Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Jumat, 03 Februari 2017

HARTA KEKAYAAN YANG DILARANG


Memiliki harta yang banyak tidaklah dilarang, akan tetapi kita harus tahu harta kekayaan apa saja yang tidak boleh kita miliki atau kita juga harus memiliki ilmu tentang bagaimana harta kekayaan itu kita dapatkan. Hal yang sering kita lupa adalah benar emas dan perak itu halal, benar tanah dan bangunan itu halal. Akan tetapi yang harus kita pahami adalah bukan hal itu yang menjadi pedoman saat memiliki harta kekayaan, melainkan cara untuk mendapatkan dan memperoleh harta kekayaanlah yang harus kita jadikan pedoman. Apakah melanggar ketentuan hukum positif ataukah melanggar ketentuan hukum Agama. Agar diri kita terhindar dari kepemilikan harta kekayaan yang tidak dikehendaki Allah SWT atau memiliki harta yang sesuai dengan kehendak Syaitan. Berikut ini akan kami kemukakan beberapa bentuk harta kekayaan yang sangat dilarang oleh Allah SWT, namun sangat dikehendaki oleh syaitan,  yaitu :

 

1.       Harta Yang Didapat dari Hasil Menipu. Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 188 berikut ini: “dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” dan juga berdasarkan surat An Nisaa (4) ayat 29 yang kami kemukakan berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

 

[287] Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.

 

Kita dilarang memiliki harta kekayaan melalui jalan menipu, atau memiliki harta kekayaan dengan cara  mengambil secara bathil yang tidak dibenarkan baik oleh hukum positif maupun hukum Agama yang berlaku. Kita dilarang keras oleh Allah SWT untuk mendapatkan harta kekayaan dengan jalan berbuat dosa apakah  melalui penipuan, penggelapan, pengambilalihan secara paksa, membeli dengan cara cara intimidasi, membeli yang merugikan salah satu pihak dan lain sebagainya walaupun dibiayai dengan uang yang halal. Inilah ketentuan mutlak yang harus kita hindari di dalam memiliki harta kekayaan, terkecuali kita mampu menahan resiko dari kepemilikan harta dari jalan yang bathil yaitu menahan panasnya api neraka kelak.   

 

Salah satu cara yang diridhai Allah SWT untuk memiliki harta kekayaan adalah melalui jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu tanpa adanya keterpaksaan apalagi saling merugikan diantara kamu. Dengan catatan uang yang dipergunakan untuk membeli atau untuk mendapatkan harta kekayaan harus berasal dari yang halal lagi diridhai Allah SWT. Hal yang harus kita jadikan pedoman saat memiliki harta kekayaan adalah segala surat menyurat atau bukti kepemilikan harta kekayaan haruslah jelas sesuai dengan hukum yang berlaku. Ketentuan Nishab dan Haul harus didukung dengan ketersediaan data data yang valid sebab tanpa itu ketentuan ini akan sulit dilaksanakan dengan baik dan benar, yang pada akhirnya akan menyulitkan diri kita menunaikan zakat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.  

 

2.       Harta Korupsi dan Suap (Gratifikasi). Allah SWT selaku pemberi perintah menunaikan zakat menegaskan dalam surat An Naml (27) ayat 35, 36 sebagaimana kami kemukakan berikut ini: Dan Sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu”. Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata: “Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? Maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.” 

 

Allah SWT melarang diri kita untuk memiliki harta kekayaan yang berasal dari hasil Korupsi atau dari hasil mengambil hak orang lain tanpa hak dan juga harta kekayaan yang berasal dari suap menyuap atau meminta sesuatu yang dilarang (gratifikasi). Jika sampai kita memiliki harta kekayaan yang berasal dari hasil korupsi atau mengambil hak orang lain tanpa hak, memperoleh harta dengan cara memaksakan kehendak, mendapatkan sesuatu dengan cara melanggar ketentuan yang dilarang (gratifikasi)  maka yang paling bahagia dengan kondisi ini adalah syaitan sang laknatullah.

 

Untuk itu ada baiknya kita mempelajari ketentuan hadits qudsi di bawah ini sebelum diri kita korupsi atau mengambil hak orang lain tanpa hak, yaitu: “Hudzaifah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Allah SWT telah mewahyukan kepadaku. Wahai saudara para Rasul dan saudara para pemberi peringatan, berilah peringatan kepada kaummu untuk tidak memasuki rumah Ku (masjid) kecuali dengan hati yang bersih, lidah yang jujur, tangan yang suci, dan kemaluan yang bersih. Dan janganlah mereka memasuki rumah Ku (masjid) padahal mereka masih tersangkut barang aniayaan hak hak orang lain. Sesungguhnya Aku mengutuknya selama ia berdiri mengerjakan shalat dihadapan Ku sehingga ia mengembalikan barang aniayaan itu kepada pemiliknya yang berhak. Apabila ia telah mengembalikannya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendegar, menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat, dan ia akan menjadi salah seorang kekasih Ku bersama para Nabi, para shiddiqin dan para syuhada di dalam syurga. (Hadits Riwayat Abu Nua’aim, Al Hakim, Ad Dailami dan Ibnu Asakir: 272:240)

 

Hadits ini merupakan salah satu ketentuan yang mengatur tentang cara memiskinkan koruptor yang harus dilaksanakan oleh koruptor itu sendiri jika ia ingin selalu berada di dalam kehendak Allah SWT. Dimana Allah SWT mengutuk orang yang tidak mau mengembalikan harta yang telah dikorupsinya sampai dengan ia mengembalikan harta yang dikorupsinya itu kepada pemiliknya yang berhak menerimanya.

 

Koruptor atau orang yang mengambil hak orang lain tanpa hak, termasuk di dalamnya orang yang belum mengembalikan barang aniayaan milik orang lain dilarang memasuki masjid oleh Allah SWT termasuk di dalamnya dilarang masuk ke Baitullah yang yang ada di Makkah saat melaksanakan ibadah Umroh dan Haji. Adanya ketentuan ini maka ibadah shalat yang kita dirikan dan ibadah umroh dan haji yang kita laksanakan tidak akan diterima oleh Allah SWT,  justru pada saat itu Allah SWT mengutuk orang tersebut selama melaksanakan ibadah dimaksud.

 

Sekarang berhitunglah sendiri berapa nilai harta kekayaan yang telah kita korupsi lalu sandingkan dengan nilai kutukan Allah SWT kepada diri kita, lalu mana yang lebih berharga, apakah harta ataukah kutukan Allah SWT? Jika kita merasa harta kekayaan lebih bermakna dari kutukan Allah SWT berbahagialah anda hidup dunia dengan harta tersebut lalu bersiaplah menerima azab yang pedih di akhirat kelak dan menjalan kehidupan di neraka bersama syaitan sang laknatullah.

 

Selain daripada itu, ketahuilah bahwa dampak kekotoran dari harta yang sesuai dengan kehendak Syaitan, tidak hanya berdampak langsung kepada diri  kita saja. Namun anak keturunan kita yang tidak berbuat bisa terkena dampak atas perbuatan diri kita. Memang mengembalikan barang aniayaan itu berat apalagi jika barang aniayaan itu sudah habis, namun lebih berat mana dibandingkan dengan menahan panasnya api neraka kelak? Sebagai koruptor, sebagai penipu, sebagai penggelap, tentu anda tahu hal ini maka bertanyalah kepada diri sendiri tentang apakah mau mengembalikan barang aniayaan yang telah dikorupsi ataukah kesanggupan untuk menahan panasnya api neraka? Pilihan ada pada diri kita, bukan pada Allah SWT.

 

 

Untuk menambah wawasan tentang perbedaan antara suap dengan gratifikasi, berikut ini kami kemukakan hal tersebut yang kami ambil dari www.hukumonline.com sebagai berikut: Pengaturan dan batasan/definisi suap dan gratifikasi beserta ancaman sanksi bagi masing-masing tindak pidana tersebut kami sajikan dalam tabel di bawah ini:

 

 

 PERBEDAAN

 

SUAP

GRATIFIKASI

Pengaturan

a.Kitab Undang Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatblad 1915 No.73).

2. Undang Undang No.11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.

3. Undang Undang Tahun No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi serta diatur  pula dalam Undang Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU Pemberantasan Tipikor)

1. Undang Undang No.20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang Undang  No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Serta diatur pula dalam Undang Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU Pemberantasan Tipikor).

2. Peraturan Menteri Keuangan No.03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi.

Definisi

Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah) (Pasal 3 UU 3/1980).

Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik (Penjelasan Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor)

Sanksi

UU 11/1980:

Pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah) (Pasal 3 UU 3/1980).

 

KUHP:

pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah (Pasal 149)

 

UU Pemberantasan Tipikor:

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya (Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor).

Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (Pasal 12B ayat [2] UU Pemberantasan Tipikor)

 

Jadi, selain pengaturan suap dan gratifikasi berbeda, definisi dan sanksinya juga berbeda. Dari definisi tersebut di atas, tampak bahwa suap dapat berupa janji, sedangkan gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas dan bukan janji.

 

Jika melihat pada ketentuan-ketentuan tersebut, dalam suap ada yang mengetahui atau patut dapat menduga” sehingga ada  atau maksud untuk mempengaruhi pejabat di dalam mengambil kebijakan maupun keputusannya. Sedangkan untuk gratifikasi, diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, namun dapat dianggap sebagai suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

 

Selanjutnya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia memang masih belum terlalu jelas pemisahan antara perbuatan pidana suap dan perbuatan pidana gratifikasi karena perbuatan gratifikasi dapat dianggap sebagai suap jika diberikan terkait dengan jabatan dari pejabat negara yang menerima hadiah tersebut. Hal tersebut berbeda dengan pengaturan di Amerika yang mana antara suap dan gratifikasi yangdilarang dibedakan.

 

Perbedaannya adalah jika dalam gratifikasi yang dilarang, pemberi gratifikasi memiliki maksud bahwa pemberian itu sebagai penghargaan atas dilakukannya suatu tindakan resmi, sedangkan dalam suap pemberi memiliki maksud (sedikit banyak) untuk mempengaruhi suatu tindakan resmi (sumber: “Defining Corruption: A Comparison of the Substantive Criminal Law of Public Corruption in the United States and the United Kingdom”, Greg Scally: 2009). Sehingga jelas pembedaan antara suap dan gratifikasi adalah pada tempus (waktu) dan intensinya (maksudnya).

 

Mengenai faktor apa yang mendasari adanya perumusan mengenai delik gratifikasi, kami merujuk pada salah satu penjelasan yang dimuat dalam Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkann Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di dalam buku tersebut dijelaskan sebagai berikut: Terbentuknya peraturan tentang gratifikasi ini merupakan bentuk kesadaran bahwa gratifikasi dapat mempunyai dampak  yang tertentu dan dapat disalahgunakan, khususnya dalam rangka penyelenggaraan pelayanan masyarakat sehingga hal ini diatur dalam perundangudangan mengenai tindak pidana korupsi. Diharapkan jika budaya pemberian dan penerimaan kepada dan oleh Penyelenggara Negara dan Pegawai Negeri dapat dihentikan, maka tindak pidana pemerasan dan suap dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan.

 

Di dalam buku tersebut juga dijelaskan contoh contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi, yaitu:

 

1.       Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya;

2.       Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut;

3.       Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara Cuma Cuma:

4.       Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan;

5.       Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat;

6.       Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara acara pribadi lainnya dari rekanan;

7.       Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja;

8.       Pemberian hadiah atau uang ucapan terima kasih karena telah dibantu. 

 

Semoga dengan adanya pembahasan tentang suap dan gratifikasi yang kami kemukakan di atas menjadikan kita mawas diri dan terhindar dari kedua hal tersebut saat kita hidup di dunia serta jangan pula menjadi penyesalan kelak.

 

3.       Harta Dari Riba dan Dari Jalan Yang Bathil. Berdasarkan surat An Nisaa (4) ayat 161 berikut ini:  “dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” Allah SWT melarang diri kita memiliki harta kekayaan yang berasal dari usaha Riba (dari hasil membungakan uang dengan jalan yang tidak sesuai dengan syariat yang berlaku) dan juga dari jalan yang bathil yang tidak diridhai oleh Allah SWT. Allah SWT melarang kita memiliki harta yang berasal dari usaha bathil dan riba karena cara cara dimaksud karena dibalik harta kekayaan itu terpendam sebuah kemudharatan yang akan membayakan diri kita, anak dan keturunan kita sendiri.

 

Ingat, jika kita membungakan uang dengan cara cara yang tidak sesuai dengan syariah berarti di dalam uang yang kita bungakan tersebut terdapat hak milik orang lain yang kita ambil secara terpaksa atau adanya keterpaksaan yang tidak bisa diperbuat oleh peminjam uang dimaksud karena adanya syarat dan ketentuan yang diluar batas kewajaran kepada peminjam untuk mengembalikan uang dimaksud dalam kurun waktu tertentu.

 

Demikian juga dengan penguasaan harta kekayaan yang didapat dengan cara yang bathil dengan cara menekan peminjam untuk mengembalikan pinjaman yang dipinjamnya dalam kurun waktu yang sangat sempit atau peminjam hanya diberikan waktu  yang tidak masuk akal untuk segera melunasi pinjamannya. Hal yang sering terjadi di masyarakat adalah setelah peminjam tidak mampu melunasi pinjamannya, lalu si pemberi pinjaman memberikan ultimatum tentang harga jual jaminan yang diberikannya dinilai tidak sesuai dengan harga pasar yang berlaku. Setelah itu si pemberi pinjaman memutuskan ini sisa pembayaran dari pelunasan hutang setelah dikonversi dengan harga jual jaminan yang telah ditentukannya. Ini hanyalah salah satu contoh kepemilikan harta kekayaan yang dilarang oleh Allah SWT dan masih banyak cara cara pengambilan harta kekayaan secara paksa dengan dalih mengembalikan hutang yang telah jatuh tempo. 

 

4.       Harta Yang Berasal Dari Upah Dakwah. Berdasarkan surat Huud (11) ayat 29 berikut ini: “dan (dia berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak Mengetahui”. Allah SWT melarang diri kita untuk memiliki harta kekayaan yang berasal dari upah dakwah atau upah yang berasal dari meminta minta dari jamaah atas dakwah yang disampaikan kepadanya atau si pemberi dakwah menentukan tarifnya sekian, jika tidak ia tidak mau menyampaikan dakwah kepada mereka atau ia tidak mau hadir ke tempat yang telah ditetapkan.

 

Jika sampai diri kita melakukan hal ini berarti kesempatan untuk memperoleh upah yang berasal dari Allah SWT telah kita buang secara percuma, padahal upah yang dari Allah SWT sangatlah berbeda dengan upah yang berasal dari manusia. Selain daripada itu, jika upah dakwah saja tidak diperkenankan oleh Allah SWT berarti harta kekayaan yang dibeli dari upah tersebut juga tidak diperkenankan oleh Allah SWT.  

 

Hal yang harus kita pahami dalam persoalan ini adalah seorang pendakwah bukan tidak boleh menerima pemberian dari jamaah atau menerima imbalan tertentu dari jamaah setelah menjadi pendakwah. Akan tetapi yang dilarang oleh Allah SWT adalah pendakwah menentukan  sendiri nilai uang dari upah dakwahnya atau pendakwah mengkomersialisasi dakwahnya sehingga jamaah diwajibkan membayar dengan nilai tertentu kepadanya, jika tidak ia membatalkan apa apa yang telah disepakati.

 

Pendakwah wajib menerima berapapun imbalan yang diberikan kepadanya tanpa ada hitung hitungan bisnis di dalamnya. Seorang pendakwah yang baik, harus ikhlas dengan apa yang telah menjadi tugasnya tanpa harus mengkomersialisasi dakwah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari hari. Biarlah Allah SWT yang mengupah diri kita saat menjadi pendakwah dan yang pasti Allah SWT pasti memberikan upah tersebut sesuai dengan janjinya kepada diri kita. Hal yang harus pula dijadikan pedoman saat berdakwah adalah jadikan dakwah sarana bagi diri kita untuk  melaksanakan habblum minannas (bukti kita berguna bagi orang lain), bukan sarana bisnis apalagi sarana untuk menaikkan popularitas yang pada akhirnya menjadi profesi utama kehidupan.   

 

5.       Harta Anak Yatim. Berdasarkan surat An Nisaa (4) ayat 10 yang kami kemukakan berikut: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).  Dan juga berdasarkan surat Al Israa (17) ayat 34 berikut ini: “dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”  serta berdasarkan surat Al An’am (6) ayat 152 yang kami kemukakan berikut ini: “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu)[519], dan penuhilah janji Allah[520]. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.”

 

[519] Maksudnya mengatakan yang sebenarnya meskipun merugikan Kerabat sendiri.

[520] Maksudnya penuhilah segala perintah-perintah-Nya.

 

Allah SWT telah melarang diri kita untuk memakan, mengambil, mengakui harta anak yatim menjadi harta kekayaan kita atau menjadikan harta anak yatim menjadi hak diri kita oleh sebab apapun juga. Hal yang harus kita pahami adalah sampai dengan kapanpun harta anak yatim bukanlah harta kekayaan diri kita, walaupun harta anak yatim berada di dalam penguasaan diri  kita.

 

Allah SWT juga melarang kita mengakui harta anak yatim karena Allah SWT bertanggung jawab dengan anak yatim tersebut dengan cara menitipkan harta anak yatim itu dalam kurun waktu tertentu kepada diri kita sampai dengan anak yatim itu dewasa atau mampu mengelola harta itu dengan bijak dan benar. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa harta anak yatim merupakan amanah yang akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak di hari kiamat.

 

Saat diri kita diberi amanah untuk mengelola harta anak yatim, bukan kita tidak boleh mengambil sesuatu dari harta yang kita kelola untuk kepentingan anak yatim. Akan tetapi azas kepatutan dan kepantasan harus kita jadikan pedoman saat diri kita mengambil sesuatu dari harta anak yatim tersebut. Disinilah letak yang paling hakiki dari mengelola harta anak yatim, kita diperbolehkan mengambil sesuatu dengan bijak dan benar dengan tidak menggagalkan tujuan utama dari pengelolaan harta anak yatim, yaitu menjadi anak yatim tersebut menjadi pribadi pribadi yang sukses bagi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Jika tidak, Allah SWT siap memberikan azab yang pedih bagi pengambil harta anak yatim yang dzalim dengan memasukkan ke dalam neraka jahannam kelak.

 

6.       Harta dari Menyesatkan Orang Yang Beriman. Berdasarkan surat Al Anfaal (8) ayat 36 berikut ini: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Ke  dalam neraka Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan.” Dan juga berdasarkan surat Yunus (10) ayat 88 yang kami kemukakan berikut ini: “Musa berkata: “Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, Ya Tuhan Kami – akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan Kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, Maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.”

 

Diri kita telah dilarang atau tidak diperkenankan oleh Allah SWT untuk memiliki harta kekayaan atau penghasilan dari menyesatkan/menghalangi orang yang beriman beribadah dengan baik dan benar, seperti meminta minta sesuatu kepada makam keramat dengan kedok ziarah kubur atau menipu orang yang beriman melalui pelaksanaan ibadah tertentu, seperti menipu jamaah yang hendak menunaikan ibadah haji dan umroh.

 

Kedua hal yang kami kemukakan di atas, sering terjadi dalam kehidupan sehari hari. Dimana umat diajak untuk melakukan ziarah kubur dengan membayar sejumlah uang kemudian mereka diajak meminta minta sesuatu kepada makam keramat (meminta karamah) pada waktu waktu tertentu. Hal lain yang sering terjadi adalah menipu jamaah menunaikan ibadah Umroh dan Haji dengan iming iming harga murah dan cepat berangkat, yang pada akhirnya masyarakat dan umat dirugikan dengan jumlah yang tidak sedikit oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

 

Selain daripada itu, mengajak atau menipu dengan dalih menyumbang anak yatim atau pembangunan masjid, padahal uangnya diambil untuk kepentingan pribadi. Dan kalaupun membangun masjid atau menyumbang untuk kepentingan anak yatim hanya dijadikan kedok belaka ataupun hanya disumbang ala kadarnya selebihnya untuk kepentingan diri sendiri. Untuk itu Allah SWT dengan tegas akan memberikan hukuman kepada orang orang yang berbuat curang dengan mengatasnamakan agama untuk kepentingan diri sendiri, dengan azab yang pedih di neraka jahannam. Jangan sampai diri kita menjadi orang yang melakukan tindakan tidak terpuji dengan menipu orang yang beriman untuk kepentingan pribadi, padahal resikonya sangat berat baik di dunia ataupun di akhirat kelak.

 

Itulah enam kriteria harta kekayaan yang harus kita jadikan pedoman saat diri kita hidup di muka bumi ini atau saat diri kita mencari harta kekayaan untuk kepentingan hidup di dunia dan juga di akhirat kelak. Untuk itu ketahuilah bahwa Allah SWT selaku pencipta dan pengutus diri kita ke muka bumi ini telah menentukan kriteria tentang kepemilikan harta kekayaan bukanlah untuk menjebloskan diri kita, menyusahkan diri kita, melainkan agar diri kita hati hati di dalam mencari harta kekayaan. Agar diri kita selamat di dunia dan di akhirat kelak melalui kepemilikan harta kekayaan.  

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar