Saat ini perintah melaksanakan puasa wajib di bulan Ramadhan
(dan/atau melaksanakan Diinul Islam secara kaffah) sudah berlaku di muka bumi
ini sampai dengan hari kiamat kelak. Sebagai orang yang sedang menumpang, atau orang
yang sedang menjadi tamu, atau orang yang sedang menjadi khalifah di muka bumi,
maka kita wajib melaksanakan perintah puasa ataupun perintah Allah SWT yang
lainnya, yang tentunya harus sesuai dengan kehendak pemberi perintah. Hal ini
penting kita ketahui karena hanya dengan memahami apa yang dikehendaki pemberi
perintahlah maka kita bisa merasakan sesuatu yang hakiki yang terdapat dibalik
perintah yang telah diperintahkannya.
Agar diri kita yang telah diperintahkan
untuk melaksanakan ibadah puasa yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah,
maka kita harus belajar atau kita harus memiliki ilmu tentang puasa (termasuk
di dalamnya mempelajari Diinul Islam) dengan sebaik mungkin yang kesemuanya tentunya
harus sesuai dengan kehendak Allah SWT sebagaimana dikemukakan oleh Allah SWT
di akhir surat Al Baqarah (2) ayat 184 yang berbunyi “jika kamu mengetahui.”
Allah
SWT selaku pencipta dan pemilik dari alam semesta ini, lebih menyukai
dilaksanakan perintah-Nya daripada dijauhi larangan-Nya. Melaksanakan perintah-Nya
berarti mematuhiNya dan menjauhi larangan-Nya berarti melengkapi kepatuhan dan
ketaatan kepada-Nya. Melaksanakan perintah termasuk memelihara keimanan dan
menjauhi larangan termasuk terganggunya keimanan dan kebutuhan. Sedang tidak
melaksanakan perintah bersumber dari kesombongan dan pembangkangan. Jika
sekarang perintah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan sudah berlaku, sudahkah
kita siap melaksanakan perintah tersebut sesuai dengan kehendak Allah SWT
selaku pemberi perintah?
Sebagai
abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi kita harus siap
melaksanakan apa apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dengan baik dan
benar. Selanjutnya agar diri kita memiliki ilmu dan pemahaman yang sesuai
dengan kehendak Allah SWT ada baiknya kami mempertegas kembali tentang perintah
menunaikan ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan sebagaimana termaktub dalam
surat Al Baqarah (2) ayat 183, 184, 185 berikut in:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa
diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa
yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], Maka Itulah yang lebih
baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) AlQuran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
[114] Maksudnya
memberi Makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari.
Berikut ini akan kami
kemukakan beberapa hal yang mungkin luput dari perhatian diri kita, selaku yang
diperintahkan untuk melaksanakan ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan. Padahal
sangat penting kita ketahui dan pahami, yaitu:
A. ADANYA MAKNA TERSEMBUNYI DI BALIK KATA “HAI ORANG
ORANG YANG BERIMAN”.
Ada sebuah rahasia yang indah yang terdapat
di dalam AlQuran yang mengandung seruan kepada kaum mukminin untuk meningkatkan
atau menyempurnakan keimanan dan ketaqwaan mereka. Hal ini akan terlihat
tatkala Allah SWT berfirman kepada hamba hambaNya, “Wahai Orang orang yang beriman”
yang bermakna dua hal, yaitu adanya perintah dan adanya larangan, yang
maksudnya adalah wahai orang orang yang telah dianugerahi keimanan, maka
tingkatkan atau sempurnakanlah keimanan dan ketaqwaan yang ada padamu dengan
melaksanakan perintahNya, atau menjauhi laranganNya, sebegai sebuah konsekuensi
dari keimanan ataupun syarat untuk penyempurnaannya.
Oleh karena itu, salah satu sahabat Nabi,
yaitu Abdullah Ibnu Mas’ud ra’ pernah memberikan nasehat emas di dalam
menyikapi ayat-ayat seruan keimanan: “Jika Anda mendengar Allah berfirman, “Wahai
orang orang yang beriman”, maka persiapkan pendengaran Anda -maksud
beliau dengarkanlah-, karena sesungguhnya ada kebaikan dibalik perintah, atau ada
keburukan dibalik apa yang dilarang” (Tafsir ‘Al-Utsaimin: Al-Fatihah wal
Baqarah: 1/337, Maktabah Syamilah).
Sebagai hamba dan khalifah Allah SWT di muka bumi sudahkah kita
mengetahui bahwa di balik kata “hai orang orang yang beriman”
terdapat dua makna yang tersembunyi! Hal ini penting kita ketahui sebelum diri
kita mampu menjadi orang yang beriman atau sebelum kita melaksanakan perintah
yang telah diperintahkan Allah SWT. Adapun dua hal yang tersembunyi di balik
kata “hai orang orang yang beriman” dapat kami pertegas sebagai
berikut:
1.
Adanya
perintah,
dimana di dalam setiap kata perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT di
dalamnya selalu termaktub adanya Nilai-Nilai Kebaikan yang siap diberikan
kepada orang yang mau melaksanakan perintah, dalam hal ini adalah puasa wajib
di bulan Ramadhan, yaitu memperoleh ketaqwaan, kembali fitrah bagi ruhani dan
juga memperoleh kesehatan jasmani serta menjadi orang yang bersyukur;
2.
Adanya
larangan,
dimana dalam setiap kata larangan yang telah dilarang oleh Allah SWT di
dalamnya selalu termaktub adanya Nilai-Nilai Keburukan yang siap diberikan
kepada orang yang tidak mau melaksanakan apa yang sudah diperintah sehingga
bagi orang orang yang melanggar perintah akan mendapatkan keburukan berupa
menjadi budak ahwa (hawa nafsu) dan menjadi budak syaitan yang pada akhirnya
menjadikan jiwa kita menjadi jiwa fujur atau tidak fitrah lagi.
Adanya 2 (dua) buah makna
yang tersembunyi di balik kata “hai orang orang yang beriman”
menunjukkan, serta memperlihatkan bahwa Allah SWT mempersilahkan diri kita
untuk menentukan sikap serta menunjukkan Allah SWT sangat demokratis kepada
manusia yang pada akhirnya menunjukkan Allah SWT sangat toleran kepada pilihan kita. Apakah mau melaksanakan perintah-Nya
atau apakah mau melanggar apa yang telah diperintahkan-Nya.
Ingat, hidup adalah
pilihan yang kita tentukan sendiri sehingga resiko dari pilihan menerima
perintah atau melanggar perintah tanggung sendiri akibatnya. Allah SWT tidak
akan rugi sedikitpun dengan pilihan kita, namun kitalah yang bahagia atau
celaka akibat pilihan yang kita pilih. Semoga kita tidak salah langkah di dalam
melaksanakan konsep bahwa hidup adalah pilihan.
B. PUASA
DI BULAN RAMADHAN ADALAH PERINTAH YANG BERSIFAT WAJIB.
Sebagai
perintah yang bersifat wajib maka melaksanakan perintah puasa di bulan Ramadhan
merupakan ibadah yang tidak bisa digantikan dengan mengqadha (mengganti) dengan
puasa di waktu yang lain sepanjang kita tidak memiliki alasan alasan yang sesuai
dengan syariat yang berlaku untuk meninggalkannya. Resikonya sangat luar biasa,
sebagaimana hadits berikut ini: “Barangsiapa
berbuka puasa tanpa rukshah atau alasan yang dibenarkan atau sakit, maka tidak
dapat ditebus dengan berpuasa seumur hidup meskipun dia melakukannya. (Hadits
Riwayat Bukhari, Muslim)
Ibadah
puasa yang bersifat wajib di bulan Ramadhan tidak seperti ibadah shalat yang diiringi
dengan ibadah shalat sunnah seperti adanya shalat sunnah Rawatib sebagai
penyempurna bagi shalat wajib yang kita dirikan. Katakan, kita tidak maksimal
melaksanakan ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan maka tidak ada ibadah puasa
sunnah yang mengiringi puasa wajib dalam kerangka untuk menyempurnakan ibadah puasa
wajib di bulan Ramadhan yang kita laksanakan. Adapun yang bisa kita lakukan
bukanlah melakukan puasa sunnah melainkan dengan melakukan banyak berdzikir dan
berdoa, mendirikan shalat taraweh, mempelajari AlQuran, banyak memberi shadaqah,
memberi takjil untuk yang berbuka puasa, memberi santunan kepada orang yang
tidak mampu dan lain sebagainya yang sesuai dengan syariat yang berlaku.
Dengan
catatan bahwa ibadah ibadah tambahan yang kita laksanakan di bulan Ramadhan
baru akan dikatakan sebagai ibadah sunnah jika kita juga melaksanakan ibadah
yang bersifat wajib terlebih dahulu. Selain daripada itu, ketahuilah bahwa
ibadah tambahan yang bersifat sunnah tidak bisa menggantikan ibadah yang
bersifat wajib. Untuk itu laksanakan terlebih dahulu ibadah yang bersifat wajib
barulah kita melaksanakan ibadah tambahan yang bersifat sunnah dalam kerangka
menyempurnakan ibadah wajib menjadi lebih sempurna. Akan menjadi sebuah
kesiasiaan jika kita mendahulukan ibadah sunnah dengan mengabaikan atau
melalaikan ibadah yang bersifat wajib dan jika sampai hal ini terjadi pada diri
kita berarti kita termasuk orang yang telah memperturutkan ahwa (hawa nafsu).
C.
ADANYA
KEKUATAN YANG BERASAL DARI KEIMANAN SEPANJANG
DIIKAT DENGAN NIAT YANG IKHLAS.
Untuk itu mari kita perhatikan tentang keadaan di
bumi ini, dimana waktu antara satu tempat dengan tempat yang lainnya terdapat
suatu perbedaan. Jika pada saat bulan Ramadhan terjadi musim panas di bumi
belahan utara maka disana mengalami siang yang sangat panjang dibandingkan
dengan bumi belahan selatan atau yang ada di khatulistiwa. Sewaktu musim panas
di bumi belahan utara waktu siangnya bisa mencapai 19 jam sampai 20 jam sehari,
sehingga waktu berbuka puasa bisa jam 10 atau jam 11 malam dan waktu subuh jam 3
pagi. Jika kita melihat lamanya waktu berpuasa di belahan bumi bagian utara
saat musim panas, dapat dikatakan jasmani tidak akan mungkin mampu melaksanakan
puasa selama itu.
Kenyataannya adalah orang orang yang ada di bumi
belahan utara saat musim panas mampu berpuasa hingga 20 jam lamanya. Timbul
pertanyaan, mampunya orang berpuasa selama 20 jam, apakah karena faktor jasmani
orang yang tinggal disana lebih kuat ataukah adanya faktor lain yang membuat
orang yang dibelahan bumi utara mampu melaksanakan puasa Ramadhan selama 20
jam? Jawaban dari pertanyaan ini adalah bukan karena faktor jasmani melainkan
karena faktor keimanan yang diikat dengan niat yang ikhlas yang membuat
seseorang mampu melaksanakan puasa dalam waktu yang cukup panjang.
Hal yang harus kita jadikan pedoman tentang
keimanan ini adalah keimanan jangan sampai dibiarkan sendirian melaksanakan
tugasnya. Iman harus diikat atau disatukan dengan niat yang ikhlas hanya kepada
Allah SWT semata maka barulah keimanan yang ada di dalam diri menjadi sempurna
kekuatannya sehingga kita menghadapi tantangan, ujian, cobaan, perintah dan
larangan yang berlaku bagi hidup dan kehidupan yang begitu dinamis. Akan tetapi
jika sampai iman dibiarkan sendirian tanpa diikat dengan niat yang ikhlas maka
kekuatan dari keimanan menjadi lemah sehingga gampang dipengaruhi oleh ahwa dan
juga syaitan yang pada akhirnya kita tidak mampu melaksanakan apa apa yang
telah diperintahkan oleh Allah SWT.
Disinilah letak kenapa yang diperintahkan untuk
melaksanakan puasa adalah orang yang beriman karena hanya orang yang beriman
inilah yang memiliki kekuatan, ketabahan, perjuangan, ketekunan untuk
mempuasakan jasmaninya dalam kurang waktu tertentu. Kondisi ini sejalan dengan
hadits yang kami kemukakan berikut ini: Nabi SAW bersabda: “Orang yang beriman itu pandai, cerdik,
waspada, hati-hati, teguh, pemberani, tidak tergesa-gesa, berilmu, dan
sederhana dalam hidupnya.(Hadits Riwayat Ad Dailami). Ingat, mau tidaknya
manusia melaksanakan puasa wajib di bulan Ramadhan tidak serta merta
berhubungan dengan sehatnya jasmani seseorang, namun berhubungan erat dengan
keimanan yang dilandasi niat yang ikhlas yang dimiliki seseorang.
Untuk itu perhatikanlah berapa banyak orang yang
fisiknya sehat, atau jasmaninya sehat, namun tidak mampu melaksanakan puasa di
bulan Ramadhan karena minimnya keimanan yang ada dalam dirinya serta niat yang
ikhlas juga tidak tersedia. Jika ini yang terjadi maka sesuailah perintah Allah
SWT yang tertuang dalam surat Al Baqarah (2) ayat 183 yaitu Allah SWT hanya
mewajibkan orang yang beriman untuk berpuasa. Jika sekarang perintah untuk
melaksanakan puasa di bulan Ramadhan hanya berlaku kepada orang yang beriman
hal ini bukanlah isapan jempol belaka, melainkan sebuah keniscayaan yang memang
benar terjadi. Jadi sudahkah kita beriman dan sudahkah kita memiliki niat yang
ikhlas! Jika belum berarti ada yang salah di dalam diri kita dan ada syarat dan
ketentuan yang belum kita penuhi jika kita hendak melaksanakan perintah
melaksanakan puasa wajib di bulan Ramadhan.
Sekarang bisakah orang Islam yang belum tentu
beriman dan belum tentu pula memiliki niat yang ikhlas mampu melaksanakan
ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan baik dan benar? Jawabannya tentu saja
bisa, namun akan sangat berbeda jika orang yang beriman yang didukung dengan
niat yang ikhlas yang melaksanakan puasa. Untuk itu kita harus mampu
meningkatkan keislaman kita terlebih dahulu sebelum melaksanakan perintah Allah
SWT. Upayakan perubahan diri dari hanya beragama Islam yang belum tentu beriman
dan yang belum tentu memiliki niat yang ikhlas menjadi orang yang beriman dan
yang memiliki niat yang ikhlas. Disinilah letak perjuangan kita dan dari sini
pula akan menghasilkan hasil yang berbeda pula.
Ingat, keimaan dan niat yang ikhlas adanya di dalam
hati, bukan dalam akal pikiran seseorang. Sehingga kualitas iman yang diikat
dengan niat yang ikhlas seseorang tidak ditentukan dari tinggi rendahnya ilmu
atau latar belakang pendidikan seseorang, melainkan dari keteguhan dan
keberanian dalam membela serta mempertahankan agama yang diimaninya. Adapun
wujud dan manifestasi iman yang diikat dengan niat adalah perbuatan yang baik, sebagaimana hadits
berikut ini: “Iman itu bukanlah angan angan kosong, tetapi merupakan
keyakinan yang mantap yang terpatri dalam hati dan dibuktikan dengan sikap dan
perbuatan nyata”. (Mutafaq’alaih)
Manifestasi iman yang lain adalah kecenderungan
manusia untuk dekat dan selalu berharap kepada Allah SWT. Manusia yang enggan
dekat dengan Allah, sombong, dan tidak mau memohon kepadaNya, hatinya menjadi
kering, keras dan gersang. Semakin lama jiwanya semakin kerdil. Sebaliknya
orang yang mengikhlaskan dirinya sebagai hamba Allah, menyembah, ingat, dan
dekat kepadaNya sehingga hidupnya diterangi oleh cahaya iman, maka jiwanya akan
kokoh dan damai hidupnya. Dalam menjalani kehidupan, setiap manusia tidak
terlepas dari dua hal yang kontradiktif yaitu: kesenangan dan kesusahan,
keberhasilan dan kegagalan. Orang yang beriman menghadapi dua hal yang
kontradiktif itu secara dewasa dan berdasarkan akal sehat. Nabi SAW memuji umat
Islam karena sikapnya yang demikian: “Memang menakjubkan keberadaan orang
mukmin. Sesungguhnya segala persoalannya selalu baik dan hal itu tidak terjadi
di luar orang mukmin. Sekiranya diuji dengan kesenangan, ia bersyukur dan itu
lebih baik baginya. Sekiranya diuji dengan kesusahan, ia bersabar dan itu baik
pula baginya”. (Hadits Riwayat Muslim dan Ahmad)
Orang yang tidak kuat iman dan mentalnya ketika
dihadapkan pada kesenangan akan lupa diri, sombong dan angkuh seolah segala
yang dimilikinya adalah hasil usahanya sendiri dan tidak ada campur tangan
Tuhan. Sebaliknya jika musibah dan kesusahan yang menimpanya, ia berkeluh
kesah, menyalahkan nasib dan bahkan Tuhan tak luput dari gugatannya. Sedangkan
orang yang selalu ingat Allah dan mau memohon pertolongan kepadaNya digambarkan
oleh Nabi SAW seperti orang yang hidup, sedang orang yang sombong, yang tidak
mau ingat dan tidak mau memohon kepadaNya laksana orang yang sudah mati. Nabi
SAW bersabda: “Perumpamaan orang yang
selalu mengingat Tuhannya dan orang yang tidak, bagaikan hidup dan mati.” (Hadits
Riwayat Bukhari)
Pada bulan Ramadhan, umat Islam banyak mendekatkan
diri kepada Allah melalui ibadah dan amal shaleh. Ini berarti mereka menjadikan
diri dan jiwa mereka semakin hidup dan hati nuraninya semakin peka dalam
membedakan mana yang benar dan mana yang salah, jiwanya semakinn kuat dan tabah
menghadapi ujian, cobaan kehidupan. Mereka akan hidup dalam ketenangan dan
kedamaian karena keimanan dan amal shaleh serta kehidupan yang tentram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar