Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Senin, 23 Januari 2017

SUBYEK ZAKAT DAN OBYEK ZAKAT


 

Setiap individu yang ingin menunaikan zakat, harus mengetahui syarat dan ketentuan yang berlaku yang mengatur tentang zakat sebelum membuat taksirannya dan menunaikan zakatnya. Untuk itu akan kami bahas tentang subyek zakat dan juga obyek zakat yang sesuai dengan ketentuan AlQuran dan Alhadits, yaitu:

 

A.      SUBYEK ZAKAT.

 

Untuk memudahkan diri kita menentukan subyek zakat (siapa siapa saja yang harus menunaikan zakat), perkenankan kami meminjam istilah perpajakan yang ada di dalam undang undang perpajakan yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan ketentuan yang berlaku di era tahun delapan puluhan dikemukakan bahwa yang dikenakan pajak hanyalah a, b, c, d, e, dan f saja maka yang di luar ketentuan a, b, c, d, e, dan f itu tidak dikenakan pajak. Kemudian ketentuan ini dirubah di era tahun sembilan puluhan menjadi semua kena pajak kecuali g, h, i, j, k, l dan m.

 

Adanya ketentuan ini maka sumber utama perpajakan menjadi lebih banyak dan adanya kepastian hukum tentang siapa siapa saja yang  akan dikenakan pajak dan usaha usaha apa saja yang dikenakan pajak. Berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku saat ini maka selama diri kita menjalankan usaha atau berusaha di bidang g, h, i, j, k, l dan m maka usaha tersebut atau bidang usaha tersebut tidak dikenakan pajak, sebaliknya jika kita berusaha di luar g, h, I, j, k, l dan m, akan dikenakan pajak. Sedangkan dalam ketentuan perpajakan yang berhak menerima pembayaran pajak hanyalah  pemerintah saja melalui kantor perpajakan. Sedangkan yang harus membayar pajak adalah badan usaha dan juga perseorangan sepanjang penghasilannya telah di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak.

 

Sekarang bagaimana dengan perintah zakat yang sudah berlaku di langit dan di bumi ini? Konsep perpajakan yang kami kemukakan di atas tidak serta merta bisa diterapkan dalam konsep zakat yang berlaku saat ini karena adanya perbedaan aturan main diantara keduanya. Dalam konsep zakat yang berlaku saat ini (berdasarkan AlQuran dan hadits) telah diatur dengan jelas siapa siapa saja yang berhak menerima zakat dan juga diatur siapa siapa saja yang tidak diperkenankan untuk menerima zakat dan juga siapa saja yang menjadi subyek pajak (orang atau perusahaan yang wajib menunaikan zakat).

 

1.   Yang Berhak Menerima Zakat. Yang berhak menerima zakat telah diatur oleh Allah SWT selaku pemberi perintah termaktub di dalam AlQuran yang terdapat dalam surat At Taubah (9) ayat 58, 59, 60 sebagaimana berikut ini: “Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi Kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,” (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka). Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[647].”

[647] Yang berhak menerima zakat ialah: 1. Orang fakir: orang yang sangat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5. Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. Orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. Pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.

 

Berdasarkan ketentuan di atas, Allah SWT sudah menentukan dan menetapkan dengan jelas 8 (delapan) golongan yang diperkenankan untuk menerima zakat (mustahik) yang berasal dari orang orang yang berkewajiban untuk menunaikan zakat (muzakki). Berikut ini akan kami kemukakan ke tujuh golongan yang diperkenankan untuk menerima zakat, antara lain yaitu :

 

a.             Fakir. Fakir ialah orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya karena tidak bisa usaha.

 

b.             Miskin. Miskin ialah orang yang bisa usaha, tetapi tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya, misalkan karena pendapatannya sangat sedikit.

 

c.             Para Amil, atau Pengurus Zakat. Amil zakat merupakan orang orang (pribadi) yang melaksanakan segala urusan zakat berupa pengumpulan dan penjagaannya, serta menghitung keluar masuknya zakat.

 

d.            Mualaf atau Orang Yang Dilunakkan Hatinya. Muallaf ialah orang yang dijinakkan hatinya untuk kepentingan Islam dan kaum muslimin. Yang termasuk muallaf antara lain: (1) Orang atau pengikut yang dengan pemberian itu diharapkan masuk islam; (2) Orang yang dikhawatirkan gangguannya terhadap islam dan kaum muslimin; (3) Orang yang baru masuk islam untuk memperkuat keislamannya; (4) Orang yang termasuk tokoh muslim yang mempunyai kawan dari kalangan kafir yang diharapkan keislamannya; (5) Orang yang telah lama muslim tapi ada di perbatasan musuh (tempatnya). Inilah lima buah kriteria dasar apa yang disebut dengan mualaf, semoga ini menjadi pembelajaran bagi kita yang selama ini hanya memahami bahwa mualaf adalah orang yang baru masuk agama Islam.

 

e.             Hamba Sahaya. Ada beberapa cara untuk memerdekakan budak, diantaranya dengan cara sebagai berikut,  yaitu: (a) menolong hamba mukatab, yaitu budak yang memiliki perjanjian dengan tuannya, misalnya ia sanggup menghasilkan harta dengan nilai dan ukuran tertentu, maka dia dibebaskan; (b) Seseorang dengan harta zakatnya membeli seorang budak kemudian membebaskannya.

 

f.              Orang Yang Berhutang (Al Gharimun). Gharimîn adalah kata dari bahasa Arab yang bermakna orang-orang yang memiliki hutang. Orang berutang yang berhak menerima kuota zakat adalah orang-orang dalam golongan:

 

1)       Orang yang berutang untuk kepentingan pribadi yang tidak bisa dihindarkan, dengan syarat-syarat sebagai berikut: (a) Utang itu tidak timbul karena kemaksiatan; (b) Utang itu melilit pelakunya; (c) Si pengutang sudah tidak sanggup lagi melunasi utangnya; (d) Utang itu sudah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu diberikan kepada si pengutang.

2)       Orang-orang yang berutang untuk kepentingan sosial, seperti yang berutang untuk mendamaikan antara pihak yang bertikai dengan memikul biaya diyat (denda kriminal) atau biaya barang-barang yang dirusak. Orang seperti ini berhak menerima zakat, walaupun mereka orang kaya yang mampu melunasi utangnya.

3)       Orang-orang yang berutang karena menjamin utang orang lain, dimana yang menjamin dan yang dijamin keduanya berada dalam kondisi kesulitan keuangan.

4)       Orang yang berutang untuk pembayaran diyat (denda) karena pembunuhan tidak sengaja, apabila keluarganya (aqilah) benar-benar tidak mampu membayar denda tersebut, begitu pula kas negara.

 

Pembayaran diyat itu dapat diserahkan langsung kepada wali si terbunuh. Adapun diyat pembunuhan yang disengaja tidak boleh dibayar dari dana zakat. Namun, tidak boleh mempermudah pembayaran diyat dari dana zakat, karena banyaknya kasus pembunuhan tidak sengaja, sebab para mustahiq zakat yang lain juga sangat membutuhkannya. Untuk itu, dianjurkan membuat kotak-kotak dana sosial untuk meringankan beban orang yang menanggung diyat seperti ini, misalnya karena kecelakaan lalu lintas dan sebagainya. Juga sugesti membuat kotak-kotak dana sosial keluarga atau profesi untuk menyerasikan sistem aqilah (sanak keluarga yang ikut menanggung diyat pembunuhan tidak sengaja) sesuai dengan tuntutan zaman.

 

g.        Fisabilillah atau Untuk Jalan Allah. Mujahidin merupakan orang yang berjihad di jalan Allah. Di dalam AlQuran digambarkan sasaran zakat yang ketujuh ini dengan firmanNya: “Di jalan Allah”. Sabil berarti jalan. Jadi sabilillah artinya jalan yang menyampaikan pada ridha Allah SWT, baik akidah maupun perbuatan. Sabilillah adalah kalimat yang bersifat umum, mencakup segala amal perbuatan ikhlas, yang digunakan untuk bertakkarub kepada Allah SWT, dengan melaksanakan segala perbuatan wajib, sunat dan bermacam kebajikan lainnya. 

 

h.       Ibnu Sabil atau Orang Yang Sedang Dalam Perjalanan. Ibnu sabil atau musafir, yaitu orang yang melakukan perjalanan dari suatu daerah ke daerah lain. Menurut pendapat beberapa ulama, ibnu sabil mempunyai hak zakat, walaupun ia kaya, jika ia terputus bekalnya (kehabisan bekal).

 

Itulah 8 (delapan) pihak (asnaf) yang berhak menerima zakat (mustahik) yang berasal dari orang orang yang menunaikan zakat baik zakat fitrah maupun zakat maal sebagaimana yang dikehendaki dan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

 

1.       Yang Tidak Berhak Menerima Zakat. Setelah kita mengertahui siapa siapa saja yang berhak menerima zakat yang sesuai dengan syariat yang berlaku. Berikut ini akan kami kemukakan siapa siapa saja yang tidak berhak menerima zakat baik zakat fitrah ataupun zakat maal adalah:

 

a.       Orang Orang Kaya. Para ahli fiqih sepakat bahwasanya orang kaya tidak berhak menerima Zakat yang menjadi hak orang orang fakir dan miskin. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan  Al Khamsah, sedekah tidak diperkenankan diberikan kepada orang kaya. Juga bersandar kepada perintah Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan as Sittah kepada sahabat Muadz bin Jabal ra, ketika beliau mengutusnya ke Yaman. “Beritahukanlah kepada mereka, bahwasanya mereka wajib menunaikan zakat yang diambil dari orang orang kaya mereka dan dikembalikan (dibagikan) kepada orang orang fakir mereka”. Rasulullah SAW bersabda: ““Zakat tidak boleh diberikan kecuali kepada lima golongan, yaitu: pejuang di jalan Allah (fi sabilillah), amil zakat, orang yang berhutang, orang yang membeli zakat dengan hartanya, atau orang yang mempunyai tetangga miskin dan menunaikan zakatnya kepada si miskin tersebut, lalu ia menghadiahkannya kepada orang kaya”. (Hadits Riwayat Al Baihaqi dan Abu Dawud)

 

Memberikan zakat kepada orang orang kaya, dengan mengambil dari bagian orang orang fakir miskin, berarti menghalangi sampainya zakat kepada yang berhak menerimanya, dan menciderai hikmah diwajibkannya zakat tersebut, yaitu mencukupi kebutuhan orang orang fakir miskin. Oleh karena itu, memberikan bagian zakat kepada orang orang kaya adalah tidak boleh dan harus dihindarkan. Dan bagi orang kaya itu sendiri seharusnya memiliki sense of asnaf (atau kepekaan yang tinggi) kepada orang orang yang berhak memperoleh dan mendapatkan zakat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

 

b.       Orang Orang Kuat  Dan Mampu Berusaha. Para Ulama fiqih sepakat bahwasanya zakat tidak boleh diberikan kepada orang yang berbadan sehat dan kuat, serta mampu berusaha. Kecuali ketika ia tidak mendapatkan pekerjaan, atau  mendapatakan pekerjaan tetapi upah yang diterima tidak mencukupi kebutuhan primernya dan kebutuhan orang orang yang menjadi tanggungjawabnya. Karena itulah, orang tersebut boleh mendapatkan bagian zakat sebesar kebutuhannya atau sebesar modal yang dapat membantu melancarkan usaha atau yang dapat membantunya untuk mendapatkan pekerjaan atau usaha.

 

Larangan memberikan zakat kepada orang yang kuat dan sehat ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan al Khamsah, Zakat tidak boleh diberikan kepada orang kaya dan orang yang sehat dan kuat. Hikmah pengharaman ini adalah bahwasanya orang yang kuat dan mampu berusaha sangat dianjurkan oleh syariat untuk bekerja dan mencukupi kebutuhannya sendiri, tidak boleh duduk manis dan menggantungkan kebutuhan hidupnya pada orang lain, meminta minta sedekah dan zakat zakat mereka sehingga hidup menjadi beban masyarakat. Sesungguhnya zakat merupakan penopang utama dalam membangun masyarakat yang tidak mempunyai jaminan sosial, membangun masyarakat yang mampu berproduksi, berinovasi, dan ikut serta membangun perekonomian negara yang berlindung di bawah makna keadilan sosial. 

 

c.       Non Muslim. Seluruh ulama fiqih sepakat bahwa orang kafir yang memusuhi umat Islam tidak berhak mendapatkan harta zakat sama sekali. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. (surat Al Mumtahanah (60) ayat 9). Begitu juga dengan orang orang Atheis (tidak beragama) yang mengingkari adanya Tuhan, adanya Nabi dan adanya hari akhirat (hari pertemuan), sehingga ia tidak berhak sama sekali mendapatkan harta zakat dari orang orang yang beragama.

 

d.       Para Istri, Kedua Orang Tua dan Anak Anak. Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada istri, dan tidak pula kepada orang tua dan juga mertua, ayah maupun ibu, kakek dan seterusnya ke atas. Begitu juga kepada keturunannya ke bawah, mulai dari anak anak, cucu dan seterusnya. Alasan dari larangan ini sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Mundzir adalah, apabila seseorang membayarkan zakatnya kepada mereka, maka ia tidak perlu memberikan nafkah kepada mereka dan kewajiban tersebut menjadi gugur sehingga manfaatnya kembali kepadanya. Maka dalam hal ini seolah olah ia membayar zakat tersebut kepada dirinya sendiri. Sedangkan memberikan zakat kepada semua kerabat, seperti saudara laki laki, saudara perempuan, paman dari ayah, bibi dari ayah, paman dari ibu, dan bibi dari ibu, adalah diperbolehkan menurut mayoritas ulama fiqih.

 

e.       Keluarga Nabi Muhammad SAW.Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, keluarga Nabi Muhammad SAW tidak diperkenankan untuk menerima zakat. Sabda Rasulullah SAW: “Zakat tidak boleh diberikan kepada keluarga Muhammad” (Hadits Riwayat Bukhari)

 

Jamaah sekalian, itulah 5 (lima) ketentuan yang berlaku tentang siapa siapa yang tidak berhak menerima dan memperoleh zakat dan semoga kita mampu menempatkan diri kita dan juga anak keturunan kita menjadi orang orang yang siap sedia untuk menunaikan zakat (menjadi muzakki), termasuk di dalamnya siap untuk melaksanakan infaq, sedekah atau bahkan wakaf yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.

 

2.       Pihak Yang Memiliki Kewajiban Menunaikan Zakat. Berikut ini akan kami kemukakan tentang adanya dua pihak yang memiliki kewajiban untuk menunaikan zakat, yaitu:

 

a.        Perseorangan. Berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat 3 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat dikemukakan bahwa ada dua pihak yang memiliki kewajiban menunaikan zakat fitrah dan zakat maal yaitu muzakki perseorangan dan muzakki badan usaha sepanjang keduanya memenuhi ketentuan nishab dan haul. Bagi muzakki perseorangan haruslah perseorangan yang tidak termasuk di dalam 8(delapan) pihak (asnaf) yang berhak menerima zakat sebagaimana termaktub dalam surat At Taubah (9) ayat 58, 59, 60 di atas dan juga bukan pula orang orang yang tidak berhak memperoleh zakat, sebagaimana kami kemukakan di atas.

 

Selain daripada itu, berdasarkan ketentun pasal 22 dan pasal 23 dari Undang Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat bahwa setiap muzakki baik perseorangan ataupun perusahaan yang membayarkan zakatnya kepada Badan Amil Zakat Nasional ataupun Lembaga Amil Zakat maka pembayaran zakatnya dapat menjadi faktor pengurang dari penghasilan kena pajak. Untuk itu setiap muzakki (baik perseorangan ataupun badan usaha) harus meminta bukti setoran zakatnya kepada Baznas atau LAZ sebagai bukti pengurang penghasilan kena pajak.

 

b.       Perusahaan (Badan Usaha). Perusahaan atau badan usaha juga bisa memiliki kewajiban untuk menunaikan zakat maal sebagaimana dikemukakan dalam pasal 4 ayat 3 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Zakat bagi perusahaan dapat dianalogikan dengan zakat perdagangan, maka perhitungan nisbah dan syarat-syarat lainnya juga mengacu pada zakat perdagangan. Dan sebelum menentukan besaran perhitungan zakat maal terutama bagi perusahaan, ada beberapa prinsip dasar dalam penghitungan zakat perusahaan, yaitu:

 

1)       Zakat hanya dibebankan kepada orang muslim yang telah memenuhi nishab dan haul dan tidak dibebankan kepada non muslim.

2)       Aset berupa fasilitas perusahaan tidak terkena zakat, seperti: mobil untuk fasilitas, kantor, computer dan sejenisnya.

3)       Zakat perusahaan pada dasarnya menzakati harta orang-orang yang menanamkan modal di perusahaan serta keuntungannya.

4)       Sistem zakat perusahaan tergantung bidang perusahaan tersebut sehingga berbeda system dan cara perhitungannya. Untuk perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan dan keuangan maka sistem zakatnya adalah: zakat perdagangan. Perusahaan yang bergerak dibidang pertanian dan perkebunan maka zakatnya adalah zakat pertanian atau perkebunan. Sedangkan perusahaan jasa dan pertambangan ada perbedaan di antara ulama: baik terkait dengan nishab dan besaran zakat yang harus dikeluarkan; sebagian ulama berpendapat mengikuti penghitungan emas serta perak dan ada juga yang berpendapat mengikuti pertanian.

5)       Perusahaan yang bergerak di bidang industri: bahan baku yang belum diproduksi masuk dalam hitungan harta yang terkena zakat.

6)       Adapun cara menghitung zakat perusahaan yang bergerak di bidang : perdagangan, keuangan, investasi dan jasa (menurut sebagian ulama) : (seluruh uang perusahaan yang ada, baik uang cash maupun di bank + nilai barang yang diperjual belikan ) x 2,5 persen = nilai zakat yang harus dikeluarkan.

7)       Bisa juga cara menghitung zakat perusahaan dengan metode penghitungan: (semua asset perusahaan – asset tidak terkena zakat (sarana dan fasilitas) ) x 2,5 persen = nilai zakat yang harus dikeluarkan.

8)       Penghitungan zakat perusahaan boleh dilakukan saat tutup buku atau genap satu tahun. Dengan demikian, penghitungan zakat perusahaan tidak berdasarkan pada fluktuasi keuangan yang berlangsung perbulan atau perhari. Penghitungan di lakukan pertahun.

9)       Hutang bisa menjadi faktor pengurang apabila nilai hutang itu melebihi nilai asset tidak bergerak perusahaan. Cara menghitung hutang perusahaan dan pengaruhnya terhadap zakat, langkah pertama, semua asset tidak bergerak dikonfersi ke rupiah. Langkah kedua: membandingkan antara beban hutang yang harus dibayar dan nilai asset perusahaan yang berupa harta tidak terkena zakat. Apabila hasilnya ternyata nilai asset itu lebih besar dari beban hutang maka hutang tidak menjadi pengurang zakat. Namun bila nilai hutang lebih besar maka selisihnya (selisih antara nilai asset tidak terkena zakat dan nilai beban hutang) itu yang menjadi pengurang. Kesimpulannya : tidak semua hutang bisa menjadi factor menjadi pengurang.

 

Selanjutnya, dasar perhitungan zakat perdagangan adalah mengacu pada riwayat yang diterangkan oleh Abu Ubaid dalam kitab Al-Amwal dari Maimun bin Mihram sebagai berikut: “Apabila telah sampai waktu untuk membayar zakat, perhatikanlah apa yang engkau miliki baik uang (kas) atau barang yang siap diperdagangkan (persediaan), kemudian nilailah dengan nilai uang. Demikian pula piutang. Kemudian hitunglah utang-utangmu dan kurangkanlah atas apa yang engkau miliki”. Berdasarkan kaidah ini, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa pola perhitungan zakat perusahaan sekarang ini adalah didasarkan pada nerasa (balance sheet) yaitu aktiva lancar dikurangi kewajiban lancar (metode asset netto). Metode ini biasa disebut oleh ulama dengan metode syari’ah.

 

Untuk mengetahui nilai harta yang terkena zakat dari sebuah perusahaan, maka aktiva lancar harus dikurangi dengan kewajiban lancar. Setelah itu dikeluarkan zakarnya sebesar 2,5%. Metode ini digunakan di Saudi Arabia dan beberapa Negara Islam lainnya sebagai pendekatan perhitungan arsitek, konsultan, pengacara, dokter, pegawai negeri, kontraktor dan sebagainya. Paling tidak ada tiga cara yang digunakan untuk mengeluarkan zakat dari setiap perusahaan, diantaranya sebagai berikut:

 

Pertama, Dihitung dan dikeluarkan zakatnya seperti perdagangan (menurut Ibnu Aqil dan Ibnu Qayyim). Dalam metode ini zakat dikeluarkan dalam kurun waktu setahun sekali dengan menghitung nilai bangunan dan hasilnya kemudian dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% seperti zakat perdagangan.

 

Kedua, Zakat dikeluarkan dari hasilnya saja, 2,5% dengan nisab emas (menurut Imam Ahmad dan Pendapat Mazhab Maliki). Pada metode kedua ini zakat yang dikeluarkan oleh perusahaan ketika menerima penghasilan tanpa menunggu waktu satu tahun, artinya ketika sautu perusahaan menerima penghasilan, maka dari penghasilan tersebut langsung dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% dengan merujuk kepada nisbah emas yang berlaku.

 

Ketiga, Zakat dikeluarkan dari hasilnya saja dan menggunakan nisbah pertanian 10% atau 5% dan zakat dikeluarkan pada saat pembayaran tanpa menggunakan satu tahun (Syeikh Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahhab Kallaf, Abdurrohman Hasan dan Yusuf Qardawi). Pada metode ini juga pengeluaran zakat dilakukan tanpa menunggu waktu satu tahun, pengeluaran zakat dilakukan pada saat pembayaran selesai dilakukan dengan merujuk kepada nisbah pertanian 10% atau 5%. 10% untuk zakat pertanian yang tadah hujan dan 5% untuk zakat pertanian yang menggunakan irigasi.

 

Adapun ketentuan yang dilakukan untuk menghitung zakat perusahaan dapat kami kemukakan berikut: Usaha sudah berjalan 1 tahun (sudah haul). Nishab zakat perusahaan sama dengan nisab emas yaitu senilai 85 gr emas. Kadar zakatnya adalah 2,5%. Dapat dibayarkan dengan uang atau barang. Dikenakan pada perdagangan maupun perorangan. Berdasarkan ketentuan umum di atas, langkah selanjutnya adalah menghitung dengan berdasarkan formula perhitungan zakat perusahaan sebagai berikut: “(modal diputar + keuntungan + piutang yang dapat dicairkan) – (utang + kerugian) x 2,5%.”

 

Berikut ini kami contohkan zakat perusahaan baik yang bergerak di bidang perdagangan, industry, agroindustry, atapun jasa, dikelola secara individu maupun badan usaha (seperti PT, CV, Yayasan, Koperasi, dls) dengan rincian sebagai berikut:

 

Keuntungan bersih                        = Rp. 111.580.000,- (pertahun)

Nishab zakat 85 gm emas            = Rp.   25.500.000,- (harga emas Rp. 300.000/gm)

Zakat yang harus dikeluarkan     = Rp. 2,5 % x 111.580.000 = 2.789.500.000,-

 

Pada perusahaan yang berbetuk syirkah (kerjasama), jika semua anggota yang bersyirkah beragama Islam, maka sebelum dibagikan kepada yang bersyirkah maka harus dikeluarkan terlebih dahulu zakatnya, akan  tetapi jika yang bersyirkah gabungan dari orang Islam dan non Islam maka anggota yag bersyirkah muslim saja yang dikeluarkan zakatnya.

 

A.      OBYEK ZAKAT.

 

Agar diri kita mudah dan dimudahkan untuk selalu menunaikan zakat yang tidak lain adalah Hak Allah SWT dari waktu ke waktu, berikut ini akan kami kemukakan apa apa saja yang akan dikenakan zakat (apa apa saja yang menjadi obyek zakat) serta syarat syarat harta yang wajib dizakati, yaitu:  

 

1.       Harta Yang Wajib Dizakatkan. Berikut ini akan kami kemukakan obyek obyek zakat yang di dalamnya terdapat adanya hak Allah SWT yang harus ditunaikan oleh para pemiliknya, yaitu : 

 

a.        Uang dengan segala bentuknya, yang meliputi emas, perak dan lembaran lembaran surat berharga seperti saham, obligasi dan lain sebagainya.

b.       Barang dagangan yang meliputi segala sesuatu yang dipersiapkan untuk mendapatkan keuntungan dari para pedagang dan penjual dengan segala macam dan bentuknya.

c.        Binatang ternak yang meliputi: unta, sapi, kambing, termasuk di dalamnya kambing gunung.

d.       Hasil hasil pertanian dengan segala jenis dan macamnya.

e.        Hasil hasil pertambangan meliputi segala sesuatu yang dikeluarkan dari perut bumi yang berupa barang barang tambang seperti besi dan tembaga.

 

Sebagai orang yang telah diperintahkan untuk menunaikan zakat, bertanyalah kepada diri sendiri, adakah di dalam harta kekayaan kita yang sudah menjadi obyek zakat yang sesuai dengan ketentuan di atas? Jika ada di dalam harta kekayaan kita terdapat obyek zakat, maka kita harus memiliki dokumentasi yang jelas dan akurat tentang kepemilikan harta harta tersebut karena sangat berhubungan dengan syarat syarat harta yang wajib dizakati terutama dari sisi nishab dan haulnya. 

 

2.       Syarat Syarat Harta Yang Wajib Dizakati.Berikut ini akan kami kemukakan syarat syarat dari harta ataupun kekayaan yang wajib dizakati atau syarat dan ketentuan atas harta yang menjadi obyek Zakat, yaitu :

 

a.        Milik Sendiri. Maksud dari harta milik sendiri adalah harta yang dimiliki oleh seorang muslim dan harta itu ada dalam kekuasaannya, dan tidak berkaitan dengan hak orang lain. Di samping itu, pemilik harta tersebut mampu menggunakan hartanya itu sesuai dengan keinginannya dan apa yang dihasilkan harta tersebut adalah untuk dirinya.

 

b.       Harta Benda itu Berkembang atau Bisa Untuk Dikembangkan. Harta benda yang berkembang atau bisa untuk dikembangkan dalam artian, harta itu mengalirkan keuntungan dan faedah kepada pemiliknya, atau harta tersebut dengan sendirinya dapat berkembang. Para ulama membagi harta yang berkembang menjadi dua bagian:

 

1)       Nama’ Haqiqi, yaitu bertambah dan bertambahnya harta baik melalui perdagangan maupun dengan adanya perkembangbiakan,, seperti berkembang biaknya kambing, unta atau hewan peliharaan lainnya.

 

2)       Nama’ Taqdiri, yaitu kemungkinan bertambahnya harta benda apabila diinvestasikan atau digunakan untuk sektor perdagangan. Hal ini seperti orang yang memiliki uang sebesar Rp.6 juta, dan ia menggenggamnya tanpa menggunakan uang itu untuk melakukan investasi. Maka ia berkewajiban menunaikan Zakat sebesar 2,5% dari uangnya itu ketika telah mencapai nishab satu tahun. Pasalnya uangnya ini memungkinkan bertambah jika digunakannya dalam sektor perdagangan atau diinvestasikan.

 

3.       Harta Benda Tersebut Sudah Mencapai Satu Nishab (Batas Minimal Dikenakannya Zakat). Syariat Islam mensyaratkan harta benda yang wajib dizakati telah mencapai batas atau perkiraan tertentu yang dinamakan Nishab. Dalam beberapa hadits yang shahih disebutkan tentang batasan Nishab dengan perincian sebagai berikut:

 

a.        Unta 5 (lima) ekor atau lebih.

b.       Kambing 40 (empat puluh) ekor atau lebih.

c.        Sapi 30 (tiga puluh) ekor atau lebih.

d.       Perak 595 (lima ratus sembilan puluh lima) gram atau lebih.

e.        Emas 85 (delapan puluh lima) gram atau lebih.

f.         Biji bijian, buah buahan dan semua jenis pertanian kurang dari 5(lima) sha’, setara dengan 653 (enam ratus lima puluh tiga) Kg.

 

4.       Harta Benda Telah Melebihi Untuk Memenuhi Kebutuhan Primer. Mengingat harta lebih setelah digunakan seseorang untuk memenuhi kebutuhan primernya (kebutuhan pokok sehari hari), maka ia adalah harta yang tidak dibutuhkan oleh orang tersebut. Karena harta yang masih dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan primer adalah masih dibutuhkan oleh orang tersebut. Sehingga ketika dia tetap menunaikan zakat yang diwajibkan oleh syariat, maka semata mata itu adalah dikarenakan kebaikan jiwa untuk mensyukuri nikmat Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: Tunaikanlah zakat harta benda kalian yang dengannya (mengeluarkan/menunaikan Zakat) jiwa kalian menjadi suci.” (Hadits Riwayat Ath Thabarani). Dimana Kebutuhan Primer yang menjadi dasar menentukan kewajiban berzakat, dapat dibedakan menjadi 2 (dua) ketentuan:

 

a.        Kebutuhan Primer Tahqiqi atau kebutuhan yang nyata atau berimbas langsung seperti nafkah makan minum (pangan), tempat tinggal atau rumah (papan), alat alat perang (perlindungan atau keamanan), pakaian untuk menahan panas dan dingin (sandang).

 

b.       Kebutuhan Primer Taqdiri atau kebutuhan yang dikira kirakan atau tidak selalu dibutuhkan) seperti hutang, karena orang yang berhutang harus membayar hutangnya meski ia sudah memiliki harta yang sudah mencapai satu Nishab, atau untuk menebus seseorang yang sedang tertawan.

 

Termasuk kebutuhan primer Taqdiri adalah alat alat sepele yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sehari hari, seperti perlengkapan rumah tangga, kendaraan, buku buku keilmuan bagi orang orang yang aktif di dunia belajar dan mengajar atau ilmuan, karena kebodohan bagi mereka adalah bagaikan kebinasaan.

 

5.       Harta Bendanya Terhindar Dari Hutang. Apabila pemilik harta memiliki hutang lebih banyak dari harta yang dimilikinya, atau jika digunakan untuk membayarnya dapat mengurangi hartanya kurang dari satu Nishab, maka ia tidak wajib menunaikan zakat. Hal ini sebagaimana diriwayatkan Al Baihaqi dari Sa’ib, bahwasanya ia mendengar Ustman bin Affan berkhutbah di atas mimbar Rasulullah, “Bulan ini adalah bulan zakat kalian; siapa mempunyai hutang, maka bayarlah hutangnya terlebih dahulu kemudian bayarlah zakat harta yang tersisa (apabila mencapai satu Nishab).” Ustman mengatakan hal ini dihadapan para sahabat dan mereka tidak mengingkari khutbahnya ini. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat dan menjadi salah satu ijma’ mereka. Dilain sisi, seseorang yang memiliki hutang adalah termasuk orang yang berhak menerima zakat karena ia dianggap sebagai fakir miskin dan gharim (orang yang banyak mempunyai hutang). Karena itu, bagaimana mereka diwajibkan menunaikan zakat, sedangkan ia sendiri termasuk golongan yang berhak menerima zakat?

 

6.       Harta Benda Sudah Dimiliki Selama Setahun. Harta yang dimiliki sudah selama setahun maksudnya adalah harta yang ada telah dimiliki pemiliknya selama 12 (dua belas) bulan Qamariyah (satu tahun). Syarat ini diperuntukkan bagi harta berupa binatang ternak, uang dan beberapa komoditi perdagangan, sebagaimana hadits berikut ini: Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, bahwasanya Rasulullah SAW pernah menyatakan: “Tidak ada zakat pada harta benda sampai ia telah melewati (kepemilikan) setahun.” (Hadits Riwayat Ad Daruquthni dan Al Baihaqi)

 

Ketentuan ini telah menjadi kesepakatan seluruh ulama. Adapun zakat tanaman, buah buahan, madu, segala macam barang tambang dan harta terpendam beserta macam dan jenisnya tidak disyaratkan harus sudah dimiliki selama setahun. Tentang tanaman dan buah buahan yang harus dizakati ada pada surat Al An’am (6) ayat 141 berikut ini: “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”

 

Sedangkan aturan tentang zakat madu sebagaimana diriwayatkan Al Baihaqi dari Sa’ad bin Abu Dziyab bahwasanya Nabi SAW menugaskannya untuk menarik zakat dari kaumnya, dan ia mengatakan kepada kaumnya itu,“Tunaikan zakat madu sepersepuluhnya.” Dan sebagaimana telah diketahui bersama bahwa sepersepuluh tidak dibayarkan kecuali pada musim madu (tanpa harus menunggu satu tahun). Karena musim madu dalam setahun bisa terjadi sekali atau dua kali bahkan lebih.Adapun zakat barang tambang dan barang terpendam lainnya, ketentuannya sebagaimana diriwayatkan: Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : “Dalam rikaz (zakatnya) seperlima. (Hadits Riwayat Al Jamaah).

 

Rikaz sebagaimana menurut kesepakatan ulama adalah setiap sesuatu yang terkubur dalam tanah. Dan dinamakan Rikaz karena setiap yang terkubur di dalam tanah, maka ia menjadi rikaz atau terpendam di dalamnya.

 

Inilah ketentuan ketentuan khusus yang berlaku di dalam zakat, jika salah satu dari beberapa syarat yang kami kemukakan di atas tidak terpenuhi, maka seseorang belum memiliki kewajiban untuk menunaikan zakat. Hal yang harus kita jadikan pedoman saat hidup di muka bumi ini, bisa saja pada suatu waktu tertentu kita tidak memiliki kewajiban untuk menunaikan zakat dan bisa saja pada suatu waktu tertentu pula bisa saja kita wajib menunaikan zakat karena hidup yang kita jalani tidak monoton.

 

Saat diri kita tidak memiliki kewajiban untuk menunaikan zakat karena nishab dan haulnya tidak tercapai, bukan berarti kita tidak bisa menolong sesama atau tidak bisa menunjukkan kesalehan pribadi melalui kesalehan sosial. Masih ada jalan lain untuk berbuat kebaikan, yaitu melalui jalan infaq dan juga sedekah. Di lain sisi, jika kita memiliki kewajiban berzakat karena nishab dan haulnya tercapai lalu kita sudah pula melunasinya, bukan tidak mungkin kita bisa menunjukkan kesalehan pribadi melalui kesalehan sosial yang lainnya melalui infaq, sedekah dan juga wakaf sebagai penyempurna.

 

Untuk mempertegas apa apa yang telah kami kemukakan di atas tentang adanya subyek zakat dan juga tentang obyek zakat, berikut ini akan kami kemukakan beberapa kemungkinan yang bisa saja terjadi sewaktu manusia, termasuk diri kita, saat hidup di muka bumi ini, yaitu:

 

1.       Seseorang bisa saja pada tahun tertentu tidak memiliki kewajiban untuk menunaikan zakat karena tidak memenuhi Nishab dan Haul dan/atau bisa saja pada tahun tertentu pula seseorang mulai memiliki kewajiban untuk menunaikan zakat karena dinamisnya kehidupan sehingga Nishab dan Haulnya tercapai.

 

2.       Seseorang bisa saja pada waktu tertentu menjadi seorang Mustahik, namun pada waktu tertentu pula berubah atau meningkat menjadi seorang Muzakki dan inilah yang yang dikehendaki oleh Allah SWT melalui program zakat yang bermakna sosial kemasyarakatan. Perintah menunaikan zakat yang telah diperintahkan Allah SWT tidak boleh menjadikan seseorang selamanya menjadi Mustahik. Melalui perintah zakat yang telah diperintahkan oleh Allah SWT harus menjadikan seorang Mustahik bisa berubah menjadi seorang Muzakki.  

 

3.       Seseorang yang menjadi subyek zakat atau yang memiliki kewajiban untuk menunaikan zakat  bisa saja pada satu tahun tertentu hanya memiliki satu obyek zakat saja yang akan dizakati atau bahkan tidak memiliki kewajiban untuk menunaikan zakat karena ketentuan yang berlaku tidak terpenuhi.

 

4.       Seseorang yang menjadi subyek zakat bisa saja karena profesi dan pekerjaannya atau karena ia memiliki kekayaan yang banyak dengan bentuk dan ragam lebih dari satu, orang itu akan menjadi subyek zakat yang memiliki lebih dari satu obyek zakat yang harus ditunaikannya pada satu tahun tertentu.

 

5.       Seorang Amil Zakat memiliki hak untuk menerima zakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku, namun dalam prakteknya bisa saja Amil Zakat tidak mau menerima haknya tersebut lalu haknya dizakatkan kembali dan jika ini yang terjadi terjadilah perubahan posisi dari seorang Mustahik menjadi seorang Muzakki.

 

6.       Adanya perintah menunaikan zakat yang berlaku saat ini mewajibkan diri kita untuk selalu jujur terhadap jumlah kekayaan yang kita miliki dan juga mewajibkan diri kita memiliki dokumentasi yang jelas terhadap kepemilikan harta yang kita miliki karena menyangkut pemenuhan ketentuan Nishab dan Haul.

 

7.       Adanya kehidupan yang dinamis dari seseorang atau adanya pasang surut kehidupan dari subyek zakat, akan berpengaruh pula terhadap besar kecilnya zakat yang harus ditunaikan sehingga naik dan turunnya kewajiban zakat sangat berhubungan erat dengan dinamisnya kehidupan seseorang.

 

Adanya perintah Zakat yang berlaku di langit dan di bumi Allah SWT ini maka kita tidak bisa tutup mata dengan perintah ini dan kita tidak bisa tutup mata dengan keadaan yang terjadi di sekeliling kita (maksudnya adalah para mustahik) yang berhak menerima zakat karena Allah SWT berkehendak kepada diri kita agar memiliki sense of asnaf yaitu rasa kepedulian kepada lingkungan serta tidak ada gunanya diri kita memiliki harta kekayaan tapi tidak memberikan kontribusi yang positif bagi lingkungan. Lalu jangan sampai kesempatan untuk menunaikan zakat berlalu dalam kehidupan kita sehingga kita jauh dari kehendak Allah SWT, jauh pula dari hidup nyaman, aman, damai serta bersahaja yang berasal dari kesalehan diri yang tercermin dalam kesalehan sosial serta jauh pula dari syurga namun dekat dengan neraka. Semoga hal ini tidak terjadi pada diri kita dan juga pada anak dan keturunan kita masing masing. Amien.

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar