Memiliki harta yang
banyak tidaklah dilarang, akan tetapi kita harus tahu harta kekayaan apa saja
yang tidak boleh kita miliki atau kita juga harus memiliki ilmu tentang
bagaimana harta kekayaan itu kita dapatkan. Hal yang sering kita lupa adalah
benar emas dan perak itu halal, benar tanah dan bangunan itu halal. Akan tetapi
yang harus kita pahami adalah bukan hal itu yang menjadi pedoman saat memiliki
harta kekayaan, melainkan cara untuk mendapatkan dan memperoleh harta
kekayaanlah yang harus kita jadikan pedoman. Apakah melanggar ketentuan hukum
positif ataukah melanggar ketentuan hukum Agama. Agar diri kita terhindar dari
kepemilikan harta kekayaan yang tidak dikehendaki Allah SWT atau memiliki harta
yang sesuai dengan kehendak Syaitan. Berikut ini akan kami kemukakan beberapa
bentuk harta kekayaan yang sangat dilarang oleh Allah SWT, namun sangat
dikehendaki oleh syaitan, yaitu :
1.
Harta Yang Didapat
dari Hasil Menipu. Berdasarkan
surat Al Baqarah (2) ayat 188 berikut ini: “dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” dan juga berdasarkan
surat An Nisaa (4) ayat 29 yang kami kemukakan berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu[287];
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
[287] Larangan
membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab
membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu
kesatuan.
Kita
dilarang memiliki harta kekayaan melalui jalan menipu, atau memiliki harta
kekayaan dengan cara mengambil secara
bathil yang tidak dibenarkan baik oleh hukum positif maupun hukum Agama yang
berlaku. Kita dilarang keras oleh Allah SWT untuk mendapatkan harta kekayaan
dengan jalan berbuat dosa apakah melalui
penipuan, penggelapan, pengambilalihan secara paksa, membeli dengan cara cara
intimidasi, membeli yang merugikan salah satu pihak dan lain sebagainya
walaupun dibiayai dengan uang yang halal. Inilah ketentuan mutlak yang harus
kita hindari di dalam memiliki harta kekayaan, terkecuali kita mampu menahan
resiko dari kepemilikan harta dari jalan yang bathil yaitu menahan panasnya api
neraka kelak.
Salah satu
cara yang diridhai Allah SWT untuk memiliki harta kekayaan adalah melalui jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu tanpa adanya keterpaksaan
apalagi saling merugikan diantara kamu. Dengan catatan uang yang dipergunakan
untuk membeli atau untuk mendapatkan harta kekayaan harus berasal dari yang
halal lagi diridhai Allah SWT. Hal yang harus kita jadikan pedoman saat
memiliki harta kekayaan adalah segala surat menyurat atau bukti kepemilikan
harta kekayaan haruslah jelas sesuai dengan hukum yang berlaku. Ketentuan
Nishab dan Haul harus didukung dengan ketersediaan data data yang valid sebab
tanpa itu ketentuan ini akan sulit dilaksanakan dengan baik dan benar, yang
pada akhirnya akan menyulitkan diri kita menunaikan zakat yang sesuai dengan kehendak
Allah SWT.
2.
Harta Korupsi dan
Suap (Gratifikasi). Allah
SWT selaku pemberi perintah menunaikan zakat menegaskan dalam surat An Naml
(27) ayat 35, 36 sebagaimana kami kemukakan berikut ini: Dan Sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan
(membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh
utusan-utusan itu”. Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman
berkata: “Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? Maka apa yang
diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu;
tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.”
Allah SWT
melarang diri kita untuk memiliki harta kekayaan yang berasal dari hasil
Korupsi atau dari hasil mengambil hak orang lain tanpa hak dan juga harta
kekayaan yang berasal dari suap menyuap atau meminta sesuatu yang dilarang
(gratifikasi). Jika sampai kita memiliki harta kekayaan yang berasal dari hasil
korupsi atau mengambil hak orang lain tanpa hak, memperoleh harta dengan cara
memaksakan kehendak, mendapatkan sesuatu dengan cara melanggar ketentuan yang
dilarang (gratifikasi) maka yang paling
bahagia dengan kondisi ini adalah syaitan sang laknatullah.
Untuk itu
ada baiknya kita mempelajari ketentuan hadits qudsi di bawah ini sebelum diri
kita korupsi atau mengambil hak orang lain tanpa hak, yaitu: “Hudzaifah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman:
Allah SWT telah mewahyukan kepadaku. Wahai saudara para Rasul dan saudara para
pemberi peringatan, berilah peringatan kepada kaummu untuk tidak memasuki rumah
Ku (masjid) kecuali dengan hati yang bersih, lidah yang jujur, tangan yang
suci, dan kemaluan yang bersih. Dan janganlah mereka memasuki rumah Ku (masjid)
padahal mereka masih tersangkut barang aniayaan hak hak orang lain. Sesungguhnya
Aku mengutuknya selama ia berdiri mengerjakan shalat dihadapan Ku sehingga ia
mengembalikan barang aniayaan itu kepada pemiliknya yang berhak. Apabila ia
telah mengembalikannya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia
mendegar, menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat, dan ia akan menjadi
salah seorang kekasih Ku bersama para Nabi, para shiddiqin dan para syuhada di
dalam syurga. (Hadits Riwayat Abu Nua’aim, Al Hakim, Ad Dailami dan Ibnu
Asakir: 272:240)
Hadits ini
merupakan salah satu ketentuan yang mengatur tentang cara memiskinkan koruptor
yang harus dilaksanakan oleh koruptor itu sendiri jika ia ingin selalu berada
di dalam kehendak Allah SWT. Dimana Allah SWT mengutuk orang yang tidak mau
mengembalikan harta yang telah dikorupsinya sampai dengan ia mengembalikan
harta yang dikorupsinya itu kepada pemiliknya yang berhak menerimanya.
Koruptor
atau orang yang mengambil hak orang lain tanpa hak, termasuk di dalamnya orang
yang belum mengembalikan barang aniayaan milik orang lain dilarang memasuki
masjid oleh Allah SWT termasuk di dalamnya dilarang masuk ke Baitullah yang
yang ada di Makkah saat melaksanakan ibadah Umroh dan Haji. Adanya ketentuan
ini maka ibadah shalat yang kita dirikan dan ibadah umroh dan haji yang kita
laksanakan tidak akan diterima oleh Allah SWT,
justru pada saat itu Allah SWT mengutuk orang tersebut selama
melaksanakan ibadah dimaksud.
Sekarang
berhitunglah sendiri berapa nilai harta kekayaan yang telah kita korupsi lalu
sandingkan dengan nilai kutukan Allah SWT kepada diri kita, lalu mana yang
lebih berharga, apakah harta ataukah kutukan Allah SWT? Jika kita merasa harta
kekayaan lebih bermakna dari kutukan Allah SWT berbahagialah anda hidup dunia
dengan harta tersebut lalu bersiaplah menerima azab yang pedih di akhirat kelak
dan menjalan kehidupan di neraka bersama syaitan sang laknatullah.
Selain
daripada itu, ketahuilah bahwa dampak kekotoran dari harta yang sesuai dengan
kehendak Syaitan, tidak hanya berdampak langsung kepada diri kita saja. Namun anak keturunan kita yang
tidak berbuat bisa terkena dampak atas perbuatan diri kita. Memang
mengembalikan barang aniayaan itu berat apalagi jika barang aniayaan itu sudah
habis, namun lebih berat mana dibandingkan dengan menahan panasnya api neraka
kelak? Sebagai koruptor, sebagai penipu, sebagai penggelap, tentu anda tahu hal
ini maka bertanyalah kepada diri sendiri tentang apakah mau mengembalikan
barang aniayaan yang telah dikorupsi ataukah kesanggupan untuk menahan panasnya
api neraka? Pilihan ada pada diri kita, bukan pada Allah SWT.
Untuk menambah
wawasan tentang perbedaan antara suap dengan gratifikasi, berikut ini kami
kemukakan hal tersebut yang kami ambil dari www.hukumonline.com sebagai
berikut: Pengaturan dan batasan/definisi suap dan gratifikasi beserta ancaman
sanksi bagi masing-masing tindak pidana tersebut kami sajikan dalam tabel di
bawah ini:
|
PERBEDAAN
|
SUAP |
GRATIFIKASI |
|
Pengaturan |
a.Kitab Undang Undang Hukum Pidana
(Wetboek van Strafrecht, Staatblad 1915 No.73). 2. Undang Undang No.11 Tahun 1980
tentang Tindak Pidana Suap. 3. Undang Undang Tahun No. 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Undang Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tidak Pidana Korupsi serta diatur pula
dalam Undang Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU
Pemberantasan Tipikor) |
1. Undang Undang No.20 Tahun 2001
tentang perubahan Undang Undang No.31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Serta diatur pula
dalam Undang Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU
Pemberantasan Tipikor). 2. Peraturan Menteri Keuangan
No.03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari
Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi. |
|
Definisi |
Barangsiapa menerima sesuatu atau
janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian
sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau
kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap
dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda
sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah) (Pasal 3 UU
3/1980). |
Pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma,
dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam
negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronik atau tanpa sarana elektronik (Penjelasan Pasal 12B UU
Pemberantasan Tipikor) |
|
Sanksi |
UU 11/1980: Pidana penjara selama-lamanya 3
(tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta
rupiah) (Pasal 3 UU 3/1980). KUHP: pidana penjara paling lama sembilan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah (Pasal
149) UU Pemberantasan Tipikor: Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana
denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau
patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan
atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran
orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya (Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor). |
Pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) (Pasal 12B ayat [2] UU Pemberantasan Tipikor) |
Jadi, selain
pengaturan suap dan gratifikasi berbeda, definisi dan sanksinya juga berbeda.
Dari definisi tersebut di atas, tampak bahwa suap dapat berupa janji, sedangkan
gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas dan bukan janji.
Jika melihat pada
ketentuan-ketentuan tersebut, dalam suap ada yang mengetahui atau patut dapat
menduga” sehingga ada atau maksud untuk
mempengaruhi pejabat di dalam mengambil kebijakan maupun keputusannya. Sedangkan
untuk gratifikasi, diartikan sebagai pemberian dalam arti luas,
namun dapat dianggap sebagai suap apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Selanjutnya dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia memang masih belum terlalu jelas
pemisahan antara perbuatan pidana suap dan perbuatan pidana gratifikasi karena
perbuatan gratifikasi dapat dianggap sebagai suap jika diberikan terkait dengan
jabatan dari pejabat negara yang menerima hadiah tersebut. Hal tersebut berbeda
dengan pengaturan di Amerika yang mana antara suap dan gratifikasi
yangdilarang dibedakan.
Perbedaannya adalah
jika dalam gratifikasi yang dilarang, pemberi gratifikasi memiliki
maksud bahwa pemberian itu sebagai penghargaan atas dilakukannya
suatu tindakan resmi, sedangkan dalam suap pemberi memiliki maksud (sedikit
banyak) untuk mempengaruhi suatu tindakan resmi (sumber: “Defining
Corruption: A Comparison of the Substantive Criminal Law of Public Corruption
in the United States and the United Kingdom”, Greg Scally: 2009). Sehingga
jelas pembedaan antara suap dan gratifikasi adalah pada tempus (waktu) dan
intensinya (maksudnya).
Mengenai faktor apa
yang mendasari adanya perumusan mengenai delik gratifikasi, kami merujuk pada
salah satu penjelasan yang dimuat dalam Buku Saku Memahami Gratifikasi yang
diterbitkann Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di dalam buku tersebut
dijelaskan sebagai berikut: Terbentuknya peraturan tentang gratifikasi ini
merupakan bentuk kesadaran bahwa gratifikasi dapat mempunyai dampak yang tertentu dan dapat disalahgunakan,
khususnya dalam rangka penyelenggaraan pelayanan masyarakat sehingga hal ini
diatur dalam perundangudangan mengenai tindak pidana korupsi. Diharapkan jika
budaya pemberian dan penerimaan kepada dan oleh Penyelenggara Negara dan
Pegawai Negeri dapat dihentikan, maka tindak pidana pemerasan dan suap dapat
diminimalkan atau bahkan dihilangkan.
Di dalam buku
tersebut juga dijelaskan contoh contoh pemberian yang dapat dikategorikan
sebagai gratifikasi yang sering terjadi, yaitu:
1. Pemberian hadiah atau
parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau
bawahannya;
2. Hadiah atau sumbangan
pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut;
3. Pemberian tiket
perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara Cuma Cuma:
4. Pemberian potongan
harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan;
5. Pemberian biaya atau
ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat;
6. Pemberian hadiah
ulang tahun atau pada acara acara pribadi lainnya dari rekanan;
7. Pemberian hadiah atau
souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja;
8. Pemberian hadiah atau
uang ucapan terima kasih karena telah dibantu.
Semoga dengan adanya
pembahasan tentang suap dan gratifikasi yang kami kemukakan di atas menjadikan
kita mawas diri dan terhindar dari kedua hal tersebut saat kita hidup di dunia
serta jangan pula menjadi penyesalan kelak.
3.
Harta Dari Riba dan
Dari Jalan Yang Bathil. Berdasarkan surat An Nisaa (4) ayat 161 berikut ini: “dan disebabkan mereka
memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan
karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang
pedih.” Allah
SWT melarang diri kita memiliki harta kekayaan yang berasal dari usaha Riba
(dari hasil membungakan uang dengan jalan yang tidak sesuai dengan syariat yang
berlaku) dan juga dari jalan yang bathil yang tidak diridhai oleh Allah SWT.
Allah SWT melarang kita memiliki harta yang berasal dari usaha bathil dan riba
karena cara cara dimaksud karena dibalik harta kekayaan itu terpendam sebuah
kemudharatan yang akan membayakan diri kita, anak dan keturunan kita sendiri.
Ingat,
jika kita membungakan uang dengan cara cara yang tidak sesuai dengan syariah
berarti di dalam uang yang kita bungakan tersebut terdapat hak milik orang lain
yang kita ambil secara terpaksa atau adanya keterpaksaan yang tidak bisa
diperbuat oleh peminjam uang dimaksud karena adanya syarat dan ketentuan yang
diluar batas kewajaran kepada peminjam untuk mengembalikan uang dimaksud dalam
kurun waktu tertentu.
Demikian
juga dengan penguasaan harta kekayaan yang didapat dengan cara yang bathil
dengan cara menekan peminjam untuk mengembalikan pinjaman yang dipinjamnya
dalam kurun waktu yang sangat sempit atau peminjam hanya diberikan waktu yang tidak masuk akal untuk segera melunasi
pinjamannya. Hal yang sering terjadi di masyarakat adalah setelah peminjam
tidak mampu melunasi pinjamannya, lalu si pemberi pinjaman memberikan ultimatum
tentang harga jual jaminan yang diberikannya dinilai tidak sesuai dengan harga
pasar yang berlaku. Setelah itu si pemberi pinjaman memutuskan ini sisa
pembayaran dari pelunasan hutang setelah dikonversi dengan harga jual jaminan
yang telah ditentukannya. Ini hanyalah salah satu contoh kepemilikan harta
kekayaan yang dilarang oleh Allah SWT dan masih banyak cara cara pengambilan
harta kekayaan secara paksa dengan dalih mengembalikan hutang yang telah jatuh
tempo.
4.
Harta Yang Berasal
Dari Upah Dakwah. Berdasarkan
surat Huud (11) ayat 29 berikut ini: “dan (dia
berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah)
bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan
mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu
dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak Mengetahui”.
Allah
SWT melarang diri kita untuk memiliki harta kekayaan yang berasal dari upah
dakwah atau upah yang berasal dari meminta minta dari jamaah atas dakwah yang
disampaikan kepadanya atau si pemberi dakwah menentukan tarifnya sekian, jika
tidak ia tidak mau menyampaikan dakwah kepada mereka atau ia tidak mau hadir ke
tempat yang telah ditetapkan.
Jika
sampai diri kita melakukan hal ini berarti kesempatan untuk memperoleh upah
yang berasal dari Allah SWT telah kita buang secara percuma, padahal upah yang
dari Allah SWT sangatlah berbeda dengan upah yang berasal dari manusia. Selain
daripada itu, jika upah dakwah saja tidak diperkenankan oleh Allah SWT berarti
harta kekayaan yang dibeli dari upah tersebut juga tidak diperkenankan oleh
Allah SWT.
Hal
yang harus kita pahami dalam persoalan ini adalah seorang pendakwah bukan tidak
boleh menerima pemberian dari jamaah atau menerima imbalan tertentu dari jamaah
setelah menjadi pendakwah. Akan tetapi yang dilarang oleh Allah SWT adalah pendakwah
menentukan sendiri nilai uang dari upah
dakwahnya atau pendakwah mengkomersialisasi dakwahnya sehingga jamaah
diwajibkan membayar dengan nilai tertentu kepadanya, jika tidak ia membatalkan
apa apa yang telah disepakati.
Pendakwah
wajib menerima berapapun imbalan yang diberikan kepadanya tanpa ada hitung
hitungan bisnis di dalamnya. Seorang pendakwah yang baik, harus ikhlas dengan
apa yang telah menjadi tugasnya tanpa harus mengkomersialisasi dakwah untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari hari. Biarlah Allah SWT yang mengupah diri
kita saat menjadi pendakwah dan yang pasti Allah SWT pasti memberikan upah
tersebut sesuai dengan janjinya kepada diri kita. Hal yang harus pula dijadikan
pedoman saat berdakwah adalah jadikan dakwah sarana bagi diri kita untuk melaksanakan habblum minannas (bukti kita
berguna bagi orang lain), bukan sarana bisnis apalagi sarana untuk menaikkan
popularitas yang pada akhirnya menjadi profesi utama kehidupan.
5.
Harta Anak Yatim. Berdasarkan surat An
Nisaa (4) ayat 10 yang kami kemukakan berikut: “Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka). Dan
juga berdasarkan surat Al Israa (17) ayat 34 berikut ini: “dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara
yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya
janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” serta berdasarkan surat Al An’am (6) ayat 152 yang
kami kemukakan berikut ini: “Dan janganlah kamu dekati
harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia
dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak
memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila
kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah
kerabat(mu)[519], dan penuhilah janji Allah[520]. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.”
[519] Maksudnya
mengatakan yang sebenarnya meskipun merugikan Kerabat sendiri.
[520] Maksudnya
penuhilah segala perintah-perintah-Nya.
Allah
SWT telah melarang diri kita untuk memakan, mengambil, mengakui harta anak
yatim menjadi harta kekayaan kita atau menjadikan harta anak yatim menjadi hak
diri kita oleh sebab apapun juga. Hal yang harus kita pahami adalah sampai
dengan kapanpun harta anak yatim bukanlah harta kekayaan diri kita, walaupun
harta anak yatim berada di dalam penguasaan diri kita.
Allah
SWT juga melarang kita mengakui harta anak yatim karena Allah SWT bertanggung
jawab dengan anak yatim tersebut dengan cara menitipkan harta anak yatim itu
dalam kurun waktu tertentu kepada diri kita sampai dengan anak yatim itu dewasa
atau mampu mengelola harta itu dengan bijak dan benar. Adanya kondisi ini
menunjukkan kepada diri kita bahwa harta anak yatim merupakan amanah yang akan
diminta pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak di hari kiamat.
Saat
diri kita diberi amanah untuk mengelola harta anak yatim, bukan kita tidak
boleh mengambil sesuatu dari harta yang kita kelola untuk kepentingan anak
yatim. Akan tetapi azas kepatutan dan kepantasan harus kita jadikan pedoman
saat diri kita mengambil sesuatu dari harta anak yatim tersebut. Disinilah
letak yang paling hakiki dari mengelola harta anak yatim, kita diperbolehkan
mengambil sesuatu dengan bijak dan benar dengan tidak menggagalkan tujuan utama
dari pengelolaan harta anak yatim, yaitu menjadi anak yatim tersebut menjadi
pribadi pribadi yang sukses bagi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Jika
tidak, Allah SWT siap memberikan azab yang pedih bagi pengambil harta anak
yatim yang dzalim dengan memasukkan ke dalam neraka jahannam kelak.
6.
Harta dari
Menyesatkan Orang Yang Beriman. Berdasarkan surat Al Anfaal (8) ayat 36
berikut ini: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan
harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan
menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan
dikalahkan. Ke dalam neraka Jahannamlah
orang-orang yang kafir itu dikumpulkan.” Dan juga berdasarkan surat Yunus (10)
ayat 88 yang kami kemukakan berikut ini: “Musa berkata:
“Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan
pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, Ya
Tuhan Kami – akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan
Kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, Maka
mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.”
Diri kita
telah dilarang atau tidak diperkenankan oleh Allah SWT untuk memiliki harta
kekayaan atau penghasilan dari menyesatkan/menghalangi orang yang beriman
beribadah dengan baik dan benar, seperti meminta minta sesuatu kepada makam
keramat dengan kedok ziarah kubur atau menipu orang yang beriman melalui
pelaksanaan ibadah tertentu, seperti menipu jamaah yang hendak menunaikan
ibadah haji dan umroh.
Kedua
hal yang kami kemukakan di atas, sering terjadi dalam kehidupan sehari hari.
Dimana umat diajak untuk melakukan ziarah kubur dengan membayar sejumlah uang
kemudian mereka diajak meminta minta sesuatu kepada makam keramat (meminta
karamah) pada waktu waktu tertentu. Hal lain yang sering terjadi adalah menipu
jamaah menunaikan ibadah Umroh dan Haji dengan iming iming harga murah dan
cepat berangkat, yang pada akhirnya masyarakat dan umat dirugikan dengan jumlah
yang tidak sedikit oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Selain
daripada itu, mengajak atau menipu dengan dalih menyumbang anak yatim atau
pembangunan masjid, padahal uangnya diambil untuk kepentingan pribadi. Dan
kalaupun membangun masjid atau menyumbang untuk kepentingan anak yatim hanya
dijadikan kedok belaka ataupun hanya disumbang ala kadarnya selebihnya untuk
kepentingan diri sendiri. Untuk itu Allah SWT dengan tegas akan memberikan
hukuman kepada orang orang yang berbuat curang dengan mengatasnamakan agama
untuk kepentingan diri sendiri, dengan azab yang pedih di neraka jahannam.
Jangan sampai diri kita menjadi orang yang melakukan tindakan tidak terpuji
dengan menipu orang yang beriman untuk kepentingan pribadi, padahal resikonya
sangat berat baik di dunia ataupun di akhirat kelak.
Itulah enam kriteria
harta kekayaan yang harus kita jadikan pedoman saat diri kita hidup di muka
bumi ini atau saat diri kita mencari harta kekayaan untuk kepentingan hidup di
dunia dan juga di akhirat kelak. Untuk itu ketahuilah bahwa Allah SWT selaku
pencipta dan pengutus diri kita ke muka bumi ini telah menentukan kriteria
tentang kepemilikan harta kekayaan bukanlah untuk menjebloskan diri kita,
menyusahkan diri kita, melainkan agar diri kita hati hati di dalam mencari
harta kekayaan. Agar diri kita selamat di dunia dan di akhirat kelak melalui
kepemilikan harta kekayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar