Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Jumat, 25 Februari 2022

HIKMAH IKHSAN

 

Setiap manusia telah diberikan Allah SWT apa yang disebut dengan nurani untuk berterimakasih dan keinginan untuk selalu membalas budi baik. Sehingga berbuat kebaikan merupakan tuntutan kehidupan dan juga kebutuhan dalam hidup, sebab tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri di muka bumi ini. Berbuat kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan terhadap siapa pun bakal menjadi stimulus terjadinya balasan dari kebaikan yang yang kita lakukan. Melakukan kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan bukan perkara yang mudah, apalagi pada zaman sekarang ini. Kita harus bisa melakukannya tanpa dipaksa, tanpa disuruh, tanpa ada riya, harus dengan kesadaran sendiri, yang ada hanyalah ikhlas berbuat karena Allah SWT semata yang dilandasi keimanan. 

Agar diri kita mampu menempatkan, mampu meletakkan, mampu memperoleh, mampu merasakan apa-apa yang terdapat di balik perintah melaksanakan kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan, maka kita harus tahu, kita harus mengerti, kita harus pula memiliki ilmu dari apa-apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Sehingga apa-apa yang dikehendaki oleh Allah SWT selaku pemberi perintah dapat kita peroleh, dapat kita rasakan, dapat kita ajarkan kepada anak dan keturunan, serta dapat menghantarkan diri kita sesuai dengan kehendak Allah SWT yaitu pulang kampung ke syurga untuk bertemu Allah SWT. Hal lain yang harus kita perhatikan adalah segala bentuk manfaat yang terdapat di balik perintah Allah SWT kepada diri kita, bukan hanya untuk kepentingan akhirat semata. Akan tetapi juga untuk mensukseskan diri kita saat hidup di muka bumi. 

Agar perintah melaksanakan ibadah Ikhsan dapat memberikan dampak yang positif baik bagi kepentingan hidup kita di dunia dan juga di akhirat kelak, sehingga ibadah ikhsan inilah yang menjadi cerminan langsung dari diri kita. Berikut ini akan kami kemukakan hikmah hikmah yang terdapat di balik ibadah Ikhsan yang kita lakukan dan semoga kondisi yang kami kemukakan ada dalam diri kita, yaitu:   

A.     SELALU BERADA DI DALAM FITRAH ALLAH SWT. 

Hikmah Ikhsan yang juga paling hakiki adalah untuk menyelamatkan ruh/ruhani yang tidak lain adalah jati diri manusia yang sesungguhnya dari pengaruh buruk ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan yang dapat menjadikan kualitas ruh/ruhani menjadi tidak fitrah lagi (menjadikan  jiwa kita menjadi jiwa fujur). Ingat, ruh/ruhani asalnya fitrah dan harus kembali dalam kondisi yang fitrah (jiwa muthmainnah) agar bisa bertemu Allah SWT di tempat yang fitrah (maksudnya syurga). Disinilah letak yang paling hakiki dari perintah melaksanakan Diinul Islam secara kaffah atau melaksanakan ibadah Ikhsan yaitu Allah SWT berkehendak agar ruh/ruhani yang berasal Allah SWT tetap fitrah (“masih sesuai dengan kondisi aslinya”) saat melaksanakan tugas sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi dan kembalinya pun harus tetap dalam kondisi fitrah. Jika sampai kondisi ruh/ruhani tidak fitrah lagi maka akan difitrahkan oleh Allah SWT melalui proses pensucian dengan dibakar di neraka Jahannam, atau kita diharuskan untuk memasukkan onta ke dalam lubang jarum terlebih dahulu, sebagaimana dikemukakan dalam surat Al A’raaf (7) ayat 40 berikut ini: “ Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, tidak akan dibukakan pintu-pintu langit bagi mereka, dan mereka tidak akan masuk surga, sebelum unta masuk ke dalam lubang jarum. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat”.  

Sebagai Abb’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi yang berkehendak untuk menyelamatkan ruh/ruhani agar selalu dalam kefitrahannya maka kita harus merubah pola berfikir terhadap ibadah yang akan kita laksankan yaitu beribadah untuk memperoleh pahala dan juga melaksanakan ibadah dalam kerangka menggugurkan kewajiban harus kita rubah. Ibadah adalah kebutuhan hakiki bagi diri kita (dalam hal ini untuk kebutuhan ruh/ruhani), sehingga setiap ibadah yang kita laksanakan adalah sarana atau alat bantu untuk memberi makanan bagi pertumbuhan keimanan yang sangat dibutuhkan oleh ruh/ruhani. Ibadah juga berfungsi untuk memantapkan keimanan dalam jiwa serta untuk memperharui sumber sumber kekuatan untuk memperoleh pertolongan, bantuan, perlindungan Allah SWT yang kesemuanya sangat kita butuhkan. 

Ruh dengan keimanan tidak bisa dipisahkan dikarenakan makanan (vitamin) yang dibutuhkan oleh ruh adalah keimanan yang di dapat dari pelaksanaan dan pengamalan ibadah. Adanya keimanan yang berkualitas akan menjadikan ruh/ruhani kuat. Keimanan akan menjadi energi yang menjadikan diri kita kuat sehingga mampu berbuat, mampu berkarya nyata yang luar biasa untuk kepentingan masyarakat. Keimanan juga akan menjadi benteng (pelindung) bagi ruh/ruhani dari gangguan ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan serta menjadikan diri kita selalu berada di dalam kehendak Allah SWT. Untuk itu jangan pernah menyianyiakan kesempatan menunaikan ibadah yang telah diperintahkan Allah SWT untuk kepentingan penyelamatan ruh/ruhani diri kita sendiri. Dan hal yang harus kita jadikan pedoman adalah selamatnya ruh dari pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan belum berarti tugas kita selesai. Akan tetapi harus ditingkatkan dengan menjadikan ruh/ruhani menjadi penampilan Allah SWT di muka bumi dengan berperilaku Asmaul Husna. Dengan adanya perilaku Asmaul Husna maka terlaksanalah apa yang dinamakan dengan kebaikan yang mencerminkan inilah perilaku diri kita. Semakin banyak dan berkualitas perilaku diri kita maka semakin baik diri kita dan kesempatan untuk memperoleh syurga yang terbaik terbuka untuk diri kita. 

Selanjutnya agar diri kita selalu berada di dalam kefitrahan dari waktu ke waktu maka kita harus selalu berada di dalam kefitrahan yang sesuai dengan konsep surat Ar Ruum (30) ayat 30 yang kami kemukakan berikut ini:Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui [1168], 

[1168] Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan. 

Berdasarkan ketentuan ayat di atas, kita harus selalu berada di dalam Diinul Islam. Apa maksudnya? Diinul Islam adalah sebuah konsep Ilahiah yang diciptakan dari fitrah Allah SWT oleh Allah SWT untuk kepentingan rencana besar kekhalifahan yang ada di muka bumi. Agar kekhalifahan yang ada di muka ini selalu di dalam konsep kefitrahan maka Allah SWT memerintahkan kepada seluruh khalifahnya untuk menghadapkan wajahnya kepada Diinul Islam dengan lurus, mantap, tidak goyah selama hayat masih di kandung badan. Dan agar konsep kefitrahan yang dikehendaki Allah SWT terlaksana dengan baik dan benar maka kita harus mengetahui terlebih dahulu hal hal sebagai berikut yang terdapat di dalam surat Ar Ruum (30 ayat 30 di atas yaitu: (1) Adanya istilah Nass yang maksudnya adalah manusia dalam arti kata Ruh/Ruhani; (2) Adanya istilah Diin (Diinul Islam) yang berasal dari fitrah Allah SWT; (3) Adanya istilah fitrah Allah SWT yang tidak lain adalah Allah SWT itu sendiri Dzat Yang Maha Fitrah. Lalu Allah SWT selaku pemilik dari kefitrahan memerintahkan kepada Nass (manusia dalam arti kata ruh/ruhani) yang juga diciptakan dari fitrah Allah SWT untuk selalu dihadapkan kepada Diin (Diinul Islam) yang juga berasal dari fitrah Allah SWT sehingga dengan adanya kondisi ini maka terjadilah apa yang  dinamakan dengan konsep segitiga yang tidak terpisahkan antara Nass (manusia dalam arti kata ruh/ruhani) dengan fitrah Allah SWT melalui Diinul Islam yang juga berasal dari Fitrah Allah SWT.   

Inilah konsep dasar yang harus kita pahami dengan baik dan benar bahwa diri kita yang sesungguhnya adalah Nass (dalam hal ini adalah ruh/ruhani) sehingga jangan pernah dipisahkan dengan asal usulnya dalam hal ini fitrah Allah SWT melalui Diinul Islam yang juga berasal dari  fitrah Allah SWT. Jika sampai Nass (ruh/ruhani diri kita) dipisahkan dengan Diinul Islam dan juga dengan fitrah Allah SWT maka terjadilah proses hilangnya kefitrahan dalam diri sehingga konsep datang fitrah kembali fitrah tidak akan pernah terjadi. Padahal syarat untuk bertemu dengan Allah SWT selaku Dzat Yang Maha Fitrah di tempat yang fitrah adalah ruh/ruhani datang fitrah kembalinya pun harus fitrah pula dan jika sampai tidak fitrah akan difitrahkan oleh Allah SWT melalui jalur neraka Jahannam. 

Diinul Islam wajib kita letakkan dan tempatkan sebagai konsep ilahiah yang berasal dari fitrah Allah SWT untuk kepentingan yang hakiki bagi diri kita yang sesungguhnya, yaitu ruh/ruhani. Sekarang apa jadinya jika kita keluar dari konsep kefitrahan ini? Hal yang pertama terjadi adalah Allah SWT tidak akan pernah dirugikan sedikitpun atau berkurang kemahaanNya dengan ulah diri kita. Hal kedua yang pasti terjadi adalah pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan syaitan dapat dipastikan akan merajalela dalam diri kita sehingga kefitrahan ruh/ruhani tidak akan terjadi atau bahkan ruh/ruhani menjadi kotor akibat perbuatan dosa dan maksiat yang kita lakukan. Hal yang ketiga adalah posisi Allah SWT tergantikan oleh ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan yang pada akhirnya nilai nilai keburukan yang menjadi perbuatan diri kita (jiwa fujur). 

Jika sampai kita keluar dari fitrah Allah SWT maka hal yang terjadi selanjutnya adalah perbuatan maksiat kita lakukan seperti tidak shalat lima waktu, tidak berpuasa, tidak mau berzakat dan lain sebagainya yang kesemuanya tidak bertentangan dengan hukum positif negara. Adanya perbuatan maksiat yang kita lakukan melahirkan apa yang dinamakan dosa. Semakin banyak bermaksiat kepada Allah SWT semakin banyak dosa, semakin banyak dosa membuat fikiran kacau, membuat kita tidak bisa berfikir rasional yang selanjutnya terjadi adalah kita mulai melanggar hukum positif yang berlaku. Selanjutnya penjara menanti lalu kita menjadi warga binaan yang dikurung dalam waktu tertentu. Hal yang harus kita jadikan pedoman adalah hukuman penjara akibat melanggar ketentuan hukum positif tidak bisa menghapus perbuatan maksiat yang kita lakukan sepanjang kita tidak pernah melakukan taubatan nasuha. 

Untuk itu jangan sampai diri kita keluar dari fitrah Allah SWT karena resiko yang dihadapi atau kerugian yang akan kita dapatkan bukan hanya merugikan diri kita sendiri, melainkan juga bisa juga merugikan keluarga dan anak keturunan kita sendiri akibat ulah kita sendiri. Bayangkan kita yang melakukan perbutan atau kesalahan, orang lain (maksudnya keluarga, anak dan keturunan kita) ikut menanggung akibatnya. Semoga hal ini tidak terjadi pada diri kita, pada keluarga kita dan juga pada anak dan keturunan kita. 

Hal lainnya yang juga harus kita perhatikan adalah kita adalah bagian dari mata rantai kekhalifahan yang ada di atas diri kita. Kita tidak tahu di posisi manakah diri kita di mata rantai itu. Dan jika sekarang kita telah berkeluarga berarti kita juga telah membuat mata rantai kekhalifahan yang ada di bawah diri kita sampai dengan hari kiamat tiba. Sampai berapa banyak mata rantainya, yang jelas kita tidak pernah tahu. Hal yang harus kita perhatikan saat ini adalah jangan sampai antara diri kita dengan mata rantai kekhalifahan yang ada di bawah diri kita berbeda haluan yaitu ada yang keluar dari fitrah Allah SWT dengan berbeda agama. Jika sampai ini terjadi maka putuslah mata rantai antara diri kita dengan anak dan keturunan kita sehingga putus pula kesempatan untuk saling mendoakan diantara anggota keluarga. Doa tidak akan dikabulkan oleh Allah SWT karena adanya perbedaan agama diantara anggota keluarga atau diantara mata rantai keluarga. Padahal kekuatan doa sangatlah luar biasa karena bisa merubah atau bahkan meniadakan dosa atau keburukan dari orang yang kita doakan. 

Agar diri kita dan juga anak dan keturunan kita selalu dalam kefitrahan yang sama, tidak ada jalan selain kita sendiri yang mempersiapkannya yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Anak dan keturunan yang shaleh dan shalehah bukanlah datang tiba tiba dari langit. Anak keturunan yang shaleh dan shalehah ada karena kita sendiri yang menciptakan atau yang menjadikannya ada. Untuk itu, sebagai orang tua kita harus menghindarkan anak dan keturunan kita dari pengaruh penghasilan atau makanan dan minuman yang dibiayai dari penghasilan haram. Dahulukan pendidikan ruh atau akhlak atau budi pekerti dibandingkan pendidikan yang lainnya. Jangan pernah berdoa hanya untuk anak dan cucu saja, melainkan untuk anak dan keturunanku sehingga doa ini berlaku terus dan terus kepada anak keturunan kita. 

Saat ini ketentuan fitrah masih tetap berlaku dan akan terus berlaku sampai dengan hari kiamat tiba. Allah SWT masih tetap memberlakukan atau Allah SWT masih tetap melaksanakan atau Allah SWT masih tetap konsisten terhadap ketentuan Fitrah terhadap diri kita, yang dimulai dari pernyataan di dalam rahim sampai dengan hari kiamat kelak. Yang menjadi persoalan saat ini adalah sudah sejauh mana diri kita konsisten dengan konsep kefitrahan yang telah diberlakukan oleh Allah SWT? Panjang atau pendeknya kefitrahan diri, termasuk di dalamnya kefitrahan anak dan keturunan kita, bukanlah Allah SWT yang menentukan, akan tetapi diri kita sendirilah yang memutuskan. Hal ini dikarenakan Allah SWT tidak butuh dengan kefitrahan diri kita, tetapi kitalah yang sangat membutuhkan kefitrahan saat hidup di dunia sampai dengan hari berhisab kelak. 

Agar diri kita selalu berada di dalam kefitrahan, berikut ini akan kami kemukakan tujuh buah indikator dari kefitrahan diri yang kiranya dapat kita jadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: 

1.    Orang yang telah kembali fitrah, atau orang yang telah difitrahkan oleh Allah SWT maka hidupnya selalu dalam kebaikan, tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi untuk kebaikan masyarakat, bangsa dan Negara, sebagaimana dikemukakan dalam surat An Nisaa’ (4) ayat 125 berikut ini; Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” Dan Orang yang telah menjadikan jiwanya fitrah, akan selalu menjadi pemimpin yang berguna bagi masyarakat luas, menjadi tokoh yang terpandang di masyarakat karena mampu berbuat kebaikan yang dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat. Masyarakat merasa terbantu karena hasil karya kita, masyarakat merasa aman dan nyaman karena keberadaan diri kita, sebagaimana dua buah firmanNya berikut ini: 

 Allah SWT berikut ini: “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah, (surat Al Anbiyaa' (21) ayat 73) 

Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). dan Barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah[423] Itulah yang pasti menang. (surat Al Maa-idah (5) ayat 55-56) 

[423] Yaitu: orang-orang yang menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya. 

Hal yang tidak akan mungkin terjadi jika kita telah kembali fitrah yang jiwanya adalah jiwa Muthmainnah adalah menjadikan dirinya sebagai pelaku kejahatan, menjadikan dirinya sebagai  biang keributan, menjadikan dirinya sebagai biang keonaran, menjadikan dirinya sebagai otak di balik kejahatan, atau masyarakat menjadi teraniaya oleh sebab perbuatannya dan juga  oleh sebab omongannya. Jika kita telah kembali fitrah yang memiliki jiwa Muthmainnah dapat dipastikan kita selalu memiliki keinginan untuk menolong sesama manusia, selalu ingin berbagi kepada sesama, tidak pelit di dalam berbagi ilmu maupun kesenangan, selalu ingin berbuat kebaikan lebih baik dan lebih baik lagi dari waktu ke waktu.  

2.    Orang yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia tidak akan mau lagi berbuat syirik lagi musyrik di dalam hidup dan kehidupannya, sebagaimana dikemukakan dalam surat Yunus (10) ayat 105 berikut ini: Dan (aku telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang musyrik.”  Jika kita telah kembali fitrah maka pernyataan untuk tidak menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu harus kita laksanakan dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun kita tidak boleh sekalipun menyekutukan Allah SWT, terkecuali jika kita ingin merasakan pulang kampung bersama syaitan ke neraka Jahannam. 

3.    Orang yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia akan selalu tolong menolong, ringan tangan untuk menolong, ikhlas dalam berbuat, selalu menyayangi sesama. Sekarang sudahkah kita menjadi pelopor di dalam kebaikan di tengah masyarakat! Hal ini berdasarkan surat Al Anfaal (8) ayat 72 berikut ini:“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi[624]. dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada Perjanjian antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” 

[624] Yang dimaksud lindung melindungi Ialah: di antara muhajirin dan anshar terjalin persaudaraan yang Amat teguh, untuk membentuk masyarakat yang baik. demikian keteguhan dan keakraban persaudaraan mereka itu, sehingga pada pemulaan Islam mereka waris-mewarisi seakan-akan mereka bersaudara kandung. 

4.    Orang yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia akan selalu dekat dengan Allah SWT sehingga ia akan selalu menomorsatukan Allah SWT disetiap langkah dan perbuatannya. Hal ini berdasarkan surat Az Zumar (39) ayat 3 berikut ini:  “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. Contohnya, jika Allah SWT memiliki Af’al (perbuatan) Al Rachman Al Rahiem kemudian apakah kita yang sudah menjadi orang yang dekat kepada Allah SWT justru berbuat yang berseberangan dengan perbuatan Allah SWT yaitu Ar Rachman Al Rahiem? Jika sampai kita melakukan perbuatan menganiaya sesama manusia berarti kita belum kembali fitrah. 

5.    Orang yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia akan selalu berbuat adil, lurus, selalu mendirikan shalat (melaksanakan diinul islam secara kaffah) serta berbuat kebaikan ikhlas karena Allah SWT semata. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Al A’raaf (7) ayat 29 yang kami kemukakan berikut ini; Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu[533] di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)". Untuk itu segeralah memperbaiki diri atau segeralah introspeksi diri dengan selalu melihat ke dalam karena hanya dengan melihat ke dalam dirilah langkah menuju perubahan kepada yang lebih baik terbuka luas. Segeralah berubah ke arah yang lebih baik yang sesuai dengan kehendak Allah SWT atau kita akan dirubah oleh syaitan ke arah keburukan.  

[533] Maksudnya: tumpahkanlah perhatianmu kepada sembahyang itu dan pusatkanlah perhatianmu semata-mata kepada Allah. 

6.    Orang yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia akan selalu belajar, selalu menuntut ilmu, untuk kepentingan kaum atau masyarakat banyak dengan cara mengajar kepada yang membutuhkan melalui aksi wakaf waktu. Hal ini berdasarkan surat At Taubah (9) ayat 122 berikut ini: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.(surat At Taubah (9) ayat 122)”. Setelah diri kita giat belajar lalu memiliki ilmu ketahuilah ilmu yang kita miliki belum dikatakan menjadi ilmu yang bermanfaat jika hanya kita yang memilikinya. Ilmu yang kita miliki baru bisa dikatakan bermanfaat jika ilmu yang kita miliki itu kita ajarkan kepada orang lain. Semakin banyak kita ajarkan akan semakin banyak manfaat yang dirasakan oleh orang banyak. 

7.    Orang yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia akan selalu menjadi penolong bagi yatim, faqir, dan miskin tanpa harus menunggu untuk diminta. Hal ini berdasarkan surat Al Maa’uun (107) ayat 1-2-3 berikut ini: Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, Dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.”   

Itulah 7(tujuh) indikator dari kembali fitrah yang harus kita jadikan acuan saat hidup di muka bumi ini. Jika kondisi kita berlawanan dengan indikator tersebut berarti ada sesuatu yang salah dalam diri kita, terutama kefitrahan diri yang sudah tidak sesuai lagi dengan kehendak Allah SWT. 

B.      MASIH MEMILIKI RASA MALU DALAM DIRI. 

Hikmah Ikhsan yang juga paling hakiki adalah rasa malu masih ada di dalam diri kita, atau dengan kata lain kita masih memeliki rasa malu. Hal ini menjadi penting karena salah satu satu penyebab utama terjadinya problem bahkan konflik di muka bumi ini adalah karena tidak adanya rasa malu. Nihilnya dan hilangnya rasa malu, menjadikan manusia lebih buas dari buaya, lebih ganas dari singa dan lebih jahat dari binatang buas lainnya.Tetapi tetap saja, raibnya rasa malu dianggap sebagai hal biasa. Sudah tidak banyak lagi yang menyadari bahwa rasa malu sejatinya sangat menentukan segala sesuatu, termasuk nasib suatu bangsa dan negara. Seperti apa yang belakangan ini marak terjadi, korupsi, ketidakadilan, perselingkuhan, perampokan dan pembunuhan dan berbagai macam tindak kemaksiatan, semua berawal dari tidak adanya rasa malu. 

Hilangnya rasa malu dalam diri, akan dapat menghilangkan keutamaan keutamaan yang terdapat dari rasa malu. Adapun keutamaan yang akan hilang bersama hilangnya rasa malu dapat kami kemukakan sebagai berikut: (a) Malu pada hakekatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu atau Rasa akan mengajak pemiliknya agar berhias diri dengan mulia dan menjauhkan diri dari sifat sifat yang hina; (b) Malu adalah cabang keimanan; (c) Allah SWT cinta kepada orang orang yang malu atau yang masih memiliki rasa malu; (d) Malu adalah akhlak para malaikat; (e) Malu adalah akhlak Islam; (f) Malu adalah pencegah pemiliknya dari melakukan maksiat; (g) Malu senantiasa seiiring dengan iman, bila salah satu tercabut hilanglah yang lainnya; (h) Malu akan menghantarkan pemiliknya ke syurga. Sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi yang berkehendak untuk pulang kampung ke kampung kebahagiaan yaitu syurga, jadikan malu sebagi cermin dalam hidup dan kehidupan ini sehingga kita salah jalan. Dan Jangan sampai sesuatu yang sudah melekat dalam keimanan hilang (maksudnya malu bagian dari iman) dalam diri yang mengakibatkan kita berseberangan dengan Allah SWT, namun berkesesuaian dengan syaitan sang laknatullah. 

Rasa malu dalam berbagai maksudnya selalu tergambar dalam fikiran kita adalah sesuatu yang negatif, aib dan tercela sehingga mengakibatkan kita rendah diri, minder dan juga takut untuk menghadapi sesuatu yang baru. Apapun juga yang berhubungan dengan rasa malu, maka kita harus bisa meletakkan rasa malu tersebut pada posisi yang sebenarnya, sebagaimana hadits berikut ini: Nabi SAW bersabda: “Tidak ada kemelaratan yang lebih parah dari kebodohan dan tidak ada harta (kekayaan) yang lebih bermanfaat dari kesempurnaan akal. Tidak ada kesendirian yang lebih terisolir dari ujub (rasa angkuh) dan tidak tolong menolong yang lebih kokoh dari bermusyawarah. Tidak ada kesempurnaan akal melebihi perencanaan (yang baik dan matang) dan tidak ada kedudukan yang lebih tinggi dari akhlak yang luhur. Tidak ada wara’ yang lebih baik dari menjaga diri (memelihara harga dan kehormatan diri), dan tidak ada ibadah yang lebih mengesankan dari tafakur (berfikir),serta tidak ada iman yang lebih sempurna dari sifat malu dan sabar”. (Hadits Riwayat Ibnu Majah dan Ath Thabarani).” 

Apa contohnya? Contohnya adalah kita harus malu berbuat atau membuat kesalahan atau bertindak tidak sopan atau menyalahi syariat agama. Tanamkan dalam diri bahwa rasa malu terhadap Allah SWT dengan takut untuk melakukan dosa adalah sebagai tanda keimanan kita. Selain daripada itu, dalam banyak hal, malu itu biarlah bertempat dan bermanfaat atau dengan kata lain malu itu adalah tanda beriman. Jika kita malu pada tempatnya maka iman kita kuat dan jika sebaliknya lemahlah iman kita atau bahkan orang tersebut belum beriman. 

Sekarang mari kita bahas rasa malu itu dalam kerangka kita menjadi Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi yang sesuai dengan kehendak Allah SWT, yaitu: 

1.    Apa Itu Malu.  Malu atau rasa malu memiliki arti dan makna yang banyak. Malu atau rasa malu tidak bisa diartikan hanya satu arti atau satu makna saja, melainkan harus diartikan secara luas. Berikut ini akan kami kemukakan beberapa arti dan makna dari malu, yaitu: 

a.    Malu adalah Bagian dari Iman. Mari kita kaji secara logis, mengapa dari enam puluh cabang iman, malu yang beliau sampaikan? Berarti, malu adalah pengantar terbaik seorang Muslim sampai pada 59 cabang iman lainnya. Mengapa? Jawabannya ada pada hadits berikut ini: Rasulullah bersabda, “Iman mempunyai enam puluh lebih cabang. Dan malu adalah salah satu cabangnya.” (Hadits Riwayat Bukhari).” Dengan malu, seorang beriman tidak akan berzina, tidak akan menampakkan auratnya kepada semua orang, tidak akan mencuri apalagi korupsi. Bahkan dengan malu seorang mukmin tidak akan menghina atau membicarakan aib saudaranya. Jadi, malu bisa mencegah seorang mukmin  dari berbuat kejahatan dan keburukan. Jika ini sampai kita berbuat dan bertindak tanpa rasa malu atau bahkan memalukan berarti kita dengan sadar telah berbuat yang mengakibatkan kebaikan yang kita miliki berkurang atau keburukan kita bertambah. 

Nabi SAW bersabda: “Malu seluruhnya baik.” (Hadits Riwayat Muslim).” dan “Malu selalu mendatangkan kebaikan.” (Hadits Riwayat Bukhari). Malu adalah salah satu out put dari keimanan. Siapa yang keimanannya baik maka rasa malunya akan sempurna. Siapa yang malunya kuat, maka imannya akan sempurna. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah, dalam hadits berikut ini: “Malu dan iman saling bertaut. Jika salah satunya diangkat, yang lainnya juga terangkat.” (Hadits Riwayat. Hakim). Jadi, tidak salah jika ada ungkapan yang tepat tentang hal ini, yaitu, “Milik siapa kebaikan, iman dan akhlak itu?” Semuanya adalah milik orang beriman yang memelihara rasa malu. 

b.    Malu ini adalah satu bentuk akhlak yang paling penting bagi setiap orang mukmin. Malu adalah akhlak yang sangat berpengaruh pada individu, keluarga, dan masyarakat. Namun sayang, akhlak ini seakan-akan sudah asing dalam kehidupan. Malu adalah sifat yang dikaruniakan oleh Allah SWT kepada hambanya yang mendorongnya untuk menjauhi keburukan dan hal hal yang hina serta memilih berbuat kebaikan (kitab fathul bari 1/1020). Malu adalah satu kata yang mencakup segala perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci. Malu adalah akhlak yang mendorong seseorang untuk segera meninggalkan perbuatan perbuatan buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak hak orang lain. 

c.    Malu adalah warisan para nabi. Berdasarkan hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian yang terdahulu adalah “jika engkau tidak malu berbuatlah sesukamu”.(Hadits Bukhari, Ahmad, Abu Dawud) malu atau rasa malu merupakan warisan dari para nabi nabi terdahulu untuk generasi akan datang. 

d.   Malu adalah kebaikan. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati dan ruh hidup maka pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna. Nabi SAW bersabda: “Rasa malu tidak datang kecuali bersama kebaikan. ((Hadits Riwayat Bukhari).” Rasa malu dimiliki manusia sepanjang manusia itu normal tidak sakit jiwa (gila) dan dalam keadaan sadar tidak tidur atau pingsan. Seperti malu kelihatan aurat, malu waktu menguap saat mengantuk dilihat orang, malu untuk mencuri, malu bertanya perihal hukum fiqih, malu tidak mendirikan shalat yang sesuai syariah, malu tidak bisa membaca AlQuran sehingga kita tetap dalam kebodohan maka inilah yang dikatakan dengan malu yang tercela. 

e.    Malu ialah salah satu benteng yang sangat efektif untuk menghindarkan kita dari segala bentuk perilaku buruk. Kita tidak akan berkata kotor, kasar dan cabul karena kita merasa malu. Kita tidak mau membuang sampah sembarangan karena kita merasa malu, Kita menutupi aurat karena merasa malu. Sebagai makhluk sosial yang berakal, ketika kita berselisih dengan sesama, menyelesaikannnya menggunakan logika dan akal sehat, tidak dengan cara cara fisik karena kita merasa malu. 

f.     Malu juga bisa diartikan sebagai terkendalinya jiwa, yaitu ketidakmampuan seorang melakukan perbuatan-perbuatan tercela atau sesuatu yang buruk. Orang yang pemalu adalah orang yang tidak bisa melihat dirinya hina di hadapan Allah SWT, hina dihadapan manusia, atau hina dihadapan dirinya sendiri.Dengan demikian, orang yang pemalu atau orang yang masih memiliki rasa malu adalah orang yang mulia. Ia memuliakan dirinya dihadapan Allah SWT, dihadapan manusia, dan dihadapan dirinya sendiri. Ini berarti, orang yang memiliki rasa malu adalah orang yang benar-benar kuat keimanannya, sehingga ia tidak melakukan kehinaan meski terhadap dirinya sendiri, lebih-lebih kepada orang lain, apalagi kepada Allah  SWT. Jadi, tidak salah jika ada ungkapan seperti ini, “Manusia yang paling sempurna hidupnya adalah manusia yang paling sempurna rasa malunya.” 

g.    Malu bukanlah berarti Minder. Masih banyak orang yang salah paham. Malu kadangkala dianggap sebagai sifat rendah diri alias minder. Padahal, keduanya sangatlah jauh berbeda. Menurut satu pendapat, minder diartikan sebagai kebingungan yang muncul pada diri manusia sebagai akibat dari situasi tertentu. Lebih dari itu, minder tidak berasal dari keimanan yang kuat. Ia justru lahir dari sifat pengecut dan dari sifat takut. Karena pribadi yang minder adalah pribadi yang lemah, yang tidak mengetahui nilai dirinya. Sedangkan malu, tidak bersumber dari sifat buruk seperti pengecut dan penakut. Malu bersumber dari keimanan yang kuat, sehingga Muslim yang pemalu adalah Muslim yang menjauhi segala bentuk kehinaan. 

Itulah pengertian dasar dari dari malu, lalu sudahkah diri kita mengetahuinya dan memilikinya? Semoga kita sudah memilikinya. 

2.    Macam Macam Rasa Malu. Sebagai orang yang masih memiliki rasa malu, ketahuilah bahwa malu atau rasa malu dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 

a.    Malu Naluri, yaitu rasa malu yang dikaruniakan Allah SWT kepada setiap diri manusia seperti rasa malu kelihatan auratnya. Dalam hal ini kita harus selalu tunduk dan patuh kepada Allah SWT dengan segala ketentuanNya dengan mengkaruniakan kita malu naluri. Bila kita memiliki rasa malu  terhadap diri sendiri dan juga kepada orang lain pasti kita akan selalu menjaga aurat jangan sampai kelihatan. Oleh karena itu, orang yang tidak memiliki rasa malu harus diwaspadai sebab kalau dia telah merusak citra dirinya sendiri, sangat mungkin baginya untuk merusak citra orang lain. 

b.    Malu Imani, ialah rasa malu yang bisa mencegah seseorang dari melakukan perbuatan maksiat karena takut kepada Allah SWT. Setiap mukmin haruslah memiliki sifat malu kepada Allah SWT yang sebenar benarnya, malu yang ditunjukkan dimana saja, kapan saja, dan dalam situasi serta kondisi yang bagaimanapun juga. Bukan hanya malu untuk menyimpang ketika berada di masjid semata dan sejenisnya, tetapi tidak malu malu untuk melakukan penyimpangan di pasar, di kantor, bahkan saat sendirian. Oleh karena itu menjadi penting bagi kita untuk selalu memperkokoh rasa malu sehingga tidak ada kejelekan sedikitpun  dari sifat malu tersebut. 

Ingat, kedua macam rasa malu yang kami kemukakan di atas, harus kita miliki saat hidup di muka bumi ini. 

3.    Tidakkah Kita Malu atau Masihkah Kita Memiliki Rasa Malu! Ruh/Ruhani adalah jati diri manusia yang sesungguhnya, dimana Ruh/Ruhani tidak bisa dipisahkan dengan keimanan karena keimanan inilah yang menjadi santapan, energi yang sangat dibutuhkan oleh Ruh/Ruhani. Salah satu cabang dari keimanan adalah malu atau rasa malu, ini berarti malu atau rasa malu harus melekat pada Ruh/Ruhani diri kita sehingga kita bisa menjadi khalifah yang dibanggakan oleh Allah SWT. 

a.    Malu kepada Ciptaan Allah SWT. Berdasarkan ketentuan surat Al Hajj (22) ayat 18 berikut ini: “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” dan surat Al Hadiid (57) ayat 1 berikut ini: semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Ingat, di langit dan di muka bumi yang diciptakan dan dimiliki oleh Allah SWT tidak hanya ada manusia dan jin semata. Akan tetapi ada matahari, ada bulan, ada bintang, ada gunung, ada pohon pohonan, ada binatang, ada material logam, tembaga, emas, perak dan lainnya, ada tanah, ada udara, ada air, ada petir, ada guntur, ada hujan, ada awan, ada bakteri, ada virus dan lain sebagainya. Dimana kesemuanya sujud, patuh, bertasbih kepada Allah SWT sebagaimana firmanNya berikut ini: “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memujiNya, tetapi kamu tidak mengerti  tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun. (surat Al Israa’ (17) ayat 44) 

Akan menjadi sebuah kontroversi jika kita yang hidup berdampingan dengan mereka semua lalu kita tidak mau sujud, tidak mau patuh, tidak mau bertasbih kepada Allah SWT. Apalagi ada makhluk atau ciptaan Allah SWT itu ada yang kita konsumsi, ada yang kita makan, ada yang kita butuhkan saat hidup di muka bumi ini, dalam hal ini air, udara, tumbuhan dan juga hewan. Dan alangkah tidak tahu dirinya kita yang berperilaku menyimpang dibandingkan dengan apa apa yang kita konsumsi, dengan apa apa yang kita makan, dengan apa apa yang kita hirup. Tidakkah kita malu dibandingkan dengan mereka semua apalagi kita telah diangkat menjadi duta besar Allah SWT di muka bumi yang seharusnya berperilaku terhormat dibandingkan dengan mereka semua? Lalu bisakah terjadi kehidupan yang harmonis antara diri kita dengan mereka saat hidup di dunia ini? Maukah makhluk lain yang dikonsumsi dan yang dibutuhkan oleh kita memberikan manfaat kepada diri kita secara ikhlas?

b.    Malu Kepada Diri Sendiri. Sewaktu kita hadir ke muka bumi ini, apa yang kita miliki dan apa yang kita perbuat? Seluruh manusia termasuk diri kita hadir ke muka bumi tidak memiliki apa apa dan tidak bisa berbuat apa apa, hanya bisa menangis, menangis dan menangis untuk seluruh persoalan yang dihadapinya. Setelah sekian lama hidup di muka bumi yang tidak pernah kita ciptakan dan tidak pernah kita miliki, lalu kita bisa berbuat apa apa serta telah memiliki apa apa. Apakah karena kita sendiri yang  mengakibatkan kita bisa seperti itu? Jika kita termasuk orang yang memiliki rasa malu, maka tidak sepatutnya kita berbuat diluar kepatutan dan kepantasan dihadapan Allah SWT dengan mengaku ngaku bisa berbuat apapun tanpa bantuan siapapun. Dan agar diri kita mampu malu kepada diri sendiri maka kita harus terlebih dahulu tahu siapa Allah SWT dan siapa diri kita. 

Untuk itu mari kita perhatikan dengan seksama  hal-hal yang kami kemukakan di bawah ini,  yaitu: 

a.    Untuk itu renungkanlah keberadaan jasmani diri kita  yang begitu canggih, yang begitu sempurna jaringan sel-sel syarafnya, lalu perhatikan pula ginjal, jantung, pankreas, otak dengan segala jaringannya dan lain sebagainya, yang begitu hebat keberadaannya, yang tentunya bukan kita yang ciptakan melainkan sudah dipersiapkan oleh Yang Maha Hebat pula, yaitu Allah SWT. Lalu apakah kita tidak malu dengan diri sendiri yang tidak bisa menciptakan segala yang ada pada jasmani diri sendiri lalu mempermalukan diri dihadapan Allah SWT dengan mengekploitasi penggunaan jasmani dengan cara cara diluar kepantasan dan kepatutan? Kemanakah perginya rasa malu kita, dibawa angin ataukah memang kita tidak tahu malu. Jika sudah begini kadar keimanan seseorang sudah tergadai dengan perginya rasa malu. 

b.    Untuk itu renungkanlah keberadaan Ruh/Ruhani diri kita yang berasal dari Nur Allah SWT, dimana Ruh/Ruhani inilah yang menjadi jati diri kita yang sesungguhnya.Ingat,  Ruh/Ruhani datang fitrah saat menjadi diri kita lalu kefitrahannya kita rusak saat menjadi khalifah dimuka bumi. Jika ini yang terjadi berarti kita sendirilah yang mempermalukan diri sendiri dihadapan Allah SWT dengan mengotori diri sendiri yang mengakibatkan Ruh/Ruhani menjadi jiwa fujur. Kemanakah perginya rasa malu dalam diri kita? 

c.    Untuk itu renungkanlah Amanah yang 7 yang tidak lain bagian dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT yang termaktub di dalam sifat Ma’ani Allah SWT yang kemudian dijadikan sebagai modal dasar saat diri kita menjadi khalifah di muka bumi. Lalu dimanakah letaknya rasa malu kita jika modal dasar ini kita pergunakan secara semena mena sehingga  tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT. Qudrat kita pergunakan secara asal asalan, Ilmu kita pergunakan untuk menipu, Iradat yang seharus menjadi kekuatan untuk memperoleh kebahagian justru kita gunakan untuk hal hal yang menimbulkan kerusakan. Allah SWT berfirman: “dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. (surat Al A’raaf (7) ayat 179) 

Jika kita masih memiliki rasa malu, apakah malu naluri ataukah malu imani, maka kita wajib tahu diri dan tahu Allah SWT dan jika sampai kita tidak tahu diri dan tidak tahu Allah SWT maka bertanyalah kemanakah perginya rasa malu itu. Jika sampai rasa malu hilang dalam diri berarti keimanan yang dibutuhkan oleh ruh/ruhani akan menjadikan ruh/ruhani menjadi tidak fitrah lagi lalu bisakah ruh/ruhani yang sudah tidak fitrah lagi bertemu dengan Dzat Yang Maha Fitrah? Jawaban dari pertanyaan ini adalah bisa bertemu sepanjang ruh/ruhani difitrahkan terlebih dahulu di neraka Jahannam. Bertanyalah kepada diri sendiri, sanggupkah kita merasakan panasnya api neraka saat proses memfitrahkan ruh/ruhani menjadi fitrah kembali? 

4.    Malu Kepada Allah SWT. Agar malu kepada Allah SWT bisa berlaku kepada diri kita, ada baiknya kita mempertanyakan kepada diri sendiri, siapakah yang menciptakan dan memiliki langit dan bumi dengan segala isinya? Siapakah yang menciptakan dan yang memiliki diri kita dengan segala apa apa yang menyertai diri kita? Jawaban dari kedua pertanyaan ini adalah Allah SWT lah menciptakan dan yang memiliki itu semua. Lalu bisakah kita hadir ke muka bumi ini secara langsung dengan cara menciptakan diri sendiri? Mustahil di akal hal ini bisa terjadi karena semua keberadaan manusia di muka bumi, ada karena adanya qudrat, iradat dan ilmu Allah SWT yang sangat hebat. Alangkah tidak tahu malunya kita jika kita ada karena Allah SWT lalu Allah SWT kita lawan saat hidup di muka bumi ini padahal Allah SWT adalah tuan rumah. Jika ini yang terjadi apakah Allah SWT yang kita permalukan selaku tuan rumah ataukah kita yang mempermalukan diri dihadapan Allah SWT selaku tuan rumah?  Sepanjang diri kita masih memiliki rasa malu dalam diri, sudah sepantasnya kita mampu menempatkan diri dihadapan Allah SWT secara baik dan benar. Tahu siapa diri kita yang sesungguhnya dan tahu Allah SWT yang sebenarnya. Semoga rasa malu masih ada di dalam diri kita. 

Sekarang mari kita perhatikan hadits qudsi berikut ini: Ibnu Abbas ra, berkata:  Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Wahai Anak Adam! Jika engkau ingat kepada-Ku, Aku Ingat kepadamu dan bila engkau lupa kepada-Ku, Akupun ingat kepadamu. Jika engkau taat kepada-Ku pergilah kemana saja engkau suka, pada tempat dimana Aku berkawan dengan engkau dan engkau berkawan dengan daKu. Engkau berpaling daripada-Ku padahal aku menghadap kepadamu, Siapakah yang memberimu makan dikala engkau masih di dalam perut ibumu. Aku selalu mengurusmu dan memeliharamu sampai terlaksanalah kehendak-Ku bagimu, maka setelah Aku keluarkan engkau ke alam dunia engkau berbuat banyak maksiat. Apakah demikian seharusnya pembalasan kepada yang telah berbuat kebaikan kepadamu?.(Hadits Qudsi Riwayat Abu Nasher Rabi'ah bin Ali Al Ajli dan Arrafi'ie; 272:182).” dimana Allah SWT telah menunjukkan sikapNya kepada diri kita lalu apakah sikap ini kita biarkan begitu saja tanpa ada reaksi dari kita? Jangan karena kita sudah tidak memiliki rasa malu kepada Allah SWT yang selalu menghadap kepada diri kita walaupun kita tidak menghadap kepadaNya lalu kita bersikap mempermalukan diri sendiri dengan cara acuh atau tidak memperdulikan sikap Allah SWT kepada diri kita? Hanya orang yang sudah tidak memiliki malu atau rasa malu yang bisa bersikap seperti itu kepada Allah SWT, yang juga berarti orang tersebut sudah tidak memiliki keimanan sehingga paling disayang oleh Syaitan sang laknatullah. 

Sekarang mari kita perhatikan hadits qudsi berikut ini, “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar benarnya. Jawab para sahabat, :Kami sudah malu ya Rasulullah. Nabi menjelaskan, “Bukan demikian yang dimaksud dengan malu kepada Allah dengan sebenar benarnya adalah dengan menjaga kepala dan organ organ yang terletak di kepala, menjaga perut beserta organ organ yang berhubungan dengan perut, dan mengingat kematian dan saat badan hancur di dalam kubur. Siapa yang menginginkan akhirat harus meninggalkan kesenangan dunia. Siapa yang  meninggalkan hal hal tersebut, maka ia telah merasa malu kepada Allah dengan sebenar benarnya. (Hadits Riwayat Ath Thirmidzi).”  dimana Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan kepada diri kita tentang rasa malu kepada Allah SWT yang tidak sebatas diucapkan semata. Rasa malu kepada Allah SWT harus ditunjukkan dalam perbuatan yaitu: (a) dengan menjaga kepala dan organ organ yang terletak di kepala; (b) dengan menjaga perut beserta organ organ yang berhubungan dengan perut; (c) dengan mengingat kematian dan saat badan hancur di dalam kubur; (d)visi akhirat yang telah dicanangkan hanya bisa dicapai dengan meninggalkan kesenangan dunia lalu berani membayar mahal untuk berbuat kebaikan dari waktu ke waktu. Sudahkah kita mampu melaksanakan apa apa yang dikehendaki oleh Allah SWT sehingga rasa malu diatas terpelihara dalam diri? Semoga diri kita, keluarga kita, anak keturunan kita mampu melaksanakan ketentuan hadits di atas. 

Sekarang mari kita ikuti kisah ini. Suatu ketika datang seorang lelaki kepada Ibrahim ibn Adham dan berkata, “Wahai Imam, aku ingin bertaubat dan meninggalkan dosa. Tetapi, tiba-tiba aku kembali berbuat dosa. Tunjukkan padaku sesuatu yang bisa melindungiku hingga aku tidak lagi bermaksiat kepada Allah.” Ibrahim ibn Adham pun menjawab, “Jika engkau ingin bermaksiat kepada Allah, jangan bermaksiat di bumi-Nya.” Orang itu pun bertanya, “Lalu di mana aku bisa bermaksiat, sementara seluruh bumi ini adalah milik Allah?” Ibrahim ibn Adham pun menjawab, “Tidakkah engkau malu seluruh bumi ini milik Allah tetapi engkau masih bermaksiat di atasnya?” “Jika engkau ingin bermaksiat, jangan memakan rezeki dari-Nya. Orang itu pun bertanya, “Bagaimana aku bisa hidup?” Ibrahim bin Adham pun berkata, “Tidakkah engkau malu memakan rizki dari-Nya, sementara engkau bermaksia kepada-Nya?” “Tidakkah engkau malu bermaksiat kepada-Nya, sementara Allah senantiasa bersamamu dan dekat denganmu?” Lalu, Ibrhamin ibn Adham melanjutkan, “Jika engkau tetap ingin bermaksiat, maka apabila malaikat maut datang kepadamu untuk mencabut nyawamu, katakan padanya, ‘Tunggu sampai aku bertaubat!’” Orang itu menjawab, “Adakah yang bisa melakukan itu?” Ibrahim berkata, “Tidakkah engkau malu malaikat maut datang kepadamu dan mengambil ruhmu sementara engkau dalam kondisi bermaksiat? 

Bercermin dari kisah hikmah ini, tentu kita tidak punya ruang sesenti pun untuk berbuat hina, kecuali Allah SWT mengetahui. Sementara, setiap hari kita memakan rezeki dari-Nya, hidup di bumi-Nya dan menikmati seluruh anugerah-Nya. Lantas, masihkah kita tidak malu kepada-Nya dengan tetap bangga di atas salah dan dosa-dosa yang setiap jiwa pasti pernah melakukannya? Sekiranya penduduk negeri ini benar-benar beriman, tentu mereka akan malu bermaksiat kepada Allah. Dan, sekiranya penduduk negeri ini benar-benar serius memelihara rasa malunya, tentu tidak akan terjadi segala bentuk kerusakan moral, kerusuhan sosial, atau pun kehidupan bebas tanpa aturan. 

C.      MAMPU MENJADI SEORANG PEMENANG. 

Hikmah Ikhsan yang juga paling hakiki adalah mampu menjadikan diri ini menjadi seorang pemenang, hal ini dikarenakan hidup adalah sebuah permainan untuk mengalahkan ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan. Sebagai sebuah permainan maka hasil akhir dari permainan yang kita lakukan bukan untuk menjadikan diri ini menjadi seorang pecundang yang mengalami kekalahan. Melainkan harus menjadikan diri ini sebagai pemenang yang sekaligus orang yang beruntung. Jika kita mampu menjadi pemenang di dalam permainan baik sebagai Abd’ (hamba) dan juga kekhalifahan di muka bumi berarti kita bisa pulang kampung ke tempat yang terbaik yaitu syurga. Jika kita kalah dalam permainan berarti kita pulang kampung ke neraka jahannam. Syurga adalah tempat pulang kampung yang terbaik sedangkan neraka jahannam adalah tempat pulang kampung yang terburuk. 

Untuk itu jangan pernah kita bercita cita menjadi pecundang karena hasil akhirnya tidak mengenakkan yaitu keburukan yang sangat merugikan lagi menyengsarakan. Tanamkan dalam diri bahwa kita adalah pemenang karena hasil akhirnya  sesuatu yang sangat menyenangkan yaitu kebaikan yang menguntungkan. Akan tetapi semua ini tidak akan bisa terealisir jika kita tidak sabaran untuk meraih kemenangan. Agar diri kita tidak sampai salah di dalam melaksanakan permainan maka kita harus memiliki ilmu dan pengetahuan apa yang dimaksud dengan kemenangan yang menguntungkan dan apa yang dimaksud dengan kekalahan yang merugikan itu. Berikut ini akan kami kemukakan kriteria dari kemenangan dan kekalahan itu, yaitu: 

1.      Kemenangan Yang Sebenarnya. Berikut ini akan kami kemukakan makna yang hakiki dari hakekat sebuah kemenangan, yaitu: 

a.    Hakekat kemenangan itu adalah jika kita termasuk orang orang yang mewarisi apa yang dinamakan dengan syurga Firdaus dan kita kekal berada di dalamnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Mu’minuun (23) ayat 9, 10, 11 berikut ini: dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya.” Syurga Firdaus adalah salah satu syurga yang terbaik dari tingkatan tingkatan syurga yang ada. Semoga syurga ini yang kita peroleh kelak. Sedangkan berdasarkan ketentuan surat Al Kahfi (18) ayat 107 yang kami kemukakan berikut ini: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal.”  Syurga Firdaus diperuntukan hanya bagi orang orang yang beriman lagi beramal shaleh, dalam hal ini adalah orang yang mampu berbuat kebaikan dalam kerangka ibadah ikhsan. 

b.    Hakekat dari kemenangan adalah mampu menjadikan diri kita menjadi orang yang bertaqwa (derajat muttaqin). Ingat menjadikan diri kita bertaqwa maka beruntunglah diri kita lalu dengan keberuntungan inilah kita menjadi seorang pemenang. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Baqarah (2) ayat 189 berikut ini: “mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” 

c.    Hakekat kemenangan adalah orang yang mampu menyerahkan dirinya kepada Allah SWT sedang ia orang yang berbuat kebaikan.  Hal ini berdasarkan ketentuan surat Luqman (31) ayat 22 berikut ini:  “dan Barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang Dia orang yang berbuat kebaikan, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.”   

Dari ketiga konsep kemenangan yang kami kemukakann di atas, diposisi yang manakah diri kita, apakah yang memperoleh syurga firdaus, orang yang bertaqwa (derajat muttaqin) atau yang mampu menyerahkan dirinya kepada Allah SWT? Semoga jamaah sekalian mampu menjadikan diri dan keluarga serta anak keturunannya menjadi pemenang yang memiliki ketiga kriteria di atas. Amiin. 

2.    Inilah Sang Pemenang. Lalu siapakah yang disebut dengan pemenang baik sebagai Abd’ (hamba) dan juga sekaligus khalifah di muka bumi? Berikut ini akan kami kemukakan sang pemenang dimaksud, yaitu: 

a.    Sang pemenang adalah orang yang memiliki jiwa suci (jiwa fitrah) atau jiwa taqwa atau jiwa muthmainnah, orang yang seperti ini mampu menjadikah ruh (ruhani) sebagai khalifah (subyek) yang mampu mengendalikan jasmani (obyek), sebagaimana dikemukakan dalam surat As Syams (91) ayat 9 berikut ini: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,” Hal ini akan terlihat dari perilaku dan perbuatan orang tersebut yang selalu berkesesuaian dengan Asmaul Husna yang memang sudah menjadi sifat daripada ruh (ruhani) manusia, atau dengan kata lain orang tersebut mampu membuat Allah SWT tersenyum bangga kepadanya. Lalu bagaimana dengan diri kita? 

b.    Sang pemenang dalam permainan kekhalifahan di muka bumi adalah orang mukmin (orang yang beriman). Ingat, orang yang beriman, bukan orang Islam yang disebut sebagai pemenang. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Mu’minuun (23) ayat 1 berikut ini: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,” 

c.    Pemenang dalam permainan kekhalifahan di muka bumi adalah golongan Allah Yang Teguh Imannya. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Mujaadilah (58) ayat 22 berikut ini:  “kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah golongan Allah. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya golongan Allah itu adalah golongan yang beruntung.”

Adanya tiga buah keadaan tentang sang pemenang, sudahkah diri kita menjadi pemenang baik sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi, sehingga kita masuk dalam kategori orang yang memiliki jiwa yang suci lagi jiwa taqwa, orang yang beriman atau yang menjadi golongan Allah yang teguh imannya? 

3.    Siapa Sajakah Sang Pecundang Yang Tidak Beruntung. Berikut ini akan kami kemukakan kriteria dari para pecundang yang tidak beruntung itu, yakni: 

a.    Sang pecundang atau orang yang tidak beruntung adalah pengikut dan penyembah berhala atau orang yang murtad.  Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Kahfi (18) ayat 20 berikut ini: “Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama lamanya". 

b.    Sang pecundang atau orang yang tidak beruntung adalah Orang Dzalim. Dzalim merupakan sifat yang hina dan keji yang tidak sesuai dengan fitrah dan akhlak manusia. Dzalim dalam ajaran Islam adalah meletakkan suatu perkara bukan pada tempatnya yang mengakibatkan seseorang berperilaku tidak berkeperimanusian, bengis, kemungkaran, gemar melihat kesengsaraan dan penderitaan orang lain. Sebagaimana dikemukakan dalam  surat Al Qashash (28) ayat 37 berikut ini: “Musa menjawab: "Tuhanku lebih mengetahui orang yang (patut) membawa petunjuk dari sisi-Nya dan siapa yang akan mendapat kesudahan (yang baik) di negeri akhirat. Sesungguhnya tidaklah akan mendapat kemenangan orang-orang yang zalim". 

c.    Sang pecundang  atau yang dikatakan orang yang merugi adalah orang orang yang mendustakan Allah SWT dan Ayat AyatNya atau orang yang menganiaya diri sendiri. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Yunus (10) ayat 69 berikut ini: “Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak beruntung". dan juga berdasarkan surat Al An’am (6) ayat 21 berikut ini: “dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan.” 

d.   Sang pecundang  atau yang dikatakan orang yang merugi adalah orang orang yang mengingkari nikmat Allah SWT. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Qashash (28) ayat 82 “dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Karun itu, berkata: "Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang- orang yang mengingkari (nikmat Allah)". 

e.    Sang pecundang  atau yang dikatakan orang yang tidak beruntung adalah orang yang menyembah Tuhan selain Allah SWT sehingga ia memohon kepada selain Allah SWT. Termasuk di dalamnya adalah orang kafir. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Mu’minuun (23) ayat 117 berikut ini, “dan Barangsiapa menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, Padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, Maka Sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.”   

f.     Sang pecundang  atau yang dikatakan orang yang tidak beruntung adalah orang yang  membikin bikin hukum sendiri dengan mengada adakan kehongan terhadap Allah SWT Sebagaimana dikemukakan dalam surat An Nahl (16) ayat 116 berikut ini: ”dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung.”   

g.    Sang pecundang atau yang dikatakan orang yang merugi adalah Yang Ringan Timbangan Amalnya. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Mu’minuun (23) ayat 103 berikut ini: “dan Barangsiapa yang ringan timbangannya, Maka mereka Itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahannam.” 

h.   Sang pecundang atau yang dikatakan orang yang merugi adalah orang yang mengotorkan jiwa sehingga dikategorikan sebagai jiwa fujur yang sesuai dengan kehendak syaitan sang laknatullah. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Asy Syams (91) ayat 8, 9, 10 berikut ini: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” 

i.     Sang pecundang  atau yang dikatakan orang yang merugi adalah orang orang yang banyak berbuat dosa. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Yunus (10) ayat 17 berikut ini: “Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan ayat-ayatNya? Sesungguhnya, Tiadalah beruntung orang-orang yang berbuat dosa.”   

j.     Berdasarkan surat Yunus (10) ayat 77 berikut ini: “Musa berkata: "Apakah kamu mengatakan terhadap kebenaran waktu ia datang kepadamu, sihirkah ini?" Padahal Ahli-ahli sihir itu tidaklah mendapat kemenangan". adalah ahli ahli sihir termasuk di dalamnya dukun, paranormal dan lain sebagainya termasuk orang orang yang dikategorikan sebagai pecundang. 

Setelah mengetahui 10 (sepuluh) kriteria tentang sang pecundang, jangan pernah jadikan diri kita, keluarga kita, anak dan keturunan kita menjadi orang orang yang masuk dalam kriteria pecundang. 

4.    Karakteristik Sang Pemenang. Berikut ini akan kami kemukakan karakteristik karakteristik dari seorang pemenang, yaitu: 

a.    Salah satu karakter dari seorang pemenang yaitu ia yang selalu khusyu’ (konsentrasi) dalam setiap apa apa yang dilakukannya atau selalu bersungguh sungguh melakukan apa apa yang akan diraihnya. Contohnya saat shalat, saat menunaikan zakat, saat memanfaatkan waktu. Selain daripada itu, seorang pemenang akan menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna, selalu menunaikan zakat, mampu menjaga kemaluannya, mampu menjaga dan memelihara segala amanat amanat yang dipikulnya serta tidak ingkar janji, dan lain sebagainya yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam  surat Al Mu’minuun (23) ayat 1 sampai dengan ayat 9 berikut ini: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki[994]; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela, Barangsiapa mencari yang di balik itu[995] Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. dan orang-orang yang memelihara shalatnya. (surat Al Mu’minuun (23) ayat 1 sampai 9). 

[994] Maksudnya: budak-budak belian yang didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian yang didapat di luar peperangan. dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang ditawan biasanya dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang ikut dalam peperangan itu, dan kebiasan ini bukanlah suatu yang diwajibkan. imam boleh melarang kebiasaan ini. Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.

[995] Maksudnya: zina, homoseksual, dan sebagainya. 

Sedangkan berdasarkan surat Al Maaidah (5) ayat 35 berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” karakter dari seorang pemenang adalah setelah beriman dilanjutkan dengan bersungguh sungguh menuju kepada Allah SWT agar menjadi orang dekat Allah SWT. 

b.    Salah satu karakteristik dan yang juga salah satu kebiasaan seorang pemenang adalah ia selalu berusaha untuk menjadi unggul dikarenakan selalu bersegera dalam mengerjakan perbuatan perbuatan yang baik dan selalu berdoa kepada Allah SWT dengan harap dan cemas serta selalu khusyu’ kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Anbiyaa (21) ayat 90 di bawah ini, “Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada kami.”   

c.    Seorang pemenang selalu memiliki target dan tujuan yang akan diraihnya (memiliki visi akhirat) dan berani membayar mahal untuk merealisasikan visi akhiratnya serta konsisten untuk meraihnya dari waktu ke waktu. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Zalzalah (99) ayat 7 dan 8 berikut ini: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.” 

d.   Sang pemenang selalu memiliki dan menentukan prioritas dalam kesehariaannya. Hal ini ditunjukkan dengan mendirikan shalat di waktu waktu yang telah ditentukan, lalu ia selalu ingat Allah SWT di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Hal ini berdasarkan ketentuan surat An Nisaa’ (4) ayat 103 berikut ini: “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”   

e.    Seorang pemenang akan selalu membuat rencana dengan selalu mempersiapkan diri untuk menghadapi segala sesuatu sehingga apa yang dilakukannya adalah tindakan yang terstruktur, tertata dan bersifat jangka panjang. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Anfaal (8) ayat 60 berikut ini: “dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” 

f.     Seorang pemenang memiliki manajemen waktu yang baik, terperinci serta tidak mau membuang buang waktu untuk urusan yang tidak berguna. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Ashr (103) ayat 1 sampai 3 berikut ini: “demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”   

g. Seorang pemenang adalah seorang yang selalu berhijad (selalu bersungguh sungguh) untuk mencari keridhaan Allah atau ia selalu bersungguh sungguh di dalam berbuat kebaikan dalam kerangka ibadah ikhsan. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Ankabuut (29) ayat 69 berikut ini: “dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”   

a.    Orang yang mampu menjadi seorang pemenang biasanya ia orang yang sangat piawai dalam bergaul, atau orang yang mampu bergaul kepada siapapun. Berdasarkan ketentuan surat Ali Imran (3) ayat 159 berikut ini: ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” 

b.    Seorang pemenang akan menafkahkan hartanya di waktu lapang ataupun sempit, selalu mampu menahan amarahnya serta selalu memaafkan kesalahan orang lain. Berdasarkan ketentuan surat Ali Imran (3) ayat 134 berikut ini: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” 

c.    Seorang pemenang akan menjalani hidup dan kehidupannya dalam keseimbangan. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Furqaan (25) ayat 67 berikut ini: “dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” Sedangkan berdasarkan ketentuan surat Al Hasyr (59) ayat 9 berikut ini: dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.” seorang pemenang tidak akan pelit bahkan lebih mementingkan atau mendahulukan keperluan orang lain dibandingkan dengan keperluan dirinya. 

d.   Karakter dari seorang pemenang adalah jika berhadapan dengan musuh ia tidak gentar menghadapinya  yang dilanjutkan dengan selalu mengingat Allah SWT sebanyak banyaknya, termasuk di dalamnya selalu mengajak Allah SWT untuk membantu mengalahkan musuh. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Anfaal (8) ayat 45 berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), Maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” 

e.    seorang pemenang dapat dipastikan ia tidak akan mau melaksanakan amal syaitan seperti mabuk, berjudi, mengundi nasib dan lain sebagainya yang sesuai dengan kehendak syaitan. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Maaidah (5) ayat 90 berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” 

Sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi, sudahkah kita mampu memiliki kebiasaan kebisaan, atau memiliki karakter karakter yang mencerminkan seorang pemenang dalam diri ini yang telah mencanangkan diri sebagai seorang pemenang? Jika belum segera perbaiki diri saat ini juga sebelum semuanya terlambat. Ingat, kesempatan hanya ada di sisa usia yang kita miliki. 

5.    Bentuk Penampilan Sang Pemenang. Jika kita mengacu kepada ketentuan surat Al Hajj (22) ayat 18 berikut ini: “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” dan juga surat Al Hadiid (57) ayat 1 yang kami kemukakan berikut ini: “semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Berdasarkan dua buah ketentuan ayat di atas ini, dapat kami kemukakan beberapa penampilan dari sang pemenang, yaitu: 

a.    Konsep ilmu padi tampil dalam diri sang pemenang, semakin berisi maka semakin merunduk dengan semakin rendah hati dihadapan Allah SWT. Semakin banyak belajar akan timbul perasaan semakin bodoh serta semakin kecil dihadapan Allah SWT yang dilanjutkan dengan terus belajar tanpa mengenal usia. 

b.    Berperilaku selalu berkesesuaian dengan perilaku makhluk ciptaan Allah SWT yang ada di langit dan di bumi seperti bertasbih kepada Allah SWT serta sujud patuh kepada Allah SWT sehingga terjadilah kesesusaian perilaku diantara diri kita dengan makhluk ciptaan Allah SWT yang lainnya. 

c.    Tidak mau menyakiti sesama makhluk Allah SWT baik melalui perilaku ataupun perlakuan kepada apa apa yang ada di langit dan di muka bumi terutama kepada sesuatu yang kita manfaatkan bagi kepentingan diri kita seperti hewan yang kita konsumsi, tumbuhan yang kita kita makan, udara yang kita hirup serta air yang sangat kita butuhkan. 

d.    Selalu membaca Basmallah sebelum mengkonsumsi makanan dan minuman yang berasal dari ciptaan Allah SWT sehingga makanan dan minuman yang kita konsumsi mau memberikan kebaikan yang dimilikinya kepada kita dengan suka rela ridha karena Allah SWT. 

e.    Saling menghargai diantara sesama makhluk ciptaan Allah SWT yang tidak hanya pada sesama manusia tetapi juga dengan sesama makhluk. Apalagi ada sebahagian makhluk yang diciptakan Allah SWT kita butuhkan seperti pohon, air, udara, hewan dan lain sebagainya. 

Penampilan seorang pemenang yang beruntung yang sangat penting kita jadikan contoh adalah ia tidak alergi dengan apa yang dinamakan dengan perubahan. Hal ini dikarenakan makna yang hakiki dari perubahan adalah untuk kita jadikan sebagai tolak ukur untuk mempertahankan atau untuk lebih meningkatkan kualitas diri. Lalu apa itu yang dimaksud dengan perubahan? Perubahan menggandung arti atau gerakan menuju kepada kesempurnaan atau kualitas hidup yang lebih baik dan lebih baik lagi. Ingat, seseorang dapat dikatakan telah berubah jika telah bergeser atau bergerak dari posisi semula sehingga jika tanpa ada pergeseran atau pergerakan maka tidak akan terjadi makna perubahan. Perubahan menjadi penting dalam kehidupan kita saat ini karena: (a) Perubahan merupakan tanda kehidupan, hal ini dikarenakan jika hidup tanpa perubahan sama dengan kematian; (b) Perubahan merupakan watak alam ini, hal ini ditunjukkan dengan setiap benda, termasuk diri kita pasti terkena dengan hukum perubahan. Tidak ada yang tidak ada yang tidak berubah di alam ini, kecuali perubahan itu sendiri; (c) Dibalik setiap perubahan terkandung harapan sehingga disetiap perubahan timbul harapan semoga kita lebih baik dari sebelumnya. Dan Perubahan dalam diri seseorang tidak akan terjadi dengan sendirinya serta tidak turun dari langit begitu saja. Perubahan adalah proses yang harus kita lakukan dengan kesadaran diri untuk merubah apa apa yang ada pada diri kita. 

Agar perubahan yang kita lakukan menjadi sebuah perubahan yang besar seperti yang termaktub dalam surat Al Anfaal (8) ayat 53 berikut ini: “(siksaan) yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” maka perubahan harus didukung dengan hal hal sebagai berikut: (a) Adanya Pola pikir (mindset) dan niat yang kuat untuk maju dan berubah sehingga kita mampu menjadi pemenang (winner), terkecuali jika kita berharap menjadi pecundang (looser); (b) Adanya Ilmu dan pengetahuan sebagai landasan dasar untuk mengadakan suatu perubahan; (c) Adanya program unggulan yang sudah disesuaikan dengan ilmu dan pengetahuan serta pemahaman yang kita miliki;  (d) Adanya tindakan yang dapat mengubah suatu kemungkinan menjadi sebuah kenyataan; (e) Adanya Sikap pantang menyerah. Rencana perubahan gagal di tengah jalan atau berumur pendek sering kali hanya karena kita tidak memiliki sifat yang satu ini; (f) Akhirnya adanya Sabar dan shalat harus selalu menyertai diri kita saat melakukan sebuah gerakan perubahan, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (surat Al Baqarah (2) ayat 45). Ayo berubah, saat ini juga jangan menunggu untuk dirubah karena kesempatan untuk berubah hanya ada pada saat ini serta satu satunya jalan untuk menjadi lebih baik dan lebih baik dari waktu ke waktu hanya melalui jalan perubahan. 

D.     MAMPU MEMBUAT ALLAH SWT TERSENYUM BANGGA KEPADA DIRI KITA. 

Hikmah Ikhsan yang juga paling hakiki adalah mampu membuat Allah SWT tersenyum bangga kepada diri kita, atau mampu membuat Allah SWT senang kepada diri kita. Jika ini yang terjadi maka Allah SWT akan limpahkan rahmat-Nya dengan membuat hidupmu lapang dan bahagia. Jangan lupa jadikan kewajiban kepada Allah SWT sebagai sebuah kebutuhan karena ini adalah kunci kesuksesan hidup di dunia dan akhirat kelak. Apabila kita hanya sibuk dengan ibadah ritual semata dan bangga akan itu (maksudnya sibuk dengan ibadah Habblum minannallah) maka itu tandanya kamu hanya mencintai dirimu sendiri (egois), bukan cinta kepada Allah SWT. Akan tetapi, bila kita berbuat dan berkorban untuk orang lain serta melunakkan hati untuk kepentingan orang lain maka itu tandanya kita mencintai Allah SWT dan tentu Allah SWT senang karenanya. 

Agar diri kita mudah memahami tentang membuat Allah SWT tersenyum karena senang kepada diri kita. Berikut ini akan kami kemukakan sebuah kisahnya. Alkisah ada ahli ibadah bernama Abu bin Hasyim yang kuat sekali tahajudnya. Hampir ber-tahun tahun dia tidak pernah absen melakukan sholat tahajud. Pada suatu ketika saat hendak mengambil wudhu untuk tahajud, Abu bin Hasyim dikagetkan oleh keberadaan sesosok makhluk yang duduk di bibir sumurnya. Abu bin Hasyim bertanya, “Wahai hamba Allah, siapakah Engkau ?”.Sambil tersenyum, sosok itu berkata; “Aku Malaikat utusan Allah” Abu bin Hasyim kaget sekaligus bangga karena kedatangan tamu malaikat mulia. Dia lalu bertanya, “Apa yang sedang kamu lakukan di sini?” Malaikat itu menjawab, “Aku disuruh mencari hamba pencinta Allah” Melihat Malaikat itu memegang kitab tebal, Abu lalu bertanya; “Wahai Malaikat, buku apakah yang kau bawa ?” Malaikat menjawab; “Ini adalah kumpulan nama hamba hamba pencinta Allah.” Mendengar jawaban Malaikat, Abu bin Hasyim berharap dalam hati namanya ada disitu. Maka ditanyalah Malaikat itu. “Wahai Malaikat, adakah namaku disitu ?” Abu bin Hasyim berasumsi bahwa namanya ada di buku itu, mengingat amalan ibadahnya yang tidak kenal putusnya. Selalu mengerjakan shalat tahajud setiap malam, berdo’a dan bermunajat pada Allâh SWT di sepertiga malam. “Baiklah, aku buka,” kata Malaikat sambil membuka kitab besarnya. Dan ternyata Malaikat itu tidak menemukn nama Abu bin Hasyim di dalamnya. Tidak percaya, Abu bin Hasyim meminta Malaikat mencarinya sekali lagi.  “Betul … namamu tidak ada di dalam buku ini !” kata Malaikat. Abu bin Hasyim pun gemetar dan jatuh tersungkur di depan Malaikat. Dia menangis sejadi jadinya. “Rugi sekali diriku yang selalu tegak berdiri di setiap malam dalam tahajud dan bermunajat … tetapi namaku tidak masuk dalam golongan para hamba pecinta Allah,” ratapnya. 

Melihat itu, Malaikat berkata, “Wahai Abu bin Hasyim ! Bukan aku tidak tahu engkau bangun setiap malam ketika yang lain tidur … mengambil air wudhu dan kedinginan pada saat orang lain terlelap dalam buaian malam. Tapi tanganku dilarang Allâh menulis namamu.” “Apakah gerangan yang menjadi penyebabnya ?” tanya Abu bin Hasyim. “Engkau memang bermunajat kepada Allâh, tapi engkau pamerkan dengan rasa bangga kemana mana dan asyik beribadah memikirkan diri sendiri. Di kanan kirimu ada orang sakit atau lapar, tidak engkau tengok dan beri makan. Bagaimana mungkin engkau dapat menjadi hamba pecinta Allah kalau engkau sendiri tidak pernah mencintai hamba hamba yang diciptakan Allâh ?” kata Malaikat itu. Abu bin Hasyim seperti disambar petir di siang bolong. Dia tersadar hubungan ibadah manusia tidakklah hanya kepada Allâh semata (hablumminAllâh), tetapi juga ke sesama manusia (hablumminannâs) dan alam. (Imam Al Ghazali, dalam bukunya Muksyafatul Qulub) 

Untuk mempertegas kisah di atas, kami ingin mengajak jamaah sekalian untuk merenungkan kembali apa yang dikemukakan dalam hadits berikut ini: Abu Hurairah ra, meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Pada hari Kiamat, Allah SWT berfirman: Wahai anak Adam, Aku sedang sakit, kenapa kamu tidak menjengukKu. Anak Adam menjawab, Wahai Tuhan, bagaimana hamba bisa menjengukMu, sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam? Allah berkata, ‘Apakah kamu tidak menyadari jika hambaKu, fulan, sedang sakit tapi kamu tidak mau menjenguknya? Apakah kamu tidak mengetahuinya, seandainya kamu menjenguknya, kamu akan mendapatkanKu sedang bersamanya? Allah berkata lagi, Wahai anak Adam, Aku meminta makanan kepadamu, tapi mengapa kamu tidak mau memberi Ku makanan? Anak Adam menjawab, Wahai Tuhan, bagaimana hamba bisa memberi Mu makanan, sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam? Allah berkata, ‘Apakah kamu tidak menyadari, ketika ada hamba Ku yang meminta makanan kepadamu, tapi kamu tidak mau memberinya makanan? Apakah kamu tidak mengetahui, seandainya kamu memberinya makanan niscaya kamu akan mendapatkan itu di sisi Ku?  Allah berkata lagi, “Wahai anak Adam, Aku meminta minum kepadamu, tapi kamu tidak memberi Ku minuman? Anak Adam menjawab, Wahai Tuhan, bagaimana hamba bisa memberi Mu minum, sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam? Allah berkata, “Salah seorang hamba Ku meminta minum kepadamu, tapi kamu tidak memberinya minum. Apakah kamu tidak mengetahui, seandainya kamu memberinya minum niscaya kamu mendapatkan itu di sisi Ku.” (Hadits Riwayat Muslim). Sekarang sudahkah kita mampu melaksanakan apa apa yang tertuang di dalam ketentuan hadits riwayat Muslim yang kami kemukakan di atas ini? Jika sudah berarti kita sedang berusaha untuk membuat Allah SWT tersenyum bangga kepada diri kita dan jika belum berarti ada sesuatu yang salah dalam diri kita. 

Lalu apakah hanya kepada orang yang sakit, apakah hanya kepada orang kelaparan dan kehausan saja kita berbuat kebaikan? Berbuat kebaikan tidak hanya pada apa yang dikemukakan di hadits tersebut di atas, namun masih banyak lagi yang bisa kita lakukan kepada orang banyak seperti memberi pengajaran dengan menjadi guru tanpa bayaran, menjadi motivator bagi tumbuh kembangnya bisnis wirausaha, menjadi dokter bagi keluarga tidak mampu, menjadi sukarelawan bencana alam dan lain sebagainya. Intinya adalah sudahkah kita mengambil peran masing masing di dalam masyarakat sehingga masyarakat terbantu atas peran yang kita ambil. Semakin banyak peran yang diambil oleh setiap anggota masyarakat semakin banyak orang  yang akan terbantu. Ayo buktikan diri kita berguna dengan mengambil peran yang sesuai dengan kemampuan diri kita saat ini juga. Jangan pernah menunda nunda berbuat kebaikan karena menunda nunda pekerjaan baik berarti kita telah memberikan kesempatan kepada perampok perampok waktu melaksanakan aksinya dihadapan di kita sendiri.    

Selain daripada itu, ada dua hal yang harus kita ketahui agar jangan sampai apa yang telah kita laksanakan menggagalkan Allah SWT tersenyum bangga kepada diri kita adalah : (1)  sibuk mengerjakan perkara perkara yang bersifat sunnah sehingga menyianyikan perkara perkara yang bersifat wajib (kewajiban). Hal ini dikarenakan ibadah sunnah baru bisa dikatakan sebagai ibadah sunnah apabila kita telah selesai melaksanakan ibadah wajib serta ibadah sunnah tidak bisa mengalahkan atau menggantikan ibadah wajib. Ibadah sunnah bisa dikatakan sebagai penyempurna dari pelaksanaan ibadah wajib; (2) mengerjakan amaliah lahir tanpa disertai dengan amaliah bathin (amaliah hati). Hal ini dikarenakan nikmatnya beribadah terletak dari merasakan hakekat yang terdapat dibalik ibadah sepanjang tidak melanggar syariat. Selanjutnya jika kehadiran kita di muka bumi ini bisa membuat Allah SWT tersenyum bangga kepada diri kita berarti kita sejalan dengan kehendak Allah SWT. Namun apabila kehadiran diri kita di muka bumi membuat Allah SWT benci dan marah berarti ada yang salah dalam diri kita. 

Namun demikian, berdasarkan ketentuan surat Fathir (35) ayat 45 yang kami kemukakan berikut ini: “dan kalau Sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun] akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; Maka apabila datang ajal mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” Allah SWT masih memberikan kesempatan bagi diri kita untuk melaksanakan taubat sehingga Allah SWT masih memberikan kesempatan ke dua bagi diri kita agar sesuai dengan kehendak Allah SWT, yaitu Allah SWT tersenyum bangga dengan diri kita. 

Untuk itu jangan pernah memiliki konsep menunda sampai tua baru melakukan kebaikan karena kita tidak tahu sampai kapan kita hidup di dunia ini? Selama kita masih diberikan kesempatan untuk berbuat kebaikan, ambil kesempatan itu lalu lakukan kebaikan, atau ambil peran di masyarakat dan jangan pikirkan ukuran dari kebaikan, lakukan kebaikan seperti mengalirnya air. Jika kita terlalu banyak berfikir untuk berbuat kebaikan, kesempatan yang ada bisa terbang melayang karena ulah kita sendiri yang terlalu banyak berfikir. Berbuat kebaikan memang harus dipikirkan dengan matang tetapi jangan terlampau dipikirkan karena kesempatan yang kita peroleh bisa diambil oleh orang lain. Akhirnya timbul penyesalan kenapa hal itu tidak kita ambil. 

Ingat, kesuksesan bukanlah kunci dari kebahagiaan. Justru kebahagiaan adalah kunci dari kesuksesan. Salah satu kunci kesuksesan adalah sikap konsisten terhadap keyakinan. Jika konsep ini kita pegang teguh maka pada saat diri kita melakukan kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan yang ada adalah berbuat dan berbuat kebaikan. Soal adanya ocehan, adanya omongan, adanya komentar dari orang orang yang iri dan dari orang orang yang tidak suka dengan apa yang kita lakukan acuhkan mereka karena kita berbuat bukan karena mereka dan karena tidak bertanggung jawab kepada mereka. Disinilah letaknya kita harus memiliki referensi sendiri terhadap kebaikan atau perbuatan baik yang kita lakukan yaitu ikhlas berbuat karena Allah SWT dalam kerangka mencari ridha Allah SWT yang dilandasi dengan keimanan kepada Allah SWT. 

E.      MAMPU MELINDUNGI DIRI DAN KELUARGANYA DARI API NERAKA. 

Salah satu hikmah yang lain dari ibadah ikhsan yang dapat kami kemukakan adalah  mampu melindungi dirinya sendiri, istrinya/suaminya, keluarganya, anak keturunannya, kerabatnya dari api neraka yang sangat ganas sebagaimana firmanNya berikut ini: Wahai orang orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat malaikat yang kasar, dank eras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (surat At Tahrim (66) ayat 6).”  Jika apa yang dikemukakan dalam ayat ini adalah hikmah dari ibadah ikhsan berarti upaya melindungi diri dan keluarga dari api neraka bukanlah pekerjaan yang bersifat jangka pendek, atau hanya dilakukan secara berkala saja yang penting sudah dilakukan. Untuk melindungi keluarga dari api neraka sangat membutuhkan komitmen, sangat  membutuhkan perjuangan, sangat membutuhka keseriusan, serta sangat membutuhkan rencana dan implementasi dalam jangka panjang dan juga butuh saling kerjasama di antara anggota keluarga.  

Di lain sisi, ada sebuah kondisi yang paling dikehendaki dan dicita citakan oleh seluruh umat manusia, yaitu bisa berkumpul dengan keluarga besar di syurga. Namun kondisi ini tidak akan bisa terlaksana jika kita yang telah menjadi orang tua, apakah menjadi seorang suami ataukah menjadi seorang istri, jika kita semua tidak mampu memelihara diri, keluarga, anak keturunan dari api neraka, atau hanya mementingkan diri sendiri tanpa memperdulikan keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Dan salah satu bukti bahwa diri kita mampu memelihara diri dan keluarga dari api neraka, yaitu mampu memberikan nafkah kepada keluarga berupa makanan yang halal lagi baik (thayyib) yang dibiayai dari penghasilan dan/atau pekerjaan yang juga halal, sebagaimana ketentuan surat Al Baqarah (2) ayat 168 berikut ini: ““Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (surat Al Baqarah (2) ayat 168).” Namun apabila yang terjadi adalah kita mencampur penghasilan yang kita peroleh dengan sesuatu yang haram, atau melakukan pekerjaan yang haram yang mengakibatkan penghasilan atau nafkah kepada keluarga terkontaminasi dengan yang haram berarti kita sendirilah yang secara sadar yang menjerumuskan anak, keluarga dan diri kita sendiri ke dalam api neraka, sebagaimana yang dikehendaki oleh setan sang laknatullah.

Selain daripada itu, sebagai bukti diri kita mampu memelihara diri dan keluarga dari api neraka, sudahkah diri kita memberikan pendidikan akhlak, atau mendidik anak keturunan kita sendiri dengan mendahulukan pendidikan agama (akhlaq dan akidah) dibandingkan pendidikan umum yang dimulai sejak anak masih di dalam kandungan sampai mereka siap menjadi generasi penerus keluarga, sebagaimana lirik lagu kebangsaan kita, “Indonesia Raya karya “Wage Rudolf Soepratman” yaitu: “Bangunglah jiwanya bangunah badannya untuk Indonesia Raya”. Jika belum kita lakukan berarti ada sesuatu yang salah dalam pola pendidikan yang kita lakukan kepada anak keturunan kita sendiri. 

Lalu apakah hanya sampai disini saja kita memelihara diri dan keluarga dari api neraka? Masih ada bentuk tanggung jawab diri kita kepada keluarga sendiri, yaitu mampu menjadikan diri kita sendiri menjadi suri tauladan keluarga secara langsung kepada istri/suami, kepada anak anak baik laki atau perempuan, kepada menantu laki atau perempuan, kepada cucu dan anak keturunan, apakah itu pelaksanaan ibadah sehari hari. Juga tauladan dalam bersikap dan berbuat kepada orang tua dan juga kepada masyarakat yang ada di lingkungan sekitar rumah. Dan jangan lupa mengajarkan hal hal kecil tapi bermakna kepada anak anak seperti membiasakan diri untuk berbagi kepada sesama, berbagi melalui kembalian uang receh dan lain sebagainya.   

Dan ada satu hal yang sering terlupakan yaitu saat kita berdoa untuk kepentingan keluarga, kita sering membatasi doa yang kita panjatkan untuk kepentingan anak dan cucu semata. Jika ini yang terjadi maka jangan salahkan anak keturunan setelah cucu menjadi tidak sesuai dengan cita cita dan harapan orang tua karena ulah kita sendiri yang tidak mau mendoakan mereka. Untuk itu jika kita berdoa jangan batasi hanya sampai anak cucu semata, melainkan untuk anak dan keturunanku seterusnya. Sehingga dengan doa yang kita panjatkan terbukalah jalan untuk anak keturunan kita sampai dengan hari kiamat kelak serta kesempatan untuk didoakan oleh anak dan keturunan kita juga terbuka lebar kepada diri kita. 

 Hal ini menjadi penting kita ketahui karena keberadaan anak dan keturunan tidak bisa dilepaskan dengan kehormatan yang dimiliki oleh orang tuanya serta kakek neneknya. Sehingga mereka terikat pula dengan doa, harapan dan cita cita diri kita selaku orang tua sehingga antara diri kita dengan anak keturunan kita berada di dalam kesamaan Diinul Islam. Untuk itu jika kita telah tahu diri, maka sudah sepatutnya kita berperilaku yang tidak mencoreng kehormatan orang tua & mertua kita saat kita hidup di muka bumi ini. Dan jika sampai kita memalukan kedua orang tua & mertua kita maka tercoreng pula harkat dan martabat dari keturunan mereka oleh ulah diri kita sendiri dan akhirnya betapa kecewa dan malunya mereka akibat ulah diri kita. Namun alangkah bahagia dan bangganya mereka jika kita mampu menghantarkan anak keturunan kita sesuai dengan harapan dan cita cita mereka. Semoga diri kita, keluarga kita, anak dan keturunan kita dapat berkumpul di syurga kelak. Amiin. 

F.      MAMPU MENEMUKAN KEKUATAN LUARBIASA DARI ENERGI KEIMANAN SEHINGGA POTENSI DIRI MENINGKAT. 

Hikmah Ikhsan yang lainnya yang juga paling hakiki adalah mampu menemukan kekuatan yang luar biasa dari enegeri keimanan yang ada dalam diri. Sehingga dengan adanya energi keimanan yang meningkat ini mampu pula meningkatkan minat, bakat serta kemampuan yang tersembunyi dalam diri yang akhirnya kita mampu memahami inilah potensi diri ini yang sesungguhnya. Akhirnya dengan kemampuan ini kita bisa menunjukkan kualitas diri melalui ibadah ikhsan. Dan dengan adanya ibadah ikhsan ini maka pernyataan bahwa hakekat kelahiran setiap manusia adalah kemampuan meninggalkan jejak kehidupan yang mendalam di muka bumi dapat terelasir dan semoga sesuai dengan kehendak Allah SWT. 

Kehidupan seorang manusia takkan berarti atau tidak akan meninggalkan jejak yang kuat serta pengaruh yang besar, kecuali bila orang tersebut memiliki jiwa yang kuat, akal yang cerdas, tekad yang membaja, dan kemauan yang tak lekang dikikis waktu, yang di dukung oleh tahu diri, tahu aturan, dan tahu tujuan akhir, yang mana kesemua baru akan bisa terlaksana jika di dalam diri ada sesuatu yang luar biasa, yaitu adanya keimanan. Sayangnya, sebagian besar dari kita tidak tahu dan belum mampu memaksimalkan apa yang kita miliki tersebut, dalam hal ini adalah iman dan juga potensi yang ada di dalam diri.   

Diri kita memang tidak bisa memilih menjadi orang yang bersuku bangsa apa, beragama apa, dimana, kapan, warna kulitnya apa serta dari rahim ibu yang mana. Akan tetapi kita bisa memaksimalkan pemberian Allah SWT ini melalui apa yang telah ibu ajarkan, yaitu dengan mempergunakan otak kita sesering mungkin, agar jutaan dendrit yang ada di dalamnya tersambung satu dengan lainnya. Semakin banyak dendrit yang tersambung, semakin cerdaslah kita. Cara paling intensif yang bisa kita lakukan supaya dendrit dendrit itu tersambung adalah dengan belajar, seperti membaca buku, berdiskusi, mempersepsi keadaan di sekitar kita, terlibat dalam persoalan yang rumit, atau mencoba mencari sistematika dan jalan keluarnya. Disinilah pentingnya kita mengetahui dan memahami lebih jelas siapa manusia itu yang sesungguhnya. Dan tak ada cara lain yang mengetahuinya selain mengkaji esensi manusia sebagai obyek yang menyeluruh dan mendalam melalui konsep tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir. Salah satu caranya, dengan memahami potensi kehidupan yang mempengaruhi hidupnya. Apakah karena adanya unsur jasmani semata? Apakah karena adanya unsur ruhani semata? Apakah karena faktor keimanan yang menjadikan kita mampu menghadapi tantangan kehidupan ini? Pemahaman tentang potensi kehidupan inilah yang akan menentukan pemahaman selanjutnya tentang apa dan bagaimana seharusnya melakukan suatu aktifitas yang sesuai dengan kehendak Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari kekhalifahan di muka bumi. 

Pernahkah kita memperhatikann iklan minuman coca cola di televisi? Pada umumnya tema dari iklan iklan dari minuman coca cola adalah tentang optimisme. Coba lihat iklan yang menggambarkan anak anak yang ingin bermain layang layang, tetapi angin tidak ada yang bertiup. Mereka nampak putus asa, tetapi setelah minum sebotol coca cola, harap dan semangat mereka muncul kembali. Menjalani kehidupan saat ini juga harus seperti itu, yaitu: (1) jika menghadapi kesulitan, tidak perlu bersusah hati atau putus asa; (2) jika kita mampu menjalani kehidupan dengan bersemangat, maka beban seberat apapun akan terasa ringan; (3) jika kita tak pernah kehilangan harapan dan selalu optimis, kita akan selalu menemukan jalan keluar dari suatu masalah. Lalu pantaskah kita mengeluh? Padahal kita telah dikarunia sepasang lengan yang kuat untuk mengubah dunia. Layakkah kita berkeluh kesah? Padahal kita telah dianugerahi kecerdasan yang memungkinkan kita membenahi segala sesuatu. Apakah kita bermaksud menyianyiakan semua itu? Ambil napas dalam dalam. Tenangkan semua alam raya yang ada di dalam benak kita. Lalu temukan lagi secercah sinar di balik awan galaksi dan mulailah langkah baru. Jangan penjarakan diri kita. Sering kali, ketika kita mau melakukan sesuatu yang positif atau langkah langkah besar; belum juga mencoba tapi kita sudah berkata dan memvonis tidak bisa atau tidak mungkin. Padahal, itu semua adalah pikiran pikiran abstrak dari kita sendiri, yang kalu tidak kita turuti justru membuat kita bisa. 

Agar diri kita mampu sesuai dengan kehendak Allah SWT selaku pemilik dan pencipta dari rencana besar kekhalifahan di muka bumi ini dan agar diri kita mampu menjadi Abd’ (hamba) yang mampu melaksanakan segala perintah dan laranganNya yang sesuai dengan kehendak Allah SWT maka kita diwajibkan memahami adanya sesuatu yang luar biasa yang sangat dibutuhkan oleh diri kita yaitu iman (keimanan) dan tanpa iman (keimanan) akan sulit bagi diri kita sukses dalam kehidupan ini. Untuk itulah mari kita pelajari tentang iman (keimanan) yang di dalamnya terdapat energi untuk meningkatkan potensi diri. Dimana iman dan potensi diri adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Untuk itu mari kita bahas tentang iman (keimanan) tersebut. Sebagaimana dikemukakan “Prof. Dr, Taufiq Yusuf Al Wa’iy” dalam bukunya “Iman Membangkitkan Kekuatan Terpendam.” sebagaimana berikut ini: 

1.    Iman (Keimanan) Adalah Sumber Kekuatan Diri. Setiap manusia pasti terdiri dari jasmani dan ruhani. Adanya dua hal yang menjadikan diri kita disebut sebagai manusia tidaklah cukup jika tidak ada faktor keimanan yang ada di dalamnya. Keimanan yang ada di dalam diri merupakan kekuatan yang tersembunyi yang harus kita keluarkan dan tampilkan yang pada akhirnya akan mampu menjadikan diri kita sesuai dengan kehendak Allah SWT. Untuk itu ketahuilah bahwa di dalam keimanan terdapat kekuatan yang sangat luar biasa, yaitu adanya faktor keteguhan untuk tetap berada di atas jalan kebenaran yang telah digariskan oleh Allah SWT sehingga kita mampu melaksanakan perintah dan laranganNya tanpa merasa terbebani. Apa contohnya? Untuk itu perhatikanlah orang yang berpuasa di belahan bumi utara saat musim panas tiba, mereka mampu melaksanakan ibadah puasa selama 20 jam setiap hari dan selama sebulan penuh. Adanya kekuatan iman yang ada di dalam diri akan membuat segala yang berat dan sulit menjadi mudah, nikmat berbuah syukur, ujian berbuah sabar, perjuangan melahirkan pengorbanan. 

Tidak hanya itu, kekuatan iman/keimanan yang ada dalam diri mampu melahirkan pembela pembela kebenaran, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus. (surat Az Zukhruf (43) ayat 43). Adanya faktor kekuatan yang terdapat di dalam keimanan yang ada dalam diri, mampu menjadi kekuatan yang mewariskan kesabaran untuk menghadapi berbagai macam krisis, ujian, cobaan, tantangan sampai datangannya kemenangan. Sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung. (surat Ali Imran (3) ayat 200) 

Adanya kualitas keimanan dalam diri setiap manusia yang tidak akan mungkin sama kualitasnya, akan melahirkan perbedaan kedudukan setiap makhluk di sisi Allah SWT baik dalam kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Untuk mempertegas adanya perbedaan kualitas keimanan seseorang yang pada gilirannya akan berbeda pula perbuatan dan ilmu dan pemahaman yang mereka miliki. Allah SWT berfirman: dan ingatlah hamba-hanmba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. (surat Shaad (38) ayat 45). Dan berdasarkan surat Shaad (38) ayat 45 di atas dikemukakan bahwa berkualitasnya tingkat keimanan yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim as, Nabi Ishaq as, dan Nabi Yaqub as, menjadikan mereka memperoleh pujian dari Allah SWT terutama dari sisi perbuatan perbuatan yang besar skalanya sehingga mampu dikenang oleh generasi yang datang dikemudian hari dan ilmu yang tinggi dikarenakan kesempurnaan pengetahuan terhadap kebenaran dan kesempurnaan dalam menjalankannya. 

Dan masih berdasarkan surat Shaad (38) ayat 45 di atas, akan didapatkan pengelompokan manusia yang berbeda beda jika ditinjau dari sisi kualitas keimanannya  dan juga dari kekuatan bashirah yang dimilikinya, yaitu : 

a.    Bashirah adalah cahaya yang Allah SWT lontarkan ke dalam hati. Dengan cahaya tersebut dia melihat hakikat ajaran yang dibawa para Rasul. Seolah dia menyaksikan dengan mata kepalanya. Dengan demikian dia bisa mendapatkan manfaat ajaran para rasul tersebut. Menyelisihi para Rasul tersebut akan merugikan dirinya, sebagaimana dikemukakan oleh “Ruuhul Ma’ani”. Sedangkan berdasarkan “Dr. Khalid bin Utsman As-Sabt” memberikan definisi bashirah yang mudah untuk dipahami. Beliau mengatakan, “Bashirah adalah suatu perkara yang (memiliki kemampuan) menyingkap yang dengannya manusia mengenali Rabbnya Allah Tabaraka wa Ta’ala dengan pengetahuan yang benar. Melalui perkara tersebut manusia mengetahui jalan yang akan menyampaikan kepada Allah. Jalan tersebut adalah apa yang telah Allah SWT syariatkan melalui lisan para rasul-Nya. Dengannya manusia mengetahui tempat kembali mereka.” Sehingga manusia yang memiliki bashirah dan kekuatan sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa mereka adalah para Nabi dengan kedudukan yang paling mulia di sisiNya. 

b.    Kebalikan dari kelompok manusia diatas, atau mereka yang tidak memiliki bashirah dalam iman mereka, dan juga tidak memiliki kekuatan untuk merealisasikan kebenaran. Inilah kelompok manusia dengan jumlah yang paling besar; pandangan mereka hanya sebatas pandangan mata, semangat yang lemah, dan hati yang sakit. Kehadiran mereka hanya mempersempit ruang hidup ini dan membuat harga harga kebutuhan melambung tinggi. Tak ada manfaat dari kebersamaan mereka, kecuali cela dan kehinaan. 

c.    Mereka yang memiliki bashirah terhadap petunjuk dan kebenaran dan mengetahuinya dengan baik, namum mereka lemah dan tidak memiliki kekuatan untuk merealisasikannya. Mereka juga tidak menyerukannya di hadapan manusia. Ini adalah kondisi seorang mukmin yang lemah imannya. Padahal mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. 

d.   Kelompok manusia yang memiliki kekuatan, tekad dan kemauan besar, tapi memiliki bashirah yang lemah dalam keimanan. Ia tak mampu membedakan antara wali Allah dan wali syaitan, tapi senantiasa menganggap bahwa semua yang hitam itu adalah kurma dan yang putih adalah lemak, sebagaimana ia beranggapan bahwa sesuatu yang bengkak pada tubuh manusia adalah lemak dan mengganggap bahwa obat yang bermanfaat untuk kesehatan itu adalah racun semata. 

Dari keempat kelompok tersebut, tak ada satu pun yang layak diangkat sebagai pemimpin dalam agama ini, kecuali mereka yang berada dalam kelompok pertama, sebagaimana firmanNya: dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar[1195]. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami. (surat As Sajdah (32) ayat 24).  Maka, barangsiapa yang memiliki dua unsur kekuatan ini: Bashirah dan tekad dalam dirinya, niscaya ia akan istiqamah (konsisten dalam komitmen) di atas jalannya menuju Allah SWT. Ia kerahkan segala kemampuannya, agar semakin kuat menghadapi segala tantangan dan rintangan melalui pertolongan Allah SWT. 

[1195] Yang dimaksud dengan sabar ialah sabar dalam menegakkan kebenaran. 

2.    Kekuatan Iman (Keimanan) Tempatnya Di dalam Hati. Kekuatan adalah kerja hati dan tak ada sesuatu pun yang dapat menguasai hati seorang manusia setelah Allah yang menguasai pemiliknya. Sebagaimana burung burung terbang tinggi di angkasa dengan kepakan dua sayapnya, demikian pula manusia yang terbang menuju ketinggian menuju Allah SWT dengan tekad dan cita citanya, bebas dari belenggu yang mengikat tubuhnya sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “Demikianlah (perintah Allah). dan Barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah[990], Maka Sesungguhnya itu timbul dari Ketakwaan hati. (surat Al Hajj (22) ayat 32) 

[990] Syi'ar Allah Ialah: segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadat haji dan tempat-tempat mengerjakannya. 

Allah SWT berfirman: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (surat Al Hajj (22) ayat 37)”. 

Dan Rasulullah SAW pun bersabda, “Ketaqwaan itu ada di sini (sambil menunjuk dada beliau).  

Berdasarkan ketentuan yan kami kemukakan di atas, maka orang yang cerdas akan mampu melintasi jalan yang panjang disertai dengan semangat, kemauan yang kuat, cita cita yang tinggi, tujuan yang murni dan niat yang ikhlas. Namun, ada juga orang yang malas melintas jalan itu dengan penuh kelelahan, amal yang sangat sedikit, dan perjalanan yang teramat berat. Mereka tidak tahu bahwa dengan tekad yang membaja dan cinta yang mendalam, kesulitan itu dapat disingkirkan dan perjalanan menjadi mudah dilalui. Melangkah maju menuju Allah SWT  hanya dapat dilakukan bila disertai dengan kemauan yang kuat, kejujuran dan ambisi. Seseorang yang memiliki ambisi dan kemauan kuat dapat menyusul orang yang terus bekerja tanpa ambisi dan kemauan yang kuat. Namun, jika ia memiliki ambisi dan kemauan, tentu ia akan lebih maju karena kedua sifat tersebut; ambisi dan kerja keras. Dan inilah yang disebut dengan ibadah ikhsan. 

3.    Hati Akan Hidup Dengan Ilmu dan Tekad yang Diiringi dengan Keimanan. Lemahnya semangat, keinginan dan juga kemauan (motivasi) merupakan tanda melemahnya kehidupan hati seseorang. Ketika hati menyempurnakan kehidupannya, kemauan, semangat kehendak, dan cintanya pun akan menguat. Kehendak dan cinta akan selalu mengikuti jiwa yang memerintahkan untuk tunduk pada kehendak yang dicintainya dan menyelamatkan hati dari ketergelinciran yang menjadi penghalang antara dirinya dan segala kehendak serta keinginannya. Lemahnya keinginan dan terputusnya ambisi dapat disebabkan oleh lemahnya jiwa dan perasaan, atau juga karena adanya hantaman keterpurukan yang menimpa kehidupan ini. Maka, kekuatan jiwa dan kehendak adalah tanda kekuatan bagi kehidupan, sebagaimana kelemahannya adalah isyarat kelemahan jiwa dan kehendak. Tingginya cita cita, kehendak yang jujur dan keinginan untuk mencapai batas kesempurnaan hidup adalah faktor faktor yang dapat membawa kita meraih kenikmatan dan kesempurnaan hidup. Semua itu hanya akan dicapai dengan cita cita dan kehendak yang tinggi, serta cinta yang jujur dan keinginan yang tulus. Sedangkan mereka yang terpuruk dalam kehidupannya adalah manusia yang juga terpuruk cita cita dan kehendaknya serta cinta dan keinginan yang lemah. Bahkan terkadang kehidupan binatang lebih baik daripada kehidupan mereka sebagai manusia. 

4.    Adanya Kepuasan Seseorang Mukmin Yang Bercita Cita Tinggi. Seorang mukmin yang memiliki keinginan dan cita cita yang tinggi, tidak akan menghasilkan karya yang kecil. Ia tidak akan puas dengan perkara yang kecil. Ia suka menangani masalah masalah besar dalam kehidupannya. Mereka yang memiliki tekad dan cita cita yang tinggi mengetahui dengan baik, bahwa apabila ia tidak mampu memberi manfaat kepada orang orang yang hidup di dunia ini, ia tidak berarti apa apa bagi orang lain. Itulah yang membuat dirinya tidak pernah rela berada di pinggiran sejarah kemanusiaan. Ia harus berada di dalam salah satu inti kekuatan yang membawa pengaruh dan meninggalkan jejak mendalam bagi generasi sesudahnya. Pemilik cita cita yang tinggi adalah sekelompok manusia yang ketika orang lain melihat kemustahilan pada suatu masalah, maka tekad dan kemauannya semakin tajam dan menguat untuk menaklukkannya. Dengan taufik dan karunia Allah, ia pun akan menghasilkan  apa yang telah dihasilkan oleh mereka yang memiliki kehendak yang kuat dan cita cita yang tinggi. 

Dengan bertawakkal kepada Allah, ia juga senantiasa berusaha untuk menaklukkan segala kesulitan dan tantangan yang menghadang langkah kakinya, tanpa harus tergantung kepada siapapun. Orang yang memiliki cita cita yang tinggi akan berjalan menuju puncak keimanan, tidak pernah tinggal diam dan tidak pernah berpasrah diri atas kenyataan yang ia hadapi.  Ketahilah bahwa ‘Berpuas diri dengan apa yang telah diraih adalah wujud kehinaan diri’. “Jadilah seorang lelaki yang tapak kakinya berpijak di atas tanah, namun obsesi dan cita citanya menggantung tinggi di atas bintang kejora.” Apabila setiap orang membayangkan dirinya mampu naik ke atas langit biru, maka keburukannya yang paling besar adalah ketika ia rela berada di bumi. Dan perilaku paling buruk yang ada dalam diri seseorang adalah kebiasaan bertaklid. Seseorang yang taklid, jika tekadnya semakin kuat, perilaku itu akan menguat sehingga ia tidak bersedia diingatkan oleh orang yang dianggap berbeda dengannya. Sebab, seseorang yang telak taklid buta akan selalu mengikuti setiap langkah orang yang ia taklid, tanpa mau mengetahui kemana ia akan dibawa. Untuk itu ketahuilah bahwa Anda saat ini tengah berada di atas gelanggang kompetisi sementara waktu yang Anda miliki berputar dengan sangat cepat. Orang yang malas tidak akan mendapatkan apapun darinya, dan keutamaan yang ada di dalamnya hanya akan diraih dengan kesungguhan dan kemauan. 

5.    Kuatnya Tekad dan Cita Cita Adalah Bukti Kekuatan dari Iman. Besarnya obsesi keimanan akan membuat seseorang berlari menuju kemuliaan, tanpa bosan dan jemu, serta tidak berputus asa (adakah manusia yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang yang dzalim?) Manusia terbaik hanya melakukan karya yang agung dalam kerangka ibadah ikhsan. Ketinggian cita citanya menyamai sebuah generasi tertentu dan karyanya dapat dikenang oleh generasi yang datang di kemudian hari. Mereka adalah logam mulia atau nyala api yang selalu membara yang sulit ditandingi. Mereka seperti orang orang yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Kalian akan menemukan sekelompok manusia bagaikan kumpulan seratus unta, yang takkan ditemukan satu diantaranya sebagai rahilah (lebih unggul dari yang lain),” (Hadits Riwayat Muslim). Umat ini sesungguhnya, telah merasakan adanya jejak keimanan dalam diri orang orang jujur dengan kekuatan tekad dan cita citanya. Kemudian, mereka semakin mendalam jejak keimanan itu dengan cara cara tertentu, sehingga dapat diberikan kepada pribadi pribadi muslim lainnya sebagai energi kekuatan dalam menempuh perjalanan kehidupannya. Setelah mereka menyaksikan bahwa orang orang yang tidak memiliki keimanan pada hakikatnya adalah manusia yang hilang dalam kehidupannya. Ia bahkan dapat menghancurkannya dan juga menghancurkan dirinya sendiri. Oleh karena itu, manusia sesuai dengan apa yang ia yakini. 

Seorang pakar pengembangan kepribadian yang cukup ternama, “Anthony Robinz” berkata, “Sesungguhnya, setiap kita kerap bertanya apakah iman (keyakinan) itu sebuah idelologi (akidah) ataukah sebuah ajaran?”.Sesungguhnya, iman itu dapat berbentuk prinsip, ideologi, atau perasaan terbimbing yang dapat memberikan setiap orang makna kehidupan dan mengarahkannya. Iman itu sesungguhnya adalah sesuatu yang telah dipilihkan untuk manusia sejak dahulu dan sebagai aturan untuk memandang dunia ini. Ia bagaikan pemimpin bagi otak kita. Ketika kita percaya kebenaran sesuatu melalui cara pandang yang harmonis, maka ia akan menghantarkan sebuah isyarat tertentu ke dalam otak kita dan memberitahukannya bagaimana merepresentasikan apa yang terjadi itu. 

“Jhon Stewart Mill” juga pernah berkata, “Seseorang yang memiliki keimanan (keyakinan) dalam dirinya mempuanyai kekuatan ganda yang setara dengan kekuatan 99 orang yang tidak beriman. Keimanan akan segera membawa instruksi yang Anda terima menuju sel sel syaraf Anda. Ketika Anda mengimani adanya kebenaran pada sesuatu, maka pada saat itu Anda akan berada pada sikap mempercayai dengan sebenar benarnya. Bila Anda mampu berinteraksi dengan keimanan ini secara efektif, maka kemungkinan besar Anda akan memiliki kekuatan untuk menciptakan kebaikan dalam kehidupan Anda.” Sepanjang sejarahnya, agama agama yang ada di muka bumi ini telah meniupkan kekuatan kepada jutaan pengikutnya. Agama memberi mereka kemampuan untuk melakukan sesuatu yang selama ini mereka duga takkan sanggup melakukannya. Imanlah yag membantu kita mengeksplorasi seluruh potensi yang kita miliki yang selama ini terpendam dalam diri kita. Dialah yang menciptakan dan mengarahkan kemampuan ini untuk meraih hasil yang kita harapkan. 

Iman (keimanan) ibarat peta atau kompas yang dapat mengarahkan kita menuju tujuan. Dialah yang melahirkan dalam diri kita kepercayaan untuk sampai pada sasaran yang diinginkan, yaitu syurga sebagai tujuan akhir. Bila seseorang tidak mampu menghadirkan keimanan dalam dirinya, niscaya ia akan menjadi sosok manusia yang tidak berdaya, bagaikan seorang tukang sampan yang tidak memiliki dayung. Adanya keyakinan yang kuat dan dapat membimbing, akan memberi Anda kemampuan untuk berbuat kebaikan sebagai cerminan diri dan juga mampu berkarya nyata di dunia ini. Sebagaimana keimanan akan membantu Anda memandang apa yang Anda inginkan dan memberi  Anda semangat kerja untuk mencapainya. 

Hanya orang orang yang berimanlah yang mengubah alur sejarah dan mereka pula yang mengubah keyakinan dan perilaku kita. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus kita lakukan ialah mengubah keyakinan kita, agar dapat meraih kemajuan dan mengadopsi keyakinan orang orang yang berhasil meraih sukses dalam usaha dan kerja mereka. Dan ketika pengetahuan kita tentang perilaku manusia semakin bertambah, maka pengetahuan kita tentang pengaruh tidak lazim yang ditimbulkan oleh iman terhadap kehidupan kita, juga akan bertambah. Akan tetapi, yang jelas, dalam batasan psikologi, keyakinan keyakinan tersebut berhasil menguasai apa yang selama ini menjadi kenyataan.Dan belum lama ini, telah dilakukan penelitian terhadap seorang wanita yang terguncang jiwanya. Hal ini terjadi karena dia menganggap dirinya terkena penyakit gula. Padahal, kadar gula dalam darahnya biasa saja. Ketika dia meyakini bahwa dirinya terkena penyakit gula, secara psikologis, dia merasakan adanya perubahan dalam dirinya, dan merasa benar benar terkena penyakit tersebut. Anggapan itulah yang menyebabkan keyakinan seseorang terhadap sesuatu menjadi riil atau nyata. Selain daripada itu, berdasarkan penelitian “Andrew Will” dapat diketahui bahwa para pecandu narkoba mendapat pengaruh sangat besar, sesuai dengan apa yang mereka duga selama ini. Peneliti ini berhasil menenangkan salah seorang pecandu dengan cara memberikan vitamin, dan yang lain merasakan kegelisahan, ketika mereka diberikan paraftiorit. Pada akhir penjelasannya, Dokter Will berkata, Sihir narkotika itu sesungguhnya, terletak dalam otak orang yang mengkonsumsinya dan tidak tersimpan dalam obat obatan itu. 

Dalam kondisi seperti ini, iman merupakan satu satunya unsur yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap setiap orang yang memilikinya. Dengan segala kekuatan yang bersumber dari keimanan, tidak ada satu kekuatan pun yang mampu memberikan hasil dari proses yang serupa. Iman adalah situasi jiwa, atau representasi internal yang menentukan perilaku setiap manusia. Kita juga dapat mengatakan bahwa iman menyebabkan lahirnya kekuatan untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin (nyata). Iman adalah ketika Anda yakin bahwa Anda akan meraih sukses pada satu bidang tertentu,  atau ketika Anda yakin mampu merealisasikan sesuatu, maka Anda akan meraih dan mampu mewujudkannya. Selain daripada itu, iman juga dapat menjadi pendorong munculnya ketidakberdayaan, kegagalan, dan ketidakmampuan mencapai tujuan yang dikehendaki, atau menampakkan gambaran kelemahan kita, yang tidak dapat ditaklukkan, karena sangat kuat. Jika Anda yakin bahwa Anda mampu meraih sukses, niscaya Anda akan memiliki kemampuan untuk merealisasikannya, dan juka Anda yakin bahwa Anda akan gagal, maka pesan ini pun akan membawa Anda kepada kegagalan. 

Kesalahan terbesar yang dilakukan manusia dalam memahami keimanan adalah keyakinan bahwa iman hanyalah kumpulan pemahaman dan pemikiran yang kaku, tidak terkait dengan amal, tindakan, dan aktivitas. Pemahaman seperti ini tentu saja bertolak belakang dengan hakekat Islam. Padahal, iman adalah pintu yang mengantarkan Anda pada keunggulan, karena iman takkan mati, walau berhubungan dengan sesuatu yang kaku dan beku.Iman dapat menakar kadar kemampuan yang dapat kita manfaatkan. Imanlah yang membuat pikiran kita terus bergerak atau menghentikannya. “Sesungguhnya, orang orang yang ingin mencapai sesuatu, maka mereka melakukan itu dengan keimanan yang memberinya kekuatan untuk mencapainya.” (Virr Gill). Sekarang bertanyalah kepada diri sendiri, siapakah yang membutuhkan keimanan? Jika kita yang membutuhkan keimanan maka diri kita sendirilah yang harus berusaha dengan keras untuk memperolehnya. 

6.    Sumber Sumber Yang Menciptakan Keberhasilan atau Kegagalan (Kebaikan atau Keburukan). Berikut ini akan kami kemukakan beberapa sumber sumber atau sebab yang menciptakan keberhasilan atau kegagalan seseorang di dalam menggapai tekad keimanan yang sudah ada dihadapan dirinya sendiri, yaitu: 

a.    Sumber pertama adalah Lingkungan. Lingkungan merupakan tempat atau lingkungan sosial dimana lingkaran kegagalan berputar di dalamnya dan melahirkan kegagalan, atau kesuksesan yang berputar di dalamnya dan melahirkan kesuksesan yang tanpa henti. Keterpurukan dan kegagalan bukanlah dua sumber kehinaaan yang hakiki dalam kehidupan orang orang miskin dan fakir, karena sebagian orang dapat menaklukkannya. Mimpi buruk yang sesungguhnya, terletak pada kemampuan lingkungan mempengaruhi mimpi dan keyakinan Anda. Apabila yang Anda saksikan di tengah lingkungan adalah kegagalan dan keterpurukan, maka akan sulit bagi Anda untuk menciptakan dalam diri Anda sebuah eksperimen internal yang dapat membawa Anda kepada keberhasilan. Sebab, mencontoh atau meniru merupakan aktifitas yang kita lakukan sepanjang waktu. Namun apabila Anda tumbuh dan berkembang di tengah lingkungan yang mengarahkan Anda pada kesuksesan, maka akan menjadi mudah bagi Anda meniru jejak kesuksesan dan keberhasilan itu. Akan tetapi bila Anda tumbuh dan berkembang di tengah lingkungan yang sarat dengan ketakberdayaan, konsisi ini akan membentuk kesan khusus dalam diri Anda, atas apa yang seharusnya Anda dapat lakukan. 

b.    Sumber kedua adalah adanya peristiwa besar. Bagi sebagian orang, sebuah peristiwa dapat mengubah sikap dan cara pandang mereka terhadap dunia ini, termasuk kepada diri kita sendiri. Selain itu, sebagian besar dari kita mengalami banyak peristiwa yang takkan mungkin kita lupakan selama kita hidup. Ada satu pengalaman yang mempunyai efek sangat besar terhadap diri kita dan melekat kuat dalam ingatan. Pengalaman seperti inilah yang membentuk keyakinan sehingga mampu mengubah kehidupan kita menjadi lebih baik lagi dari waktu ke waktu. 

c.    Sumber ketiga adalah pengetahuan. Pengetahuan merupakan bekal terbaik yang dapat digunakan untuk menghancurkan rantai yang membelenggu lingkungan kita, dan yang menghalangi tumbuhnya kemampuan serta potensi diri seseorang. Walaupun pengetahuan yang dapat diambil dari sekitar Anda kurang dan tidak berkualitas, tetapi dengan membaca hasil karya dan pengalaman sukses orang lain, Anda akan mampu menumbuhkan keyakinan dalam diri, yang akan mengantarkan Anda pada kesuksesan. Ajaran Islam senantiasa memotivasi kita untuk menuntut ilmu dan menjadikannya sebagai setiap kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah, serta menjadikannya sebagai jalan menuju syurga. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang pergi menuntut ilmu, niscaya Allah memudahkan baginya jalan menuju syurga”. Dan ingat, “ketika engkau membaca sesuatu, engkau akan mendapatkan sesuatu yang baru.” Dan juga “Makanan bisa saja engkau tinggalkan, tapi jangan biarkan kesempatan membaca itu berlalu darimu”. 

Dengan demikian, berusahalan agar Anda selalu memberi gizi yang cukup bagi akal Anda melalui proses membaca yang bukan sekedar hanya membaca secara tersurat saja, akan tetapi kita harus mampu mengetahui apa yang tersirat dan yang tersembunyi dari apa apa yang kita baca lalu kita melaksanakan apa apa yan telah kita pelajari tersebut. “Ibnu Qayyim Al Jauziyah” berkata, “Engkau takkan merasakan kebahagiaan dalam menuntut ilmu, kecuali dengan pengorbananmu yang tulus, kejujuranmu dalam menuntutnya, dan niatmu yang ikhlas.” Barangsiapa yang bercita cita ingin menciptakan karya nyata yang besar lagi berumur panjang mampu dinikmati oleh generasi yang dapat dikemudian hari, maka ia harus mendukungnya dengan rasa cinta terhadap cara yang diajarkan oleh Agama ini, yaitu kebahagiaan. Walaupun awalnya jalan yang dilalui tidak pernah lepas dari rintangan, tantangan, gangguan dan permusuhan. Ayo segera berbuat sekarang juga sebelum semuanya berakhir. Jangan pernah menunggu untuk berkarya nyata karena waktu tidak menunggu diri kita untuk berbuat dan berkarya nyata. 

d.   Sumber keempat adalah pengalaman. Pengalaman bukanlah guru yang terbaik bagi kehidupan kita, akan tetapi belajar dari pengalamanlah yang mampu menjadikan kita jauh lebih baik dari waktu ke waktu. Hasil dari belajar dari pengalaman yang kita peroleh dalam kehidupan, mungkin akan dapat membantu merealisasikan tujuan masa depan yang kita raih. Jalan yang dapat membantu Anda menumbuhkan keyakinan terhadap kemampuan sendiri untuk melakukan sesuatu. Hanya dengan mencoba melakukan hat itu satu kali. Apabila pada kali pertama Anda mampu meraih kesuksesan, akan lebih mudah bagi Anda untuk menumbuhkan keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri yang akan direalisasikan pada kesempatan lain. 

Selanjutnya, untuk lebih mempertegas lagi tentang sumber sumber atau sebab yang menciptakan keberhasilan atau kegagalan seseorang, seperti yang telah kami kemukakan di atas. Berikut ini akan kami kemukakan tentang beberapa gembok (penutup) atau penghalang dan juga penghambat  yang dapat menghancurkan kemampuan diri (potensi besar) yang ada di dalam diri kita, terutama ditinjau dari aspek psikologi, yaitu: 

(1) . Gembok Pertama, Rendahnya Pemahaman Diri (Depresiasi Diri). Untuk memudahkan pemahaman tentang rendahnya pemahaman diri (depresiasi diri),  ada sebuah kisah fabel tentang dua ekor katak yang jatuh dalam sebuah kaleng es krim. Sisi sisi kaleng itu mengkilap dan curam dan krimnya begitu dalam serta dingin. “Aduh! Oh, bagaimana ini? Kata katak yang pertama. “Ini sudah takdir, tidak ada pertolongan. Selamat tinggal sahabatku, selamat tinggal dunia yang menyedihkan,” ujarnya sambil menangis dan mengeluh. Akhirnya katak yang pertama tenggelam. Sementara katak yang kedua, yang jatuh di kaleng es krim terus mengayuhkan kakinya untuk berenang. Beberapa kali ia diam sejenak untuk menyeka wajah dan mengeringkan matanya. Setelah itu, tanpa mengeluh, dia berenang kembali. Satu sampai dua jam dia terus mengayuh, menendang dan berenang. Tidak sekalipun dia berhenti untuk mengeluh Akhirnya, es krim dalam kaleng lambat laut mulai mencair, berubah seperti mentega dan memberi kesempatan bagi katak kedua untuk melompat keluar dari kaleng. Katak kedua, selamat! 

Pelajaran yang bisa kita ambil dari fabel ini adalah bagaimana kedua katak tersebut memilih cara pandang yang berbeda terhadap kesulitan yang sama. Hal yang samapun terjadi dengan diri kita, ketika kita mengapresiasi potensi diri dengan positif, maka kita akan mampu menghadapi segala rintangan dengan hasil akhir yang lebih baik. Di lain sisi, paradigma adalah cara kita melihat (mempersepsi, mengerti, dan menafsirkan) sesuatu, apakah itu dunia, apakah itu akhirat. Cara pandang ini sangat menentukan sikap atau perilaku dan perasaan. 

Ketika melihat dengan cara yang berbeda, maka kita akan berfikir dengan cara yang berbeda, merasa dengan cara berbeda, dan berperilaku dengan cara berbeda pula. Allah SWT berfirman: “Maka tinggalkanlah (Muhammad) orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan dia hanya mengingini kehidupan dunia. Itulah kadar ilmu mereka. Sungguh, Tuhanmu, Dia lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dia pula yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (surat An Najm (53) ayat 29, 30) 

Sebagai mana telah kita ketahui bersama, seseorang melakukan suatu perbuatan atau tindakan selalu didasari oleh pemahaman yang dimilikinya. Semakin baik dan berkualitas pemahaman seseorang terhadap sesuatu hal maka semakin baik orang tersebut melakukan sebuah tindakan. Akan tetapi semakin rendah tingkat pemahaman seseorang terhadap sesuatu, maka semakin rendah pula kualitas yang dikerjakannya. Setiap orang akan menanggapi setiap hal dan peristiwa sesuai dengan sudut pandangnya masing masing. Dan setiap sudah pandang pastilah berbedaq satu sama lainnya. Jika engkau memahami hakekat ini, maka engkau tidak akan merasa kecewa dengan seseorang. Setiap manusia haruslah mencari sisi yang baik dari setiap kejadian. Janganlah lupa kala terkadang sesuatu kejadian yang terlihat jelek bagi kita, namun dalam alam ghaib ia adalah kebaikan yang sesungguhnya.Cara pandang kita melihat masalah merupakan masalah itu sendiri, Anda punya kebebasan untuk memilih sudut pandang, karena sudut pandang kita akan menentukan keputusan dan tindakan kita. 

Lantas, apa yang mempengaruhi cara pandang? Cara pandang sangat dipengaruhi oleh informasi yang selama ini kita tahu (know), keyakinan (believe) yang mendidik kita, dan sikap (attitude) yang mengkristal dalam diri kita. Jika selama ini informasi yang masuk ke dalam pikiran adalah hal hal yang sifatnya memotivasi diri, maka kita cenderung mengambil keputusan terhadap semua permasalahan yang terjadi sebagai kesempatan untuk memperkuat mental kita, demikian sebaliknya. Oleh karena itu, mulai saat ini juga, mari kita kembangkan optimisme untuk memahami hakikat hidup, membangun keluarga, membangun perusahaan, dan membangun masyarakat, bangsa dan negara, melalui hal hal sebagai berikut: (a) Optimisme yang sesungguhnya adalah menyadari masalah serta mengenali pemecahannya; (b) Mengetahui kesulitan dan yakin bahwa kesulitan itu dapat di atasi; (c) Melihat yang negatif  tetapi menekankan yang positif; (d) Menghadapi yang terburuk, namun mengharapkan yang terbaik; (e) Mempunyai alasan untuk menggerutu tetapi memilih untuk tersenyum. Ingat, tersenyum itu hanya butuh 12 otot sementara cemberut berat bisa sampai 74 otot.

(2)  Gembok Kedua, Dalih Usia. Tanpa kita sadari, kebanyakan dari diri kita sering kali menggunakan dalih usia sebagai alasan untuk tidak meraih sukses, untuk tidak bisa berbuat baik bagi masyarakat banyak. Padahal sesuatu yang sejatinya kita bisa dan mampu melakukannya. Hasilnya, dalih usia tua ini kerap menjadi gembok bagi potensi diri untuk meraih kebahagian hidup. Yang tua berdalah, ‘Aduh, saya sudah tua nih, mana bisa berkarya nyata? Sementara yang muda berdalih, “sayakan masih muda, belum banyak pengalaman.”. Kalau usia tua menjadi dalih bagi diri kita untuk berhenti berkarya nyata, maka tidak akan pernah ada yang namanya Colonel Sanders, sang pendiri KFC atau kita tidak bisa melihat secara nyata seorang Ibu Mooryati Soedibyo yang mampu menyelesaikan pendidikan strata 3 nya (doktoralnya) di usia 80 tahun. Apalagi Allah SWT melalui surat Al Hasyr (59) ayat 18 berikut ini: “Wahai orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (surat Al Hasyr (59) ayat 18).” sudah mengingatkan diri kita untuk berbuat untuk kepentingan hari esok tanpa memandang usia. 

Lalu, apakah Colonel Sanders, apakah Ibu Mooryati Soedibyo, atau apakah hafidz hafids yang berumur di bawah sepuluh tahun memakai dalih usia dalam meraih prestasi? Mereka tidak pernah menjadikan usia sebagai dalih untuk memenjarakan diri mereka. Agar diri kita bisa membuka gembok mental dalih usia, kuncinya adalah: (1) Muda atau tua bukan ukuran berprestasinya seseorang. Usia tidak relevan dan signifikan untuk disandingkan dengan prestasi. Ketiak kita merasa tua (karena hitungan lamanya hidup di dunia), maka cobalah berpikir, “sya masih sanggup dan saya masih kuat”; (2) Pandanglah sisi usia yang masih ada sebagai kesempatan untuk berprestasi sebelum Tuhan memanggil, maka kita masih memiliki peluang besar untuk berkarya nyata. Jadikan waktu sebagai investasi untuk menghasilkan kualitas hidup dan kehidupan yang terus membaik untuk kepentingan masa depan kita di akhirat kelak. 

(3)  Gembok Ketiga, Dalih Kesehatan. Saat kita hidup, kita sering mendengar keluhan seperti, “saya merasa tidak enak badan;  ada yang tidak beres dengan diri saya; kesehatan saya buruk; saya terlahir cacat fisik, atau bahkan ada ungkapan, “saya tinggal menunggu saat kematian karena penyakit yang tidak kunjung sembuh.” Jika buruknya kesehatan dan kecacatan fisik menjadi penghalang untuk berkarya nyata sebagai bentuk ibadah ikhsan. Maka kita akan menerima sakit dan cacat sebagai gembo penjara bagi potensi diri yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada kita. Lalu bagaimana dengan orang orang seperti: (1) Patria Serang, yang melukis dengan kaki kirinya, karena tidak memiliki tangan; (2) H Ottotake, seorang penulis dan pengusaha asal jepan yang tidak memiliki kaki dan tangan sejak kecil; (3) Stevie Wonder dan masih banyak lagi teman teman yang mengalami kebutaan, tetapi tidak buta prestasi. Apakah mereka mereka memakai dalih kesehatan? Jawabannya adalah tidak. Untuk itu, yang harus kita lakukan untuk membuka gembok dalih kesehatan adalah: (1) jangan berbicara tentang kesehatan atau bentuk fisik kita; (2) jangan mengkhawatirkan kesehatan atau keberadaan fisik kita dengan berlebih lebihan; (3) bersyukurlah secara tulus bahwa kesehatan dan fisik yang kita punya adalah baik sebagaimana adanya. 

(4)  Gembok Keempat, Dalih Kepandaian. Kebanyakan diri kita membuat dua kesalahan dasar sehubungan dengan tingkat kepandaian (intelegensi/iq) yaitu: (1) meremehkan kekuatan otak kita; (2) kita terlalu menganggap hebat kekuatan otak orang lain. Adanya dua buah kesalahan ini, banyak orang yang sering merendahkan nilai diri mereka sendiri. Mereka gagal menghadapi situasi yang menantang karena merasa bahwa untuk itu diperlukan otak yang cerdas, padahal sebenarnya dia bisa mengatasinya. Namun karena dalih intelegensi, ia justru membuat dirinya terpenjara oleh gembok mental hingga menjadikannya kalah sebelum berperang. Padahal sebenarnya, yang penting bukanlah berapa tinggi tingkat IQ yang kita miliki, tetapi bagaimana kita menggunakan apa yang miliki dibandingkan dengan orang yang memiliki IQ yang tinggi tetapi menganggur. Ada tiga kunci untuk membuka gembok dalih intelegensi (kepandaian), yaitu: (1) jangan pernah meremehkan intelegensi Anda sendiri dan menganggap terlalu tinggi intelegensi orang lain. Berkonsentasilah pada apa yang Anda miliki. Temukan bakat unggul Anda, kelola potensi otak yang Anda punya, dan jangan khawatir mengenai hasil test IQ Anda; (2) Ingatkan diri Anda sesering mungkin, “Sikap saya lebih penting daripada intelegensi saya”.: (3) ingat, bahwa kemampuan berpikir jauh lebih bernilai daripada kemampuan mengingat fakta. Gunakan pikiran Anda untuk menciptakan dan mengembangkan gagasan, serta mencari cara cara baru yang lebih produktif daripa hanya menghafal. 

(5)  Gembok Kelima, Dalih Nasib. Berdasarkan ketentuan surat Ar Ra’d (13) ayat 11 berikut ini: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah  keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki  keburukan suatu kaum  maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (surat Ar Ra’d (13) ayat 11).”  Allah SWT tidak akan pernah menolong atau merubah suatu keadaan yang dialami oleh umatNya sampai umatNya sendiri mau melakukan upaya perubahan yang ada di dalam diri mereka sendiri. Jika sifat malas tetap ada di dalam diri, maka sepanjang malas tidak bisa kita rubah menjadi rajin, maka sepanjang itu pula Allah SWT tidak akan menolong diri kita. Jika kita tetap masih pelit kepada sesama, maka sepanjang tidak mau berbagi kepada sesama masih tetap bercokol dalam diri, sepanjang itu pula pertolongan Allah SWT tidak akan pernah diberikan kepada kita.Untuk menyikapi perubahan nasib, ketahuilah Allah SWT bahwa dalam kondisi pasif sehingga menunggu apa yang kita lakukan. Akan tetapi setelah diri kita aktif meminta, memohon, mengadakan perubahan atas apa apa yang ada pada diri kita, maka berlakulah ketentuan dalam surat Ar Ra’d (13) ayat 11 di atas. 

Adapun kunci pembuka gembok (penghalang) dari dalih nasib, dapat kami kemukakan ada empat M, yaitu: (a) Jangan gagal Melihat.Tidak sedikit dari kita yang tidak mampu melihat peluang dan kesempatan, sehingga peluang dan kesempatan berlalu begitu saja. Ini yang disebut dengan gagal melihat; (b) Jangan gagal Melakukan. Dalam perjalanannya, banyak orang yang berhasil melihat peluang dan kesempatan, tetapi tidak memiliki semangat untuk mengambil dan melalukan tindakan nyata. Ini yang disebut dengan gagal melakukan; (c) Jangan gagal Menyelesaikan.Bisa jadi mereka sudah melakukan, tetapi kegagalan membuat mereka berhenti, frustasi dan tidak mampu menyelesaikan; (d) Jangan gagal Mensyukuri. Apa yang kita terima saat ini patut disyukuri, dinikmati, dan menjadi pemicu kita untuk melalukan perbaikan terus menerus. 

Sebagai Abd’(hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi, ketahuilah bahwa “Balon udara terbang ke udara bukan dikarenakan warna dan bentuk dari balon itu. Terbang tingginya balon tidak ada hubungannya dengan warna balon ataupun bentuk dari balon. Kemampuan balon terbang sangat tergantung pada seberapa berkualitas isi dari gas yang ada di dalam balon. Semakin berkualitas gas yang ada di dalam balon maka semakin tinggi balon mampu terbang. Hal yang samapun berlaku pada diri manusia. Manusia tidak dinilai dari warna kulitnya. Manusia tidak dinilai dari bentuk dan penampilannya. Manusia dinilai dari seberapa tinggi dan berkualitas keimanan dan ketakwaaan yang ada di dalam dirinya dan yang kemudian tercermin di dalam perbuatannya. Ingat, Allah SWT memiliki parameter (tolak ukur) tersendiri dalam menilai keberhasilan khalifahNya. Allah SWT tidak pernah menilai seseorang dari penampilan phisiknya apalagi menilai khalifahNya berdasarkan warna kulitnya. 

Adanya faktor keimanan dalam diri (dalam ruh/ruhani yang fitrah) menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah tidak membatasi kemampuan seseorang atau tidak ada batasan potensi diri seseorang untuk mencapai sesuatu yang tertinggi dalam kehidupan. Namun kitalah yang menjadikannya rendah dikarenakan kita sendiri tidak mengetahui serta tidak mampu memanfaatkan potensi keimanan yang ada di dalam diri. Semoga hal ini tidak terjadi pada diri kita. Allah SWT berfirman:  Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. Dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya. (surat An Najm (53) ayat 39, 40). Ingat, Allah SWT memiliki CCTV system yang paling canggih yang dilaksanakan oleh Malaikat yang memiliki tugas untuk merekam segala perbuatan manusia dan siap memutar ulang atas apa apa yang telah kita perbuat kelak di hari berhisab. Lalu bisakah kita menghindarkan diri dari ini semua! Ayo segera lakukan perubahan dengan meningkatkan keimanan melalui program hijrah, terutama hijrah maknawiyah, sekarang juga. Jangan tunda tunda lagi sebelum semuanya berakhir dan menjadi penyesalan.

 Sebagai peringatan kepada orang-orang yang beriman agar tidak terbujuk oleh rayuan dari sindikat iblis/syaitan yang licin dan menghanyutkan itu. Sekarang sudahkah diri kita menjadi orang yang beriman dan bertawakkal kepada Allah SWT sehingga kita bisa mengalahkan ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan? Semoga diri kita mampu menjadi musuh-musuh syaitan, ingat menjadi musuh-musuh ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan, bukan menjadikan diri ini teman-teman ahwa (hawa nafsu) dan syaitan. Sekarang kesemuanya tergantung kepada diri kita, apakah mau menerima hal itu semua ataukah  tidak mau mematuhi atas apa-apa yang diperintahkan Allah SWT? Jika pilihan yang kita ambil adalah tidak mau mematuhi apa-apa yang dikehendaki oleh  Allah SWT yang pasti Allah SWT tidak akan pernah merasa rugi dengan apa yang kita pilih. Namun demikian, jika sampai pilihan itu yang akan kita ambil, tolong perhatikan, tolong pertimbangkan dengan masak-masak sebelum nasi menjadi bubur, yaitu apa yang dinamakan dengan ancaman Allah SWT. Timbul pertanyaan, seperti apakah ancaman Allah SWT itu? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa bentuk ancaman Allah SWT yang siap digelontorkan oleh Allah SWT kepada setiap manusia yang di dalam dirinya terdapat dampak sistemik dari pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan syaitan serta ketidakseriusan manusia melaksanakan perintah dan larangan Allah SWT, yaitu: 

a.    Allah SWT akan menutup pintu hati manusia sehingga ia tidak memiliki apa yang dinamakan dengan perasaaan yang berarti Allah SWT telah memutuskan hubungan dengan diri kita akibat dari kita sendiri memilih jalan keburukan. Allah SWT berfirman: “dan mereka berkata: "Hati Kami tertutup". tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; Maka sedikit sekali mereka yang beriman. (surat Al Baqarah (2) ayat 88). Jika kondisi ini yang telah kita ambil maka jangan pernah berharap kita akan memperolah manfaat yang terdapat di jalan kebenaran dan juga jangan pernah berharap untuk menjadi penghuni Syurga. Hal yang pasti adalah kita akan selalu berada di dalam kehendak Ahawa dan Syaitan. 

b.    Allah SWT akan memberikan azab atau hukuman pada saat kita hidup di dunia dan/atau selama hayat masih di kandung badan, berupa ketidaktenangan hidup, berupa resah dan gelisah, berupa ketakutan, berupa kesusahan usaha, berupa susahnya memperoleh pertolongan manusia, selalu dihantui dengan rasa gamang atau berupa ketakutan yang selalu menghantui diri kita, pikiran menjadi tertutup, susah menerima masukan dari orang lain, termasuk di dalamnya diperbudak oleh harta, diberikannya anak yang tidak berbakti kepada orang tua serta kepahitan hidup menjadi makanan sehari-hari. Allah SWT berfirman: dan Demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan. (surat Al An'am (6) ayat 129) 

c.    Allah SWT akan mengazab, akan memberikan penghargaan kepada manusia-manusia yang berjalan di jalan keburukan dengan azab yang pedih, serta akan dimasukkan ke dalam Neraka Jahannam untuk menjalani hidup bersama dengan syaitan di kampung kebinasaan dan kesengsaraan. Allah SWT berfirman: “dan berkata orang-orang yang masuk terdahulu di antara mereka kepada orang-orang yang masuk kemudian: "Kamu tidak mempunyai kelebihan sedikitpun atas Kami, Maka rasakanlah siksaan karena perbuatan yang telah kamu lakukan". (surat Al A'raaf (7) ayat 39) 

Itulah 3(tiga) buah ancaman yang siap diberikan kepada diri kita jika kita keluar dari kehendak Allah SWT. Ingat, ancaman yang Allah SWT ancamkan kepada diri kita pasti berlaku di kehidupan dunia ini dan akan dibuktikan dengan nyata pada waktunya di akhirat kelak. Untuk itu jangan pernah menganggap apa apa yang telah dikemukakan oleh Allah SWT terutama ancaman tidak akan dilaksanakanNya, semuanya pasti terjadi dan semuanya nyata tanpa ada yang ditutup tutupi. Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari akibat ulah diri kita sendiri. 

G.     MAMPU MENITI JALAN IKHLAS YANG DILANDASI NIAT YANG SUCI. 

Hikmah Ikhsan yang lainnya yang juga paling hakiki adalah mampu meniti jalan ikhlas yang dilandasi dengan niat yang suci.  Hal ini dimungkinkan terjadi karena ia mampu meniti jalan bukan karena siapa siapa melainkan hanya karena Allah SWT semata. Ikhlas tidak akan terealisasi dalam amal, kecuali didukung oleh dua unsur pokok: 

Pertama, menghadirkan niat di dalam beramal tersebut, karena setiap amal itu tergantung niatnya. Orang yang mengerjakan suatu amal tanpa disertai niat, yang baik atau buruk, ia tidak akan masuk golongan orang yang ikhlas; 

Kedua, memurnikan niat dari semua motif yang bersifat pribadi atau duniawi, sehingga menjadi benar benar ikhlas karena Allah ta’ala. Dan agar diri kita mampu mempertahankan keikhlasan yang sudah didukung oleh niat yang suci serta mampu bertambah kualitasnya dari waktu ke waktu, berikut ini akan mengajak jamaah sekalian untuk merenungi pernyataan dari “Albert Einstein”, berikut ini: “Dari bahan yang sama dan dengan cara yang sama, kita bisa menghasilkan sesuatu yang berbeda”. Pernyataan dari “Albert Einstein” ini bukanlah sebuah isapan jempol, akan tetapi sebuah kenyataan yang tidak bisa kita bisa sembunyikan. 

Adanya rumus ini akan menghasilkan adanya perbedaan perbedaan yang paling mendasar antar satu orang dengan orang lainnya sehingga terlihatlah kualitas dari diri manusia. Adapun yang membuat hasil akhir dari sesuatu pekerjaan, atau suatu ibadah, atau pelaksanaan perintah dan larangan Allah SWT bukan semata mata karena “bahan yang sama dan dengan cara yang sama” melainkan ada faktor lain yang tidak kentara yang mengakibatkan hasil akhirnya berbeda. Adapun faktor faktor yang memegang peranan sangat penting itu adalah: 

1.        Keikhlasan seseorang di dalam melaksanakan pekerjaan, atau ibadah tertentu. 

2.        Niat yang melatarbelakangi seseorang untuk berbuat sesuatu, melaksanakan sesuatu atau melaksanakan ibadah tertentu. 

3.        Ilmu dan pemahaman yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi kemampuan seseorang terhadap sesuatu hal, katakan ibadah, sehingga setiap orang akan melakukan ibadah sesuai dengan pemahaman yang dimilikinya. Semakin baik pemahamannya semakin baik ibadahnya, demikian pula sebaliknya. 

4.        Pengamalan seseorang terhadap pemahaman yang dimilikinya menjadikan seseorang memiliki pengalaman dan juga peningkatan penghayatan seseorang terhadap apa yang mereka kerjakan atau ibadah yang mereka laksanakan. 

5.        Daya juang seseorang untuk melakukan sesuatu pekerjaan atau suatu ibadah. Atau kesungguhan di dalam melaksanakan suatu pekerjaan atau suatu ibadah akan menjadi pembeda kualitas antar satu orang dengan orang lainnya yang pada akhirnya akan menghasilkan hasil akhir yang berbeda. 

6.        Seni (art) di dalam melakukan suatu pekerjaan atau suatu ibadah juga akan sangat mempengaruhi hasil akhir dari suatu pekerjaan dikarenakan masing masing orang memiliki latar belakang kemampuan yang berbeda beda. 

Enam hal yang kami kemukakan di atas, merupakan persoalan yang paling hakiki yang dihadapi oleh setiap orang karena dari sinilah asal muasal kenapa hasil dari suatu pekerjaan, atau suatu ibadah tidak menghasilkan sesuatu yang sama atau tidak sesuai dengan yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Hal yang harus kita pahami dengan baik dan benar adalah setiap perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT pasti untuk kemaslahatan diri kita. Namun berapa banyak orang yang telah melaksanakan perintah namun hasilnya diluar kehendak Allah SWT. Padahal kita telah tahu bahwa perintah Allah SWT nya  tidak pernah salah, namun kitalah yang salah di dalam melaksanakan perintah Allah SWT dimaksud. Dan yang paling hakiki adalah yang harus kita perbaiki terlebih dahulu adalah enam hal diatas barulah kita bisa sesuai dengan kehendak Allah SWT 

Bagi orang orang yang telah mampu menjadikan ibadah ikhsan sebagai cerminan bagi dirinya maka ke enam hal di atas bukanlah sesuatu yang menjadi persoalan baginya karena ia telah mampu melewati masa masa itu dalam hidupnya. Keikhlasan dalam beribadah yang ditunjang dengan niat yang suci sudah santapan sehari hari mereka sehingga sudah menancap dalam hati nurani mereka. Mereka sadar betul bahwa niat yang suci itu adalah amalan hati, bukanlah amalan lisan. Orang yang mampu melaksanakan kebaikan dalam kerangka ibadah ikhsan mampu menghadirkan niat yang suci yang dibarengi dengan mengosongkannya dari berbagai ambisi dan keinginan yang bersifat pribadi dan duniawi. Kita harus mengikhlaskan niat semata mata untuk Allah SWT dalam semua amal akhirat sehingga memperoleh penerimaan di sisi Allah. Hal ini karena setiap amal shaleh mempunyai dua rukun, Amal tersebut tidak akan diterima di sisi Allah, kecuali dengan memenuhi kedua rukun tersebut. Pertama, ikhlas dan memperbaiki niat. Kedua, sesuai sunnah dan cara cara yang diajarkan syariat. 

Amal yang ikhlas tetapi tidak benar, maka ia tidak akan diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima, sampai ia menjadi amal yang ikhlas dan benar. Ikhlas itu artinya semata mata untuk Allah, dan benar artinya sesuai dengan sunnah.Perkataan tidak berguna, kecuali dengan perbuatan. Perkataan dan perbuatan tidak berguna, kecuali dengan niat. Perkataan, perbuatan, dan niat tidak berguna, kecuali yang sesuai dengan sunnah/syariat yang berlaku. Amal tidak menjadi baik, kecuali dengan tiga perkara; (1) Taqwa kepada Allah; (2) Niat yang baik; (3) Benar, yakni dikerjakan dengan cara yang benar menurut syariat. Amal amal itu ibarat patung patung yang berdiri tegak, sedangkan ruhnya adalah keberadaan rahasia ikhlas di dalamnya. Jika demikian, tanpa ikhlas, amal tidak akan diterima betapapun pada lahirnya ia tampak baik dan shaleh. Contohnya pembangunan masjid dengan tujuan yang salah dan berjihad demi keuntungan duniawi. 

Wahai saudaraku, jangan sekali kali menyangka bahwa merealisasikan keikhlasan yang dilandasi dengan niat yang suci itu merupakan perkara yang gampang. Ia tidak semudah membalik telapak tangan bagi orang yang mau, dan untuk memperolehnya itu tidak akan bisa dengan sedikit usaha, tanpa perlu susah payah dan kerja keras. Yang benar adalah mewujudkan ikhlas yang dilandasi niat suci itu bukan perkara mudah, sebagaimana sangkaan sebagian orang. Pengetahuan tentang hakikat ikhlas dan beramal dengannya merupakan lautan yang dalam, yang kebanyakan orang tenggelam di dalamnya, kecuali orang orang tertentu yang istimewa, yaitu hamba hambaMu yang ikhlas diantara mereka. 

Agar diri kita mampu mempertahankan keikhlasan yang sudah ada di dalam diri serta mampu bertambah kualitasnya dari waktu ke waktu. Mari kita pelajari lagi tentang keikhlasan sebagai salah satu faktor yang sangat mempengaruhi hasil akhir dari suatu ibadah, yaitu:  

1.    Ketahuilah bahwa ikhlas merupakan salah satu amalan hati, yang mana malaikat pencatat yaitu Raqib dan Atid, hanya mampu mencatat segala apa yang kita perbuat tanpa pernah tahu keikhlasan seseorang dikarenakan malaikat tidak memiliki kemampuan untuk melongok ke dalam hati manusia tempat diletakkannya ikhlas. 

2.    Ikhlas adalah keinginan untuk mendapatkan ridha Allah dengan melakukan suatu amal dan membersihkannya dari segala kepentingan, baik yang bersifat pribadi maupun duniawi. Untuk itu, seseorang tidak boleh melakukan suatu amal kecuali hanya karena Allah dan mengharapkan kehidupan akhirat, sehingga ia tidak boleh mencapuri amalnya dengan sesuatu yang akan mengotorinya berupa keinginan keinginan dunia, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.Prinsip mengikhlaskan amal adalah mengkhususkan niat semata mata karena Allah ta’ala. Adapun makna niat adalah motif yang muncul pada diri seseorang untuk merealisasikan tujuan yang dicarinya sehingga motif inilah yang menggerakan keinginan seseorang untuk bergerak melakukan suatu pekerjaan. Motif ini sangat banyak dan bermacam macam, diantaranya adalah berkaitan dengan kebendaan atau kejiwaan, individu atau masyarakat, dunia atau akhirat, yang rendah dan hina atau yang agung dan mulia. 

3.    Seorang yang berbuat kebaikan dalam kerangka ibadah ikhsan adalah seorang mukmin sejati yang tidak lain adalah  orang yang motif agama dalam hatinya dapat mengalahkan motif ahwanya, dorongan akhiratnya mampu memenangkan atas dorongan dunia, dan ia lebih memilih apa yang ada di sisi Allah SWT daripada yang ada pada manusia. Ia pun menjadikan niat, perkataan, dan perbuatannya hanya untuk Allah, dan menjadikan shalat, ibadah, hidup dan matinya untuk Allah, Tuhan semesta alam. Inilah yang disebut ikhlas. Dan dengan keikhlasan, seorang mukmin akan menjadi hamba Allah yang sebenar benarnya, bukan hamba nafsunya atau nafsu orang lain, dan bukan pula hamba dunia atau dunia orang lain. 

4.    Ikhlas yang murni akan menjadikan seseorang lepas dari semua perbudakan dan terbebas dari penghambaan kepada selain Allah. Penghambaan kepada uang, wanita, minuman keras, perhiasan dan penampilan, pangkat dan kedudukan, pengaruh watak dan kebiasaan, serta segala bentuk penghambaan kepada dunia yang manusia tunduk kepadanya. Dan Ia pun menjadi seperti yang diperintahkan oleh Allah dan RasulNya. Allah SWT berfirman: dan Barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang Dia orang yang berbuat kebaikan, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan. (surat Luqman (31) ayat 22) 

5.    Imam Al Ghazali: Dengan penerangan iman dan cahaya Al Qur’an telah tersingkap bagi para ahli manajemen hati bahwa tidak ada jalan lain untuk sampai kepada kebahagiaan, kecuali hanya dengan ilmu dan ibadah. Semua orang binasa, kecuali orang orang yang berilmu. Semua orang berilmu binasa, kecuali orang orang yang mengamalkan ilmunya. Dan orang orang yang mengamalkan ilmunya binasa, kecuali mereka yang ikhlas. Sedangkan orang orang yang ikhlas dalam bahaya besar. Amal tanpa niat adalah kepayahan, dan niat tanpa ikhlas adalah riya. Riya’ itu setara dengan kemunafikan dan sama dengan durhaka.Ikhlas tanpa shidq (kejujuran) dan tahqig (pelaksanaan) adalah sia sia belaka. Allah SWT berfirman: “dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (surat Al Furqaan (25) ayat 23) tentang setiap amal yang dilakukan untuk selain Allah sebagai sesuatu yang terkontaminasi dan tidak dikenal (tidak diterima). 

6.    Amal yang tidak disertai keikhlasan ibarat suatu bentuk tanpa kehidupan atau bangkai tanpa nyawa. Allah SWT hanya menghendaki amal amal berdasarkan hakikatnya, bukan menurut rupa dan bentuknya. Karena itu, Allah SWT akan mengembalikan setiap amal yang tidak murni kepada pelakunya sebagaimana cashier (teller) bank yang teliti tidak menerima uang yang palsu. 

7.    Kehidupan tidak akan menjadi lurus dan berkembang, kecuali dengan orang orang yang ikhlas. Kebanyakan malapetaka dan bencana yang menimpa bangsa bangsa dan masyarakat dunia ditimbulkan oleh orang orang yang tidak mengharapkan Allah dan negeri akhirat. Orang yang menjadi budak budak dunia dan pencinta harta benda, yang tidak segan segan, demi dunia dan nafsu mereka, menghancurkan dunia dan agama orang lain secara bersamaan, dan mengubah bangunan menjadi rerentuhan, tempat tempat tinggal menjadi kuburan, dan kehidupan menjadi kematian. 

8.    Islam tidak rela apabila seorang muslim hidup dengan dua wajah: satu wajah untuk Allah, dan satu lagi untuk sekutu sekutuNya. Islam juga tidak rela apabila hidup seseorang terbagi dua: sebagian untuk Allah dan sebagian untuk berhala. Islam menolak dualisme yang banyak kita saksikan dalam kehidupan kaum muslim sekarang. Sering kita jumpai seorang laki laki di dalam masjid atau pada bulan Ramadhan ia tampak sebagai seorang muslim, kemudian di dalam kehidupannya, atau interaksi sosialnya menjadi orang lain. Sesungguhnya hanya ikhlas yang menyatukan kehidupan seorang muslim menjadikan seluruh kehidupannya untuk Allah, sebagaimana menjadi dirinya hanya untuk Allah. Shalat, ibadah, hidup dan matinya hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam. 

9.    Untuk memudahkan diri kita melaksanakan keikhlasan, berikut ini akan kami kemukakan tanda tanda ikhlas, yaitu : (a) Takut terhadap ketenaran; (b) Curiga terhadap diri sendiri; (c) Beramal di tempat sunyi, jauh dari keramaian; (d) Tidak mencari pujian dan tidak tertipu dengannya; (e) Tidak kikir memuji orang yang pantas dipuji; (f) Amal tetap sama sebagai Komandan maupun Prajurit; (g) Mengadakan perayaan dengan Ridha Allah, bukan Ridha manusia; (h) Suka dan Benci karena Allah, bukan karena nafsu; (i) Sabar atas jauhnya perjalanan; (j) Gembira dengan rekan sepropesi; (k) Menginginkan Amal yang lebih berguna; (l) Terhindar dari bahaya ujub; (m) Bersikap waspada dari menganggap diri suci.Untuk itu ketahuilah setiap manusia tentu memiliki kelebihan atau kekurangan akibat pengaruh ahwa (hawa nafsu) yang dibelakangnya ada syaitan. Dan yang harus kita lakukan adalah mau menerima orang lain apa adanya melalui kelebihan maupun kekurangannya masing masing. Apabila kita menemukan orang yang memiliki kekurangan maka temukanlah sisi positif dari kekurangan orang lain. Lalu nikmatilah hidup dengan cara isi mengisi di antara sesama ini sebagai sebuah anugerah dari Allah SWT kepada diri kita. Betapa hebatnya jiwa muthmainnah itu.  

H.     MAMPU MENGHADAP ALLAH SWT KELAK DENGAN BEKAL YANG PANTAS LAGI PATUT. 

Hikmah Ikhsan yang lainnya yang juga paling hakiki adalah mampu menghadap Allah SWT kelak dengan bekal yang pantas lagi patut. Hal ini dimungkinkan terjadi karena orang yang mampu berbuat kebaian dalam kerangka ibadah ikhsan adalah orang yang mampu menghadap ke penciptanya kelak dengan rasa tenang, dengan rasa senang lagi bahagia karena ia telah membawa bekal yang pantas lagi patut kehadapan Allah SWT di hari akhirat kelak. Adapun sejumlah bekal yang telah dipersiapkannya saat hidup di dunia, dapat kami kemukakan sebagai berikut:   

1.    Bekal Taqwa. Allah SWT berfirman: “Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik baik bekal adalah taqwa. Dan bertaqwalah kepadaKu wahai orang orang yang mempunyai akal sehat. (surat Al Baqarah (2) ayat 197)’. Taqwa merupakan bekal yang sangat diperlukan oleh siapapun manusia. Tanpa ada taqwa, Allah tidak rela memberikan pertolongan kepada hamba-Nya. Tanpa ada taqwa, Allah tidak akan menerima amalan hamba-Nya. Taqwa merupakan syarat keberhasilan usaha di dunia dan keselamatan di akhirat kelak. Adanya bekal taqwa dalam diri seseorang maka akan tampil dari diri orang tersebut sebagai bukti ketaqwaan yang dimilikinya adalah karya karya nyata yang dapat dinikmati oleh masyarakat banyak dan bahkan mampu dinikmati pula oleh generasi yang dikemudian hari. 

2.    Bekal Ilmu. Allah SWT berfirman: “Diantara hamba hamba Allah yang takut kepadaNya, hanyalah para ulama (orang yang mengetahui ilmu kebesaran dan kekuasaan Allah). Sungguh, Allah Maha perkasa, Maha Pengampun. (surat Fathiir (35) ayat 28)”. Kalau kita enggan, malas belajar akan membuat kerusakan, tidak membuat perbaikan, tidak bermanfaat, tapi justru merugikan, tidak menang, tapi pasti kalah dan tersesat. Apalagi, orang yang rajin beramal sekalipun tanpa disertai ilmu, seperti orang berjalan bukan pada jalannya. Jangan sampai, amalan yang kita lakukan berbuah sia-sia tanpa dasar ilmu. 

3.    Bekal Tawakkal. Allah SWT berfirman: “Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusanNya, Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu. (surat At Thalaq (65) ayat 3)”. Tawakkal akan menanamkan kepada hati sebuah kesungguhan dalam menggantungkan diri kepada Allah. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, segala sesuatunya Allah yang menentukan. Maka, biarkan Allah yang mencukupi kita selama kita hidup di dunia ini. Kita hanya berusaha semaksimal mungkin, namun Allah SWT juga yang menentukan. 

4.    Bekal Syukur. Allah SWT berfirman: “Allah tidak akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman. Dan Allah Maha Mensyukuri Maha Mengetahui” (surat An-Nisaa’ (4) ayat 147). Bentuk rasa syukur itu meliputi syukur dengan lisan, hati, dan dengan tindakan kita. Ingat, sesungguhnya nikmat-nikmat itu akan lestari karena syukur dan akan hilang dengan kufur. 

5.    Bekal Sabar. Allah SWT berfirman: “Wahai orang orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang orang yang sabar. (surat Al Baqarah (2) ayat 153)”.  Apa pun profesi manusia sangat membutuhkan kesabaran. Seorang guru tentu memerlukan kesabaran dalam mengajar anak didiknya. Begitu juga dengan profesi yang lain. Bahkan, orang yang tertimpa musibah juga harus senantiasa bersabar. Jadikanlah sabar sebagai penolong kita karena yakinlah Allah bersama dengan orang-orang yang sabar terhadap ujian hidup di dunia. 

6.    Bekal Zuhud (tidak mencintai dunia). Rasulullah SAW bersabda: “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah mencintaimu dan janganlah mencintai apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia mencintaimu!” (HR Ibnu Majah).” Dan bekal yang terakhir yang harus kita persiapkan adalah Bekal Itsarul Akhirah yaitu mengutamakan bekal akhirat dibandingkan dengan bekal dunia. Sebagaimana Allah SWT berfirman: “Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang orang yang usahanya di balas dengan baik. (surat Al-Israa’ (17) ayat  19) 

Inilah 6 (enam) bekal yang telah dipersiapkan oleh orang yang berjiwa muthmainnah sebelum Allah SWT memanggil untuk menghadap kepadaNya kelak. Untuk itu segera yakini diri bahwa 6 (enam) hal inilah bekal yang akan menolong kita dalam memikul beban kewajiban syariat dalam kehidupan dunia ini. Semoga dengan adanya enam bekal yang kami kemukakan di atas ini, akan mampu menghantarkan diri kita datang fitrah kembali fitrah, mampu mengerjakan ibadah yang khusyu, akhlak yang baik, berperilaku santun, hati yang ikhlas, memiliki anak dan keturunan yang shaleh dan shalehah, memiliki karya karya nyata yang dapat dinikmati bagi generasi yang datang di kemudian hari yang tersebar di mana mana. 

Sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi, yang memiliki kepentingan hidup dan kehidupan di muka bumi ini yang sesuai dengan kehendak Allah SWT, dan yang sedang berusaha menjadikan jiwanya jiwa muthmainnah (jiwa yang fitrah), serta yang hendak pulang kampung ke kampung kebahagiaan, dalam hal ini syurga. syurga. Untuk itu ada baiknya jika kita bisa melaksanakan beberapa prinsip hidup di bawah ini. 

1.    Hidup adalah saat bersatunya ruh/ruhani dengan jasmani. Hidup adalah saat terjadinya tarik dan menarik antara kepentingan ruh/ruhani yang membawa nilai nilai kebaikan yang berasal dari nilai nilai ilahiah (nass,nafs/anfuss) dengan kepentingan jasmani yang membawa nilai nilai keburukan yang berasal dari alam (insan,ahwa). Jangan sampai diri kita menampilkan penampilan jiwa fujur yang sesuai dengan kehendak syaitan, yang pada akhirnya jauh dari kebanggaan Allah SWT. Jika kehadiran kita di muka bumi ini bisa membuat Allah SWT tersenyum bangga kepada diri kita berarti kita sejalan dengan kehendak Allah SWT atau sesuai dengan konsep Allah SWT dan berarti kita juga telah mampu menampilkan penampilan Allah SWT melalui diri kita dan kitapun mampu merasakan adanya Allah SWT dalam diri kita. Namun apabila kehadiran diri kita di muka bumi membuat Allah SWT benci dan marah berarti ada yang salah dalam diri kita dikarenakan kita tidak tahu dan tidak mengerti siapa diri kita yang sesungguhnya dan siapa Allah SWT yang sesungguhnya serta mengetahui dengan pasti adanya hubungan antara diri kita dengan Allah SWT. Sebelum semuanya terlambat, selagi diri kita masih berada di persimpangan jalan, ayo gunakan waktu yang tersisa untuk segera mempelajari dan memahami ilmu tentang diri dan juga tentang Allah SWT saat ini juga. Ayo segera belajar karena belajar adalah perintah Allah SWT. Jangan menunda nunda belajar karena kita tidak tahu kapan kita sampai waktu Isya. Luangkan waktu untuk belajar dan jangan mencari cari alasan untuk tidak mau belajar. Belajar untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain.

 

2.    Dan agar hidup yang kita lakukan saat ini selalu berlimpah kenikmatan dalam ketenangan lagi bermanfaat bagi orang lain, serta mampu hidup tenang mati senang berumur panjang, sesungguhnya kita hanya cukup bersyukur dan bersabar dengan mengkonsumsi 3 (tiga) buah “Tahu” setiap harinya selama hayat masih di kandung badan yaitu kita harus, “Tahu Diri; Tahu Aturan Main dan Tahu Tujuan Akhir. Dan jangan sampai di sisa usia kita yang miliki saat ini: (a) kita hanya tahu diri tetapi tidak tahu aturan main dan juga tidak tahu tujuan akhir, atau; (b) kita hanya tahu aturan main tapi tidak tahu diri dan tidak tahu tujuan akhir, atau; (c) kita tidak tahu diri dan juga tidak tahu aturan main serta tidak tahu tujuan akhir. Dan semoga hasil dari tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir mampu menghantarkan diri kita melaksanakan konsep hidup berikut ini: “Urip Kuwi Yen: Ngibadah jenak; Kubur ra sesek; Suwargo mbukak; Rezekine jembar; Uripe berkah, Mangan enak; Turu kepenak; Tonggo semanak; Keluargo cedhak;  Sedulur grapyak; Bondo cemepak;  Ono panganan ora cluthak; ketemu konco ngguyu Ngakak” Dan jika kita mampu melaksanakan perilaku (konsep hidup) di atas maka peribahasa berikut ini pun mampu pula kita laksanakan, yaitu: “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani”. 

3.    Agar proses tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir tidak hanya sekedar basi basi dihadapan Allah SWT atau hanya ala kadarnya. Untuk itu ada baiknya kita melakukan hal hal sebagai berikut sebagai upaya untuk menjadikan diri kita sesuai dengan kehendak Allah SWT, yaitu: (1) Hargai diri sendiri sambil melihat cermin lalu bertanyalah kepada diri sendiri masih sesuaikah diri kita dengan konsep Allah SWT; (2) Berhentilah untuk menilai setiap tindakan yang kita lakukan; (3) Jangan minder karena penilaian orang lain karena kita tidak bertanggungjawab kepadanya; (4) Berhentilah mencari kesalahan diri sendiri; (5) Lupakan kenangan buruk masa lalu dan jadikan kenangan itu sesuatu yang hanya kita lihat melalui kaca spion lalu fokuslah ke masa depan; (6) Jangan mencoba untuk mengubah diri sendiri dengan cara cara kita sendiri; (7) Menghargai ketrampilan dan bakat kita lalu berbuatlah kebaikan dalam kerangka ibadah ikhsan sehingga kebaikan itu melekat sebagai cerminan bagi diri kita; (8) Lakukan hal hal yang kita sukai dan jangan lupa buatlah Allah SWT selalu tersenyum lebar kepada diri kita, atau buatlah diri kita menjadi kebanggaan Allah SWT lalu kita mampu menemukan dan bertemu Allah SWT dalam diri kita masing.

 

Akhirnya Jalanilah hidupmu dengan penuh prasangka baik.Jalanilah hidupmu dengan jiwa yang lapang. Dengan hati yang ikhlas, maka jiwamu akan terasa lapang.Dengan hati yang ikhlas, maka kau akan bahagia dunia dan akhirat, dalam kerangka melaksanakan Diinul Islam secara kaffah (menyeluruh).

 Pembaca dan jamaah yang kami hormati, hanya inilah buku “Ikhsan: Inilah Cerminan Diri Kita” yang mampu kami tulis, hanya inilah yang mampu kami ungkapkan, hanya inilah yang mampu kami berikan sebagai sumbangsih kami kepada diri, keluarga, anak dan keturunan, masyarakat, bangsa dan juga Negara dan juga untuk generasi yang datang di kemudian hari.

  Semoga buku ini bermanfaat sesuai dengan peruntukannya yaitu mampu menjadikan diri kita tetap sebagai “Makhluk yang Terhormat, yang mampu berperilaku Terhormat, untuk bisa pulang kampung ke tempat yang Terhormat dengan cara yang Terhormat sehingga kita bisa bertemu dengan Yang Maha Terhormat dalam suasana yang saling hormat menghormati.” Lalu, mari kita bertadabbur bersama sama. Petunjuk Allah SWT telah ada dihadapan diri kita dan telah lengkap dan sempurna. Tidak ada kekurangan, kecacatan dalam isi dan kandungan AlQuran. AlQuran siap membawa siapapun juga yang mau mengimaninya, yang mau mempelajarinya, yang mau memahaminya, yang mau mengamalkannya, yang mau menyebarluaskannya, yang mau menjadikannya sebagai akhlak untuk meraih kesuksesan hidup di dunia dan akhirat kelak.

 Tak lupa dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada siapapun juga yang turut membantu kami di dalam menulis buku ini hingga sampai ke tangan pembaca dan semoga Allah SWT menjadikan hal ini sebagai ibadah yang pahalanya terus dan terus mengalir sepanjang buku ini ada, dipelajari oleh banyak jamaah dan diajarkan kembali oleh jamaah kepada yang lainnya. Mohon maaf jika ada kata-kata yang tidak berkenan di hati. Semoga Allah SWT menambah Ilmu kita, semoga Allah SWT memberikan pemahaman yang sesuai dengan kehendak Allah SWT itu sendiri, semoga kita mampu melaksanakan apa apa yang telah kita pelajari serta semoga Allah SWT mengabulkan harapan dan doa yang kita panjatkan kepada-Nya dan kita semua selalu di dalam lindungan-Nya. 

Sebagai penutup dari buku ini, tidak ada kata kata penutup yang paling indah selain kata, “Alhamdulillahi Rabbil Alamin” Inilah kata yang berisi ungkapan syukur yang sangat luar biasa kepada Allah SWT. Rasa bersyukurlah sebagai cara pamungkas agar segala nikmat yang kita peroleh dan selalu ditambah oleh Allah SWT dari waktu ke waktu sampai kita bertemu dengan Allah SWT kelak di syurga. Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar