D. ADAKAH HUBUNGAN BERPUASA DENGAN MERASAKAN RASA LAPAR DAN HAUSNYA ORANG
MISKIN?
Untuk itu perhatikanlah ketentuan yang terdapat
di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 183 yang hanya memerintahkan untuk melaksanakan
kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan bagi orang yang beriman tanpa ada
keterangan yang lainnya. Saat seseorang telah mengaku menjadi orang yang
beriman, maka ia wajib melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT
tanpa ada bantahan sedikitpun. Adanya ketentuan ini maka ibadah puasa yang kita
laksanakan di bulan Ramadhan tidak ada hubungannya dengan lapar dan hausnya
orang miskin sehingga kita turut merasakan hal itu saat diri kita berpuasa.
Selain daripada itu, masih berdasarkan ketentuan surat Al Baqarah (2)
ayat 183, juga tidak diatur sama sekali
tentang kondisi orang yang beriman itu, apakah harus kaya dan berkedudukan atau
apakah harus miskin yang tidak berkedudukan untuk melakasanakan puasa di bulan
Ramadhan. Sepanjang kita semua termasuk dalam kategori orang yang beriman, maka
tanpa memandang status sosial orang yang beriman, tanpa memandang pangkat dan
jabatan orang yang beriman, tanpa memandang kaya atau miskinnya orang yang
beriman, tanpa memandang laki laki atau perempuan, tanpa memandang tua atau
mudanya seseorang, maka orang beriman tersebut wajib melaksanakan puasa di
bulan Ramadhan.
Jika sekarang ada orang yang miskin namun ia
beriman, maka orang miskin itu pasti mampu untuk melaksanakan puasa di bulan
Ramadhan. Hal ini dikarenakan faktor kemiskinan tidak ada hubungannya dengan
faktor keimanan seseorang untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Justru dengan kemiskinan yang melekat ditambah faktor keimanan serta niat yang
ikhlas maka ibadah puasa orang yang seperti ini nilainya sangat luar biasa
dihadapan Allah SWT. Yang menjadi persoalan adalah sudah miskin lalu tidak
memiliki keimanan dan tidak pula memiliki niat yang ikhlas maka orang yang
seperti ini pasti tidak akan mampu berpuasa. Jika sampai ini yang terjadi pada
diri kita maka jadilah diri kita menjadi orang miskin di dunia dan miskin pula
di akhirat kelak dan pada akhirnya orang miskin yang seperti inilah menjual
kemiskinannya itu kepada orang yang melaksanakan puasa.
Sebagai orang yang melaksanakan puasa, ketahuilah
bahwa lapar dan haus yang kita alami memiliki banyak manfaat yang menyertainya
sepanjang orang yang berpuasa tersebut bukan karena adanya keterpaksaan. Dan
inilah beberapa manfaat dari rasa lapar dan haus atau pengaruh positif dari
mengurangi makan dan minum yang dilandasi keimanan dan niat yang ikhlas, yaitu:
1.
Dapat menerbitkan
kesucian hati dan pikiran seseorang. Sedangkan banyak makan dan kekenyangan
menimbulkan keadaan yang serupa dengan orang mabuk, berupa reaksi panca indera
yang menurun, kekuatan menyerap pemahaman melemah, yang karena itu
mengakibatkan buta hati. Rasa lapar dan haus dalam puasa dapat menjadikan pikiran tajam (peka), memberikan
kemudahan memahami realitas dan terjaga dalam kesadaran sehingga hati siap
menerima ma’rifat.
2.
Timbulnya
kerendahhatian, kemurahhatian dan pemantangan diri dari setiap hal yang
menjauhkan dari Allah SWT sehingga seorang yang berpuasa bisa terbebas dari
efek buruk pelanggaran batas dan penyembahan keliru terhadap Allah SWT seperti
arogansi, egoisme, dan kesombongan. Melalui rasa lapar dan haus yang dilandasi
keimanan, orang akan mampu membebaskan diri dari berbagai malapetaka
kemanusiaan tersebut (penindasan, egoism dan kesombongan), sekaligus akan dapat
menyiapkan dirinya untuk rendah hati, taatm dan tunduk dihadapan Allah SWT.
3.
Menurunkan
intensitas gairah seksual dan motivasi motivasi lain yang mengajak manusia
kepada dosa dan penyimpangan. Oleh sebab itu, dengan merasakan lapar, haus yang
dilandasi keimanan dalam berpuasa itu kita akan mampu mengendalikan hasrat
hasrat sensual, dan bisa membebaskan diri dari keterjebakan pada situasi yang
membahayakan.
4.
Pengaruh dari
mengurangi makan dan minum yang lainnya adalah mengurangi tidur. Kita
mengetahui, banyak tidur merupakan salah satu faktor utama dalam penyianyiaan
usia. Banyak tidur akan mengurangi kesempatan dan jumlah akurat usia sebagai
sarana yang membantu manusia memenuhi urusan urusan akhirat. Dengan berpuasa
kita bisa mengurangi tidur, sehingga memberikan kesempatan pada kita untuk
mampu berjaga pada malam hari.
Untuk
lebih mempertegas apa yang kami kemukakan di atas ini, berikut ini akan kami
kemukakan hal hal yang terjadi pada tubuh manusia saat kita berpuasa baik di
bulan Ramadhan, ataupun di luar bulan Ramadhan,
yang dilandasi dengan keimanan yang diikat dengan niat yang ikhlas,
yaitu:
1.
Pencernaan akan
berada dalam kondisi betul betul istirahat delapan jam setelah sahur, ketika
seluruh makanan yang masuk sudah terserap sempurna oleh tubuh.
2.
Untuk energi, tubuh
akan membakar cadangan glukosa yang tersimpan dalam hati dan otot tubuh.
3.
Ketika glukosa
habis, tubuh mulai menggunakan simpanan lemak sebagai energi. Sejumlah glukosa
kecil juga terbentuk oleh mekanisme lain di hati selama proses pembakaran
lemak.
4.
Puasa dalam jangka
lebih dari seminggu membuat protein luruh dari otot, umum terjadi dalam kondisi
kelaparan. Tapi hal ini tidak terjadi pada puasa Ramadhan jika kita makan
secara cukup saat berbuka puasa.
5.
Penggunaan energi
dari cadangan lemak membantu menurunkan berat badan dan mereduksi tingkat
kolesterol jahat. Penurunan berat badan membantu mengatasi diabetes dan
mereduksi tekanan darah.
6.
Sahur dan berbuka
puasa menggantikan energi yang tergerus selama puasa. Pada dua kesempatan ini
terjadi transisi secara halus dari penggunaan bahan bakar tubuh dari lemak ke
glukosa.
7.
Terjadi
detoksifikasi besar besaran dalam tubuh, seiring peluruhan simpanan lemak
menjadi energi.
8.
Setelah beberapa
hari berpuasa, hormon endorphin dalam tubuh meningkat membuat kondisi mental
menjadi bagus.
Masihkah
kita tidak mempercayai perintah Allah SWT yang sangat berguna bagi diri kita
ini? Lalu dengan berkedok kemiskinan atau berkedok memiliki penyakit seperti
sakit maag lalu kita berusaha untuk tidak melaksanakan puasa? Semoga hal ini
tidak terjadi pada diri kita, pada keluarga kita dan juga pada anak keturunan
kita.
E. PERINTAH
PUASA BUKANLAH PERINTAH YANG BARU PERTAMA KALI DIBERLAKUKAN OLEH ALLAH SWT.
Perintah
puasa yang diperintahkan di bulan Ramadhan kepada umat Nabi Muhammad SAW bisa
dikatakan sebagai penyempurna dari ibadah puasa yang pernah berlaku sebelumnya atau
bisa juga dikatakan sebagai kelanjutan dari perintah puasa yang juga pernah
diperintahkan berlaku sebelumnya oleh Allah SWT kepada umat yang terdahulu
sejak jaman Nabi Adam as, sampai dengan jaman Nabi Muhammad SAW. Namun yang
berbeda antara puasa umat terdahulu dibandingkan dengan puasa umat Nabi
Muhammad SAW terletak pada tata laksana (syariatnya) atau kaifiyat dari pelaksanaan
puasanya. Namun esensi dari puasanya hampir sama yaitu menahan atau
mengendalikan diri dari perbuatan buruk (hawa nafsu) yang sesuai dengan
kehendak syaitan.
Puasa
umat Nabi Muhammad SAW memiliki ketentuan tersendiri dibanding dengan puasa
umat terdahulu, seperti:
1.
Lamanya berpuasa
ditentukan yaitu selama sebulan yaitu hanya di bulan Ramadhan saja;
2.
Adanya perintah
makan sahur;
3.
Adanya perintah
menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan makan sahur;
4.
Adanya perubahan
ketetapan dimana ibadah sunnah dinilai sebagai ibadah wajib serta ibadah wajib
nilainya dilipatgandakan selama bulan Ramadhan;
5.
Adanya fasilitas
shalat tarawih dan adanya malam seribu bulan serta;
6.
Dibelenggunya
syaitan selama bulan Ramadhan.
Ingat,
ketentuan puasa wajib di bulan Ramadhan ini akan terus berlaku sampai dengan
hari kiamat tiba serta syariat yang mengatur tata laksana pelaksanaan puasa
bagi umat Nabi Muhammad tidak akan ada perubahan lagi sehingga akan terus
berlaku sampai dengan hari kiamat tiba.
F. BULAN
RAMADHAN ADALAH BULAN YANG MEMILIKI 3 (TIGA) FASE.
Bulan
Ramadhan adalah sebuah bulan yang di dalamnya terdapat sebuah kesempatan bagi
diri kita untuk melakukan pembenahan dan perbaikan serta mengembalikan
kefitrahan ruhani yang selama sebelas bulan telah mengalami tarik menarik
dengan kekuatan ahwa (hawa nafsu) yang didukung oleh syaitan. Adanya tarik
menarik antara jasmani dengan ruhani mengakibatkan ruhani terganggu
kefitrahannya, atau ruhani mengalami kekotoran karena ulah ahwa (hawa nafsu)
dan syaitan. Hal ini menjadi penting
kita pahami karena ruh/ruhani diri kita awalnya adalah kondisi fitrah dan
kembalinya harus fitrah pula. Lalu melalui sarana melaksanakan puasa di bulan
Ramadhan inilah kita diberikan kesempatan oleh Allah SWT untuk mengembalikan
kefitrahan tersebut.
Untuk
itu perhatikanlah dengan seksama tentang adanya perbedaan ketentuan di bulan
Ramadhan yang berbeda dengan ketentuan di luar bulan Ramadhan. Di bulan
Ramadhan ketentuan sunnah menjadi wajib sedangkan ketentuan wajib
dilipatgandakan ditambah adanya 3 (tiga) fase saat bulan Ramadhan. “Sepuluh pertama di bulan Ramadhan adalah
fase rahmat. Sepuluh kedua di bulan Ramadhan adalah fase ampunan. Sepuluh ke
tiga di bulan Ramadhan adalah fase pembebasan dari api neraka.”
Jika
sampai ketentuan ini tidak ada di bulan Ramadhan, mungkinkah dengan waktu
sebulan kita mampu mengembalikan kefitrahan diri setelah selama sebelas bulan
diganggu oleh ahwa (hawa nafsu) dan syaitan? Disinilah letak salah satu
skenario untuk orang yang berpuasa di bulan Ramadhan, dimana dengan adanya
ketentuan khusus yang berlaku hanya sebulan maka proses untuk mengembalikan
kefitrahan diri menjadi lebih mudah karena adanya ketentuan khusus.
Sekarang
coba bayangkan jika ketentuan di bulan Ramadhan sama dengan ketentuan di luar
Ramadhan, lalu sanggupkah kita mengembalikan kefitrahan ruhani yang selama
sebelas bulan telah diganggu oleh ahwa (hawa nafsu) dan syaitan? Sungguh berat
dan bahkan menjadi tidak mungkin kita mampu mengembalikan kefitrahan ruhani
dengan waktu sebulan setelah sebelas bulan terganggu akibat ulah ahwa (hawa
nafsu) dan syaitan. Akan tetapi yang terjadi di tengah tengah masyarakat,
adanya perbedaan ketentuan dimaknai dengan adanya pahala yang besar yang siap
diberikan Allah SWT kepada orang yang berpuasa. Lalu apakah dengan pahala yang
besar ini mampu mengembalikan kefitrahan ruhani? Rasanya mustahil di akal
pahala mampu mengembalikan kefitrahan ruhani. Untuk itu kita harus memaknai
perubahan ketentuan ini merupakan cara Allah SWT untuk mempercepat kembali
fitrahnya diri kita serta menunjukkan Allah SWT begitu sayang kepada diri kita
sepanjang kita mau melaksanakan perintahNya yang dilandasi keimanan dan niat
yang ikhlas.
G. BULAN
RAMADHAN ADALAH BULAN DENGAN DUA SKENARIO.
Bulan
Ramadhan bisa dimaknai sebagai: (1) bulan
training atau bulan pemusatan latihan. Jika bulan Ramadhan kita maknai
sebagai bulan pemusatan latihan untuk meningkatkan ketaqwaan, memperbaiki dan
mengembalikan kefitrahan diri. Ini berarti bulan pertandingan yang sesungguhnya
terjadi di sebelas bulan di luar bulan Ramadhan; (2) bulan pertandingan. Jika bulan Ramadhan kita maknai sebagai
bulan pertandingan untuk bisa memperoleh ketaqwaan, kefitrahan dan menjadi
orang yang bersyukur serta memperoleh malam seribu bulan. Ini berarti bulan
latihannya ada sebelas bulan di luar bulan Ramadhan.
Adanya
dua kondisi yang kami kemukakan di atas, maka akan ada konsekuensi yang berbeda
yang harus siap kita hadapi. Untuk itu jangan sampai kita salah di dalam
menempatkan diri. Jangan sampai kita hanya bersemangat dan menang saat latihan
di bulan Ramadhan lalu hilang arah, hilang semangat dan gairah di saat
pertandingan yang sesungguhnya yang terjadi di luar bulan Ramadhan, yang pada akhirnya saat terjadi pertarungan
(pertandingan) antara jasmani dengan ruhani terjadilah beberapa keadaan, yaitu,
kadang menang kadang kalah, kadang menang dan menang, kadang kalah dan kalah
dan seterusnya yang mengakibatkan kefitrahan diri kita mengalami naik turun,
atau turun turun, naik naik dan seterusnya tanpa ada suatu yang kepastian. Dan
pada saat bulan Ramadhan kita latihan kembali untuk menjadi pemenang.
Di
lain sisi, jika kita menempatkan bulan Ramadhan sebagai bulan pertandingan
berarti selama sebelas bulan kita melakukan pelatihan terus menerus untuk
berusaha agar merpertahankan posisi kefitrahan diri kita tetap berada di dalam
kategori jiwa taqwa, walaupun hasilnya kadang menang, kadang kalah, kadang
kalah kadang menang selama sebelas bulan. Namun demikian adanya latihan yang
panjang selama sebelas bulan, tentunya akan lebih memudahkan diri kita memasuki
saat saat melakukan pertandingan selama sebulan di bulan Ramadhan. Adanya
kondisi ini maka bulan Ramadhan dapat kita jadikan sebagai bulan bonus bagi
kehidupan diri kita melalui ibadah sunnah menjadi wajib, ibadah wajib dilipatgandakan
serta mampu meraih malam seribu bulan.
Sekarang
dimanakah posisi kita, apakah yang menempatkan bulan Ramadhan sebagai bulan
latihan, ataukah yang menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan pertandingan?
Jawab dengan jujur pertanyaan ini karena dengan adanya kejujuran maka kita bisa
menentukan langkah yang mana yang harus kita pilih karena keduanya memiliki
konsekuensi yang berbeda. Dan jika saat ini, kita masih sering mengalami
persoalan di dalam menjaga dan merawat kefitrahan diri selama sebelas bulan,
ada baiknya kita menempatkan bulan Ramadhan sebagai bulan pemusatan latihan.
Dan
setelah kita mampu menjadi pemenang saat pelatihan, maka berusahalah untuk
terus mempertahankan hasil pemusatan latihan selama sebelas bulan. Lalu rubah
strategi saat berjumpa dengan Ramadhan tahun berikutnya dengan menjadikan bulan
Ramadhan menjadi bulan pertandingan. Lalu pertahankan posisi ini selama hayat
masih di kandung badan. Ingat, hanya melalui pertandinganlah kita bisa
merasakan arti dari suatu kemenangan yang sesungguhnya, yang pada akhirnya
mampu menghantarkan diri kita menjadi pribadi pribadi yang bertaqwa, yang
kembali fitrah, yang bersyukur dan yang mampu meraih malam seribu bulan.
Agar
diri kita tidak hanya mampu menjadi pemenang hanya di bulan Ramadhan semata,
namun bisa sepanjang tahun dalam kondisi menjadi pemenang (selalu dalam
ketaqwaan, kefitrahan dan selalu bersyukur), ada baiknya kita merenungi apa
yang dikemukakan oleh Imam Ja’far Shadiq berikut ini:
“Pelaku
puasa (shaim) harus menganggap dirinya sebagai musafir akhirat, harus tetap
dalam keadaan rendah hati, khawatir, tunduk, bak seorang hamba yang takut akan
majikannya; harus takut kepada Allah; jiwanya harus tetap suci dari cacat dan
kotoran maknawi, dan hatinya harus terbebas dari segala sesuatu selain Allah
SWT. Ia harus mengorbankan seluruh keterikatan dan berniat semata mata
untukNya. Ia harus menyucikan jiwanya dari segala bentuk persahabatan lain
selain persahabatan dengan Allah; harus menundukkan mata dan jiwa kepadaNya;
harus melakukan dzikir kepadaNya. Ia harus menggunakan tubuhnya di jalan Allah
dan mesti menjauhkan diri, khususnya lidah, dari semua bentuk dosa dan maksiat.
Barangsiapa yang melakukan tuntunan Allah secara benar, sesungguhnya (ia) telah
menunaikan kewajiban kewajiban puasanya dengan benar, dan (sebaliknya)
barangsiapa yang memperlihatkan ketidakpedulian untuk memenuhi kewajiban
kewajiban itu (berarti) telah menyianyiakan puasanya dan tidak akan memperoleh
ganjaran dan manfaat apa apa pada ruhaninya.” Semoga renungan ini mampu menjadikan diri kita
menjadi orang orang yang bisa melaksanakan puasa sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar