Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Jumat, 03 Februari 2017

HARTA KEKAYAAN YANG BENAR


 

Sebagai seorang abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang selalu berjalan di dalam kehendak Allah SWT, dapat dipastikan kita mampu menempatkan dan meletakkan perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT bukanlah sebagai tujuan akhir dari perintah itu sendiri. Perintah yang kita laksanakan harus kita letakkan sebagai sebuah kebutuhan diri sehingga perintah ini menjadi sarana bagi diri kita atau alat bantu bagi diri kita untuk mendapatkan manfaat yang hakiki yang terdapat di balik perintah. Sebagai contoh, perintah mandi bukanlah tujuan akhir dari perintah mandi. Perintah mandi hanyalah sarana atau alat bantu bagi diri kita untuk memperoleh dan merasakan sehat dan segar dari mandi yang kita laksanakan. Hal yang samapun berlaku pada saat diri kita melaksanakan perintah menunaikan zakat. Perintah menunaikan zakat bukanlah tujuan akhir dari pelaksanaan perintah menunaikan zakat.

 

Perintah menunaikan zakat merupakan upaya diri kita untuk memperoleh manfaat atau hikmah yang hakiki yang terdapat dibalik perintah menunaikan zakat. Agar diri kita mampu melaksanakan perintah Allah SWT sesuai dengan kehendak Allah SWT maka kita harus memiliki ilmu yang berhubungan erat dengan harta kekayaan terlebih dahulu. Hal ini penting dikarenakan agar diri kita terhindar dari kepemilikan harta kekayaan yang tidak dikehendaki oleh Allah SWT. Yang pada akhirnya akan dapat menggagalkan kekhalifahan yang kita laksanakan saat ini.

 

Sebelum kami melanjutkan pembahasan tentang pedoman memiliki harta kekayaan, ada baiknya kami mengemukakan empat tipe manusia berkaitan dengan harta dan gaya hidupnya.

 

Pertama, orang yang berharta dan memperlihatkan hartanya. Orang seperti ini biasanya mewah gaya hidupnya.Akan menjadi tidak bermasalah jika perilakunya masih sesuai dengan penghasilannya, sehingga secara finansial baginya tidak terlalu bermasalah. Hanya saja, dia akan menjadi hina jika bersikap sombong dan merendahkan orang lain yang dianggap tidak selevel dengan dia. Apalagi kalau bersikap kikir dan tidak mau membayar zakat dan mengeluarkan infak dan sedekah. Sebaliknya, dia akan terangkat kemuliaannya dengan kekayaannya itu jikalau dia rendah hati dan dermawan.

 

Kedua, orang yang tidak berharta kekayaan banyak, tapi ingin kelihatan berharta banyak. Gaya hidup mewahnya sebenarnya di luar kemampuannya, hal ini karena dia ingin selalu tampil lebih daripada kenyataan. Tidaklah aneh bila keadaan finansialnya lebih besar pasak daripada tiang. Tampaknya, orang seperti ini benar benar tahu seni menyiksa diri. Hidupnya sangat menderita, dan sudah barang tentu dia menjadi hina dan bahkan menjadi bahan tertawaan orang lain yang mengetahui keadaan yang sebenarnya.

 

Ketiga, orang tak berharta tetapi hidupnya bersahaja. Orang seperti ini tidak terlalu pusing dalam menjalani hidup karena tak tersiksa oleh keinginan, tak ruwet oleh pujian dan penilaian orang lain. Kebutuhan hidupnya pun sederhana saja. Dia akan hina kalau menjadi beban dan menjadi peminta minta yang tidak tahu diri. Namun, tetap juga berpeluang  menjadi mulia jikalau sangat menjaga kehormatan dirinya dengan tidak menunjukkan berharap dikasihani, tak menunjukkan kemiskinannya, tegar, dan memiliki harga diri.

 

Keempat, orang yang berharta tapi hidup bersahaja. Inilah orang yang mulia dan memiliki keutamaan. Dia mampu membeli apapun yang diinginkan. Namun, dia berhasil menahan dirinya untuk hidup seperlunya. Dampaknya, hidupnya tidak berbiaya tinggi, tidak menjadi bahan iri dengki orang lain dan tertutup peluang menjadi sombong, serta takabur dan riya. Dan yang lebih menawan, dia akan menjadi contoh kebaikan yang tidak habis habisnya dan menjadi bahan pembicaraan. Dan akan menjadi sesuatu yang aneh tapi nyata jika orang yang berkecukupan harta tapi mampu hidup bersahaja. Sungguh, dia akan memiliki kemuliaan tersendiri. Pribadinya lebih kaya dan lebih berharga dibandingkan dengan seluruh harta kekayaan yang dimilikinya. Dan semoga hal ini terjadi pada diri kita, keluarga dan anak keturunan kita. Amien.

 

Selain daripada itu, kami juga akan mengemukakan empat kelompok manusia jika berhadapan dengan harta dan ilmu sebagaimana dikemukakan dalam hadits berikut ini: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya dunia milik empat kelompok manusia: (1) Hamba yang diberi oleh Allah harta dan ilmu. Dia bertaqwa pada Tuhannya dalam harta itu dam dia menjalin  silaturahim. Dia mengetahui hak Allah pada hartanya. Inilah yang terbaik. (2) Hamba yang diberi Ilmu tapi tidak diberi harta. Dia memiliki niat yang benar ketika berkata, ‘jika saya memiliki harta, maka saya akan melakukan seperti yang dilakukan fulan.’ Dia dengan niatnya ini mendapatkan pahala yang sama dengan si fulan; (3) Hamba yang diberi harta tapi tidak diberi ilmu. Dia berbuat serampangan  dengan hartanya. Tidak takut pada Tuhannya  dan tidak menyambung silaturahim. Tidak mengetahui bahwa dalam harta ada hak Allah. Maka dialah yang terburuk; (4) Hamba yang tidak diberi harta dan tidak diberi ilmu. Dia berkata, ‘andai saya memiliki harta, maka dengan harta ini saya akan berbuat seperti fulan.’ Dengan niatnya ini, maka dia mendapat dosa yang sama dengan si fulan. (Hadits Riwayata Ath Thirmidzi)

 

Setelah mengetahui adanya empat tipe manusia sebagaimana telah kami kemukakan di atas dan agar jangan sampai diri kita mengalami hal hal yang paling dikehendaki oleh syaitan, maka kita harus memiliki ilmu tentang pedoman atau panduan di dalam memiliki harta kekayaan, sebagaimana akan kami kemukakan berikut ini:

 

A.     HARTA KEKAYAAN YANG BENAR.

 

Di dalam ajaran Islam memiliki harta kekayaan yang banyak bukanlah sesuatu yang dilarang apalagi diharamkan oleh Allah SWT. Memiliki harta justru dianjurkan oleh Allah SWT karena banyak perintah yang bermakna ibadah baru bisa dilaksanakan jika kita memiliki harta kekayaan, seperti menunaikan zakat, melaksanakan haji dan umroh, membangun masjid, menyekolahkan anak kurang mampu,  memberikan wakaf dan lain sebagainya. Berikut ini akan kami kemukakan beberapa kriteria yang harus kita jadikan pedoman saat diri kita mencari harta kekayaan, yaitu :

 

1.       Harta Untuk Mencari Kebaikan. Kriteria pertama yang harus kita ketahui dalam mencari harta kekayaan adalah harta kekayaan yang kita cari haruslah harta yang dapat menghantarkan diri kita memperoleh kebaikan, atau harta yang dapat menghantarkan diri kita selalu berada di dalam kehendak Allah SWT dari waktu ke waktu, atau harta yang bisa kita jadikan alat bantu untuk berjihad di jalan Allah SWT sehingga tidak hanya kita saja yang bisa menikmati harta kekayaan tersebut namun masyarakat luas bisa terbantu oleh sebab harta kekayaan yang kita miliki, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama Dia, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan mereka Itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan, dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung.(Surat At Taubah (9) ayat 88)

 

Selanjutnya setelah kita mampu berbuat kebaikan, jangan pernah menyebut nyebut kembali apa apa yang telah kita berikan atau tunaikan apalagi diiringi dengan omongan yang menyakiti perasaan penerima. Jika sampai ini kita lakukan berarti kita berada di dalam kehendak syaitan sang laknatullah. Allah SWT berfirman: “orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Surat Al Baqarah (2) ayat 262)

 

Untuk itu perhatikanlah apa yang terjadi di dalam masyarakat yaitu harta yang haram akan mendorong pemiliknya atau yang menguasainya untuk yang berbuat haram pula. Sedangkan harta yang halal tidak akan membuat pemiliknya berbuat kejahatan karena ada sesuatu yang menghalangi dirinya untuk berbuat kejahatan (adanya tabir atau bisikan, jangan lakukan hal itu). Disinilah salah satu letak kebaikan dari harta yang didapat dari jalan yang halal dan diridhai Allah SWT. Jadi selama diri kita mampu memperoleh dan mendapatkan harta kekayaan dengan jalan yang halal lagi diridhai oleh Allah SWT maka nilai nilai kebaikan yang terdapat di dalam harta yang kita dapatkan akan mendorong diri kita berbuat kebaikan pula, jika tidak ada sesuatu yang salah dalam harta kekayaan kita.

 

Sekarang bagaimana jika kita tidak mampu mendapatkan harta kekayaan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT? Tidak ada toleransi sedikitpun yang dibenarkan, atau tidak ada alasan sedikitpun yang memperbolehkan diri kita untuk mendapatkan atau memperoleh harta kekayaan yang memenuhi kriteria haram lagi dikehendaki Syaitan. Kita wajib berusaha dari waktu ke waktu untuk selalu mendapatkan harta kekayaan dan nafkah untuk  keluarga secara halal lagi diridhai Allah SWT. Terkecuali kita mampu menanggung resiko yang terdapat di balik harta yang haram lagi dikehendaki Syaitan kelak di hari kiamat.

 

Lalu bisakah kita yang saat ini memiliki harta dari yang haram, memiliki kekayaan atau penghasilan dari hasil menipu atau dari hasil korupsi, lalu untuk menjadikan harta itu menjadi harta yang halal kita tunaikan zakatnya? Sepanjang harta awal yang kita miliki dari hasil menipu atau dari hasil korupsi maka harta itu selamanya masuk dalam kategori harta haram walaupun telah ditunaikan zakatnya ataupun telah dibelanjakan di jalan Allah SWT melalui infaq dan shadaqah. Jalan satu satunya yang bisa kita lakukan adalah mengembalikan harta haram tersebut kepada pemiliknya yang berhak lalu terbebaslah kita dari resiko memiliki harta haram lagi dikehendaki syaitan. Sekarang tergantung diri kita mau mengembalikan harta haram tersebut ataukah mampu menahan panasnya api neraka kelak.

 

Sekarang mari kita perhatikan dua buah nasehat yang berasal dari Nabi kita, Nabi Muhammad SAW yang termaktub di dalam haditsnya berikut ini: Rasulullah SAW bersabda: “Bergembiralah dan bercita citalah kalian. Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian. Tapi aku khawatir jika dunia dimudahkan untuk kalian sebagaimana dimudahkan untuk umat sebelum kalian, maka kalian akan berlomba lomba seperti mereka dan dunia akan menghancurkan kalian sebagaimana menghancurkan mereka. (Hadits Riwayat Bukhari)

 

Selain daripada itu, Rasulullah SAW juga telah memberikan petunjuk dan nasehatnya tentang orang yang menjadikan akhiratnya sebagai tujuan akhirnya dan tentang orang yang menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya, sebagaimana hadits berikut ini: “Barangsiapa yang menjadi akhirat sebagai tujuannya maka Allah menjadikan hatinya kaya, mengumpulka pakaiannya, dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan rendah. Barangsiapa yang dunia menjadi tujuannya, maka Allah akan menjadikan kemisikinan diantara kedua matanya, merobek robek pakaiannya dan dunia akan datang hanya yang ditentukan untuknya. (Hadits Riwayat Ath Thirmidzi). Adanya dua hadits yang kami kemukakan di atas maka ketahuilah bahwa kekayaan yang sesungguhnya adalah kaya hati, bukan banyaknya harta. Lewat kaya hatilah maka kita bisa melaksanakan konsep harta kekayaan untuk kebaikan.

 

2.       Harta Untuk Mencari Kemenangan Di Sisi Allah SWT. Berdasarkan surat At Taubah (9) ayat 20 berikut ini: “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih Tinggi derajatnya di sisi Allah; dan Itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” Adapun kriteria ke dua yang harus kita pahami tentang kepemilikan harta kekayaan adalah harta kekayaan yang kita cari dan dapatkan haruslah harta kekayaan yang mampu menghantarkan diri kita, atau harta kekayaan yang kita miliki bisa kita gunakan untuk berjihad di jalan Allah SWT sehingga dengan itu kita mampu meraih kemenangan yang ada di sisi Allah SWT. Harta kekayaan yang bisa untuk dipergunakan berjihad di jalan Allah SWT sehingga mampu menghantarkan diri kita meraih kemenangan haruslah dari harta yang didapat dengan cara cara yang halal lagi diridhai Allah SWT.

 

Hal yang tidak mungkin terjadi adalah dengan harta yang haram bisa kita pergunakan untuk berjihad di jalan Allah SWT. Hal ini dikarenakan harta yang haram akan mendorong pemiliknya atau yang menguasainya untuk berbuat yang haram pula yang sesuai dengan kehendak syaitan. Contohnya harta haram akan mendorong pemiliknya untuk berjudi, untuk  pergi ke hiburan malam, berbuat a susila, narkoba, mendanai terorisme dan lain sebagainya. Sekarang bertanyalah kepada diri sendiri, apakah harta kekayaan yang kita miliki saat ini mampu kita gunakan untuk berjihad di jalan Allah SWT?

 

Jika harta kekayaan yang kita miliki berasal dari yang halal lagi diridhai Allah SWT dapat dipastikan harta itu sudah ditunaikan zakatnya dan mudah untuk dibelanjakan untuk berjihad di jalan Allah SWT. Akan tetapi jika harta kekayaan yang kita miliki berasal dari yang haram lagi diridhai syaitan dapat diduga harta itu belum ditunaikan zakatnya dan sulit dibelanjakan di jalan Allah SWT namun mudah dibelanjakan di jalan syaitan sang laknatullah.

 

Lalu bisakah harta haram dipaksakan untuk dibelanjakan di jalan Allah SWT? Jika sampai harta haram dibelanjakan di jalan Allah SWT, bukan termasuk perbuatan baik yang dinilai kebaikan oleh Allah SWT. Harta haram tidak akan bisa berubah menjadi harta halal walaupun dibelanjakan di jalan Allah SWT yang hasilnya untuk kebaikan masyarakat. Harta haram semakin ditahan atau tidak dikembalikan kepada pemiliknya yang berhak maka harta haram ini akan menjadi biang penyakit bagi kesehatan jasmani dan juga ruhani pemiliknya dan juga berpengaruh buruk kepada keluarga pemiliknya karena keberkahan di dalam harta tersebut tidak akan pernah ada. Jika keberkahan tidak akan pernah ada maka yang ada adalah keburukan dari harta sehingga yang kita berikan kepada keluarga bukanlah harta melainkan keburukan.  

 

3.       Harta Untuk Pembeli Syurga (Kepentingan Akhirat). Berdasarkan surat At Taubah (9) ayat 111 berikut ini:“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar.” dan juga berdasarkan surat Al Qashash (28) ayat 77 yang kami kemukakan berikut ini; “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Kriteria yang ketiga yang harus dimiliki dari harta kekayaan yang kita peroleh adalah harta kekayaan yang bisa menghantarkan diri kita untuk masuk ke syurga. Ingat, bukan harta kekayaan yang menghantarkan diri kita masuk ke dalam neraka. Hal yang harus kita jadikan pedoman saat ini adalah kesempatan untuk menjadikan harta kekayaan sebagai kendaraan diri kita untuk masuk ke Syurga hanya dapat diperoleh pada saat diri kita hidup di muka bumi ini, atau melalui wasiat yang kita buat agar harta kekayaan itu diwakafkan atau dibuatkan masjid atau dibuatkan menjadi sarana kepentingan umum setelah diri kita meninggal dunia.

 

Untuk bisa masuk ke neraka ataupun untuk bisa masuk ke syurga tidak bisa sembarangan, keduanya harus dibiayai, harus dipersiapkan dengan matang lagi baik. Untuk bisa masuk ke neraka juga tidak gratis tetapi juga memerlukan biaya yang cukup besar sehingga harus ditutup dengan harta kekayaan dengan  cara menipu, dengan cara korupsi, dengan cara berjudi. Lalu setelah harta terkumpul dilanjutkan dengan berbuat a susila, bersuka cita dengan bermabuk mabukan, pergi ke dunia malam, narkoba dan lain sebagainya.

 

Lain halnya jika kita ingin masuk syurga, biaya untuk masuk syurga tidak sebanyak biaya masuk neraka. Hal ini dikarenakan ada ibadah ibadah tertentu yang menghantarkan diri kita ke syurga tidak memerlukan biaya yang sangat besar, terkecuali untuk menunaikan zakat, untuk menunaikan ibadah haji, untuk infaq dan shadaqah serta wakaf dan lain sebagainya. Sekarang yang mana yang kita pilih, mau masuk syurga ataukah masuk ke neraka? Harta kekayaan yang bisa menghantarkan diri kita masuk ke syurga hanyalah harta kekayaan yang berasal dari usaha yang halal lagi diridhai Allah SWT dan juga telah ditunaikan zakatnya. Jika harta kekayaan yang kita miliki berasal dari usaha yang haram lagi dimurkai Allah SWT seperti dari hasil korupsi atau menipu atau pencucian uang. Walaupun telah ditunaikan zakatnya atau telah diinfaqkan atau telah disedakahkan tidak akan dapat berubah menjadi harta halal lagi menghantarkan diri kita masuk ke syurga.

 

Jika kita berpedoman kepada hadits yang kami kemukakan di bawah ini, harta yang haram lagi dimurkai Allah SWT akan menjadikan diri kita makhluk yang terlarang/dilarang memasuki rumah Allah SWT (dalam hal ini adalah Masjid) serta datangnya kutukan kepada diri kita selama kita berdiri dihadapan Allah SWT sampai kita mengembalikan harta kekayaan hasil korupsi atau hasil menipu kepada pemiliknya yang berhak, sebagaimana hadits berikut ini: “Hudzaifah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Allah SWT telah mewahyukan kepadaku: Wahai saudara para Rasul dan saudara para pemberi peringatan, berilah peringatan kepada kaummu untuk tidak memasuki Rumah Ku (masjid) kecuali dengan hati yang bersih, lidah yang jujur, tangan yang suci, dan kemaluan yang bersih. Dan janganlah mereka memasuki rumah Ku (masjid) padahal mereka masih tersangkut barang aniayaan hak hak orang lain. Sesungguhnya Aku mengutuknya selama ia berdiri mengerjakan shalat di hadapan Ku sehingga ia mengembalikan barang aniayaan itu kepada pemiliknya yang berhak. Apabila ia telah mengembalikannya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat, dan ia akan menjadi salah seorang kekasih Ku, orang pilihan Ku, dan bersanding bersama Ku bersama para Nabi, para shiddiqin dan para syuhada di dalam syurga”, (Hadits Riwayat Abu Nu’aim, Al Hakim, Ad Dailami dan Ibnu Asakir; 272:240)

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang telah diberi jasmani, ruh, ilmu, akal, kehendak, kekuatan, Hubbul Istitlaq dan juga Diinul Islam sebagai pedoman hidup di dunia oleh Allah SWT, jangan sampai dengan modal dasar seperti itu hanya mampu memperoleh harta kekayaan yang haram lagi dimurkai Allah SWT. Jika ini yang terjadi pada diri kita berarti kita sendirilah yang menjadikan diri kita termasuk golongan orang orang yang sangat bodoh lagi dzalim (menganiaya diri sendiri) karena tidak mampu memanfaatkan modal dasar yang sangat luar biasa yang telah diberikan oleh Allah SWT untuk kebaikan bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. 

 

Sesugguhnya bagi orang orang yang beriman pasti mengetahu cara memanfaatkan hartanya saat hidup di dunia sebagaimana hadits berikut ini: “Keturunan Adam berkata: Hartaku, hartaku. Tidak ada yang menjadi milikmu, wahai anak Adam, kecuali apa yang telah engkau makan kemudian habis, apa yang engkau pakai kemudian usang, dan apa yang engkau dermakan (infakkan) kemudian berlalu.” (Hadits Riwayat Muslim). Berdasarkan hadits ini maka sesuatu yang telah didermakan atau sesuatu yang telah diinfaqkan, disedekahkan dan yang telah diwakafkan merupakan bahagian dari harta kekayaan diri kita untuk kepentingan akhirat. Hal ini sejalan dengan ketentuan hadits berikut ini:  Rasulullah SAW bersabda: “Siapakah dari kalian yang harta ahli warisnya lebih dicintai daripada hartanya sendiri? Para sahabat berkata, ‘tidak seorangpun dari kami kecuali mencintai hartanya.’ Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya hartanya adalah apa apa yang telah ia gunakan dan harta yang ditinggalkan adalah harta ahli warisnya.” (Hadits Riwayat Bukhari).

 

Sekarang perhatikanlah dua makhluk Allah SWT ini, yaitu lalat dan lebah. Lalat sangat menyukai segala kotoran dan sangat mudah menemukan kotoran. Hasil akhir dari lalat adalah keburukan yang mengakibatkan penyakit, baksil dan kuman kepada manusia. Sedangkan lebah sangat menyukai keindahan dan kebaikan. Lebah hanya memakan yang baik baik dan memberikan yang baik baik kepada manusia. Apakah kita yang telah diberi oleh akal dan ilmu oleh Allah SWT hanya bisa menjadikan diri kita seperti lalat ataukah hanya bisa menjadikan diri kita sendiri seperti lebah yang berperilaku lalat? Jangan sampai diri kita seperti ini karena yang rugi bukanlah Allah SWT melainkan diri kita sendiri yang akan menanggung akibatnya. Adanya contoh dari lalat dan lebah di atas adalah sunnatullah yang berlaku di muka bumi ini, lalu apakah yang telah dicontohkan oleh Allah SWT sia sia belaka sehingga kita berharap dengan uang yang haram yang berasal dari korupsi dan menipu mampu menghantarkan diri kita ke Syurga. Hal ini tidak akan mungkin terjadi sebelum unta belum masuk ke dalam lubang jarum dan jangan pernah berharap hal ini bisa terjadi.

      

4.       Harta Untuk Membiayai Rumah Tangga. Berdasarkan surat An Nisaa’ (4) ayat 34 berikut ini: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”  

 

[289] Maksudnya: tidak Berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.

[290] Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.

[291] Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.

[292] Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.

 

Kriteria ke empat yang harus dimiliki dari harta kekayaan yang kita peroleh adalah harta kekayaan atau penghasilan yang bisa untuk membiayai kebutuhan rumah tangga atau untuk kebutuhan hidup seseorang bersama dengan keluarganya masing masing. Lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita sehingga lelaki wajib memberikan nafkah kepada istri dan anak anaknya atau membiayai kebutuhan hidup bagi keluarganya.

 

Sebuah keluarga samara (sakinah mawaddah warahmah) bukanlah sesuatu yang datang tiba tiba turun dari langit atau proyek simsalabim. Keluarga samara hanya bisa ada kalau diri kita sendiri yang menjadikannya ada. Keluarga samara hanya bisa ada jika dibiayai dengan harta kekayaan atau penghasilan yang halal lagi diridhai Allah SWT. Penghasilan yang halal akan menghasilkan sperma dan ovum yang halal, dan jika terjadi pembuahan maka pembuahan yang terjadi adalah pembuahan yang halal pula. Jika ini yang terjadi maka cikal bakal jasmani di mulai dari yang halal sehingga ruh menempati jasmani yang halal pula. Selanjutnya lahirlah anak keturunan yang memenuhi konsep halal yang kemudian dibiayai dengan yang halal akan sangat memudahkan diri kita membina keluarga samara. Dan jangan pernah berharap jika kita ingin membina atau menjadikan keluarga kita keluarga samara jika dibiayai dari penghasilan haram lagi dimurkai Allah SWT.

 

Sebagai kepala keluarga bertanyalah kepada diri sendiri, dari manakah asalnya penghasilan kita, apakah dari yang halal lagi diridhai Allah SWT ataukah dari yang haram lagi dikehendaki syaitan? Jangan pernah salahkan anak, jika anak tidak mau berbakti kepada orang tua dan menjadi anak nakal lagi menyusahkan keluarga. Jangan pula pernah pula berharap anak  kita menjadi anak shaleh dan shalehah, jika penghasilan untuk membiayai keluarga kita dari yang haram lagi dilaknat Allah SWT. Jika ini yang terjadi bersiaplah mempertanggungjawabkan amanah anak kepada Allah SWT atau bersiaplah menerima anak yang menjadi fitnah bagi diri kita sebagai orang tua.

 

Semoga kita yang sadar akan pentingnya penghasilan yang halal lagi diridhai Allah SWT,   tidak mengalami hal hal yang kami kemukakan di atas. Dan jika terjadi juga hanya satu jalan keluarnya, yaitu lakukan taubatan nasuha yang diikuti dengan mengembalikan barang aniayaan jika ada kepada pemiliknya yang berhak saat ini juga. Jangan pernah menunggu dan menunda nunda menunaikan zakat dan menunda pengembalian barang aniayaan, karena resikonya sangat luar biasa beratnya yang tidak hanya menimpa diri kita namun juga anak dan keturunan diri kita sendiri menanggung akibatnya akibat dari ulah diri kita yang selalu berada di zona haram.

     

5.       Harta Untuk Jihad di Jalan Allah SWT dan Pembersih Jiwa. Berdasarkan surat An Anfaal (8) ayat 72 yang kami kemukakan berikut ini:  “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi[624]. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada Perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”

 

[624] Yang dimaksud lindung melindungi Ialah: di antara muhajirin dan anshar terjalin persaudaraan yang Amat teguh, untuk membentuk masyarakat yang baik. demikian keteguhan dan keakraban persaudaraan mereka itu, sehingga pada pemulaan Islam mereka waris-mewarisi seakan-akan mereka bersaudara kandung.

 

Kriteria ke lima yang harus dimiliki dari harta kekayaan yang kita peroleh adalah harta kekayaan atau penghasilan yang bisa untuk berjihad di jalan Allah SWT. Hal yang harus kita pahami adalah banyak jalan dan banyak cara untuk berjihad di jalan Allah SWT. Jihad bukanlah berperang, melainkan bersungguh sungguh di dalam melaksanakan apa yang diperintahkan Allah SWT atau bersungguh sungguh untuk tidak melanggar apa yang dilarang oleh Allah SWT.

 

Salah satu bentuk jihad adalah bersungguh sungguh di dalam melaksanakan habblum minannas sebagai manifestasi dari pelaksanaan Habblumminnallah atau manifestasi dari pelaksanaan rukun iman dan rukun islam yang tidak terpisahkan dengan pelaksanaan ikhsan dalam satu kesatuan. Disinilah letak pentingnya harta kekayaan atau penghasilan yaitu untuk memudahkan diri kita melaksanakan jihad di jalan Allah SWT. Selain daripada itu, jihad juga bisa dimaknai sebagai upaya mengalahkan Ahwa dan juga Syaitan sehingga jiwa kita termasuk jiwa taqwa.   

 

Untuk itu ketahuilah bahwa setiap dzat memiliki sifat, dimana sifat yang dimiliki oleh dzat merupakan perilaku dan perbuatan dzat. Hal yang samapun berlaku kepada Ruh yang tidak lain adalah jati diri manusia yang sesungguhnya. Dimana Ruh telah disifati oleh Allah SWT dengan Asmaul Husna. Jika sekarang ruh sudah disifati dengan Asmaul Husna maka sifat yang ada pada ruh harus menjadi perilaku ruh itu sendiri, atau dengan kata lain Asmaul Husna harus menjadi perilaku dan perbuatan ruh atau menjadi perbuatan jati diri kita yang sesungguhnya.

 

Agar diri kita mampu menjadikan sifat ruh menjadi perilaku dan perbuatan kita yang mencerminkan Asmaul Husna maka kondisi ini tidak akan bisa berjalan dengan sendirinya tanpa ada dukungan harta kekayaan ataupun penghasilan yang halal lagi diridhai Allah SWT. Inilah salah satu sarana lain dari jihad yang bisa kita laksanakan saat menjadi khalifah di muka bumi, dimana kita harus bisa menjadikan perilaku atau perbuatan ruh yang mencerminkan Asmaul Husna menjadi perbuatan diri kita sehingga tampillah perbuatan kita yang berkesesuaian dengan Asmauh Husna dari waktu ke waktu.

 

Selain daripada, harta kekayaan yang dikehendaki Allah SWT adalah harta yang dapat dijadikan sebagai alat bantu untuk membersihkan jiwa, dalam hal ini melalui perintah menunaikan ibadah haji dan umroh. Seperti telah kita imani bersama bahwa salah satu tujuan yang hakiki yang terdapat di balik  perintah melaksanakan ibadah haji dan umroh adalah kembali fitrah. Dimana untuk bisa melaksanakan ibadah haji dan umroh tidak akan mungkin bisa dilaksanakan jika kita tidak memiliki harta kekayaan atau penghasilan yang mencukupi yang memenuhi konsep halal lagi diridhai Allah SWT. Disinilah letak pentingnya kita harus bisa memiliki harta kekayaan atau penghasilan yang lebih di atas rata rata sehingga kita bisa membersihkan jiwa menjadi jiwa muthmainnah (kembali fitrah) melalui ibadah haji dan umroh yang kita lakukan.

 

Selain daripada itu, sebagai bukti bahwa diri kita telah kembali fitrah atau jiwa kita telah menjadi jiwa muthmainnah berarti diri kita wajib bermanfaat bagi orang lain. Dimana jalan yang bisa kita tempuh untuk maksud tersebut bisa melalui jalan infaq, bisa melalui jalan shadaqah, bisa melalui jalan wakaf dan lain sebagainya yang sesuai dengan syariat yang berlaku. Yang kesemuannya tidak akan bisa kita laksanakan dengan baik dan benar jika kita tidak memiliki harta kekayaan atau penghasilan yang halal lagi diridhai Allah SWT. Ingat, kebahagiaan yang hakiki dari memiliki harta kekayaan atau penghasilan yang tinggi baru bisa kita rasakan dan nikmati jika kita telah mampu memberi kepada orang yang tidak berpunya, yang pada akhirnya akan berdampak langsung kepada kebersihan jiwa kita itu sendiri yang berasal dari rasa bahagia setelah memberi. 

 

Itulah lima kriteria dasar yang harus kita jadikan pedoman memiliki harta kekayaan atau penghasilan dari usaha yang kita laksanakan saat hidup di dunia. Jika hal ini mampu kita lakukan berarti kita sudah berusaha berada di dalam kehendak Allah SWT. Selanjutnya kita harus pula mengetahui kriteria kriteria kepemilikan dari harta kekayaan yang dilarang oleh Allah SWT sehingga kita tidak terjerumus ke dalamnya yang pada akhirnya membawa kita kepada kesengsaraan hidup di dunia dan akhirat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar