Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan limpahan rahmat kepada kami, yang tidak bisa dihitung dan diukur
dengan apapun juga. Tak lupa shalawat dan salam senantiasa kami haturkan kepada
Nabi Muhammad SAW uswah kami sepanjang hayat beserta keluarga dan para
sahabatnya.
Buku yang sedang jamaah baca dan
pelajari dengan seksama, kami tulis dan kami sajikan dengan semangat untuk
mengamalkan ajaran Islam yang berlaku seperti yang kami kemukakan berikut ini: “Rasulullah SAW bersabda: “Bila seseorang telah meninggal, terputus
untuknya pahala segala amal kecuali tiga hal yang tetap kekal: Shadaqah Jariah,
Ilmu yang bermanfaat yang diajarkan, dan anak shaleh yang senantiasa
mendoakannya”. (Hadits Riwayat
Bukhari-Muslim).
Selain berdasarkan hadits di atas, masih ada ajaran Islam yang kami
amalkan sebagaimana hadits berikut ini: Rasulullah SAW bersabda: “Wahai
orang yang berilmu! Ketahuilah bahwa jika engkau tidak mengamalkan ilmu yang
engkau miliki, maka ia tidak akan membelamu kelak dihadapan (pengadilan) Rabbmu.
(Hadits Riwayat Ad-Darimi).” Dan ada pula nasehat dari alim ulama yang
juga kami amalkan sebagaimana berikut ini:
“Tiap-tiap sesuatu ada zakatnya (penyuciannya). Zakat harta ialah
sedekah kepada fakir miskin dan yang membutuhkan lainnya. Zakat kekuatan ialah
membela kaum dhuafa yang teraniaya. Zakat argumentasi dan kefasehan lidah ialah
mengokohkan hujjah dan dalil-dalil agama. Dan Zakat ilmu pengetahuan adalah
dengan mengajarkan ilmunya kepada orang lain”. (Alim Ulama).”
Alangkah hebatnya umat Islam jika mampu
menjalankan apa apa yang tertuang dalam hadits dan nasehat alim ulama di atas
ini, yaitu: (1) Memberi bukanlah sebatas
sedekah yang berasal dari harta kekayaan atau penghasilan semata; (2) Memberi
juga bisa kita lakukan dengan cara membela kaum dhuafa yang teraniaya melalui
zakat/sedekah yang berasal kekuatan atau kekuasaan yang kita miliki; (3).
Memberi juga bisa kita lakukan dalam kerangka untuk mengokohkan hujjah dan
dalil dalil agama melalui zakat/sedekah argumentasi dan kefasehan lidah yang
kita miliki; (4). Dan yang terakhir memberi juga bisa kita lakukan dengan cara
mengajarkan ilmu pengetahuan yang melalui jalan zakat/sedekah ilmu pengetahuan
yang kita miliki.
Apalagi jika apa apa yang kami kemukakan di
atas ini terlaksana tanpa diketahui oleh tangan kiri sewaktu tangan kanan
memberi (maksudnya adalah berbuat dan bertindak secara ikhlas karena Allah SWT
semata), kekuatannya sangat luar biasa dan hasil yang akan kita rasakan juga
sepadan yaitu luar biasa pula, sebagaimana hadits berikut ini: “Abu
Said ra, berkata: Nabi bersabda; “Seseorang yang memberi sedekah satu dirham
selama hidupnya, lebih baik baginya daripada memberi seratus dirham di waktu
matinya”. (Hadits Riwayat Abu Dawud)”. Adanya semangat untuk mengamalkan ajaran Islam sebagaimana telah kami
kemukakan di atas, maka tersajilah buku ini kepada jamaah sekalian dan kami
berharap buku ini bisa menjangkau generasi yang datang dikemudian hari dan
mampu tersebar ke berbagai tempat yang ada di muka bumi ini.
Buku ini kami tulis berdasarkan pengajian ketauhidan yang kami dapatkan
dari 2 (dua) orang guru, yang pertama adalah “H. Nurdin Hakami”, beliau adalah anak dari Hasyim L Husaini,
yang akrab di Sumatra Barat disapa dengan panggilan “Hasyim Tiku”. Dan yang
kedua, kajian ketauhidan ini kami
dapatkan dari “H. Bachtiar Ma’ani”
yang mana beliau adalah guru yang sekaligus orang tua kandung dari kami
sendiri. Dan semoga keduanya selalu di dalam limpahan rahmat Allah SWT. Amiin.
Buku ini juga merupakan jawaban atas tantangan Allah SWT yang termaktub
dalam surat Al Alaq (96) ayat 1 berikut ini: “bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan.” yaitu perintah
melaksanakan membaca atas nama Tuhanmu yang menciptakan yaitu membaca yang
bukan sekedar membaca, atau membaca yang bukan sekedar untuk menghafalkan tanpa
makna. Melainkan membaca AlQuran yang diiringi dengan mampu mengimani, mampu
mempelajari, mampu memahami, mampu melaksanakan, mampu mendakwahkan serta mampu
menyebar-luaskannya serta menjadikan AlQuran sebagai akhlak bagi diri kita.
Buku ini kami tulis bukan hanya untuk
kepentingan umat Islam semata, namun juga kami dedikasikan
juga untuk kepentingan umat yang bukan beragama Islam (non Muslim) yang ingin
berniat untuck mempelajari Diinul Islam khususnya mengenai konsep zakat yang berlandaskan AlQuran dan hadits dalam kerangka mengetahui dan mempelajari
Diinul Islam yang tidak lain adalah konsep Ilahiah bagi kepentingan rencana
besar kekhalifahan yang ada di muka bumi secara baik dan benar. Semoga hal ini
menjadi kenyataan. Amien.
Melalui buku, kami juga ingin memulai setahap demi setahap untuk
menjadikan buku sebagai jembatan untuk menyeimbangkan “Budaya Tutur” yang sudah melanda sebahagian masyarakat dengan “Budaya Tulis” yang telah mulai hilang. “Budaya Tutur” akan hilang setelah Penuturnya tiada. Akan
tetapi jika “Budaya Tulis” yang terjadi, walaupun penulisnya telah
tiada, tulisannya akan tetap ada sepanjang jaman, sehingga dapat dipelajari
oleh generasi yang datang dikemudian hari. Sekarang
apa jadinya jika sampai Bukhari dan Muslim atau perawi hadits lainya, tidak
pernah menulis hadits-hadits yang dikumpulkannya? Tentu kita tidak akan pernah tahu apa yang dinamakan dengan hadits yang
perawinya Bukhari dan Muslim atau perawi hadits lainnya. Adanya kondisi seperti ini, berarti umur
dari Bukhari dan Muslim akan tetap ada sampai dengan hari kiamat, walaupun usia
beliau sudah tidak ada lagi.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah maukah kita berumur panjang seperti umur
Bukhari dan Muslim?
Jika kita bercita cita untuk berumur panjang seperti halnya Bukhari dan
Muslim menulislah, atau lakukanlah perbuatan baik dengan melakukan suatu karya nyata
yang besar yang dapat dinikmati masyarakat luas dan bisa dinikmati oleh
generasi yang datang di kemudian hari atau amalkanlah ilmu yang bermanfaat
melalui tulisan atau jadikan “Budaya Tulis” menjadi kebiasaan di tengah
masyarakat. Hal inilah yang mendorong kami untuk terus
berkarya melalui tulisan-tulisan yang berkenaan dengan Aqidah Islam atau
tentang ketauhidan sepanjang Allah SWT menghendaki ini terjadi, yang pada
akhirnya masyarakat
akan selalu memiliki buku-buku pembanding atas buku-buku yang telah terbit
terlebih dahulu, sehingga mampu menjadikan masyarakat dan generasi yang akan
datang dikemudian menjadi lebih dinamis dengan perkembangan ilmu maupun perkembangan
zaman dan semoga hal ini menjadi kenyataan. Amiin.
Untuk itu ketahuilah bahwa semua ini (apakah itu kebaikan atau apakah itu
keburukan) hanya bisa terjadi di sisa usia kita yang kita miliki. Dimana di
sisa usia inipun kita masih dibatasi dengan adanya ketentuan yang lainnya,
yaitu: “waktu tidak bisa diputar ulang; kesempatan hanya datang satu kali;
serta menyesal adanya dibelakang hari.” Jadi jangan pernah menunda
nunda jika kita sudah berniat untuk berbuat kebaikan dalam bentuk karya nyata
yang bersifat jangka panjang. Lakukan saat ini juga karena kita tidak pernah
dibatasi oleh Allah SWT untuk melakukan perbuatan baik. Semoga Allah SWT
memudahkan diri kita untuk berbuat kebaikan di sisa usia yang kita miliki.
Amien.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya
di muka bumi ketahuilah bahwa setelah dipisahkannya ruhani dengan jasmani, yang
ada dan yang tertinggal dari diri kita di muka bumi ini adalah 2(dua) hal
yaitu: jejak jejak kebaikan ataukah jejak jejak keburukan. Adanya jejak jejak
kebaikan ataukah jejak jejak keburukan yang tertinggal di muka bumi merupakan
tanda mata bahwa kita pernah ada dan pernah hidup di muka bumi ini. Dan melalui
jejak jejak kehidupan yang tertinggal inilah maka akan diketahui secara nyata
kualitas diri kita yang sesungguhnya.
Untuk
itu ingatlah bahwa hakikat kelahiran setiap manusia adalah kemampuan
meninggalkan jejak kehidupan yang mendalam di muka bumi ini. Kehidupan seorang
manusia takkan berarti atau tidak akan meninggalkan jejak yang kuat serta
pengaruh yang besar, kecuali bila orang tersebut memiliki jiwa yang kuat, akal
yang cerdas, tekad yang membaja, dan kemauan yang tak lekang dikikis waktu,
yang di dukung oleh tahu diri, tahu aturan, dan tahu tujuan akhir.
Jika jejak jejak kebaikan yang kita
tinggalkan dan jejak tersebut mampu dinikmati oleh generasi yang datang
dikemudian hari berarti kita telah berumur panjang dan juga kita telah mampu
menjadi kebanggaan bagi anak keturunan kita yang datang di kemudian hari, yang
akhirnya doa akan terus dipanjatkan untuk kita oleh sebab karya nyata berupa
kebaikan yang kita tinggalkan. Namun, jika yang terjadi adalah jejak jejak
keburukan yang kita tinggalkan setelah diri kita tiada berarti berumur
pendeklah diri kita serta hilanglah rasa bangga kepada diri kita yang berasal
dari anak keturunan kita sendiri yang pada akhirnya menjadikan diri kita menjadi
orang yang terlupakan, atau jika disebut nama kita yang diingat oleh kebanyakan
orang adalah keburukan. Semoga kita semua tidak seperti itu.
Menunaikan zakat
merupakan salah satu bagian dari pelaksanaan Diinul Islam secara kaffah yang
tertuang di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 208 seperti yang kami kemukakan
berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” Pelaksanaan
menunaikan zakat tidak bisa dipisahkan dengan ketentuan Rukun Islam yang
lainnya, tidak bisa dipisahkan dengan ketentuan Rukun Iman dan juga tidak bisa
dipisahkan dengan ketentuan ibadah Ikhsan. Kesemuanya harus dilaksanakan dalam
satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, jika sampai salah satu tidak bisa
dilaksanakan maka batallah pelaksanaan Diinul Islam secara kaffah.
Kita tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan Rukun Iman saja dengan
mengabaikan ketentuan Rukun Islam dan ketentuan ibadah Ikhsan. Demikian pula
sebaliknya kita tidak bisa hanya melaksanakan ketentuan Rukun Islam saja dengan
mengabaikan ketentuan Rukun Iman dan ketentuan ibadah Ikhsan. Kita juga tidak
bisa melaksanakan ketentuan ibadah Ikhsan saja dengan mengabaikan ketentuan
Rukun Iman dan Rukun Islam. Adanya kondisi ini maka kita harus melaksanakan
ketiganya (maksudnya melaksanakan Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan) dalam
satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan oleh sebab apapun juga.
Ketentuan dalam surat Al Baqarah (2) ayat 208 yang kami kemukakan di atas tidak bisa dipisahkan dengan perintah menunaikan Zakat yang terdapat di dalam surat At Taubah (9) ayat 11 berikut ini: “Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” dan juga dalam surat Al Bayyinah (98) ayat 5 yang kami kemukakan berikut ini: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.”
[1595] Lurus berarti jauh dari syirik
(mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.
Hal ini dikarenakan dari pengertian dasar dari rukun itu sendiri adalah
ketentuan dasar yang harus dilaksanakan dalam satu kesatuan yang tidak
terpisahkan oleh sebab apapun juga. Jika salah satu ditinggalkan maka batallah
ketentuan melaksanakan Diinul Islam secara kaffah.
Dalam persoalan Diinul Islam ketahuilah bahwa
Allah SWT dapat dipastikan tidak akan pernah membutuhkan Diinul Islam karena
Allah SWT sudah Maha dan akan Maha selamanya. Adanya kondisi ini maka yang
membutuhkan Diinul Islam adalah manusia, termasuk di dalamnya diri kita, anak
dan keturunan kita. Jika ini kondisinya berarti tinggi rendahnya kualitas
Diinul Islam yang kita miliki akan mempengaruhi kualitas pelaksanaan Diinul
Islam itu sendiri.Semakin tinggi kualitas pemahaman Diinul Islam maka semakin
baik pula pelaksanaan Diinul Islam yang hasilnya adalah kesempatan untuk
merasakan nikmat dari bertuhankan kepada Allah SWT semakin terbuka lebar,
demikian pula sebaliknya. Ingat, nikmat yang kita rasakan adalah milik pribadi
diri kita sendiri yang tidak akan bisa dialihkan, tidak bisa dipindahtangankan, dan juga tidak bisa diwariskan
walaupun kepada anak keturunan kita sendiri. Disinilah letak pentingnya kita
belajar dan memahami tentang Diinul Islam yang sesuai dengan kehendak Allah
SWT.
Allah SWT adalah pencipta dan juga pemilik
dari langit dan bumi beserta isinya termasuk di dalamnya pemilik dan pencipta
seluruh manusia yang ada di muka bumi ini. Sehingga segala ketentuan, segala
hukum, segala undang-undang, segala peraturan yang ada di langit dan di bumi
ini termasuk ketentuan kekhalifahan yang berada di muka bumi adalah ketentuan,
hukum, undang-undang, peraturan dari Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari
itu semuanya. Allah SWT selain menentukan hukum, undang undang, ketentuan serta
peraturan yang berlaku di muka bumi ini, Allah SWT juga penilai dan penentu
akhir dari pelaksanaan seluruh ketentuan yang telah diberlakukan.
Lalu jika kita bukanlah pencipta dan juga
bukan pula pemilik dari langit dan bumi berarti kita adalah orang yang menumpang
atau tamu yang ada di langit dan di bumi ini, yang tentunya harus tunduk patuh
untuk melaksanakan segala ketentuan, hukum, undang-undang, peraturan Allah SWT
selaku pencipta dan pemilik. Allah SWT selaku pencipta dan pemilik langit dan
bumi telah mengeluarkan ketentuan tentang perintah menunaikan zakat seperti
tertuang di dalam surat At Taubah (9) ayat 11 dan surat Al Bayyinah (98) ayat 5 yang
kami kemukakan di atas.
Adanya perintah menunaikan zakat maka
perintah ini memiliki 3 (tiga) makna, yaitu: (1) perintah yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT menjadi ketentuan dan peraturan yang harus
dilaksanakan oleh umat manusia; (2) perintah yang telah diperintahkan bukanlah
tujuan akhir dari perintah itu sendiri melainkan sarana dan alat bantu bagi
manusia untuk merasakan hidup nyaman, aman, damai serta bersahaja dengan
menunaikan zakat; (3) dan adanya perintah merupakan bukti bahwa Allah SWT
sangat sayang kepada umat manusia. Adanya hal ini maka setiap orang yang berada
di langit dan di bumi Allah SWT wajib untuk menunaikan zakat yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT karena langit dan bumi ini dimiliki dan diciptakan oleh Allah SWT.
Saat diri kita melaksanakan perintah Allah
SWT untuk menunaikan zakat berarti terjadilah apa yang dinamakan dengan
ketaatan dan kepatuhan terhadap Allah SWT dan selanjutnya dengan melaksanakan
perintah maka kita telah berusaha memelihara keimanan yang ada dalam jiwa yang
sangat dibutuhkan oleh ruh/ruhani. Namun apabila kita tidak mau melaksanakan
peritntah yang telah ditetapkan berlaku oleh Allah SWT berarti kita telah
menunjukkan sifat keangkuhan dan kesombongan kepada Allah SWT selaku pemilik
alam semesta ini. Pertanyaannya adalah siapa diri kita dan siapa Allah SWT lalu
patutkah kita berperilaku seperti itu di langit dan di bumi yang tidak pernah
kita ciptakan dan tidak pernah kita miliki?
Jika kita berbicara tentang suatu perintah
maka perintah baru dapat dikatakan sebagai sebuah perintah yang baku (maksudnya
perintah yang dapat dipertanggungjawabkan) maka perintah dimaksud harus
memenuhi 5(lima) buah ketentuan dasar, yaitu ada yang memberi perintah, ada
yang diperintah untuk melaksanakan suatu perintah, ada isi perintah, ada syarat
dan ketentuan perintah serta ada maksud dan tujuan dari perintah yang akan
dilaksanakan oleh yang diperintah yang tentunya harus sesuai dengan kehendak
dari pemberi perintah. Adanya kondisi ini kita tidak bisa melaksanakan perintah
menunaikan zakat yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dengan mempergunakan
parameter dari diri kita selaku yang diperintahkan untuk menunaikan zakat.
Lalu bagaimana dengan perintah menunaikan zakat
seperti yang tercantum di dalam surat At Taubah (9) ayat 11 dan Surat Al Bayyinah
(98) ayat 5 yang kami kemukakan di atas? Perintah menunaikan zakat juga
telah memenuhi 5(lima) buah kriteria dasar yang
hakiki dari sebuah perintah,
yaitu:
1. Ada yang
memerintahkan untuk menunaikan zakat, dalam hal ini Allah SWT selaku pemilik
dan pencipta alam semesta ini termasuk di dalamnya pemilik dan pencipta
kekhalifahan yang ada di muka bumi ini. Allah SWT selaku pemberi perintah
menunaikan zakat tidak mempunyai kepentingan apapun dengan perintah yang
diperintahkan-Nya. Allah SWT memberikan perintah menunaikan zakat dikarenakan
Allah SWT sayang kepada umatnya, Allah SWT sangat peduli kepada umatnya, Allah
SWT berkehendak agar umatnya pulang kampung ke syurga, terutama bagi orang yang
beriman.
2. Ada yang
diperintahkan untuk menunaikan zakat, dalam hal ini manusia yang ber-iman,
termasuk di dalamnya diri kita dan anak keturunan kita, yang mana yang
diperintahkan untuk menunaikan zakat adalah orang yang sedang menumpang, atau
yang sedang menjadi tamu di langit dan di bumi Allah SWT sehingga kedudukan
yang diperintah dengan yang memerintah tidak akan mungkin sejajar.
3. Ada perintah yang
harus dilaksanakan, dalam hal ini perintah untuk menunaikan za-kat. Perintah
menunaikan zakat sekarang sudah berlaku di muka bumi ini, berarti dengan adanya
perintah ini menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT begitu perhatian
kepada orang yang beriman karena dibalik perintah menunaikan zakat ada manfaat
yang hakiki yang siap diberikan Allah SWT bagi yang mau menunaikan zakat yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT.
4. Ada syarat dan ketentuan
dan ketentuan yang harus dilaksanakan, dalam hal ini harus sesuai dengan
kehendak pemberi perintah menunaikan zakat, seperti adanya ketentuan Nishab dan
Haul, adanya ketentuan mustahik dan muzakki dan lain sebagainya, sehingga
syarat dan ketentuan inilah yang harus kita patuhi jika kita mau menunaikan
zakat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
5. Ada
maksud dan tujuan dari menunaikan zakat dan yang
harus kita jadikan pedoman adalah menunaikan zakat bukanlah tujuan akhir
dari perintah itu sendiri. Menunaikan zakat hanyalah sarana ataupun alat bantu
untuk memperoleh maksud dan tujuan yang hakiki dari perintah menunaikan zakat,
yaitu hidup nyaman, aman, damai dan
bersahaja melalui kesalehan pribadi yang tercermin dalam kesalehan sosial.Adapun
hasil dari kesalehan sosial dapat kami kemukakan sebabagi berikut:
a. Mengurangi kesenjangan sosial antara mereka yang berada dengan
mereka yang miskin;
b. Pilar
amal bagi para mujahid dan da’i yang berjuang dan berda’wah dalam rangka
meninggikan kalimat Allah SWT;
c.
Membersihkan dan mengikis akhlak yang buruk;
d. Alat
pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan orang jahat;
e.
Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan;
f.
Untuk pengembangan potensi umat;
g.
Dukungan moral kepada orang yang baru masuk Islam;
h. Menambah
pendapatan negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi umat.
Perintah menunaikan zakat yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT tidak bisa dipandang sebagai perintah yang
bersifat asal-asalan. Asal sudah dikerjakan maka selesai sudah kewajiban yang kita
laksanakan serta tidak dapat pula kita laksanakan dengan mempergunakan
parameter yang berasal dari diri kita sendiri selaku yang diperintahkan untuk menunaikan
zakat. Akhir dari perintah menunaikan zakat harus tercermin hasilnya setelah zakat
ditunaikan, maka barulah zakat yang kita tunaikan dapat dikatakan telah kita laksanakan dengan
baik dan benar sesuai dengan kehendak Allah SWT selaku pemberi perintah.
Sekarang bagaimana
jika kita yang sedang menumpang, atau kita yang sedang menjadi tamu di langit
dan di bumi Allah SWT tidak mau melaksanakan ketentuan Allah SWT? Jawaban dari pertanyaan ini ada pada hadits
yang kami kemukakan berikut ini: Anas ra, berkata: Nabi Saw bersabda: Allah ta’ala berfirman:
Barangsiapa tidak rela dengan hukum-Ku dan takdir-Ku maka hendaklah ia mencari
Tuhan selain Aku. (Hadits Qudsi Riwayat Al Baihaqi dari Ibnu Umar serta
Atthabarani dan Ibnu Hibban dari Abi Hind, Al Baihaqi dan Ibnu Najjar, 272:153).
Kita
dipersilahkan untuk mencari Tuhan selain Allah SWT yang berarti kita harus
keluar dari langit dan bumi Allah SWT. Hal yang tidak kalah penting adalah
dengan kita tidak mau menunaikan zakat akan menghantarkan diri kita menjadi
sahabat/teman yang didambakan oleh syaitan sang laknatullah sehingga bertambah
banyaklah penghuni neraka.
Untuk dapat menciptakan
sesuatu, harus di mulai dari adanya kehendak, adanya kemampuan dan adanya ilmu,
dalam satu kesatuan. Hal ini dikarenakan jika yang ada hanya Kehendak saja,
tanpa diiringi oleh kemampuan dan ilmu berarti yang ada hanyalah angan-angan.
Sedangkan jika yang ada hanyalah kemampuan saja, tanpa diiringi dengan kehendak
dan ilmu berarti yang ada hanya omongan semata. Demikian pula jika yang ada
hanya ilmu saja, tanpa dibarengi dengan adanya kehendak dan kemampuan maka yang
ada hanyalah konsep semata. Sekarang langit dan bumi sudah ada dan diri kitapun
sudah menetap di muka bumi, timbul pertanyaan wajibkah pencipta langit dan bumi
beserta isinya memiliki kehendak dan kemampuan serta ilmu dalam satu kesatuan
yang sangat maha? Menurut akal sehat manusia, pencipta langit dan bumi beserta
isinya wajib memiliki kehendak, kemampuan dan ilmu yang sangat hebat dalam satu
kesatuan. Sekarang siapakah yang memiliki kehendak dan kemampuan serta ilmu
yang sangat hebat dalam satu kesatuan sehingga mampu menciptakan langit dan
bumi beserta isinya?
Berdasarkan surat Ibrahim (14) ayat 19 yang kami kemukakan berikut ini:“Tidakkah
kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumi
dengan hak[784]? Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan
mengganti(mu) dengan makhluk yang baru.”
[784] Maksudnya: Allah menjadikan semua
yang disebutkan itu bukanlah dengan percuma, melainkan dengan penuh hikmah.
Dan juga berdasarkan surat As Sajdah (32) ayat 4 yang kami kemukakan berikut ini: “Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy[1188]. Tidak ada bagi kamu selain dari padanya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa’at[1189]. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?.
[1188]
Bersemayam di atas ‘Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai
dengan kebesaran Allah dsan kesucian-Nya.
[1189]
Syafa’at: usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain
atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. Syafa’at yang tidak diterima
di sisi Allah adalah syafa’at bagi orang-orang kafir.
Berdasarkan dua buah ketentuan di atas, Allah
SWT lah yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya dengan Hak dan jika
Allah SWT yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya dengan Hak berarti
Allah SWT pasti memiliki kehendak, pasti memiliki kemampuan serta pasti
memiliki ilmu yang sangat hebat dalam satu kesatuan serta di langit dan di bumi
ini berlaku ketentuan dan hukum dari pencipta dan pemilik langit dan bumi.
Lalu bagaimana dengan keberadaan diri kita
yang saat ini sedang menempati langit dan bumi yang diciptakan oleh Allah SWT
dengan hak itu, apakah diri kita ada dengan sendirinya tanpa ada yang
menciptakan sedangkan langit dan bumi ada yang menciptakan? Berdasarkan surat
Ar Ruum (30) ayat 54 “Allah, Dialah yang
menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah
Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu
lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan
Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.” dan juga berdasarkan surat Al Baqarah (2)
ayat 30 yang kami kemukakan berikut ini: “dan (ingatlah),
ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah
selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak
yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada
manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi
janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.” Keberadaan seluruh manusia, termasuk di
dalamnya keberadaan orang tua kita, keberadaan diri kita, keberadaan anak dan
kerurunan kita, di langit dan di bumi Allah SWT, tidak datang dengan
sendirinya, tidak datang tiba-tiba. Semuanya ada karena ada yang menciptakan,
semuanya ada karena adanya kehendak, kemampuan dan Ilmu Allah SWT dalam satu
kesatuan yang sangat maha.
Keberadaan manusia, termasuk di dalamnya
keberadaan diri kita, tidak akan mungkin bisa dilepaskan dari adanya kehendak
Allah SWT, adanya kemampuan Allah SWT serta adanya ilmu Allah SWT yang sangat hebat
dalam satu kesatuan. Dan jika ini adalah kondisi dasar dari Allah SWT saat
menciptakan manusia, atau saat menciptakan diri kita berarti keberadaan diri kita di dunia saat ini, bukanlah sesuatu yang
datang dengan tiba-tiba, bukan pula sesuatu yang datang yang bersifat insidentil,
tanpa ada perencanaan yang matang, tanpa ada maksud dan tujuan yang jelas.
Keberadaan diri kita di muka bumi sudah
direncanakan dengan matang oleh Allah
SWT untuk dijadikan sebagai khalifah di muka bumi atau dijadikan sebagai
perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi atau bentuk penampilan Allah SWT di
muka bumi.
Sebagai khalifah di muka bumi, tahukah kita,
sadarkah kita bahwa keberadaan diri kita, keberadaan langit dan bumi yang kita
tempati saat ini, bukan kita yang menjadi inisiatornya, bukan pula kita yang
menciptakannya, bukan pula kita yang memilikinya, atau merasakah kita
menciptakan jasmani, ruhani, langit, bumi, air serta udara yang kita butuhkan
atau mampukah kita menciptakan, jasmani, ruh/ruhani, amanah yang 7 (seperti
Qudrat, Iradat, Ilmu, Kalam, Hayat, Sami’ dan Bashir), Hubbul yang 7 (seperti
Hubbul Syahwat, Hubbul Maadah, Hubbul Jam’i, Hubbul Riasah, Hubbul Maal, Hubbul
Istitlaq; Hubbul Hurriyah), hati (kalbu), akal, perasaan, langit dan bumi
beserta isinya serta Diinul Islam?
Jika kita
termasuk orang yang Tahu Diri, Tahu siapa diri kita yang sesungguhnya dan Tahu
siapa Allah SWT yang sesungguhnya, maka kita harus menyatakan bahwa diri kita
ada karena ada yang menciptakan; jasmani, ruhani, amanah, hubbul, akal,
perasaan ada karena ada yang menciptakan; langit dan bumi beserta isinya ada
karena ada yang menciptakan. Kondisi ini dipertegas dengan pernyataan Allah SWT
yang tertuang di dalam surat Faathir (35) ayat 40 berikut ini: “Katakanlah: “Terangkanlah kepada-Ku tentang sekutu-sekutumu yang kamu
seru selain Allah. Perlihatkanlah kepada-Ku (bahagian) manakah dari bumi ini
yang telah mereka ciptakan ataukah mereka mempunyai saham dalam (penciptaan)
langit atau Adakah Kami memberi kepada mereka sebuah kitab sehingga mereka
mendapat keterangan-keterangan yang jelas daripadanya? Sebenarnya orang-orang
yang zalim itu sebahagian dari mereka tidak menjanjikan kepada sebahagian yang
lain, melainkan tipuan belaka”. yang
menyatakan bahwa di dalam penciptaan langit dan bumi tidak ada sedikitpun saham
atau partisipasi manusia sehingga hanya Allah SWT sajalah yang menciptakan. Di
lain sisi keberadaan langit dan bumi lebih dahulu ada dibandingkan dengan
keberadaan manusia, sehingga tidak akan mungkin ciptaan lebih dahulu ada
dibandingkan penciptanya.
Lalu jika ini kondisi
dasar dari diri kita saat hadir di muka bumi ini, lalu punya apakah diri kita
saat hadir ke muka bumi ini? Jika kita termasuk orang yang sudah sadar
diri maka kita wajib menyatakan dengan tegas bahwa kita ini miskin, tidak
mempunyai apapun juga saat hadir di muka bumi dan jika saat ini kita memiliki
Jasmani, memiliki Ruhani, memiliki Amanah yang 7, memiliki Hubbul yang 7,
memiliki Hati, memiliki Perasaan, memiliki Akal, karena ada yang memberikan,
dalam hal ini adalah Allah SWT. Lalu
siapakah yang paling kaya, sebandingkah diri kita dengan Allah SWT, sejajarkah
diri kita dengan Allah SWT? Berdasarkan uraian di atas, diri kita tidak akan
mungkin bisa mensejajarkan diri dengan Allah SWT, hal ini dikarenakan ciptaan
tetaplah ciptaan sampai dengan kapanpun juga serta tidak mungkin mendahului
keberadaan penciptanya.
Sekarang
sebagai apakah diri kita di muka bumi ini? Jika kita merasa tidak pernah
menciptakan langit dan bumi beserta segala apa-apa yang ada di antara langit
dan bumi berarti saat ini kita sedang menumpang di langit dan di bumi Allah
SWT, atau kita sedang menjadi tamu di langit dan di bumi Allah SWT, atau dapat
kita sedang menjadi pemain di dalam kerangka rencana besar kekhalifahan di muka
bumi yang diciptakan oleh Allah SWT. Di lain sisi, jika langit dan bumi
diciptakan dan dimiliki oleh Allah SWT berarti segala ketentuan, segala hukum,
segala undang-undang, segala peraturan yang berlaku di langit dan di bumi
adalah ketentuan, hukum, undang-undang, peraturan yang berasal dari Allah SWT
yang termaktub dalam kitab suci AlQuran.
Agar diri
kita tidak dinilai oleh pencipta langit dan bumi sebagai orang yang menumpang
yang tidak tahu diri; sebagai tamu yang tidak tahu diri; sebagai khalifah yang
tidak tahu diri, maka sudah sepatutnya dan sepantasnyalah kita mengimani
AlQuran lalu AlQuran nya jangan ditambah, jangan dikurangi, jangan dibantah
isinya. Kemudian baru pelajari AlQuran kepada Allah SWT melalui guru/ustadz
kemudian laksanakan segala ketentuan, segala, hukum, segala undang-undang dan
segala peraturan yang berlaku di muka bumi ini dengan sebaik mungkin dan yang
terakhir ajarkan kepada masyarakat.
Sekarang jika di langit dan di bumi Allah SWT, ada ketentuan yang
termaktub dalam surat Al Baqarah (2)
ayat 83 berikut ini: “Dan (ingatlah), ketika Kami
mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain
Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim,
dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji
itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.” dan juga dalam surat Al Bayyinah (98) ayat 5 sebagaimana berikut ini: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama
yang lurus.” apa yang harus kita sikapi dengan adanya
ketentuan ini?
Jika kita merasa menjadi penumpang yang tahu diri, jika kita merasa menjadi tamu
yang tahu diri, jika kita merasa menjadi khalifah yang sesuai dengan kehendak
Allah SWT, maka sudah seharusnya mengimani, mempelajari, memahami lalu melaksanakan
segala ketentuan, segala hukum, segala undang-undang, segala peraturan Allah
SWT yang berlaku di muka bumi dan jangan lupa mengajarkan kepada sesama. Jangan
sampai kita hidup di muka bumi ini tanpa mengindahkan ketentuan yang berlaku
yang berasal dari Allah SWT.
Saat ini sampai dengan hari kiamat kelak, perintah menunaikan zakat sudah
menjadi ketentuan baku dan menjadi sarana, alat bantu, media bagi diri kita
untuk mendapatkan dan merasakan langsung manfaat yang ada dibalik perintah
menunaikan zakat. Ingat, perintah menunaikan zakat yang telah diperintahkan
oleh Allah SWT adalah perintah yang bersifat individualistik sehingga segala
manfaat yang ada dibalik perintah menunaikan zakat, hanya untuk kepentingan
yang mau melaksanakan perintah menunaikan zakat, dalam hal ini adalah diri kita
sendiri, sehingga orang lain tidak akan mungkin memperoleh hikmah dari perintah
menunaikan zakat dari pelaksanaan perintah menunaikan zakat yang kita lakukan.
Ayo segera menunaikan zakat, jangan pernah menunda nunda, menahan
apalagi mengalihkan pembayaran zakat untuk kepentingan pribadi jika nishab dan
haulnya sudah tercapai. Semakin cepat kita menunaikan zakat yang telah jatuh
tempo semakin baik kita merasakan nikmatnya berbagi melalui zakat serta semakin
cepat pula penerima zakat merasakan buah dari zakat yang kita tunaikan. Lalu
nikmatilah hidup nyaman, aman, damai dan bersahaja di dalam kehendak Allah SWT.
Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar