1. Belanjakanlah Hartamu Demi Ridha Allah. Sultan Mahmud adalah seorang raja yang alim,
shaleh, taat beribadah, namun wajahnya tidak terlalu tampan. Meski demikian
dirinya tidaklah terlalu mempermasalahkannya. Hanya saja masyarakat lebih
senang dengan raja yang berwajah tampan. Sehingga hal inilah yang terkadang
membuatnya risau.
Sultan Mahmud kemudian bertanya kepada seorang
wali di zamannya: “Wahai Waliyullah! Sebagaimana yang Anda ketahui bahwa
masyarakat jauh lebih menyukai seorang raja yang berwajah tampan. Padahal saya
bukanlah seorang yang seperti itu. Meski demikian saya ingin masyarakat juga mencintai saya. Untuk hal ini apakah
yang dapat Anda nasehatkan kepada saya?” Sang waliyullah itu berkata demikian:
“Jika engkau ingin rakyatmu mencintaimu maka belanjakanlah emasmu untuk
kebahagiaan dan kemakmuran tanpa sedikitpun engkau merasa khawatir”. Jika engkau ingin menjadi orang yang
berharga di hati orang dan sehingga menjadi berharga pula di sisi Allah SWT,
maka sukalah menjamu sesama. Namun hal ini bukanlah untuk maqam dan ketenaran,
melainkan lakukanlah semata mata untuk ridha Allah SWT. Sehingga salah satu
maqam yang paling agung di sisi Allah SWT akan menjadi milikmu.
2. Belum Datang Gilirannya. Suatu waktu Sultan Mahmud, salah satu sultan
dari bangsa Turki, bersama dengan para menteri dan komandannya berkunjung ke
Syekh Abu Hasan Harakani yang merupakan waliyullah dan alim ternama di masa
itu. Beberapa orang utusan kerajaan telah datang terlebih dahulu untuk memberi
tahu kalau sang sultan akan datang dan meminta Syekh untuk menyambut
kedatangannya.
Namun mendapati permintaan yang seperti itu
Syekh Harakani hanya tetap duduk terpaku tanpa sedikitpun mendengarkan apa yang
mereka katakan. Bahkan sampai sang sultan bersama para punggawa kerajaan datang
sampai ke kediamannya, Syekh Harakani masih tetap saja tidak bergerak dari
tempat duduknya. Karena itulah perdana menteri kerajaan mendekatinya dengan
berkata: “Wahai alim mulia! Setidaknya berkenanlah untuk menyambut kedatangan
sang sultan di depan pintu ruangan Anda!”.
Syekh Harakani tidak juga menerimanya. Sampai
sang perdana menteri kemudian berteriak kepadanya: “Wahai seorang yang
disegani! Tidakkah Anda pernah tahu jika Allah telah berfirman di dalam
kitabNya agar kita mentaati Allah, NabiNya dan Ulil AmriNya?” Setelah mendengar
perkataannya dalam suara yang keras itu, Syekh Harakani baru beranjak bangkit
untuk berkata: “Sedemikian aku hanyut ke dalam fase ‘taat kepada Allah’ seperti
disebutkan dalam ayat yang baru saja engkau bacakan, sehingga bahkan belum
sampai pada giliran untuk taat kepada NabiNya. Lalu bagaimana aku harus taat
kepada Ulil AmriNya..”
Cinta kepada Allah sungguh
sedemikian dahsyatnya, sehingga seseorang yang benar benar jatuh cinta
kepadaNya, meski secara wujud ia bersama sama dengan manusia, namun hatinya
sesaatpun tidak akan pernah berpisah dariNya. Betapa mulianya orang yang bisa
menapaki maqam ini.
3. Rendah Hati. Waliyullah
Ahmad Rufai suatu hari bertanya kepada para santrinya: “Adakah di antara kalian
yang mendapati aibku? Jika ada tolong sampaikan! Salah satu dari murid muridnya
ada yang berkata: “Saya mendapati sebuah aib Anda yang sangat besar”. Mendengar
pernyataan seorang santri itu, sang wali yang begitu rendah hati mau bertanya
kepada para santrinya tentang aibnya sendiri sama sekali tidak marah.
Ia tersenyum kemudian kembali berkata dengan
kerendahan hati dan kebahagiaan akan selamat dari kejelekannya: “Tolong
sampaikan wahai saudaraku!” Santrinya nampak berkaca kaca sebelum menarik nafas
panjang: “Aib Anda karena telah menerima orang orang seperti kami sebagai
santri Anda…”, jawab santri itu. Sehingga semua orang saling menangis
sesunggukan. Waliyullah Ahmad Rufai juga ikut menangis. Dengan sesunggukan ia
berkata: “Diriku hanyalah sebatas pembantu kalian; diriku adalah jauh lebih
rendah dari pada kalian”. Seorang yang
matang jiwanya bagaikan tanaman padi berisi yang sudah menua, ia akan selalu
tertunduk dalam baratnya bulir padi, sedangkan orang yang masih mentah jiwanya
akan tegak dengan keangkuhan. Terlebih para hamba kekasih Allah, pada mereka
tidak terdapat kesombongan barang sebercak pun. Sungguh semain orang tidak
memandang dirinya lebih tinggi, semakin ia rendah hati semakin pula ia mencapai
ketinggian dan kebesaran yang sejati.
4. Sebuah Musibah. Salah seorang komandan menghadap khalifah
Umar bin Khattab seusai mencapai kemenangan dalam suatu perang. Di sampingnya
ada seorang yang berpostur tidak begitu tinggi. Umar bin Khattab bertanya,
“Siapa ini?” Komandan itu menjawab, “Dia adalah tangan kananku. Tugas apapun
yang aku berikan kepadanya selalu dikerjakan dengan berhasil. Ia juga berhasil
mendapatkan informasi informasi yang paling rahasia sekalipun. Terkadang
keberhasilan yang dicapainya bisa setimpal dengan satu pasukan perang. Dan
kemenangan pertempuran kali ini juga karena dirinya”.
Setelah beberapa waktu berlalu. Sang komandan
kembali menghadap khalifah Umar bin Khattab. Hanya saja kali ini ia menghadap
dalam keadaan kalah perang. Sang Khalifah bertanya: “Dimana tangan kananmu yang
waktu itu?” “Duhai khalifah, sungguh sangat disesalkan, karena tangan kananku
yang waktu itu telah berkhianat dan berpindah ke pasukan musuh’. Khalifah Umar
bin Khattab kemudian berkata: “Sebenarnya pada waktu itu aku ingin menasehatkan
untuk sama sekali jangan bersandar kepada siapapun selain kepada Allah SWT.
Namun saya urung untuk mengatakannya. Biarlah satu musibah ribuan kali lipat
berharga dari pada nasehat.
Janganlah engkau bergantung
kepada manusia karena hanyalah Allah satu satunya pintu tempat engkau bersandar
dan menggantungkan harapan.
5. Mengedepankan Urutan. Sahabat Ali ra, telah menerangkan demikian:
Suatu hari baginda Rasulullah SAW sedang beristirahat, terbaring dengan kedua
kaki beliau diselimuti. Pada saat itulah Hasan minta air. Rasulullah SAW
langsung bangkit kemudian segera memerah air susu dari unta milik kami dengan
sebuah mangkuk untuk diberikan kepada Hasan.
Hanya saja pada saat itu Husen melihatnya sehingga ia juga bangun untuk
minta air susunya. Namun Rasulullah SAW menghalanginya serta memberikan susunya
kepada Hasan. Fatimah yang melihat kejadian itu berkata: Ya Rasulullah!
Sepertinya Anda lebih mencintai Hasan. Rasulullah SAW kemudian menjawabnya
dengan bersabda: “Bukan begitu. Sebab aku lebih mengedepankan Hasan adalah
karena dia yang lebih berhak untuk mendapatkannya. Karena dia yang lebih awal
minta air. Siapa yang lebih dulu minta harus dikedepankan. Karena di hari
Kiamat kelak baik aku, kamu, dua anak ini, dan juga Ali yang sedang berbaring
itu semuanya akan berada di medan yang sama”.
Tunaikanlah hak dan hukum
seseorang sehingga orang lain juga akan menghormati hukum atas dirimu.
6. Mencintai Yang Kecil, Menghormati Yang Besar. Abu Hurairah ra, telah menceritakan demikian:
Kami sedang bersama sama dengan Rasulullah SAW. Pada waktu itu baginda
Rasulullah SAW beberapa kali menciumi Hasan dan Husen. Seorang sahabat bernama
Uyayna yang terkejut dengan sikap Rasulullah SAW berkata: Ya Rasulullah! Aku
memiliki sepuluh anak. Namun sampai saat ini aku belum pernah mencium satu dari
mereka. Mendengar kata katanya ini Rasulullah SAW nampak wajahnya berubah
kemudian bersabda: Barangsiapa yang tidak menyayangi maka ia tidak layak untuk
disayangi. Jika Allah telah mencabut rahmatntya dari hati seseorang, maka kau
tidak bisa berbuat apa apa lagi kepadamu. Barangsiapa yang tidak menyayangi
yang kecil, tidak juga menghormati yang besar maka ia bukanlah dari kalangan
kita”.
Sepanjang manusia tidak menunjukkan
kasih sayang terhadap sesama makhluk, maka layakkah ia mengharapkan kasih
sayang dari Allah SWT?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar