Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Jumat, 28 Februari 2025

ADA APA DI BALIK PERINTAH MELAKSANAKAN PUASA DI BULAN RAMADHAN (PART 3 of 3)


H.   PUASA MENGAJARKAN SIKAP OPTIMISME.

 

Ibadah puasa yang kita laksanakan, apakah itu ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan ataupun ibadah puasa sunnah di luar bulan Ramadhan, keduanya mengajarkan kepada diri kita tentang optimisme bahwa waktu maghrib (waktu berbuka puasa) akan tiba. Adanya sebuah optimisme dalam diri akan menolong diri atau akan menjadikan diri kita menjadi pribadi pribadi yang tangguh menghadapi waktu, cobaan, ujian, serta tantangan dalam hidup dan kehidupan bahwa segala sesuatunya ada akhirnya, atau akan sampai kepada tujuan. Ingat, rasa optimis tidak datang begitu saja dalam diri seseorang. Rasa optimis hanya dimiliki atau hanya ada pada diri diri orang yang beriman sehingga hanya orang berimanlah yang akan merasakan pelajaran tentang optimisme kehidupan melalui ibadah puasa di bulan Ramadhan.

 

Ibn Mas’ud ra, berkata; Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Semua amal ibadah anak Adam untuk dirinya sendiri, kecuali puasa, maka itu untukKu,dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Dan bagi orang yang puasa dua kali kesenangan gembira ketika berbuka puasa dan gembira ketika menghadap kepada Tuhannya. Dan sesungguhnya bau mulut orang berpuasa disisi Allah lebih dari harum dari misik (kesturi). (Hadits Qudsi Riwayat Ath Thabrani, Ibn Annajjar dan Ibnu Asakir dari Abdullah bin Al Harits bin Naufal; 272:123)

 

Dan hal yang harus kita jadikan pelajaran adalah: Optimisme bahwa waktu maghrib akan tiba mengandung pelajaran bahwa waktu maghrib tidak pernah menunggu diri kita karena waktunya akan datang dengan sendirinya. Kita harus berusaha untuk mencapai sampai dengan waktu maghrib tiba maka barulah kita sampai kepada waktu maghrib untuk berbuka puasa. Dan jika ini keadaannya, maka segala hambatan, segala rintangan, segala ujian, segala tantangan, harus kita hadapi dengan sungguh sungguh lalu rasakanlah kenikmatan berbuka puasa yang begitu indah dan membahagiakan sebagaimana dikemukakan dalam hadits di atas ini. Jika yang terjadi adalah pesimis, akan terasa berat menunaikan puasa, akan terasa lama waktu berjalan, yang pada akhirnya rasa malas dan tertekan muncul yang mengakibatkan menurunkan kualitas beribadah.

 

I.      DARI PUASA YANG SAMA DAN DENGAN CARA YANG SAMA, KITA BISA MENGHASILKAN PUASA YANG BERBEDA.

 

Pernyataan di atas ini bukan sebuah isapan jempol, akan tetapi sebuah kenyataan yang tidak bisa kita bisa sembunyikan. Adanya rumus ini atau adanya hukum alam ini, menunjukkan kepada diri kita akan menghasilkan adanya perbedaan perbedaan yang paling mendasar antar satu orang dengan orang lainnya sehingga terlihatlah kualitas kualitas orang tersebut, akhirnya terlihatlah rangking kualitas diri manusia. Adapun yang membuat hasil akhir dari sesuatu pekerjaan, atau suatu ibadah, atau pelaksanaan perintah dan larangan Allah SWT bukan semata mata karena “bahan yang sama dan dengan cara yang sama” melainkan ada faktor lain yang tidak kentara yang mengakibatkan hasil akhirnya berbeda. Adapun faktor faktor yang memegang peranan sangat penting itu adalah:

 

1.   Adanya faktor kualitas keikhlasan seseorang di dalam melaksanakan pekerjaan, atau ibadah yang lainnya sangat menentukan pelaksanaan ataupun hasil akhir dari pelaksanaan ibadah.

2.    Adanya faktor kualitas niat yang melatarbelakangi seseorang untuk berbuat sesuatu, atau melaksanakan sesuatu atau melaksanakan ibadah tertentu.

3. Adanya faktor kualitas ilmu yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi kemampuan pemahaman seseorang terhadap sesuatu hal sehingga setiap orang akan melakukan sesuatu sesuai dengan pemahaman yang dimilikinya. Untuk itu hanya melalui belajarlah kita bisa meningkatkan ilmu yang kita miliki.

4. Adanya faktor kualitas pengamalan seseorang terhadap pemahaman yang dimilikinya menjadikan seseorang memiliki pengalaman dan juga peningkatan penghayatan  seseorang terhadap apa yang mereka kerjakan atau ibadah yang mereka laksanakan.

5.  Adanya faktor kualitas daya juang serta ketekunan/keseriusan seseorang untuk melakukan sesuatu pekerjaan atau suatu ibadah atau kesungguhan di dalam melaksanakan suatu pekerjaan atau suatu ibadah akan menjadi pembeda kualitas antar satu orang dengan orang lainnya yang pada akhirnya akan menghasilkan hasil akhir yang berbeda.

6.    Adanya faktor kualitas pengalaman di dalam melakukan suatu pekerjaan atau suatu ibadah juga akan sangat mempengaruhi hasil akhir dari suatu pekerjaan dikarenakan masing masing orang memiliki latar belakang kemampuan yang berbeda beda. Lalu dari sinilah lahir seni dan perasaan di dalam melaksanakan suatu pekerjaan, atau suatu ibadah.

 

Inilah enam hal yang merupakan persoalan yang paling hakiki yang dihadapi oleh setiap manusia karena dari sinilah asal muasal kenapa hasil dari suatu pekerjaan, atau hasil akhir dari suatu ibadah tidak menghasilkan sesuatu yang sama atau tidak sesuai dengan yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. 

 

Ayo segera lakukan perubahan terhadap enam hal yang kami kemukakan di atas, yang tidak hanya berlaku untuk melaksanakan puasa saja, melainkan juga untuk melaksanakan perintah yang telah diperintah oleh Allah SWT. Terkecuali jika kita hanya berniat saja tanpa ada tindakan seperti punguk rindukan bulan.

 

J.     BULAN RAMADHAN BULAN PERTAMA KALI ALQURAN DITURUNKAN.

 

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Mulia, Yang mengajar (manusia) dengan qalam (pena), Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (surat Al Alaq (96) ayat 1 sampai 5). Merupakan wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah SWT melalui perantaraan Malaikat Jibril as, kepada Nabi Muhammad SAW. Peristiwa ini terjadi pada waktu bulan Ramadhan di “Gua Hira” di pinggiran kota Makkah. Setelah turunnya wahyu yang pertama ini maka berubahlah status dari Muhammad bin Abdullah menjadi Muhammad seorang Nabi dan Rasul Allah SWT dikarenakan Beliau telah menerima risalah/wahyu yang berasal dari Allah SWT.

 

Adanya kenyataan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya AlQuran lalu kita rajin dan bersemangat mempelajari AlQuran. Jangan sampai hal ini terjadi pada diri kita. Mempelajari, memahami, mengamalkan, mengajarkan AlQuran jangan selalu dihubung hubungkan atau jangan pula selalu dikait kaitkan dengan bulan Ramadhan karena AlQuran adalah pedoman dan petunjuk yang kita butuhkan setiap saat, setiap waktu sepanjang hayat masih di kandung badan. Alangkah ruginya jika kita yang hanya rajin dan semangat mempelajari AlQuran hanya di bulan Ramadhan, lalu di luar bulan Ramadhan hilang arah dan tidak menentu mempelajari AlQuran, atau bahkan sama sekali lupa dengan AlQuran. Seolah olah AlQuran itu hanya mulia di bulan Ramadhan saja, lalu di luar bulan Ramadhan tidak! Inilah kesalahan yang sering terjadi di masyarakat kita.

 

Ayo kita konsisten di dalam mempelajari, memahami, mengamalkan isi dan kandungan AlQuran yang memang diperuntukkan untuk diri kita dan juga untuk anak keturunan kita dengan mempelajarinya sepanjang waktu. Jika bukan sekarang, kapan lagi. Ingat waktu tidak menunggu kita, namun waktu harus kita manfaatkan sebaik mungkin, sebelum kita tidak memiliki waktu lagi di muka bumi ini. Sekolah boleh saja tamat, namun belajar dan belajar harus terus kita laksanakan karena belajar tidak ada tamatnya. 

 

Sekarang mari kita bayangkan jika kita melaksanakan puasa melalui pendekatan skenario pertama yang menempatkan bulan Ramadhan sebagai bulan pelatihan lalu kita giat mempelajari, memahami dan mengamalkan AlQuran hanya di bulan Ramadhan. Namun pada saat pertandingan selama sebelas bulan kita abai dengan AlQuran sehingga saat bertanding melawan ahwa (hawa nafsu) dan syaitan tanpa ada adanya buku pedoman atau adanya buku petunjuk lalu bisakah kita memenangkan pertandingan?

 

Hal yang samapun terjadi jika kita melaksanakan puasa melalui pendekatan skenario kedua yang menempatkan bulan Ramadhan sebagai bulan pertandingan lalu kita giat mempelajari, memahami lalu mengamalkan AlQuran. Namun pada saat bulan pelatihan selama sebelas bulan kita abai dengan AlQuran sehingga latihan yang kita lakukan untuk melawan ahwa (hawa nafsu) dan syaitan tanpa adanya buku petunjuk atau pedoman lalu bisakah kita sukses latihan untuk menuju ke bulan pertandingan? Berdasarkan kondisi ini maka kita harus mempelajari, memahami dan mengamalkan serta mengajarkan AlQuran sepanjang tahun tanpa pernah berhenti karena diri kitalah yang  membutuhkan petunjuk dan pedoman yang ada di dalam AlQuran sepanjang hayat masih di kandung badan.

 

K.    KONSEP INPUT, PROSES DAN OUTPUT SEBAGAI RUMUS KEHIDUPAN.

 

Konsep Input, Proses dan Output adalah rumus kehidupan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT sehingga rumus ini juga bisa diterapkan dan sejalan saat diri kita melaksanakan perintah puasa yang telah diperintahkan Allah SWT melalui surat Al Baqarah (2) ayat 183, 184, 185. Agar kamu bertaqwa, agar kamu kembali fitrah, agar kamu sehat dan agar kamu berysukur, itulah output atau hasil akhir dari perintah puasa di bulan Ramadhan yang dikehendaki Allah SWT. Dan jika “taqwa, fitrah, sehat dan bersyukur” kita nyatakan sebagai ouput berarti ia tidak akan mungkin bisa dipisahkan dengan input dan juga proses pelaksanaan ibadah puasa. Lalu apa yang dimaksud dengan input? Input dapat diartikan sebagai kondisi dasar dari diri kita termasuk di dalamnya seberapa berkualitas ilmu dan pemahaman diri kita tentang puasa serta seberapa berkualitasnya keimanan dari diri kita selaku yang melaksanakan perintah.

Sedangkan proses adalah seberapa baik kita melaksanakan syariat atau kaifiyat dari melaksanakan puasa, apakah sebatas melaksanakan syariat tanpa hakekat, ataukah berusaha memperoleh dan merasakan hakekat tanpa melanggar syariat. Lalu jangan pernah berkhayal memperoleh “taqwa, fitrah, sehat dan bersyukur” jika input dan proses pelaksanaan puasa tidak kita laksanakan dengan baik dan benar. Dan jika hasil dari ibadah puasa hanya lapar, haus dan menahan syahwat semata, berarti puasa yang kita laksanakan tidak sesuai dengan konsep di atas serta ada sesuatu yang salah di dalam input maupun prosesnya. Inilah sebuah kepastian yang berasal dari rumus kehidupan yang berlaku di dunia ini.   

 

Jangan pernah hanya melihat output semata seperti kita melihat seseorang berhasil dalam kehidupannya tanpa pernah melihat input dan proses untuk menuju keberhasilan yang diraihnya. Seperti halnya orang yang berpuasa, jika kita melihat orang sanggup menjadikan dirinya menjadi orang bertaqwa, kembali fitrah, sehat jasmaninya serta mampu menjadi orang yang bersyukur. Jangan pernah iri kepada orangnya namun irilah dengan keimanannya, irilah dengan perjuanganya sehingga mampu memperoleh hasil akhir puasanya seperti yang dikehendaki Allah SWT. Lalu rubah dan tingkatkan keimanan kita serta tambahkan perjuangan kita maka kita pun bisa meraih apa yang diraih oleh orang lain.  

 

“Seandainya umatku mengetahui (semua keistimewaan) yang dikandung oleh Ramadhan, niscaya mereka mengharap seluruh bulan menjadi Ramadhan”. Inilah salah satu sabda Nabi Muhammad SAW tentang bulan Ramadhan. Apakah yang telah dikemukakan oleh Nabi Muhammad SAW ini hanya sekedar pemberitahuan ataukah memang kenyataannya seperti itu? Jawaban dari pertanyaan ini sangat tergantung kepada kualitas dari individunya terutama dari sisi keimanannya. Semakin beriman seseorang maka pernyataan di atas memang benar adanya. Namun apabila yang menjawab pertanyaan ini adalah orang Islam yang belum tentu beriman maka jawabannya adalah cukup bulan Ramadhan hanya sebulan saja karena berpuasa berat baginya. Jadi tidaklah salah jika Allah SWT mensyaratkan beriman bagi yang hendak berpuasa.

 

Sebagai informasi tambahan tentang bulan Ramadhan, berikut ini akan kami kemukakan beberapa hal tentang bulan Ramadhan itu yang mungkin terlupakan oleh banyak orang, yaitu: .

 

1. Bulan Ramadhan sering dikatakan sebagai tamu yang agung. Jika bulan Ramadhan dikatakan sebagai tamu yang agung berarti yang menjadi tuan rumah dari tamu agung itu adalah bukanlah Allah SWT selaku yang memerintahkan untuk berpuasa. Namun  yang menjadi tuan rumah bagi bulan Ramadhan yang mulia adalah orang orang yang beriman sebagaimana yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al Baqarah (2) ayat 183.

 

Sebagai orang yang telah diperintahkan untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan ketahuilah bahwa kemuliaan tamu yang datang mengunjungi kita sangat tergantung dengan kemuliaan tuan rumah. Sekarang sudahkah kita mampu menjadi tuan rumah yang baik dan benar lagi mulia saat bulan Ramadhan yang mulia datang kepada diri kita? Jangan sampai bulan Ramadhan yang tidak lain adalah tamu agung yang mulia tercoreng kemuliaannya oleh rendahnya pemahaman, keimanan dari diri kita sehingga tamu yang mulia tidak mampu menjadikan diri kita mulia pula laksana tamunya.

 

2. Bulan Ramadhan juga sering disebut sebagai bulan pendidikan terutama pendidikan tentang kejujuran. Adalah sesuatu yang biasa biasa saja jika kita tidak boleh melakukan perbuatan yang diharamkan. Namun akan menjadi yang sangat istimewa jika kita dilarang untuk melakukan sesuatu yang halal dalam kurun waktu tertentu. Disinilah letak pendidikan yang istimewa tersebut. Bayangkan kita dilarang untuk berbuat sesuatu padahal hal itu adalah halal seperti makan dan minum serta menyalurkan syahwat. Hal ini hanya bisa dilaksanakan dengan baik dan benar oleh orang yang beriman sehingga tidak salah jika yang diperintahkan untuk berpuasa adalah orang yang beriman.

 

3.       Ingat bulan Ramadhan maka kita harus ingat iklan “You C1000” yang berbunyi healthy inside fresh out side” yang bermakna puasa Ramadhan harus menjadikan ruhani kita kembali fitrah (healthy inside) serta memperoleh bonus sehat jasmani (fresh out side) melalui jasmani yang dipuasakan sedangkan ruhani tidak boleh dipuasakan sedetikpun. Ingat, yang berpuasa hanyalah jasmani sedangkan ruhani harus diberi makan sebanyak banyaknya melalui ibadah sunnah yang dinilai menjadi ibadah wajib dan ibadah wajib dilipatgandakan serta adanya ketentuan syaitan dibelenggu.

 

4. Ibadah Puasa di bulan Ramadhan mampu menjadikan diri kita sukses melaksanakan ibadah haji dan umroh. Hal ini dikarenakan bulan Ramadhan adalah bulan untuk melatih dan mendidik diri kita menjadi tuan rumah bagi tamunya yang mulia sehingga hanya tuan rumah yang mulia pulalah yang mampu memuliakan tamunya. Ingat, saat diri kita melaksanakan ibadah haji dan umroh berarti kita hanya merubah posisi diri kita dari menjadi tuan rumah bagi bulan Ramadhan menjadi tamu yang datang ke Baitullah karena tuan rumahnya adalah Allah SWT. Jika kita sudah dilatih oleh Allah SWT berkali kali menjadi tuan rumah bagi bulan Ramadhan yang hadir setiap tahunnya maka akan memudahkan diri kita saat menjadi tamu yang mulia di Baitullah saat melaksanakan ibadah haji dan umroh. Yang pada akhirnya kita mampu menjadi tamu tamu yang dibanggakan oleh Tuan Rumah saat melaksanakan ibadah haji dan umroh. Amien.

 

Jamaah sekalian, inilah sekelumit tentang apa apa yang terdapat di balik perintah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan yang telah diperintahkan oleh Allah SWT sebagaimana tertian dalam surat Al Baqarah (2) ayat 183, 184, 185. Lalu sudahkah kita mengetahui dan memahaminya dengan baik dan benar!

 

ADA APA DI BALIK PERINTAH MELAKSANAKAN PUASA DI BULAN RAMADHAN (PART 2 Of 3)

  

D.     ADAKAH HUBUNGAN BERPUASA DENGAN  MERASAKAN RASA LAPAR DAN HAUSNYA ORANG MISKIN?   

 

Untuk itu perhatikanlah ketentuan yang terdapat di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 183 yang hanya memerintahkan untuk melaksanakan kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan bagi orang yang beriman tanpa ada keterangan yang lainnya. Saat seseorang telah mengaku menjadi orang yang beriman, maka ia wajib melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT tanpa ada bantahan sedikitpun. Adanya ketentuan ini maka ibadah puasa yang kita laksanakan di bulan Ramadhan tidak ada hubungannya dengan lapar dan hausnya orang miskin sehingga kita turut merasakan hal itu saat diri kita berpuasa.

 

Selain daripada itu, masih  berdasarkan ketentuan surat Al Baqarah (2) ayat 183,  juga tidak diatur sama sekali tentang kondisi orang yang beriman itu, apakah harus kaya dan berkedudukan atau apakah harus miskin yang tidak berkedudukan untuk melakasanakan puasa di bulan Ramadhan. Sepanjang kita semua termasuk dalam kategori orang yang beriman, maka tanpa memandang status sosial orang yang beriman, tanpa memandang pangkat dan jabatan orang yang beriman, tanpa memandang kaya atau miskinnya orang yang beriman, tanpa memandang laki laki atau perempuan, tanpa memandang tua atau mudanya seseorang, maka orang beriman tersebut wajib melaksanakan puasa di bulan Ramadhan.

 

Jika sekarang ada orang yang miskin namun ia beriman, maka orang miskin itu pasti mampu untuk melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Hal ini dikarenakan faktor kemiskinan tidak ada hubungannya dengan faktor keimanan seseorang untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Justru dengan kemiskinan yang melekat ditambah faktor keimanan serta niat yang ikhlas maka ibadah puasa orang yang seperti ini nilainya sangat luar biasa dihadapan Allah SWT. Yang menjadi persoalan adalah sudah miskin lalu tidak memiliki keimanan dan tidak pula memiliki niat yang ikhlas maka orang yang seperti ini pasti tidak akan mampu berpuasa. Jika sampai ini yang terjadi pada diri kita maka jadilah diri kita menjadi orang miskin di dunia dan miskin pula di akhirat kelak dan pada akhirnya orang miskin yang seperti inilah menjual kemiskinannya itu kepada orang yang melaksanakan puasa. 

 

Sebagai orang yang melaksanakan puasa, ketahuilah bahwa lapar dan haus yang kita alami memiliki banyak manfaat yang menyertainya sepanjang orang yang berpuasa tersebut bukan karena adanya keterpaksaan. Dan inilah beberapa manfaat dari rasa lapar dan haus atau pengaruh positif dari mengurangi makan dan minum yang dilandasi keimanan dan niat yang ikhlas, yaitu:

 

1.       Dapat menerbitkan kesucian hati dan pikiran seseorang. Sedangkan banyak makan dan kekenyangan menimbulkan keadaan yang serupa dengan orang mabuk, berupa reaksi panca indera yang menurun, kekuatan menyerap pemahaman melemah, yang karena itu mengakibatkan buta hati. Rasa lapar dan haus dalam puasa dapat  menjadikan pikiran tajam (peka), memberikan kemudahan memahami realitas dan terjaga dalam kesadaran sehingga hati siap menerima ma’rifat.

 

2.       Timbulnya kerendahhatian, kemurahhatian dan pemantangan diri dari setiap hal yang menjauhkan dari Allah SWT sehingga seorang yang berpuasa bisa terbebas dari efek buruk pelanggaran batas dan penyembahan keliru terhadap Allah SWT seperti arogansi, egoisme, dan kesombongan. Melalui rasa lapar dan haus yang dilandasi keimanan, orang akan mampu membebaskan diri dari berbagai malapetaka kemanusiaan tersebut (penindasan, egoism dan kesombongan), sekaligus akan dapat menyiapkan dirinya untuk rendah hati, taatm dan tunduk dihadapan Allah SWT.

 

3.       Menurunkan intensitas gairah seksual dan motivasi motivasi lain yang mengajak manusia kepada dosa dan penyimpangan. Oleh sebab itu, dengan merasakan lapar, haus yang dilandasi keimanan dalam berpuasa itu kita akan mampu mengendalikan hasrat hasrat sensual, dan bisa membebaskan diri dari keterjebakan pada situasi yang membahayakan.

 

4.       Pengaruh dari mengurangi makan dan minum yang lainnya adalah mengurangi tidur. Kita mengetahui, banyak tidur merupakan salah satu faktor utama dalam penyianyiaan usia. Banyak tidur akan mengurangi kesempatan dan jumlah akurat usia sebagai sarana yang membantu manusia memenuhi urusan urusan akhirat. Dengan berpuasa kita bisa mengurangi tidur, sehingga memberikan kesempatan pada kita untuk mampu berjaga pada malam hari.

 

Untuk lebih mempertegas apa yang kami kemukakan di atas ini, berikut ini akan kami kemukakan hal hal yang terjadi pada tubuh manusia saat kita berpuasa baik di bulan Ramadhan, ataupun di luar bulan Ramadhan,  yang dilandasi dengan keimanan yang diikat dengan niat yang ikhlas, yaitu:

 

1.       Pencernaan akan berada dalam kondisi betul betul istirahat delapan jam setelah sahur, ketika seluruh makanan yang masuk sudah terserap sempurna oleh tubuh.

2.       Untuk energi, tubuh akan membakar cadangan glukosa yang tersimpan dalam hati dan otot tubuh.

3.       Ketika glukosa habis, tubuh mulai menggunakan simpanan lemak sebagai energi. Sejumlah glukosa kecil juga terbentuk oleh mekanisme lain di hati selama proses pembakaran lemak.

4.       Puasa dalam jangka lebih dari seminggu membuat protein luruh dari otot, umum terjadi dalam kondisi kelaparan. Tapi hal ini tidak terjadi pada puasa Ramadhan jika kita makan secara cukup saat berbuka puasa.

5.       Penggunaan energi dari cadangan lemak membantu menurunkan berat badan dan mereduksi tingkat kolesterol jahat. Penurunan berat badan membantu mengatasi diabetes dan mereduksi tekanan darah.

6.       Sahur dan berbuka puasa menggantikan energi yang tergerus selama puasa. Pada dua kesempatan ini terjadi transisi secara halus dari penggunaan bahan bakar tubuh dari lemak ke glukosa.

7.       Terjadi detoksifikasi besar besaran dalam tubuh, seiring peluruhan simpanan lemak menjadi energi.

8.       Setelah beberapa hari berpuasa, hormon endorphin dalam tubuh meningkat membuat kondisi mental menjadi bagus.

 

Masihkah kita tidak mempercayai perintah Allah SWT yang sangat berguna bagi diri kita ini? Lalu dengan berkedok kemiskinan atau berkedok memiliki penyakit seperti sakit maag lalu kita berusaha untuk tidak melaksanakan puasa? Semoga hal ini tidak terjadi pada diri kita, pada keluarga kita dan juga pada anak keturunan kita.

 

E.      PERINTAH PUASA BUKANLAH PERINTAH YANG BARU PERTAMA KALI DIBERLAKUKAN OLEH ALLAH SWT.

 

Perintah puasa yang diperintahkan di bulan Ramadhan kepada umat Nabi Muhammad SAW bisa dikatakan sebagai penyempurna dari ibadah puasa yang pernah berlaku sebelumnya atau bisa juga dikatakan sebagai kelanjutan dari perintah puasa yang juga pernah diperintahkan berlaku sebelumnya oleh Allah SWT kepada umat yang terdahulu sejak jaman Nabi Adam as, sampai dengan jaman Nabi Muhammad SAW. Namun yang berbeda antara puasa umat terdahulu dibandingkan dengan puasa umat Nabi Muhammad SAW terletak pada tata laksana (syariatnya) atau kaifiyat dari pelaksanaan puasanya. Namun esensi dari puasanya hampir sama yaitu menahan atau mengendalikan diri dari perbuatan buruk (hawa nafsu) yang sesuai dengan kehendak syaitan.

 

Puasa umat Nabi Muhammad SAW memiliki ketentuan tersendiri dibanding dengan puasa umat terdahulu, seperti:

 

1.       Lamanya berpuasa ditentukan yaitu selama sebulan yaitu hanya di bulan Ramadhan saja;

2.       Adanya perintah makan sahur;

3.       Adanya perintah menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan makan sahur;

4.       Adanya perubahan ketetapan dimana ibadah sunnah dinilai sebagai ibadah wajib serta ibadah wajib nilainya dilipatgandakan selama bulan Ramadhan;

5.       Adanya fasilitas shalat tarawih dan adanya malam seribu bulan serta;

6.       Dibelenggunya syaitan selama bulan Ramadhan.

 

Ingat, ketentuan puasa wajib di bulan Ramadhan ini akan terus berlaku sampai dengan hari kiamat tiba serta syariat yang mengatur tata laksana pelaksanaan puasa bagi umat Nabi Muhammad tidak akan ada perubahan lagi sehingga akan terus berlaku sampai dengan hari kiamat tiba.  

 

F.     BULAN RAMADHAN ADALAH BULAN YANG MEMILIKI 3 (TIGA) FASE.

 

Bulan Ramadhan adalah sebuah bulan yang di dalamnya terdapat sebuah kesempatan bagi diri kita untuk melakukan pembenahan dan perbaikan serta mengembalikan kefitrahan ruhani yang selama sebelas bulan telah mengalami tarik menarik dengan kekuatan ahwa (hawa nafsu) yang didukung oleh syaitan. Adanya tarik menarik antara jasmani dengan ruhani mengakibatkan ruhani terganggu kefitrahannya, atau ruhani mengalami kekotoran karena ulah ahwa (hawa nafsu) dan syaitan. Hal ini menjadi penting kita pahami karena ruh/ruhani diri kita awalnya adalah kondisi fitrah dan kembalinya harus fitrah pula. Lalu melalui sarana melaksanakan puasa di bulan Ramadhan inilah kita diberikan kesempatan oleh Allah SWT untuk mengembalikan kefitrahan tersebut. 

 

Untuk itu perhatikanlah dengan seksama tentang adanya perbedaan ketentuan di bulan Ramadhan yang berbeda dengan ketentuan di luar bulan Ramadhan. Di bulan Ramadhan ketentuan sunnah menjadi wajib sedangkan ketentuan wajib dilipatgandakan ditambah adanya 3 (tiga) fase saat bulan Ramadhan. “Sepuluh pertama di bulan Ramadhan adalah fase rahmat. Sepuluh kedua di bulan Ramadhan adalah fase ampunan. Sepuluh ke tiga di bulan Ramadhan adalah fase pembebasan dari api neraka.”

 

Jika sampai ketentuan ini tidak ada di bulan Ramadhan, mungkinkah dengan waktu sebulan kita mampu mengembalikan kefitrahan diri setelah selama sebelas bulan diganggu oleh ahwa (hawa nafsu) dan syaitan? Disinilah letak salah satu skenario untuk orang yang berpuasa di bulan Ramadhan, dimana dengan adanya ketentuan khusus yang berlaku hanya sebulan maka proses untuk mengembalikan kefitrahan diri menjadi lebih mudah karena adanya ketentuan khusus.

 

Sekarang coba bayangkan jika ketentuan di bulan Ramadhan sama dengan ketentuan di luar Ramadhan, lalu sanggupkah kita mengembalikan kefitrahan ruhani yang selama sebelas bulan telah diganggu oleh ahwa (hawa nafsu) dan syaitan? Sungguh berat dan bahkan menjadi tidak mungkin kita mampu mengembalikan kefitrahan ruhani dengan waktu sebulan setelah sebelas bulan terganggu akibat ulah ahwa (hawa nafsu) dan syaitan. Akan tetapi yang terjadi di tengah tengah masyarakat, adanya perbedaan ketentuan dimaknai dengan adanya pahala yang besar yang siap diberikan Allah SWT kepada orang yang berpuasa. Lalu apakah dengan pahala yang besar ini mampu mengembalikan kefitrahan ruhani? Rasanya mustahil di akal pahala mampu mengembalikan kefitrahan ruhani. Untuk itu kita harus memaknai perubahan ketentuan ini merupakan cara Allah SWT untuk mempercepat kembali fitrahnya diri kita serta menunjukkan Allah SWT begitu sayang kepada diri kita sepanjang kita mau melaksanakan perintahNya yang dilandasi keimanan dan niat yang ikhlas.

 

G.    BULAN RAMADHAN ADALAH BULAN DENGAN DUA SKENARIO.

 

Bulan Ramadhan bisa dimaknai sebagai: (1) bulan training atau bulan pemusatan latihan. Jika bulan Ramadhan kita maknai sebagai bulan pemusatan latihan untuk meningkatkan ketaqwaan, memperbaiki dan mengembalikan kefitrahan diri. Ini berarti bulan pertandingan yang sesungguhnya terjadi di sebelas bulan di luar bulan Ramadhan; (2) bulan pertandingan. Jika bulan Ramadhan kita maknai sebagai bulan pertandingan untuk bisa memperoleh ketaqwaan, kefitrahan dan menjadi orang yang bersyukur serta memperoleh malam seribu bulan. Ini berarti bulan latihannya ada sebelas bulan di luar bulan Ramadhan.

 

Adanya dua kondisi yang kami kemukakan di atas, maka akan ada konsekuensi yang berbeda yang harus siap kita hadapi. Untuk itu jangan sampai kita salah di dalam menempatkan diri. Jangan sampai kita hanya bersemangat dan menang saat latihan di bulan Ramadhan lalu hilang arah, hilang semangat dan gairah di saat pertandingan yang sesungguhnya yang terjadi di luar bulan Ramadhan,  yang pada akhirnya saat terjadi pertarungan (pertandingan) antara jasmani dengan ruhani terjadilah beberapa keadaan, yaitu, kadang menang kadang kalah, kadang menang dan menang, kadang kalah dan kalah dan seterusnya yang mengakibatkan kefitrahan diri kita mengalami naik turun, atau turun turun, naik naik dan seterusnya tanpa ada suatu yang kepastian. Dan pada saat bulan Ramadhan kita latihan kembali untuk menjadi pemenang.

 

Di lain sisi, jika kita menempatkan bulan Ramadhan sebagai bulan pertandingan berarti selama sebelas bulan kita melakukan pelatihan terus menerus untuk berusaha agar merpertahankan posisi kefitrahan diri kita tetap berada di dalam kategori jiwa taqwa, walaupun hasilnya kadang menang, kadang kalah, kadang kalah kadang menang selama sebelas bulan. Namun demikian adanya latihan yang panjang selama sebelas bulan, tentunya akan lebih memudahkan diri kita memasuki saat saat melakukan pertandingan selama sebulan di bulan Ramadhan. Adanya kondisi ini maka bulan Ramadhan dapat kita jadikan sebagai bulan bonus bagi kehidupan diri kita melalui ibadah sunnah menjadi wajib, ibadah wajib dilipatgandakan serta mampu meraih malam seribu bulan.

 

Sekarang dimanakah posisi kita, apakah yang menempatkan bulan Ramadhan sebagai bulan latihan, ataukah yang menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan pertandingan? Jawab dengan jujur pertanyaan ini karena dengan adanya kejujuran maka kita bisa menentukan langkah yang mana yang harus kita pilih karena keduanya memiliki konsekuensi yang berbeda. Dan jika saat ini, kita masih sering mengalami persoalan di dalam menjaga dan merawat kefitrahan diri selama sebelas bulan, ada baiknya kita menempatkan bulan Ramadhan sebagai bulan pemusatan latihan.

 

Dan setelah kita mampu menjadi pemenang saat pelatihan, maka berusahalah untuk terus mempertahankan hasil pemusatan latihan selama sebelas bulan. Lalu rubah strategi saat berjumpa dengan Ramadhan tahun berikutnya dengan menjadikan bulan Ramadhan menjadi bulan pertandingan. Lalu pertahankan posisi ini selama hayat masih di kandung badan. Ingat, hanya melalui pertandinganlah kita bisa merasakan arti dari suatu kemenangan yang sesungguhnya, yang pada akhirnya mampu menghantarkan diri kita menjadi pribadi pribadi yang bertaqwa, yang kembali fitrah, yang bersyukur dan yang mampu meraih malam seribu bulan.

 

Agar diri kita tidak hanya mampu menjadi pemenang hanya di bulan Ramadhan semata, namun bisa sepanjang tahun dalam kondisi menjadi pemenang (selalu dalam ketaqwaan, kefitrahan dan selalu bersyukur), ada baiknya kita merenungi apa yang dikemukakan oleh Imam Ja’far Shadiq berikut ini:

 

“Pelaku puasa (shaim) harus menganggap dirinya sebagai musafir akhirat, harus tetap dalam keadaan rendah hati, khawatir, tunduk, bak seorang hamba yang takut akan majikannya; harus takut kepada Allah; jiwanya harus tetap suci dari cacat dan kotoran maknawi, dan hatinya harus terbebas dari segala sesuatu selain Allah SWT. Ia harus mengorbankan seluruh keterikatan dan berniat semata mata untukNya. Ia harus menyucikan jiwanya dari segala bentuk persahabatan lain selain persahabatan dengan Allah; harus menundukkan mata dan jiwa kepadaNya; harus melakukan dzikir kepadaNya. Ia harus menggunakan tubuhnya di jalan Allah dan mesti menjauhkan diri, khususnya lidah, dari semua bentuk dosa dan maksiat. Barangsiapa yang melakukan tuntunan Allah secara benar, sesungguhnya (ia) telah menunaikan kewajiban kewajiban puasanya dengan benar, dan (sebaliknya) barangsiapa yang memperlihatkan ketidakpedulian untuk memenuhi kewajiban kewajiban itu (berarti) telah menyianyiakan puasanya dan tidak akan memperoleh ganjaran dan manfaat apa apa pada ruhaninya.” Semoga renungan ini mampu menjadikan diri kita menjadi orang orang yang bisa melaksanakan puasa sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.

ADA APA DI BALIK PERINTAH MELAKSANAKAN PUASA DI BULAN RAMADHAN (PART 1 OF 3)

 

Saat ini perintah melaksanakan puasa wajib di bulan Ramadhan (dan/atau melaksanakan Diinul Islam secara kaffah) sudah berlaku di muka bumi ini sampai dengan hari kiamat kelak. Sebagai orang yang sedang menumpang, atau orang yang sedang menjadi tamu, atau orang yang sedang menjadi khalifah di muka bumi, maka kita wajib melaksanakan perintah puasa ataupun perintah Allah SWT yang lainnya, yang tentunya harus sesuai dengan kehendak pemberi perintah. Hal ini penting kita ketahui karena hanya dengan memahami apa yang dikehendaki pemberi perintahlah maka kita bisa merasakan sesuatu yang hakiki yang terdapat dibalik perintah yang telah diperintahkannya.

 

Agar diri kita yang telah diperintahkan untuk melaksanakan ibadah puasa yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah, maka kita harus belajar atau kita harus memiliki ilmu tentang puasa (termasuk di dalamnya mempelajari Diinul Islam) dengan sebaik mungkin yang kesemuanya tentunya harus sesuai dengan kehendak Allah SWT sebagaimana dikemukakan oleh Allah SWT di akhir surat Al Baqarah (2) ayat 184 yang berbunyi “jika kamu mengetahui.”

 

Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari alam semesta ini, lebih menyukai dilaksanakan perintah-Nya daripada dijauhi larangan-Nya. Melaksanakan perintah-Nya berarti mematuhiNya dan menjauhi larangan-Nya berarti melengkapi kepatuhan dan ketaatan kepada-Nya. Melaksanakan perintah termasuk memelihara keimanan dan menjauhi larangan termasuk terganggunya keimanan dan kebutuhan. Sedang tidak melaksanakan perintah bersumber dari kesombongan dan pembangkangan. Jika sekarang perintah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan sudah berlaku, sudahkah kita siap melaksanakan perintah tersebut sesuai dengan kehendak Allah SWT selaku pemberi perintah?

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi kita harus siap melaksanakan apa apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dengan baik dan benar. Selanjutnya agar diri kita memiliki ilmu dan pemahaman yang sesuai dengan kehendak Allah SWT ada baiknya kami mempertegas kembali tentang perintah menunaikan ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan sebagaimana termaktub dalam surat Al Baqarah (2) ayat 183, 184, 185 berikut in:

 

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) AlQuran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir  (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

 

[114] Maksudnya memberi Makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari.

 

Berikut ini akan kami kemukakan beberapa hal yang mungkin luput dari perhatian diri kita, selaku yang diperintahkan untuk melaksanakan ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan. Padahal sangat penting kita ketahui dan pahami, yaitu:

 

A.     ADANYA MAKNA TERSEMBUNYI DI BALIK KATA “HAI ORANG ORANG YANG BERIMAN”. 

 

Ada sebuah rahasia yang indah yang terdapat di dalam AlQuran yang mengandung seruan kepada kaum mukminin untuk meningkatkan atau menyempurnakan keimanan dan ketaqwaan mereka. Hal ini akan terlihat tatkala Allah SWT berfirman kepada hamba hambaNya, “Wahai Orang orang yang beriman” yang bermakna dua hal, yaitu adanya perintah dan adanya larangan, yang maksudnya adalah wahai orang orang yang telah dianugerahi keimanan, maka tingkatkan atau sempurnakanlah keimanan dan ketaqwaan yang ada padamu dengan melaksanakan perintahNya, atau menjauhi laranganNya, sebegai sebuah konsekuensi dari keimanan ataupun syarat untuk penyempurnaannya.

 

Oleh karena itu, salah satu sahabat Nabi, yaitu Abdullah Ibnu Mas’ud ra’ pernah memberikan nasehat emas di dalam menyikapi ayat-ayat seruan keimanan: “Jika Anda mendengar Allah berfirman, “Wahai orang orang yang beriman”, maka persiapkan pendengaran Anda -maksud beliau dengarkanlah-, karena sesungguhnya ada kebaikan dibalik perintah, atau ada keburukan dibalik apa yang dilarang” (Tafsir ‘Al-Utsaimin: Al-Fatihah wal Baqarah: 1/337, Maktabah Syamilah).

 

Sebagai hamba dan khalifah Allah SWT di muka bumi sudahkah kita mengetahui bahwa di balik kata “hai orang orang yang beriman” terdapat dua makna yang tersembunyi! Hal ini penting kita ketahui sebelum diri kita mampu menjadi orang yang beriman atau sebelum kita melaksanakan perintah yang telah diperintahkan Allah SWT. Adapun dua hal yang tersembunyi di balik kata “hai orang orang yang beriman” dapat kami pertegas sebagai berikut:

 

1.       Adanya perintah, dimana di dalam setiap kata perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT di dalamnya selalu termaktub adanya Nilai-Nilai Kebaikan yang siap diberikan kepada orang yang mau melaksanakan perintah, dalam hal ini adalah puasa wajib di bulan Ramadhan, yaitu memperoleh ketaqwaan, kembali fitrah bagi ruhani dan juga memperoleh kesehatan jasmani serta menjadi orang yang bersyukur;

 

2.       Adanya larangan, dimana dalam setiap kata larangan yang telah dilarang oleh Allah SWT di dalamnya selalu termaktub adanya Nilai-Nilai Keburukan yang siap diberikan kepada orang yang tidak mau melaksanakan apa yang sudah diperintah sehingga bagi orang orang yang melanggar perintah akan mendapatkan keburukan berupa menjadi budak ahwa (hawa nafsu) dan menjadi budak syaitan yang pada akhirnya menjadikan jiwa kita menjadi jiwa fujur atau tidak fitrah lagi.

 

Adanya 2 (dua) buah makna yang tersembunyi di balik kata “hai orang orang yang beriman” menunjukkan, serta memperlihatkan bahwa Allah SWT mempersilahkan diri kita untuk menentukan sikap serta menunjukkan Allah SWT sangat demokratis kepada manusia yang pada akhirnya menunjukkan Allah SWT sangat toleran kepada pilihan  kita. Apakah mau melaksanakan perintah-Nya atau apakah mau melanggar apa yang telah diperintahkan-Nya.

 

Ingat, hidup adalah pilihan yang kita tentukan sendiri sehingga resiko dari pilihan menerima perintah atau melanggar perintah tanggung sendiri akibatnya. Allah SWT tidak akan rugi sedikitpun dengan pilihan kita, namun kitalah yang bahagia atau celaka akibat pilihan yang kita pilih. Semoga kita tidak salah langkah di dalam melaksanakan konsep bahwa hidup adalah pilihan.

 

B.      PUASA DI BULAN RAMADHAN ADALAH PERINTAH YANG BERSIFAT WAJIB.

 

Sebagai perintah yang bersifat wajib maka melaksanakan perintah puasa di bulan Ramadhan merupakan ibadah yang tidak bisa digantikan dengan mengqadha (mengganti) dengan puasa di waktu yang lain sepanjang kita tidak memiliki alasan alasan yang sesuai dengan syariat yang berlaku untuk meninggalkannya. Resikonya sangat luar biasa, sebagaimana hadits berikut ini: “Barangsiapa berbuka puasa tanpa rukshah atau alasan yang dibenarkan atau sakit, maka tidak dapat ditebus dengan berpuasa seumur hidup meskipun dia melakukannya. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim)

 

Ibadah puasa yang bersifat wajib di bulan Ramadhan tidak seperti ibadah shalat yang diiringi dengan ibadah shalat sunnah seperti adanya shalat sunnah Rawatib sebagai penyempurna bagi shalat wajib yang kita dirikan. Katakan, kita tidak maksimal melaksanakan ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan maka tidak ada ibadah puasa sunnah yang mengiringi puasa wajib dalam kerangka untuk menyempurnakan ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan yang kita laksanakan. Adapun yang bisa kita lakukan bukanlah melakukan puasa sunnah melainkan dengan melakukan banyak berdzikir dan berdoa, mendirikan shalat taraweh, mempelajari AlQuran, banyak memberi shadaqah, memberi takjil untuk yang berbuka puasa, memberi santunan kepada orang yang tidak mampu dan lain sebagainya yang sesuai dengan syariat yang berlaku.

 

Dengan catatan bahwa ibadah ibadah tambahan yang kita laksanakan di bulan Ramadhan baru akan dikatakan sebagai ibadah sunnah jika kita juga melaksanakan ibadah yang bersifat wajib terlebih dahulu. Selain daripada itu, ketahuilah bahwa ibadah tambahan yang bersifat sunnah tidak bisa menggantikan ibadah yang bersifat wajib. Untuk itu laksanakan terlebih dahulu ibadah yang bersifat wajib barulah kita melaksanakan ibadah tambahan yang bersifat sunnah dalam kerangka menyempurnakan ibadah wajib menjadi lebih sempurna. Akan menjadi sebuah kesiasiaan jika kita mendahulukan ibadah sunnah dengan mengabaikan atau melalaikan ibadah yang bersifat wajib dan jika sampai hal ini terjadi pada diri kita berarti kita termasuk orang yang telah memperturutkan ahwa (hawa nafsu).

 

C.     ADANYA KEKUATAN YANG BERASAL DARI KEIMANAN SEPANJANG  DIIKAT DENGAN NIAT YANG IKHLAS.

 

Untuk itu mari kita perhatikan tentang keadaan di bumi ini, dimana waktu antara satu tempat dengan tempat yang lainnya terdapat suatu perbedaan. Jika pada saat bulan Ramadhan terjadi musim panas di bumi belahan utara maka disana mengalami siang yang sangat panjang dibandingkan dengan bumi belahan selatan atau yang ada di khatulistiwa. Sewaktu musim panas di bumi belahan utara waktu siangnya bisa mencapai 19 jam sampai 20 jam sehari, sehingga waktu berbuka puasa bisa jam 10 atau jam 11 malam dan waktu subuh jam 3 pagi. Jika kita melihat lamanya waktu berpuasa di belahan bumi bagian utara saat musim panas, dapat dikatakan jasmani tidak akan mungkin mampu melaksanakan puasa selama itu.

 

Kenyataannya adalah orang orang yang ada di bumi belahan utara saat musim panas mampu berpuasa hingga 20 jam lamanya. Timbul pertanyaan, mampunya orang berpuasa selama 20 jam, apakah karena faktor jasmani orang yang tinggal disana lebih kuat ataukah adanya faktor lain yang membuat orang yang dibelahan bumi utara mampu melaksanakan puasa Ramadhan selama 20 jam? Jawaban dari pertanyaan ini adalah bukan karena faktor jasmani melainkan karena faktor keimanan yang diikat dengan niat yang ikhlas yang membuat seseorang mampu melaksanakan puasa dalam waktu yang cukup panjang. 

 

Hal yang harus kita jadikan pedoman tentang keimanan ini adalah keimanan jangan sampai dibiarkan sendirian melaksanakan tugasnya. Iman harus diikat atau disatukan dengan niat yang ikhlas hanya kepada Allah SWT semata maka barulah keimanan yang ada di dalam diri menjadi sempurna kekuatannya sehingga kita menghadapi tantangan, ujian, cobaan, perintah dan larangan yang berlaku bagi hidup dan kehidupan yang begitu dinamis. Akan tetapi jika sampai iman dibiarkan sendirian tanpa diikat dengan niat yang ikhlas maka kekuatan dari keimanan menjadi lemah sehingga gampang dipengaruhi oleh ahwa dan juga syaitan yang pada akhirnya kita tidak mampu melaksanakan apa apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT.

 

Disinilah letak kenapa yang diperintahkan untuk melaksanakan puasa adalah orang yang beriman karena hanya orang yang beriman inilah yang memiliki kekuatan, ketabahan, perjuangan, ketekunan untuk mempuasakan jasmaninya dalam kurang waktu tertentu. Kondisi ini sejalan dengan hadits yang kami kemukakan berikut ini: Nabi SAW bersabda: Orang yang beriman itu pandai, cerdik, waspada, hati-hati, teguh, pemberani, tidak tergesa-gesa, berilmu, dan sederhana dalam hidupnya.(Hadits Riwayat Ad Dailami). Ingat, mau tidaknya manusia melaksanakan puasa wajib di bulan Ramadhan tidak serta merta berhubungan dengan sehatnya jasmani seseorang, namun berhubungan erat dengan keimanan yang dilandasi niat yang ikhlas yang dimiliki seseorang.

 

Untuk itu perhatikanlah berapa banyak orang yang fisiknya sehat, atau jasmaninya sehat, namun tidak mampu melaksanakan puasa di bulan Ramadhan karena minimnya keimanan yang ada dalam dirinya serta niat yang ikhlas juga tidak tersedia. Jika ini yang terjadi maka sesuailah perintah Allah SWT yang tertuang dalam surat Al Baqarah (2) ayat 183 yaitu Allah SWT hanya mewajibkan orang yang beriman untuk berpuasa. Jika sekarang perintah untuk melaksanakan puasa di bulan Ramadhan hanya berlaku kepada orang yang beriman hal ini bukanlah isapan jempol belaka, melainkan sebuah keniscayaan yang memang benar terjadi. Jadi sudahkah kita beriman dan sudahkah kita memiliki niat yang ikhlas! Jika belum berarti ada yang salah di dalam diri kita dan ada syarat dan ketentuan yang belum kita penuhi jika kita hendak melaksanakan perintah melaksanakan puasa wajib di bulan Ramadhan.

 

Sekarang bisakah orang Islam yang belum tentu beriman dan belum tentu pula memiliki niat yang ikhlas mampu melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan baik dan benar? Jawabannya tentu saja bisa, namun akan sangat berbeda jika orang yang beriman yang didukung dengan niat yang ikhlas yang melaksanakan puasa. Untuk itu kita harus mampu meningkatkan keislaman kita terlebih dahulu sebelum melaksanakan perintah Allah SWT. Upayakan perubahan diri dari hanya beragama Islam yang belum tentu beriman dan yang belum tentu memiliki niat yang ikhlas menjadi orang yang beriman dan yang memiliki niat yang ikhlas. Disinilah letak perjuangan kita dan dari sini pula akan menghasilkan hasil yang berbeda pula.  

 

Ingat, keimaan dan niat yang ikhlas adanya di dalam hati, bukan dalam akal pikiran seseorang. Sehingga kualitas iman yang diikat dengan niat yang ikhlas seseorang tidak ditentukan dari tinggi rendahnya ilmu atau latar belakang pendidikan seseorang, melainkan dari keteguhan dan keberanian dalam membela serta mempertahankan agama yang diimaninya. Adapun wujud dan manifestasi iman yang diikat dengan niat  adalah perbuatan yang baik, sebagaimana hadits berikut ini: “Iman itu bukanlah angan angan kosong, tetapi merupakan keyakinan yang mantap yang terpatri dalam hati dan dibuktikan dengan sikap dan perbuatan nyata”. (Mutafaq’alaih)

 

Manifestasi iman yang lain adalah kecenderungan manusia untuk dekat dan selalu berharap kepada Allah SWT. Manusia yang enggan dekat dengan Allah, sombong, dan tidak mau memohon kepadaNya, hatinya menjadi kering, keras dan gersang. Semakin lama jiwanya semakin kerdil. Sebaliknya orang yang mengikhlaskan dirinya sebagai hamba Allah, menyembah, ingat, dan dekat kepadaNya sehingga hidupnya diterangi oleh cahaya iman, maka jiwanya akan kokoh dan damai hidupnya. Dalam menjalani kehidupan, setiap manusia tidak terlepas dari dua hal yang kontradiktif yaitu: kesenangan dan kesusahan, keberhasilan dan kegagalan. Orang yang beriman menghadapi dua hal yang kontradiktif itu secara dewasa dan berdasarkan akal sehat. Nabi SAW memuji umat Islam karena sikapnya yang demikian: “Memang menakjubkan keberadaan orang mukmin. Sesungguhnya segala persoalannya selalu baik dan hal itu tidak terjadi di luar orang mukmin. Sekiranya diuji dengan kesenangan, ia bersyukur dan itu lebih baik baginya. Sekiranya diuji dengan kesusahan, ia bersabar dan itu baik pula baginya”. (Hadits Riwayat Muslim dan Ahmad)

 

Orang yang tidak kuat iman dan mentalnya ketika dihadapkan pada kesenangan akan lupa diri, sombong dan angkuh seolah segala yang dimilikinya adalah hasil usahanya sendiri dan tidak ada campur tangan Tuhan. Sebaliknya jika musibah dan kesusahan yang menimpanya, ia berkeluh kesah, menyalahkan nasib dan bahkan Tuhan tak luput dari gugatannya. Sedangkan orang yang selalu ingat Allah dan mau memohon pertolongan kepadaNya digambarkan oleh Nabi SAW seperti orang yang hidup, sedang orang yang sombong, yang tidak mau ingat dan tidak mau memohon kepadaNya laksana orang yang sudah mati. Nabi SAW bersabda:  “Perumpamaan orang yang selalu mengingat Tuhannya dan orang yang tidak, bagaikan hidup dan mati.” (Hadits Riwayat Bukhari)

 

Pada bulan Ramadhan, umat Islam banyak mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah dan amal shaleh. Ini berarti mereka menjadikan diri dan jiwa mereka semakin hidup dan hati nuraninya semakin peka dalam membedakan mana yang benar dan mana yang salah, jiwanya semakinn kuat dan tabah menghadapi ujian, cobaan kehidupan. Mereka akan hidup dalam ketenangan dan kedamaian karena keimanan dan amal shaleh serta kehidupan yang tentram.