Setiap individu yang ingin menunaikan zakat,
harus mengetahui syarat dan ketentuan yang berlaku yang mengatur tentang zakat
sebelum membuat taksirannya dan menunaikan zakatnya. Untuk itu akan kami bahas tentang subyek zakat dan juga obyek zakat yang sesuai
dengan ketentuan AlQuran dan Alhadits, yaitu:
A.
SUBYEK ZAKAT.
Untuk memudahkan diri kita menentukan subyek zakat (siapa siapa saja
yang harus menunaikan zakat), perkenankan kami meminjam istilah perpajakan yang
ada di dalam undang undang perpajakan yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan
ketentuan yang berlaku di era tahun delapan puluhan dikemukakan bahwa yang
dikenakan pajak hanyalah a, b, c, d, e, dan f saja maka yang di luar ketentuan
a, b, c, d, e, dan f itu tidak dikenakan pajak. Kemudian ketentuan ini dirubah
di era tahun sembilan puluhan menjadi semua kena pajak kecuali g, h, i, j, k, l
dan m.
Adanya ketentuan ini maka sumber utama perpajakan menjadi lebih banyak
dan adanya kepastian hukum tentang siapa siapa saja yang akan dikenakan pajak dan usaha usaha apa saja
yang dikenakan pajak. Berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku saat ini
maka selama diri kita menjalankan usaha atau berusaha di bidang g, h, i, j, k,
l dan m maka usaha tersebut atau bidang usaha tersebut tidak dikenakan pajak,
sebaliknya jika kita berusaha di luar g, h, I, j, k, l dan m, akan dikenakan
pajak. Sedangkan dalam ketentuan perpajakan yang berhak menerima pembayaran pajak
hanyalah pemerintah saja melalui kantor
perpajakan. Sedangkan yang harus membayar pajak adalah badan usaha dan juga
perseorangan sepanjang penghasilannya telah di atas Penghasilan Tidak Kena
Pajak.
Sekarang bagaimana dengan perintah zakat yang sudah berlaku di langit
dan di bumi ini? Konsep perpajakan yang kami kemukakan di atas tidak serta
merta bisa diterapkan dalam konsep zakat yang berlaku saat ini karena adanya
perbedaan aturan main diantara keduanya. Dalam konsep zakat yang berlaku saat
ini (berdasarkan AlQuran dan hadits) telah diatur dengan jelas siapa siapa saja
yang berhak menerima zakat dan juga diatur siapa siapa saja yang tidak
diperkenankan untuk menerima zakat dan juga siapa saja yang menjadi subyek
pajak (orang atau perusahaan yang wajib menunaikan zakat).
1. Yang Berhak Menerima Zakat. Yang berhak menerima zakat telah diatur oleh Allah SWT selaku pemberi
perintah termaktub di dalam AlQuran yang terdapat dalam surat At Taubah (9)
ayat 58, 59, 60 sebagaimana berikut ini: “Dan di antara mereka ada orang yang
mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari
padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari
padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. Jikalau mereka
sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada
mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi Kami, Allah akan memberikan sebagian
dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya Kami adalah
orang-orang yang berharap kepada Allah,” (tentulah yang demikian itu lebih baik
bagi mereka). Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[647].”
[647] Yang berhak menerima zakat ialah: 1. Orang fakir: orang yang sangat
sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi
penghidupannya. 2. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan
dalam keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk
mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan
masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5. Memerdekakan
budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang
kafir. 6. Orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang
bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk
memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia
mampu membayarnya. 7. Pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan
Islam dan kaum muslimin. Di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa
fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan
sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang
bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
Berdasarkan ketentuan di atas, Allah SWT sudah menentukan dan
menetapkan dengan jelas 8 (delapan) golongan yang diperkenankan untuk menerima zakat
(mustahik) yang berasal dari orang orang yang berkewajiban untuk menunaikan zakat
(muzakki). Berikut ini akan kami kemukakan ke tujuh golongan yang diperkenankan
untuk menerima zakat, antara lain yaitu :
a.
Fakir. Fakir ialah orang
yang tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya karena tidak bisa usaha.
b.
Miskin. Miskin ialah orang yang bisa usaha, tetapi
tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya, misalkan karena pendapatannya
sangat sedikit.
c.
Para Amil, atau Pengurus
Zakat. Amil
zakat merupakan orang orang (pribadi) yang melaksanakan segala urusan zakat
berupa pengumpulan dan penjagaannya, serta menghitung keluar masuknya zakat.
d.
Mualaf atau Orang Yang
Dilunakkan Hatinya. Muallaf
ialah orang yang dijinakkan hatinya untuk kepentingan Islam dan kaum muslimin.
Yang termasuk muallaf antara lain: (1)
Orang
atau pengikut yang dengan pemberian itu diharapkan masuk islam; (2) Orang yang dikhawatirkan gangguannya
terhadap islam dan kaum muslimin; (3)
Orang yang baru masuk islam untuk memperkuat keislamannya; (4) Orang yang termasuk tokoh muslim yang
mempunyai kawan dari kalangan kafir yang diharapkan keislamannya; (5) Orang yang telah lama muslim tapi ada di
perbatasan musuh (tempatnya). Inilah lima buah kriteria dasar apa yang
disebut dengan mualaf, semoga ini menjadi pembelajaran bagi kita yang selama
ini hanya memahami bahwa mualaf adalah orang yang baru masuk agama Islam.
e.
Hamba Sahaya. Ada beberapa cara
untuk memerdekakan budak, diantaranya dengan cara sebagai berikut, yaitu: (a) menolong hamba mukatab, yaitu
budak yang memiliki perjanjian dengan tuannya, misalnya ia sanggup menghasilkan
harta dengan nilai dan ukuran tertentu, maka dia dibebaskan; (b) Seseorang
dengan harta zakatnya membeli seorang budak kemudian membebaskannya.
f.
Orang Yang Berhutang (Al
Gharimun). Gharimîn adalah
kata dari bahasa Arab yang bermakna orang-orang yang memiliki hutang.
Orang berutang yang berhak menerima kuota zakat adalah orang-orang dalam
golongan:
1) Orang yang berutang
untuk kepentingan pribadi yang tidak bisa dihindarkan, dengan syarat-syarat
sebagai berikut: (a) Utang itu tidak timbul karena kemaksiatan; (b) Utang itu
melilit pelakunya; (c) Si pengutang sudah tidak sanggup lagi melunasi utangnya;
(d) Utang itu sudah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu
diberikan kepada si pengutang.
2) Orang-orang yang
berutang untuk kepentingan sosial, seperti yang berutang untuk mendamaikan
antara pihak yang bertikai dengan memikul biaya diyat (denda kriminal)
atau biaya barang-barang yang dirusak. Orang seperti ini berhak menerima zakat,
walaupun mereka orang kaya yang mampu melunasi utangnya.
3) Orang-orang yang
berutang karena menjamin utang orang lain, dimana yang menjamin dan yang
dijamin keduanya berada dalam kondisi kesulitan keuangan.
4) Orang yang berutang
untuk pembayaran diyat (denda) karena pembunuhan tidak sengaja, apabila
keluarganya (aqilah) benar-benar tidak mampu membayar denda tersebut, begitu
pula kas negara.
Pembayaran diyat itu
dapat diserahkan langsung kepada wali si terbunuh. Adapun diyat pembunuhan yang
disengaja tidak boleh dibayar dari dana zakat. Namun, tidak boleh mempermudah
pembayaran diyat dari dana zakat, karena banyaknya kasus pembunuhan tidak
sengaja, sebab para mustahiq zakat yang lain juga sangat membutuhkannya. Untuk
itu, dianjurkan membuat kotak-kotak dana sosial untuk meringankan beban orang
yang menanggung diyat seperti ini, misalnya karena kecelakaan lalu lintas dan
sebagainya. Juga sugesti membuat kotak-kotak dana sosial keluarga atau profesi
untuk menyerasikan sistem aqilah (sanak keluarga yang ikut menanggung
diyat pembunuhan tidak sengaja) sesuai dengan tuntutan zaman.
g.
Fisabilillah atau Untuk
Jalan Allah. Mujahidin
merupakan orang yang berjihad di jalan Allah. Di dalam AlQuran digambarkan
sasaran zakat yang ketujuh ini dengan firmanNya: “Di jalan Allah”. Sabil
berarti jalan. Jadi sabilillah artinya jalan yang menyampaikan pada ridha Allah
SWT, baik akidah maupun perbuatan. Sabilillah adalah kalimat yang bersifat
umum, mencakup segala amal perbuatan ikhlas, yang digunakan untuk bertakkarub
kepada Allah SWT, dengan melaksanakan segala perbuatan wajib, sunat dan
bermacam kebajikan lainnya.
h. Ibnu Sabil atau Orang Yang Sedang Dalam Perjalanan. Ibnu sabil atau
musafir, yaitu orang yang melakukan perjalanan dari suatu daerah ke daerah
lain. Menurut pendapat beberapa ulama, ibnu sabil mempunyai hak zakat, walaupun
ia kaya, jika ia terputus bekalnya (kehabisan bekal).
Itulah 8 (delapan) pihak (asnaf) yang berhak menerima zakat (mustahik)
yang berasal dari orang orang yang menunaikan zakat baik zakat fitrah maupun
zakat maal sebagaimana yang dikehendaki dan yang telah ditetapkan oleh Allah
SWT.
1.
Yang Tidak Berhak Menerima Zakat. Setelah
kita mengertahui siapa siapa saja yang berhak menerima zakat yang sesuai dengan
syariat yang berlaku. Berikut ini akan kami kemukakan siapa siapa saja yang
tidak berhak menerima zakat baik zakat fitrah ataupun zakat maal adalah:
a.
Orang Orang Kaya. Para ahli fiqih sepakat bahwasanya orang kaya tidak berhak menerima
Zakat yang menjadi hak orang orang fakir dan miskin. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan
Al Khamsah, sedekah tidak diperkenankan diberikan kepada orang kaya.
Juga bersandar kepada perintah Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan as
Sittah kepada sahabat Muadz bin Jabal ra, ketika beliau mengutusnya ke Yaman.
“Beritahukanlah kepada mereka, bahwasanya mereka wajib menunaikan zakat yang
diambil dari orang orang kaya mereka dan dikembalikan (dibagikan) kepada orang
orang fakir mereka”. Rasulullah SAW bersabda: ““Zakat tidak boleh diberikan kecuali kepada lima golongan, yaitu:
pejuang di jalan Allah (fi sabilillah), amil zakat, orang yang berhutang, orang
yang membeli zakat dengan hartanya, atau orang yang mempunyai tetangga miskin
dan menunaikan zakatnya kepada si miskin tersebut, lalu ia menghadiahkannya
kepada orang kaya”. (Hadits Riwayat Al Baihaqi dan Abu Dawud)
Memberikan zakat kepada orang orang kaya, dengan mengambil dari bagian
orang orang fakir miskin, berarti menghalangi sampainya zakat kepada yang
berhak menerimanya, dan menciderai hikmah diwajibkannya zakat tersebut, yaitu
mencukupi kebutuhan orang orang fakir miskin. Oleh karena itu, memberikan
bagian zakat kepada orang orang kaya adalah tidak boleh dan harus dihindarkan.
Dan bagi orang kaya itu sendiri seharusnya memiliki sense of asnaf (atau
kepekaan yang tinggi) kepada orang orang yang berhak memperoleh dan mendapatkan
zakat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
b.
Orang Orang Kuat Dan Mampu Berusaha. Para Ulama fiqih sepakat bahwasanya zakat tidak boleh diberikan kepada
orang yang berbadan sehat dan kuat, serta mampu berusaha. Kecuali ketika ia
tidak mendapatkan pekerjaan, atau
mendapatakan pekerjaan tetapi upah yang diterima tidak mencukupi
kebutuhan primernya dan kebutuhan orang orang yang menjadi tanggungjawabnya.
Karena itulah, orang tersebut boleh mendapatkan bagian zakat sebesar
kebutuhannya atau sebesar modal yang dapat membantu melancarkan usaha atau yang
dapat membantunya untuk mendapatkan pekerjaan atau usaha.
Larangan memberikan zakat kepada orang yang kuat dan sehat ini
berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan al Khamsah, “Zakat
tidak boleh diberikan kepada orang kaya dan orang yang sehat dan kuat”.
Hikmah pengharaman ini adalah bahwasanya orang yang kuat dan mampu berusaha
sangat dianjurkan oleh syariat untuk bekerja dan mencukupi kebutuhannya
sendiri, tidak boleh duduk manis dan menggantungkan kebutuhan hidupnya pada
orang lain, meminta minta sedekah dan zakat zakat mereka sehingga hidup menjadi
beban masyarakat. Sesungguhnya zakat merupakan penopang utama dalam membangun
masyarakat yang tidak mempunyai jaminan sosial, membangun masyarakat yang mampu
berproduksi, berinovasi, dan ikut serta membangun perekonomian negara yang
berlindung di bawah makna keadilan sosial.
c.
Non Muslim. Seluruh ulama fiqih sepakat bahwa orang kafir yang memusuhi umat Islam
tidak berhak mendapatkan harta zakat sama sekali. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan
Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang
yang zalim. (surat Al Mumtahanah (60) ayat 9). Begitu juga dengan orang orang Atheis (tidak beragama) yang
mengingkari adanya Tuhan, adanya Nabi dan adanya hari akhirat (hari pertemuan),
sehingga ia tidak berhak sama sekali mendapatkan harta zakat dari orang orang
yang beragama.
d.
Para Istri, Kedua Orang
Tua dan Anak Anak. Jumhur ulama fiqih
berpendapat bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada istri, dan tidak pula
kepada orang tua dan juga mertua, ayah maupun ibu, kakek dan seterusnya ke
atas. Begitu juga kepada keturunannya ke bawah, mulai dari anak anak, cucu dan
seterusnya. Alasan dari larangan ini sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu
Mundzir adalah, apabila seseorang membayarkan zakatnya kepada mereka, maka ia
tidak perlu memberikan nafkah kepada mereka dan kewajiban tersebut menjadi
gugur sehingga manfaatnya kembali kepadanya. Maka dalam hal ini seolah olah ia
membayar zakat tersebut kepada dirinya sendiri. Sedangkan memberikan zakat
kepada semua kerabat, seperti saudara laki laki, saudara perempuan, paman dari
ayah, bibi dari ayah, paman dari ibu, dan bibi dari ibu, adalah diperbolehkan
menurut mayoritas ulama fiqih.
e.
Keluarga Nabi Muhammad
SAW.Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari, keluarga Nabi Muhammad SAW tidak diperkenankan untuk menerima zakat. Sabda Rasulullah SAW: “Zakat tidak boleh
diberikan kepada keluarga Muhammad” (Hadits Riwayat Bukhari)
Jamaah sekalian, itulah 5 (lima)
ketentuan yang berlaku tentang siapa siapa yang tidak berhak menerima dan
memperoleh zakat dan semoga kita mampu menempatkan diri kita dan juga anak
keturunan kita menjadi orang orang yang siap sedia untuk menunaikan zakat
(menjadi muzakki), termasuk di dalamnya siap untuk melaksanakan infaq, sedekah
atau bahkan wakaf yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
2.
Pihak Yang Memiliki Kewajiban Menunaikan Zakat.
Berikut ini akan kami kemukakan tentang adanya
dua pihak yang memiliki kewajiban untuk menunaikan zakat, yaitu:
a.
Perseorangan. Berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat 3 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2011
Tentang Pengelolaan Zakat dikemukakan bahwa ada dua pihak yang memiliki
kewajiban menunaikan zakat fitrah dan zakat maal yaitu muzakki perseorangan dan
muzakki badan usaha sepanjang keduanya memenuhi ketentuan nishab dan haul. Bagi
muzakki perseorangan haruslah perseorangan yang tidak termasuk di dalam 8(delapan)
pihak (asnaf) yang berhak menerima zakat sebagaimana termaktub dalam surat At
Taubah (9) ayat 58, 59, 60 di atas dan juga bukan pula orang orang yang tidak
berhak memperoleh zakat, sebagaimana kami kemukakan di atas.
Selain daripada itu, berdasarkan ketentun pasal 22 dan pasal 23 dari Undang
Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat bahwa setiap muzakki baik perseorangan
ataupun perusahaan yang membayarkan zakatnya kepada Badan Amil Zakat Nasional
ataupun Lembaga Amil Zakat maka pembayaran zakatnya dapat menjadi faktor pengurang
dari penghasilan kena pajak. Untuk itu setiap muzakki (baik perseorangan
ataupun badan usaha) harus meminta bukti setoran zakatnya kepada Baznas atau
LAZ sebagai bukti pengurang penghasilan kena pajak.
b. Perusahaan (Badan Usaha). Perusahaan
atau badan usaha juga bisa memiliki kewajiban untuk menunaikan zakat maal
sebagaimana dikemukakan dalam pasal 4 ayat 3 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat. Zakat
bagi perusahaan dapat dianalogikan dengan zakat perdagangan, maka perhitungan
nisbah dan syarat-syarat lainnya juga mengacu pada zakat perdagangan. Dan sebelum menentukan besaran perhitungan zakat maal terutama bagi
perusahaan, ada
beberapa prinsip dasar dalam penghitungan zakat perusahaan, yaitu:
1) Zakat hanya
dibebankan kepada orang muslim yang telah memenuhi nishab dan haul dan tidak
dibebankan kepada non muslim.
2) Aset berupa fasilitas
perusahaan tidak terkena zakat, seperti: mobil untuk fasilitas, kantor,
computer dan sejenisnya.
3) Zakat perusahaan pada
dasarnya menzakati harta orang-orang yang menanamkan modal di perusahaan serta
keuntungannya.
4) Sistem zakat
perusahaan tergantung bidang perusahaan tersebut sehingga berbeda system dan
cara perhitungannya. Untuk perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan dan
keuangan maka sistem zakatnya adalah: zakat perdagangan. Perusahaan yang
bergerak dibidang pertanian dan perkebunan maka zakatnya adalah zakat pertanian
atau perkebunan. Sedangkan perusahaan jasa dan pertambangan ada perbedaan di
antara ulama: baik terkait dengan nishab dan besaran zakat yang harus
dikeluarkan; sebagian ulama berpendapat mengikuti penghitungan emas serta perak
dan ada juga yang berpendapat mengikuti pertanian.
5) Perusahaan yang
bergerak di bidang industri: bahan baku yang belum diproduksi masuk dalam
hitungan harta yang terkena zakat.
6) Adapun cara
menghitung zakat perusahaan yang bergerak di bidang : perdagangan,
keuangan, investasi dan jasa (menurut sebagian ulama) : (seluruh uang
perusahaan yang ada, baik uang cash maupun di bank + nilai barang yang
diperjual belikan ) x 2,5 persen = nilai zakat yang harus dikeluarkan.
7) Bisa juga cara
menghitung zakat perusahaan dengan metode penghitungan: (semua asset perusahaan
– asset tidak terkena zakat (sarana dan fasilitas) ) x 2,5 persen = nilai zakat
yang harus dikeluarkan.
8) Penghitungan zakat
perusahaan boleh dilakukan saat tutup buku atau genap satu tahun. Dengan
demikian, penghitungan zakat perusahaan tidak berdasarkan pada fluktuasi
keuangan yang berlangsung perbulan atau perhari. Penghitungan di lakukan
pertahun.
9) Hutang bisa menjadi
faktor pengurang apabila nilai hutang itu melebihi nilai asset tidak bergerak
perusahaan. Cara menghitung hutang perusahaan dan pengaruhnya terhadap
zakat, langkah pertama, semua asset tidak bergerak dikonfersi ke
rupiah. Langkah kedua: membandingkan antara beban hutang yang harus
dibayar dan nilai asset perusahaan yang berupa harta tidak terkena zakat.
Apabila hasilnya ternyata nilai asset itu lebih besar dari beban hutang maka
hutang tidak menjadi pengurang zakat. Namun bila nilai hutang lebih besar maka
selisihnya (selisih antara nilai asset tidak terkena zakat dan nilai beban
hutang) itu yang menjadi pengurang. Kesimpulannya : tidak semua hutang bisa
menjadi factor menjadi pengurang.
Selanjutnya, dasar perhitungan
zakat perdagangan adalah mengacu pada riwayat yang diterangkan oleh Abu Ubaid
dalam kitab Al-Amwal dari Maimun bin Mihram sebagai berikut: “Apabila
telah sampai waktu untuk membayar zakat, perhatikanlah apa yang engkau miliki
baik uang (kas) atau barang yang siap diperdagangkan (persediaan), kemudian
nilailah dengan nilai uang. Demikian pula piutang. Kemudian hitunglah
utang-utangmu dan kurangkanlah atas apa yang engkau miliki”.
Berdasarkan kaidah ini, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa pola perhitungan
zakat perusahaan sekarang ini adalah didasarkan pada nerasa (balance sheet)
yaitu aktiva lancar dikurangi kewajiban lancar (metode asset netto). Metode ini
biasa disebut oleh ulama dengan metode syari’ah.
Untuk mengetahui
nilai harta yang terkena zakat dari sebuah perusahaan, maka aktiva lancar harus
dikurangi dengan kewajiban lancar. Setelah itu dikeluarkan zakarnya sebesar
2,5%. Metode ini digunakan di Saudi Arabia dan beberapa Negara Islam lainnya
sebagai pendekatan perhitungan arsitek, konsultan, pengacara, dokter, pegawai
negeri, kontraktor dan sebagainya. Paling tidak ada tiga cara yang digunakan
untuk mengeluarkan zakat dari setiap perusahaan, diantaranya sebagai berikut:
Pertama, Dihitung dan
dikeluarkan zakatnya seperti perdagangan (menurut Ibnu Aqil dan Ibnu Qayyim).
Dalam metode ini zakat dikeluarkan dalam kurun waktu setahun sekali dengan
menghitung nilai bangunan dan hasilnya kemudian dikeluarkan zakatnya sebesar
2,5% seperti zakat perdagangan.
Kedua, Zakat dikeluarkan dari hasilnya saja, 2,5% dengan
nisab emas (menurut Imam Ahmad dan Pendapat Mazhab Maliki). Pada metode kedua
ini zakat yang dikeluarkan oleh perusahaan ketika menerima penghasilan tanpa
menunggu waktu satu tahun, artinya ketika sautu perusahaan menerima penghasilan,
maka dari penghasilan tersebut langsung dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5%
dengan merujuk kepada nisbah emas yang berlaku.
Ketiga, Zakat
dikeluarkan dari hasilnya saja dan menggunakan nisbah pertanian 10% atau 5% dan
zakat dikeluarkan pada saat pembayaran tanpa menggunakan satu tahun (Syeikh
Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahhab Kallaf, Abdurrohman Hasan dan Yusuf Qardawi).
Pada metode ini juga pengeluaran zakat dilakukan tanpa menunggu waktu satu
tahun, pengeluaran zakat dilakukan pada saat pembayaran selesai dilakukan
dengan merujuk kepada nisbah pertanian 10% atau 5%. 10% untuk zakat pertanian
yang tadah hujan dan 5% untuk zakat pertanian yang menggunakan irigasi.
Adapun ketentuan yang
dilakukan untuk menghitung zakat perusahaan dapat kami kemukakan berikut: Usaha
sudah berjalan 1 tahun (sudah haul). Nishab zakat perusahaan sama dengan nisab
emas yaitu senilai 85 gr emas. Kadar zakatnya adalah 2,5%. Dapat dibayarkan
dengan uang atau barang. Dikenakan pada perdagangan maupun perorangan. Berdasarkan
ketentuan umum di atas, langkah selanjutnya adalah menghitung dengan
berdasarkan formula perhitungan zakat perusahaan sebagai berikut: “(modal diputar + keuntungan + piutang yang
dapat dicairkan) – (utang + kerugian) x 2,5%.”
Berikut ini kami
contohkan zakat perusahaan baik yang bergerak di bidang perdagangan, industry,
agroindustry, atapun jasa, dikelola secara individu maupun badan usaha (seperti
PT, CV, Yayasan, Koperasi, dls) dengan rincian sebagai berikut:
Keuntungan bersih
=
Rp. 111.580.000,- (pertahun)
Nishab zakat 85 gm
emas = Rp.
25.500.000,- (harga emas Rp. 300.000/gm)
Zakat yang harus
dikeluarkan = Rp. 2,5 % x 111.580.000
= 2.789.500.000,-
Pada perusahaan yang
berbetuk syirkah (kerjasama), jika semua anggota yang bersyirkah beragama Islam,
maka sebelum dibagikan kepada yang bersyirkah maka harus dikeluarkan terlebih
dahulu zakatnya, akan tetapi jika yang bersyirkah gabungan dari orang
Islam dan non Islam maka anggota yag bersyirkah muslim saja yang dikeluarkan
zakatnya.
A. OBYEK ZAKAT.
Agar diri kita mudah dan dimudahkan untuk
selalu menunaikan zakat yang tidak lain adalah Hak Allah SWT dari waktu ke
waktu, berikut ini akan kami kemukakan apa apa saja yang akan dikenakan zakat
(apa apa saja yang menjadi obyek zakat) serta syarat syarat harta yang wajib
dizakati, yaitu:
1.
Harta Yang Wajib Dizakatkan. Berikut ini akan kami kemukakan obyek obyek zakat
yang di dalamnya terdapat adanya hak Allah SWT yang harus ditunaikan oleh para
pemiliknya, yaitu :
a.
Uang dengan segala bentuknya, yang meliputi
emas, perak dan lembaran lembaran surat berharga seperti saham, obligasi dan
lain sebagainya.
b.
Barang dagangan yang meliputi segala
sesuatu yang dipersiapkan untuk mendapatkan keuntungan dari para pedagang dan
penjual dengan segala macam dan bentuknya.
c.
Binatang ternak yang meliputi: unta, sapi,
kambing, termasuk di dalamnya kambing gunung.
d.
Hasil hasil pertanian dengan segala
jenis dan macamnya.
e.
Hasil hasil pertambangan meliputi
segala sesuatu yang dikeluarkan dari perut bumi yang berupa barang barang
tambang seperti besi dan tembaga.
Sebagai orang yang telah diperintahkan
untuk menunaikan zakat, bertanyalah kepada diri sendiri, adakah di dalam harta
kekayaan kita yang sudah menjadi obyek zakat yang sesuai dengan ketentuan di
atas? Jika ada di dalam harta kekayaan kita terdapat obyek zakat, maka kita
harus memiliki dokumentasi yang jelas dan akurat tentang kepemilikan harta
harta tersebut karena sangat berhubungan dengan syarat syarat harta yang wajib
dizakati terutama dari sisi nishab dan haulnya.
2.
Syarat Syarat Harta Yang Wajib Dizakati.Berikut ini akan kami kemukakan syarat syarat dari
harta ataupun kekayaan yang wajib dizakati atau syarat dan ketentuan atas harta
yang menjadi obyek Zakat, yaitu :
a.
Milik
Sendiri. Maksud dari harta milik sendiri adalah
harta yang dimiliki oleh seorang muslim dan harta itu ada dalam kekuasaannya,
dan tidak berkaitan dengan hak orang lain. Di samping itu, pemilik harta
tersebut mampu menggunakan hartanya itu sesuai dengan keinginannya dan apa yang
dihasilkan harta tersebut adalah untuk dirinya.
b.
Harta
Benda itu Berkembang atau Bisa Untuk Dikembangkan. Harta benda yang berkembang atau bisa untuk
dikembangkan dalam artian, harta itu mengalirkan keuntungan dan faedah kepada
pemiliknya, atau harta tersebut dengan sendirinya dapat berkembang. Para ulama
membagi harta yang berkembang menjadi dua bagian:
1)
Nama’ Haqiqi, yaitu bertambah dan
bertambahnya harta baik melalui perdagangan maupun dengan adanya
perkembangbiakan,, seperti berkembang biaknya kambing, unta atau hewan
peliharaan lainnya.
2)
Nama’ Taqdiri, yaitu kemungkinan
bertambahnya harta benda apabila diinvestasikan atau digunakan untuk sektor
perdagangan. Hal ini seperti orang yang memiliki uang sebesar Rp.6 juta, dan ia
menggenggamnya tanpa menggunakan uang itu untuk melakukan investasi. Maka ia
berkewajiban menunaikan Zakat sebesar 2,5% dari uangnya itu ketika telah
mencapai nishab satu tahun. Pasalnya uangnya ini memungkinkan bertambah jika
digunakannya dalam sektor perdagangan atau diinvestasikan.
3.
Harta Benda Tersebut Sudah Mencapai Satu
Nishab (Batas Minimal Dikenakannya Zakat). Syariat Islam mensyaratkan harta benda yang wajib dizakati telah mencapai
batas atau perkiraan tertentu yang dinamakan Nishab. Dalam beberapa hadits yang
shahih disebutkan tentang batasan Nishab dengan perincian sebagai berikut:
a.
Unta 5 (lima) ekor atau lebih.
b.
Kambing 40 (empat puluh) ekor atau
lebih.
c.
Sapi 30 (tiga puluh) ekor atau lebih.
d.
Perak 595 (lima ratus sembilan puluh lima)
gram atau lebih.
e.
Emas 85 (delapan puluh lima) gram atau
lebih.
f.
Biji bijian, buah buahan dan semua
jenis pertanian kurang dari 5(lima) sha’, setara dengan 653 (enam ratus lima
puluh tiga) Kg.
4.
Harta Benda Telah Melebihi Untuk Memenuhi
Kebutuhan Primer. Mengingat harta lebih setelah
digunakan seseorang untuk memenuhi kebutuhan primernya (kebutuhan pokok sehari
hari), maka ia adalah harta yang tidak dibutuhkan oleh orang tersebut. Karena
harta yang masih dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan primer adalah masih
dibutuhkan oleh orang tersebut. Sehingga ketika dia tetap menunaikan zakat yang
diwajibkan oleh syariat, maka semata mata itu adalah dikarenakan kebaikan jiwa
untuk mensyukuri nikmat Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: Tunaikanlah zakat harta benda kalian yang dengannya
(mengeluarkan/menunaikan Zakat) jiwa kalian menjadi suci.” (Hadits Riwayat Ath
Thabarani). Dimana Kebutuhan Primer yang menjadi
dasar menentukan kewajiban berzakat, dapat dibedakan menjadi 2 (dua) ketentuan:
a.
Kebutuhan Primer Tahqiqi atau
kebutuhan yang nyata atau berimbas langsung seperti nafkah makan minum
(pangan), tempat tinggal atau rumah (papan), alat alat perang (perlindungan
atau keamanan), pakaian untuk menahan panas dan dingin (sandang).
b.
Kebutuhan Primer Taqdiri atau kebutuhan
yang dikira kirakan atau tidak selalu dibutuhkan) seperti hutang, karena orang
yang berhutang harus membayar hutangnya meski ia sudah memiliki harta yang
sudah mencapai satu Nishab, atau untuk menebus seseorang yang sedang tertawan.
Termasuk kebutuhan primer Taqdiri adalah alat alat
sepele yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sehari hari, seperti
perlengkapan rumah tangga, kendaraan, buku buku keilmuan bagi orang orang yang
aktif di dunia belajar dan mengajar atau ilmuan, karena kebodohan bagi mereka
adalah bagaikan kebinasaan.
5.
Harta Bendanya Terhindar Dari Hutang. Apabila pemilik harta memiliki hutang lebih banyak
dari harta yang dimilikinya, atau jika digunakan untuk membayarnya dapat
mengurangi hartanya kurang dari satu Nishab, maka ia tidak wajib menunaikan zakat.
Hal ini sebagaimana diriwayatkan Al Baihaqi dari Sa’ib, bahwasanya ia mendengar
Ustman bin Affan berkhutbah di atas mimbar Rasulullah, “Bulan ini adalah bulan zakat
kalian; siapa mempunyai hutang, maka bayarlah hutangnya terlebih dahulu
kemudian bayarlah zakat harta yang tersisa (apabila mencapai satu Nishab).”
Ustman mengatakan hal ini dihadapan para sahabat dan mereka tidak mengingkari
khutbahnya ini. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat dan menjadi salah satu
ijma’ mereka. Dilain sisi, seseorang yang memiliki hutang adalah termasuk orang
yang berhak menerima zakat karena ia dianggap sebagai fakir miskin dan gharim
(orang yang banyak mempunyai hutang). Karena itu, bagaimana mereka diwajibkan
menunaikan zakat, sedangkan ia sendiri termasuk golongan yang berhak menerima zakat?
6.
Harta Benda Sudah Dimiliki Selama Setahun. Harta yang dimiliki sudah selama setahun maksudnya
adalah harta yang ada telah dimiliki pemiliknya selama 12 (dua belas) bulan
Qamariyah (satu tahun). Syarat ini diperuntukkan bagi harta berupa binatang
ternak, uang dan beberapa komoditi perdagangan, sebagaimana hadits berikut ini:
“Diriwayatkan
dari Ibnu Umar ra, bahwasanya Rasulullah SAW pernah menyatakan: “Tidak ada
zakat pada harta benda sampai ia telah melewati (kepemilikan) setahun.” (Hadits
Riwayat Ad Daruquthni dan Al Baihaqi)
Ketentuan ini telah menjadi kesepakatan
seluruh ulama. Adapun zakat tanaman, buah buahan, madu, segala macam barang
tambang dan harta terpendam beserta macam dan jenisnya tidak disyaratkan harus
sudah dimiliki selama setahun. Tentang tanaman dan buah buahan yang harus
dizakati ada pada surat Al An’am (6) ayat 141 berikut ini: “Dan Dialah
yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon
korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa
(bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang
bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik
hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan.”
Sedangkan aturan tentang zakat madu
sebagaimana diriwayatkan Al Baihaqi dari Sa’ad bin Abu Dziyab bahwasanya Nabi
SAW menugaskannya untuk menarik zakat dari kaumnya, dan ia mengatakan kepada
kaumnya itu,“Tunaikan zakat madu
sepersepuluhnya.” Dan sebagaimana telah diketahui bersama bahwa
sepersepuluh tidak dibayarkan kecuali pada musim madu (tanpa harus menunggu
satu tahun). Karena musim madu dalam setahun bisa terjadi sekali atau dua kali
bahkan lebih.Adapun zakat barang tambang dan barang terpendam lainnya,
ketentuannya sebagaimana diriwayatkan: Dari
Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : “Dalam rikaz (zakatnya)
seperlima. (Hadits Riwayat Al Jamaah).
Rikaz sebagaimana menurut kesepakatan
ulama adalah setiap sesuatu yang terkubur dalam tanah. Dan dinamakan Rikaz
karena setiap yang terkubur di dalam tanah, maka ia menjadi rikaz atau
terpendam di dalamnya.
Inilah ketentuan ketentuan khusus yang
berlaku di dalam zakat, jika salah satu dari beberapa syarat yang kami
kemukakan di atas tidak terpenuhi, maka seseorang belum memiliki kewajiban
untuk menunaikan zakat. Hal yang harus kita jadikan pedoman saat hidup di muka
bumi ini, bisa saja pada suatu waktu tertentu kita tidak memiliki kewajiban
untuk menunaikan zakat dan bisa saja pada suatu waktu tertentu pula bisa saja
kita wajib menunaikan zakat karena hidup yang kita jalani tidak monoton.
Saat diri kita tidak memiliki
kewajiban untuk menunaikan zakat karena nishab dan haulnya tidak tercapai,
bukan berarti kita tidak bisa menolong sesama atau tidak bisa menunjukkan
kesalehan pribadi melalui kesalehan sosial. Masih ada jalan lain untuk berbuat
kebaikan, yaitu melalui jalan infaq dan juga sedekah. Di lain sisi, jika kita
memiliki kewajiban berzakat karena nishab dan haulnya tercapai lalu kita sudah
pula melunasinya, bukan tidak mungkin kita bisa menunjukkan kesalehan pribadi
melalui kesalehan sosial yang lainnya melalui infaq, sedekah dan juga wakaf
sebagai penyempurna.
Untuk mempertegas apa apa yang telah kami
kemukakan di atas tentang adanya subyek zakat dan juga tentang obyek zakat,
berikut ini akan kami kemukakan beberapa kemungkinan yang bisa saja terjadi
sewaktu manusia, termasuk diri kita, saat hidup di muka bumi ini, yaitu:
1.
Seseorang bisa saja pada tahun
tertentu tidak memiliki kewajiban untuk menunaikan zakat karena tidak memenuhi
Nishab dan Haul dan/atau bisa saja pada tahun tertentu pula seseorang mulai memiliki
kewajiban untuk menunaikan zakat karena dinamisnya kehidupan sehingga Nishab
dan Haulnya tercapai.
2.
Seseorang bisa saja pada waktu
tertentu menjadi seorang Mustahik, namun pada waktu tertentu pula berubah atau
meningkat menjadi seorang Muzakki dan inilah yang yang dikehendaki oleh Allah
SWT melalui program zakat yang bermakna sosial kemasyarakatan. Perintah menunaikan
zakat yang telah diperintahkan Allah SWT tidak boleh menjadikan seseorang
selamanya menjadi Mustahik. Melalui perintah zakat yang telah diperintahkan
oleh Allah SWT harus menjadikan seorang Mustahik bisa berubah menjadi seorang
Muzakki.
3.
Seseorang yang menjadi subyek zakat
atau yang memiliki kewajiban untuk menunaikan zakat bisa saja pada satu tahun tertentu hanya
memiliki satu obyek zakat saja yang akan dizakati atau bahkan tidak memiliki
kewajiban untuk menunaikan zakat karena ketentuan yang berlaku tidak terpenuhi.
4.
Seseorang yang menjadi subyek zakat
bisa saja karena profesi dan pekerjaannya atau karena ia memiliki kekayaan yang
banyak dengan bentuk dan ragam lebih dari satu, orang itu akan menjadi subyek zakat
yang memiliki lebih dari satu obyek zakat yang harus ditunaikannya pada satu
tahun tertentu.
5.
Seorang Amil Zakat memiliki hak untuk
menerima zakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku, namun dalam prakteknya
bisa saja Amil Zakat tidak mau menerima haknya tersebut lalu haknya dizakatkan
kembali dan jika ini yang terjadi terjadilah perubahan posisi dari seorang
Mustahik menjadi seorang Muzakki.
6.
Adanya perintah menunaikan zakat yang
berlaku saat ini mewajibkan diri kita untuk selalu jujur terhadap jumlah
kekayaan yang kita miliki dan juga mewajibkan diri kita memiliki dokumentasi
yang jelas terhadap kepemilikan harta yang kita miliki karena menyangkut
pemenuhan ketentuan Nishab dan Haul.
7.
Adanya kehidupan yang dinamis dari
seseorang atau adanya pasang surut kehidupan dari subyek zakat, akan
berpengaruh pula terhadap besar kecilnya zakat yang harus ditunaikan sehingga
naik dan turunnya kewajiban zakat sangat berhubungan erat dengan dinamisnya
kehidupan seseorang.
Adanya perintah Zakat yang berlaku di
langit dan di bumi Allah SWT ini maka kita tidak bisa tutup mata dengan
perintah ini dan kita tidak bisa tutup mata dengan keadaan yang terjadi di
sekeliling kita (maksudnya adalah para mustahik) yang berhak menerima zakat
karena Allah SWT berkehendak kepada diri kita agar memiliki sense of asnaf
yaitu rasa kepedulian kepada lingkungan serta tidak ada gunanya diri kita
memiliki harta kekayaan tapi tidak memberikan kontribusi yang positif bagi
lingkungan. Lalu jangan sampai kesempatan untuk menunaikan zakat berlalu dalam
kehidupan kita sehingga kita jauh dari kehendak Allah SWT, jauh pula dari hidup
nyaman, aman, damai serta bersahaja yang berasal dari kesalehan diri yang
tercermin dalam kesalehan sosial serta jauh pula dari syurga namun dekat dengan
neraka. Semoga hal ini tidak terjadi pada diri kita dan juga pada anak dan
keturunan kita masing masing. Amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar