Kebaikan atau keburukan merupakan hasil dari perbuatan yang kita lakukan atau merupakan output yang berasal dari input yang diproses secara tertentu yang kita lakukan. Kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang sangat berbeda seperti perbedaan malam dengan siang. Adanya perbedaan antara kebaikan dengan keburukan maka Allah SWT memberikan ketentuan dasar bagi keduanya sehingga menghasilkan apa yang dinamakan dengan adanya kepastian hukum yang berdampak kepada yang melakukakannya, dalam hal ini adalah diri kita, baik selaku Abd’ (hamba) dan juga selaku khalifah di muka bumi ini. Adanya kepastian hukum yang berasal dari Allah SWT berarti Allah SWT telah memberikan jaminan tertentu kepada yang melakukan kebaikan dan siap memberikan sanksi tertentu kepada yang melakukan keburukan tanpa terkecuali. Inilah ketentuan dasar yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Adanya ketentuan dasar tentang kebaikan dan tentang keburukan yang kami kemukakan di atas harus dapat kita jadikan pedoman serta menjadi rambu rambu kehidupan sehingga kita tidak salah jalan, atau agar kita selamat sampai tujuan akhir, yaitu syurga.
Sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah Allah SWT di muka bumi, kita tidak bisa berbuat kebaikan ataupun berbuat keburukan secara apa adanya. Namun ketahuilah saat kita hidup maka pada saat itulah kita memiliki kesempatan untuk bisa berbuat apapun, apakah itu kebaikan ataukah itu keburukan. Namun ketahuilah saat diri kita diberi kesempatan untuk berbuat dan bertindak ada hal hal tertentu yang harus kita perhatikan, yaitu:
A. HIDUP HANYA DI DALAM WAKTU YANG TERSEDIA.
Kesempatan untuk berbuat kebaikan dalam kerangka sesuai dengan kehendak Allah SWT ataupun berbuat keburukan (kejahatan) dalam kerangka sesuai dengan kehendak syaitan hanya bisa dilaksanakan pada saat diri kita hidup di dunia ini. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Az Zumar (39) ayat 10 yang kami kemukakan berikut ini: “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu". orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” Sekali lagi kami tegaskan bahwa kesempatan untuk berbuat baik ataupun berbuat buruk hanya pada saat kita hidup di dunia ini. Sekarang berapa lama kita hidup di dunia ini dan berapa banyak sisa usia yang kita miliki? Jawabannya adalah hanya Allah SWT yang tahu pasti tentang berapa lama kita hidup dan berapa lama sisa hidup kita.
Hidup adalah saat mulai dipersatukannya ruh/ruhani dengan jasmani sampai dengan dipisahkannya kembali ruh/ruhani dengan jasmani. Berapa lamanya hanya Allah SWT yang tahu, sehingga kesempatan untuk hidup di dunia ini bisa tidak ada yang sama antara satu orang dengan orang yang lainnya. Ada yang memiliki usia panjang dan ada yang memiliki usia pendek, yang kesemuanya Allah SWT yang menentukan dan jika waktunya sudah habis maka berakhirlah hidup ini. Bicara hidup maka kita tidak bisa menghindarkan diri dari apa yang dinamakan dengan kematian. Kematian adalah sesuatu kepastian yang tidak ada satupun orang yang bisa menghindarkan diri daripadanya. Jika sudah seperti ini keadaannya maka di sisa usia atau di sisa waktu yang tersedia maka kita wajib memiliki manajemen waktu. Jangan sampai kita merasa masih di waktu Dzuhur (muda) padahal sudah menjelang waktu Isya dan pada saat itu kesadaran baru tiba sedangkan kesehatan sudah tidak bisa diandalkan lagi. Lalu apa yang bisa kita kerjakan dengan kondisi seperti ini.
Sekarang katakanlah kita memiliki harta kekayaan yang banyak, lalu apa yang bisa kita lakukan dengan kekayaan itu jika kita tidak mempunyai waktu lagi untuk berbuat kebaikan dengan harta kekayaan yang kita miliki? Lagi lagi waktu yang membatasi diri kita untuk berbuat kebaikan. Waktu sangatlah berharga lebih baik dari harta kekayaan, hal ini dikarenakan hanya dengan waktulah kita bisa menjadikan harta kekayaan menjadi harta kebaikan bagi diri kita. Setelah diri kita meninggal maka kekayaan yang kita miliki bukanlah menjadi kekayaan diri kita melainkan milik ahli waris. Yang kita miliki adalah kebaikan kebaikan yang telah kita perbuat melalui harta kekayaan yang kita miliki saat diri kita hidup di dunia.
Bagi orang yang memiliki akal yang sehat, masih waras pikirannya, hendaklah ia membagi bagi waktu yang dimilikinya untuk: (1) sesaat untuk bermunajat kepada Allah SWT; (2) sesaat untuk bermuhasabah diri; (3) sesaat untuk bertafakur berkaitan dengan segala ciptaan Allah SWT; (4) sesaat untuk mencari nafkah diri dan keluarga. Sedangkan bagi orang yang berakal jangan memprioritaskan hal lain kecuali pada tiga hal ini, yaitu : (1) bekal untuk akhirat; (2) bekal untuk kehidupan dunia; (3) bersukaria dalam hal yang tidak diharamkanAllah SWT. Ingat, Allah SWT Dzat Yang Maha Adil, karena memberikan waktu yang sama kepada setiap manusia, dalam hal ini sehari 24 (dua puluh empat) jam. Seorang Abd’ (hamba) dan seorang khalifah yang sukses adalah yang mampu mengisi waktu 24 (dua puluh empat) jam dengan hal hal yang bermanfaat dan yang mengandung ibadah serta mampu belajar kemana saja, dengan siapa saja, dan membaca buku apa saja, untuk meluaskan cakrawala pikirannya. Mampu mengambil yang baik, mampu membuang yang buruk. Mampu mengambil yang mendekatkan diri kepada Allah serta mampu membuang yang menjauhkan diri dari Allah SWT..
Khalifah Abu Bakar ash Shiddiq ra, pernah berpesan kepada sahabatnya Umar bin Al Khattab ra, “Wahai Umar, tanggung jawab yang Allah serahkan pada malam hari janganlah ditunda sampai siang hari, dan yang diserahkan pagi hari janganlah ditangguhkan sampai malam hari”. Orang yang suka menunda pekerjaan harus tahu bahwa waktu berlalu sangat cepat dan tidak akan bisa diulang kembali. Untuk itu ketahuilah wahai para khalifah Allah SWT di muka bumi bahwa waktu adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Waktu yang diberikan kepada Allah SWT kepada diri kita bukanlah barang gratisan yang bisa dipergunakan seenaknya saja, tanpa ada batasannya. Jangan sampai kita sadar akan waktu saat diri kita sudah hampir menjelang waktu Isya.
Sebagai Abd’ (hamba) yang
sekaligus khalifah Allah SWT di muka bumi, pernahkah kita menilai harga dari
waktu yang kita miliki? Lalu mampukah kita menilainya dengan ukuran tertentu
seperti mempergunakan ukuran mata uang? Sanggupkah kita membeli waktu yang telah
diberikan Allah SWT? Bisakah kita menukar waktu yang kita miliki dengan yang
dimiliki oleh orang lain? Kita bukanlah pemilik waktu, melainkan hanya pengguna
atau pemakai dari waktu sehingga kita tidak akan bisa menilai harga dari waktu,
kita tidak akan bisa menilai waktu dengan ukuran mata uang apalagi membeli
waktu. Allah SWT adalah pemilik waktu sehingga Allah SWT sajalah yang bisa
mengatur segala waktu. Dan Allah SWT selaku pemilik waktu sudah menetapkan
kepada diri kita untuk mengabdi kepada Allah SWT di waktu yang telah diberikan
kepada diri kita. Allah SWT berfirman: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (surat Adz Dzariyat (51) ayat 56). Lalu
apa jadinya jika kita yang telah diberikan waktu untuk mengabdi kepada Allah
SWT tidak bisa mempergunakan waktu!
Alangkah bodohnya diri kita, alangkah dzalimnya diri kita kepada diri sendiri yang tidak bisa mengabdi kepada Allah SWT saat diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini. Agar diri kita mampu memanfaatkan waktu maka kita harus tahu terlebih dahulu apa yang disebut dengan istilah perampok perampok waktu, yaitu : “menunda nunda pekerjaan, online dan game online (gadget), sosial media, televisi, transportasi, pertemuan, tamu tak diundang, kurangnya rencana harian, melakukan sesuatu secara emosional, tidak bisa mengatakan tidak, kebiasaan hidup yang tidak baik dan lain sebagainya”. Untuk itu ketahuilah bahwa waktu dalam ajaran Islam bukanlah uang ataupun emas, akan tetapi nyawa. Hal ini dikarenakan jika waktu terbuang atau hilang tidak dapat digantikan seperti layaknya nyawa manusia yang telah hilang. Waktu juga seperti napas, yang tidak akan bisa kembali lagi. Manusia yang menyia nyiakan waktunya adalah manusia yang tidak bisa menghargai hidup dan nyawanya sendiri serta napasnya sendiri. Dan jika kita sendiri tidak bisa menghargai diri kita sendiri melalui waktu lalu bagaimana kita bisa menghargai pemilik dari waktu, dalam hal ini Allah SWT.
Sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah Allah SWT di muka bumi kita adalah subyek yang harus bisa mengatur waktu waktu yang telah diberikan Allah SWT kepada diri kita. Lalu apa jadinya jika subyek yang seharusnya mengatur waktu justru tidak bisa mengatur waktu, atau apa jadinya waktu yang seharusnya menjadi obyek justru menjadi subyek yang mengatur diri kita? Jika seperti ini kejadiannya maka apa yang dikehendaki Allah SWT kepada diri kita yaitu mengabdi kepadaNya tidak akan bisa kita laksanakan dengan baik dan benar. Selain daripada itu ketahuilah bahwa waktu adalah amanah yang akan dimintakan pertanggungjawaban oleh Allah SWT selaku pemberi waktu.
Waktu sebagai amanah maka pemberi amanah, dalam hal ini adalah Allah SWT, dapat dipastikan telah percaya kepada yang diberikan waktu, dalam hal ini Allah SWT telah percaya kepada diri kita. Adanya kepercayaan kepada diri kita berarti dalam ilmu Allah SWT kita pasti mampu melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka bumi yang mampu selalu berbuat kebaikan. Yang menjadi persoalan sekarang adalah kita sendiri yang mensiasiakan kepercayaan Allah SWT atas waktu yang telah diberikanNya sehingga apa yang dikehendaki Allah SWT menjadi gagal lalu gagal pula kekhalifahan yang kita emban. Semoga hal ini tidak terjadi pada diri kita dan juga pada anak dan keturunan kita.amiin.
B. HATI HATI DALAM MEMPERGUNAKAN WAKTU.
Perjalanan hidup seseorang manusia laksana waktu waktu shalat, dimana kelahiran dilambangkan dengan waktu Subuh dan waktu Isya dilambangkan kematian. Setiap manusia dapat dipastikan semuanya akan menuju ke waktu Isya dan yang menjadi persoalan adalah saat ini kita tidak tahu dimana posisi diri kita. Apakah menjelang Dzuhur, ataukah menjelang Ashar, ataukah menjelang Maghrib, ataukah menjelang Isya. Dan yang pasti adalah saat ini kita sedang menjalani hidup di sisa usia yang ada, sebagaimana firmanNya berikut ini:“tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (surat Ali Imran (3) ayat 185). Sekali lagi kami kemukakan bahwa saat ini kita sedang menjalani hidup di sisa usia yang ada dan yang tidak kita ketahui berapa sisanya karena dirahasiakan oleh Allah SWT. Untuk itu kita harus berusaha semaksimal mungkin dan juga untuk tetap konsisten dalam komitmen yang tinggi dari waktu ke waktu menjadi orang yang dibanggakan oleh Allah SWT.
Sekali lagi kami tegaskan kepada jamaah sekalian bahwa hidup itu laksana waktu waktu shalat. Dimana waktu shubuh merupakan saat kelahiran, sedangkan waktu isya adalah saat kematian. Titik krusial dari persoalan ini adalah di posisi manakah diri kita saat ini? Tidak ada yang pernah tahu dimana posisi kita yang sesungguhnya, namun yang pasti adalah semuanya menuju ke waktu Isya (menuju kepada kematian) dengan kecepatan 60 (enam puluh) menit per jam. Bisa jadi saat ini waktu dzuhur kita sudah lewat, bisa jadi kita sudah sampai waktu ashar, bisa jadi kita sudah sampai waktu maghrib, atau sudah menjelang waktu isya. Jika kita berpedoman kepada hadits di bawah ini, bisa jadi kita sudah berada di persimpangan jalan untuk menjuju waktu isya.
Di lain sisi, enam puluh tahun hingga tujuh puluh tahun menjadi batas usia umat ini. Hal ini dikarenakan di usia inilah usia yang paling dekat dengan pertarungan maut, atau bisa dikatakan sebagai usia kepasrahan dan kekhusyu’an, atau usia menanti kematian sebagaimana hadits berikut ini: Rasulullah SAW bersabda: Usia umatku berkisar antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun. Sedikit yang berhasil melewatinya. (Hadits Riwayat Ath Thirmidzi dan Ibnu Majah).” Dan saat manusia mencapai usia 60 (enam puluh) tahun hingga 70 (tujuh puluh) tahun, maka pada saat itulah akan muncul kecenderungan melemahnya kekuatan dan penurunan daya tahan tubuh seseorang. Maka seyogyanya kita untuk selalu berkonsentrasi pada urusan akhirat, karena mustahil diri kita akan kembali bersemangat seperti sebelumnya. Sudahkah kita memahami kondisi ini!.
Sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi ketahuilah bahwa saat ini ada 5 (lima) tipe manusia yang hidupnya selalu menderita, atau yang selalu gundah gulana, atau merasa tidak bahagia, atau selalu dirundung duka saat hidup di muka bumi, yaitu : (1) Manusia yang mengira bahwa hidup ini selalu mulus tanpa hambatan; (2) Manusia yang mengira bahwa dia akan selalu menghadapi peristiwa yang diharapkan; (3) Manusia yang mengira bahwa dia akan selalu dicintai oleh orang lain; (4) Manusia yang terlalu mencintai sesuatu (benda atau manusia lain); (5) Manusia yang tidak bergantung kepada Allah SWT. Ingat, di saat kesedihan/masalah/ujian dan cobaan menimpa kita, badan terasa sangat sulit digerakkan. Kita menjadi lebih senang untuk tinggal berdiam diri di kamar, melamun tidak karuan lalu membiarkan pikiran berlari tanpa arah. Pada saat itulah syaitan akan berusaha masuk. Awalnya, syaitan akan menggoda dengan menyarankan melakukan dosa besar, apabila orang tersebut menolak, syaitan akan menggodanya dengan menyarankan melakukan dosa kecil. Sampai orang tersebut mau melakukan apa yang diinginkan oleh syaitan.
Oleh karena itu, apabila kita ingin hidup bahagia, apalagi saat berada di persimpangan jalan, ada 5 (lima) kesiapan yang harus kita miliki, yaitu: (1) Siap menjalani hidup yang tidak mulus; (2) Siap menjalani peristiwa yang tidak diharapkan; (3) Siap dibenci orang; (4) Siap tidak terlalu mencintai benda atau manusia lain; (5) Siap hanya bergantung kepada Allah SWT. Untuk itu ketahuilah bahwa kesedihan, kemarahan, kegetiran, ketidaknyamanan, ketidakbahagiaan, bisa teratasi apabila kita mau mengendalikan cara pandang hidup kita, berfikir positif dan memaksimalkan kesungguhan dan ketekunan dalam beribadah. Kalau kita mampu melakukannya secara terus menerus, akan lahir perilaku yang menakjubkan dan mencengangkan keadaan yang pada akhirnya akan mengubah keadaan kita.
Kita perlu
berfikir dan membiasakan diri untuk mempraktekkannya, sehingga sampai pada
tujuan yang diinginkan, yaitu kebahagiaan yang tidak hanya di dunia namun juga
akhirat kelak. Nabi SAW bersabda: “Aku tergantung pada sangkaan hambaKu
kepadaKu dan Aku bersama hambaKu ketika dia mengingatKu. Jika dia mengingatKu
di dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diriKu. Jika dia mengingatku di
tengah orang banyak, maka Aku mengingatnya di tengah orang banyak yang lebih
baik daripada mereka. Jika dia mendekat sejengkal kepadaKu, Aku mendekat
sehasta kepadanya. Jika dia mendekat sehasta kepadaKu, Aku mendekat sedepa
kepadanya. Jika dia mendatangiKu dengan berjalan, maka Aku mendatangi dengan
berlari. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim).” Lalu jangan pernah
sekalipun kita meninggalkan Allah SWT dalam kondisi apapun, apalagi
berprasangka buruk kepada Allah SWT. Insya Allah selama kita mampu berharap dan
selalu berprasangka baik kepada Allah SWT maka Allah SWT tidak akan membiarkan
kita begitu saja.
Katakan, saat ini kita menjelang di persimpangan jalan, atau sudah berada di persimpangan jalan atau termasuk yang sedikit yang melampaui persimpangan jalan, ada beberapa pertanyaan yang bersifat pernyataan sikap, yang harus bisa kita sikapi dengan baik dan benar saat usia menuju waktu Isya, yaitu:
a. Apa arti kepiawaian menata banyak hal dalam kehidupan ini, tapi awam soal kehidupan kekal sejati yang akan menanti kita semua kelak?
b.
Apa
guna berbagai kemahiran mengolah tubuh dan pikiran, tapi pandir tentang seluk
beluk hati dan jiwa kita sendiri?
c. Apa manfaat segala bentuk pencarian ilmu demi memahami alam semesta dan segenap isinya, tanpa (berupaya) memahami kehadiran Dzat Sang Maha Pencipta, Sang Maha Penguasam dan Sang Maha Pengasih?
d. Jika uang hanya bisa membeli kesenangan, tetapi bukan kebahagiaan, maka apakah yang bisa engkau lakukan untuk menyempurnakan nikmat?
e. Jika bertambahnya kekayaan tidak menjamin bertambahnya kenikmatan, maka apakah yang bisa engkau lakukan agar hidup ini penuh rahmat?
f. Jika di malam malam yang hening engkau tidak bisa menyungkurkan keningmu untuk bersujud kepadaNya, maka apakah yang bisa engkau lakukan untuk membuka jalan ke syurgaNya? Atas setiap tetes nikmat yang kita rasakan hari ini, Allah akan bertanya kepada kita. Lalu apakah yang telah kita lakukan agar Allah tidak murka kepada kita?
g. Kalau engkau melihat api yang menyala nyala, maka airlah yang dapat memadamkannya. Bukan dengan menghembuskan angin yang mendesu, sebab itu akan membuatnya semakin berkobar kobar, Begitu pula saat engkau menghadapi hati yang beku, sikap yang keras dan merasa benar sendiri seperti Fir’aun, maka redakanlah sejenak. Ambillah wudhu lalu shalatlah. Jangan mengobarkan kemarahannya dengan perdebatan yang bersungut sungut.
h. Ya, ada hak orang lain dalam harta kita di luar zakat. Ada yang lebih utama dari yang utama dalam setiap amal. Sungguh, engkau belum berbuat kebajikan kalau doa doamu belum engkau ikuti dengan hartamu, padahal Allah berikan harta yang berlimpah kepadamu. Memberi tidak membuat kita kehilangan. Seperti pupuk, ia menyuburkan tanaman. Kata Ali bin Abi Thalib, “Mintalah curahan rezeki dengan banyak bersedekah”.
i. Ada keresahan yang tidak sanggup kita obati, meski telah mendatangi psikolog, dan majelis majelis taklim ataupun majelis dzikir. Bukan psikolog ataupun majelis taklim atau dzikir itu salah, tetapi sikap bathin kita saat menghadirinya. Kita datang karena ingin mencari keasyikan menangis, bukan sungguh sungguh mengingat Allah. Kita menyangka telah menemukan spiritualitas, padahal sesungguhnya hanyalah spiritual engineering (rekayasa spiritual).
j. Kematian bukanlah tragedi. Kematian juga bukan malapetaka, karena setiap kita pasti akan mengalaminya. Tak ada yang memilukan dengan kematian jika ia datang di saat kita berserah diri kepadaNya.
k. Telah banyak manusia yang berlalu, tetapi amat sedikit yang dikenang orang. Sebagian ada yang dilepas kepergiannya dengan air mata orang orang yang mencintainya. Tetapi sebagian di antara mereka diantarkan ke pemakaman dengan rasa syukur oleh orang orang yang merasa sesak dengan kehidupannya.
l. Setiap kita hendaklah berhati hati dalam menilai. Betapapun badan sudah penuh tato, hidung sudah bertengger anting anting, dan mulut sudah berlumur kata kata kotor, kita tetap tidak memilik hak untuk menghalangi jalan mereka untuk memperbaiki diri.
Apa perasaan kita yang terdalam, saat membaca dan lalu merenungi 12 (dua belas) pertanyaan yang bersifat penyataan sikap yang ada di atas ini! Jawablah dengan sejujur jujurnya karena anda sendirilah yang tahu dengan kondisi dan keadaan diri anda yang sesungguhnya. Ingat, jawaban yang anda diberikan harus disesuaikan dengan posisi anda saat ini, apakah menuju persimpangan jalan, ataukah sudah masuk di periode persimpangan ataukah yang termasuk kelompok yang sedikit yaitu yang berada di luar persimpangan jalan? Semoga hal hal yang membuat diri kita selalu berada di dalam kehendak Allah SWT lah yang menjadi jawaban anda.
Sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah yang sedang berada di persimpangan jalan dan yang juga sedang melaksanakan tugas kekhalifahannya di muka bumi, tentu kita sangat berharap menjadi Abd’ (hamba) dan khalifah yang sesuai dengan kehendakNya. Namun bagaimana mungkin kita bisa sesuai dengan kehendak Allah SWT jika kita sendiri masih belum memiliki ilmu dan pemahaman yang sangat mendasar terutama tentang “Tahu Diri, Tahu Aturan Main dan Tahu Tujuan Akhir” padahal usia sudah menjelang waktu Isya! Jangan sampai kita tidak tahu diri, tidak tahu aturan main yang mengakibatkan kita tersesat jalan karena tidak tahu tujuan akhir yang sesungguhnya. Untuk itu, alangkah baiknya jika ilmu dan pemahaman tentang “Tahu Diri, Tahu Aturan Main dan Tahu Tujuan Akhir” sudah kita miliki jauh sebelum kita tiba di persimpangan jalan. Sehingga saat tiba di persimpangan jalan kita tidak kehilangan arah, kita tahu tujuan dan kita mampu tetap berprestasi di usia menjelang waktu Isya.
Ibnul Qayyim Al Jauziah
menambahkan, “perbuatan maksiat adalah
faktor terbesar yang menghapus barakah/keberkahan usia, rezeki, ilmu dan amal
seseorang. Setiap waktu yang Anda gunakan untuk maksiat kepada Allah, setiap
harta, fisik, kedudukan dan amal yang Anda gunakan untuk maksiat kepadaNya,
maka sebenarnya semua bukan milik Anda. Usia, harta, kekuatan, kedudukan, ilmu
dan amal yang merupakan milik Anda sebenarnya adalah yang digunakan untuk
melakukan ketaatan kepada Allah”. Sekarang
renungilah perjalanan kehidupan yang sudah kita lalui lalu hitung berapa banyak
perbuatan maksiat yang telah kita lakukan atau hasilkan dibandingkan dengan
ketaatan kepada Allah SWT. Setelah ketemu angkanya lalu apa yang harus kita
lakukan di saat kemampuan jasmani sudah mengalami penurunan yang luar biasa?
Berdiam diri, menyesali diri atau berusaha dengan semaksimal mungkin untuk
segera memperbaiki diri yang diiringi dengan rasa komitmen yang luar biasa
tinggi. Segalanya tak akan berubah,
tatkala kita hanya mampu membaca tanpa mau menghayatinya, melihat tanpa mau
merenunginya, menghafalnya tanpa mau mewujudkannya. Hidup yang kita jalani akan
berubah menjadi lebih baik kalau kita mau merubah pikiran ke arah yang positif
dan terbuka menerima masukan. Insya Allah.
C. SETIAP KEBAIKAN ATAU KEBURUKAN PASTI DIBALAS.
Allah SWT sudah menetapkan adanya kepastian hukum atas kebaikan dan keburukan sebagaimana tertuang di dalam surat An Nahl (16) ayat 96 berikut ini: “apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. dan Sesungguhnya Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” Dan juga berdasarkan surat An An’am (6) ayat 160 berikut ini: “Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan Barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka Dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” Serta berdasarkan surat Ar Rahmaan (55) ayat 60 seperti yang kami kemukakan berikut ini: “tidak ada Balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”
Berdasasarkan
3 (tiga) buah ketentuan di atas, Allah SWT pasti akan memberi balasan setiap
kebaikan dengan kebaikan (pahala) yang lebih baik dari apa yang telah kita
kerjakan. Demikian pula Allah SWT juga akan membalas keburukan (kejahatan)
dengan keburukan (kejahatan) pula sesuai dengan kadar atau seimbang dengan
keburukan (kejahatan) yang dilakukan oleh seseorang. Sedangkan berdasarkan ketentuan
hadits berikut ini: Abu Darda ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman:
Apabila hambaKu berniat melakukan suatu kejahatan, maka janganlah kamu catat
sebelum ia melaksanakannya. Bila telah dilaksanakannya, catatlah sebagai satu
kejahatan. Akan tetapi bila ia berniat melakukan suatu kebajikan namun tidak
jadi dilaksanakannya, maka catatlah baginya satu kebajikan. Bila ia
melaksanakannya, maka catatlah untuknya sepuluh kebajikan. (Hadits Qudsi
Riwayat Bukhari, Muslim; 272: 23).
Allah SWT juga telah memberikan sebuah kepastian hukum yang mengikat terutama di dalam besaran kebaikan dan juga besaran keburukan. Adapun ketetapan hukum atas besaran kebaikan (pahala) yang akan diberikan Allah SWT kepada yang berbuat kebaikan sebagai berikut : apabila seseorang berniat berbuat kebaikan maka catatlah sebagai satu kebajikan dan jika niat kebaikan dilaksanakan maka catatlah untuknya sepuluh kebajikan. Sedangkan bagi orang yang baru berniat untuk melakukan keburukan, niatnya belum dicatat sebagai sebuah keburukan sepanjang niat itu belum dilaksanakan. Keburukan baru dicatat sebagai satu keburukan jika niat keburukan sudah dilaksanakan oleh pelakunya. Inilah salah satu matematika Allah SWT yang berlaku kepada diri kita dan juga kepada anak dan keturunan kita.
Hal yang tidak akan pernah terjadi adalah Allah SWT salah di dalam menetapkan balasan kebaikan ataupun balasan keburukan yang telah kita lakukan. Ingat, Allah SWT memiliki Malaikat Raqib dan Malaikat Atid sebagai petugas pelaksana yang telah diberi mandat oleh Allah SWT yang tidak akan pernah lalai sedikitpun di dalam melaksanakan tugasnya terutama di dalam memonitor, merekam, mencatat seluruh aktivitas manusia melalui program CCTV yang ada padanya. Seluruh data yang dipegang oleh Malaikat Raqib dan Malaikat Atid utuh, sesuai dengan apa yang terjadi, sesuai dengan aslinya tanpa ada pengurangan, tanpa penambahan ataupun proses pensensoran oleh siapapun juga dan siap diperlihatkan kepada diri kita saat hari berhisab tiba. Sekarang apa yang dicatat oleh kedua malaikat yang obyek utamanya adalah diri kita, lalu apa yang bisa kita perbuat dengan apa yang telah dicatat oleh malaikat?
Sebagai
obyek yang dinilai dan dicatat oleh Malaikat maka kita tidak bisa mengelak atau
menghindar dari apa yang telah dilakukan oleh Malaikat dan yang harus kita
siapkan adalah bagaimana caranya untuk mempertanggung jawabkan terhadap apa apa
yang telah kita lakukan, terutama dalam hal keburukan/kejahatan yang telah kita
lakukan. Apalagi Allah SWT dengan tegas menyatakan dalam surat Ath Thalaaq (65)
ayat 11 berikut ini : “(dan mengutus) seorang Rasul yang
membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum)
supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari
kegelapan kepada cahaya. dan Barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan
amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Sesungguhnya Allah memberikan rezeki yang baik kepadanya.” Ayat ini
mengemukakan tentang fasilitas yang akan diberikan kepada orang yang beriman
dan beramal shaleh, yaitu dikeluarkan dari kegelapan ke cahaya terang benderang
serta dimasukkan ke dalam syurgaNya dan yang terakhir Allah SWT akan selalu memberikan rezeki yang
terbaik kepada diri kita.
Selain
daripada itu, Allah SWT juga tidak akan pernah menganiaya seseorang walaupun
sebesar zarrah, seperti yang kami kemukakan dalam surat An Nisaa’ (4) ayat 40
berikut ini: “Sesungguhnya Allah tidak Menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah,
dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya
dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar[298].”
[298] Maksudnya: Allah tidak akan mengurangi pahala orang-orang yang mengerjakan kebajikan walaupun sebesar zarrah, bahkan kalau Dia berbuat baik pahalanya akan dilipat gandakan oleh Allah.
Ayat di atas berisi pernyataan sikap dari Allah SWT yang pasti mengganjar setiap kebaikan walaupun kebaikan itu seberat zarrah, demikian pula dengan keburukan. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT selalu bersama orang baik yang selalu berada di dalam kebaikan. Dan jika yang ada sekarang adalah keburukan dan juga kejahatan berarti kesemuanya berasal dari diri kita. Tidak ada jalan keluar dari keburukan ataupun kejahatan kecuali mempertanggung jawabkannya di akhirat kelak. Ingat, saat hari mempertanggung jawabkan atas apa apa yang kita lakukan saat hidup di dunia, mulut tidak bisa berkata kata. Justru kaki, tangan, telinga, mata yang dapat berkata kata saat diri kita diminta mempertanggung jawaban segala tindakan kita yang kesemuanya disesuaikan dengan apa apa yang telah dicatat oleh malaikat pencatat. Kita tidak bisa menghindar lagi serta kita tidak bisa berbohong lagi lalu bersiap menerima akibat dari perbuatan diri kita.
D. ADANYA UKURAN BERBUAT BAIK ATAU BERBUAT BURUK.
Berdasarkan
surat Al Qashash (28) ayat 77 yang kami kemukakan berikut ini: “dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.” Allah SWT telah memberikan ukuran atau batasan
tertentu di dalam berbuat kebaikan, yaitu dahulukan untuk mencari kebahagiaan
akhirat yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada diri kita dengan tidak melupakan
bahagian dari kenikmatan duniawi. Adanya kondisi ini Allah SWT tidak melarang diri kita untuk merasakan kebahagiaan hidup
yang bersifat duniawi seperti rekreasi, berkumpul dan lain sebagainya sepanjang
tidak diharamkan oleh Allah SWT.
Allah SWT tidak berkehendak kepada diri kita untuk seluruh waktu yang kita miliki hanya untuk beribadah dan berbuat kebaikan semata. Kita juga diperbolehkan untuk merasakan kenikmatan duniawi sepanjang hal itu mampu menghantarkan diri kita untuk bisa melihat dan merasakan tanda tanda dari kebesaran dan kemahaan Allah SWT serta mampu menghantarkan diri kita bertambah beriman kepada Allah SWT. Dan jika sekarang kita telah merasakan betapa Allah SWT telah berbuat baik kepada diri kita maka sebagai wujud dari kita bersyukur kepada Allah SWT maka kita wajib berbuat baik kepada orang lain serta jangan pernah merusak apa apa yang telah diciptakan Allah SWT. Lalu yang terjadi adalah kita justru berbuat dan bertindak sesuai dengan kehendak syaitan sanglaknatullah seperti tidak mau berysukur atau justru berbuat kerusakan ini berarti kita sendiri yang mengundang kemarahan dan ketidaksukaan Allah SWT. Untuk itu jangan pernah salahkan Allah SWT ataupun orang lain jika kita sendiri merasakan keburukan (adzab) saat hidup di dunia ini karena ulah diri sendiri yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT. Ayo segera bertaubat dan segera memperbaiki diri sebelum semuanya terlambat.
Allah SWT selaku pencipta
dan pemilik langit dan bumi dan yang juga telah memerintahkan kita untuk selalu
berbuat kebaikan telah memiliki suatu rumusan atau perhitungan tertentu yang
kami istilahkan matematika Allah SWT. Ilmu matematika manusia dengan ilmu
matematika Allah SWT sangat berbeda. Hal ini sebagaimana termaktub di dalam
surat Al Baqarah (2) ayat 261 berikut ini: “perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha
Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.” Dan juga berdasarkan hadits yang kami
kemukakan berikut ini: “Abu Darda ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah
ta’ala berfirman: Apabila hambaKu berniat melakukan suatu kejahatan, maka
janganlah kamu catat sebelum ia melaksanakannya. Bila telah dilaksanakannya,
catatlah sebagai satu kejahatan. Akan tetapi bila ia berniat melakukan suatu
kebajikan namun tidak jadi dilaksanakannya, maka catatlah baginya satu
kebajikan. Bila ia melaksanakannya, maka catatlah untuknya sepuluh kebajikan. (Hadits
Qudsi Riwayat Bukhari, Muslim; 272: 23).
Jika ilmu matematika Allah SWT berbeda dengan ilmu matematika manusia, lalu ilmu matematika siapakah yang akan kita ikuti? Sebagai Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah Allah SWT di muka bumi maka kita harus menjadikan matematika (metode perhitungan) Allah SWT berlaku kepada diri kita saat ini juga dan seterusnya. Sekarang tergantung diri kita maukah kita berbuat kebaikan yang berlandaskan matematika Allah SWT?
Berikut ini akan kami kemukakan beberapa rumus matematika Allah SWT yang merupakan cerminan dari nilai nilai Islami yang berlaku, yaitu:
1. Rumus Angka 1. Angka 1 adalah sebuah angka yang sangat unik. Angka ini merupakan cikal bakal semua angka dalam matematika. Mari kita lihat, 0 = 1-1, 1 = 1+0, 2 = 1+1, 3 = 1+2, 4 = 1+3, 5 = 1+4, 6 = 1+5, 7 = 1+6, 8 = 1+7, 9 = 1+8. Angka ini terjadi begitu saja. Ia tidak berasal dari penjumlahan, pengurangan, perkalian ataupun pembagian angka berapa pun, namun angka 1 lah satu-satunya yang menciptakan semua angka. Angka satu sebenarnya adalah cerminan dari sifat Allah SWT. Allah SWT itu Esa, tunggal. Tidak berasal dari apa pun, tidak memiliki anak dan Dia tidak diperanakkan. Allah SWT tidak diciptakan oleh siapa pun, tetapi Allah SWT-lah pencipta segala sesuatu, pencipta langit dan bumi dan segala isinya. Dzat Allah SWT merupakan asal muasal dari segala sesuatu. Angka 1 sejatinya adalah salah satu perwakilan Allah SWT di alam semesta.
2. Rumus Perkalian Plus (+) dan Minus (-). Setidaknya ada 4 (empat) buah tanda dalam perhitungan matematika yang berhubungan dengan rezeki yang akan diberikan Allah SWT kepada setiap manusia. Berikut adalah 4 (empat) tanda dimaksud, yaitu:
a. Tanda tambah ( + ), apabila diri kita pandai bersyukur kepada Allah SWT maka Allah SWT akan menambah menambah rezeki kita.
b. Tanda kali ( x ), apabila kita membiasakan diri untuk berderma kepada sesama manusia maka Allah SWT akan memberikan balasan yang berlipat ganda sesuai dengan tingkat keikhlasan kita masing-masing, atau minimal balasannya setara dengan nilai yang telah didermakan.
c. Tanda tak hingga (~), apabila kita pandai bersyukur, gemar berderma kepada sesama dan bertakwa kepada Allah SWT maka kita akan mendapatkan balasan rezeki yang tak disangka-sangka / tak terduga yang waktu dan jumlahnya hanya Allah SWT yang menentukan karena Allah SWT Maha Tahu, Maha Adil dan Maha Bijaksana.
d. Tanda kurang ( - ), namun bagi orang-orang yang tidak pandai bersyukur, tidak suka berderma (berbagi/sedekah) atau bahkan pelit kepada sesama dan tidak bertakwa kepada Allah SWT serta gemar berbuat dosa (baik dosa kecil maupun besar), maka niscaya hidupnya akan terasa sangat sulit, kalaupun sukses dari segi materi namun mereka tidak akan mendapatkan ketenangan di dalam jiwa mereka. Karena hanya dengan mengingat Allah SWT dan beramal sholeh, jiwa kita akan terasa tenang dan damai.
Dari ke empat ‘tanda’
tersebut terdapat 4 (empat) pilihan, ‘tanda’ apa yang akan kita pilih
tentunya sangat tergantung kepada diri kita masing masing karena hidup itu adalah
pilihan. Selain dari pada itu, mari kita perhatikan rumus rumus yang kami
kemukakan di bawah ini :
a.
( + X – =
– ) maksudnya plus dikali minus sama dengan
minus.
b.
( – X + = – ) maksudnya minus dikali plus sama dengan
minus.
c.
(+ X + = +
) maksudnya plus dikali plus sama dengan plus.
d.
(– X – =
+ ) maksudnya
minus dikali minus sama dengan plus.
Dengan catatan: apabila (+) adalah benar atau kebenaran, sementara (-) adalah salah atau kesalahan, maka rumus yang kami kemukakan di atas bisa kita artikan sebagai berikut : (A). jika yang benar kita katakan salah, maka perbuatan kita menjadi salah; (B) jika yang salah kita katakan benar, maka perbuatan kita menjadi salah; (C) jika yang benar kita katakan benar, maka perbuatan kita menjadi benar; (D) jika yang salah kita katakan salah, maka perbuatan kita menjadi benar.
3.
Rumus Pembagian (Infaq dan Sedekah). Kita akan melihat rumus matematikanya:
p/h = H atau p/0 = oo, dengan catatan sebagai berikut: p = pemberian; h =
harapan; H = hasil; 0 = nol harapan; oo
= tidak terhingga. Sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha
Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. (surat Al Baqarah (2) ayat 261)
[166] Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Misalkan seseorang memberikan sedekah sebesar sejuta rupiah kepada kaum miskin dengan harapan yang berbeda beda, maka orang tersebut akan memperoleh balasan dari Allah SWT dengan jumlah yang berbeda beda pula. Hal ini dapat kami ilustrasikan sebagai berikut:
a.
Pemberian
Rp.1 juta/ harapan 500.000 = hasilnya 2;
b.
Pemberian
Rp.1 juta/ harapan 400.000 = hasilnya 2,5;
c.
Pemberian
Rp.1 juta/ harapan 300.000 = hasilnya 3,3 ;
d. Pemberian Rp.1 juta/ harapan 200.000 =
hasilnya 5 ;
e.
Pemberian
Rp.1 juta/ harapan 100.000 = hasilnya 10 ;
f.
Pemberian
Rp.1 juta/ harapan 50.000 = hasilnya 20
;
g.
Pemberian
Rp.1 juta/ harapan 10.000 = hasilnya 100
;
h. Pemberian Rp.1 juta/ harapan 0 = oo
Point yang terakhir ini (point
h) merupakan bukti yang tidak terbantahkan dari apa yang Allah SWT kemukakan
dalam surat Al Baqarah (2) ayat 261 di atas. Ini berarti pemberian yang ikhlas
kepada yang membutuhkan besar maupun kecil, sedikit atau banyak tanpa mengharap
imbalan apapun kecuali ridha Allah SWT akan mendatangkan balasan yang tidak
terhingga dari Allah SWT. Balasan tidak
terhingga itu bisa dalam bentuk apa saja, bisa berupa nominal uang, kesehatan
diri dan keluarga, anak yang shaleh dan shalehah, sahabat yang baik, tetangga
yang baik, keluarga besar yang saling mendukung dan mengasihi, kemudahan dari
setiap masalah yang kita hadapi, lingkungan kerja yang positif, kebahagiaan
bathin dan lain sebagainya. Ingat, uang bukanlah tolak ukur yang akan
diberikan Allah SWT kepada diri kita karena uang bukanlah segala galanya. Untuk
itu perhatikanlah apa yang kami kemukakan di bawah ini tentang apa apa yang
bisa dibeli oleh uang.
What Money Can Buy:
A Bed but not Sleep; Books but not
Brains; Food but not Appetite;
Finery but not Beauty; A House but not
Home; Medicine but not Health;
Luxuries but not Culture; Amusement
but not Happiness;
Religion but not Salvation; A Clock
but not Time; Position but not Resfect.
Selanjutnya, agar diri kita yang mengalami kesulitan atau belum siap menghadapi kehidupan di saat berada di persimpangan jalan karena faktor usia yang menjelang maghrib atau menjelang waktu isya. Berikut ini akan kami kemukakan beberapa indikator yang harus kita jadikan pedoman saat perjalanan hidup ini sudah menjelang menuju waktu Isya, yaitu:
a. Anda akan menjadi orang yang berhasil jika telah memiliki keimanan, harapan dan cinta. Anda akan menjadi seorang yang berhasil jika hidup yang dijalani bebas dari marah, bebas dari tamak, dari dosa, daru iri, atau pikiran pikiran negatif untuk menuntut balas, yang kesemuanya bertentangan dengan kehendak Allah SWT.
b. Anda akan menjadi orang yang berhasil jika berani untuk selalu jujur dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun serta bisa selalu berdamai dengan kehendak Allah SWT seperti melaksanakan perintah dan laranganNya dan juga dengan orang lain.
c. Anda akan menjadi orang yang berhasil jika melihat ke belakang dengan mata toleran, melihat ke depan dengan mata penuh harapan, melihat ke bawah dengan mata kasihan, dan melihat ke atas dengan mata syukur dan bangga.
d. Anda akan menjadi orang yang berhasil jika benar benar mengetahui kemampuan jasmani, intelektual dan ruhani Anda, serta menumbuhkembangkan dan menggunakannya untuk kepentingan orang lain.
e. Anda akan menjadi orang yang berhasil jika merasa semua tingkah laku Anda diawasi Sang Pencipta, sehingga melangkah di jalan ketaatan.
f. Anda akan menjadi seorang yang berhasil jika mampu mencapai kedewasaan yang membuat Anda lebih mendahulukan kewajiban daripada hak dan retribusi diri, sehingga mampu menjadikan diri kita bermanfaat bagi orang lain dengan mengusung tema kehidupan yang berbunyi “Kesalehan diri wajib tercermin dalam kesalehan sosial”.
g. Anda akan menjadi seorang yang berhasil ketika sadar bahwa kegagalan, keterpurukan, ketertinggalan, ketidakberdayaan, hanyalah sebuah insiden, bukan hal yang terus melekat pada diri seseorang. Anda akan menjadi orang yang berhasil ketika sadar bahwa hari kemarin sudah berakhir pada malam tadi, dan besok adalah hari yang benar benar baru.
h. Anda akan menjadi seorang yang berhasil ketika tahu bahwa kesuksesan tidak bisa mencetak Anda, dan kegagalan tidak bisa menghancurkan Anda.
i. Anda akan menjadi seorang yang berhasil jika tahu bahwa kegagalan dalam mempertahankan kebenaran adalah awal untuk menjadi korban kesalahan dan kriminal.
j. Anda akan menjadi seorang yang berhasil jika bisa mengubah rival dan musuh Anda menjadi sahabat. Andapun akan menjadi seorang yang sukses jika berhasil mendapatkan cinta dan penghormatan dari orang yang Anda kenal baik.
k. Anda akan menjadi seorang yang berhasil jika tahu bahwa orang lain mungkin bisa memberi kenikmatan kepada Anda, Tapi kebahagiaan besar hanya datang jika Anda melakukan sesuatu untuk orang lain.
l. Anda akan menjadi seorang yang berhasil jika memberi harapan kepada orang orang yang putus asa, memberi cinta kepada orang orang yang dibenci, memunculkan kegembiraan pada jiwa yang merasa menderita, berinteraksi dengan orang orang kasar secara luwes, dan menggauli orang orang yang membutuhkan dengan mulia.
m. Anda akan menjadi seorang yang berhasil jika
tahu bahwa orang orang besar adalah mereka yang memilih untuk melayani orang
lain. Tangan di atas atau tidak berat tangan untuk membantu orang lain.
Semoga kita berhasil baik
sebelum dan sesudah berada di persimpangan jalan yang selanjutnya mampu
menghantarkan diri kita ke syurga untuk bertemu Allah SWT secara langsung. Amiin.
E. SELALU MEMPERHATIKAN RAMBU RAMBU KEHIDUPAN.
Sebagai Abd’ (hamba) yang juga sekaligus khalifah di muka bumi, mari kita perhatikan dengan seksama hadits qudsi yang kami kemukakan berikut ini: “Utsman bin Affan ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Apabila usia hambaKu telah mencapai empat puluh tahun, Aku bebaskan ia dari tiga penyakit: Gila, Kusta dan Sopak (belang). Dan bila mencapai lima puluh tahun, Aku menghisabnya seringan ringannya. Bila mencapai enam puluh tahun, Aku gemarkan ia bertaubat. Bila mencapai usia tujuh puluh tahun, Aku jadikan Malaikat cinta kasih padanya. Dan bila mencapai delapan puluh tahun, Aku catat kebaikannya dan Aku hapuskan dosa dosanya. Dan bila mencapai sembilan puluh tahun, maka berkatalah Malaikat kepadanya: Tawanan Allah di atas bumi, dan diampunkan baginya dosa dosanya yang lalu dan yang akan datang, dan diberi hak syafa’at. Dan bila sampai pada usia yang terjelek (selemah lemahnya), maka Allah mencatat baginya pahala apa yang biasa dikerjakan di masa sehat kuatnya, dan bila berbuat dosa tidak dicatat atasnya. (Hadits Qudsi Riwayat Ath Thirmidzi; 272: 16)”. yaitu apabila seseorang telah mencapai usia enam puluh tahun, digemarkan oleh Allah untuk bertaubat. Adanya kondisi yang dikemukakan dalam hadits di atas berarti sunnatullah yang berlaku bagi seseorang yang telah mencapai usia enam puluh tahun seharusnya gemar bertaubat yang kemudian dipertegas jika sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun Malaikat cinta kasih kepadanya.
Dilain sisi, Rasulullah SAW bersabda: “Usia umatku berkisar antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun. Sedikit yang berhasil melewatinya. (Hadits Riwayat Ath Thirmidzi dan Ibnu Majah).” Siapa saja yang saat ini telah berusia 60 tahun sampai 70 tahun, namun memiliki tindak tanduk yang tidak disukai Allah, sementara ajalnya hanya tinggal sejengkal lagi, bahkan enggan untuk secara tulus bertekat bertaubat dan pasrah kepada Allah, maka demi Allah kapan lagi ia akan bertaubat?
Sekali lagi kami tegaskan bahwa pada umumnya orang yang telah berusia 60 tahun sampai 70 tahun, energi tubuhnya sudah berkurang, tekadnya sudah mengendur, maka sudah sepantasnya ia memasrahkan diri kepada Allah dan meminta kerelaan dihadapanNya, karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah SWT menjadikan usia enam puluh tahun sebagai puncak dari udzur seseorang. Karena usia itu sudah dekat dengan simpang maut seseorang. Usia kepasrahan, usia kekhusyu’an, usia penyerahan diri secara total kepada Allah, usaha menanti kematian dan menanti perjumpaan dengan Allah SWT.
Dan jika seseorang sudah mencapai usia enam puluh tahun, maka itu adalah usia di mana seseorang harus berfikir dan mengejar taufik dan hidayah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Faathir (35) ayat 37 berikut ini: “dan mereka berteriak di dalam neraka itu: "Ya Tuhan Kami, keluarkanlah Kami niscaya Kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah Kami kerjakan". dan Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.” Yakni bahwa pada usia tersebut, seharusnya seseorang mulai terpupuk cintanya kepada kepasrahan, yakni kembali kepada Allah SWT, karena usia itu merupakan sinyal menuju berakhirnya usia manusia pada umumnya.
Sesungguhnya puncak kedewasaan dan kekuatan seseorang terjadi pada usia empat puluh. Usia tersebut merupakan usia yang paling sempurna dan usia setelahnya akan senantiasa berkurang dan melemah. Jika seseorang telah mencapai usia enam puluh tahun, maka itu adalah usia perenungan dan tak lagi produktif. Jika seseorang sudah diberi usia panjang hingga enam puluh tahun, maka sudah saatnya untuk melakukan perenungan, karena empat puluh tahun adalah puncak optimalisasi energi tubuh. Kalau kita sudah lebih dari usia tersebut hingga enam puluh tahun berarti kita sudah melalui dua puluh tahun masa penurunan, yaitu setengah dari usia empat puluh yang merupakan puncak energi tubuhnya. Yang berarti kita sudah kehilangan setengah kekuatannya. Oleh sebab itu, seharusnya realitas itu menjadi pukulan bagi dirinya dan seyognyanya kita menciptakan sebuah kehormatan baru, dengan memasrahkan diri kepada Allah dalam hal yang diridhaiNya, yaitu perenungan. Karena kalau seseorang melakukan perenungan, pasti akan terilhami melakukan berbagai ketaatan. Ia hanya akan menjadi hina dina, bila usianya menjadi bencana. Dan agar di sisa usia yang kita miliki, atau kita tetap bisa beraktivitas yang bermanfaat bagi diri dan orang lain saat diri kita berada di persimpangan jalan, maka hal hal yang kami kemukakan di bawah ini harus sudah tidak kita lakukan lagi, yaitu:
1. Memperturutkan ahwa (hawa nafsu) dan terlalu banyak memuaskan diri dengan hal hal yang mubah, seperti terlalu banyak makan dan minum, tidur di siang hari, bergadang dan lain sebagainya.
2. Berteman dengan orang orang yang membuatnya tidak sempurna, karena kerjanya hanya mengingat dunia dengan segala kenikamatannya serta ikatannya yang semu belaka. Padahal Allah SWT memerintahkan dalam surat At Taubah (9) ayat 119 berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” untuk selalu berteman atau menemani orang orang yang benar.
3. Banyak bercanda dan berbicara dalam hal yang tidak berguna untuk akhirat, dan hanya untuk mencari popularitas, atau banyak menukil kisah dan berita berita duniawi yang sedikit manfaatnya, yang bisa menyesaki daya hafalnya sehingga sulit menghafal Al Qur’an dan Hadits.
4. Memberi persaksian terhadap setiap orang yang meminta, tanpa mengkonfirmasi atau menyelidikinya terlebih dahulu. Terkadang demi mendapatkan imbalan financial, ia terpaksa melakukan persaksian palsu atau mau menerima berita bohong yang dia bawa sampai mati.
5. Berdandan dan berpenampilan secara berlebihan, sampai pada tingkat terjerumus dalam hal yang diharamkan menurut syariat yang berlaku. Ingat, seseorang akan dibangkitkan sesuai dengan kondisi saat dia mati, Diriwayatkan oleh Muslim.
6. Banyak bepergian atau melakukan perjalanan yang tidak berguna, terlebih lebih bila menyentuh hal hal yang diharamkan, atau menyebabkan terjerumus pada yang haram.
7. Semakin khawatir dan gundah memikirkan urusan hidup, terutama setelah berkurangnya sumber sumber penghasilan karena faktor pensiun dan sejenisnya. Hendaknya ia menanamkan keyakinan sesuai dengan sabda Nabi SAW: “Seseorang tidak akan mati sebelum segala rezekinya terpenuhi” (hadits riwayat Ibnu Hibban).
Untuk mempertegas hal hal yang harus kita hindari saat dipersimpangan jalan, ada baiknya kita memperhatikan dengan seksama hadits yang kami kemukakan di bawah ini, agar kita waspada. Rasullullah SAW bersabda: Hati orang yang berusia lanjut akan tetap muda dalam dua hal, yakni cinta dunia dan berangan angan panjang. (Hadits Riwayat Bukhari).” serta berdasarkan hadits berikut ini: “Manusia menjadi tua, dan ada dua hal yang akan tetap muda ikut bersamanya, yakni kecintaan mencari harta dan hasrat memperpanjang usia. (Hadits Riwayat Muslim).” Berdasarkan dua buah hadits di atas ini, Nabi SAW telah memberikan peringatan dini kepada umatnya agar berhati hati saat berada di persimpangan jalan. Karena disatu sisi ada penurunan kemampuan phisik. Di lain sisi ada dua hal yang tetap muda di dalam diri seseorang yaitu kecintaan terhadap harta serta angan angan panjang. Kita harus pandai pandai mempergunakan sisa usia yang ada karena jika sampai salah mengambil tindakan dan perbuatan akan berakibat fatal untuk kepentingan kehidupan di akhirat kelak.
Jangan sampai hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Orang yang terbaik adalah orang yang panjang usianya dan bagus amal perbuatannya. (Hadits Riwayat Ath Thirmidzi).” hanya menjadi angan angan panjang kita setelah diri kita memiliki panjang usia. Anehnya atau bahkan sangat keterlaluan, masih saja ada orang yang sudah mencapai usia dipersimpangan jalan, namun tetap saja membandel. Padahal ancaman Allah SWT terhadap orang yang tidak mau bertaubat di usia usia rawan (menjelang kematian) sangatlah besar. Terutama sekali bagi orang yang diceritakan oleh Nabi Muhammad SAW kepada kita. Nabi SAW juga bersabda: “Allah tidak akan mengajak mereka berbicara di hari kiamat nanti, tidak akan menyucikan mereka, tidak akan memandang mereka, dan mereka pasti mendapatkan siksa yang pedih. Siapakah mereka? Yakni orang yang berusia lanjut yang berzina, raka uamh suka berdusta dan orang fakir yang sombong”. (Hadits Riwayat Muslim).” Lalu bagaimana dengan diri kita sendiri, yang saat ini pasti sedang menuju waktu Isya namun urutan dan antrian kita tidak pernah kita ketahui kapan sampainya. Apakah kondisi ini tidak bisa menyadarkan kita untuk bersiap siap menghadapi kematian!
Saat diri kita sudah berada dipersimpangan jalan perbanyaklah mengingat mati atau kematian. Hidup dan mati adalah ujian, ketika kita memiliki pemikiran hidup dan mati adalah ujian, selayaknya kita bersemangat untuk menghadapi ujian dimaksud. Setiap perubahan atau adanya sesuatu yang berubah adalah tidak abadi, begitu juga dengan ujian yang kita alami saat di dunia, tidak akan abadi, cuma sementara. Hisyam bin Al Hakam Ats Tsaqafi mengemukakan: “Ada lima hal yang dapat memperburuk citra seseorang, yakni gaya muda di masa tua, semangat meniru bacaan orang lain; kurang rasa malu padahal berkedudukan; pelit padahal banyak harta, dan selalu marah karena berkuasa.” Adanya kondisi ini akan memperburuk citra diri seseorang di saat berada dipersimpangan jalan maka yang dapat kita lakukan adalah sabar.
Berikut ini akan kami kemukakan beberapa kiat yang dapat kita lakukan yaitu : (1) Jadikan Hati Satu Tujuan yaitu Allah; (2) Jadikan Hati Selalu Tawadhu; (3) Membaca, Mempelajari “One Day One Ayat” dan juga “One Day One Hadits” lalu mengamalkannya; (4) Ridha atas ketetapan Allah SWT; serta (5) melaksanakan sunnah sunnah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Kelima hal yang kami kemukakan di atas, akan sangat mudah kita laksanakan jika saat dipersimpangan jalan kita sudah mampu melaksanakan hakekat dari beribadah tanpa melanggar syariat yang berlaku, ditambah kita telah mampu pula melaksanakan etos ala Zainuddin MZ yaitu mempergunakan senjata ampuh berupa “Allahumma paksa”.
Selain apa yang telah kami kemukakan di atas, berikut ini akan kami kemukakan beberapa kiat lainya yang harus kita laksanakan sebelum semuanya berakhir (sebelum kematian tiba kepada diri kita), yaitu:
1. Hargailah waktu karena ia tidak bisa diputar ulang. Apalagi kita telah sampai di persimpangan jalan. Waktu adalah representasi dari kesempatan hidup yang diberikan Allah SWT kepada diri kita. Waktu tidak pernah memandang diri kita siapa. Waktu adalah kesempatan yang tidak akan datang dua kali. Waktu tidak pernah menunggu diri kita untuk berbuat sesuatu. Akan tetapi di dalam waktu itulah kita diberi kesempatan untuk melakukan suatu perbuatan (dalam hal ini menanam tanpa menunai untuk menuju menuai tanpa menanam). Hal ini telah diperingatkan oleh Allah SWT melalui surat Al Hasyr (59) ayat 18 berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (surat Al Hasyr (59) ayat 18).” waktu yang sangat berharga adalah saat ini, karena waktu kemarin sudah berlalu dan tidak mungkin akan kembali lagi. Waktu yang akan datang tidak kita ketahui keberadaannya karena belum tentu kita sampai di waktu yang akan datang. Waspadalah terhadap setiap jam dan bagaimana ia berlalu, dan habiskanlah waktu itu dengan cara sebaik mungkin. Jangan mengabaikan dirimu sendiri, tetapi buatlah dirimu terbiasa dengan amalan yang paling mulia dan terbaik, dan kirimkan kekuburanmu sesuatu yang kelak akan menyenangkan kamu ketika tiba disana.(Ibnul Qayyum Al Jauziah)
2. Mampu melaksanakan ibadah yang bersifat Bathiniah. Alangkah nikmatnya beribadah di saat kita berada di persimpangan jalan jika ibadah yang kita laksanakan sudah berada di dalam wilayah ibadah yang bersifat bathiniah. Yang berarti kita sudah keluar dari wilayah ibadah yang bersifat ragawi atau ibadah yang bersifat menggugurkan kewajiban atau mencari pahala. Hal ini menunjukkan kita sudah mampu melaksanakan hakekat dari ibadah yang sesungguhnya yang tentunya tidak melanggar syariat. Jika hal ini terjadi pada diri kita, pada keluarga kita, pada anak keturunan kita maka kefitrahann ruhani tetap terjaga dari waktu ke waktu (konsep datang fitrah kembali fitrah mampu kita laksanakan) serta ibadah yang kita lakukan mampu menggarap hati ruhani kita sehingga keteguhan hati menjadi kuat; membuka kepekaan hati sehingga kesalehan diri mampu tercermin di dalam kesalehan sosial serta hilangnya sumber penyakit hati melalui ibadah jumroh yang kita laksanakan.
3. Banyak Berdoa. Banyak berdoa dengan doa doa yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi SAW yang sesuai dengan konteks usia tersebut. Nabi SAW bersabda: “Ya Allah, biarkanlah aku hidup kalau memang hidup itu lebih baik bagiku, dan cabutlah nyawaku kalau memang kematian itu lebih baik bagiku” (Hadits Riwayat Bukhari Muslim).” Selain itu masih ada hadits lainnya yaitu: “Ya Allah, berikanlah perluasan rezekiMu pada usia tuaku dan pada saat berakhirnya hidupku”. (Hadits Riwayat Al Hakim).” Karena seseorang tidak mengetahui, mana yang lebih baik bagi dirinya, apakah hidup ataukah apakah mati? Kita juga bisa berdoa.
4.
Banyak berdzikir dan Istighfar.Banyak berdzikir dan beristighfar atas
kekeliruan dan keteledorannya. Karena yang layak dilakukannya pada saat itu
adalah memohon ampun, menjalankan ketaatan dan berkonsentrasi secara penuh menghadapi akhirat.
5. Luangkan Waktu untuk belajar. Menambah pengetahuan ilmu agama untuk lebih mengenal apa apa yang dikehendaki Allah SWT, serta mengejar ketertinggalan selama ini. Karena siapa saja yang dikehendaki baik oleh Allah SWT, niscaya akan diberikan pengetahuan yang mendalam di bidang agama. Imam Al Ghazali pernah mengungkapkan, “Usia tua hanya menambah kebodohan bagi orang yang bodoh. Karena ilmu adalah buah kecerdasan, dan jumlahnya berlimpah, tidak akan terpengaruh oleh adanya uban di kepala.”
6. Memiliki Visi Akhirat. Mengkonsentrasikan hati dan cita citanya untuk mengejar visi akhirat yang telah dicanangkan dikarenakan sisa usia yang tersedia sangat sedikit. Aktivitas anak muda sudah tidak lagi relevan atau sesuai dengan kondisi dirinya. Hal ini bukan berarti ia harus meninggalkan dunia secara totalitas. Namun, ia harus berkonsentrasi untuk kepentingan akhirat karena tidak mungkin ia kembali menjadi bersemangat dan kuat seperti di masa muda. Engkau sudah demikian tua, apakah engkau berharap untuk tetap seperti dirimu di masa muda?Tubuhmu sendiri tidak akan menerima keinginanmu karena pakaian using tidak akan dapat disamakan dengan pakaian baru.
7. Mempersiapkan Wasiat. Menulis surat wasiat, yang isinya tentang apa apa yang menjadi hak dan kewajibannya, sedapat mungkin ada yang menyaksikannya.
8. Menyambung tali silaturrahmi. Memperbanyak menyambung tali silaturrahmi, untuk menggantikan sikap yang kurang baik terhadap kerabat di masa lampau. Juga berbuat baik kepada mereka. Karena bisa jadi perbuatan di penghujung hidupnya dapat menghapus keteledoran dan perbuatan buruk terhadap mereka di masa lalu.
9.
Mengupayakan perdamaian. Mengupayakan berdamai dengan orang
yang pernah disakitinya atau dicoreng kehormatannya dengan gunjingan, atau
diambil sebahagian hak finansialnya atau setidaknya hak haknya secara moril,
sebelum datang hari dimana harta dan anak tidak akan berguna lagi.
11. Memiliki Program Harian Pribadi. Menetapkan program harian untuk menambah dzikir dan ibadah, serta membudidayakan sisa usia yang ada, terutama sekali pada waktu waktu yang diutamakan, sehingga aktivitasnya tidak lari dari program tersebut, tapi kalau bisa justru menambahnya. Pada dasarnya hal ini, juga berlaku bagi setiap muslim, untuk segala usia. Namun orang orang yang sudah mencapai usia dipersimpangan jalan lebih ditekankan lagi. Berikut ini akan kami kemukakan contoh program harian dimaksud, yaitu:
a.
Bangun
beberapa saat sebelum fajar untuk dapat mendirikan shalat sebatas kemampuan,
setelah itu duduk di tempat shalatnya sambil berdzikir menunggu adzan, lalu
mendirikan shalat subuh (jika memungkin berjamaah). Usai shalat subuh, berdiam
diri sejenak sambil berdzikir hingga matahari terbit yang dilanjutkan dengan
shalat sunnah dua rakaat.
b.
Pergi
ke masjid sebelum adzan untuk membaca AlQuran dan melaksanakan shalat sunnah
Rawathib serta berusaha untuk dibarisan shaf terdepan.
c.
Melakukan
puasa sunnah senin dan kamis atau salah satunya saja setiap minggu.
d. Shalat dhuha semampunya.
e.
Jika
memiliki keahlian atau memiliki kemampuan untuk mengajar maka wakafkan waktu
seminggu sekali untuk mengajar kepada komunitas tertentu sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki. Tidak harus mengajar ilmu agama, tetapi ilmu apapun sepanjang
bermanfaat bagi orang lain, seperti motivasi, membuka usaha baru.
f.
Mengikuti
kajian kajian agama secara rutin baik yang dilakukan setelah shalat berjamaah
ataupun tidak.
g.
Menamatkan
bacaan AlQuran dengan membuat program pribadi, katakan setiap hari wajib
membaca 10 (sepuluh) ayat AlQuran yang diikuti dengan mempelajari
terjemahannya.
h. Bersedekah setiap hari dengan jumlah
tertentu. Kecil jumlahnya namun rutin kita lakukan.
i.
Dan
jika masih memungkinkan menjenguk orang sakit, turut serta menshalatkan jenazah
serta menghantarkan jenazah. Dan lain lain sebagainya.
Semoga dengan adanya rambu
rambu yang telah kami kemukakan di atas, mampu menjadikan diri kita fokus menjalani
hidup ini untuk menuju kehidupan akhirat yang pasti akan menjumpai diri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar