Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Jumat, 25 Februari 2022

SIAPA SAJAKAH ORANG YANG BERBUAT KEBAIKAN

 

Sekarang kita sudah mengetahui dan memahami tentang Ikhsan (kebaikan) dalam kerangka pelaksanaan Ikhsan dan kita juga telah mengetahui lawan dari Ikhsan (kebaikan) yaitu keburukan. Setelah diri kita mengetahui tentang kebaikan dan juga keburukan maka sudah seharusnya diri kita mampu menjadikan kebaikan sebagai perilaku diri kita sebagai wujud pelaksanaan ibadah Ikhsan yang juga mencerminkan diri kita sendiri. Sedangkan dengan adanya informasi keburukan haruslah menjadi pedoman bagi diri kita inilah hal hal yang harus kita tinggalkan, yang harus kita jauhkan atau bahkan kita buang jauh jauh dari kehidupan kita. Untuk itu ketahuilah tidak setiap orang mampu melaksanakan kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan, demikian pula sebaliknya dengan keburukan. 

Sehingga hanya orang orang tertentulah yang akan mampu melaksanakan kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan dan hanya orang orang tertentu pula yang berbuat keburukan. Kondisi in sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam hadits berikut ini: Abu Umamah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Aku telah menciptakan kebaikan dan kejahatan maka berbahagialah orang yang telah Aku ciptakan untuk kebaikan dan melaksanakannya. Sebaliknya celakalah orang yang telah Kuciptakan untuk kejahatan dan melaksanakannya. (Hadits Qudsi Riwayat Syahin; 272:106). Hadits ini mengemukakan berbahagialah yang melakukan kebaikan, dan celakalah orang yang berbuat kejahatan (keburukan). Adanya kondisi seperti yang dikemukakan hadits di atas, lalu siapa sajakah orang orang yang mampu berbuat Ikhsan (kebaikan) itu? 

Berikut ini akan kami kemukakan siapa siapa saja yang mampu berbuat kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan itu, lalu adakah diri kita termasuk dalam kriteria yang akan kami kemukakan di bawah ini. 

A.     ORANG YANG BERIMAN dan BERAMAL SHALEH. 

Berdasarkan surat Ar Ra’d (13) ayat 29 berikut ini: “orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.” dikemukakan bahwa salah satu orang yang mampu berbuat kebaikan dalam kerangka melaksanakan ib adah Ikhsan secara ikhlas adalah orang yang beriman lagi beramal shaleh. Ingat, orang yang beriman lagi beramal shaleh. Hal ini penting kami tekankan karena belum tentu semua orang masuk dalam kategori  beriman mampu beramal shaleh.Untuk itu jika kita ingin bercita cita memperoleh kebahagiaan dan tempat kembai yang baik, maka kita harus mampu menjadikan diri kita, termasuk keluarga dan anak keturunan kita masuk dalam kriteria beriman yang dibuktikan atau dibarengi dengan mampu berbuat amal shaleh selama hayat masih di kandung badan. 

Sekarang sudahkah diri kita dan juga anak keturunan kita menjadi orang yang beriman lagi beramal shaleh sebagaimana dikemukakan oleh surat An Nisaa’ (4) ayat 123, 124, 125 sebagaimana berikut ini, “(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya  kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” Jika kita belum mampu menjadikan diri kita, keluarga dan anak keturunan kita menjadi orang yang beriman yang mampu beramal shaleh dapat dipastikan ada sesuatu yang salah dalam diri kita, sehingga hidup yang kita jalani menjadi tanpa makna tanpa nilai seperti halnya “ketimun bungkuk”, yang tidak bernilai serta yang akan menjadi sampah yang tidak ada harganya. Sedangkan bagi orang yang beriman lagi beramal shaleh tidak akan dianiaya sedikitpun oleh Allah SWT dan dimasukkan ke dalam syurga.

 

Sebaliknya bagi orang yang mengerjakan kejahatan atau keburukan, akan diberikan balasan berupa kejahatan dibalas kejahatan atau keburukan dibalas keburukan yang serupa dengan perbuatannya serta Allah SWT lepas tangan tidak mau memberi perlindungan kepada pelakunya sehingga hasil akhir dari itu semuanya dimasukkan ke dalam neraka. Dan masih berdasarkan surat An Nisaa’ (4) ayat 123, 124, 125 di atas, dikemukakan pula bahwa setiap kebaikan yang dilandasi niat ikhlas hanya kepada Allah SWT merupakan parameter yang dipergunakan oleh Allah SWT dalam menilai siapa yang lebih baik agamanya dibandingkan dengan orang lain. Semakin berkualitas kebaikan yang dilandasi niat Ikhlas hanya kepada Allah SWT maka semakin baik kualitas seseorang, demikian pula sebaliknya. Untuk itu jika kita ingin memiliki kualitas yang terbaik maka contohlah Nabi Ibrahim as, yang telah menjadi kesayangan Allah SWT.

 

Adanya ketentuan hanya orang yang beriman lagi beramal shaleh secara ikhlas saja yang mampu berbuat kebaikan menunjukkan kepada kita bahwa setiap kebaikan yang dilakukan dalam kerangka ibadah ikhsan tidak bisa dilaksanakan oleh semua orang. Hanya orang orang yang memenuhi persyaratan tertentu sajalah yang mampu berbuat kebaikan secara konsisten dari waktu ke waktu selama hayat masih di kandung badan. Lalu apa yang terjadi? Adanya kondisi ini maka terjadilah perbedaan kualitas antara satu orang dengan orang yang lainnya yang pada akhirnya terlihat dengan jelas siapa yang paling baik kedudukannya dihadapan Allah SWT dan diketahui pulalah kemana tempat kembalinya kelak. Di lain sisi, Allah SWT melalui surat Al Bayyinah (98) ayat 7 yang kami kemukakan berikut ini: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah Sebaik-baik makhluk.”  mempertegas kedudukan orang yang beriman lagi mengerjakan amal shaleh dengan menempatkan sebagai sebaik baiknya makhluk. Lalu sudahkah kita menjadi sebaik baiknya makhluk dihadapan Allah SWT! 

Sekarang mari kita perhatikan hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah Ta’ala berfirman: Aku telah ciptakan kebaikan dan keburukan, maka bahagialah orang yang telah Kutakdirkan melakukan kebaikan dan binasalah orang yang telah Kutakdirkan melakukan kejahatan. (Hadits Qudsi Riwayat Ath Thabrani; 272:63) Dimana Allah SWT telah menegaskan bahwa hanya orang yang melakukan kebaikanlah yang akan bahagia. Sedangkan orang yang melakukan kejahatan atau keburukan akan binasa. Lalu Allah SWT akan membalas orang yang dibenci (orang yang berbuat kejahatan dan keburukan) dengan orang yang dibenci pula dengan mempertemukan keduanya lalu keduanya dimasukkan ke dalam neraka secara bersama sama, sebagaimana hadits berikut ini: Jabir ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah Ta’ala berfirman: Aku membalas hamba yang Aku benci dengan hamba yang Aku benci pula kemudian Aku masukkan keduanya ke dalam neraka. (Hadits Qudsi Riwayat Ath Thabrani; 272:75) 

 Sekarang bertanyalah kepada diri sendiri, sudahkah kita termasuk orang yang beriman lagi beramal shaleh ataukah kita masih dalam kriteria orang Islam yang belum tentu beriman? Ingat, adanya perbedaan kualitas diri seseorang akan menghasilkan perbedaan hasil akhir dari seseorang dan ingat pula waktu yang ada saat ini adalah waktu yang tersisa. Sehingga hanya pada waktu yang tersisa dalam hidup ini, kita bisa berbuat kebaikan untuk kebaikan diri kita sendiri. Dan Allah SWT sendiri sudah sering kali mengingatkan kepada diri kita tentang manajemen waktu karena waktu inilah harta yang paling berharga saat hidup di dunia. Apalah artinya kekayaan yang banyak, mobil mewah, jabatan tinggi, uang berlimpah, perusahaan banyak, rumah mewah, suami atau istri cantik, anak shaleh dan shalehah, tapi kita tidak memiliki waktu. Semuanya akan sia sia belaka.  Allah SWT berfirman: “Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati unuk kesabaran. (surat Al Ahsar (103) ayat 1,2,3) Ayo manfaatkan sisa waktu yang kita miliki dengan menjadikan diri kita menjadi orang yang beriman lagi mampu beramal shaleh lalu membuktikannya atau kita sendiri yang menjadikan diri sendiri menjadi orang yang merugi seperti yang dikemukakan oleh Allah SWT di dalam surat Al A’shar (103) ayat 1 sampai 3 di atas. Jangan sampai terlambat. Ingat, pilihan ada di tangan kita sendiri, baik ataupun buruk bukan Allah SWT yang menentukan tetapi kitalah yang menjadikannya berlaku. Ingat, beratnya perjuangan saat menjadi khalifah di muka bumi lebih berat dari menahan panasnya api neraka. 

B.      ORANG YANG BERHIJRAH DAN MATI SYAHID. 

Berdasarkan ketentuan surat Al Hajj (22) ayat 58 dan 59 yang kami kemukakan berikut ini:  “dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka dibunuh atau mati, benar-benar Allah akan memberikan kepada mereka rezeki yang baik (surga). dan Sesungguhnya Allah adalah Sebaik-baik pemberi rezeki.Sesungguhnya Allah akan memasukkan mereka ke dalam suatu tempat (syurga) yang mereka menyukainya. dan Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.”  Orang orang yang berhijrah di jalan Allah SWT serta orang orang yang mati syahid adalah orang orang yang mampu berbuat kebaikan dalam kerangka melaksanakan ibadah Ikhsan. Allah SWT akan memberikan kepada orang orang ini, dalam hal ini orang yang berhijrah dan mati syahid tempat kembali yang sangat baik yaitu syurga.. 

Hijrah berasal dari bahasa Arab yang berarti 'meninggalkan, menjauhkan dari dan berpindah tempat'. Dalam konteks sejarah, hijrah adalah kegiatan perpindahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW bersama para sahabat beliau dari kota Makkah ke kota Madinah, dengan tujuan mempertahankan dan menegakkan risalah Allah, berupa akidah dan syariat Islam. Perintah berhijrah juga tertulis dalam perintah Allah SWT dalam surat Al Baqarah (2) ayat 218 berikut ini: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (surat Al Baqarah (2) ayat 218).” Berhijrah bisa bermakna bertekad untuk mengubah diri demi meraih rahmat dan keridhaan Allah SWT. Selain dari pada itu, berhijrah juga dapat diartikan sebagai salah satu prinsip hidup. Seseorang dapat dikatakan hijrah jika telah memenuhi dua syarat, yaitu ada sesuatu yang ditinggalkan dan ada sesuatu yang ditujunya (tujuan). Kedua-duanya harus dipenuhi oleh seorang yang berhijrah. Misalnya dengan meninggalkan segala hal yang buruk, seperti pikiran negatif dan maksiat, dan menuju keadaan yang lebih baik, positif, untuk menegakkan ajaran Islam atau dari jiwa fujur menuju jiwa taqwa. 

Untuk mempertegas tentang hijrah ketahuilah bahwa istilah kata hijrah biasanya mengacu kepada tiga pengertian pokok, yaitu: (1) meninggalkan suatu negeri yang berpenduduk kafir menuju negeri yang berpenduduk muslim, seperti hijrah Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah, (2) meninggalkan syahwat, akhlak yang buruk dan dosa-dosa menuju kebaikan yang diperintahkan oleh Allah SWT, (3) mujahadah an-nafs atau menundukkan hawa nafsu untuk mencapai kemanusiaan yang hakiki. Selain tiga pengertian di atas, hijrah juga bisa diartikan dengan pengertian yang lain seperti : (1) pindah dari negeri orang kafir atau musyrik ke negeri orang Islam, seperti terjadi pada diri Rasulullah dan para muhajirin yang meninggalkan Mekkah menuju Madinah, tempat kaum Anshar yang telah menyatakan keislamannya, (2) mengasingkan diri dari bergaul dengan orang kafir atau musyrik yang berlaku kejam dan suka menyebarkan fitnah ke tempat yang aman, seperti yang diperintahkan Rasululullah kepada para sahabat untuk berhijrah dari Mekkah ke Habasyah (Etiopia), (3) pindah dari kebiasaan mengerjakan perbuatan mungkar (buruk) kepada kebiasaan mengerjakan perbuatan makruf (baik). 

Dan untuk dapat melaksanakan tiga pengertian hijrah di atas bukanlah perkara mudah, akan tetapi butuh perjuangan untuk menggapainya. Disinilah letak terpenting dari pelaksanaan hijrah yaitu seberapa kuat tekad dan kemauan kita untuk berubah karena perubahan yang akan merubah diri kita menjadi pribadi pribadi yang dikehendaki Allah SWT yang dibuktikan dengan menjadikan kebaikan sebagai cerminan diri kita sebagai hasil dari hijrah itu sendiri. Seseorang yang telah bertekad untuk berhijrah, dalam artian mengubah hidupnya menjadi lebih baik dari sebelumnya buruk, akan memperoleh derajat yang lebih tinggi di mata Allah SWT sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Allah SWT dalam surat At Taubah (9) ayat 20 berikut ini: orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih Tinggi derajatnya di sisi Allah; dan Itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (surat At Taubah (9) ayat 20).” 

Secara garis besar, hijrah dibedakan menjadi dua macam, yaitu hijrah makaniyah yang dapat diartikan sebagai berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan hijrah maknawiyah yang dapat diartikan sebagai mengubah diri, dari yang buruk menjadi lebih baik demi mengharap keridhaan Allah SWT). Contoh hijrah makaniyah adalah peristiwa hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah serta hijrahnya Nabi Ibrahim as, sebagaimana firmanNya berikut ini: Maka Luth membenarkan (kenabian)nya. dan berkatalah Ibrahim: "Sesungguhnya aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku); Sesungguhnya Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (surat Al Ankabutt (29) ayat 26)”. Sedangkan hijrahnya Nabi Musa as, ada pada surat Al Ankabutt (29) ayat 26 berikut ini: “Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu[1117] dengan khawatir, Dia berdoa: "Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu". (surat Al Qashash (28) ayat 21).” 

[1117] Maksudnya: merasa sangat khawatir, kalau-kalau ada orang yang menyusul untuk menangkapnya. 

Adapun Hijrah Maknawiyah dapat dibedakan menjadi empat kelompok besar, sebagaimana kami kemukakan di bawah ini, yaitu : 

a.    Hijrah i'tiqadiyah (hijrah keyakinan), ketika seorang Muslim mencoba meningkatkan keimanannya agar terhindar dari kemusyrikan. 

b.    Hijrah fikriyah (hijrah pemikiran), ketika seseorang memutuskan kembali mengkaji pemikiran Islam yang berdasar pada sabda Rasulullah dan firman Allah demi menghindari pemikiran yang sesat. 

c.    Hijrah syu'uriyyah adalah berubahnya seseorang yang dapat dilihat dari penampilannya, seperti gaya berbusana dan kebiasaannya dalam kehidupan sehari-hari. Hijrah ini biasa dilakukan untuk menghindari budaya yang jauh dari nilai Islam, seperti cara berpakaian, hiasan wajah, rumah, dan lainnya. 

d.   Hijrah sulukiyyah (hijrah tingkah laku atau kepribadian). Hijrah ini digambarkan dengan tekad untuk mengubah kebiasaan dan tingkah laku buruk menjadi lebih baik. "Seperti orang yang sebelumnya selalu berbuat buruk, seperti mencuri, membunuh, atau lainnya, bertekad berubah kepribadiannya menjadi pribadi yang berakhlak mulia, 

Hijrah merupakan fase terpenting dalam hidup dan kehidupan seseorang untuk memperbaiki diri atau untuk proses kembali kepada fitrahnya seorang manusia (dari jiwa fujur menuju jiwa taqwa). 

Di lain sisi, ada banyak potensi dan kekuatan terpendam dalam diri setiap manusia, terutama orang yang beriman. Kekuatan yang dapat menyingkap dan mendorong seseorang untuk melakukan banyak hal. Namun, sangat banyak di antara manusia yang tidak mengetahui bagaimana potensi dan kekuatan yang terpendam dalam dirinya. Kekuatan itu pun luput dari perhatian mereka, sehingga tak kunjung memberi kontribusi dan manfaat bagi mereka agar dapat bangkit dari keterpurukan ataupun bagi kemaslahatan masyarakat, bangsa dan negara. Ketika seorang manusia memperhatikan sisi ini, maka keimanan akan masuk ke dalam dirinya disertai dengan wahyu Ilahi yang menunjukkan tentang hal ini. Perhatian itu tidak dapat memalingkan wajah manusia untuk melihat kemampuan, rahasia, kekuatan dan potensi yang ada dalam diri manusia. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Adz Dzaariyat (51) ayat 21 berikut ini: “dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan? (surat Adz Dzaariyaat (51) ayat 21).” 

AlQuran yang mulia ini juga senantiasa membimbing kita, AlQuran menjelaskan bahwa perubahan hakiki yang terjadi dalam diri manusia bukan semata mata berasal dari usaha yang dilakukannya untuk mengubah apa yang ada dalam diri manusia, tetapi itu merupakan nikmat dan pertolongan yang Allah SWT berikan. Sebagaimana firmanNya berikut ini: bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (surat Ar Ra’d (13) ayat 11).” 

[767] Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah.

[768] Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka. 

Allah SWT telah menyatukan kebenaran melalui keutamaan dan pertolonganNya kepada manusia serta adanya usaha dan kerja keras dari manusia untuk mengubah apa yang ada pada diri mereka. Oleh karena itu, Allah Yang Maha Mulia tidak pernah memberikan kemenangan bagi para pemalas, juga tidak memberi kesuksesan bagi para pecundang. Allah SWT berfirman: “itu lebih dekat untuk (menjadikan Para saksi) mengemukakan persaksiannya menurut apa yang sebenarnya, dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah[456]. dan bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya). Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (surat Al Maaidah (5) ayat 108) 

[456] Maksud sumpah itu dikembalikan, ialah saksi-saksi yang berlainan agama itu ditolak dengan bersumpahnya saksi-saksi yang terdiri dari karib kerabat, atau berarti orang-orang yang bersumpah itu akan mendapat Balasan di dunia dan akhirat, karena melakukan sumpah palsu. 

Allah SWT berfirman: “bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim. (surat Ali Imran (3) ayat 86).” Jadi sesungguhnya, Allah SWT tidak pernah menghilangkan pahala bagi orang orang yang melakukan kebaikan, dan Allah SWT dengan hak menyatakan bahwa keberhasilan dan pencapaian cita cita hanya dapat diraih bila disertai dengan perjuangan dan kesabaran. Sebagaimana firmanNya berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung. (surat Ali Imran (3) ayat 200).” 

Disinilah letak kerja keras yang disertai kehendak membaja merupakan langkah awal untuk meraih keberhasilan di atas jalan yang panjang yang harus dilintasi setiap manusia. Orang orang yang dapat mengarungi samudra dan menerjang badai serta gelombang adalah orang orang yang memiliki cita cita besar. Inilah salah satu modal dasar atau konsep dasar dari Hijrah dan harus menjadi prinsip hidup kita, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (surat              Al Ankabuut (29) ayat 69).” 

Benar, cita cita dan tujuan takkan tercapai, kecuali dengan kerja keras, kucuran keringat, dan perjuangan dan kesulitan. Siapapun yang mengatakan selain hal ini, maka dia adalah orang yang sedang bermimpi di siang bolong, dan tidak mengetahui hakekat yang sesungguhnya dan jangan sampai prinsip ini berlaku bagi orang yang berhijrah. Sekarang bagaimana dengan keadaan diri kita, apakah sudah tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir? Apakah kita sudah berada di jalan yang lurus yang sesuai dengan kehendak Allah SWT? Apakah jiwa kita masih berada di dalam kriteria jiwa fujur? Apakah kita sudah kembali ke dalam kriteria fitrah? Jika jawaban di atas belum sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT berarti kita harus berusaha untuk keluar dari hal hal yang negatif tersebut untuk menuju hal hal yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Disinilah letak pentingnya kita melakukan upaya yang sungguh sunguh melalui apa yang dinamakan dengan hijrah.  

Sekarang apa yang dimaksud dengan mati dalam predikat syahid. Mati dalam predikat syahid adalah seorang muslim yang meninggal ketika berperang atau berjuang di jalan Allah SWT membela kebenaran atau mempertahankan hal dengan penuh kesabaran dan keikhlasan untuk menegakkan agama Allah SWT. Adapun jenis jenis dari mati dalam predikat syahid dalam dibedakan menjadi: (1) Mati syahid di dunia dan akhirat, (2) Mati syahid di dunia, namun bukan mati syahid di akhirat, (3) mati syahid di akhirat, namun bukan mati syahid di dunia. Mati syahid di dunia dan akhirat akan mendapat pahala syuhada (yang sempurna), yaitu orang yang gugur dalam perang dalam keadaan sedang maju bukan sedang dalam keadaan kabur; dalam rangka menegakkan kalimat (agama) Allah SWT. Dan ia tidak makan dan minum setelah terluka atau terjatuh dalam pertempuran dan belum mendapatkan pengobatan. 

Adapun pengertian dari mati syahid di dunia adalah orang yang gugur dalam perang, dalam keadaan maju bukan kabur namun niatnya bukan dalam rangka menegakkan kalimat (agama) Allah SWT. Di dunia ia mendapat predita sebagai syahid namun di akhirat (di sisi Allah SWT) ia tidak mendapatkan pahal syahid. Sedangkan syahid di akhirat yang bukan syahid dunia, akan diperlakukan di akhirat kelak sebagaimana orang yang mati syahid dan mendapatkan pahala syahid. Adapun saat di dunia jenazahnya tetap di mandikan, dikafankan, dishalati dan jenazahnya diperlakukan sebagaimana jenazah kaum muslimin pada umumnya. Contoh mati syahid di akhirat yang bukan syahid dunia adalah: (1) Al Mabthun yaitu orang yang meninggal karena penyakit di perutnya; (2) Al Ghariq yaitu orang yang mati tenggelam; (3) Orang yang sakit Dzatul Janbi (semacam penyakit paru paru); (4) Wanita yang meninggal ketika melahirkan/nifas; (5) Al Gharib orang yang meninggal jauh di luar daerah tempatnya tinggal sehingga ia asing di sana dan yang lainnya seperti mereka akan mendapatkan syahid di akhirat namun bukan syahid di dunia. 

Sedangkan kita tahu bahwa syurga adalah sebaik baik tempat kembali sehingga disebut juga sebagai kampung kenikmatan dan kebahagiaan yang telah dipersiapkan oleh Allah SWT untuk hamba hambaNya yang memiliki kualifikasi tertentu saja. Jadi jangan pernah berharap untuk pulang kampung ke syurga tanpa perjuangan yang nyata, dalam hal ini adalah berhijrah atau melaksanakan perjuangan yang diridhai Allah SWT, atau memiliki kualifikasi khusus seperti beriman dan beramal shaleh, atau mati dengan predikat mati syahid. Ingat, beriman dan beramal shaleh, berhijrah bukanlah suatu perkara mudah untuk dilakukan. Orang yang mampu melaksanakan hijrah  merupakan upaya seseorang  yang keluar dari diri seseorang tanpa ada paksaan siapapun untuk merubah dirinya sendiri dari posisi yang tidak baik (buruk) menjadi baik yang dilandasi dengan niat yang ikhlas. 

Hal yang samapun berlaku kepada orang yang memperoleh mati dengan predikat mati syahid. Sehingga tidak semua orang akan berhasil hijrahnya ataupun beriman dan beramal shaleh atau memperoleh mati dengan predikat mati syahid. Jika sekarang Allah SWT memberikan sesuatu yang istimewa kepada orang orang yang seperti ini maka memang sudah sepatutnya mereka memperoleh hal tersebut di atas, dalam hal ini syurga. Dan orang yang mati syahid berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 154 berikut ini:  “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati, karena (sebenarnya) mereka itu hidup tetapi engkau tidak menyadarinya.”  Ia masih tetap hidup di sisi Allah SWT. 

Orang yang beriman dan beramal shaleh, orang yang hijrah ataupun orang yang mati dengan predikat mati syahid tidak akan bisa memperoleh predikat dimaksud sepanjang yang bersangkutan memiliki niat yang ikhlas hanya untuk Allah SWT semata. Adanya niat yang ikhlas akan mendorong pemiliknya untuk selalu berbuat dan berbuat kebaikan dari waktu ke waktu karena yang bersangkutan mampu melihat dan bertemu Allah SWT dari waktu ke waktu pula. Sekarang bagaimana dengan diri kita, sudahkah kita berusaha dari waktu ke waktu untuk menjadikan diri kita menjadi orang orang yang mampu berbuat kebaikan sebagai cerminan dari diri kita? Jika belum berarti ada sesuatu yang salah dalam diri kita lalu segeralah instrospeksi diri untuk memperbaiki diri sebelum segala sesuatunya terlambat. Jangan pernah berfikir terlambat untuk memperbaiki diri sepanjang ruh belum berpisah dengan jasad maka selama itu pula kesempatan masih ada. Ayo jadikan kebaikan menjadi cerminan diri kita saat ini juga dan jangan ditunda tunda. 

C.      ORANG YANG MENJADI AHLI SYURGA. 

Berdasarkan ketentuan surat Al Waaqi’ah (56) ayat 8 dan 9 yang kami kemukakan berikut ini: “Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu. dan golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu.” Ayat ini mengemukakan bahwa manusia dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu: (1)  golongan kanan yaitu mereka yang menerima buku catatan amal dengan tangan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu, (2) golongan kiri yaitu mereka yang menerima buku catatan amal dengan tangan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu. Untuk menjadi golongan kanan, yang tidak lain adalah ahli ahli syurga bukanlah perkara mudah seperti membalik telapak tangan. Untuk menjadi golongan kanan yang  ahli syurga butuh perjuangan, pengorbanan, keseriusan, ketabahan, komitmen yang konsisten dari waktu ke waktu yang dilandasi keimanan dan niat yang ikhlas untuk melaksanakan Diinul Islam secara kaffah. 

Untuk itu bertanyalah kepada diri sendiri lalu renungkan dengan melihat dengan hati, mempelajari dengan hati yang dilanjutkan dengan keimanan tentang surat Al Mu’minuun (23) ayat 9, 10,11 berikut ini:  dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya.” Bayangkan Allah SWT sudah mewarisi kepada diri kita syurga firdaus dan kita akan kekal di dalamnya. Sebagai pewaris dari syurga berarti Allah SWT sudah menetapkan sesuatu kepada diri kita. Namun hal ini bisa tidak terlaksana atau bahkan menjadi mimpi buruk jika seorang pewaris yang akan diwarisi syurga justru berbuat dan bertindak yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT. 

Lalu seperti apakah kondisi dan keadaan syurga bagi golongan kanan itu? Allah SWT telah menginformasikan melalui surat Ar Rahmaan (55) ayat 70 sampai 76 berikut ini: “di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang baik- baik lagi cantik-cantik. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam rumah. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? mereka  tidak pernah  disentuh oleh  manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni syurga yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? mereka bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan permadani-permadani yang indah.”  Lalu apakah sama kondisi dan keadaan neraka bagi golongan kiri? Jawabannya tentulah tidak sama, kondisinya sangat terbalik dengan kondisi syurga. 

Para ahli syurga akan selalu thawaf secara hakekat dari waktu ke waktu dengan selalu berada di dalam kehendak Allah SWT dengan selalu melaksanakan apa apa yang telah diperintahkan Allah SWT serta selalu menjauhi segala larangan Allah SWT sehingga ia akan selalu mampu melihat/bertemu dengan Allah SWT setiap waktu. Selain daripada itu para ahli syurga akan selalu berihram secara hakekat dalam hidup dan kehidupannya dengan tidak melakukan tindakan dan perbuatan yang berkesesuaian dengan Nilai Nilai Keburukan (yang tidak diperbolehkan oleh Allah SWT) sehingga yang ada adalah tindakan dan perbuatan yang sesuai dengan Nilai Nilai Kebaikan dari waktu ke waktu dalam kerangka cerminan dari diri sendiri.

Untuk bisa menjadikan diri kita, anak keturunan kita menjadi ahli ahli syurga yang bisa  masuk syurga bukanlah sesuatu yang mudah semudah membalik telapak tangan. Untuk menjadi ahli ahli penghuni syurga membutuhkan perjuangan dan doa, membutuhkan pengorbanan dan air mata, membutuhkan komitmen dan konsistensi, membutuhkan belajar dan belajar, membutuhkan ilmu dan harta kekayaan. Sehingga tidak semua orang sanggup menjadikan dirinya dan anak keturunannya menjadi ahli ahli syurga. Sekarang tinggal maukah kita berjuang untuk menjadikan diri kita ahli ahli syurga dengan menjadikan kehidupan akhirat menjadi tujuan akhir. Jangan sampai kita salah menentukan tujuan hidup, karena resikonya sangat bertolak belakang.   

Sekarang mari kita perhatikan dan pelajari hadits yang kami kemukakan berikut ini: Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata, telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata, telah menceritakan kepada kami Hasyim bin Qasim yang berkata, telah menceritakan kepada kami Laits yang berkata, telah menceritakan kepadaku Abu Qabil Al Ma’afiri dari Syafi’ Al Asbahi dari Abdullah bin Amr dari Rasulullah SAW, Abdullah berkata “Rasulullah keluar menemui kami dengan kedua kitab di tangan Beliau. Kemudian Beliau bertanya “Apakah kalian mengetahui kedua kitab ini?. Kami menjawab “tidak wahai Rasulullah kecuali Anda mengabarkan kepada kami”. Kemudian Beliau bersabda mengenai kitab di tangan kanannya “Ini adalah Kitab yang berasal dari Rabb semesta Alam, di dalamnya terdapat nama-nama penduduk surga dan nama-nama orang tua mereka serta kabilah mereka. Jumlahnya telah ditutup dengan orang terakhir dari mereka dan tidak akan ditambah dan tidak pula dikurangi”. Kemudian Beliau bersabda tentang kitab di tangan kirinya “Adapun ini adalah Kitab dari Rabb semesta Alam, di dalamnya terdapat nama-nama penghuni neraka dan nama-nama orang tua serta kabilah mereka. Jumlahnya telah ditutup dengan terakhir dari mereka sehingga tidak akan bertambah ataupun berkurang untuk selama-lamanya. Kemudian para sahabat berkata “kalau begitu dimana amalan wahai Rasulullah jika semuanya sudah ditetapkan?”. Beliau menjawab “berusahalah dan mendekatlah karena sesungguhnya penduduk surga akan ditutup dengan amalan penduduk ahli surga meskipun ia mengamalkan apa saja. Dan sesungguhnya penduduk neraka akan ditutup dengan amalan penduduk neraka meskipun ia mengamalkan apa saja. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Sesungguhnya Allah SWT telah selesai terhadap para hambanya”. Beliau berkata sambil mengarahkan tangan kanannya “satu kelompok di dalam surga” kemudian mengarahkan tangan kirinya seraya berkata “kelompok yang lain di dalam neraka”. 

(Hadits Riwayat Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad 2/167 no 6563) 

Sekarang apabila dihadapan kita ada dua buah jalan, yang satu menuju kampung kesengsaraan dan kebinasaan (neraka) dan yang satu lagi menuju kampung kebahagiaan (syurga). Akan kemanakah diri kita melangkah berjalan? Jika kita masih memiliki akal sehat tentunya kita tidak akan memilih jalan yang menuju kampung kesengsaraan dan kebinasaan. Kita harus menentukan sikap saat ini juga terutama dalam memilih jalan yang menuju ke akhirat kelak, yaitu jalan ke syurga pilih bukan sebaliknya jalan menuju ke neraka. Alangkah tidak adilnya manusia, alangkah dzalimnya manusia, alangkah bodohnya manusia yang memilih kesenangan hidup duniawi dengan akalnya, namun justru memilih kesengsaraan akhirat dengan dalih takdir dan membuang akal sehatnya sendiri. Jangan sampai ini terjadi pada diri kita, pada anak keturunan kita. 

D.     ORANG YANG MENDAPATKAN HIKMAH/HIDAYAH. 

Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 269 yang kami kemukakan berikut ini: “Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” salah satu orang yang  mampu berbuat kebaikan adalah orang yang mendapatkan hikmah (kefahaman yang dalam tentang AlQuran dan Hadits sehingga orang tersebut benar benar telah dianugerahi karunia yang banyak dan hanya orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran dari Al Qur’an dan  Hadits. Jika AlQuran dan Hadits adalah suatu pelajaran berarti Allah SWT adalah pengajar dari pelajaran, Nabi Muhammad SAW adalah murid pertama yang menerima pelajaran dari Allah SWT dan selanjutnya kita adalah murid yang juga akan menerima pelajaran dari Allah SWT sepanjang diri kita menjadi orang yang berakal sehat. 

Hal ini dikarenakan akal adalah peralatan ruhaniyah manusia yang berfungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta untuk menganalisis sesuatu yang kemampuannya sangat tergantung luasnya pengalaman dan tingkat pendidikan dari manusia pemiliknya. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita orang yang diberi hikmah pasti tahu dan mengerti tentang mana yang bathil dan yang hak, mana yang salah dan mana yang benar, mana jalan yang lurus dan mana jalan yang bengkok. Dan jika yang terjadi sebaliknya berarti akal yang ada di dalam diri tidak berfungsi akibat dari pengaruh ahwa dan juga syaitan atau ada sesuatu yang salah dalam akal. 

Lalu apa yang dimaksud dengan al hikmah? Al-hikmah secara bahasa menurut kamus bahasa Arab, al-hikmah berarti: kebijaksanaan, pendapat atau pikiran yang bagus, pengetahuan, filsafat, kenabian, keadilan, peribahasa (kata-kata bijak), dan pemahaman tentang AlQuran dan Hadits. Al hikmah juga bisa berarti ilmu yang disertai amal (perbuatan), atau perkataan yang logis dan bersih dari kesia-siaan. Al-hikmah juga bermakna: kumpulan keutamaan dan kemuliaan yang mampu membuat pemiliknya menempatkan sesuatu pada tempatnya secara proporsioanal dan adil. Al-hikmah juga merupakan ungkapan dari perbuatan seseorang yang dilakukan pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat pula. Orang yang ahli ilmu hikmah disebut al-Hakim, bentuk jamaknya (plural) adalah al-Hukama, yaitu orang yang mampu mencontoh suri tauladan Nabi Muhammad SAW melalui sifat sifat Nabi Muhammad SAW dan menjadikannya menjadi perbuatan. 

Allah SWT berfirman: “Hai Yahya, ambillah[899] Alkitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. dan Kami berikan kepadanya hikmah[900] selagi ia masih kanak-kanak, (surat Maryam (19) ayat 12) 

[899] Maksudnya: pelajarilah Taurat itu, amalkan isinya, dan sampaikan kepada umatmu.

[900] Maksudnya: kenabian. atau pemahaman Taurat dan pendalaman agama. 

Allah SWT berfirman: “dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya Hikmah (kenabian) dan pengetahuan. dan Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (surat Al Qashash (28) ayat 14) 

Sebagai orang yang telah memperoleh al hikmah dan lalu merasakan nikmatnya al hikmah tentu tidak bisa berdiam diri saja dengan al hikmah itu. Lalu masyarakat luas didiamkan atau diacuhkan tanpa memperoleh manfaat dari diri kita sebagai bentuk kesalehan sosial? Jika kita memperoleh al hikmah sebagai sebuah kesalehan pribadi tanpa dibuktikan adanya kesalehan sosial di masyarakat berarti kita termasuk orang yang egois yang hanya mementingkan diri sendiri dan berarti juga kita belum mampu melaksanakan ibadah ikhsan yang pada akhirnya belum membuat Allah SWT tersenyum kepada diri kita. 

Dan dengan adanya perintah melaksanakan ibadah ikhsan mengharuskan diri kita untuk tidak hanya menjadikan diri sendiri memperoleh kesalehan pribadi tetapi juga wajib menampilkan kesalehan pribadi tersebut menjadi kesalehan sosial di dalam masyarakat dengan berbuat sebanyak banyaknya kebaikan baik untuk kepentingan jangka pendek, jangka menengah ataupun jangka panjang. Ingat, Allah SWT tidak butuh dengan kebaikan yang kita lakukan melainkan kitalah yang membutuhkan kebaikan karena dengan kebaikan yang kita lakukan akan diketahui kualitas dari diri seseorang. Agar diri kita yang sudah memperoleh hikmah (hidayah) dari Allah SWT selalu berada di dalam kehendak Allah SWT, ada baiknya kita mengetahui beberapa sikap manusia terhadap hikmah (hidayah). Hal ini penting kami kemukakan agar diri kita tidak salah menyikapi hikmah ataupun hidayah yang berasal dari Allah SWT. Sikap manusia kepada hikmah (hidayah) dapat dibedakan menjadi 4 (empat) yaitu:

a.    Model Gelas Tertelungkup. Model ini, manusia diibaratkan sebagai gelas, sikapnya dalam menerima hikmah (hidayah) diibaratkan dengan posisi yang tertelungkup, dan hikmah/hidayah diibaratkan sebagai air. Air tidak akan pernah masuk ke dalam gelas bila keadaannya tertelungkup. Model ini dimiliki oleh orang orang kafir yang menutup diri dari kebenaran. Jangankan memahami kebenaran, mendengarkan saja tidak mau. Sikap ini berlangsung terus menerus hingga hati mereka semakin mengeras dan membatu. Hikmah (hidayah) jutaan kali menghampiri, tetapi hati mereka tak bergeming hingga ajal datang. 

b.    Model Gelas Bocor. Manusia model seperti gelas bocor adalah model manusia yang mau mendengarkan petunjuk tetapi tidak diyakininya, tidak dipahaminya apalagi mau mengamal kannya. Orang orang yang munafik itulah orangnya. Mereka bisa jadi sering mendatangi majelis ilmu, tetapi tidak didasari oleh motivasi yang benar. Mereka datang hanya karena formalitas, dorongan materi, atau bahkan karena dorongan emosi. Hikmah (hidayah) tidak mendekam lama dalam hati karena mereka memang tidak mau memahami dan meyakini hikmah (hidayah) yang datang tersebut. Saat berbicara, apa yang disampaikan bukan berasal dari hati sanubari yang dalam, tetapi hanya bersumber dari tenggorokan. Bicaranya hanya basa basi dan tidak melahirkan kenyataan dalam hidup. Dan ketika Islam menuntut pengorbanan, mereka adalah kelompok yang pertama kali acuh tak acuh dan tidak peduli, bahkan mengabaikan tuntutan tersebut. 

c.    Model Gelas Penuh Berisi. Manusia model seperti gelas penuh berisi adalah model manusia yang mau mendengarkan hikmah (hidayah), tidak diambil secara keseluruhan. Hal tersebut karena ada hal lain yang memenuhi isi hatinya, apakah kesombongan (merasa pandai, berkuasa, dan terhormat) atau dosa dosa yang masih dilakukan. Manusia seperti ini adalah orang muslim yang fasik dan zalim, sulit menerima kebenaran, dan sering kalah dengan hawa nafsunya. Kadang kebenaran menguasainya, namun di waktu yang lain hawa nafsu yang menguasainya. Bila diingatkan tidak segera sadar, baru sadar bila diingatkan dengan cara yang tegas dan gamblang seperti tertimpa bencana besar. Bila beribadah seadanya saja tidak sungguh sungguh dan cenderung tidak stabil bila ditimpa musibah. 

d.   Model Gelas Kosong Terbuka. Manusia seperti gelas kosong terbuka adalah muslim bertaqwa, yaitu orang yang mudah dalam menerima hikmah (hidayah), peka dengan kebaikan, mampu membedakan yang baik dan buruk. Bila diingatkan segera sadar, serta tidak menunda taubat. Bila diseru menjalankan syariat Allah SWT segera mentaatinya, bila diperintah segera melaksanakannya, bila dilarang segera meninggalkannya. Allah SWT memberi hikmah (hidayah) kepada siapa saja yang dikehendakiNya. Akan tetapi kehendak Allah SWT tidak akan mungkin bertentangan dengan firmanNya sendiri. 

Sebagai abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah Allah SWT di muka bumi, raihlah hikmah (hidayah) yang berasal dari Allah SWT lalu implementasikan hasil dari hikmah (hidayah)  yang berasal dari Allah SWT dengan berbuat kebaikan yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara. Adanya hal ini menunjukkan kepada khalayak bahwa inilah Islam bagi semesta alam, yang tercermin dari perbuatan baik dari waktu ke waktu. 

E.    ORANG YANG BERSYUKUR LAGI BERIMAN. 

Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 152 berikut ini: “karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” dan juga menurut surat Al Baqarah (2) ayat 172 yang kami kemukakan berikut  ini: Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” Ayat ini  menerangkan tentang perintah Allah SWT kepada diri kita untuk selalu bersyukur atas nikmat nikmat yang telah Allah SWT berikan kepada diri kita. Adanya perintah selalu bersyukur yang telah diperintahkan Allah SWT kepada diri kita berarti perintah untuk syukur bukanlah tujuan akhir ibadah itu sendiri melainkan sarana bagi diri kita untuk menerima dan merasakan balasan yang akan Allah SWT berikan kepada diri kita. 

Allah SWT berdasarkan ketentuan yang ada pada surat Ali Imran (3) ayat 144 dan 145 yang kami kemukakan berikut ini: Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul[234]. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur. sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (surat Ali Imran (3) ayat 144 dan 145) 

[234] Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. ialah seorang manusia yang diangkat Allah menjadi rasul. Rasul-rasul sebelumnya telah wafat. ada yang wafat karena terbunuh ada pula yang karena sakit biasa. karena itu Nabi Muhammad s.a.w. juga akan wafat seperti halnya Rasul-rasul yang terdahulu itu. di waktu berkecamuknya perang Uhud tersiarlah berita bahwa Nabi Muhammad s.a.w. mati terbunuh. berita ini mengacaukan kaum muslimin, sehingga ada yang bermaksud meminta perlindungan kepada Abu Sufyan (pemimpin kaum Quraisy). Sementara itu orang-orang munafik mengatakan bahwa kalau Nabi Muhammad itu seorang Nabi tentulah Dia tidak akan mati terbunuh. Maka Allah menurunkan ayat ini untuk menenteramkan hati kaum muslimin dan membantah kata-kata orang-orang munafik itu. (Sahih Bukhari bab Jihad). Abu Bakar r.a. mengemukakan ayat ini di mana terjadi pula kegelisahan di kalangan Para sahabat di hari wafatnya Nabi Muhammad s.a.w. untuk menenteramkan Umar Ibnul Khaththab r.a. dan sahabat-sahabat yang tidak percaya tentang kewafatan Nabi itu. (Sahih Bukhari bab Ketakwaan Sahabat). 

Allah SWT memberi balasan kepada orang orang yang bersyukur baik itu di dunia ataupun di akhirat kelak. Syukur atau mensyukuri nikmat Allah SWT menjadi sangat penting dihadapan Allah SWT selaku pemberi nikmat atau selaku pemberi kebaikan kepada diri kita. Ingat, tidak semua orang mampu bersyukur atau hanya sedikit sekali orang yang mampu bersyukur kepada Allah SWT. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Saba’ (34) ayat 13 berikut ini: “Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakiNya dari gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih.” dan juga pada surat Al Baqarah (2) ayat 243 yang kami kemukakan berikut: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; Maka Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu"[154], kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. (surat Al Baqarah (2) ayat 243) 

[154] Sebahagian ahli tafsir (seperti Al-Thabari dan Ibnu Katsir) mengartikan mati di sini dengan mati yang sebenarnya; sedangkan sebahagian ahli tafsir yang lain mengartikannya dengan mati semangat. 

Jika hanya sedikit saja orang yang mampu bersyukur berarti dengan adanya perintah untuk bersyukur terjadilah apa yang dinamakan dengan seleksi alamiah kepada kekhalifahan yang ada di muka bumi, yang pada akhirnya akan diketahui pula siapa yang berhak pulang kampung ke kampung kebahagian atau yang pulang kampung ke kampung kebinasaan dan kesengsaraan. Sekarang pilihan untuk bersyukur atau mensyukuri terhadap nikmat nikmat yang telah Allah SWT berikan kepada diri kita, ada pada diri kita sendiri. Ingat, kebaikan yang di dapat dari bersyukur untuk kebaikan diri kita sendiri, bukan untuk orang lain dan bukan pula untuk Allah SWT.

Lalu mari kita perhatikan apa yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat An Nisaa’ (4) ayat 147 berikut ini: mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman ? dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha mengetahui.” dan berdasarkan surat Ibrahim (14) ayat 7 yang kami kemukakan berikut ini: “dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". Ayat ini mengemukakan bahwa Allah SWT telah memberikan sebuah kepastian yang tidak akan menyiksa orang orang yang bersyukur lagi beriman kepada Allah SWT. 

Di lain sisi, Allah SWT itu sendiri memiliki Asmaul Husna Ash Syakuur yaitu Dzat Yang Maha Mensyukuri tentu akan sangat menyukai orang yang selalu bersyukur kepadaNya tanpa henti. Selain dari pada itu kepada orang yang mampu bersyukur, Allah SWT akan menambah nikmat dan yang juga harus kita pahami adalah Allah SWT akan mengazab kepada orang yang mengingkari nikmat yang telah Allah SWT berikan baik saat hidup di dunia maupun saat di akhirat kelak. Adanya kondisi ini berarti bersyukur adalah cerminan diri kita sendiri dan hasil dari bersyukur untuk kebaikan diri kita sendiri. Lalu apa hubungannya bersyukur dengan ibadah Ikhsan? 

Bersyukur dan ibadah Ikhsan dua hal yang tidak bisa dipisahkan karena seseorang tidak dapat dikatakan telah bersyukur atau telah mensyukuri nikmat nikmat Allah SWT jika ia tidak bisa memperlihatkan, atau menunjukkan bukti bukti nyata atas rasa syukurnya yang tercermin dalam kebaikan kebaikan sebagai cerminan dari dirinya sendiri. Katakan jika kita bersyukur telah diberikan kekayaan oleh Allah SWT sehingga menjadi orang kaya maka sebagai bukti diri kita orang kaya maka kita harus mau berbagi kebaikan dan kebahagiaan kepada sesama umat manusia dengan bersedekah, berinfak, menolong orang miskin dan lain sebagainya. Jika orang kaya tidak mau berbagi kebaikan dan kebahagiaan berarti orang tersebut masih termasuk orang miskin karena hanya mau menerima atau hanya bisa meletakkan tangannya di bawah.   

Katakan pula, jika saat ini kita telah menjadi orang yang pandai karena telah memiliki ilmu dan pengetahuan yang mumpuni, lalu apa buktinya kita telah menjadi orang pandai? Jika kita tidak mampu menjadikan orang lain pandai pula seperti diri kita berarti kita belum termasuk orang yang pandai melainkan masih termasuk orang yang bodoh. Ciri orang yang pandai adalah orang yang mau mengajarkan ilmu dan pengetahuian yang dimilikinya kepada orang lain dengan komitmen dan secara konsisten tanpa pernah takut murid menjadi lebih pandai dari diri kita, sebagaimana hadits berikut ini: “Yang paling pandai bersyukur kepada Allah adalah orang yang paling pandai bersyukur kepada manusia.” (Hadits Riwayat Ath-Thabrani). Selanjutnya masih berdasarkan ketentuan hadits ini bahwa salah satu bukti kita telah bersyukur kepada Allah SWT tercermin dengan berbuat kebaikan kepada manusia. Bukti bersyukur bukan menjadikan diri kita menjadi orang yang eksklusif, merasa diatas yang lain rendah, merasa pintar yang lain bodoh, merasa kaya yang lain miskin. 

Bukti bersyukur kepada Allah SWT bukan pula dengan menampilkan cara berpakaian atau cara berbusana yang yang seolah olah meniru penampilan Nabi. Padahal Allah SWT melalui surat Al A’raf (7) ayat 26  berikut ini: “Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.”  Ayat ini telah menyatakan bahwa sebaik baik pakaian adalah pakaian taqwa. Allah SWT tidak menjadikan pakaian jasmani sebagai tolak ukur di dalam menilai seseorang. Apalagi dibalik pakaian jasmani yang dikenakan oleh seseorang di dalamnya melekat adanya harga, adanya pangkat, adanya jabatan yang pada akhirnya melahirkan kesombongan. Untuk itu lakukanlah hakekat ihram sepanjang hayat masih di kandung dengan melepaskan atribut keduniawian sehingga kita selalu berada di dalam kehendak Allah SWT. 

Hal yang harus kita jadikan pedoman adalah sesuatu yang bersifat umum tidak bisa dijadikan sarana atau alat bantu untuk menilai sesuatu yang bersifat khusus. Demikian pula yang berlaku dalam menilai kekhalifahan yang ada di muka bumi ini dimana Allah SWT tidak melakukan penilaian dengan mempergunakan sesuatu yang bersifat umum. Akan tetapi Allah SWT mempergunakan parameter tersendiri untuk menilai diri kita yaitu keimanan dan ketaqwaan. Dan jangan sampai diri kita salah menempatkan diri dalam persoalan ini dengan bangga mempergunakan sesuatu yang bersifat umum sehingga merasa telah sesuai dengan kehendak Allah SWT. Sebagai contoh, saat ini banyak laki laki yang memelihara jenggot dengan alasan ini adalah sunnah yang diperintahkan rasul lalu disampaikanlah beberapa hadits. Yang terjadi berikutnya adalah menempatkan jenggot yang dipeliharanya sebagai sebuah bukti keimanan dan merasa bangga dengan jenggot yang dimilikinya. Di lain sisi, setiap laki laki dapat dipastikan memiliki kumis dan juga jenggot dan jika sekarang ada orang yang memelihara kumis atau jenggot hal ini bukanlah sesuatu yang istimewa karena kumis ataupun jenggot dimiliki oleh setiap laki laki dewasa. Hal yang istimewa dan sangat langka adalah jika perempuan yang memiliki kumis ataupun jenggot atau jika ada laki laki mampu memiliki payudara yang bisa menghasilkan air susu atau laki laki yang mampu melahirkan anak.   

Jika saat ini kita masih hidup di muka bumi ini berarti saat ini kita adalah Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah Allah SWT di muka bumi sehingga kita wajib menampilkan penampilan Allah SWT di muka bumi ini dengan menjadikan perilaku kita berperilaku Asmaul Husna dengan menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan diri kita. Jangan sampai kita salah menempatkan diri dengan menjadikan diri kita khalifah bagi Nabi Muhammad SAW sehingga kita berpenampilan seperti penampilan Nabi. Ayo segera kembalikan posisi diri kita sesuai dengan apa apa yang dikehendaki Allah SWT dalam kerangka rencana besar kekhalifahan di muka bumi. Sekarang katakan kita telah mampu bersyukur lalu kita nyatakan dengan berkata saya telah mampu menjadi orang yang bersyukur. Jika hal ini terjadi berarti pernyatan kita bertentangan dengan apa yang dikemukakan oleh Allah SWT di dalam surat Al An’am (6) ayat 53 di bawah ini. 

Allah SWT menegaskan di dalam surat Al An’am (6) ayat 53 berikut ini: “dan Demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang Kaya itu) berkata: "Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?" (Allah berfirman): "Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepadaNya)?"  yaitu kita tidak bisa mengaku ngaku telah bersyukur dengan apa apa yang telah dikaruniai oleh Nya karena Allah SWT lebih mengetahui tentang siapa siapa orang yang telah mampu bersyukur kepadaNya. Ingat, Allah SWT memiliki nama As Syakuur tentu Allah SWT paham dan mengerti benar serta mengetahui siapa orang orang yang telah mampu bersyukur kepadaNya yang sesuai dengan kehendakNya. Hal ini dikarenakan yang menilai diri kita bukanlah diri kita sendiri, melainkan Allah SWT. Kita hanya melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT lalu Allah SWTlah yang memiliki hak untuk menilai apa apa yang telah kita laksanakan. Bukan sebaliknya kita menilai diri sendiri dengan mengabaikan Allah SWT selaku pemberi perintah untuk bersyukur kepadaNya.  

F.       ORANG YANG BERSYAHADAT DENGAN BAIK DAN BENAR. 

Salah satu orang yang mampu melaksanakan ibadah Ikhsan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT adalah orang yang betul betul melakukan syahadat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Ali Imran (3) ayat 18 yang kami kemukakan berikut ini: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu[188] (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” 

[188] Ayat ini untuk menjelaskan martabat orang-orang berilmu.

Serta berdasarkan ketentuan surat Al Hajj (22) ayat 62 yang kami kemukakan berikut ini: “(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena Sesungguhnya Allah, Dialah (tuhan) yang haq dan Sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, Itulah yang batil, dan Sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha besar.”  Dan agar diri kita mampu bersyahadat dengan baik dan benar maka syahadat yang kita laksanakan harus memiliki makna sebagai berikut: 

1.    Syahadat harus bermakna Ikrar. Ikrar adalah pernyataan seseorang mengenai keyakinan nya. Ketika seseorang mengucapkan kalimat syahadat, maka ia memiliki kewajiban untuk menegakkan dan memperjuangkan apa yang ia ikrarkan; 

2.    Syahadat harus bermakna sumpah. Seseorang yang bersumpah, berarti dia bersedia menerima akibat dan risiko apapun dalam mengamalkan sumpahnya tersebut. Seorang muslim harus siap dan bertanggung jawab dalam tegaknya Islam dan penegakan ajaran Islam; 

3.    Syahadat harus bermakna Janji, sehingga setiap muslim adalah orang-orang yang berserah kepada Allah dan berjanji setia untuk mendengar dan taat dalam segala keadaan terhadap semua perintah Allah beserta segala pesan yang disampaikan oleh Allah melalui pengutusan Muhammad; 

4.    Syahadat harus bermakna Persaksian, sehingga setiap muslim menjadi saksi atas pernyataan ikrar, sumpah dan janji yang dinyatakannya. Dalam hal ini adalah kesaksiannya terhadap keesaan Allah dan terhadap kerasulan Nabi Muhammad SAW, 

Sekarang sudahkah syahadat yang kita lakukan memenuhi 4(empat) buah kriteria yang kami kemukakan di atas dalam satu kesatuan? Jika belum segera lakukan perbaikan saat ini juga tanpa ditunda tunda lagi karena kita tidak tahu sampai kapan hidup di dunia ini. Dan agar makna syahadat ini menjadi bagian dari diri kita, maka kita harus mampu memahami dengan baik dan benar dua buah firman Allah SWT berikut ini. 

 Allah SWT berfirman: “Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembaahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal. (surat Muhammad (47) ayat 19). 

Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, (surat As Shaffat (37) ayat 35). 

Sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi, sudahkah kita mampu memahami dua buah ayat yang kami kemukakan di atas ini!. Jika belum berarti kita harus segera memperbaiki kualitas syahadat yang kita miliki. 

Hal yang harus kita ketahui adalah seluruh ruh/ruhani umat manusia yang telah dipersatukan dengan jasmani telah mengakui, telah berikrar, telah bersumpah, telah berjanji, telah melakukan persaksian kepada Allah SWT dengan telah menyatakan bertuhankan hanya kepada Allah SWT. Sebagaimana termaktub dalam surat Al A’raaf (7) ayat 172 berikut ini: “dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” Sebagai pihak yang telah terikat dengan janji bertuhankan kepada Allah SWT sebagaimana dikemukakan pada ayat di atas ini maka kita harus bisa mempertahankan kualitas bertuhankan kepada Allah SWT sampai kapanpun juga. Jika ini yang terjadi berarti setiap ruh/ruhani yang tidak lain adalah jati diri manusia yang sesungguhnya telah terikat dengan janji, telah terikat dengan ikrar, telah terikat dengan sumpah, telah terikan dengan kesaksian yang telah dinyatakannya saat masih di dalam rahim seorang ibu sampai dengan hari kiamat kelak. Dan agar syahadat yang telah kita nyatakan di dalam rahim seorang ibu tetap berkualitas sepanjang hayat masih di kandung badan, maka syahadat harus memenuhi syarat syaratnya jika tidak maka syahadatnya bisa turun kualitasnya atau bahkan tidak sah syahadatnya. Berikut ini akan kami kemukakan syarat dimaksud, yaitu: 

a.    Pengetahuan. Seseorang yang bersyahadat harus memiliki ilmu dan pengetahuan tentang syahadatnya. Orang yang bersangkutan wajib memahami isi dari dua kalimat yang dinyatakan serta bersedia menerima konsekuensi ucapannya; 

b.    Keyakinan. Seseorang yang bersyahadat mesti mengetahui dengan sempurna makna dari syahadat tanpa sedikitpun ragu terhadap makna tersebut; 

c.    Keikhlasan berarti bersihnya hati dari segala sesuatu yang bertentangan dengan makna syahadat. Ucapan syahadat yang bercampur dengan riya atau kecenderungan tertentu tidak akan diterima oleh Allah SWT; 

d.   Kejujuran adalah kesesuaian antara ucapan dan perbuatan. Pernyataan syahadat harus dinyatakan dengan lisan, diyakini dalam hati, lalu diaktualisasikan dalam amal perbuatan; 

e.    Kecintaan berarti mencintai Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW serta orang-orang yang beriman. Cinta juga harus disertai dengan amarah yaitu kemarahan terhadap segala sesuatu yang bertentangan dengan syahadat, atau dengan kata lain, semua ilmu dan amal yang menyalahi sunnah rasulullah; 

f.     Penerimaan berarti penerimaan hati terhadap segala sesuatu yang datang dari Allah dan rasul-Nya, dan hal ini harus membuahkan ketaatan dan ibadah kepada Allah, dengan jalan meyakini bahwa tak ada yang dapat menunjuki dan menyelamatkannya kecuali ajaran yang datang dari syariat Islam. Bagi seorang muslim tidak ada pilihan lain kecuali Al Qur’an dan Hadits; 

g.    Ketertundukan  yaitu tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW secara lahiriyah. Seorang muslim yang bersyahadat harus mengamalkan semua perintah Allah SWT dan meninggalkan semua larangan Allah SWT. Perbedaan antara penerimaan dengan ketundukan adalah bahwa penerimaan dilakukan dengan hati, sedangkan ketundukan dilakukan dengan fisik. Oleh karena itu, setiap orang yang bersyahadat tidak harus disaksikan siapapun (pimpinannya) dan harus selalu siap melaksanakan seluruh ajaran Islam dalam kehidupannya. 

Sekarang apa hubungannya ibadah Ikhsan dengan syahadat? Ibadah Ikhsan tidak akan bisa dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan kehendak Allah SWT jika tidak didahului dengan pelaksanaan syahadat. Hal ini dikarenakan pelaksanaan syahadat merupakan pintu masuk yang harus dilakukan oleh setiap manusia untuk memeluk agama Islam. Tanpa melaksanakan syahadat maka kita belum bisa dikatakan telah memeluk agama Islam karena syarat pertama untuk memeluk agama Islam adalah melaksanakan syahadat.Setelah diri kita mampu melaksanakan syahadat maka kesempatan untuk merasakan apa apa yang ada di balik rukun iman dan juga di balik rukun islam serta menjadikan ibadah ikhsan menjadi cerminan diri kita yang sesungguhnya mampu kita buktikan. 

Disinilah letak betapa pentingnya diri kita mampu melaksanakan syahadat dengan baik dan benar terutama tentang beriman kepada Allah SWT dan beriman kepada Nabi dan Rasulnya yang tidak hanya dinyatakan semata atau diikrarkan semata atau hanya janji di bibir semata. Syahadat harus dibuktikan dengan perbuatan diri kita yang sesuai dengan apa yang kita nyatakan dalam syahadat. Hasil dari pernyataan sikap harus menjadikan diri kita termasuk orang orang yang mampu berbuat kebaikan yang tidak lain cerminan dari kita setelah melaksanakan syahadat.Untuk menambah wawasan tentang ibadah Ikhsan, berikut ini akan kami kemukakan pelajaran dari perjuangan Nabi Ayyub as, yang dapat kita jadikan pelajaran dalam mengarungi hidup dan kehidupan di dunia ini. 

Nabi Ayyub as, adalah putra Ish, beliau masih masih saudara sepupu dari  Nabi Yusuf as,. la memiliki harta banyak. Tetapi Nabi Ayyub as, tidak pernah sombong. Nabi Ayyub as, adalah nabi terkaya sebab ia memiliki ternak yang sangat banyak, sawah amat luas. Ia juga dikaruniai anak yang banyak pula. Sehingga lengkaplah sudah kehidupan duniawinya. Nabi Ayyub as, menyadari bahwa harta yang diberikan Allah SWT kepadanya hanyalah suatu cobaan belaka. Untuk itu ia tidak segan-segan memberikan  sumbangan pada anak yatim dan keperluan agama. Karena sifat yang demikian itulah, akhirnya ia menjadi panutan kaumnya. Nabi Ayyub as, lebih senang membantu para janda, orang miskin dari pada memberi hartanya untuk keperluan maksiat. Ia tidak pernah mengeluh sedikitpun jika cobaan datang bertubi-tubi. Begitu pula ketika mendapat kenikmatan ia tidak lupa mengucapkan syukur kepada Allah SWT. 

1.    Nabi Ayyub as, Mendapat Cobaan. Karena kesabarannya dalam menghadapi segala persoalan, maka iblis jadi iri hati. la ingin mencoba kesabaran itu dan meminta izin pada Allah SWT. Iblis yang dengki itu akhirnya dikabulkan Allah SWT untuk menggoda Nabi Ayyub as,. Sebab Allah SWT ingin menunjukkan padanya bahwa hambanya yang bernama Ayyub tidak pernah melupakan meskipun ia dalam keadaan sangat sulit. Tuhan ingin menunjukkan kepada iblis bahwa Ayyub adalah utusan-Nya yang sangat sabar. Dan hendaknya iblis malu pada perbuatannya yang ingkar. Mula-mula Allah SWT menguji Nabi Ayyub as, dengan dikikiskannya harta yang melimpah itu. Sedikit demi sedikit harta itu habis sehingga kehidupan Nabi Ayyub as, menjadi miskin. Orang tidak akan mengira akan kekayaan Nabi Ayyub as, yang bisa habis dalam waktu singkat.  

Nabi Ayyub as, tidak pernah mengeluh sedikitpun tentang hartanya yang telah ludes. la tetap bertaqwa sebagaimana biasanya. Dengan ludesnya harta itu, ia memperoleh keringanan, sebab selama ini selalu merasa berdosa jika lalai memberi santunan pada anak yatim. Tidak berapa lama setelah kejadian ttu, Allah SWT mencoba lagi dengan dimatikannya semua anak Nabi Ayyub as,. Sebab Iblis masih belum percaya dengan firman Allah SWT yang menerangkan kesabaran Nabi Ayyub as,. Tiap hari anaknya menderita sakit, kemudian meninggal. Begitu seterusnya sampai semua anak-anaknya tidak ada lagi yang hidup. Bagi orang awam mungkin hal ini merupakan pukulan batin yang amat berat. Namun bagi Nabi Ayyub as, hanya cobaan, dan untuk itulah ia tidak pernah meratapi kematian anak-anaknya. Nabi Ayyub as, beranggapan bahwa semua yang ada di muka bumi ini akan musnah. Begitu pula dengan kepergian anaknya. Mereka menghadap kembali pada Allah SWT. Alangkah tabahnya Nabi Ayyub as, dalam menghadapi cobaan yang tidak pernah berhenti itu. la tetap menjalankan ibadahnya seperti biasa. la tidak pernah mengeluh sedikitpun meskipun semua hartahya telah ludes dan anak-anaknya sudah tiada lagi. 

Iblis belum puas dengan godaannya itu, maka ia meminta kepada Allah SWT agar memberi cobaan berupa penyakit yang menimpa Nabi Ayyub as,. Penyakit itu berupa penyakit kulit seperti kudis dan termasuk penyakit yang berbahaya. Menurut sebuah riwayat Ibnu Katsir dalam tafsirnya ialah yang sakit adalah anggota tubuhnya, hanya akal dan pikirannya saja yang masih waras. Meskipun ia mendapat cobaan yang beruntun dan tidak pernah ada habisnya Nabi Ayyub as, tetap beribadah kepada Allah SWT seperti biasanya. Hal ini membuat hati Iblis semakin dengki. la sudah mencoba dengan segala upaya untuk menggoda Nabi Ayyub as, agar tidak beribadah kepada Allah SWT. 

Namun usahanya selalu sia-sia. Karena bencana yang menimpa terus menerus, membuat semua sahabatnya tidak ada yang berani mendekatinya, bahkan mereka menjauhinya. Mereka menganggap jika masih berdekatan dan berhubungan dengan Nabi Ayyub as, maka semua usahanya akan sial. la menganggap Nabi Ayyub as, kena tuah dari tuhan-tuhannya. Meskipun semua sahabatnya tidak ada lagi yang datang menjenguknya dan bahkan ia mendengar akan ocehan-ocehan mereka tidak membuat sakit hatinya. la bahkan semakin taqwa kepada Allah SWT, la yakin bahwa penyakitnya pasti terobati.Dan ia yakin bahwa semua itu adalah cobaan dari Allah SWT. Karena hartanya ludes dan ia sendiri tidak dapat mencari nafkah maka isterinya yang memegang peranan. Pada mulanya ia bekerja di pabrik roti. Namun hal itu tidak berlangsung lama sebab ia diberhentikan oleh majikannya. Pemberhentian ini dengan alasan takut ketularan penyakit yang diderita Nabi Ayyub as,. Karena setiap mendapat pekerjaan ia selalu diberhentikan, akhirnya untuk makan sudah tidak ada. 

Dengan tulus ia memotong rambutnya yang berurai untuk dijual kepada tetangganya. Walaupun Nabi Ayyub as, dilanda cobaan yang begitu berat, ia selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, la masih beribadah seperti sedia kala meskipun tidak dapat berdiri lagi. la hanya memohon kepada Allah SWT agar diberikan kesembuhan. Meskipun doanya belum dikabulkan oleh Allah SWT, Nabi Ayyub as, tidak pernah putus asa dalam beribadah. la malah mendekatkan dirinya dengan penuh kesungguhan hati. Semua yang dialaminya diterima dengan sabar. Melihat Nabi Ayyub as, masih beribadah dengan tidak mengurangi sedikitpun, iblis semakin marah. Semua upaya mulai dari ludesnya harta, matinya anak-anak Nabi Ayyub as, dan ia sendiri yang dicoba tidak membuahkan hasil. Hal ini semakin membuat iblis geram.  

Dasar iblis, setelah semua usahanya untuk menggagalkan ibadah Nabi Ayyub as, kepada Allah SWT tidak menemui hasil, maka ia mencoba menggoda isterinya (isteri Ayyub). la membisikkan kata-kata agar segera meninggalkan Nabi Ayyub as, sebab suaminya sudah tidak dapat mencari nafkah lagi. Semula isterinya masih mampu bertahan, namun bisikan iblis semakin kuat akhirnya ia meninggalkan juga. Kita sudah dapat membayangkan bagaimana penderitaan Nabi Ayyub as, ketika itu. Sebab dirinya sudah sakit parah, ditinggalkan pula oleh isterinya. Namun menurut beberapa riwayat, istrinya tidak meninggalkan Nabi Ayyub as,. la hanya enggan disuruh suaminya. 

Maka ketika Nabi Ayyub as, mengetahui bahwa istrinya sudah enggan kepadanya ia pun mengucapkan nadzar. " Jika aku sembuh nanti niscaya akan kupukul seratus kali, "kata Nabi Ayyub as, kepada istrinya dengan nada marah. Istri Nabi Ayyub as,  yang sudah tergoda oleh iblis tidak menghiraukan sama sekali. la langsung pergi meninggalkan Nabi Ayyub as,. Ketika mengetahui istrinya tidak mau lagi melayani dan menungguinya maka ia memohon kepada Allah SWT agar disembuhkan, sebagaimana firmanNya berikut ini: dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-nya: "Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan.” (surat Shaad (38) ayat 41). Nabi Ayyub as, berkata demikian karena syaitanlah yang meminta agar Allah SWT menguji ketaatan beribadahnya. Syaitan tidak senang jika melihat orang yang selalu taat dengan ajaran agama. Syaitan punya pikiran bahwa jika Nabi Ayyub as, menderita tentu ia akan durhaka kepada Allah SWT. Allah  SWT pun memperlihatkan ketaatan Nabi Ayyub as, kepada syaitan.  

2.    Nabi Ayyub as, Sembuh Dari Penderitaannya. Selama bertahun-tahun Nabi Ayyub as, menderita. Selama itu pula ia tidak pernah durhaka kepada Allah SWT bahkan semakin meningkatkan ketakwaannya. Semua harta yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun lenyap begitu saja, kemudian anaknya mati dan ia sendiri sakit. Akhirnya istri yang setia meninggalkan pula. Sungguh lengkap penderitaan yang dialami Nabi Ayyub as,. Karena syaitan sudah tidak mampu lagi menggoda Nabi Ayyub as.  ia tidak lagi mencobanya. Sebab semua upayanya untuk menaklukkan Nabi Ayyub as, sia-sia belaka. Setelah ia mengucapkan janji pada istrinya, Nabi Ayyub as, pun berdoa agar disembuhkan dari penyakitnya. Doa itupun dikabulkan oleh Tuhan seperti yang tertera dalam Al Qur'an surat Al Anbiyaa' (21) ayat 83 sampai 84 sebagaimana berikut ini: dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku), Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang". Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” 

Demikianlah Nabi Ayyub as, memohon kesembuhannya kepada Allah SWT dan Allah SWT pun mengabulkan doanya. Allah SWT juga mengembalikan semua harta dan anak-anaknya, bahkan lebih banyak dari sebelumnya.Setelah mendengar firman itu, maka ia lakukan sebagaimana yang telah difirmankan Allah SWT kepadanya. Allah berfirman): "Hantamkanlah kakimu; Inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum". dan Kami anugerahi Dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran. (surat Shaad (38) ayat 42 dan 43). Ia pun berusaha merangkak. Kemudian ia menjejakkan kakinya ke tanah dan memancarlah air dari bekas injakkannya. Kemudian Nabi Ayyub as, mandi dan minum dari air tersebut. sehingga sembuhlah dari penyakitnya. Tidak lama kemudian ia mencari isterinya untuk membayar janji yang telah diucapkan sewaktu ia sakit.  

3. Nabi Ayyub as, Membayar Nadzar. Begitu Nabi Ayyub as, sembuh dari penyakitnya, maka yang perlu dilakukannya pertama kali adalah membayar janji pada istrinya ketika masih sakit. la mencari istrinya, setelah ketemu ia hendak memukulnya seratus kali. Namun belum sampai terlaksana, ia mendapat pelajaran dari Allah SWT. Allah SWT berfirman: dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), Maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati Dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah Sebaik-baik hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat (kepada Tuhan-nya)[1303]. (surat Shaad (38) ayat 44) 

[1303] Nabi Ayyub a.s. menderita penyakit kulit beberapa waktu lamanya dan Dia memohon pertolongan kepada Allah s.w.t. Allah kemudian memperkenankan doanya dan memerintahkan agar Dia menghentakkan kakinya ke bumi. Ayyub mentaati perintah itu Maka keluarlah air dari bekas kakinya atas petunjuk Allah, Ayyub pun mandi dan minum dari air itu, sehingga sembuhlah Dia dari penyakitnya dan Dia dapat berkumpul kembali dengan keluarganya. Maka mereka kemudia berkembang biak sampai jumlah mereka dua kali lipat dari jumlah sebelumnya. pada suatu ketika Ayyub teringat akan sumpahnya, bahwa Dia akan memukul isterinya bilamana sakitnya sembuh disebabkan isterinya pernah lalai mengurusinya sewaktu Dia masih sakit. akan tetapi timbul dalam hatinya rasa hiba dan sayang kepada isterinya sehingga Dia tidak dapat memenuhi sumpahnya. oleh sebab itu turunlah perintah Allah seperti yang tercantum dalam ayat 44 di atas, agar Dia dapat memenuhi sumpahnya dengan tidak menyakiti isterinya Yaitu memukulnya dengan dengan seikat rumput. 

Kemudian Nabi Ayyub as, mengambil seratus batang rumput dan diikatkan menjadi satu. Lalu ia pukulkan ke istrinya hanya sekali saja. Kemudian istrinya menjelaskan sebab-sebab ia tidak mau melayani dan menunggui suaminya ketika sakit. Semua itu adalah ulah dari syaitan  yang telah menggodanya. Dan berdasarkan perjalanan hidup Nabi Ayyub as, yang telah kami kemukakan di atas, berikut ini akan kami kemukakan beberapa pelajaran yang dapat kita jadikan suri tauladan dari kisah hidup Nabi Ayyub as, di bawah ini: 

a.    Nabi Ayyub as, mengajarkan kepada kita menjadi orang kaya yang selalu bersyukur dan rajin menolong orang lain dengan selalu berderma (menempatkan diri selalu menjadi tangan di atas) dan ketika jatuh miskin jadi miskin yang sabar, sebagaimana hadits berikut ini: Dari Shuhaib, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruh urusannya itu baik, Ini tidaklah didiapati seseorang kecuali pada seorang mukmin, Jika mendapatkan kesenangan maka ia bersyukur, itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar, itupun baik baginya.” (Hadits Riwayat Muslim) 

b.    Nabi Ayyub as, mengajarkan kepada kita tidak menjadikan diri kita sombong dengan harta kekayaan yang ia miliki karena kekayaan itu sebenarnya adalah ujian atau cobaan saat hidup di dunia, sebagaimana hadits berikut ini: “Dari Al-Hasan Al-Bashri, ia berkata, “Umar bin Al-Khattab ra,  pernah menuliskan surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari yang isinya: “Merasa cukuplah (qana’ah-lah) dengan rezeki dunia yang telah Allah berikan padamu. Karena Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih) mengaruniakan lebih sebagian hamba dari lainnya dalam hal rezeki. Bahkan yang dilapangkan rezeki sebenarnya sedang diuji pula sebagaimana yang kurang dalam hal rezeki. Yang diberi kelapangan rezeki diuji bagaimanakah ia bisa bersyukur dan bagaimanakah ia bisa menunaikan kewajiban dari rezeki yang telah diberikan padanya.”  (Hadits Riwayat. Ibnu Abi Hatim. Dinukil dari Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 696) 

c.    Nabi Ayyub as, mengingatkan bahwa kekayaan itu titipan ilahi. Jika hal ini kita pahami secara baik dan benar maka sewaktu waktu ketika kenikmatan dunia diambil, tidak menjadikan diri kita bersedih kehilangan harta, sebagaimana hadits berikut ini: Kita bisa mengambil pelajaran dari kisah Ummu Sulaim (ibu dari Anas bin Malik, yang bernama asli Rumaysho atau Rumaisa) ketika berkata pada suaminya, Abu Thalhah. Saat itu puteranya meninggal dunia, Rumaysho malah menghibur suaminya di malam hari dengan memberi makan malam dan berhubungan intim. Setelah suaminya benar-benar puas, ia mengatakan, “Bagaimana pendapatmu jika ada suatu kaum meminjamkan sesuatu kepada salah satu keluarga, lalu mereka meminta pinjaman mereka lagi, apakah tidak dibolehkan untuk diambil?” Abu Tholhah menjawab, “Tidak (artinya: boleh saja ia ambil, -pen).” Ummu Sulaim, “Bersabarlah dan berusaha raih pahala karena kematian puteramu.”  (Hadits Riwayat. Muslim, no. 2144)  

d.   Nabi Ayyub as, mengajarkan kepada diri kita bahwa sakit dan ujian akan menghapus dosa, sehingga kita butuh untuk menahan diri untuk sabar karena mengetahui adanya keutamaan ini. Dari ‘Abdullah bin Mas’ud ra, Rasulullah SAW bersabda, “Setiap muslim yang terkena musibah penyakit atau yang lainnya, pasti akan hapuskan kesalahannya, sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya.” (Hadits Riwayat. Bukhari, no. 5660 dan Muslim, no. 2571) 

“Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang mukmin tertimpa rasa sakit (yang terus menerus), rasa capek, kekhawatiran (pada masa depan), sedih (akan masa lalu), kesusahan hati (berduka cita) atau sesuatu yang menyakiti sampai pada duri yang menusuknya, itu semua akan menghapuskan dosa-dosanya.” (Hadits Riwayat. Bukhari, no. 5641 dan Muslim, no. 2573). Agar diri kita bisa bersikap sabar maka harus dilakukan dengan ikhlas karena Allah SWT yang dilanjutkan dengan hanya mengadu kepada Allah SWT serta dilakukan di awal musibah terjadi. 

e.    Lihatlah Nabi Ayyub as, yang terus menerus menjaga lisannya untuk selalu berdzikir dan menjaga hatinya walaupun dalam keadaan sakit yang berkepanjangan, sebagaimana hadits berikut ini: “Dari ‘Abdullah bin Busr, ia berkata,“Ada dua orang Arab (badui) mendatangi Rasulullah SAW, lantas salah satu dari mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, manusia bagaimanakah yang baik?” “Yang panjang umurnya dan baik amalannya,” jawab beliau. Salah satunya lagi bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syari’at Islam amat banyak. Perintahkanlah padaku suatu amalan yang bisa kubergantung padanya.” “Hendaklah lisanmu selalu basah untuk berdzikir pada Allah,” jawab beliau. (Hadits Riwayat. Ahmad 4: 188) 

f.     Nabi Ayyub as, mengajarkan kepada kita bahwa setiap orang akan diuji oleh Allah SWT sesuai dengan tingkatan keimanan seseorang, sebagaimana hadits berikut ini: “Dari Mush’ab bin Sa’ad, dari bapaknya, ia pernah berkata pada Rasulullah SAW, “Manusia manakah yang paling berat cobaannya?” Jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Para Nabi lalu orang shalih dan orang yang semisal itu dan semisal itu berikutnya. Seseorang itu akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Jika imannya semakin kuat, maka cobaannya akan semakin bertambah. Jika imannya lemah, maka cobaannya tidaklah berat. Kalau seorang hamba terus mendapatkan musibah, nantinya ia akan berjalan di muka bumi dalam keadaan tanpa dosa.”  (Hadits Riwayat. Ahmad, 1: 172. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan) 

g.    Jika kita ingin meningkatkan kualitas sabar, maka ingatlah cobaan yang diterima oleh para Nabi lebih berat dibandingkan diri kita, sebagaimana hadits berikut ini: Dari ‘Abdurrahman bin Saabith Al-Qurosyi, Rasulullah SAW bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian tertimpa musibah, maka ingatlah musibah yang menimpa diriku. Musibah padaku tetap lebih berat dari musibah yang menimpa dirinya.”  (Hadits Riwayat. ‘Abdurrozaq dalam mushannafnya, 3: 564; Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 7: 167. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1106) 

h.   Nabi Ayyub as, mengajarkan kepada kita bahwa musibah yang menimpa diri kita masih sangat sedikit dibandingkan dengan nikmat yang telah Allah SWT berikan. Coba ambil pelajaran dari apa yang dikatakan oleh Nabi Ayyub as, kepada istrinya, “Aku telah diberi kesehatan selama 70 (tujuh puluh) tahun. Sakit ini masih derita yang sedikit yang Allah timpakan sampai aku bisa bersabar sama seperti masa sehatku yaitu 70 (tujuh puluh) tahun.” 

i.     Nabi Ayyub as, memberikan pelajaran kepada diri kita bahwa syaitan bisa saja mencelakai badan, harta dan keluarga kita seperti yang disebutkan dalam kisah Nabi Ayyub dalam surat Shad (38) ayat 41 berikut ini: dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-nya: "Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan.” (surat Shaad (38) ayat 41) 

j.     Nabi Ayyub as, mengajarkan kepada diri kita yaitu lepasnya musibah melalui doa. Untuk itu kita harus selalu memohon kepada Allah SWT agar musibah, gangguan, bencana  yang menimpa diri kita diangkat oleh Allah SWT. Allah SWT berfirman: “dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku), Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang". (surat Al Anbiyaa (21) ayat 83) 

Allah SWT berfirman: Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik. (Surat Al Ma’aarij (70) ayat 5) 

Selain daripada itu, jika kita memiliki hajat atau kepentingan tertentu ataupun kesusahan jangan ragu ragu untuk mengadukan kepada Allah SWT. Jangan pernah mengadukan apa apa kepada makhluk karena Allah SWT sudah dekat kepada diri kita. Disinilah letak kesabaran dibutuhkan, dimana sabar yang kita lakukan adalah sabar tanpa pernah merasa putus harapan dan tanpa mengeluh kepada selain Allah SWT. 

k.   Nabi Ayyub as, mengajarkan kepada kita untuk memenuhi nadzar setelah apa yang dinadzarkan tercapai. Hal ini dikarenakan Nadzar itu wajib dipenuhi sebagaimana sumpah yang harus dipatuhi. Allah SWT memuji orang-orang yang menunaikan nazarnya. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur[1536],(yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.mereka menunaikan Nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.(surat Al Insaan (76) ayat 5 sampai 7) 

[1536] Kafur ialah nama suatu mata air di surga yang airnya putih dan baunya sedap serta enak sekali rasanya. 

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut. Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ” (Hadits Riwayat. Bukhari no. 6696) 

l.     Selalu ada jalan keluar bagi orang yang bertakwa. Dikala  Nabi Ayyub as, merasa berat menjalankan nadzar, Allah SWT memberikan jalan keluar dengan diberikan keringanan karena saat itu belum ada syariat penunaian kafarah (tebusan untuk nadzar). Allah SWT berfirman: apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (surat Ath Thalaaq (65) ayat 2 dan 3). Tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan atau menjalani sebuah hukuman. Hukum harus tetap dilaksanakan tanpa memandang kuat atau lemahnya seseorang. Hal ini dikarenakan tujuan dari pelaksanaan hukum agar pelanggaran hukum tidak dilakukan lagi serta tujuan hukuman bukan untuk menghancurkan atau membinasakan.   

m.  Ingatlah dengan kesabaran ketika kehilangan harta, keluarga dan anak, akan mendapatkan ganti yang lebih baik. Yang diucapkan ketika mendapatkan musibah adalah: Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rooji’un. Allahumma’jurnii Fii Mushibatii Wa Akhlif Lii Khoiron Minha [Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik].sebagaimana hadits berikut ini: Ummu Salamah -salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia mengucapkan: “Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rooji’un. Allahumma’jurnii Fii Mushibatii Wa Akhlif Lii Khoriron Minhaa [Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik]”, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.” Ketika, Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut do’a sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan padaku. Allah pun memberiku suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”  (Hadits Riwayat. Muslim, no. 918)  

n.   Nabi Ayyub as, mengajarkan kepada diri kita ketika mendapatkan musibah, beliau mengucapkan, “Segala puji bagi Allah. Dialah yang memberi, Dialah pula yang berhak mengambil.” Bukti sabar, masih mengucapkan alhamdulillah ketika mendapat musibah. Yang dicontohkan oleh Nabi Ayyub as, ketika mendapatkan musibah, beliau mengucapkan, “Segala puji bagi Allah. Dialah yang memberi, Dialah pula yang berhak mengambil.” Sedangkan tingkatan orang menghadapi musibah ada empat yaitu: (1) lemah, yaitu banyak mengeluh pada makhluk, (2) sabar, hukumnya wajib, (3) ridha, tingkatannya lebih daripada sabar, (4) bersyukur, ketika menganggap musibah itu suatu nikmat. 

o.   Allah SWT memberikan kita ujian dan musibah, bukan berarti Allah  SWT berkeinginan untuk  menghinakan diri kita. Nabi Ayyub as, bisa dicontoh dalam hal sabar menghadapi takdir Allah SWT yang menyakitkan. Allah SWT menguji siapa saja yang Allah SWT kehendaki dan semua itu ada hikmah-Nya. Untuk itu jadikan kisah Nabi Ayyub as, sebagai  sebuah pelajaran dan beliaupun bisa dijadikan suri tauladan. 

p.   Nabi Ayyub as, adalah orang yang penyabar, ia bersabar ikhlas karena Allah SWT.  Nabi Ayyub as, juga adalah hamba yang baik dalam hal ‘ubudiyah (peribadahan). Ini terlihat dari keadaan beliau ketika lapang dan ketika berada dalam keadaan susah. Beliau juga adalah orang yang benar-benar kembali pada Allah SWT, beliau pasrahkan urusan dunia dan akhiratnya, beliau juga adalah orang yang rajin berdzikir dan berdoa, serta punya rasa cinta yang besar kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman: dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), Maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati Dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah Sebaik-baik hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat (kepada Tuhan-nya)[1303]. (surat Shaad (38) ayat 44)

 [1303] Nabi Ayyub a.s. menderita penyakit kulit beberapa waktu lamanya dan Dia memohon pertolongan kepada Allah s.w.t. Allah kemudian memperkenankan doanya dan memerintahkan agar Dia menghentakkan kakinya ke bumi. Ayyub mentaati perintah itu Maka keluarlah air dari bekas kakinya atas petunjuk Allah, Ayyub pun mandi dan minum dari air itu, sehingga sembuhlah Dia dari penyakitnya dan Dia dapat berkumpul kembali dengan keluarganya. Maka mereka kemudia berkembang biak sampai jumlah mereka dua kali lipat dari jumlah sebelumnya. pada suatu ketika Ayyub teringat akan sumpahnya, bahwa Dia akan memukul isterinya bilamana sakitnya sembuh disebabkan isterinya pernah lalai mengurusinya sewaktu Dia masih sakit. akan tetapi timbul dalam hatinya rasa hiba dan sayang kepada isterinya sehingga Dia tidak dapat memenuhi sumpahnya. oleh sebab itu turunlah perintah Allah seperti yang tercantum dalam ayat 44 di atas, agar Dia dapat memenuhi sumpahnya dengan tidak menyakiti isterinya Yaitu memukulnya dengan dengan seikat rumput.

 

Sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah Allah SWT di muka bumi yang membutuhkan kebaikan, jadikan apa yang dialami oleh Nabi Ayyub as, sebagai suri tauladan dari perjalanan hidup kita. Kelebihan dan kekurangan adalah sebuah persepsi. Kelebihan bisa jadi kekurangan dan kekurangan bisa jadi kelebihan. Semuanya sangat tergantung bagaimana keduanya ditempatkan dan disikapi. Lalu sudahkah diri kita memiliki kriteria orang orang yang mampu berbuat kebaikan seperti yang kami bahas dalam bab ini? Jika belum segeralah mengadakan perubahan secara radikal karena waktu yang tersedia sangat terbatas yaitu hanya pada sisa waktu yang kita miliki dan semoga Allah SWT menolong diri kita. Amiin.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar