakat. Zakat yang kita
tunaikan tidak akan mempengaruhi sedikitpun kebesaran dan kemahaan Allah SWT
karena yang rugi jika tidak mau menunaikan zakat sehingga yang butuh menunaikan
zakat adalah diri kita sendiri.
Sebagai khalifah
yang membutuhkan untuk menunaikan zakat berarti kitalah yang butuh dengan orang
orang yang berhak menerima zakat (mustahik) dan jika kita yang butuh kepada mustahik
berarti orang orang yang berhak menerima zakat ini tidak memiliki kewajiban
untuk menemui diri kita selaku yang wajib menunaikan zakat. Namun kitalah yang
wajib menemui mereka karena kita yang butuh kepada mereka untuk menunaikan zakat
sebagai sebuah kebutuhan. Dan dengan diri kita yang menemui mereka berarti kita
telah mengangkat derajat mereka walaupun mereka hanyalah penerima zakat. Hal
ini tidak akan terjadi jika mereka (orang yang menerima zakat/mustahik) yang
mendatangi diri kita saat kita menunaikan zakat sebagai sebuah kebutuhan.
2. Zakat Adalah Hak Allah
SWT Yang Harus Ditunaikan. Sebagaimana telah kita imani
bahwa Allah SWT lah yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya dengan Hak
dan jika Allah SWT yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya dengan hak
berarti Allah SWT pasti memiliki kehendak, pasti memiliki kemampuan serta pasti
memiliki Ilmu yang sangat hebat dalam satu kesatuan. Hal yang samapun berlaku
terhadap keberadaan seluruh umat manusia, termasuk di dalamnya keberadaan orang
tua kita, diri kita, anak dan kerurunan kita di langit dan di bumi Allah SWT, yang
tidak datang dengan sendirinya. Semuanya
ada karena ada yang menciptakan, dalam hal adalah Allah SWT yang berarti keberadaan
manusia, termasuk di dalamnya keberadaan diri kita, tidak akan mungkin bisa
dilepaskan dari adanya kehendak Allah SWT, adanya kemampuan Allah SWT serta
adanya ilmu Allah SWT yang sangat hebat dalam satu kesatuan.
Dan jika ini adalah kondisi dasar dari Allah SWT
saat menciptakan manusia, dan juga saat menciptakan langit dan bumi berarti keberadaan langit dan bumi serta umat
manusia di dunia ini bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba, bukan pula sesuatu
yang bersifat insidentil, tanpa ada perencanaan yang matang, tanpa ada maksud
dan tujuan yang jelas, melainkan sudah direncanakan dengan matang oleh Allah
SWT untuk dijadikan sebagai khalifah di muka bumi, untuk dijadikan sebagai
perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi, atau untuk menjadi wakil Allah SWT di muka bumi.
Timbul
pertanyaan, apa buktinya keberadaan diri kita sudah direncanakan dengan matang
oleh Allah SWT? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita perhatikan hal-hal
yang kami kemukakan di bawah ini dengan seksama, yaitu:
a.
Untuk
itu renungkanlah keberadaan jasmani diri kita sendiri yang begitu canggih, yang
begitu sempurna jaringan sel-sel syarafnya, lalu perhatikan pula ginjal,
jantung, pankreas, otak dengan segala jaringannya dan lain sebagainya, yang
begitu hebat keberadaannya, yang tentunya sudah dipersiapkan oleh Yang Maha
Hebat pula.
b. Untuk itu
renungkanlah keberadaan ruh/ruhani diri kita yang berasal dari Nur Allah SWT,
yang prosesnya berbeda dengan jasmani. Jasmani diciptakan, sedangkan ruh/ruhani
ditiupkan yang berarti ruh/ruhani sebelum ditiupkan (dipersatukan) dengan
jasmani sudah ada terlebih dahulu, yaitu ada pada peniupnya, dalam hal ini
Allah SWT.
c.
Untuk
itu renungkanlah Amanah yang 7 yang terdiri dari Qudrat, Iradat, Ilmu, Kalam,
Hayat, Sami’, Bashir yang tidak lain bagian atau tetesan dari kemahaan dan
kebesaran Allah SWT yang termaktub di dalam sifat Ma’ani Allah SWT, yang
sekarang telah menjadi modal dasar bagi diri kita saat menjadi khaliafah Allah
SWT di muka bumi.
d. Untuk itu
renungkanlah sibghah Asmaul Husna yang menjadi sifat dari ruh/ruhani kita,
sehingga diri kita memiliki celupan perbuatan-perbuatan yang termaktub di dalam
Nama-Nama Allah SWT Yang Indah.
e.
Untuk
itu renungkanlah keberadaan Hubbul yang 7 yang terdiri dari Hubbul Syahwat,
Hubbul Jam’i, Hubbul Hurriyah, Hubbul Maal, Hubbul Istitlaq, Hubbul Riasah,
Hubbul Maadah, yang tidak lain adalah motor (energy) penggerak bagi diri kita
untuk melaksanakan kekhalifahan Allah SWT di muka bumi ini.
f.
Untuk
itu perhatikanlah hati ruhani tempat diletakkannya akal dan perasaan serta
kehendak sehingga diri kita mampu merasakan apa yang dinamakan dengan
ketenangan jiwa atau merasakan nikmatnya bertuhankan Allah SWT.
g.
Untuk
itu lihat dan perhatikanlah apa yang dinamakan dangan Diinul Islam yang tidak
lain konsep ilahiah untuk mensukseskan manusia melaksanakan tugas sebagai khalifah
yang sesuai dengan kehendak-Nya.
h. Untuk itu
perhatikanlah udara, air, tumbuhan dan juga hewan yang sangat dibutuhkan oleh
manusia, termasuk utuk diri kita.
i.
Lihatlah,
lalu renungkanlah keberadaan langit yang diciptakan tanpa tiang dan juga bumi
yang sudah pula dipersiapkan oleh Allah SWT untuk menjadi tempat bagi diri kita
melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka bumi.
j.
Allah
SWT juga sudah mempersiapkan dua buah tempat kembali yaitu syurga dan neraka,
yang keduanya akan diisi oleh Allah SWT secara adil yang berkeadilan.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya
di muka bumi, tahukah kita, sadarkah kita bahwa keberadaan diri kita,
keberadaan langit dan bumi yang kita tempati saat ini, bukan kita yang menjadi
inisiatornya, bukan pula kita yang menciptakannya, bukan pula kita yang
memilikinya, atau merasakah kita menciptakan jasmani, pernahkah kita
menciptakan ruhani, siapakh yang menciptakan langit, bumi, air serta udara yang
kita butuhkan, atau mampukah kita menciptakan jasmani, ruhani, amanah yang 7,
hati ruhani, akal, perasaan, hubbul yang 7, langit dan bumi beserta isinya
serta Diinul Islam?
Jika kita termasuk
orang yang tahu diri, tahu siapa diri kita yang sesungguhnya dan tahu siapa
Allah SWT yang sesungguhnya, yang diikuti dengan tahu aturan main dan juga tahu
tujuan akhir, maka kita harus menyatakan
bahwa diri kita ada karena ada yang menciptakan. Jasmani, Ruh/Ruhani, Amanah
yang 7, Hubbul yang 7, akal, perasaan ada karena ada yang menciptakan; langit
dan bumi beserta isinya ada karena ada yang menciptakan. Dan jika hal-hal yang
kami sebutkan di atas ini kami jadikan asumsi atas keberadaan diri kita di muka
bumi ini, maka akan kita dapatkan beberapa pernyataan, sebagai berikut :
a.
Ciptaan adalah hasil dari
suatu kehendak, kemampuan serta ilmu dari pencipta untuk suatu maksud dan tujuan tertentu sehingga dapat dikatakan
bahwa manusia atau diri kita adalah hasil dari suatu proses kehendak, kemampuan
serta ilmu Allah SWT untuk sesuatu maksud dan tujuan tertentu, dalam hal ini
adalah kekhalifahan di muka bumi.
b. Setiap ciptaan tidak akan mungkin mendahului penciptanya sehingga pencipta harus selalu lebih dahulu ada dari
apa-apa yang diciptakannya.
c.
Pencipta tentu akan
bertanggung jawab kepada ciptaannya; Pencipta tentu akan selalu mengawasi ciptaannya;
Pencipta tentu akan selalu memelihara dan menjaga dari segala sesuatu agar
ciptaannya terjaga dengan baik dan benar sesuai dengan konsep awal sewaktu
merencanakan ciptaannya;
demikian
seterusnya sepanjang ciptaan mau diperhatikan, sepanjang ciptaan mau menerima,
sepanjang ciptaan mau sesuai dengan keinginan pencipta maka pencipta akan terus
bertanggung jawab kepada ciptaannya.
d. Kita tidak bisa
mensejajarkan diri dengan Allah SWT. Pencipta dan ciptaan tidaklah sama
kedudukannya. Pencipta tetaplah pencipta. Ciptaan tetaplah ciptaan sehingga
tidak akan mungkin terjadi ciptaan mampu menciptakan pencipta dan juga mampu
mendahului pencipta serta kita juga tidak bisa hidup seenaknya saja tanpa
menghiraukan ketentuan dan jangka waktu yang telah ditetapkan Allah SWT selaku
pencipta.
Selanjutnya jika ini adalah keadaannya maka antara langit dan bumi serta antara diri kita dengan Allah SWT
tidak bisa dipisahkan begitu saja. Akan tetapi antara langit dan bumi serta
antara diri kita dengan Allah SWT memiliki hubungan yang tidak terpisahkan oleh
sebab apapun juga serta sampai dengan kapanpun juga. Jika ini kondisi
dasar dari diri kita, lalu punya apakah diri kita saat hadir ke muka bumi ini?
Jika kita termasuk orang yang sudah sadar diri maka kita wajib mengatakan kita
tidak mempunyai apapun saat ada di muka bumi dan jika saat ini diri kita
memiliki Jasmani yang begitu hebat, Ruh/Ruhani, Amanah yang 7, Hubbul yang 7,
Hati, Perasaan, Akal, pasti ada yang memberikan, dalam hal ini adalah Allah
SWT.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa saat pertama kali kita hadir di muka bumi ini,
kita tidak memiliki apapun juga, kita miskin, kita hina dan kita ada karena
diciptakan oleh Allah SWT. Akan tetapi setelah menjadi penumpang yang sedang
menumpang, setelah menjadi tamu di muka bumi yang tidak pernah kita ciptakan,
dan setelah menjadi khalifah di muka bumi yang dimiliki Allah SWT, kita mampu
memiliki apapun juga, melalui apa-apa yang telah diberikan oleh Allah SWT dan
melalui apa-apa yang dimiliki oleh Allah SWT, sehingga saat ini kita mampu
memiliki apa yang dinamakan dengan kekayaan, jabatan, pangkat, kedudukan, saat
hidup di dunia.
Timbul pertanyaan, jika kita tidak memiliki
apa-apa, lalu sekarang bisa memiliki harta kekayaan, bisa memiliki jabatan,
bisa memiliki pangkat dan kedudukan, apakah mungkin ini terjadi begitu saja
jika kita tidak memiliki sesuatu yang begitu hebat yang berasal dari Allah SWT?
Untuk itu perhatikanlah diri kita
sendiri, mampukah kita memperoleh kekayaan, mampukah kita memperoleh pangkat
dan jabatan dan lain sebagainya :
a.
jika kita tidak memiliki jasmani kita yang begitu canggih, yang begitu
sempurna jaringan sel-sel dan syarafnya;
b.
jika kita tidak memiliki Ruh/Ruhani yang berasal dari Nur Allah SWT;
c.
jika kita tidak memiliki Amanah yang 7 (qudrat, iradat, ilmu, sami’,
bashir, kalam, hayat) yang tidak lain bagian dari sifat Ma’ani Allah SWT;
d.
jika kita tidak memiliki Hubbul yang 7 (hubbul syahwat, hubbul maal,
hubbul maadah; hubbul istitlaq; hubbul riasah; hubbul jam’i; hubbul hurriyah) yang
tidak lain adalah motor penggerak bagi diri kita untuk melakukan sesuatu;
e.
jika kita tidak memiliki akal dan perasaan sehingga diri kita mampu
merasakan apa yang dinamakan dengan ketenangan jiwa atau merasakan nikmatnya
bertuhankan Allah SWT;
f.
jika kita tidak diberikan Diinul Islam yang tidak lain konsep ilahiah
untuk kemudahan bagi manusia melaksanakan tugas sebagai Khalifah; serta
g.
jika kita tidak diberikann air, udara, tumbuhan, hewan yang begitu
kita butuhkan saat hidup di muka bumi?
Sebagai orang
yang datang ke muka bumi yang tidak bisa berbuat apa apa dan juga tidak memiliki
apa apa. Bahkan saat ini selalu mempergunakan dan mendayagunakan seperti air
dan udara serta bahkan mengakui apa apa yang diciptakan oleh Allah SWT seperti
mengakui kepemilikan lahan atau tanah.
Lalu pernahkah
kita membayangkan jika Allah SWT selaku pencipta air dan juga ginjal meminta
bayaran setiap cc air yang diproses oleh ginjal dengan nilai tertentu.
Sanggupkah kita membayar udara yang kita hirup selama ini? Mampukah kita
membayar setiap detak jantung yang memompa darah dan udara (oksigen) keseluruh
tubuh kita? Masih banyak lagi fasilitas yang kita pakai dan pergunakan yang
kesemuanya diciptakan oleh Allah SWT. Kita tidak akan sanggup membayar itu
semua.
Saat ini Allah
SWT sudah menetapkan adanya ketentuan untuk menunaikan zakat kepada orang orang
yang telah memenuhi Nishab dan Haul, apakah
hal ini wajar, apakah hal ini patut atau apakah memang sudah seharusnya kita
menunaikan zakat karena kita tidak pernah menciptakan dan memiliki apa apa yang
ada di langit dan di muka bumi ini dan bahkan
kita mempergunakan air dan udara yang Allah SWT miliki? Berdasarkan akal sehat yang kita milki, kita tidak akan mampu
mengolah, kita tidak akan mampu mendayagunakan segala apa yang ada di langit
dan di bumi menjadi harta kekayaan, atau tanpa memiliki apa-apa yang kami
kemukakan di atas, kita tidak akan mungkin mampu menjadikan diri kita memiliki
kedudukan, harta, pangkat dan jabatan saat hidup di muka bumi ini.
Sekarang jika kita tidak mampu melakukan hal itu
semua, lalu siapakah yang mampu memberikan itu semua kepada diri kita? Berdasarkan
surat Yunus (10) ayat 31 “Katakanlah: “Siapakah yang
memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa
(menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang
hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah
yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka
Katakanlah “Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” dan juga berdasarkan hadits yang kami kemukakan sebagaimana berikut
ini: Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi saw bersabda: Allah
ta’ala berfirman: Wahai anak Adam! Jika engkau ingat kepada-Ku, Aku ingat
kepadamu dan bila engkau lupa kepada-Ku, Akupun ingat kepadamu. Dan jika engkau
ta’at kepada-Ku pergilah kemana saja engkau suka, pada tempat dimana Aku
berkawan dengan engkau dan engkau berkawan dengan da-Ku, Engkau berpaling dari
pada-Ku padahal Aku menghadap kepadamu. Siapakah yang memberimu makan dikala
engkau masih janin di dalam perut ibumu. Aku selalu mengurusmu dan memeliharamu
sampai terlaksanalah kehendak-Ku bagimu, maka setelah Aku keluarkan engkau ke
alam dunia engkau berbuat banyak maksiat. Apakah demikian seharusnya pembalasan
kepada yang telah berbuat kebaikan kepadamu. (Hadits Qudsi Riwayat Abu Nasher
Rabi’ah bin Ali Al-Ajli dan Arrafi’ie; 272:182)
Ketahuilah bahwa hanya Allah SWT sajalah yang mampu memberikan itu
semua kepada diri kita dan jika ini kondisinya berarti kita harus memiliki rasa
syukur, kita harus patuh dan taat kepada aturan Allah SWT karena banyak hal
yang sudah diberikan Allah SWT kepada diri kita. Sekarang bagaimana dengan perintah menunaikan zakat
yang telah diperintahkan oleh Allah SWT kepada diri kita?
Sebagai pemakai,
sebagai pengelola serta sebagai pengambil manfaat dari apa-apa yang telah
diciptakan oleh Allah SWT, seperti udara, air, tanaman, hewan, ruh/ruhani, jasmani,
Amanah yang 7 (seperti Qudrat, Iradat, Ilmu, Kalam, Hayat, Sami’ dan Bashir),
Hubbul yang 7 (seperti Hubbul Syahwat, Hubbul Maal, Hubbul Maadah, Hubbul
Istitlaq, Hubbul Hurriyah, Hubbul Jam’i dan Hubbul Riasah), af’idah
(perasaan), akal, dan lain sebagainya sehingga dengan itu semua kita bisa
memiliki harta kekayaan, sehingga kita bisa memiliki pangkat dan jabatan maka
sudah sepantasnya dan seharusnya:
a.
Kita
harus menunaikan zakat karena memang ada hak Allah SWT di dalam harta kekayaan
yang kita miliki;
b.
Kita
harus menunaikan zakat sebagai bentuk rasa syukur kita karena telah diberikan
banyak hal oleh Allah SWT;
c.
Kita
harus menunaikan zakat sebagai bentuk rasa syukur kita karena telah menikmati,
karena telah memakai, karena telah mendayagunakan apa-apa yang telah Allah SWT
ciptakan saat kita hidup di muka bumi ini.
Jika sekarang Allah SWT selaku pencipta dan pemilik langit dan bumi memerintahkan
kepada diri kita yang sudah memperoleh segala manfaat dari langit dan bumi
serta telah pula merasakan manfaat dari apa-apa yang ada pada diri kita, untuk
melaksanakan perintah menunaikan zakat, apakah hal ini suatu yang berlebihan
ataukah suatu keharusan saat kita hidup di muka bumi yang tidak pernah
sekalipun kita ciptakan? Jika kita termasuk orang yang telah tahu diri, memang
sudah seharusnya kita melaksanakan perintah menunaikan zakat sesuai dengan
kehendak pemberi perintah menunaikan zakat. Apa dasarnya? Hal ini dikarenakan
kita bisa seperti ini di muka bumi, semuanya karena Allah SWT. Semuanya karena
adanya modal dasar yang diberikan oleh Allah SWT kepada diri kita. Semuanya
karena kita mempergunakan segala fasilitas yang telah Allah SWT ciptakan,
sehingga kita bisa berbuat sesuatu di langit dan di bumi Allah SWT yang sesuai
dengan kehendak Allah SWT.
Adanya kondisi
yang kami kemukakan di atas maka dapat dikatakan bahwa perintah menunaikan zakat
yang diperintahkan oleh Allah SWT bukanlah perintah untuk mengeluarkan hak
fakir miskin yang ada di dalam harta kekayaan kita. Akan tetapi perintah
menunaikan zakat adalah perintah untuk mengeluarkan hak Allah SWT yang ada pada
harta kekayaan karena kita telah memanfaatkan segala fasilitas Allah SWT untuk
kepentingan fakir miskin, atau zakat dapat menjadi bukti bahwa diri kita
berguna bagi masyarakat dan juga dapat membersihkan kekayaan kita dari hak
Allah SWT untuk kepentingan orang orang yang berhak menerima zakat yang besaran
berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Sekarang coba
kita bandingkan dengan pengertian yang ada di dalam masyarakat dimana zakat
sering diartikan adanya hak orang lain yang ada pada harta kekayaan kita
sehingga kita wajib mengeluarkan hak orang lain itu sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Jika kita mengacu kepada ketentuan ini maka akan terasa adanya
keterpaksaan di dalam diri, kita yang bekerja susah payah orang lain yang
mendapatkan atau merakan hasil jerih payah kita. Sedangkan jika kita
mempergunakan pendekatan zakat adalah hak Allah SWT yang harus kita tunaikan
kepada orang orang yang berhak menerimanya karena memang seharusnya kita
tunaikan, maka hilanglah keterpaksaan yang ada adalah keikhlasan saat menunaikannya.
Adanya dua buah pengertian dasar tentang zakat, semuanya terpulang kepada diri
kita, mau mempergunakan pengertian yang mana?
Jika
mempergunakan pengertian zakat adanya hak orang lain pada harta kekayaan kita
tidaklah salah, akan tetapi jika kita mempergunakan pengertian zakat adalah hak
Allah SWT inilah pendekatan baru, sehingga mampu menambah wawasan keilmuan kita
tentang zakat yang telah ada. Inilah konsep dasar dari apa itu zakat yang
terdapat di dalam AlQuran, sekarang terserah kepada diri kita, apakah mau
menunaikan hak Allah SWT ataukah tidak, karena yang membutuhkan manfaat yang
hakiki dibalik perintah menunaikan zakat bukanlah Allah SWT, melainkan diri
kita sendiri dan jika sampai diri kita tidak mau menunaikan zakat maka segera
bersiaplah menghadapi ahwa (hawa nafsu) dan syaitan seorang diri, lalu
bersiaplah merasakan ketidaknyamanan hidup di muka bumi karena Allah SWT telah
lepas tangan karena ulah dari diri kita sendiri karena kita telah berada di
dalam jalur kehendak syaitan. Akhirnya menjauhlah dari diri kita apa yang
dinamakan hidup nyaman, aman, damai dan bersahaja di dalam
kehendak Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar