Setiap manusia telah diberikan Allah
SWT apa yang disebut dengan nurani untuk berterimakasih dan keinginan untuk
selalu membalas budi baik. Sehingga berbuat kebaikan merupakan tuntutan kehidupan
dan juga kebutuhan dalam hidup, sebab tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri
di muka bumi ini. Berbuat kebaikan dalam
kerangka ibadah Ikhsan terhadap siapa pun bakal menjadi stimulus terjadinya
balasan dari kebaikan yang yang kita lakukan. Melakukan kebaikan dalam kerangka
ibadah Ikhsan bukan perkara yang mudah, apalagi pada zaman sekarang ini. Kita
harus bisa melakukannya tanpa dipaksa, tanpa disuruh, tanpa ada riya, harus
dengan kesadaran sendiri, yang ada hanyalah ikhlas berbuat karena Allah SWT
semata yang dilandasi keimanan.
Agar diri kita mampu menempatkan,
mampu meletakkan, mampu memperoleh, mampu merasakan apa-apa yang terdapat di
balik perintah melaksanakan kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan, maka kita
harus tahu, kita harus mengerti, kita harus pula memiliki ilmu dari apa-apa
yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Sehingga apa-apa yang dikehendaki oleh
Allah SWT selaku pemberi perintah dapat kita peroleh, dapat kita rasakan, dapat
kita ajarkan kepada anak dan keturunan, serta dapat menghantarkan diri kita
sesuai dengan kehendak Allah SWT yaitu pulang kampung ke syurga untuk bertemu
Allah SWT. Hal lain yang harus kita perhatikan adalah segala bentuk manfaat
yang terdapat di balik perintah Allah SWT kepada diri kita, bukan hanya untuk
kepentingan akhirat semata. Akan tetapi juga untuk mensukseskan diri kita saat
hidup di muka bumi.
Agar perintah melaksanakan ibadah
Ikhsan dapat memberikan dampak yang positif baik bagi kepentingan hidup kita di
dunia dan juga di akhirat kelak, sehingga ibadah ikhsan inilah yang menjadi
cerminan langsung dari diri kita. Berikut ini akan kami kemukakan hikmah hikmah
yang terdapat di balik ibadah Ikhsan yang kita lakukan dan semoga kondisi yang
kami kemukakan ada dalam diri kita, yaitu:
A.
SELALU BERADA DI DALAM FITRAH ALLAH
SWT.
Hikmah Ikhsan
yang juga paling hakiki adalah untuk
menyelamatkan ruh/ruhani yang tidak lain adalah jati diri manusia yang
sesungguhnya dari pengaruh buruk ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan yang dapat
menjadikan kualitas ruh/ruhani menjadi tidak fitrah lagi (menjadikan jiwa kita menjadi jiwa fujur). Ingat, ruh/ruhani asalnya fitrah dan harus
kembali dalam kondisi yang fitrah (jiwa muthmainnah) agar bisa bertemu Allah
SWT di tempat yang fitrah (maksudnya syurga). Disinilah letak yang paling
hakiki dari perintah melaksanakan Diinul Islam secara kaffah atau melaksanakan
ibadah Ikhsan yaitu Allah SWT berkehendak agar ruh/ruhani yang berasal Allah
SWT tetap fitrah (“masih sesuai dengan
kondisi aslinya”) saat melaksanakan tugas sebagai Abd’ (hamba) yang
sekaligus khalifah di muka bumi dan kembalinya pun harus tetap dalam kondisi fitrah.
Jika sampai kondisi ruh/ruhani tidak fitrah lagi maka akan difitrahkan oleh
Allah SWT melalui proses pensucian dengan dibakar di neraka Jahannam, atau kita
diharuskan untuk memasukkan onta ke dalam lubang jarum terlebih dahulu,
sebagaimana dikemukakan dalam surat Al A’raaf (7) ayat 40 berikut ini: “ Sesungguhnya
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya,
tidak akan dibukakan pintu-pintu langit bagi mereka, dan mereka tidak akan
masuk surga, sebelum unta masuk ke dalam lubang jarum. Demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat”.
Sebagai Abb’ (hamba) yang sekaligus khalifah
di muka bumi yang berkehendak untuk menyelamatkan ruh/ruhani agar selalu dalam
kefitrahannya maka kita harus merubah pola berfikir terhadap ibadah yang akan
kita laksankan yaitu beribadah untuk memperoleh pahala dan juga melaksanakan ibadah
dalam kerangka menggugurkan kewajiban harus kita rubah. Ibadah adalah kebutuhan hakiki bagi diri kita (dalam hal ini untuk
kebutuhan ruh/ruhani), sehingga setiap ibadah yang kita laksanakan adalah
sarana atau alat bantu untuk memberi makanan bagi pertumbuhan keimanan yang
sangat dibutuhkan oleh ruh/ruhani. Ibadah
juga berfungsi untuk memantapkan keimanan dalam jiwa serta untuk memperharui
sumber sumber kekuatan untuk memperoleh pertolongan, bantuan, perlindungan
Allah SWT yang kesemuanya sangat kita butuhkan.
Ruh dengan keimanan tidak bisa
dipisahkan dikarenakan makanan (vitamin) yang dibutuhkan oleh ruh adalah
keimanan yang di dapat dari pelaksanaan dan pengamalan ibadah. Adanya keimanan yang berkualitas akan
menjadikan ruh/ruhani kuat. Keimanan akan menjadi energi yang menjadikan diri
kita kuat sehingga mampu berbuat, mampu berkarya nyata yang luar biasa untuk
kepentingan masyarakat. Keimanan juga akan menjadi benteng (pelindung) bagi ruh/ruhani
dari gangguan ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan serta menjadikan diri kita
selalu berada di dalam kehendak Allah SWT. Untuk itu jangan pernah
menyianyiakan kesempatan menunaikan ibadah yang telah diperintahkan Allah SWT
untuk kepentingan penyelamatan ruh/ruhani diri kita sendiri. Dan hal yang harus
kita jadikan pedoman adalah selamatnya ruh dari pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan
juga syaitan belum berarti tugas kita selesai. Akan tetapi harus ditingkatkan
dengan menjadikan ruh/ruhani menjadi penampilan Allah SWT di muka bumi dengan
berperilaku Asmaul Husna. Dengan adanya perilaku Asmaul Husna maka
terlaksanalah apa yang dinamakan dengan kebaikan yang mencerminkan inilah
perilaku diri kita. Semakin banyak dan berkualitas perilaku diri kita maka
semakin baik diri kita dan kesempatan untuk memperoleh syurga yang terbaik terbuka
untuk diri kita.
Selanjutnya agar diri kita selalu berada di dalam kefitrahan dari waktu ke waktu maka
kita harus selalu berada di dalam kefitrahan yang sesuai dengan konsep surat Ar
Ruum (30) ayat 30 yang kami kemukakan berikut ini:“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui [1168],
[1168] Fitrah Allah:
Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama
Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu
tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh
lingkungan.
Berdasarkan ketentuan ayat di atas, kita harus selalu berada di dalam
Diinul Islam. Apa maksudnya? Diinul Islam adalah sebuah konsep Ilahiah yang diciptakan
dari fitrah Allah SWT oleh Allah SWT untuk kepentingan rencana besar kekhalifahan
yang ada di muka bumi. Agar kekhalifahan yang ada di muka ini selalu di dalam
konsep kefitrahan maka Allah SWT memerintahkan kepada seluruh khalifahnya untuk
menghadapkan wajahnya kepada Diinul Islam dengan lurus, mantap, tidak goyah
selama hayat masih di kandung badan. Dan agar konsep kefitrahan yang
dikehendaki Allah SWT terlaksana dengan baik dan benar maka kita harus
mengetahui terlebih dahulu hal hal sebagai berikut yang terdapat di dalam surat
Ar Ruum (30 ayat 30 di atas yaitu: (1) Adanya
istilah Nass yang maksudnya adalah manusia dalam arti kata Ruh/Ruhani; (2) Adanya istilah Diin (Diinul Islam) yang
berasal dari fitrah Allah SWT; (3) Adanya
istilah fitrah Allah SWT yang tidak lain adalah Allah SWT itu sendiri Dzat Yang
Maha Fitrah. Lalu Allah SWT selaku pemilik dari kefitrahan memerintahkan
kepada Nass (manusia dalam arti kata ruh/ruhani) yang juga diciptakan dari
fitrah Allah SWT untuk selalu dihadapkan kepada Diin (Diinul Islam) yang juga
berasal dari fitrah Allah SWT sehingga dengan adanya kondisi ini maka
terjadilah apa yang dinamakan dengan
konsep segitiga yang tidak terpisahkan antara Nass (manusia dalam arti kata ruh/ruhani)
dengan fitrah Allah SWT melalui Diinul Islam yang juga berasal dari Fitrah
Allah SWT.
Inilah konsep dasar yang harus kita pahami dengan baik dan benar bahwa
diri kita yang sesungguhnya adalah Nass (dalam hal ini adalah ruh/ruhani) sehingga
jangan pernah dipisahkan dengan asal usulnya dalam hal ini fitrah Allah SWT
melalui Diinul Islam yang juga berasal dari fitrah Allah SWT. Jika sampai Nass (ruh/ruhani diri kita) dipisahkan dengan Diinul Islam
dan juga dengan fitrah Allah SWT maka terjadilah proses hilangnya kefitrahan
dalam diri sehingga konsep datang fitrah kembali fitrah tidak akan pernah
terjadi. Padahal syarat untuk bertemu dengan Allah SWT selaku Dzat Yang
Maha Fitrah di tempat yang fitrah adalah ruh/ruhani datang fitrah kembalinya pun
harus fitrah pula dan jika sampai tidak fitrah akan difitrahkan oleh Allah SWT
melalui jalur neraka Jahannam.
Diinul Islam wajib kita letakkan dan tempatkan sebagai konsep ilahiah yang
berasal dari fitrah Allah SWT untuk kepentingan yang hakiki bagi diri kita yang
sesungguhnya, yaitu ruh/ruhani. Sekarang apa jadinya jika kita keluar dari
konsep kefitrahan ini? Hal yang pertama terjadi adalah Allah SWT tidak akan
pernah dirugikan sedikitpun atau berkurang kemahaanNya dengan ulah diri kita.
Hal kedua yang pasti terjadi adalah pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan syaitan
dapat dipastikan akan merajalela dalam diri kita sehingga kefitrahan ruh/ruhani
tidak akan terjadi atau bahkan ruh/ruhani menjadi kotor akibat perbuatan dosa
dan maksiat yang kita lakukan. Hal yang ketiga adalah posisi Allah SWT
tergantikan oleh ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan yang pada akhirnya nilai
nilai keburukan yang menjadi perbuatan diri kita (jiwa fujur).
Jika sampai kita keluar dari fitrah
Allah SWT maka hal yang terjadi selanjutnya adalah perbuatan maksiat kita
lakukan seperti tidak shalat lima waktu, tidak berpuasa, tidak mau berzakat dan
lain sebagainya yang kesemuanya tidak bertentangan dengan hukum positif negara.
Adanya perbuatan maksiat yang kita lakukan melahirkan apa yang dinamakan dosa.
Semakin banyak bermaksiat kepada Allah SWT semakin banyak dosa, semakin banyak
dosa membuat fikiran kacau, membuat kita tidak bisa berfikir rasional yang
selanjutnya terjadi adalah kita mulai melanggar hukum positif yang berlaku.
Selanjutnya penjara menanti lalu kita menjadi warga binaan yang dikurung dalam
waktu tertentu. Hal yang harus kita jadikan pedoman adalah hukuman penjara
akibat melanggar ketentuan hukum positif tidak bisa menghapus perbuatan maksiat
yang kita lakukan sepanjang kita tidak pernah melakukan taubatan nasuha.
Untuk itu jangan sampai diri kita
keluar dari fitrah Allah SWT karena resiko yang dihadapi atau kerugian yang
akan kita dapatkan bukan hanya merugikan diri kita sendiri, melainkan juga bisa
juga merugikan keluarga dan anak keturunan kita sendiri akibat ulah kita
sendiri. Bayangkan kita yang melakukan perbutan atau kesalahan, orang lain
(maksudnya keluarga, anak dan keturunan kita) ikut menanggung akibatnya. Semoga
hal ini tidak terjadi pada diri kita, pada keluarga kita dan juga pada anak dan
keturunan kita.
Hal lainnya yang juga harus kita
perhatikan adalah kita adalah bagian dari mata rantai kekhalifahan yang ada di
atas diri kita. Kita tidak tahu di posisi manakah diri kita di mata rantai itu.
Dan jika sekarang kita telah berkeluarga berarti kita juga telah membuat mata
rantai kekhalifahan yang ada di bawah diri kita sampai dengan hari kiamat tiba.
Sampai berapa banyak mata rantainya, yang jelas kita tidak pernah tahu. Hal
yang harus kita perhatikan saat ini adalah jangan sampai antara diri kita
dengan mata rantai kekhalifahan yang ada di bawah diri kita berbeda haluan
yaitu ada yang keluar dari fitrah Allah SWT dengan berbeda agama. Jika sampai
ini terjadi maka putuslah mata rantai antara diri kita dengan anak dan
keturunan kita sehingga putus pula kesempatan untuk saling mendoakan diantara
anggota keluarga. Doa tidak akan dikabulkan oleh Allah SWT karena adanya
perbedaan agama diantara anggota keluarga atau diantara mata rantai keluarga.
Padahal kekuatan doa sangatlah luar biasa karena bisa merubah atau bahkan
meniadakan dosa atau keburukan dari orang yang kita doakan.
Agar diri kita dan juga anak dan
keturunan kita selalu dalam kefitrahan yang sama, tidak ada jalan selain kita
sendiri yang mempersiapkannya yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Anak dan keturunan
yang shaleh dan shalehah bukanlah datang tiba tiba dari langit. Anak keturunan
yang shaleh dan shalehah ada karena kita sendiri yang menciptakan atau yang
menjadikannya ada. Untuk itu, sebagai orang tua kita harus menghindarkan anak
dan keturunan kita dari pengaruh penghasilan atau makanan dan minuman yang
dibiayai dari penghasilan haram. Dahulukan pendidikan ruh atau akhlak atau budi
pekerti dibandingkan pendidikan yang lainnya. Jangan pernah berdoa hanya untuk
anak dan cucu saja, melainkan untuk anak dan keturunanku sehingga doa ini
berlaku terus dan terus kepada anak keturunan kita.
Saat ini ketentuan fitrah masih tetap
berlaku dan akan terus berlaku sampai dengan hari kiamat tiba. Allah SWT masih
tetap memberlakukan atau Allah SWT masih tetap melaksanakan atau Allah SWT
masih tetap konsisten terhadap ketentuan Fitrah terhadap diri kita, yang
dimulai dari pernyataan di dalam rahim sampai dengan hari kiamat kelak. Yang
menjadi persoalan saat ini adalah sudah sejauh mana diri kita konsisten dengan konsep
kefitrahan yang telah diberlakukan oleh Allah SWT? Panjang atau pendeknya kefitrahan
diri, termasuk di dalamnya kefitrahan anak dan keturunan kita, bukanlah Allah
SWT yang menentukan, akan tetapi diri kita sendirilah yang memutuskan. Hal ini
dikarenakan Allah SWT tidak butuh dengan kefitrahan diri kita, tetapi kitalah
yang sangat membutuhkan kefitrahan saat hidup di dunia sampai dengan hari
berhisab kelak.
Agar diri kita selalu berada di dalam
kefitrahan, berikut ini akan kami kemukakan tujuh buah indikator dari kefitrahan
diri yang kiranya dapat kita jadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari,
yaitu:
1.
Orang
yang telah kembali fitrah, atau orang yang telah difitrahkan oleh Allah SWT maka
hidupnya selalu dalam kebaikan, tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri
tetapi untuk kebaikan masyarakat, bangsa dan Negara, sebagaimana dikemukakan
dalam surat An Nisaa’ (4) ayat 125 berikut ini; “Dan
siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti
agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” Dan Orang yang
telah menjadikan jiwanya fitrah, akan selalu menjadi pemimpin yang berguna bagi
masyarakat luas, menjadi tokoh yang terpandang di masyarakat karena mampu
berbuat kebaikan yang dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat.
Masyarakat merasa terbantu karena hasil karya kita, masyarakat merasa aman dan
nyaman karena keberadaan diri kita, sebagaimana dua buah firmanNya berikut ini:
Allah SWT berikut ini: “Kami telah menjadikan mereka itu
sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah
Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang,
menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah, (surat Al
Anbiyaa' (21) ayat 73)
Allah
SWT berfirman: “Sesungguhnya penolong
kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat
dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). dan Barangsiapa
mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya,
Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah[423] Itulah yang pasti menang. (surat Al
Maa-idah (5) ayat 55-56)
[423] Yaitu: orang-orang yang menjadikan
Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya.
Hal yang
tidak akan mungkin terjadi jika kita telah kembali fitrah yang jiwanya adalah
jiwa Muthmainnah adalah menjadikan dirinya sebagai pelaku kejahatan, menjadikan
dirinya sebagai biang keributan,
menjadikan dirinya sebagai biang keonaran, menjadikan dirinya sebagai otak di
balik kejahatan, atau masyarakat menjadi teraniaya oleh sebab perbuatannya dan
juga oleh sebab omongannya. Jika kita
telah kembali fitrah yang memiliki jiwa Muthmainnah dapat dipastikan kita selalu
memiliki keinginan untuk menolong sesama manusia, selalu ingin berbagi kepada
sesama, tidak pelit di dalam berbagi ilmu maupun kesenangan, selalu ingin
berbuat kebaikan lebih baik dan lebih baik lagi dari waktu ke waktu.
2.
Orang
yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia tidak
akan mau lagi berbuat syirik lagi musyrik di dalam hidup dan kehidupannya,
sebagaimana dikemukakan dalam surat Yunus (10) ayat 105 berikut ini: “Dan (aku
telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan
ikhlas dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang musyrik.” Jika kita telah kembali fitrah maka pernyataan
untuk tidak menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu harus kita laksanakan dimanapun,
kapanpun dan dalam kondisi apapun kita tidak boleh sekalipun menyekutukan Allah
SWT, terkecuali jika kita ingin merasakan pulang kampung bersama syaitan ke neraka
Jahannam.
3.
Orang
yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia akan
selalu tolong menolong, ringan tangan untuk menolong, ikhlas dalam berbuat,
selalu menyayangi sesama. Sekarang sudahkah kita menjadi pelopor di dalam
kebaikan di tengah masyarakat! Hal ini berdasarkan surat Al Anfaal (8) ayat 72
berikut ini:“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad
dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan
tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu
sama lain lindung-melindungi[624]. dan (terhadap) orang-orang yang beriman,
tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi
mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan
kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan
kecuali terhadap kaum yang telah ada Perjanjian antara kamu dengan mereka. dan
Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
[624] Yang dimaksud lindung melindungi Ialah: di
antara muhajirin dan anshar terjalin persaudaraan yang Amat teguh, untuk
membentuk masyarakat yang baik. demikian keteguhan dan keakraban persaudaraan
mereka itu, sehingga pada pemulaan Islam mereka waris-mewarisi seakan-akan
mereka bersaudara kandung.
4.
Orang
yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia akan
selalu dekat dengan Allah SWT sehingga ia akan selalu menomorsatukan Allah SWT
disetiap langkah dan perbuatannya. Hal ini berdasarkan surat Az Zumar (39) ayat
3 berikut ini: “Ingatlah,
hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang
mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya".
Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka
berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang
pendusta dan sangat ingkar. Contohnya,
jika Allah SWT memiliki Af’al (perbuatan) Al Rachman Al Rahiem kemudian apakah
kita yang sudah menjadi orang yang dekat kepada Allah SWT justru berbuat yang
berseberangan dengan perbuatan Allah SWT yaitu Ar Rachman Al Rahiem? Jika
sampai kita melakukan perbuatan menganiaya sesama manusia berarti kita belum
kembali fitrah.
5.
Orang
yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia akan
selalu berbuat adil, lurus, selalu mendirikan shalat (melaksanakan diinul islam
secara kaffah) serta berbuat kebaikan ikhlas karena Allah SWT semata. Hal ini
sebagaimana dikemukakan dalam surat Al A’raaf (7) ayat 29 yang kami kemukakan berikut
ini; “Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan
keadilan". dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu[533] di
Setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu
kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian
pulalah kamu akan kembali kepadaNya)". Untuk itu segeralah memperbaiki diri
atau segeralah introspeksi diri dengan selalu melihat ke dalam karena hanya
dengan melihat ke dalam dirilah langkah menuju perubahan kepada yang lebih baik
terbuka luas. Segeralah berubah ke arah yang lebih baik yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT atau kita akan dirubah oleh syaitan ke arah keburukan.
[533] Maksudnya: tumpahkanlah perhatianmu kepada
sembahyang itu dan pusatkanlah perhatianmu semata-mata kepada Allah.
6.
Orang
yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia akan
selalu belajar, selalu menuntut ilmu, untuk kepentingan kaum atau masyarakat
banyak dengan cara mengajar kepada yang membutuhkan melalui aksi wakaf waktu. Hal
ini berdasarkan surat At Taubah (9) ayat 122 berikut ini: “Tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.(surat At Taubah (9) ayat 122)”. Setelah diri kita giat belajar lalu memiliki ilmu
ketahuilah ilmu yang kita miliki belum dikatakan menjadi ilmu yang bermanfaat
jika hanya kita yang memilikinya. Ilmu yang kita miliki baru bisa dikatakan
bermanfaat jika ilmu yang kita miliki itu kita ajarkan kepada orang lain.
Semakin banyak kita ajarkan akan semakin banyak manfaat yang dirasakan oleh
orang banyak.
7. Orang yang telah kembali fitrah atau
telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia akan selalu menjadi penolong bagi
yatim, faqir, dan miskin tanpa harus menunggu untuk diminta. Hal ini berdasarkan
surat Al Maa’uun (107) ayat 1-2-3 berikut ini: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang
menghardik anak yatim, Dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.”
Itulah 7(tujuh) indikator dari kembali
fitrah yang harus kita jadikan acuan saat hidup di muka bumi ini. Jika kondisi
kita berlawanan dengan indikator tersebut berarti ada sesuatu yang salah dalam
diri kita, terutama kefitrahan diri yang sudah tidak sesuai lagi dengan
kehendak Allah SWT.
B. MASIH
MEMILIKI RASA MALU DALAM DIRI.
Hikmah Ikhsan
yang juga paling hakiki adalah rasa malu masih ada di dalam diri kita, atau
dengan kata lain kita masih memeliki rasa malu. Hal ini menjadi penting karena
salah satu satu penyebab
utama terjadinya problem bahkan konflik di muka bumi ini adalah karena tidak
adanya rasa malu. Nihilnya dan hilangnya rasa
malu, menjadikan manusia lebih buas dari buaya, lebih ganas dari singa dan
lebih jahat dari binatang buas lainnya.Tetapi tetap saja, raibnya rasa malu
dianggap sebagai hal biasa. Sudah tidak banyak lagi yang menyadari bahwa rasa
malu sejatinya sangat menentukan segala sesuatu, termasuk nasib suatu bangsa
dan negara. Seperti apa yang belakangan
ini marak terjadi, korupsi, ketidakadilan, perselingkuhan, perampokan dan
pembunuhan dan berbagai macam tindak kemaksiatan, semua berawal dari tidak
adanya rasa malu.
Hilangnya rasa malu dalam diri, akan
dapat menghilangkan keutamaan keutamaan yang terdapat dari rasa malu. Adapun
keutamaan yang akan hilang bersama hilangnya rasa malu dapat kami kemukakan
sebagai berikut: (a) Malu pada hakekatnya
tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu atau Rasa akan mengajak
pemiliknya agar berhias diri dengan mulia dan menjauhkan diri dari sifat sifat
yang hina; (b) Malu adalah cabang
keimanan; (c) Allah SWT cinta kepada
orang orang yang malu atau yang masih memiliki rasa malu; (d) Malu adalah akhlak para malaikat; (e) Malu adalah akhlak Islam; (f) Malu adalah pencegah pemiliknya dari
melakukan maksiat; (g) Malu
senantiasa seiiring dengan iman, bila salah satu tercabut hilanglah yang
lainnya; (h) Malu akan menghantarkan
pemiliknya ke syurga. Sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka
bumi yang berkehendak untuk pulang kampung ke kampung kebahagiaan yaitu syurga,
jadikan malu sebagi cermin dalam hidup dan kehidupan ini sehingga kita salah
jalan. Dan Jangan sampai sesuatu yang sudah melekat dalam keimanan hilang (maksudnya
malu bagian dari iman) dalam diri yang mengakibatkan kita berseberangan dengan
Allah SWT, namun berkesesuaian dengan syaitan sang laknatullah.
Rasa malu dalam berbagai maksudnya
selalu tergambar dalam fikiran kita adalah sesuatu yang negatif, aib dan
tercela sehingga mengakibatkan kita rendah diri, minder dan juga takut untuk
menghadapi sesuatu yang baru. Apapun juga yang berhubungan dengan rasa malu,
maka kita harus bisa meletakkan rasa malu tersebut pada posisi yang sebenarnya,
sebagaimana hadits berikut ini: Nabi SAW bersabda: “Tidak ada kemelaratan yang lebih
parah dari kebodohan dan tidak ada harta (kekayaan) yang lebih bermanfaat dari
kesempurnaan akal. Tidak ada kesendirian yang lebih terisolir dari ujub (rasa
angkuh) dan tidak tolong menolong yang lebih kokoh dari bermusyawarah. Tidak
ada kesempurnaan akal melebihi perencanaan (yang baik dan matang) dan tidak ada
kedudukan yang lebih tinggi dari akhlak yang luhur. Tidak ada wara’ yang lebih
baik dari menjaga diri (memelihara harga dan kehormatan diri), dan tidak ada
ibadah yang lebih mengesankan dari tafakur (berfikir),serta tidak ada iman yang
lebih sempurna dari sifat malu dan sabar”. (Hadits Riwayat Ibnu Majah dan Ath
Thabarani).”
Apa contohnya? Contohnya adalah kita
harus malu berbuat atau membuat kesalahan atau bertindak tidak sopan atau menyalahi
syariat agama. Tanamkan dalam diri bahwa rasa
malu terhadap Allah SWT dengan takut untuk melakukan dosa adalah sebagai tanda
keimanan kita. Selain daripada itu, dalam banyak hal, malu itu biarlah
bertempat dan bermanfaat atau dengan kata lain malu itu adalah tanda beriman. Jika kita malu pada tempatnya maka iman kita
kuat dan jika sebaliknya lemahlah iman kita atau bahkan orang tersebut belum
beriman.
Sekarang mari kita bahas rasa malu itu
dalam kerangka kita menjadi Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi
yang sesuai dengan kehendak Allah SWT, yaitu:
1. Apa
Itu Malu. Malu atau rasa malu memiliki arti dan
makna yang banyak. Malu atau rasa malu tidak bisa diartikan hanya satu arti
atau satu makna saja, melainkan harus diartikan secara luas. Berikut ini akan
kami kemukakan beberapa arti dan makna dari malu, yaitu:
a. Malu adalah Bagian dari Iman. Mari kita kaji secara logis, mengapa
dari enam puluh cabang iman, malu yang beliau sampaikan? Berarti, malu adalah
pengantar terbaik seorang Muslim sampai pada 59 cabang iman lainnya. Mengapa?
Jawabannya ada pada hadits berikut ini: Rasulullah bersabda, “Iman mempunyai enam
puluh lebih cabang. Dan malu adalah salah satu cabangnya.” (Hadits Riwayat
Bukhari).” Dengan malu, seorang beriman tidak akan berzina, tidak akan
menampakkan auratnya kepada semua orang, tidak akan mencuri apalagi korupsi.
Bahkan dengan malu seorang mukmin tidak akan menghina atau membicarakan aib
saudaranya. Jadi, malu bisa mencegah seorang mukmin dari berbuat kejahatan dan keburukan. Jika
ini sampai kita berbuat dan bertindak tanpa rasa malu atau bahkan memalukan
berarti kita dengan sadar telah berbuat yang mengakibatkan kebaikan yang kita
miliki berkurang atau keburukan kita bertambah.
Nabi SAW bersabda: “Malu
seluruhnya baik.” (Hadits Riwayat Muslim).” dan “Malu selalu mendatangkan
kebaikan.” (Hadits Riwayat Bukhari). Malu adalah salah satu out put dari
keimanan. Siapa yang keimanannya baik maka rasa malunya akan sempurna. Siapa
yang malunya kuat, maka imannya akan sempurna. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah,
dalam hadits berikut ini: “Malu dan iman saling bertaut. Jika salah
satunya diangkat, yang lainnya juga terangkat.” (Hadits Riwayat. Hakim).
Jadi, tidak salah jika ada ungkapan yang tepat tentang hal ini, yaitu, “Milik
siapa kebaikan, iman dan akhlak itu?” Semuanya adalah milik orang beriman yang
memelihara rasa malu.
b. Malu ini adalah satu bentuk akhlak
yang paling penting bagi setiap orang mukmin.
Malu adalah akhlak
yang sangat berpengaruh pada individu, keluarga, dan masyarakat. Namun sayang,
akhlak ini seakan-akan sudah asing dalam kehidupan. Malu adalah sifat yang
dikaruniakan oleh Allah SWT kepada hambanya yang mendorongnya untuk menjauhi
keburukan dan hal hal yang hina serta memilih berbuat kebaikan (kitab fathul
bari 1/1020). Malu adalah satu kata yang mencakup segala perbuatan menjauhi segala
apa yang dibenci. Malu adalah akhlak yang
mendorong seseorang untuk segera meninggalkan perbuatan perbuatan buruk dan
tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan
maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak hak orang lain.
c. Malu adalah warisan para nabi.
Berdasarkan hadits
yang kami kemukakan berikut ini: “Sesungguhnya salah satu perkara yang telah
diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian yang terdahulu adalah “jika engkau
tidak malu berbuatlah sesukamu”.(Hadits Bukhari, Ahmad, Abu Dawud) malu
atau rasa malu merupakan warisan dari para nabi nabi terdahulu untuk generasi
akan datang.
d. Malu adalah kebaikan.
Hidup dan matinya
hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula
dengan hilangnya rasa malu dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh
seseorang. Sehingga setiap kali hati dan ruh hidup maka pada saat itu pula rasa
malu menjadi lebih sempurna. Nabi SAW bersabda: “Rasa malu tidak datang kecuali
bersama kebaikan. ((Hadits Riwayat Bukhari).” Rasa malu dimiliki
manusia sepanjang manusia itu normal tidak sakit jiwa (gila) dan dalam keadaan
sadar tidak tidur atau pingsan. Seperti malu kelihatan aurat, malu waktu
menguap saat mengantuk dilihat orang, malu untuk mencuri, malu bertanya perihal
hukum fiqih, malu tidak mendirikan shalat yang sesuai syariah, malu tidak bisa
membaca AlQuran sehingga kita tetap dalam kebodohan maka inilah yang dikatakan
dengan malu yang tercela.
e. Malu ialah salah satu benteng yang
sangat efektif untuk menghindarkan kita dari segala bentuk perilaku buruk.
Kita tidak akan
berkata kotor, kasar dan cabul karena kita merasa malu. Kita tidak mau membuang
sampah sembarangan karena kita merasa malu, Kita menutupi aurat karena merasa
malu. Sebagai makhluk sosial yang berakal, ketika kita berselisih dengan
sesama, menyelesaikannnya menggunakan logika dan akal sehat, tidak dengan cara
cara fisik karena kita merasa malu.
f. Malu juga bisa diartikan sebagai
terkendalinya jiwa, yaitu ketidakmampuan seorang melakukan perbuatan-perbuatan
tercela atau sesuatu yang buruk. Orang yang pemalu adalah orang yang
tidak bisa melihat dirinya hina di hadapan Allah SWT, hina dihadapan manusia,
atau hina dihadapan dirinya sendiri.Dengan demikian, orang yang pemalu atau
orang yang masih memiliki rasa malu adalah orang yang mulia. Ia memuliakan
dirinya dihadapan Allah SWT, dihadapan manusia, dan dihadapan dirinya sendiri.
Ini berarti, orang yang memiliki rasa malu adalah orang yang benar-benar kuat
keimanannya, sehingga ia tidak melakukan kehinaan meski terhadap dirinya
sendiri, lebih-lebih kepada orang lain, apalagi kepada Allah SWT. Jadi, tidak salah jika ada ungkapan
seperti ini, “Manusia yang paling sempurna hidupnya adalah manusia yang paling
sempurna rasa malunya.”
g. Malu bukanlah berarti Minder. Masih banyak orang yang salah paham.
Malu kadangkala dianggap sebagai sifat rendah diri alias minder. Padahal,
keduanya sangatlah jauh berbeda. Menurut satu pendapat, minder diartikan
sebagai kebingungan yang muncul pada diri manusia sebagai akibat dari situasi
tertentu. Lebih dari itu, minder tidak berasal dari keimanan yang kuat. Ia
justru lahir dari sifat pengecut dan dari sifat takut. Karena pribadi yang
minder adalah pribadi yang lemah, yang tidak mengetahui nilai dirinya.
Sedangkan malu, tidak bersumber dari sifat buruk seperti pengecut dan penakut.
Malu bersumber dari keimanan yang kuat, sehingga Muslim yang pemalu adalah
Muslim yang menjauhi segala bentuk kehinaan.
Itulah pengertian dasar dari dari
malu, lalu sudahkah diri kita mengetahuinya dan memilikinya? Semoga kita sudah
memilikinya.
2. Macam
Macam Rasa Malu. Sebagai
orang yang masih memiliki rasa malu, ketahuilah bahwa malu atau rasa malu dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a. Malu Naluri, yaitu rasa malu yang dikaruniakan
Allah SWT kepada setiap diri manusia seperti rasa malu kelihatan auratnya.
Dalam hal ini kita harus selalu tunduk dan patuh kepada Allah SWT dengan segala
ketentuanNya dengan mengkaruniakan kita malu naluri. Bila kita memiliki rasa
malu terhadap diri sendiri dan juga
kepada orang lain pasti kita akan selalu menjaga aurat jangan sampai kelihatan.
Oleh karena itu, orang yang tidak memiliki rasa malu harus diwaspadai sebab
kalau dia telah merusak citra dirinya sendiri, sangat mungkin baginya untuk
merusak citra orang lain.
b. Malu Imani, ialah rasa malu yang bisa mencegah
seseorang dari melakukan perbuatan maksiat karena takut kepada Allah SWT.
Setiap mukmin haruslah memiliki sifat malu kepada Allah SWT yang sebenar
benarnya, malu yang ditunjukkan dimana saja, kapan saja, dan dalam situasi serta
kondisi yang bagaimanapun juga. Bukan hanya malu untuk menyimpang ketika berada
di masjid semata dan sejenisnya, tetapi tidak malu malu untuk melakukan
penyimpangan di pasar, di kantor, bahkan saat sendirian. Oleh karena itu
menjadi penting bagi kita untuk selalu memperkokoh rasa malu sehingga tidak ada
kejelekan sedikitpun dari sifat malu
tersebut.
Ingat, kedua macam rasa malu yang kami
kemukakan di atas, harus kita miliki saat hidup di muka bumi ini.
3. Tidakkah
Kita Malu atau Masihkah Kita Memiliki Rasa Malu! Ruh/Ruhani adalah jati diri manusia
yang sesungguhnya, dimana Ruh/Ruhani tidak bisa dipisahkan dengan keimanan
karena keimanan inilah yang menjadi santapan, energi yang sangat dibutuhkan
oleh Ruh/Ruhani. Salah satu cabang dari keimanan adalah malu atau rasa malu,
ini berarti malu atau rasa malu harus melekat pada Ruh/Ruhani diri kita
sehingga kita bisa menjadi khalifah yang dibanggakan oleh Allah SWT.
a. Malu kepada Ciptaan Allah SWT.
Berdasarkan ketentuan
surat Al Hajj (22) ayat 18 berikut ini: “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada
Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang,
gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada
manusia? dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. dan
Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya.
Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” dan surat Al Hadiid
(57) ayat 1 berikut ini: semua yang berada di langit dan yang berada
di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Ingat, di langit dan di muka
bumi yang diciptakan dan dimiliki oleh Allah SWT tidak hanya ada manusia dan
jin semata. Akan tetapi ada matahari, ada bulan, ada bintang, ada gunung, ada
pohon pohonan, ada binatang, ada material logam, tembaga, emas, perak dan
lainnya, ada tanah, ada udara, ada air, ada petir, ada guntur, ada hujan, ada
awan, ada bakteri, ada virus dan lain sebagainya. Dimana kesemuanya sujud,
patuh, bertasbih kepada Allah SWT sebagaimana firmanNya berikut ini: “Langit
yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan
tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memujiNya, tetapi kamu tidak
mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia
Maha Penyantun, Maha Pengampun. (surat Al Israa’ (17) ayat 44)
Akan menjadi sebuah kontroversi jika
kita yang hidup berdampingan dengan mereka semua lalu kita tidak mau sujud,
tidak mau patuh, tidak mau bertasbih kepada Allah SWT. Apalagi ada makhluk atau
ciptaan Allah SWT itu ada yang kita konsumsi, ada yang kita makan, ada yang
kita butuhkan saat hidup di muka bumi ini, dalam hal ini air, udara, tumbuhan
dan juga hewan. Dan alangkah tidak tahu dirinya kita yang berperilaku
menyimpang dibandingkan dengan apa apa yang kita konsumsi, dengan apa apa yang
kita makan, dengan apa apa yang kita hirup. Tidakkah kita malu dibandingkan
dengan mereka semua apalagi kita telah diangkat menjadi duta besar Allah SWT di
muka bumi yang seharusnya berperilaku terhormat dibandingkan dengan mereka
semua? Lalu bisakah terjadi kehidupan yang harmonis antara diri kita dengan
mereka saat hidup di dunia ini? Maukah makhluk lain yang dikonsumsi dan yang
dibutuhkan oleh kita memberikan manfaat kepada diri kita secara ikhlas?
b.
Malu
Kepada Diri Sendiri. Sewaktu kita hadir ke muka bumi ini, apa yang kita miliki
dan apa yang kita perbuat? Seluruh manusia termasuk diri kita hadir ke muka
bumi tidak memiliki apa apa dan tidak bisa berbuat apa apa, hanya bisa
menangis, menangis dan menangis untuk seluruh persoalan yang dihadapinya.
Setelah sekian lama hidup di muka bumi yang tidak pernah kita ciptakan dan
tidak pernah kita miliki, lalu kita bisa berbuat apa apa serta telah memiliki
apa apa. Apakah karena kita sendiri yang
mengakibatkan kita bisa seperti itu? Jika kita termasuk orang yang
memiliki rasa malu, maka tidak sepatutnya kita berbuat diluar kepatutan dan
kepantasan dihadapan Allah SWT dengan mengaku ngaku bisa berbuat apapun tanpa
bantuan siapapun. Dan agar diri kita mampu malu kepada diri sendiri maka kita
harus terlebih dahulu tahu siapa Allah SWT dan siapa diri kita.
Untuk itu mari kita perhatikan dengan
seksama hal-hal yang kami kemukakan di
bawah ini, yaitu:
a.
Untuk
itu renungkanlah keberadaan jasmani diri kita
yang begitu canggih, yang begitu sempurna jaringan sel-sel syarafnya,
lalu perhatikan pula ginjal, jantung, pankreas, otak dengan segala jaringannya
dan lain sebagainya, yang begitu hebat keberadaannya, yang tentunya bukan kita
yang ciptakan melainkan sudah dipersiapkan oleh Yang Maha Hebat pula, yaitu
Allah SWT. Lalu apakah kita tidak malu dengan diri sendiri yang tidak bisa
menciptakan segala yang ada pada jasmani diri sendiri lalu mempermalukan diri
dihadapan Allah SWT dengan mengekploitasi penggunaan jasmani dengan cara cara
diluar kepantasan dan kepatutan? Kemanakah perginya rasa malu kita, dibawa
angin ataukah memang kita tidak tahu malu. Jika sudah begini kadar keimanan
seseorang sudah tergadai dengan perginya rasa malu.
b. Untuk itu renungkanlah keberadaan
Ruh/Ruhani diri kita yang berasal dari Nur Allah SWT, dimana Ruh/Ruhani inilah
yang menjadi jati diri kita yang sesungguhnya.Ingat, Ruh/Ruhani datang fitrah saat menjadi diri
kita lalu kefitrahannya kita rusak saat menjadi khalifah dimuka bumi. Jika ini
yang terjadi berarti kita sendirilah yang mempermalukan diri sendiri dihadapan
Allah SWT dengan mengotori diri sendiri yang mengakibatkan Ruh/Ruhani menjadi
jiwa fujur. Kemanakah perginya rasa malu dalam diri kita?
c.
Untuk
itu renungkanlah Amanah yang 7 yang tidak lain bagian dari kemahaan dan
kebesaran Allah SWT yang termaktub di dalam sifat Ma’ani Allah SWT yang
kemudian dijadikan sebagai modal dasar saat diri kita menjadi khalifah di muka
bumi. Lalu dimanakah letaknya rasa malu kita jika modal dasar ini kita
pergunakan secara semena mena sehingga
tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT. Qudrat kita pergunakan secara
asal asalan, Ilmu kita pergunakan untuk menipu, Iradat yang seharus menjadi
kekuatan untuk memperoleh kebahagian justru kita gunakan untuk hal hal yang
menimbulkan kerusakan. Allah SWT berfirman: “dan Sesungguhnya Kami
jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)
dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.
(surat Al A’raaf (7) ayat 179)
Jika kita masih memiliki rasa malu,
apakah malu naluri ataukah malu imani, maka kita wajib tahu diri dan tahu Allah
SWT dan jika sampai kita tidak tahu diri dan tidak tahu Allah SWT maka
bertanyalah kemanakah perginya rasa malu itu. Jika sampai rasa malu hilang dalam diri berarti keimanan yang
dibutuhkan oleh ruh/ruhani akan menjadikan ruh/ruhani menjadi tidak fitrah lagi
lalu bisakah ruh/ruhani yang sudah tidak fitrah lagi bertemu dengan Dzat Yang
Maha Fitrah? Jawaban dari pertanyaan ini adalah bisa bertemu sepanjang ruh/ruhani
difitrahkan terlebih dahulu di neraka Jahannam. Bertanyalah kepada diri
sendiri, sanggupkah kita merasakan panasnya api neraka saat proses memfitrahkan
ruh/ruhani menjadi fitrah kembali?
4. Malu
Kepada Allah SWT. Agar
malu kepada Allah SWT bisa berlaku kepada diri kita, ada baiknya kita
mempertanyakan kepada diri sendiri, siapakah yang menciptakan dan memiliki
langit dan bumi dengan segala isinya? Siapakah yang menciptakan dan yang
memiliki diri kita dengan segala apa apa yang menyertai diri kita? Jawaban dari
kedua pertanyaan ini adalah Allah SWT lah menciptakan dan yang memiliki itu
semua. Lalu bisakah kita hadir ke muka bumi ini secara langsung dengan cara
menciptakan diri sendiri? Mustahil di akal hal ini bisa terjadi karena semua
keberadaan manusia di muka bumi, ada karena adanya qudrat, iradat dan ilmu
Allah SWT yang sangat hebat. Alangkah
tidak tahu malunya kita jika kita ada karena Allah SWT lalu Allah SWT kita
lawan saat hidup di muka bumi ini padahal Allah SWT adalah tuan rumah. Jika
ini yang terjadi apakah Allah SWT yang kita permalukan selaku tuan rumah
ataukah kita yang mempermalukan diri dihadapan Allah SWT selaku tuan
rumah? Sepanjang diri kita masih
memiliki rasa malu dalam diri, sudah sepantasnya kita mampu menempatkan diri
dihadapan Allah SWT secara baik dan benar. Tahu siapa diri kita yang
sesungguhnya dan tahu Allah SWT yang sebenarnya. Semoga rasa malu masih ada di
dalam diri kita.
Sekarang mari kita perhatikan hadits qudsi berikut ini: “Ibnu
Abbas ra, berkata: Nabi SAW bersabda:
Allah ta'ala berfirman: Wahai Anak Adam! Jika engkau ingat kepada-Ku, Aku Ingat
kepadamu dan bila engkau lupa kepada-Ku, Akupun ingat kepadamu. Jika engkau
taat kepada-Ku pergilah kemana saja engkau suka, pada tempat dimana Aku
berkawan dengan engkau dan engkau berkawan dengan daKu. Engkau berpaling
daripada-Ku padahal aku menghadap kepadamu, Siapakah yang memberimu makan
dikala engkau masih di dalam perut ibumu. Aku selalu mengurusmu dan
memeliharamu sampai terlaksanalah kehendak-Ku bagimu, maka setelah Aku
keluarkan engkau ke alam dunia engkau berbuat banyak maksiat. Apakah demikian
seharusnya pembalasan kepada yang telah berbuat kebaikan kepadamu?.(Hadits Qudsi Riwayat Abu Nasher Rabi'ah bin
Ali Al Ajli dan Arrafi'ie; 272:182).” dimana Allah SWT telah menunjukkan sikapNya kepada diri kita lalu apakah
sikap ini kita biarkan begitu saja tanpa ada reaksi dari kita? Jangan karena
kita sudah tidak memiliki rasa malu kepada Allah SWT yang selalu menghadap
kepada diri kita walaupun kita tidak menghadap kepadaNya lalu kita bersikap
mempermalukan diri sendiri dengan cara acuh atau tidak memperdulikan sikap
Allah SWT kepada diri kita? Hanya orang yang sudah tidak memiliki malu atau
rasa malu yang bisa bersikap seperti itu kepada Allah SWT, yang juga berarti
orang tersebut sudah tidak memiliki keimanan sehingga paling disayang oleh
Syaitan sang laknatullah.
Sekarang mari kita perhatikan hadits qudsi berikut ini, “Malulah kalian kepada Allah dengan
sebenar benarnya. Jawab para sahabat, :Kami sudah malu ya Rasulullah. Nabi
menjelaskan, “Bukan demikian yang dimaksud dengan malu kepada Allah dengan
sebenar benarnya adalah dengan menjaga kepala dan organ organ yang terletak di
kepala, menjaga perut beserta organ organ yang berhubungan dengan perut, dan
mengingat kematian dan saat badan hancur di dalam kubur. Siapa yang
menginginkan akhirat harus meninggalkan kesenangan dunia. Siapa yang meninggalkan hal hal tersebut, maka ia telah
merasa malu kepada Allah dengan sebenar benarnya. (Hadits Riwayat Ath
Thirmidzi).” dimana Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan
kepada diri kita tentang rasa malu kepada Allah SWT yang tidak sebatas
diucapkan semata. Rasa malu kepada Allah SWT harus ditunjukkan dalam perbuatan
yaitu: (a) dengan menjaga kepala dan
organ organ yang terletak di kepala; (b) dengan menjaga perut beserta organ organ yang berhubungan dengan perut;
(c) dengan mengingat kematian dan saat
badan hancur di dalam kubur; (d)visi
akhirat yang telah dicanangkan hanya bisa dicapai dengan meninggalkan
kesenangan dunia lalu berani membayar mahal untuk berbuat kebaikan dari waktu
ke waktu. Sudahkah kita mampu melaksanakan apa apa yang dikehendaki oleh
Allah SWT sehingga rasa malu diatas terpelihara dalam diri? Semoga diri kita,
keluarga kita, anak keturunan kita mampu melaksanakan ketentuan hadits di atas.
Sekarang mari kita ikuti kisah ini. “Suatu
ketika datang seorang lelaki kepada Ibrahim ibn Adham dan berkata, “Wahai Imam,
aku ingin bertaubat dan meninggalkan dosa. Tetapi, tiba-tiba aku kembali
berbuat dosa. Tunjukkan padaku sesuatu yang bisa melindungiku hingga aku tidak
lagi bermaksiat kepada Allah.” Ibrahim ibn Adham pun menjawab, “Jika engkau
ingin bermaksiat kepada Allah, jangan bermaksiat di bumi-Nya.” Orang itu pun
bertanya, “Lalu di mana aku bisa bermaksiat, sementara seluruh bumi ini adalah
milik Allah?” Ibrahim ibn Adham pun menjawab, “Tidakkah engkau malu seluruh
bumi ini milik Allah tetapi engkau masih bermaksiat di atasnya?” “Jika engkau
ingin bermaksiat, jangan memakan rezeki dari-Nya. Orang itu pun bertanya,
“Bagaimana aku bisa hidup?” Ibrahim bin Adham pun berkata, “Tidakkah engkau
malu memakan rizki dari-Nya, sementara engkau bermaksia kepada-Nya?” “Tidakkah
engkau malu bermaksiat kepada-Nya, sementara Allah senantiasa bersamamu dan
dekat denganmu?” Lalu, Ibrhamin ibn Adham melanjutkan, “Jika engkau tetap ingin
bermaksiat, maka apabila malaikat maut datang kepadamu untuk mencabut nyawamu,
katakan padanya, ‘Tunggu sampai aku bertaubat!’” Orang itu menjawab, “Adakah
yang bisa melakukan itu?” Ibrahim berkata, “Tidakkah engkau malu malaikat maut
datang kepadamu dan mengambil ruhmu sementara engkau dalam kondisi bermaksiat?”
Bercermin dari kisah hikmah ini, tentu
kita tidak punya ruang sesenti pun untuk berbuat hina, kecuali Allah SWT mengetahui.
Sementara, setiap hari kita memakan rezeki dari-Nya, hidup di bumi-Nya dan
menikmati seluruh anugerah-Nya. Lantas, masihkah kita tidak malu kepada-Nya
dengan tetap bangga di atas salah dan dosa-dosa yang setiap jiwa pasti pernah
melakukannya? Sekiranya penduduk negeri ini benar-benar beriman, tentu mereka
akan malu bermaksiat kepada Allah. Dan, sekiranya penduduk negeri ini
benar-benar serius memelihara rasa malunya, tentu tidak akan terjadi segala
bentuk kerusakan moral, kerusuhan sosial, atau pun kehidupan bebas tanpa
aturan.
C.
MAMPU MENJADI SEORANG PEMENANG.
Hikmah Ikhsan
yang juga paling hakiki adalah mampu menjadikan diri ini menjadi seorang
pemenang, hal ini dikarenakan hidup
adalah sebuah permainan untuk mengalahkan ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan.
Sebagai sebuah permainan maka hasil akhir dari permainan yang kita lakukan
bukan untuk menjadikan diri ini menjadi seorang pecundang yang mengalami
kekalahan. Melainkan harus menjadikan diri ini sebagai pemenang yang sekaligus
orang yang beruntung. Jika kita mampu
menjadi pemenang di dalam permainan baik sebagai Abd’ (hamba) dan juga kekhalifahan
di muka bumi berarti kita bisa pulang kampung ke tempat yang terbaik yaitu
syurga. Jika kita kalah dalam permainan berarti kita pulang kampung ke neraka
jahannam. Syurga adalah tempat pulang kampung yang terbaik sedangkan neraka
jahannam adalah tempat pulang kampung yang terburuk.
Untuk itu jangan pernah kita bercita
cita menjadi pecundang karena hasil akhirnya tidak mengenakkan yaitu keburukan
yang sangat merugikan lagi menyengsarakan. Tanamkan dalam diri bahwa kita
adalah pemenang karena hasil akhirnya
sesuatu yang sangat menyenangkan yaitu kebaikan yang menguntungkan. Akan
tetapi semua ini tidak akan bisa terealisir jika kita tidak sabaran untuk
meraih kemenangan. Agar diri kita tidak sampai salah di dalam melaksanakan
permainan maka kita harus memiliki ilmu dan pengetahuan apa yang dimaksud
dengan kemenangan yang menguntungkan dan apa yang dimaksud dengan kekalahan
yang merugikan itu. Berikut ini akan kami kemukakan kriteria dari kemenangan
dan kekalahan itu, yaitu:
1. Kemenangan
Yang Sebenarnya. Berikut
ini akan kami kemukakan makna yang hakiki dari hakekat sebuah kemenangan,
yaitu:
a. Hakekat kemenangan itu adalah jika
kita termasuk orang orang yang mewarisi apa yang dinamakan dengan syurga
Firdaus dan kita
kekal berada di dalamnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Al
Mu’minuun (23) ayat 9, 10, 11 berikut ini: dan orang-orang yang memelihara
sembahyangnya. mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan
mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya.” Syurga Firdaus
adalah salah satu syurga yang terbaik dari tingkatan tingkatan syurga yang ada.
Semoga syurga ini yang kita peroleh kelak. Sedangkan berdasarkan ketentuan
surat Al Kahfi (18) ayat 107 yang kami kemukakan berikut ini: “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus
menjadi tempat tinggal.” Syurga
Firdaus diperuntukan hanya bagi orang orang yang beriman lagi beramal shaleh,
dalam hal ini adalah orang yang mampu berbuat kebaikan dalam kerangka ibadah
ikhsan.
b. Hakekat dari kemenangan adalah mampu
menjadikan diri kita menjadi orang yang bertaqwa (derajat muttaqin). Ingat menjadikan diri kita bertaqwa
maka beruntunglah diri kita lalu dengan keberuntungan inilah kita menjadi
seorang pemenang. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Baqarah (2) ayat 189
berikut ini: “mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan
sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan
bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan
itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari
pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
c. Hakekat kemenangan adalah orang yang
mampu menyerahkan dirinya kepada Allah SWT sedang ia orang yang berbuat
kebaikan. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Luqman
(31) ayat 22 berikut ini: “dan
Barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang Dia orang yang
berbuat kebaikan, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang
kokoh. dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.”
Dari ketiga konsep kemenangan yang
kami kemukakann di atas, diposisi yang manakah diri kita, apakah yang
memperoleh syurga firdaus, orang yang bertaqwa (derajat muttaqin) atau yang
mampu menyerahkan dirinya kepada Allah SWT? Semoga jamaah sekalian mampu
menjadikan diri dan keluarga serta anak keturunannya menjadi pemenang yang
memiliki ketiga kriteria di atas. Amiin.
2. Inilah
Sang Pemenang. Lalu
siapakah yang disebut dengan pemenang baik sebagai Abd’ (hamba) dan juga
sekaligus khalifah di muka bumi? Berikut ini akan kami kemukakan sang pemenang
dimaksud, yaitu:
a. Sang pemenang adalah orang yang
memiliki jiwa suci (jiwa fitrah) atau jiwa taqwa atau jiwa muthmainnah, orang yang seperti ini mampu
menjadikah ruh (ruhani) sebagai khalifah (subyek) yang mampu mengendalikan
jasmani (obyek), sebagaimana dikemukakan dalam surat As Syams (91) ayat 9
berikut ini: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,” Hal
ini akan terlihat dari perilaku dan perbuatan orang tersebut yang selalu
berkesesuaian dengan Asmaul Husna yang memang sudah menjadi sifat daripada ruh
(ruhani) manusia, atau dengan kata lain orang tersebut mampu membuat Allah SWT
tersenyum bangga kepadanya. Lalu bagaimana dengan diri kita?
b. Sang pemenang dalam permainan
kekhalifahan di muka bumi adalah orang mukmin (orang yang beriman). Ingat, orang yang beriman, bukan
orang Islam yang disebut sebagai pemenang. Hal ini berdasarkan ketentuan surat
Al Mu’minuun (23) ayat 1 berikut ini: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman,”
c. Pemenang dalam permainan kekhalifahan
di muka bumi adalah golongan Allah Yang Teguh Imannya. Hal ini berdasarkan ketentuan surat
Al Mujaadilah (58) ayat 22 berikut ini: “kamu
tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan
keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang
daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan
merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah golongan
Allah. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya golongan Allah itu adalah golongan yang
beruntung.”
Adanya tiga buah keadaan tentang sang
pemenang, sudahkah diri kita menjadi pemenang baik sebagai Abd’ (hamba) yang
sekaligus khalifah di muka bumi, sehingga kita masuk dalam kategori orang yang
memiliki jiwa yang suci lagi jiwa taqwa, orang yang beriman atau yang menjadi
golongan Allah yang teguh imannya?
3. Siapa
Sajakah Sang Pecundang Yang Tidak Beruntung. Berikut ini akan kami kemukakan kriteria dari para
pecundang yang tidak beruntung itu, yakni:
a. Sang pecundang atau orang yang tidak
beruntung adalah pengikut dan penyembah berhala atau orang yang murtad. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Kahfi
(18) ayat 20 berikut ini: “Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui
tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali
kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama
lamanya".
b. Sang pecundang atau orang yang tidak
beruntung adalah Orang Dzalim. Dzalim merupakan sifat yang hina dan keji yang
tidak sesuai dengan fitrah dan akhlak manusia. Dzalim dalam ajaran Islam adalah
meletakkan suatu perkara bukan pada tempatnya yang mengakibatkan seseorang
berperilaku tidak berkeperimanusian, bengis, kemungkaran, gemar melihat
kesengsaraan dan penderitaan orang lain. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Qashash (28) ayat 37 berikut ini:
“Musa menjawab: "Tuhanku lebih mengetahui orang yang (patut) membawa
petunjuk dari sisi-Nya dan siapa yang akan mendapat kesudahan (yang baik) di
negeri akhirat. Sesungguhnya tidaklah akan mendapat kemenangan orang-orang yang
zalim".
c. Sang pecundang atau yang dikatakan orang yang merugi adalah
orang orang yang mendustakan Allah SWT dan Ayat AyatNya atau orang yang
menganiaya diri sendiri. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Yunus (10) ayat 69
berikut ini: “Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah tidak beruntung". dan juga berdasarkan
surat Al An’am (6) ayat 21 berikut ini: “dan siapakah yang lebih aniaya daripada
orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan
ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat
keberuntungan.”
d. Sang pecundang atau yang dikatakan orang yang merugi adalah
orang orang yang mengingkari nikmat Allah SWT. Sebagaimana dikemukakan dalam surat
Al Qashash (28) ayat 82 “dan jadilah orang-orang yang kemarin
mencita-citakan kedudukan Karun itu, berkata: "Aduhai, benarlah Allah
melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan
menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar
Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-
orang yang mengingkari (nikmat Allah)".
e. Sang pecundang atau yang dikatakan orang yang tidak
beruntung adalah orang yang menyembah Tuhan selain Allah SWT sehingga ia
memohon kepada selain Allah SWT. Termasuk di dalamnya adalah orang kafir. Sebagaimana
dikemukakan dalam surat Al Mu’minuun (23) ayat 117 berikut ini, “dan
Barangsiapa menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, Padahal tidak ada suatu
dalilpun baginya tentang itu, Maka Sesungguhnya perhitungannya di sisi
Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.”
f. Sang pecundang atau yang dikatakan orang yang tidak
beruntung adalah orang yang membikin
bikin hukum sendiri dengan mengada adakan kehongan terhadap Allah SWT Sebagaimana
dikemukakan dalam surat An Nahl (16) ayat 116 berikut ini: ”dan janganlah kamu mengatakan
terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta "Ini halal dan
ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung.”
g. Sang pecundang atau yang dikatakan
orang yang merugi adalah Yang Ringan Timbangan Amalnya. Sebagaimana dikemukakan
dalam surat Al Mu’minuun (23) ayat 103 berikut ini: “dan Barangsiapa yang ringan
timbangannya, Maka mereka Itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri,
mereka kekal di dalam neraka Jahannam.”
h. Sang pecundang atau yang dikatakan
orang yang merugi adalah orang yang mengotorkan jiwa sehingga dikategorikan
sebagai jiwa fujur yang sesuai dengan kehendak syaitan sang laknatullah.
Sebagaimana dikemukakan dalam surat Asy Syams (91) ayat 8, 9, 10 berikut ini: “Maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya.”
i. Sang pecundang atau yang dikatakan orang yang merugi adalah
orang orang yang banyak berbuat dosa. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Yunus
(10) ayat 17 berikut ini: “Maka siapakah yang lebih zalim daripada
orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan
ayat-ayatNya? Sesungguhnya, Tiadalah beruntung orang-orang yang berbuat dosa.”
j. Berdasarkan surat Yunus (10) ayat 77
berikut ini: “Musa berkata: "Apakah kamu mengatakan terhadap kebenaran waktu ia
datang kepadamu, sihirkah ini?" Padahal Ahli-ahli sihir itu tidaklah
mendapat kemenangan". adalah ahli ahli sihir termasuk di dalamnya
dukun, paranormal dan lain sebagainya termasuk orang orang yang dikategorikan
sebagai pecundang.
Setelah mengetahui 10 (sepuluh) kriteria
tentang sang pecundang, jangan pernah jadikan diri kita, keluarga kita, anak
dan keturunan kita menjadi orang orang yang masuk dalam kriteria pecundang.
4. Karakteristik
Sang Pemenang. Berikut
ini akan kami kemukakan karakteristik karakteristik dari seorang pemenang,
yaitu:
a. Salah satu karakter dari seorang
pemenang yaitu ia yang selalu khusyu’ (konsentrasi) dalam setiap apa apa yang
dilakukannya atau selalu bersungguh sungguh melakukan apa apa yang akan
diraihnya. Contohnya saat shalat, saat menunaikan zakat, saat memanfaatkan
waktu. Selain daripada itu, seorang pemenang akan menjauhkan diri dari
perbuatan dan perkataan yang tidak berguna, selalu menunaikan zakat, mampu
menjaga kemaluannya, mampu menjaga dan memelihara segala amanat amanat yang
dipikulnya serta tidak ingkar janji, dan lain sebagainya yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Mu’minuun (23) ayat 1 sampai dengan
ayat 9 berikut ini: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang
yang khusyu' dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari
(perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan
zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka miliki[994]; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal
ini tiada tercela, Barangsiapa mencari yang di balik itu[995] Maka mereka
Itulah orang-orang yang melampaui batas. dan orang-orang yang memelihara
amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. dan orang-orang yang memelihara
shalatnya. (surat Al Mu’minuun (23) ayat 1 sampai 9).
[994] Maksudnya:
budak-budak belian yang didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan
budak belian yang didapat di luar peperangan. dalam peperangan dengan
orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang ditawan biasanya dibagi-bagikan
kepada kaum muslimin yang ikut dalam peperangan itu, dan kebiasan ini bukanlah
suatu yang diwajibkan. imam boleh melarang kebiasaan ini. Maksudnya:
budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
[995] Maksudnya: zina,
homoseksual, dan sebagainya.
Sedangkan berdasarkan surat Al Maaidah
(5) ayat 35 berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan
berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” karakter
dari seorang pemenang adalah setelah beriman dilanjutkan dengan bersungguh sungguh
menuju kepada Allah SWT agar menjadi orang dekat Allah SWT.
b.
Salah
satu karakteristik dan yang juga salah satu kebiasaan seorang pemenang adalah
ia selalu berusaha untuk menjadi unggul dikarenakan selalu bersegera dalam
mengerjakan perbuatan perbuatan yang baik dan selalu berdoa kepada Allah SWT
dengan harap dan cemas serta selalu khusyu’ kepada Allah SWT. Hal ini
sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Anbiyaa (21) ayat 90 di bawah ini, “Maka
Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami
jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang
selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka
berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. dan mereka adalah orang-orang yang
khusyu' kepada kami.”
c. Seorang pemenang selalu memiliki
target dan tujuan yang akan diraihnya (memiliki visi akhirat) dan berani
membayar mahal untuk merealisasikan visi akhiratnya serta konsisten untuk
meraihnya dari waktu ke waktu. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Zalzalah
(99) ayat 7 dan 8 berikut ini: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan
seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya
pula.”
d. Sang pemenang selalu memiliki dan
menentukan prioritas dalam kesehariaannya. Hal ini ditunjukkan dengan
mendirikan shalat di waktu waktu yang telah ditentukan, lalu ia selalu ingat
Allah SWT di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Hal ini berdasarkan
ketentuan surat An Nisaa’ (4) ayat 103 berikut ini: “Maka apabila kamu telah
menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan
di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah
shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
e. Seorang pemenang akan selalu membuat
rencana dengan selalu mempersiapkan diri untuk menghadapi segala sesuatu
sehingga apa yang dilakukannya adalah tindakan yang terstruktur, tertata dan
bersifat jangka panjang. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Anfaal (8) ayat
60 berikut ini: “dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang
selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa
saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup
kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”
f. Seorang pemenang memiliki manajemen
waktu yang baik, terperinci serta tidak mau membuang buang waktu untuk urusan
yang tidak berguna. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Ashr (103) ayat 1
sampai 3 berikut ini: “demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran.”
g. Seorang pemenang adalah seorang yang
selalu berhijad (selalu bersungguh sungguh) untuk mencari keridhaan Allah atau
ia selalu bersungguh sungguh di dalam berbuat kebaikan dalam kerangka ibadah
ikhsan. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Ankabuut (29) ayat 69 berikut
ini: “dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
a. Orang yang mampu menjadi seorang
pemenang biasanya ia orang yang sangat piawai dalam bergaul, atau orang yang
mampu bergaul kepada siapapun. Berdasarkan ketentuan surat Ali Imran (3) ayat
159 berikut ini: ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan
itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
b. Seorang pemenang akan menafkahkan
hartanya di waktu lapang ataupun sempit, selalu mampu menahan amarahnya serta
selalu memaafkan kesalahan orang lain. Berdasarkan ketentuan surat Ali Imran
(3) ayat 134 berikut ini: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan.”
c. Seorang pemenang akan menjalani hidup
dan kehidupannya dalam keseimbangan. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al
Furqaan (25) ayat 67 berikut ini: “dan orang-orang yang apabila membelanjakan
(harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” Sedangkan
berdasarkan ketentuan surat Al Hasyr (59) ayat 9 berikut ini: “dan
orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang
berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka
sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.” seorang
pemenang tidak akan pelit bahkan lebih mementingkan atau mendahulukan keperluan
orang lain dibandingkan dengan keperluan dirinya.
d. Karakter dari seorang pemenang adalah
jika berhadapan dengan musuh ia tidak gentar menghadapinya yang dilanjutkan dengan selalu mengingat
Allah SWT sebanyak banyaknya, termasuk di dalamnya selalu mengajak Allah SWT
untuk membantu mengalahkan musuh. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Anfaal
(8) ayat 45 berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu
memerangi pasukan (musuh), Maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah
sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.”
e. seorang pemenang dapat dipastikan ia
tidak akan mau melaksanakan amal syaitan seperti mabuk, berjudi, mengundi nasib
dan lain sebagainya yang sesuai dengan kehendak syaitan. Hal ini berdasarkan
ketentuan surat Al Maaidah (5) ayat 90 berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman,
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus
khalifah di muka bumi, sudahkah kita mampu memiliki kebiasaan kebisaan, atau
memiliki karakter karakter yang mencerminkan seorang pemenang dalam diri ini yang
telah mencanangkan diri sebagai seorang pemenang? Jika belum segera perbaiki
diri saat ini juga sebelum semuanya terlambat. Ingat, kesempatan hanya ada di
sisa usia yang kita miliki.
5. Bentuk
Penampilan Sang Pemenang. Jika
kita mengacu kepada ketentuan surat Al Hajj (22) ayat 18 berikut ini: “Apakah
kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di
bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang
melata dan sebagian besar daripada manusia? dan banyak di antara manusia yang
telah ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak
seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia
kehendaki.” dan juga surat Al Hadiid (57) ayat 1 yang kami kemukakan
berikut ini: “semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada
Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” Berdasarkan dua buah ketentuan ayat di atas ini, dapat kami
kemukakan beberapa penampilan dari sang pemenang, yaitu:
a. Konsep ilmu padi tampil dalam diri
sang pemenang, semakin berisi maka semakin merunduk dengan semakin rendah hati
dihadapan Allah SWT. Semakin banyak belajar akan timbul perasaan semakin bodoh
serta semakin kecil dihadapan Allah SWT yang dilanjutkan dengan terus belajar
tanpa mengenal usia.
b. Berperilaku selalu berkesesuaian
dengan perilaku makhluk ciptaan Allah SWT yang ada di langit dan di bumi
seperti bertasbih kepada Allah SWT serta sujud patuh kepada Allah SWT sehingga
terjadilah kesesusaian perilaku diantara diri kita dengan makhluk ciptaan Allah
SWT yang lainnya.
c. Tidak mau menyakiti sesama makhluk
Allah SWT baik melalui perilaku ataupun perlakuan kepada apa apa yang ada di
langit dan di muka bumi terutama kepada sesuatu yang kita manfaatkan bagi
kepentingan diri kita seperti hewan yang kita konsumsi, tumbuhan yang kita kita
makan, udara yang kita hirup serta air yang sangat kita butuhkan.
d. Selalu membaca Basmallah sebelum mengkonsumsi
makanan dan minuman yang berasal dari ciptaan Allah SWT sehingga makanan dan
minuman yang kita konsumsi mau memberikan kebaikan yang dimilikinya kepada kita
dengan suka rela ridha karena Allah SWT.
e. Saling menghargai diantara sesama makhluk
ciptaan Allah SWT yang tidak hanya pada sesama manusia tetapi juga dengan
sesama makhluk. Apalagi ada sebahagian makhluk yang diciptakan Allah SWT kita butuhkan
seperti pohon, air, udara, hewan dan lain sebagainya.
Penampilan seorang pemenang yang beruntung
yang sangat penting kita jadikan contoh adalah ia tidak alergi dengan apa yang
dinamakan dengan perubahan. Hal ini dikarenakan makna yang hakiki dari
perubahan adalah untuk kita jadikan sebagai tolak ukur untuk mempertahankan
atau untuk lebih meningkatkan kualitas diri. Lalu apa itu yang dimaksud dengan
perubahan? Perubahan menggandung arti
atau gerakan menuju kepada kesempurnaan atau kualitas hidup yang lebih baik dan
lebih baik lagi. Ingat, seseorang dapat dikatakan telah berubah jika telah
bergeser atau bergerak dari posisi semula sehingga jika tanpa ada pergeseran
atau pergerakan maka tidak akan terjadi makna perubahan. Perubahan menjadi
penting dalam kehidupan kita saat ini karena: (a) Perubahan merupakan tanda kehidupan, hal ini dikarenakan jika hidup
tanpa perubahan sama dengan kematian; (b) Perubahan merupakan watak alam ini, hal ini ditunjukkan dengan setiap
benda, termasuk diri kita pasti terkena dengan hukum perubahan. Tidak ada yang
tidak ada yang tidak berubah di alam ini, kecuali perubahan itu sendiri;
(c) Dibalik setiap perubahan terkandung
harapan sehingga disetiap perubahan timbul harapan semoga kita lebih baik dari
sebelumnya. Dan Perubahan dalam
diri seseorang tidak akan terjadi dengan sendirinya serta tidak turun dari
langit begitu saja. Perubahan adalah proses yang harus kita lakukan dengan
kesadaran diri untuk merubah apa apa yang ada pada diri kita.
Agar perubahan yang kita lakukan
menjadi sebuah perubahan yang besar seperti yang termaktub dalam surat Al
Anfaal (8) ayat 53 berikut ini: “(siksaan) yang demikian itu adalah karena
Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah
dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada
pada diri mereka sendiri, dan Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.” maka perubahan harus didukung dengan hal hal sebagai
berikut: (a) Adanya Pola pikir (mindset) dan niat yang kuat
untuk maju dan berubah sehingga kita mampu menjadi pemenang (winner),
terkecuali jika kita berharap menjadi pecundang (looser); (b) Adanya Ilmu dan pengetahuan sebagai landasan dasar untuk mengadakan suatu perubahan;
(c) Adanya program unggulan yang sudah
disesuaikan dengan ilmu dan pengetahuan serta pemahaman yang kita miliki; (d) Adanya
tindakan yang dapat mengubah suatu kemungkinan menjadi sebuah kenyataan;
(e) Adanya Sikap pantang menyerah.
Rencana perubahan gagal di tengah jalan atau berumur pendek sering kali hanya
karena kita tidak memiliki sifat yang satu ini; (f) Akhirnya adanya Sabar dan shalat harus selalu menyertai diri kita saat
melakukan sebuah gerakan perubahan, sebagaimana firman Allah SWT berikut
ini: “Jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (surat Al Baqarah (2) ayat 45). Ayo
berubah, saat ini juga jangan menunggu untuk dirubah karena kesempatan untuk
berubah hanya ada pada saat ini serta satu satunya jalan untuk menjadi lebih
baik dan lebih baik dari waktu ke waktu hanya melalui jalan perubahan.
D.
MAMPU MEMBUAT ALLAH SWT TERSENYUM BANGGA
KEPADA DIRI KITA.
Hikmah Ikhsan yang juga paling hakiki adalah mampu
membuat Allah SWT tersenyum bangga kepada diri kita, atau mampu membuat Allah
SWT senang kepada diri kita. Jika ini yang terjadi maka Allah SWT akan limpahkan rahmat-Nya
dengan membuat hidupmu lapang dan bahagia. Jangan lupa jadikan kewajiban kepada
Allah SWT sebagai sebuah kebutuhan karena ini adalah kunci kesuksesan hidup di
dunia dan akhirat kelak. Apabila kita hanya sibuk dengan ibadah ritual semata
dan bangga akan itu (maksudnya sibuk dengan ibadah Habblum minannallah) maka
itu tandanya kamu hanya mencintai dirimu sendiri (egois), bukan cinta kepada
Allah SWT. Akan tetapi, bila kita berbuat dan berkorban untuk orang lain
serta melunakkan hati untuk kepentingan orang lain maka itu tandanya kita
mencintai Allah SWT dan tentu Allah SWT senang karenanya.
Agar
diri kita mudah memahami tentang membuat Allah SWT tersenyum karena senang
kepada diri kita. Berikut ini akan kami kemukakan sebuah kisahnya. Alkisah
ada ahli ibadah bernama Abu bin Hasyim yang kuat sekali tahajudnya. Hampir
ber-tahun tahun dia tidak pernah absen melakukan sholat tahajud. Pada
suatu ketika saat hendak mengambil wudhu untuk tahajud, Abu bin Hasyim dikagetkan
oleh keberadaan sesosok makhluk yang duduk di bibir sumurnya. Abu bin Hasyim bertanya,
“Wahai hamba Allah, siapakah Engkau ?”.Sambil tersenyum, sosok itu berkata;
“Aku Malaikat utusan Allah” Abu bin Hasyim kaget sekaligus bangga karena
kedatangan tamu malaikat mulia. Dia lalu bertanya, “Apa yang sedang kamu
lakukan di sini?” Malaikat itu menjawab, “Aku disuruh mencari hamba pencinta
Allah” Melihat Malaikat itu memegang kitab tebal, Abu lalu bertanya; “Wahai
Malaikat, buku apakah yang kau bawa ?” Malaikat menjawab; “Ini adalah kumpulan
nama hamba hamba pencinta Allah.” Mendengar jawaban Malaikat, Abu bin Hasyim
berharap dalam hati namanya ada disitu. Maka ditanyalah Malaikat itu.
“Wahai Malaikat, adakah namaku disitu ?” Abu bin Hasyim berasumsi bahwa namanya
ada di buku itu, mengingat amalan ibadahnya yang tidak kenal
putusnya. Selalu mengerjakan shalat tahajud setiap malam, berdo’a dan bermunajat
pada Allâh SWT di sepertiga malam. “Baiklah, aku buka,” kata Malaikat sambil
membuka kitab besarnya. Dan ternyata Malaikat itu tidak menemukn nama Abu bin
Hasyim di dalamnya. Tidak percaya, Abu bin Hasyim meminta Malaikat
mencarinya sekali lagi. “Betul … namamu tidak ada di dalam buku ini !”
kata Malaikat. Abu bin Hasyim pun gemetar dan jatuh tersungkur di depan
Malaikat. Dia menangis sejadi jadinya. “Rugi sekali diriku yang selalu
tegak berdiri di setiap malam dalam tahajud dan bermunajat … tetapi namaku
tidak masuk dalam golongan para hamba pecinta Allah,” ratapnya.
Melihat
itu, Malaikat berkata, “Wahai Abu bin Hasyim ! Bukan aku tidak tahu engkau
bangun setiap malam ketika yang lain tidur … mengambil air wudhu dan kedinginan
pada saat orang lain terlelap dalam buaian malam. Tapi tanganku dilarang
Allâh menulis namamu.” “Apakah gerangan yang menjadi penyebabnya ?” tanya Abu
bin Hasyim. “Engkau memang bermunajat kepada Allâh, tapi engkau pamerkan
dengan rasa bangga kemana mana dan asyik beribadah memikirkan diri sendiri. Di
kanan kirimu ada orang sakit atau lapar, tidak engkau tengok dan beri
makan. Bagaimana mungkin engkau dapat menjadi hamba pecinta Allah kalau
engkau sendiri tidak pernah mencintai hamba hamba yang diciptakan Allâh ?” kata
Malaikat itu. Abu bin Hasyim seperti disambar petir di siang bolong. Dia
tersadar hubungan ibadah manusia tidakklah hanya kepada Allâh semata
(hablumminAllâh), tetapi juga ke sesama manusia (hablumminannâs) dan alam.
(Imam Al Ghazali, dalam bukunya Muksyafatul Qulub)
Untuk mempertegas kisah
di atas, kami ingin mengajak jamaah sekalian untuk merenungkan kembali apa yang
dikemukakan dalam hadits berikut ini: “Abu Hurairah ra, meriwayatkan bahwa
Rasulullah SAW bersabda: “Pada hari Kiamat, Allah SWT berfirman: Wahai anak
Adam, Aku sedang sakit, kenapa kamu tidak menjengukKu. Anak Adam menjawab,
Wahai Tuhan, bagaimana hamba bisa menjengukMu, sedangkan Engkau adalah Tuhan
semesta alam? Allah berkata, ‘Apakah kamu tidak menyadari jika hambaKu, fulan,
sedang sakit tapi kamu tidak mau menjenguknya? Apakah kamu tidak mengetahuinya,
seandainya kamu menjenguknya, kamu akan mendapatkanKu sedang bersamanya? Allah
berkata lagi, Wahai anak Adam, Aku meminta makanan kepadamu, tapi mengapa kamu
tidak mau memberi Ku makanan? Anak Adam menjawab, Wahai Tuhan, bagaimana hamba
bisa memberi Mu makanan, sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam? Allah
berkata, ‘Apakah kamu tidak menyadari, ketika ada hamba Ku yang meminta makanan
kepadamu, tapi kamu tidak mau memberinya makanan? Apakah kamu tidak mengetahui,
seandainya kamu memberinya makanan niscaya kamu akan mendapatkan itu di sisi
Ku? Allah berkata lagi, “Wahai anak
Adam, Aku meminta minum kepadamu, tapi kamu tidak memberi Ku minuman? Anak Adam
menjawab, Wahai Tuhan, bagaimana hamba bisa memberi Mu minum, sedangkan Engkau
adalah Tuhan semesta alam? Allah berkata, “Salah seorang hamba Ku meminta minum
kepadamu, tapi kamu tidak memberinya minum. Apakah kamu tidak mengetahui,
seandainya kamu memberinya minum niscaya kamu mendapatkan itu di sisi Ku.” (Hadits
Riwayat Muslim). Sekarang sudahkah kita mampu melaksanakan apa apa yang
tertuang di dalam ketentuan hadits riwayat Muslim yang kami kemukakan di atas
ini? Jika sudah berarti kita sedang berusaha untuk membuat Allah SWT tersenyum bangga
kepada diri kita dan jika belum berarti ada sesuatu yang salah dalam diri kita.
Lalu apakah hanya kepada
orang yang sakit, apakah hanya kepada orang kelaparan dan kehausan saja kita
berbuat kebaikan? Berbuat kebaikan tidak hanya pada apa yang dikemukakan di
hadits tersebut di atas, namun masih banyak lagi yang bisa kita lakukan kepada
orang banyak seperti memberi pengajaran dengan menjadi guru tanpa bayaran,
menjadi motivator bagi tumbuh kembangnya bisnis wirausaha, menjadi dokter bagi
keluarga tidak mampu, menjadi sukarelawan bencana alam dan lain sebagainya.
Intinya adalah sudahkah kita mengambil peran masing masing di dalam masyarakat
sehingga masyarakat terbantu atas peran yang kita ambil. Semakin banyak peran
yang diambil oleh setiap anggota masyarakat semakin banyak orang yang akan terbantu. Ayo buktikan diri kita berguna dengan mengambil peran yang sesuai
dengan kemampuan diri kita saat ini juga. Jangan pernah menunda nunda
berbuat kebaikan karena menunda nunda pekerjaan baik berarti kita telah
memberikan kesempatan kepada perampok perampok waktu melaksanakan aksinya
dihadapan di kita sendiri.
Selain
daripada itu, ada dua hal yang harus kita ketahui agar jangan sampai apa yang
telah kita laksanakan menggagalkan Allah SWT tersenyum bangga kepada diri kita
adalah : (1) sibuk mengerjakan perkara perkara yang bersifat sunnah sehingga menyianyikan
perkara perkara yang bersifat wajib (kewajiban). Hal ini dikarenakan ibadah
sunnah baru bisa dikatakan sebagai ibadah sunnah apabila kita telah selesai
melaksanakan ibadah wajib serta ibadah sunnah tidak bisa mengalahkan atau
menggantikan ibadah wajib. Ibadah sunnah bisa dikatakan sebagai penyempurna dari
pelaksanaan ibadah wajib; (2) mengerjakan
amaliah lahir tanpa disertai dengan amaliah bathin (amaliah hati). Hal ini
dikarenakan nikmatnya beribadah terletak dari merasakan hakekat yang terdapat
dibalik ibadah sepanjang tidak melanggar syariat. Selanjutnya jika kehadiran
kita di muka bumi ini bisa membuat Allah SWT tersenyum bangga kepada diri kita
berarti kita sejalan dengan kehendak Allah SWT. Namun apabila kehadiran diri
kita di muka bumi membuat Allah SWT benci dan marah berarti ada yang salah
dalam diri kita.
Namun
demikian, berdasarkan ketentuan surat Fathir (35) ayat 45 yang kami kemukakan berikut
ini: “dan
kalau Sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak
akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun] akan
tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; Maka
apabila datang ajal mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha melihat
(keadaan) hamba-hamba-Nya.” Allah SWT masih memberikan kesempatan bagi
diri kita untuk melaksanakan taubat sehingga Allah SWT masih memberikan
kesempatan ke dua bagi diri kita agar sesuai dengan kehendak Allah SWT, yaitu
Allah SWT tersenyum bangga dengan diri kita.
Untuk
itu jangan pernah memiliki konsep menunda sampai tua baru melakukan kebaikan
karena kita tidak tahu sampai kapan kita hidup di dunia ini? Selama kita masih diberikan kesempatan untuk
berbuat kebaikan, ambil kesempatan itu lalu lakukan kebaikan, atau ambil peran
di masyarakat dan jangan pikirkan ukuran dari kebaikan, lakukan kebaikan
seperti mengalirnya air. Jika kita terlalu banyak berfikir untuk berbuat
kebaikan, kesempatan yang ada bisa terbang melayang karena ulah kita sendiri
yang terlalu banyak berfikir. Berbuat kebaikan memang harus dipikirkan dengan
matang tetapi jangan terlampau dipikirkan karena kesempatan yang kita peroleh
bisa diambil oleh orang lain. Akhirnya timbul penyesalan kenapa hal itu tidak
kita ambil.
Ingat, kesuksesan bukanlah kunci dari
kebahagiaan. Justru kebahagiaan adalah kunci dari kesuksesan. Salah satu kunci kesuksesan adalah sikap
konsisten terhadap keyakinan. Jika konsep ini kita pegang teguh maka pada saat
diri kita melakukan kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan yang ada adalah
berbuat dan berbuat kebaikan. Soal adanya ocehan, adanya omongan, adanya komentar
dari orang orang yang iri dan dari orang orang yang tidak suka dengan apa yang
kita lakukan acuhkan mereka karena kita berbuat bukan karena mereka dan karena tidak
bertanggung jawab kepada mereka. Disinilah
letaknya kita harus memiliki referensi sendiri terhadap kebaikan atau perbuatan
baik yang kita lakukan yaitu ikhlas berbuat karena Allah SWT dalam kerangka
mencari ridha Allah SWT yang dilandasi dengan keimanan kepada Allah SWT.
E.
MAMPU MELINDUNGI DIRI DAN KELUARGANYA
DARI API NERAKA.
Salah satu hikmah yang lain dari
ibadah ikhsan yang dapat kami kemukakan adalah
mampu melindungi dirinya sendiri, istrinya/suaminya, keluarganya, anak
keturunannya, kerabatnya dari api neraka yang sangat ganas sebagaimana
firmanNya berikut ini: “Wahai orang orang yang beriman! Peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat malaikat yang kasar, dank eras, yang tidak durhaka
kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan. (surat At Tahrim (66) ayat 6).” Jika apa yang dikemukakan dalam ayat ini
adalah hikmah dari ibadah ikhsan berarti upaya melindungi diri dan keluarga
dari api neraka bukanlah pekerjaan yang bersifat jangka pendek, atau hanya
dilakukan secara berkala saja yang penting sudah dilakukan. Untuk melindungi
keluarga dari api neraka sangat membutuhkan komitmen, sangat membutuhkan perjuangan, sangat membutuhka
keseriusan, serta sangat membutuhkan rencana dan implementasi dalam jangka
panjang dan juga butuh saling kerjasama di antara anggota keluarga.
Di lain sisi, ada sebuah kondisi yang
paling dikehendaki dan dicita citakan oleh seluruh umat manusia, yaitu bisa
berkumpul dengan keluarga besar di syurga. Namun kondisi ini tidak akan bisa
terlaksana jika kita yang telah menjadi orang tua, apakah menjadi seorang suami
ataukah menjadi seorang istri, jika kita semua tidak mampu memelihara diri,
keluarga, anak keturunan dari api neraka, atau hanya mementingkan diri sendiri
tanpa memperdulikan keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Dan salah satu
bukti bahwa diri kita mampu memelihara diri dan keluarga dari api neraka, yaitu
mampu memberikan nafkah kepada keluarga berupa makanan yang halal lagi baik
(thayyib) yang dibiayai dari penghasilan dan/atau pekerjaan yang juga halal,
sebagaimana ketentuan surat Al Baqarah (2) ayat 168 berikut ini: ““Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (surat Al Baqarah (2) ayat 168).”
Namun apabila yang terjadi adalah kita mencampur penghasilan yang kita peroleh
dengan sesuatu yang haram, atau melakukan pekerjaan yang haram yang
mengakibatkan penghasilan atau nafkah kepada keluarga terkontaminasi dengan
yang haram berarti kita sendirilah yang secara sadar yang menjerumuskan anak,
keluarga dan diri kita sendiri ke dalam api neraka, sebagaimana yang
dikehendaki oleh setan sang laknatullah.
Selain daripada itu, sebagai bukti
diri kita mampu memelihara diri dan keluarga dari api neraka, sudahkah diri kita
memberikan pendidikan akhlak, atau mendidik anak keturunan kita sendiri dengan
mendahulukan pendidikan agama (akhlaq dan akidah) dibandingkan pendidikan umum
yang dimulai sejak anak masih di dalam kandungan sampai mereka siap menjadi
generasi penerus keluarga, sebagaimana lirik lagu kebangsaan kita, “Indonesia
Raya karya “Wage Rudolf Soepratman” yaitu: “Bangunglah
jiwanya bangunah badannya untuk Indonesia Raya”. Jika belum kita lakukan berarti
ada sesuatu yang salah dalam pola pendidikan yang kita lakukan kepada anak
keturunan kita sendiri.
Lalu apakah hanya sampai disini saja
kita memelihara diri dan keluarga dari api neraka? Masih ada bentuk tanggung
jawab diri kita kepada keluarga sendiri, yaitu mampu menjadikan diri kita
sendiri menjadi suri tauladan keluarga secara langsung kepada istri/suami,
kepada anak anak baik laki atau perempuan, kepada menantu laki atau perempuan,
kepada cucu dan anak keturunan, apakah itu pelaksanaan ibadah sehari hari. Juga
tauladan dalam bersikap dan berbuat kepada orang tua dan juga kepada masyarakat
yang ada di lingkungan sekitar rumah. Dan jangan lupa mengajarkan hal hal kecil
tapi bermakna kepada anak anak seperti membiasakan diri untuk berbagi kepada
sesama, berbagi melalui kembalian uang receh dan lain sebagainya.
Dan ada satu hal yang sering
terlupakan yaitu saat kita berdoa untuk kepentingan keluarga, kita sering
membatasi doa yang kita panjatkan untuk kepentingan anak dan cucu semata. Jika
ini yang terjadi maka jangan salahkan anak keturunan setelah cucu menjadi tidak
sesuai dengan cita cita dan harapan orang tua karena ulah kita sendiri yang
tidak mau mendoakan mereka. Untuk itu jika kita berdoa jangan batasi hanya
sampai anak cucu semata, melainkan untuk anak dan keturunanku seterusnya.
Sehingga dengan doa yang kita panjatkan terbukalah jalan untuk anak keturunan
kita sampai dengan hari kiamat kelak serta kesempatan untuk didoakan oleh anak
dan keturunan kita juga terbuka lebar kepada diri kita.
Hal ini menjadi penting kita ketahui karena
keberadaan anak dan keturunan tidak bisa dilepaskan dengan kehormatan yang
dimiliki oleh orang tuanya serta kakek neneknya. Sehingga mereka terikat pula
dengan doa, harapan dan cita cita diri kita selaku orang tua sehingga antara
diri kita dengan anak keturunan kita berada di dalam kesamaan Diinul Islam. Untuk itu jika kita telah tahu diri, maka
sudah sepatutnya kita berperilaku yang tidak mencoreng kehormatan orang tua
& mertua kita saat kita hidup di muka bumi ini. Dan jika sampai kita
memalukan kedua orang tua & mertua kita maka tercoreng pula harkat dan
martabat dari keturunan mereka oleh ulah diri kita sendiri dan akhirnya betapa
kecewa dan malunya mereka akibat ulah diri kita. Namun alangkah bahagia dan
bangganya mereka jika kita mampu menghantarkan anak keturunan kita sesuai
dengan harapan dan cita cita mereka. Semoga diri kita, keluarga kita, anak dan
keturunan kita dapat berkumpul di syurga kelak. Amiin.
F.
MAMPU MENEMUKAN KEKUATAN LUARBIASA
DARI ENERGI KEIMANAN SEHINGGA POTENSI DIRI MENINGKAT.
Hikmah Ikhsan
yang lainnya yang juga paling hakiki adalah mampu menemukan kekuatan yang luar
biasa dari enegeri keimanan yang ada dalam diri. Sehingga dengan adanya energi
keimanan yang meningkat ini mampu pula meningkatkan minat, bakat serta
kemampuan yang tersembunyi dalam diri yang akhirnya kita mampu memahami inilah
potensi diri ini yang sesungguhnya. Akhirnya dengan kemampuan ini kita bisa
menunjukkan kualitas diri melalui ibadah ikhsan. Dan dengan adanya ibadah
ikhsan ini maka pernyataan bahwa hakekat kelahiran setiap manusia adalah
kemampuan meninggalkan jejak kehidupan yang mendalam di muka bumi dapat
terelasir dan semoga sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Kehidupan seorang manusia takkan berarti atau
tidak akan meninggalkan jejak yang kuat serta pengaruh yang besar, kecuali bila
orang tersebut memiliki jiwa yang kuat, akal yang cerdas, tekad yang membaja,
dan kemauan yang tak lekang dikikis waktu, yang di dukung oleh tahu diri, tahu
aturan, dan tahu tujuan akhir, yang mana kesemua baru akan bisa terlaksana jika
di dalam diri ada sesuatu yang luar biasa, yaitu adanya keimanan. Sayangnya,
sebagian besar dari kita tidak tahu dan belum mampu memaksimalkan apa yang kita
miliki tersebut, dalam hal ini adalah iman dan juga potensi yang ada di dalam
diri.
Diri kita memang tidak bisa memilih menjadi
orang yang bersuku bangsa apa, beragama apa, dimana, kapan, warna kulitnya apa
serta dari rahim ibu yang mana. Akan tetapi kita bisa memaksimalkan pemberian
Allah SWT ini melalui apa yang telah ibu ajarkan, yaitu dengan mempergunakan
otak kita sesering mungkin, agar jutaan dendrit yang ada di dalamnya tersambung
satu dengan lainnya. Semakin banyak
dendrit yang tersambung, semakin cerdaslah kita. Cara paling intensif yang bisa
kita lakukan supaya dendrit dendrit itu tersambung adalah dengan belajar,
seperti membaca buku, berdiskusi, mempersepsi keadaan di sekitar kita, terlibat
dalam persoalan yang rumit, atau mencoba mencari sistematika dan jalan
keluarnya. Disinilah pentingnya kita mengetahui dan memahami lebih jelas
siapa manusia itu yang sesungguhnya. Dan tak ada cara lain yang mengetahuinya
selain mengkaji esensi manusia sebagai obyek yang menyeluruh dan mendalam melalui
konsep tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir. Salah satu caranya,
dengan memahami potensi kehidupan yang mempengaruhi hidupnya. Apakah karena
adanya unsur jasmani semata? Apakah karena adanya unsur ruhani semata? Apakah
karena faktor keimanan yang menjadikan kita mampu menghadapi tantangan kehidupan
ini? Pemahaman tentang potensi kehidupan inilah yang akan menentukan pemahaman
selanjutnya tentang apa dan bagaimana seharusnya melakukan suatu aktifitas yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari kekhalifahan
di muka bumi.
Pernahkah kita memperhatikann iklan minuman
coca cola di televisi? Pada umumnya tema dari iklan iklan dari minuman coca
cola adalah tentang optimisme. Coba lihat iklan yang menggambarkan anak anak yang
ingin bermain layang layang, tetapi angin tidak ada yang bertiup. Mereka nampak
putus asa, tetapi setelah minum sebotol coca cola, harap dan semangat mereka
muncul kembali. Menjalani kehidupan saat ini juga harus seperti itu, yaitu: (1) jika menghadapi kesulitan, tidak perlu
bersusah hati atau putus asa; (2) jika kita mampu menjalani kehidupan dengan
bersemangat, maka beban seberat apapun akan terasa ringan; (3) jika kita tak pernah
kehilangan harapan dan selalu optimis, kita akan selalu menemukan jalan keluar
dari suatu masalah. Lalu pantaskah
kita mengeluh? Padahal kita telah dikarunia sepasang lengan yang kuat untuk
mengubah dunia. Layakkah kita berkeluh kesah? Padahal kita telah dianugerahi
kecerdasan yang memungkinkan kita membenahi segala sesuatu. Apakah kita
bermaksud menyianyiakan semua itu? Ambil napas dalam dalam. Tenangkan semua
alam raya yang ada di dalam benak kita. Lalu temukan lagi secercah sinar di
balik awan galaksi dan mulailah langkah baru. Jangan penjarakan diri kita.
Sering kali, ketika kita mau melakukan sesuatu yang positif atau langkah
langkah besar; belum juga mencoba tapi kita sudah berkata dan memvonis tidak
bisa atau tidak mungkin. Padahal, itu semua adalah pikiran pikiran abstrak dari
kita sendiri, yang kalu tidak kita turuti justru membuat kita bisa.
Agar diri kita mampu sesuai dengan kehendak
Allah SWT selaku pemilik dan pencipta dari rencana besar kekhalifahan di muka
bumi ini dan agar diri kita mampu menjadi Abd’ (hamba) yang mampu melaksanakan
segala perintah dan laranganNya yang sesuai dengan kehendak Allah SWT maka kita
diwajibkan memahami adanya sesuatu yang luar biasa yang sangat dibutuhkan oleh
diri kita yaitu iman (keimanan) dan tanpa iman (keimanan) akan sulit bagi diri
kita sukses dalam kehidupan ini. Untuk itulah mari kita pelajari tentang iman (keimanan)
yang di dalamnya terdapat energi untuk meningkatkan potensi diri. Dimana iman
dan potensi diri adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Untuk itu mari
kita bahas tentang iman (keimanan) tersebut. Sebagaimana dikemukakan “Prof.
Dr, Taufiq Yusuf Al Wa’iy” dalam bukunya “Iman Membangkitkan Kekuatan
Terpendam.” sebagaimana berikut ini:
1. Iman (Keimanan) Adalah Sumber
Kekuatan Diri. Setiap manusia pasti terdiri
dari jasmani dan ruhani. Adanya dua hal yang menjadikan diri kita disebut
sebagai manusia tidaklah cukup jika tidak ada faktor keimanan yang ada di
dalamnya. Keimanan yang ada di dalam diri merupakan kekuatan yang tersembunyi yang
harus kita keluarkan dan tampilkan yang pada akhirnya akan mampu menjadikan
diri kita sesuai dengan kehendak Allah SWT. Untuk itu ketahuilah bahwa di dalam
keimanan terdapat kekuatan yang sangat luar biasa, yaitu adanya faktor
keteguhan untuk tetap berada di atas jalan kebenaran yang telah digariskan oleh
Allah SWT sehingga kita mampu melaksanakan perintah dan laranganNya tanpa
merasa terbebani. Apa contohnya? Untuk itu perhatikanlah orang yang berpuasa di
belahan bumi utara saat musim panas tiba, mereka mampu melaksanakan ibadah
puasa selama 20 jam setiap hari dan selama sebulan penuh. Adanya kekuatan iman
yang ada di dalam diri akan membuat segala yang berat dan sulit menjadi mudah,
nikmat berbuah syukur, ujian berbuah sabar, perjuangan melahirkan pengorbanan.
Tidak hanya itu, kekuatan iman/keimanan yang
ada dalam diri mampu melahirkan pembela pembela kebenaran, sebagaimana firman
Allah SWT berikut ini: Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama
yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang
lurus. (surat Az Zukhruf (43) ayat 43). Adanya faktor kekuatan yang
terdapat di dalam keimanan yang ada dalam diri, mampu menjadi kekuatan yang
mewariskan kesabaran untuk menghadapi berbagai macam krisis, ujian, cobaan,
tantangan sampai datangannya kemenangan. Sebagaimana firman Allah SWT berikut
ini: “Hai
orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan
tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah,
supaya kamu beruntung. (surat Ali Imran (3) ayat 200)
Adanya kualitas keimanan dalam diri setiap
manusia yang tidak akan mungkin sama kualitasnya, akan melahirkan perbedaan
kedudukan setiap makhluk di sisi Allah SWT baik dalam kehidupan di dunia dan di
akhirat kelak. Untuk mempertegas adanya perbedaan kualitas keimanan seseorang
yang pada gilirannya akan berbeda pula perbuatan dan ilmu dan pemahaman yang
mereka miliki. Allah SWT berfirman: “dan ingatlah hamba-hanmba Kami: Ibrahim,
Ishaq dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu
yang tinggi. (surat Shaad (38) ayat 45). Dan berdasarkan surat Shaad
(38) ayat 45 di atas dikemukakan bahwa berkualitasnya tingkat keimanan yang
dimiliki oleh Nabi Ibrahim as, Nabi Ishaq as, dan Nabi Yaqub as, menjadikan
mereka memperoleh pujian dari Allah SWT terutama dari sisi perbuatan perbuatan
yang besar skalanya sehingga mampu dikenang oleh generasi yang datang
dikemudian hari dan ilmu yang tinggi dikarenakan kesempurnaan pengetahuan
terhadap kebenaran dan kesempurnaan dalam menjalankannya.
Dan masih berdasarkan surat Shaad (38) ayat 45
di atas, akan didapatkan pengelompokan manusia yang berbeda beda jika ditinjau
dari sisi kualitas keimanannya dan juga dari
kekuatan bashirah yang dimilikinya, yaitu :
a. Bashirah adalah cahaya yang Allah SWT lontarkan
ke dalam hati.
Dengan cahaya tersebut dia melihat hakikat ajaran yang dibawa para Rasul.
Seolah dia menyaksikan dengan mata kepalanya. Dengan demikian dia bisa
mendapatkan manfaat ajaran para rasul tersebut. Menyelisihi para Rasul tersebut
akan merugikan dirinya, sebagaimana dikemukakan oleh “Ruuhul Ma’ani”. Sedangkan berdasarkan “Dr. Khalid bin Utsman As-Sabt” memberikan definisi bashirah yang
mudah untuk dipahami. Beliau mengatakan, “Bashirah adalah suatu perkara yang
(memiliki kemampuan) menyingkap yang dengannya manusia mengenali Rabbnya Allah
Tabaraka wa Ta’ala dengan pengetahuan yang benar. Melalui perkara tersebut
manusia mengetahui jalan yang akan menyampaikan kepada Allah. Jalan tersebut
adalah apa yang telah Allah SWT syariatkan melalui lisan para rasul-Nya.
Dengannya manusia mengetahui tempat kembali mereka.” Sehingga manusia yang memiliki bashirah dan
kekuatan sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa mereka adalah para Nabi
dengan kedudukan yang paling mulia di sisiNya.
b. Kebalikan dari kelompok manusia diatas, atau
mereka yang tidak memiliki bashirah dalam iman mereka, dan juga tidak memiliki
kekuatan untuk merealisasikan kebenaran.
Inilah kelompok manusia dengan jumlah yang paling besar; pandangan mereka hanya
sebatas pandangan mata, semangat yang lemah, dan hati yang sakit. Kehadiran
mereka hanya mempersempit ruang hidup ini dan membuat harga harga kebutuhan
melambung tinggi. Tak ada manfaat dari kebersamaan mereka, kecuali cela dan
kehinaan.
c. Mereka yang memiliki bashirah terhadap petunjuk
dan kebenaran dan mengetahuinya dengan baik, namum mereka lemah dan tidak
memiliki kekuatan untuk merealisasikannya. Mereka juga tidak menyerukannya di hadapan
manusia. Ini adalah kondisi seorang mukmin yang lemah imannya. Padahal mukmin
yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah.
d. Kelompok manusia yang memiliki kekuatan, tekad
dan kemauan besar, tapi memiliki bashirah yang lemah dalam keimanan. Ia tak mampu membedakan antara wali Allah dan
wali syaitan, tapi senantiasa menganggap bahwa semua yang hitam itu adalah
kurma dan yang putih adalah lemak, sebagaimana ia beranggapan bahwa sesuatu
yang bengkak pada tubuh manusia adalah lemak dan mengganggap bahwa obat yang
bermanfaat untuk kesehatan itu adalah racun semata.
Dari keempat kelompok tersebut, tak ada satu
pun yang layak diangkat sebagai pemimpin dalam agama ini, kecuali mereka yang
berada dalam kelompok pertama, sebagaimana firmanNya: dan Kami jadikan di antara mereka
itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka
sabar[1195]. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami. (surat As Sajdah (32)
ayat 24). Maka, barangsiapa yang
memiliki dua unsur kekuatan ini: Bashirah dan tekad dalam dirinya, niscaya ia
akan istiqamah (konsisten dalam komitmen) di atas jalannya menuju Allah SWT. Ia
kerahkan segala kemampuannya, agar semakin kuat menghadapi segala tantangan dan
rintangan melalui pertolongan Allah SWT.
[1195] Yang dimaksud dengan sabar ialah sabar
dalam menegakkan kebenaran.
2. Kekuatan Iman (Keimanan)
Tempatnya Di dalam Hati. Kekuatan adalah kerja hati
dan tak ada sesuatu pun yang dapat menguasai hati seorang manusia setelah Allah
yang menguasai pemiliknya. Sebagaimana burung burung terbang tinggi di angkasa
dengan kepakan dua sayapnya, demikian pula manusia yang terbang menuju
ketinggian menuju Allah SWT dengan tekad dan cita citanya, bebas dari belenggu
yang mengikat tubuhnya sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “Demikianlah
(perintah Allah). dan Barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah[990], Maka
Sesungguhnya itu timbul dari Ketakwaan hati. (surat Al Hajj (22) ayat 32)
[990] Syi'ar Allah Ialah: segala amalan yang
dilakukan dalam rangka ibadat haji dan tempat-tempat mengerjakannya.
Allah SWT berfirman: “Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,
tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah
menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya
kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
(surat Al Hajj (22) ayat 37)”.
Dan Rasulullah SAW pun
bersabda, “Ketaqwaan itu ada di sini (sambil menunjuk dada beliau).”
Berdasarkan ketentuan yan kami kemukakan di
atas, maka orang yang cerdas akan mampu melintasi jalan yang panjang disertai
dengan semangat, kemauan yang kuat, cita cita yang tinggi, tujuan yang murni
dan niat yang ikhlas. Namun, ada juga orang yang malas melintas jalan itu
dengan penuh kelelahan, amal yang sangat sedikit, dan perjalanan yang teramat
berat. Mereka tidak tahu bahwa dengan tekad yang membaja dan cinta yang
mendalam, kesulitan itu dapat disingkirkan dan perjalanan menjadi mudah
dilalui. Melangkah maju menuju Allah SWT hanya dapat dilakukan bila disertai dengan
kemauan yang kuat, kejujuran dan ambisi. Seseorang yang memiliki ambisi dan
kemauan kuat dapat menyusul orang yang terus bekerja tanpa ambisi dan kemauan
yang kuat. Namun, jika ia memiliki ambisi dan kemauan, tentu ia akan lebih maju
karena kedua sifat tersebut; ambisi dan kerja keras. Dan inilah yang disebut
dengan ibadah ikhsan.
3. Hati Akan Hidup Dengan Ilmu
dan Tekad yang Diiringi dengan Keimanan. Lemahnya
semangat, keinginan dan juga kemauan (motivasi) merupakan tanda melemahnya
kehidupan hati seseorang. Ketika hati menyempurnakan
kehidupannya, kemauan, semangat kehendak, dan cintanya pun akan menguat.
Kehendak dan cinta akan selalu mengikuti jiwa yang memerintahkan untuk tunduk
pada kehendak yang dicintainya dan menyelamatkan hati dari ketergelinciran yang
menjadi penghalang antara dirinya dan segala kehendak serta keinginannya.
Lemahnya keinginan dan terputusnya ambisi dapat disebabkan oleh lemahnya jiwa
dan perasaan, atau juga karena adanya hantaman keterpurukan yang menimpa
kehidupan ini. Maka, kekuatan jiwa dan kehendak adalah tanda kekuatan bagi
kehidupan, sebagaimana kelemahannya adalah isyarat kelemahan jiwa dan kehendak.
Tingginya cita cita, kehendak yang jujur dan keinginan untuk mencapai batas
kesempurnaan hidup adalah faktor faktor yang dapat membawa kita meraih
kenikmatan dan kesempurnaan hidup. Semua itu hanya akan dicapai dengan cita
cita dan kehendak yang tinggi, serta cinta yang jujur dan keinginan yang tulus.
Sedangkan mereka yang terpuruk dalam kehidupannya adalah manusia yang juga
terpuruk cita cita dan kehendaknya serta cinta dan keinginan yang lemah. Bahkan
terkadang kehidupan binatang lebih baik daripada kehidupan mereka sebagai
manusia.
4. Adanya Kepuasan Seseorang
Mukmin Yang Bercita Cita Tinggi. Seorang mukmin yang memiliki
keinginan dan cita cita yang tinggi, tidak akan menghasilkan karya yang kecil.
Ia tidak akan puas dengan perkara yang kecil. Ia suka menangani masalah masalah
besar dalam kehidupannya. Mereka yang
memiliki tekad dan cita cita yang tinggi mengetahui dengan baik, bahwa apabila
ia tidak mampu memberi manfaat kepada orang orang yang hidup di dunia ini, ia
tidak berarti apa apa bagi orang lain. Itulah yang membuat dirinya tidak
pernah rela berada di pinggiran sejarah kemanusiaan. Ia harus berada di dalam
salah satu inti kekuatan yang membawa pengaruh dan meninggalkan jejak mendalam
bagi generasi sesudahnya. Pemilik cita cita yang tinggi adalah sekelompok
manusia yang ketika orang lain melihat kemustahilan pada suatu masalah, maka
tekad dan kemauannya semakin tajam dan menguat untuk menaklukkannya. Dengan
taufik dan karunia Allah, ia pun akan menghasilkan apa yang telah dihasilkan oleh mereka yang
memiliki kehendak yang kuat dan cita cita yang tinggi.
Dengan bertawakkal kepada Allah, ia juga
senantiasa berusaha untuk menaklukkan segala kesulitan dan tantangan yang
menghadang langkah kakinya, tanpa harus tergantung kepada siapapun. Orang yang
memiliki cita cita yang tinggi akan berjalan menuju puncak keimanan, tidak
pernah tinggal diam dan tidak pernah berpasrah diri atas kenyataan yang ia
hadapi. Ketahilah bahwa ‘Berpuas diri
dengan apa yang telah diraih adalah wujud kehinaan diri’. “Jadilah seorang lelaki yang tapak kakinya berpijak di atas tanah, namun
obsesi dan cita citanya menggantung tinggi di atas bintang kejora.” Apabila
setiap orang membayangkan dirinya mampu naik ke atas langit biru, maka
keburukannya yang paling besar adalah ketika ia rela berada di bumi. Dan perilaku
paling buruk yang ada dalam diri seseorang adalah kebiasaan bertaklid.
Seseorang yang taklid, jika tekadnya semakin kuat, perilaku itu akan menguat
sehingga ia tidak bersedia diingatkan oleh orang yang dianggap berbeda
dengannya. Sebab, seseorang yang telak
taklid buta akan selalu mengikuti setiap langkah orang yang ia taklid, tanpa
mau mengetahui kemana ia akan dibawa. Untuk itu ketahuilah bahwa Anda saat
ini tengah berada di atas gelanggang kompetisi sementara waktu yang Anda miliki
berputar dengan sangat cepat. Orang yang malas tidak akan mendapatkan apapun
darinya, dan keutamaan yang ada di dalamnya hanya akan diraih dengan
kesungguhan dan kemauan.
5. Kuatnya Tekad dan Cita Cita
Adalah Bukti Kekuatan dari Iman. Besarnya obsesi keimanan akan
membuat seseorang berlari menuju kemuliaan, tanpa bosan dan jemu, serta tidak
berputus asa (adakah manusia yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang
yang dzalim?) Manusia terbaik hanya melakukan karya yang agung dalam kerangka
ibadah ikhsan. Ketinggian cita citanya menyamai sebuah generasi tertentu dan
karyanya dapat dikenang oleh generasi yang datang di kemudian hari. Mereka
adalah logam mulia atau nyala api yang selalu membara yang sulit ditandingi.
Mereka seperti orang orang yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Kalian
akan menemukan sekelompok manusia bagaikan kumpulan seratus unta, yang takkan
ditemukan satu diantaranya sebagai rahilah (lebih unggul dari yang lain),”
(Hadits Riwayat Muslim). Umat ini sesungguhnya, telah merasakan adanya
jejak keimanan dalam diri orang orang jujur dengan kekuatan tekad dan cita
citanya. Kemudian, mereka semakin mendalam jejak keimanan itu dengan cara cara
tertentu, sehingga dapat diberikan kepada pribadi pribadi muslim lainnya
sebagai energi kekuatan dalam menempuh perjalanan kehidupannya. Setelah mereka
menyaksikan bahwa orang orang yang tidak memiliki keimanan pada hakikatnya adalah
manusia yang hilang dalam kehidupannya. Ia bahkan dapat menghancurkannya dan juga
menghancurkan dirinya sendiri. Oleh karena itu, manusia sesuai dengan apa yang
ia yakini.
Seorang pakar pengembangan kepribadian yang
cukup ternama, “Anthony Robinz” berkata, “Sesungguhnya, setiap kita kerap
bertanya apakah iman (keyakinan) itu sebuah idelologi (akidah) ataukah sebuah
ajaran?”.Sesungguhnya, iman itu dapat berbentuk prinsip, ideologi, atau perasaan
terbimbing yang dapat memberikan setiap orang makna kehidupan dan
mengarahkannya. Iman itu sesungguhnya adalah sesuatu yang telah
dipilihkan untuk manusia sejak dahulu dan sebagai aturan untuk memandang dunia
ini. Ia bagaikan pemimpin bagi otak kita. Ketika kita percaya kebenaran sesuatu
melalui cara pandang yang harmonis, maka ia akan menghantarkan sebuah isyarat
tertentu ke dalam otak kita dan memberitahukannya bagaimana merepresentasikan
apa yang terjadi itu.
“Jhon Stewart Mill” juga pernah berkata, “Seseorang yang memiliki keimanan (keyakinan)
dalam dirinya mempuanyai kekuatan ganda yang setara dengan kekuatan 99 orang
yang tidak beriman. Keimanan akan segera membawa instruksi yang Anda terima
menuju sel sel syaraf Anda. Ketika Anda mengimani adanya kebenaran pada
sesuatu, maka pada saat itu Anda akan berada pada sikap mempercayai dengan
sebenar benarnya. Bila Anda mampu berinteraksi dengan keimanan ini secara
efektif, maka kemungkinan besar Anda akan memiliki kekuatan untuk menciptakan
kebaikan dalam kehidupan Anda.” Sepanjang
sejarahnya, agama agama yang ada di muka bumi ini telah meniupkan kekuatan
kepada jutaan pengikutnya. Agama memberi mereka kemampuan untuk melakukan
sesuatu yang selama ini mereka duga takkan sanggup melakukannya. Imanlah yag
membantu kita mengeksplorasi seluruh potensi yang kita miliki yang selama ini
terpendam dalam diri kita. Dialah yang menciptakan dan mengarahkan kemampuan
ini untuk meraih hasil yang kita harapkan.
Iman (keimanan) ibarat peta
atau kompas yang dapat mengarahkan kita menuju tujuan. Dialah yang melahirkan
dalam diri kita kepercayaan untuk sampai pada sasaran yang diinginkan, yaitu
syurga sebagai tujuan akhir. Bila seseorang tidak mampu
menghadirkan keimanan dalam dirinya, niscaya ia akan menjadi sosok manusia yang
tidak berdaya, bagaikan seorang tukang sampan yang tidak memiliki dayung.
Adanya keyakinan yang kuat dan dapat membimbing, akan memberi Anda kemampuan
untuk berbuat kebaikan sebagai cerminan diri dan juga mampu berkarya nyata di
dunia ini. Sebagaimana keimanan akan membantu Anda memandang apa yang Anda inginkan
dan memberi Anda semangat kerja untuk
mencapainya.
Hanya orang orang yang berimanlah yang mengubah
alur sejarah dan mereka pula yang mengubah keyakinan dan perilaku kita. Oleh
karena itu, langkah pertama yang harus kita lakukan ialah mengubah keyakinan
kita, agar dapat meraih kemajuan dan mengadopsi keyakinan orang orang yang
berhasil meraih sukses dalam usaha dan kerja mereka. Dan ketika pengetahuan kita tentang perilaku manusia semakin bertambah,
maka pengetahuan kita tentang pengaruh tidak lazim yang ditimbulkan oleh iman
terhadap kehidupan kita, juga akan bertambah. Akan tetapi, yang jelas,
dalam batasan psikologi, keyakinan keyakinan tersebut berhasil menguasai apa
yang selama ini menjadi kenyataan.Dan belum lama ini, telah dilakukan
penelitian terhadap seorang wanita yang terguncang jiwanya. Hal ini terjadi karena
dia menganggap dirinya terkena penyakit gula. Padahal, kadar gula dalam
darahnya biasa saja. Ketika dia meyakini bahwa dirinya terkena penyakit gula,
secara psikologis, dia merasakan adanya perubahan dalam dirinya, dan merasa
benar benar terkena penyakit tersebut. Anggapan itulah yang menyebabkan
keyakinan seseorang terhadap sesuatu menjadi riil atau nyata. Selain daripada
itu, berdasarkan penelitian “Andrew Will” dapat diketahui bahwa para pecandu
narkoba mendapat pengaruh sangat besar, sesuai dengan apa yang mereka duga
selama ini. Peneliti ini berhasil menenangkan salah seorang pecandu dengan cara
memberikan vitamin, dan yang lain merasakan kegelisahan, ketika mereka
diberikan paraftiorit. Pada akhir penjelasannya, Dokter Will berkata, “Sihir
narkotika itu sesungguhnya, terletak dalam otak orang yang mengkonsumsinya dan
tidak tersimpan dalam obat obatan itu.”
Dalam kondisi seperti ini, iman merupakan satu
satunya unsur yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap setiap orang yang
memilikinya. Dengan segala kekuatan yang bersumber dari keimanan, tidak ada
satu kekuatan pun yang mampu memberikan hasil dari proses yang serupa. Iman adalah situasi jiwa, atau representasi
internal yang menentukan perilaku setiap manusia. Kita juga dapat mengatakan
bahwa iman menyebabkan lahirnya kekuatan untuk melakukan sesuatu yang tidak
mungkin menjadi mungkin (nyata). Iman adalah ketika Anda yakin bahwa Anda
akan meraih sukses pada satu bidang tertentu,
atau ketika Anda yakin mampu merealisasikan sesuatu, maka Anda akan
meraih dan mampu mewujudkannya. Selain daripada itu, iman juga dapat menjadi
pendorong munculnya ketidakberdayaan, kegagalan, dan ketidakmampuan mencapai
tujuan yang dikehendaki, atau menampakkan gambaran kelemahan kita, yang tidak
dapat ditaklukkan, karena sangat kuat. Jika Anda yakin bahwa Anda mampu meraih
sukses, niscaya Anda akan memiliki kemampuan untuk merealisasikannya, dan juka
Anda yakin bahwa Anda akan gagal, maka pesan ini pun akan membawa Anda kepada
kegagalan.
Kesalahan terbesar yang dilakukan manusia dalam
memahami keimanan adalah keyakinan bahwa iman hanyalah kumpulan pemahaman dan
pemikiran yang kaku, tidak terkait dengan amal, tindakan, dan aktivitas.
Pemahaman seperti ini tentu saja bertolak belakang dengan hakekat Islam.
Padahal, iman adalah pintu yang mengantarkan Anda pada keunggulan, karena iman
takkan mati, walau berhubungan dengan sesuatu yang kaku dan beku.Iman dapat
menakar kadar kemampuan yang dapat kita manfaatkan. Imanlah yang membuat
pikiran kita terus bergerak atau menghentikannya. “Sesungguhnya, orang orang yang ingin mencapai sesuatu, maka mereka
melakukan itu dengan keimanan yang memberinya kekuatan untuk mencapainya.”
(Virr Gill). Sekarang bertanyalah
kepada diri sendiri, siapakah yang membutuhkan keimanan? Jika kita yang
membutuhkan keimanan maka diri kita sendirilah yang harus berusaha dengan keras
untuk memperolehnya.
6. Sumber Sumber Yang
Menciptakan Keberhasilan atau Kegagalan (Kebaikan atau Keburukan). Berikut ini akan kami kemukakan beberapa sumber
sumber atau sebab yang menciptakan keberhasilan atau kegagalan seseorang di
dalam menggapai tekad keimanan yang sudah ada dihadapan dirinya sendiri, yaitu:
a. Sumber pertama adalah Lingkungan. Lingkungan merupakan tempat atau lingkungan
sosial dimana lingkaran kegagalan berputar di dalamnya dan melahirkan
kegagalan, atau kesuksesan yang berputar di dalamnya dan melahirkan kesuksesan
yang tanpa henti. Keterpurukan dan kegagalan bukanlah dua sumber kehinaaan yang
hakiki dalam kehidupan orang orang miskin dan fakir, karena sebagian orang
dapat menaklukkannya. Mimpi buruk yang sesungguhnya, terletak pada kemampuan
lingkungan mempengaruhi mimpi dan keyakinan Anda. Apabila yang Anda saksikan di
tengah lingkungan adalah kegagalan dan keterpurukan, maka akan sulit bagi Anda
untuk menciptakan dalam diri Anda sebuah eksperimen internal yang dapat membawa
Anda kepada keberhasilan. Sebab, mencontoh atau meniru merupakan aktifitas yang
kita lakukan sepanjang waktu. Namun apabila Anda tumbuh dan berkembang di
tengah lingkungan yang mengarahkan Anda pada kesuksesan, maka akan menjadi
mudah bagi Anda meniru jejak kesuksesan dan keberhasilan itu. Akan tetapi bila
Anda tumbuh dan berkembang di tengah lingkungan yang sarat dengan
ketakberdayaan, konsisi ini akan membentuk kesan khusus dalam diri Anda, atas
apa yang seharusnya Anda dapat lakukan.
b. Sumber kedua adalah adanya peristiwa besar. Bagi sebagian orang, sebuah peristiwa dapat
mengubah sikap dan cara pandang mereka terhadap dunia ini, termasuk kepada diri
kita sendiri. Selain itu, sebagian besar dari kita mengalami banyak peristiwa
yang takkan mungkin kita lupakan selama kita hidup. Ada satu pengalaman yang
mempunyai efek sangat besar terhadap diri kita dan melekat kuat dalam ingatan.
Pengalaman seperti inilah yang membentuk keyakinan sehingga mampu mengubah
kehidupan kita menjadi lebih baik lagi dari waktu ke waktu.
c. Sumber ketiga adalah pengetahuan. Pengetahuan merupakan bekal terbaik yang dapat
digunakan untuk menghancurkan rantai yang membelenggu lingkungan kita, dan yang
menghalangi tumbuhnya kemampuan serta potensi diri seseorang. Walaupun
pengetahuan yang dapat diambil dari sekitar Anda kurang dan tidak berkualitas,
tetapi dengan membaca hasil karya dan pengalaman sukses orang lain, Anda akan
mampu menumbuhkan keyakinan dalam diri, yang akan mengantarkan Anda pada
kesuksesan. Ajaran Islam senantiasa memotivasi kita untuk menuntut ilmu dan
menjadikannya sebagai setiap kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah, serta
menjadikannya sebagai jalan menuju syurga. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa
yang pergi menuntut ilmu, niscaya Allah memudahkan baginya jalan menuju syurga”.
Dan ingat, “ketika engkau membaca
sesuatu, engkau akan mendapatkan sesuatu yang baru.” Dan juga “Makanan bisa saja engkau tinggalkan, tapi
jangan biarkan kesempatan membaca itu berlalu darimu”.
Dengan demikian, berusahalan agar Anda selalu
memberi gizi yang cukup bagi akal Anda melalui proses membaca yang bukan
sekedar hanya membaca secara tersurat saja, akan tetapi kita harus mampu
mengetahui apa yang tersirat dan yang tersembunyi dari apa apa yang kita baca
lalu kita melaksanakan apa apa yan telah kita pelajari tersebut. “Ibnu Qayyim
Al Jauziyah” berkata, “Engkau takkan
merasakan kebahagiaan dalam menuntut ilmu, kecuali dengan pengorbananmu yang
tulus, kejujuranmu dalam menuntutnya, dan niatmu yang ikhlas.” Barangsiapa
yang bercita cita ingin menciptakan karya nyata yang besar lagi berumur panjang
mampu dinikmati oleh generasi yang dapat dikemudian hari, maka ia harus
mendukungnya dengan rasa cinta terhadap cara yang diajarkan oleh Agama ini,
yaitu kebahagiaan. Walaupun awalnya jalan yang dilalui tidak pernah lepas dari
rintangan, tantangan, gangguan dan permusuhan. Ayo segera berbuat sekarang juga
sebelum semuanya berakhir. Jangan pernah menunggu untuk berkarya nyata karena
waktu tidak menunggu diri kita untuk berbuat dan berkarya nyata.
d. Sumber keempat adalah pengalaman. Pengalaman bukanlah guru yang terbaik bagi
kehidupan kita, akan tetapi belajar dari pengalamanlah yang mampu menjadikan
kita jauh lebih baik dari waktu ke waktu. Hasil
dari belajar dari pengalaman yang kita peroleh dalam kehidupan, mungkin akan
dapat membantu merealisasikan tujuan masa depan yang kita raih. Jalan yang
dapat membantu Anda menumbuhkan keyakinan terhadap kemampuan sendiri untuk
melakukan sesuatu. Hanya dengan mencoba melakukan hat itu satu kali. Apabila
pada kali pertama Anda mampu meraih kesuksesan, akan lebih mudah bagi Anda
untuk menumbuhkan keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri yang akan
direalisasikan pada kesempatan lain.
Selanjutnya, untuk lebih mempertegas lagi
tentang sumber sumber atau sebab yang menciptakan keberhasilan atau kegagalan
seseorang, seperti yang telah kami kemukakan di atas. Berikut ini akan kami
kemukakan tentang beberapa gembok (penutup) atau penghalang dan juga penghambat
yang dapat menghancurkan kemampuan diri
(potensi besar) yang ada di dalam diri kita, terutama ditinjau dari aspek
psikologi, yaitu:
(1) . Gembok Pertama, Rendahnya Pemahaman Diri
(Depresiasi Diri). Untuk memudahkan pemahaman
tentang rendahnya pemahaman diri (depresiasi diri), ada sebuah kisah fabel tentang dua ekor katak
yang jatuh dalam sebuah kaleng es krim. Sisi sisi kaleng itu mengkilap dan
curam dan krimnya begitu dalam serta dingin. “Aduh! Oh, bagaimana ini? Kata
katak yang pertama. “Ini sudah takdir, tidak ada pertolongan. Selamat tinggal
sahabatku, selamat tinggal dunia yang menyedihkan,” ujarnya sambil menangis dan
mengeluh. Akhirnya katak yang pertama tenggelam. Sementara katak yang kedua,
yang jatuh di kaleng es krim terus mengayuhkan kakinya untuk berenang. Beberapa
kali ia diam sejenak untuk menyeka wajah dan mengeringkan matanya. Setelah itu,
tanpa mengeluh, dia berenang kembali. Satu sampai dua jam dia terus mengayuh,
menendang dan berenang. Tidak sekalipun dia berhenti untuk mengeluh Akhirnya,
es krim dalam kaleng lambat laut mulai mencair, berubah seperti mentega dan
memberi kesempatan bagi katak kedua untuk melompat keluar dari kaleng. Katak
kedua, selamat!
Pelajaran yang bisa kita ambil dari fabel ini
adalah bagaimana kedua katak tersebut memilih cara pandang yang berbeda
terhadap kesulitan yang sama. Hal yang samapun terjadi dengan diri kita, ketika
kita mengapresiasi potensi diri dengan positif, maka kita akan mampu menghadapi
segala rintangan dengan hasil akhir yang lebih baik. Di lain sisi, paradigma
adalah cara kita melihat (mempersepsi, mengerti, dan menafsirkan) sesuatu,
apakah itu dunia, apakah itu akhirat. Cara pandang ini sangat menentukan sikap
atau perilaku dan perasaan.
Ketika melihat dengan cara yang berbeda, maka
kita akan berfikir dengan cara yang berbeda, merasa dengan cara berbeda, dan
berperilaku dengan cara berbeda pula. Allah SWT berfirman: “Maka tinggalkanlah (Muhammad)
orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan dia hanya mengingini kehidupan
dunia. Itulah kadar ilmu mereka. Sungguh, Tuhanmu, Dia lebih mengetahui siapa
yang tersesat dari jalanNya dan Dia pula yang lebih mengetahui siapa yang
mendapat petunjuk. (surat An Najm (53) ayat 29, 30)
Sebagai mana telah kita ketahui bersama,
seseorang melakukan suatu perbuatan atau tindakan selalu didasari oleh
pemahaman yang dimilikinya. Semakin baik dan berkualitas pemahaman seseorang
terhadap sesuatu hal maka semakin baik orang tersebut melakukan sebuah
tindakan. Akan tetapi semakin rendah tingkat pemahaman seseorang terhadap
sesuatu, maka semakin rendah pula kualitas yang dikerjakannya. Setiap orang akan menanggapi setiap hal dan
peristiwa sesuai dengan sudut pandangnya masing masing. Dan setiap sudah
pandang pastilah berbedaq satu sama lainnya. Jika engkau memahami hakekat ini,
maka engkau tidak akan merasa kecewa dengan seseorang. Setiap manusia haruslah
mencari sisi yang baik dari setiap kejadian. Janganlah lupa kala terkadang
sesuatu kejadian yang terlihat jelek bagi kita, namun dalam alam ghaib ia
adalah kebaikan yang sesungguhnya.Cara pandang kita melihat masalah
merupakan masalah itu sendiri, Anda punya kebebasan untuk memilih sudut
pandang, karena sudut pandang kita akan menentukan keputusan dan tindakan kita.
Lantas, apa yang mempengaruhi cara pandang?
Cara pandang sangat dipengaruhi oleh informasi yang selama ini kita tahu
(know), keyakinan (believe) yang mendidik kita, dan sikap (attitude) yang
mengkristal dalam diri kita. Jika selama ini informasi yang masuk ke dalam
pikiran adalah hal hal yang sifatnya memotivasi diri, maka kita cenderung
mengambil keputusan terhadap semua permasalahan yang terjadi sebagai kesempatan
untuk memperkuat mental kita, demikian sebaliknya. Oleh karena itu, mulai saat
ini juga, mari kita kembangkan optimisme untuk memahami hakikat hidup,
membangun keluarga, membangun perusahaan, dan membangun masyarakat, bangsa dan
negara, melalui hal hal sebagai berikut: (a) Optimisme yang sesungguhnya adalah menyadari masalah serta mengenali
pemecahannya; (b) Mengetahui kesulitan dan yakin bahwa kesulitan
itu dapat di atasi; (c) Melihat yang negatif tetapi menekankan yang positif; (d) Menghadapi yang terburuk, namun mengharapkan yang terbaik; (e) Mempunyai alasan untuk menggerutu tetapi
memilih untuk tersenyum. Ingat, tersenyum itu hanya butuh 12 otot sementara
cemberut berat bisa sampai 74 otot.
(2) Gembok
Kedua, Dalih Usia. Tanpa kita sadari, kebanyakan
dari diri kita sering kali menggunakan dalih usia sebagai alasan untuk tidak
meraih sukses, untuk tidak bisa berbuat baik bagi masyarakat banyak. Padahal
sesuatu yang sejatinya kita bisa dan mampu melakukannya. Hasilnya, dalih usia
tua ini kerap menjadi gembok bagi potensi diri untuk meraih kebahagian hidup.
Yang tua berdalah, ‘Aduh, saya sudah tua
nih, mana bisa berkarya nyata? Sementara yang muda berdalih, “sayakan masih muda, belum banyak
pengalaman.”. Kalau usia tua menjadi dalih bagi diri kita untuk berhenti
berkarya nyata, maka tidak akan pernah ada yang namanya Colonel Sanders, sang
pendiri KFC atau kita tidak bisa melihat secara nyata seorang Ibu Mooryati
Soedibyo yang mampu menyelesaikan pendidikan strata 3 nya (doktoralnya) di usia
80 tahun. Apalagi Allah SWT melalui surat Al Hasyr (59) ayat 18 berikut ini: “Wahai
orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan
apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada
Allah. Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (surat Al
Hasyr (59) ayat 18).” sudah mengingatkan diri kita untuk berbuat untuk
kepentingan hari esok tanpa memandang usia.
Lalu, apakah Colonel Sanders, apakah Ibu
Mooryati Soedibyo, atau apakah hafidz hafids yang berumur di bawah sepuluh
tahun memakai dalih usia dalam meraih prestasi? Mereka tidak pernah menjadikan
usia sebagai dalih untuk memenjarakan diri mereka. Agar diri kita bisa membuka
gembok mental dalih usia, kuncinya adalah: (1) Muda atau tua bukan ukuran berprestasinya seseorang. Usia tidak relevan
dan signifikan untuk disandingkan dengan prestasi. Ketiak kita merasa tua
(karena hitungan lamanya hidup di dunia), maka cobalah berpikir, “sya masih
sanggup dan saya masih kuat”; (2) Pandanglah sisi usia yang masih ada sebagai
kesempatan untuk berprestasi sebelum Tuhan memanggil, maka kita masih memiliki
peluang besar untuk berkarya nyata. Jadikan waktu sebagai investasi untuk
menghasilkan kualitas hidup dan kehidupan yang terus membaik untuk kepentingan
masa depan kita di akhirat kelak.
(3) Gembok
Ketiga, Dalih Kesehatan. Saat kita hidup, kita sering
mendengar keluhan seperti, “saya merasa tidak enak badan; ada yang tidak beres dengan diri saya;
kesehatan saya buruk; saya terlahir cacat fisik, atau bahkan ada ungkapan,
“saya tinggal menunggu saat kematian karena penyakit yang tidak kunjung
sembuh.” Jika buruknya kesehatan dan kecacatan fisik menjadi penghalang untuk
berkarya nyata sebagai bentuk ibadah ikhsan. Maka kita akan menerima sakit dan
cacat sebagai gembo penjara bagi potensi diri yang telah diberikan oleh Allah SWT
kepada kita. Lalu bagaimana dengan orang orang seperti: (1) Patria Serang, yang melukis dengan kaki
kirinya, karena tidak memiliki tangan; (2) H Ottotake, seorang penulis dan pengusaha asal jepan yang tidak
memiliki kaki dan tangan sejak kecil; (3) Stevie Wonder dan masih banyak lagi teman teman yang mengalami
kebutaan, tetapi tidak buta prestasi. Apakah mereka mereka memakai dalih
kesehatan? Jawabannya adalah tidak. Untuk itu, yang harus kita lakukan untuk
membuka gembok dalih kesehatan adalah: (1) jangan
berbicara tentang kesehatan atau bentuk fisik kita; (2) jangan mengkhawatirkan kesehatan atau
keberadaan fisik kita dengan berlebih lebihan; (3) bersyukurlah secara tulus bahwa kesehatan dan fisik yang kita punya
adalah baik sebagaimana adanya.
(4) Gembok Keempat,
Dalih Kepandaian. Kebanyakan diri kita membuat
dua kesalahan dasar sehubungan dengan tingkat kepandaian (intelegensi/iq)
yaitu: (1) meremehkan kekuatan otak kita;
(2) kita terlalu menganggap hebat
kekuatan otak orang lain. Adanya dua buah kesalahan ini, banyak orang yang
sering merendahkan nilai diri mereka sendiri. Mereka gagal menghadapi situasi
yang menantang karena merasa bahwa untuk itu diperlukan otak yang cerdas,
padahal sebenarnya dia bisa mengatasinya. Namun
karena dalih intelegensi, ia justru membuat dirinya terpenjara oleh gembok
mental hingga menjadikannya kalah sebelum berperang. Padahal sebenarnya,
yang penting bukanlah berapa tinggi tingkat IQ yang kita miliki, tetapi
bagaimana kita menggunakan apa yang miliki dibandingkan dengan orang yang
memiliki IQ yang tinggi tetapi menganggur. Ada tiga kunci untuk membuka gembok
dalih intelegensi (kepandaian), yaitu: (1) jangan
pernah meremehkan intelegensi Anda sendiri dan menganggap terlalu tinggi
intelegensi orang lain. Berkonsentasilah pada apa yang Anda miliki. Temukan
bakat unggul Anda, kelola potensi otak yang Anda punya, dan jangan khawatir
mengenai hasil test IQ Anda; (2) Ingatkan
diri Anda sesering mungkin, “Sikap saya lebih penting daripada intelegensi
saya”.: (3) ingat, bahwa kemampuan
berpikir jauh lebih bernilai daripada kemampuan mengingat fakta. Gunakan
pikiran Anda untuk menciptakan dan mengembangkan gagasan, serta mencari cara
cara baru yang lebih produktif daripa hanya menghafal.
(5) Gembok
Kelima, Dalih Nasib. Berdasarkan ketentuan surat
Ar Ra’d (13) ayat 11 berikut ini: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan
suatu kaum sebelum mereka mengubah
keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan suatu kaum maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak
ada pelindung bagi mereka selain Dia. (surat Ar Ra’d (13) ayat 11).” Allah SWT tidak akan pernah menolong atau
merubah suatu keadaan yang dialami oleh umatNya sampai umatNya sendiri mau
melakukan upaya perubahan yang ada di dalam diri mereka sendiri. Jika sifat malas
tetap ada di dalam diri, maka sepanjang malas tidak bisa kita rubah menjadi
rajin, maka sepanjang itu pula Allah SWT tidak akan menolong diri kita. Jika
kita tetap masih pelit kepada sesama, maka sepanjang tidak mau berbagi kepada
sesama masih tetap bercokol dalam diri, sepanjang itu pula pertolongan Allah
SWT tidak akan pernah diberikan kepada kita.Untuk menyikapi perubahan nasib,
ketahuilah Allah SWT bahwa dalam kondisi pasif sehingga menunggu apa yang kita
lakukan. Akan tetapi setelah diri kita aktif meminta, memohon, mengadakan
perubahan atas apa apa yang ada pada diri kita, maka berlakulah ketentuan dalam
surat Ar Ra’d (13) ayat 11 di atas.
Adapun kunci pembuka gembok (penghalang) dari
dalih nasib, dapat kami kemukakan ada empat M, yaitu: (a) Jangan gagal Melihat.Tidak
sedikit dari kita yang tidak mampu melihat peluang dan kesempatan, sehingga
peluang dan kesempatan berlalu begitu saja. Ini yang disebut dengan gagal
melihat; (b) Jangan gagal Melakukan. Dalam perjalanannya, banyak orang yang
berhasil melihat peluang dan kesempatan, tetapi tidak memiliki semangat untuk
mengambil dan melalukan tindakan nyata. Ini yang disebut dengan gagal
melakukan; (c) Jangan gagal Menyelesaikan.Bisa jadi mereka sudah melakukan,
tetapi kegagalan membuat mereka berhenti, frustasi dan tidak mampu
menyelesaikan; (d) Jangan gagal Mensyukuri. Apa yang kita terima saat ini patut
disyukuri, dinikmati, dan menjadi pemicu kita untuk melalukan perbaikan terus
menerus.
Sebagai Abd’(hamba) yang sekaligus khalifah di
muka bumi, ketahuilah bahwa “Balon udara terbang ke udara bukan
dikarenakan warna dan bentuk dari balon itu. Terbang tingginya balon tidak ada
hubungannya dengan warna balon ataupun bentuk dari balon. Kemampuan balon
terbang sangat tergantung pada seberapa berkualitas isi dari gas yang ada di
dalam balon. Semakin berkualitas gas yang ada di dalam balon maka semakin
tinggi balon mampu terbang. Hal yang samapun berlaku pada diri manusia. Manusia
tidak dinilai dari warna kulitnya. Manusia tidak dinilai dari bentuk dan penampilannya.
Manusia dinilai dari seberapa tinggi dan berkualitas keimanan dan ketakwaaan
yang ada di dalam dirinya dan yang kemudian tercermin di dalam perbuatannya.
Ingat, Allah SWT memiliki parameter (tolak ukur) tersendiri dalam menilai
keberhasilan khalifahNya. Allah SWT tidak pernah menilai seseorang dari
penampilan phisiknya apalagi menilai khalifahNya berdasarkan warna kulitnya.
Adanya faktor keimanan dalam diri (dalam
ruh/ruhani yang fitrah) menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah tidak membatasi
kemampuan seseorang atau tidak ada batasan potensi diri seseorang untuk
mencapai sesuatu yang tertinggi dalam kehidupan. Namun kitalah yang
menjadikannya rendah dikarenakan kita sendiri tidak mengetahui serta tidak
mampu memanfaatkan potensi keimanan yang ada di dalam diri. Semoga hal ini
tidak terjadi pada diri kita. Allah SWT berfirman: Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang
telah diusahakannya. Dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan
kepadanya. (surat An Najm (53) ayat 39, 40). Ingat, Allah SWT memiliki
CCTV system yang paling canggih yang dilaksanakan oleh Malaikat yang memiliki
tugas untuk merekam segala perbuatan manusia dan siap memutar ulang atas apa
apa yang telah kita perbuat kelak di hari berhisab. Lalu bisakah kita menghindarkan
diri dari ini semua! Ayo segera lakukan perubahan dengan meningkatkan keimanan
melalui program hijrah, terutama hijrah maknawiyah, sekarang juga. Jangan tunda
tunda lagi sebelum semuanya berakhir dan menjadi penyesalan.
Sebagai peringatan kepada orang-orang
yang beriman agar tidak terbujuk oleh rayuan dari sindikat iblis/syaitan yang
licin dan menghanyutkan itu. Sekarang sudahkah diri kita menjadi orang yang
beriman dan bertawakkal kepada Allah SWT sehingga kita bisa mengalahkan ahwa
(hawa nafsu) dan juga syaitan? Semoga diri kita mampu menjadi musuh-musuh
syaitan, ingat menjadi musuh-musuh ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan, bukan
menjadikan diri ini teman-teman ahwa (hawa nafsu) dan syaitan. Sekarang
kesemuanya tergantung kepada diri kita, apakah mau menerima hal itu semua
ataukah tidak mau mematuhi atas apa-apa yang diperintahkan Allah SWT?
Jika pilihan yang kita ambil adalah tidak mau mematuhi apa-apa yang dikehendaki
oleh Allah SWT yang pasti Allah SWT tidak akan pernah merasa rugi dengan
apa yang kita pilih. Namun demikian, jika sampai pilihan itu yang akan kita
ambil, tolong perhatikan, tolong pertimbangkan dengan masak-masak sebelum nasi
menjadi bubur, yaitu apa yang dinamakan dengan ancaman Allah SWT. Timbul
pertanyaan, seperti apakah ancaman Allah SWT itu? Berikut ini akan kami
kemukakan beberapa bentuk ancaman Allah SWT yang siap digelontorkan oleh Allah
SWT kepada setiap manusia yang di dalam dirinya terdapat dampak sistemik dari
pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan syaitan serta ketidakseriusan manusia
melaksanakan perintah dan larangan Allah SWT, yaitu:
a. Allah SWT akan menutup pintu hati
manusia sehingga ia tidak memiliki apa yang dinamakan dengan perasaaan yang
berarti Allah SWT telah memutuskan hubungan dengan diri kita akibat dari kita
sendiri memilih jalan keburukan. Allah SWT berfirman: “dan mereka berkata: "Hati
Kami tertutup". tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena
keingkaran mereka; Maka sedikit sekali mereka yang beriman. (surat Al Baqarah
(2) ayat 88). Jika kondisi ini yang telah kita ambil maka jangan pernah
berharap kita akan memperolah manfaat yang terdapat di jalan kebenaran dan juga
jangan pernah berharap untuk menjadi penghuni Syurga. Hal yang pasti adalah
kita akan selalu berada di dalam kehendak Ahawa dan Syaitan.
b. Allah SWT akan memberikan azab atau
hukuman pada saat kita hidup di dunia dan/atau selama hayat masih di kandung
badan, berupa ketidaktenangan hidup, berupa resah dan gelisah, berupa
ketakutan, berupa kesusahan usaha, berupa susahnya memperoleh pertolongan
manusia, selalu dihantui dengan rasa gamang atau berupa ketakutan yang selalu
menghantui diri kita, pikiran menjadi tertutup, susah menerima masukan dari
orang lain, termasuk di dalamnya diperbudak oleh harta, diberikannya anak yang
tidak berbakti kepada orang tua serta kepahitan hidup menjadi makanan
sehari-hari. Allah SWT berfirman: “dan Demikianlah Kami jadikan sebahagian
orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan
apa yang mereka usahakan. (surat Al An'am (6) ayat 129)
c. Allah SWT akan mengazab, akan
memberikan penghargaan kepada manusia-manusia yang berjalan di jalan keburukan
dengan azab yang pedih, serta akan dimasukkan ke dalam Neraka Jahannam untuk
menjalani hidup bersama dengan syaitan di kampung kebinasaan dan kesengsaraan.
Allah SWT berfirman: “dan berkata orang-orang yang masuk
terdahulu di antara mereka kepada orang-orang yang masuk kemudian: "Kamu
tidak mempunyai kelebihan sedikitpun atas Kami, Maka rasakanlah siksaan karena
perbuatan yang telah kamu lakukan". (surat Al A'raaf (7) ayat 39)
Itulah 3(tiga) buah ancaman yang siap
diberikan kepada diri kita jika kita keluar dari kehendak Allah SWT. Ingat,
ancaman yang Allah SWT ancamkan kepada diri kita pasti berlaku di kehidupan
dunia ini dan akan dibuktikan dengan nyata pada waktunya di akhirat kelak. Untuk
itu jangan pernah menganggap apa apa yang telah dikemukakan oleh Allah SWT
terutama ancaman tidak akan dilaksanakanNya, semuanya pasti terjadi dan
semuanya nyata tanpa ada yang ditutup tutupi. Jangan sampai kita menyesal di kemudian
hari akibat ulah diri kita sendiri.
G. MAMPU
MENITI JALAN IKHLAS YANG DILANDASI NIAT YANG SUCI.
Hikmah Ikhsan
yang lainnya yang juga paling hakiki adalah mampu meniti jalan ikhlas yang
dilandasi dengan niat yang suci. Hal ini
dimungkinkan terjadi karena ia mampu
meniti jalan bukan karena siapa siapa melainkan hanya karena Allah SWT semata.
Ikhlas tidak akan terealisasi dalam amal,
kecuali didukung oleh dua unsur pokok:
Pertama, menghadirkan niat di dalam
beramal tersebut, karena setiap amal itu tergantung niatnya. Orang yang
mengerjakan suatu amal tanpa disertai niat, yang baik atau buruk, ia tidak akan
masuk golongan orang yang ikhlas;
Kedua,
memurnikan niat dari semua motif yang bersifat pribadi atau duniawi, sehingga
menjadi benar benar ikhlas karena Allah ta’ala. Dan agar diri kita mampu mempertahankan
keikhlasan yang sudah didukung oleh niat yang suci serta mampu bertambah
kualitasnya dari waktu ke waktu, berikut ini akan mengajak jamaah sekalian untuk
merenungi pernyataan dari “Albert
Einstein”, berikut ini: “Dari bahan yang sama dan
dengan cara yang sama, kita bisa menghasilkan sesuatu yang berbeda”. Pernyataan dari “Albert Einstein” ini bukanlah sebuah isapan jempol, akan tetapi
sebuah kenyataan yang tidak bisa kita bisa sembunyikan.
Adanya rumus ini akan menghasilkan adanya
perbedaan perbedaan yang paling mendasar antar satu orang dengan orang lainnya
sehingga terlihatlah kualitas dari diri manusia. Adapun yang membuat hasil
akhir dari sesuatu pekerjaan, atau suatu ibadah, atau pelaksanaan perintah dan
larangan Allah SWT bukan semata mata karena “bahan yang sama dan dengan cara
yang sama” melainkan ada faktor lain yang tidak kentara yang mengakibatkan
hasil akhirnya berbeda. Adapun faktor faktor yang memegang peranan sangat
penting itu adalah:
1.
Keikhlasan seseorang di dalam melaksanakan
pekerjaan, atau ibadah tertentu.
2.
Niat yang melatarbelakangi seseorang untuk
berbuat sesuatu, melaksanakan sesuatu atau melaksanakan ibadah tertentu.
3.
Ilmu dan pemahaman yang dimiliki seseorang akan
mempengaruhi kemampuan seseorang terhadap sesuatu hal, katakan ibadah, sehingga
setiap orang akan melakukan ibadah sesuai dengan pemahaman yang dimilikinya.
Semakin baik pemahamannya semakin baik ibadahnya, demikian pula sebaliknya.
4.
Pengamalan seseorang terhadap pemahaman yang
dimilikinya menjadikan seseorang memiliki pengalaman dan juga peningkatan
penghayatan seseorang terhadap apa yang mereka kerjakan atau ibadah yang mereka
laksanakan.
5.
Daya juang seseorang untuk melakukan sesuatu
pekerjaan atau suatu ibadah. Atau kesungguhan di dalam melaksanakan suatu
pekerjaan atau suatu ibadah akan menjadi pembeda kualitas antar satu orang
dengan orang lainnya yang pada akhirnya akan menghasilkan hasil akhir yang
berbeda.
6.
Seni (art) di dalam melakukan suatu pekerjaan
atau suatu ibadah juga akan sangat mempengaruhi hasil akhir dari suatu
pekerjaan dikarenakan masing masing orang memiliki latar belakang kemampuan yang
berbeda beda.
Enam hal yang kami kemukakan di atas, merupakan
persoalan yang paling hakiki yang dihadapi oleh setiap orang karena dari
sinilah asal muasal kenapa hasil dari suatu pekerjaan, atau suatu ibadah tidak
menghasilkan sesuatu yang sama atau tidak sesuai dengan yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT. Hal yang harus kita pahami dengan baik dan benar
adalah setiap perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT pasti untuk
kemaslahatan diri kita. Namun berapa banyak orang yang telah melaksanakan
perintah namun hasilnya diluar kehendak Allah SWT. Padahal kita telah tahu
bahwa perintah Allah SWT nya tidak
pernah salah, namun kitalah yang salah di dalam melaksanakan perintah Allah SWT
dimaksud. Dan yang paling hakiki adalah yang harus kita perbaiki terlebih
dahulu adalah enam hal diatas barulah kita bisa sesuai dengan kehendak Allah
SWT
Bagi orang orang yang telah mampu menjadikan ibadah
ikhsan sebagai cerminan bagi dirinya maka ke enam hal di atas bukanlah sesuatu
yang menjadi persoalan baginya karena ia telah mampu melewati masa masa itu
dalam hidupnya. Keikhlasan dalam beribadah yang ditunjang dengan niat yang suci
sudah santapan sehari hari mereka sehingga sudah menancap dalam hati nurani
mereka. Mereka sadar betul bahwa niat yang suci itu adalah amalan hati,
bukanlah amalan lisan. Orang yang mampu melaksanakan kebaikan dalam kerangka
ibadah ikhsan mampu menghadirkan niat yang suci yang dibarengi dengan
mengosongkannya dari berbagai ambisi dan keinginan yang bersifat pribadi dan
duniawi. Kita harus mengikhlaskan niat semata mata untuk Allah SWT dalam semua
amal akhirat sehingga memperoleh penerimaan di sisi Allah. Hal ini karena
setiap amal shaleh mempunyai dua rukun, Amal tersebut tidak akan diterima di
sisi Allah, kecuali dengan memenuhi kedua rukun tersebut. Pertama, ikhlas dan
memperbaiki niat. Kedua, sesuai sunnah dan cara cara yang diajarkan syariat.
Amal yang ikhlas tetapi tidak benar, maka ia
tidak akan diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak
diterima, sampai ia menjadi amal yang ikhlas dan benar. Ikhlas itu artinya
semata mata untuk Allah, dan benar artinya sesuai dengan sunnah.Perkataan tidak
berguna, kecuali dengan perbuatan. Perkataan dan perbuatan tidak berguna,
kecuali dengan niat. Perkataan, perbuatan, dan niat tidak berguna, kecuali yang
sesuai dengan sunnah/syariat yang berlaku. Amal tidak menjadi baik, kecuali dengan
tiga perkara; (1) Taqwa kepada Allah; (2) Niat yang baik; (3) Benar, yakni dikerjakan
dengan cara yang benar menurut syariat. Amal amal itu ibarat patung
patung yang berdiri tegak, sedangkan ruhnya adalah keberadaan rahasia ikhlas di
dalamnya. Jika demikian, tanpa ikhlas, amal tidak akan diterima betapapun pada
lahirnya ia tampak baik dan shaleh. Contohnya pembangunan masjid dengan tujuan
yang salah dan berjihad demi keuntungan duniawi.
Wahai saudaraku, jangan sekali kali menyangka
bahwa merealisasikan keikhlasan yang dilandasi dengan niat yang suci itu
merupakan perkara yang gampang. Ia tidak semudah membalik telapak tangan bagi
orang yang mau, dan untuk memperolehnya itu tidak akan bisa dengan sedikit
usaha, tanpa perlu susah payah dan kerja keras. Yang benar adalah mewujudkan
ikhlas yang dilandasi niat suci itu bukan perkara mudah, sebagaimana sangkaan
sebagian orang. Pengetahuan tentang hakikat ikhlas dan beramal dengannya
merupakan lautan yang dalam, yang kebanyakan orang tenggelam di dalamnya,
kecuali orang orang tertentu yang istimewa, yaitu hamba hambaMu yang ikhlas
diantara mereka.
Agar diri kita mampu mempertahankan
keikhlasan yang sudah ada di dalam diri serta mampu bertambah kualitasnya dari
waktu ke waktu. Mari kita pelajari lagi
tentang keikhlasan sebagai salah satu faktor yang sangat mempengaruhi hasil
akhir dari suatu ibadah, yaitu:
1.
Ketahuilah bahwa ikhlas
merupakan salah satu amalan hati, yang mana malaikat pencatat yaitu Raqib dan
Atid, hanya mampu mencatat segala apa yang kita perbuat tanpa pernah tahu
keikhlasan seseorang dikarenakan malaikat tidak memiliki kemampuan untuk
melongok ke dalam hati manusia tempat diletakkannya ikhlas.
2.
Ikhlas adalah keinginan untuk
mendapatkan ridha Allah dengan melakukan suatu amal dan membersihkannya dari
segala kepentingan, baik yang bersifat pribadi maupun duniawi. Untuk itu,
seseorang tidak boleh melakukan suatu amal kecuali hanya karena Allah dan
mengharapkan kehidupan akhirat, sehingga ia tidak boleh mencapuri amalnya
dengan sesuatu yang akan mengotorinya berupa keinginan keinginan dunia, baik
yang tampak maupun yang tersembunyi.Prinsip mengikhlaskan amal adalah
mengkhususkan niat semata mata karena Allah ta’ala. Adapun makna niat adalah
motif yang muncul pada diri seseorang untuk merealisasikan tujuan yang
dicarinya sehingga motif inilah yang menggerakan keinginan seseorang untuk
bergerak melakukan suatu pekerjaan. Motif ini sangat banyak dan bermacam macam,
diantaranya adalah berkaitan dengan kebendaan atau kejiwaan, individu atau
masyarakat, dunia atau akhirat, yang rendah dan hina atau yang agung dan mulia.
3.
Seorang yang berbuat kebaikan
dalam kerangka ibadah ikhsan adalah seorang mukmin sejati yang tidak lain
adalah orang yang motif agama dalam
hatinya dapat mengalahkan motif ahwanya, dorongan akhiratnya mampu memenangkan
atas dorongan dunia, dan ia lebih memilih apa yang ada di sisi Allah SWT
daripada yang ada pada manusia. Ia pun menjadikan niat, perkataan, dan
perbuatannya hanya untuk Allah, dan menjadikan shalat, ibadah, hidup dan
matinya untuk Allah, Tuhan semesta alam. Inilah yang disebut ikhlas. Dan dengan
keikhlasan, seorang mukmin akan menjadi hamba Allah yang sebenar benarnya,
bukan hamba nafsunya atau nafsu orang lain, dan bukan pula hamba dunia atau dunia
orang lain.
4.
Ikhlas yang murni akan
menjadikan seseorang lepas dari semua perbudakan dan terbebas dari penghambaan
kepada selain Allah. Penghambaan kepada uang, wanita, minuman keras, perhiasan
dan penampilan, pangkat dan kedudukan, pengaruh watak dan kebiasaan, serta
segala bentuk penghambaan kepada dunia yang manusia tunduk kepadanya. Dan Ia
pun menjadi seperti yang diperintahkan oleh Allah dan RasulNya. Allah SWT
berfirman: dan Barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang Dia orang
yang berbuat kebaikan, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali
yang kokoh. dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan. (surat Luqman
(31) ayat 22)
5.
Imam Al Ghazali: Dengan
penerangan iman dan cahaya Al Qur’an telah tersingkap bagi para ahli manajemen
hati bahwa tidak ada jalan lain untuk sampai kepada kebahagiaan, kecuali hanya
dengan ilmu dan ibadah. Semua orang binasa, kecuali orang orang yang berilmu.
Semua orang berilmu binasa, kecuali orang orang yang mengamalkan ilmunya. Dan
orang orang yang mengamalkan ilmunya binasa, kecuali mereka yang ikhlas.
Sedangkan orang orang yang ikhlas dalam bahaya besar. Amal tanpa niat adalah kepayahan,
dan niat tanpa ikhlas adalah riya. Riya’ itu setara dengan kemunafikan dan sama
dengan durhaka.Ikhlas tanpa shidq (kejujuran) dan tahqig (pelaksanaan) adalah
sia sia belaka. Allah SWT berfirman: “dan Kami hadapi segala amal yang
mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.
(surat Al Furqaan (25) ayat 23) tentang setiap amal yang dilakukan
untuk selain Allah sebagai sesuatu yang terkontaminasi dan tidak dikenal (tidak
diterima).
6.
Amal yang tidak disertai
keikhlasan ibarat suatu bentuk tanpa kehidupan atau bangkai tanpa nyawa. Allah
SWT hanya menghendaki amal amal berdasarkan hakikatnya, bukan menurut rupa dan
bentuknya. Karena itu, Allah SWT akan mengembalikan setiap amal yang tidak
murni kepada pelakunya sebagaimana cashier (teller) bank yang teliti tidak
menerima uang yang palsu.
7.
Kehidupan tidak akan menjadi
lurus dan berkembang, kecuali dengan orang orang yang ikhlas. Kebanyakan
malapetaka dan bencana yang menimpa bangsa bangsa dan masyarakat dunia
ditimbulkan oleh orang orang yang tidak mengharapkan Allah dan negeri akhirat.
Orang yang menjadi budak budak dunia dan pencinta harta benda, yang tidak segan
segan, demi dunia dan nafsu mereka, menghancurkan dunia dan agama orang lain
secara bersamaan, dan mengubah bangunan menjadi rerentuhan, tempat tempat
tinggal menjadi kuburan, dan kehidupan menjadi kematian.
8.
Islam tidak rela apabila
seorang muslim hidup dengan dua wajah: satu wajah untuk Allah, dan satu lagi
untuk sekutu sekutuNya. Islam juga tidak rela apabila hidup seseorang terbagi
dua: sebagian untuk Allah dan sebagian untuk berhala. Islam menolak dualisme
yang banyak kita saksikan dalam kehidupan kaum muslim sekarang. Sering kita
jumpai seorang laki laki di dalam masjid atau pada bulan Ramadhan ia tampak
sebagai seorang muslim, kemudian di dalam kehidupannya, atau interaksi
sosialnya menjadi orang lain. Sesungguhnya hanya ikhlas yang menyatukan
kehidupan seorang muslim menjadikan seluruh kehidupannya untuk Allah,
sebagaimana menjadi dirinya hanya untuk Allah. Shalat, ibadah, hidup dan
matinya hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam.
9.
Untuk memudahkan diri kita
melaksanakan keikhlasan, berikut ini akan kami kemukakan tanda tanda ikhlas,
yaitu : (a) Takut terhadap ketenaran; (b) Curiga terhadap diri sendiri; (c)
Beramal di tempat sunyi, jauh dari keramaian; (d) Tidak mencari pujian dan
tidak tertipu dengannya; (e) Tidak kikir memuji orang yang pantas dipuji; (f)
Amal tetap sama sebagai Komandan maupun Prajurit; (g) Mengadakan perayaan
dengan Ridha Allah, bukan Ridha manusia; (h) Suka dan Benci karena Allah, bukan
karena nafsu; (i) Sabar atas jauhnya perjalanan; (j) Gembira dengan rekan
sepropesi; (k) Menginginkan Amal yang lebih berguna; (l) Terhindar dari bahaya
ujub; (m) Bersikap waspada dari menganggap diri suci.Untuk itu
ketahuilah setiap manusia tentu memiliki kelebihan atau kekurangan akibat
pengaruh ahwa (hawa nafsu) yang dibelakangnya ada syaitan. Dan yang harus kita
lakukan adalah mau menerima orang lain apa adanya melalui kelebihan maupun
kekurangannya masing masing. Apabila kita menemukan orang yang memiliki
kekurangan maka temukanlah sisi positif dari kekurangan orang lain. Lalu
nikmatilah hidup dengan cara isi mengisi di antara sesama ini sebagai sebuah
anugerah dari Allah SWT kepada diri kita. Betapa hebatnya jiwa muthmainnah
itu.
H. MAMPU
MENGHADAP ALLAH SWT KELAK DENGAN BEKAL YANG PANTAS LAGI PATUT.
Hikmah Ikhsan
yang lainnya yang juga paling hakiki adalah mampu menghadap Allah SWT kelak
dengan bekal yang pantas lagi patut. Hal ini dimungkinkan terjadi karena orang
yang mampu berbuat kebaian dalam kerangka ibadah ikhsan adalah orang yang mampu menghadap ke
penciptanya kelak dengan rasa tenang, dengan rasa senang lagi bahagia karena ia
telah membawa bekal yang pantas lagi patut kehadapan Allah SWT di hari akhirat
kelak. Adapun sejumlah bekal yang telah dipersiapkannya saat hidup di dunia,
dapat kami kemukakan sebagai berikut:
1. Bekal
Taqwa. Allah SWT
berfirman: “Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik baik bekal adalah taqwa. Dan
bertaqwalah kepadaKu wahai orang orang yang mempunyai akal sehat. (surat Al
Baqarah (2) ayat 197)’. Taqwa merupakan bekal yang sangat diperlukan
oleh siapapun manusia. Tanpa ada taqwa, Allah tidak rela memberikan pertolongan
kepada hamba-Nya. Tanpa ada taqwa, Allah tidak akan menerima amalan hamba-Nya.
Taqwa merupakan syarat keberhasilan usaha di dunia dan keselamatan di akhirat
kelak. Adanya bekal taqwa dalam diri seseorang maka akan tampil dari diri orang
tersebut sebagai bukti ketaqwaan yang dimilikinya adalah karya karya nyata yang
dapat dinikmati oleh masyarakat banyak dan bahkan mampu dinikmati pula oleh
generasi yang dikemudian hari.
2. Bekal
Ilmu. Allah SWT
berfirman: “Diantara hamba hamba Allah yang takut kepadaNya, hanyalah para ulama
(orang yang mengetahui ilmu kebesaran dan kekuasaan Allah). Sungguh, Allah Maha
perkasa, Maha Pengampun. (surat Fathiir (35) ayat 28)”. Kalau kita
enggan, malas belajar akan membuat kerusakan, tidak membuat perbaikan, tidak
bermanfaat, tapi justru merugikan, tidak menang, tapi pasti kalah dan tersesat.
Apalagi, orang yang rajin beramal sekalipun tanpa disertai ilmu, seperti orang
berjalan bukan pada jalannya. Jangan sampai, amalan yang kita lakukan berbuah
sia-sia tanpa dasar ilmu.
3. Bekal
Tawakkal. Allah SWT
berfirman: “Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusanNya, Sungguh,
Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu. (surat At Thalaq (65)
ayat 3)”. Tawakkal akan menanamkan kepada hati sebuah kesungguhan dalam
menggantungkan diri kepada Allah. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa,
segala sesuatunya Allah yang menentukan. Maka, biarkan Allah yang mencukupi
kita selama kita hidup di dunia ini. Kita hanya berusaha semaksimal mungkin,
namun Allah SWT juga yang menentukan.
4. Bekal
Syukur. Allah SWT
berfirman: “Allah tidak akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman. Dan
Allah Maha Mensyukuri Maha Mengetahui” (surat An-Nisaa’ (4) ayat 147). Bentuk
rasa syukur itu meliputi syukur dengan lisan, hati, dan dengan tindakan kita.
Ingat, sesungguhnya nikmat-nikmat itu akan lestari karena syukur dan akan
hilang dengan kufur.
5. Bekal
Sabar. Allah SWT
berfirman: “Wahai orang orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah)
dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang orang yang sabar. (surat
Al Baqarah (2) ayat 153)”. Apa
pun profesi manusia sangat membutuhkan kesabaran. Seorang guru tentu memerlukan
kesabaran dalam mengajar anak didiknya. Begitu juga dengan profesi yang lain.
Bahkan, orang yang tertimpa musibah juga harus senantiasa bersabar. Jadikanlah
sabar sebagai penolong kita karena yakinlah Allah bersama dengan orang-orang
yang sabar terhadap ujian hidup di dunia.
6. Bekal
Zuhud (tidak mencintai dunia). Rasulullah
SAW bersabda: “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah mencintaimu dan janganlah
mencintai apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia mencintaimu!” (HR Ibnu
Majah).” Dan bekal yang terakhir yang harus kita persiapkan adalah
Bekal Itsarul Akhirah yaitu mengutamakan bekal akhirat dibandingkan dengan
bekal dunia. Sebagaimana Allah SWT
berfirman: “Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu
dengan sungguh sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang orang
yang usahanya di balas dengan baik. (surat Al-Israa’ (17) ayat 19)
Inilah 6 (enam) bekal yang telah
dipersiapkan oleh orang yang berjiwa muthmainnah sebelum Allah SWT memanggil
untuk menghadap kepadaNya kelak. Untuk itu segera yakini diri bahwa 6 (enam)
hal inilah bekal yang akan menolong kita dalam memikul beban kewajiban syariat
dalam kehidupan dunia ini. Semoga dengan adanya enam bekal yang kami kemukakan
di atas ini, akan mampu menghantarkan diri kita datang fitrah kembali fitrah,
mampu mengerjakan ibadah yang khusyu, akhlak yang baik, berperilaku santun,
hati yang ikhlas, memiliki anak dan keturunan yang shaleh dan shalehah,
memiliki karya karya nyata yang dapat dinikmati bagi generasi yang datang di
kemudian hari yang tersebar di mana mana.
Sebagai Abd’
(hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi, yang memiliki kepentingan hidup
dan kehidupan di muka bumi ini yang sesuai dengan kehendak Allah SWT, dan yang
sedang berusaha menjadikan jiwanya jiwa muthmainnah (jiwa yang fitrah), serta
yang hendak pulang kampung ke kampung kebahagiaan, dalam hal ini syurga.
syurga. Untuk itu ada baiknya jika kita bisa melaksanakan beberapa prinsip
hidup di bawah ini.
2. Dan agar hidup yang kita lakukan saat ini selalu berlimpah kenikmatan
dalam ketenangan lagi bermanfaat bagi orang lain, serta mampu hidup tenang mati
senang berumur panjang, sesungguhnya kita hanya cukup bersyukur dan bersabar
dengan mengkonsumsi 3 (tiga) buah “Tahu” setiap harinya selama hayat masih di
kandung badan yaitu kita harus, “Tahu Diri; Tahu Aturan Main dan Tahu Tujuan
Akhir. Dan jangan sampai di sisa usia kita yang miliki saat ini: (a) kita hanya tahu diri tetapi tidak tahu
aturan main dan juga tidak tahu tujuan akhir, atau; (b) kita hanya tahu aturan main tapi tidak tahu diri dan tidak tahu tujuan
akhir, atau; (c) kita tidak tahu diri
dan juga tidak tahu aturan main serta tidak tahu tujuan akhir. Dan semoga
hasil dari tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir mampu
menghantarkan diri kita melaksanakan konsep hidup berikut ini: “Urip
Kuwi Yen: Ngibadah jenak; Kubur ra sesek; Suwargo mbukak; Rezekine jembar;
Uripe berkah, Mangan enak; Turu kepenak; Tonggo semanak; Keluargo cedhak; Sedulur grapyak; Bondo cemepak; Ono panganan ora cluthak; ketemu konco ngguyu
Ngakak” Dan jika kita mampu
melaksanakan perilaku (konsep hidup) di atas maka peribahasa berikut ini pun
mampu pula kita laksanakan, yaitu: “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun
Karso, dan Tut Wuri Handayani”.
3. Agar proses tahu diri, tahu aturan main dan
tahu tujuan akhir tidak hanya sekedar basi basi dihadapan Allah SWT atau hanya
ala kadarnya. Untuk itu ada baiknya kita melakukan hal hal sebagai berikut
sebagai upaya untuk menjadikan diri kita sesuai dengan kehendak Allah SWT,
yaitu: (1) Hargai diri sendiri sambil
melihat cermin lalu bertanyalah kepada diri sendiri masih sesuaikah diri kita
dengan konsep Allah SWT; (2) Berhentilah
untuk menilai setiap tindakan yang kita lakukan; (3) Jangan minder karena penilaian orang lain karena kita tidak
bertanggungjawab kepadanya; (4) Berhentilah
mencari kesalahan diri sendiri; (5) Lupakan
kenangan buruk masa lalu dan jadikan kenangan itu sesuatu yang hanya kita lihat
melalui kaca spion lalu fokuslah ke masa depan; (6) Jangan mencoba untuk mengubah diri sendiri dengan cara cara kita
sendiri; (7) Menghargai ketrampilan
dan bakat kita lalu berbuatlah kebaikan dalam kerangka ibadah ikhsan sehingga
kebaikan itu melekat sebagai cerminan bagi diri kita; (8) Lakukan hal hal yang kita sukai dan jangan
lupa buatlah Allah SWT selalu tersenyum lebar kepada diri kita, atau buatlah
diri kita menjadi kebanggaan Allah SWT lalu kita mampu menemukan dan bertemu
Allah SWT dalam diri kita masing.
Akhirnya Jalanilah hidupmu dengan
penuh prasangka baik.Jalanilah hidupmu dengan jiwa yang
lapang. Dengan hati yang ikhlas, maka jiwamu
akan terasa lapang.Dengan hati yang ikhlas, maka kau akan
bahagia dunia dan akhirat, dalam kerangka melaksanakan Diinul Islam secara
kaffah (menyeluruh).
Pembaca dan
jamaah yang kami hormati, hanya inilah buku “Ikhsan: Inilah Cerminan Diri Kita” yang mampu kami tulis, hanya
inilah yang mampu kami ungkapkan, hanya inilah yang mampu kami berikan sebagai
sumbangsih kami kepada diri, keluarga, anak dan keturunan, masyarakat, bangsa
dan juga Negara dan juga untuk generasi yang datang di kemudian hari.
Semoga buku ini bermanfaat sesuai dengan
peruntukannya yaitu mampu menjadikan diri kita tetap sebagai “Makhluk yang Terhormat, yang mampu
berperilaku Terhormat, untuk bisa pulang kampung ke tempat yang Terhormat
dengan cara yang Terhormat sehingga kita bisa bertemu dengan Yang Maha
Terhormat dalam suasana yang saling hormat menghormati.” Lalu, mari kita
bertadabbur bersama sama. Petunjuk Allah SWT telah ada dihadapan diri kita dan telah
lengkap dan sempurna. Tidak ada kekurangan, kecacatan dalam isi dan kandungan
AlQuran. AlQuran siap membawa siapapun juga yang mau mengimaninya, yang mau
mempelajarinya, yang mau memahaminya, yang mau mengamalkannya, yang mau
menyebarluaskannya, yang mau menjadikannya sebagai akhlak untuk meraih
kesuksesan hidup di dunia dan akhirat kelak.
Tak lupa dalam
kesempatan ini, kami ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada
siapapun juga yang turut membantu kami di dalam menulis buku ini hingga sampai
ke tangan pembaca dan semoga Allah SWT menjadikan hal ini sebagai ibadah yang
pahalanya terus dan terus mengalir sepanjang buku ini ada, dipelajari oleh
banyak jamaah dan diajarkan kembali oleh jamaah kepada yang lainnya. Mohon maaf
jika ada kata-kata yang tidak berkenan di hati. Semoga Allah SWT menambah Ilmu
kita, semoga Allah SWT memberikan pemahaman yang sesuai dengan kehendak Allah
SWT itu sendiri, semoga kita mampu melaksanakan apa apa yang telah kita
pelajari serta semoga Allah SWT mengabulkan harapan dan doa yang kita panjatkan
kepada-Nya dan kita semua selalu di dalam lindungan-Nya.
Sebagai
penutup dari buku ini, tidak ada kata kata penutup yang paling indah selain
kata, “Alhamdulillahi Rabbil Alamin”
Inilah kata yang berisi ungkapan syukur yang sangat luar biasa kepada Allah
SWT. Rasa bersyukurlah sebagai cara pamungkas agar segala nikmat yang kita
peroleh dan selalu ditambah oleh Allah SWT dari waktu ke waktu sampai kita
bertemu dengan Allah SWT kelak di syurga. Amiin.