“Prof. K.H. Ali Mustafa Yakup MA” dalam bukunya “Haji Pengabdi
Setan” mengemukakan tentang sebuah artikel yang mengulas tentang menunaikan
ibadah haji berkali-kali atau menunaikan umroh berkali-kali. Yang mana uraian yang
disampaikan beliau sangatlah bagus untuk direnungkan. Dan inilah uraian
dimaksud. “Setiap kali jamaah haji Indonesia pulang dari menunaikan ibadah haji
ke tanah air. Bila mereka ditanya, apakah Anda ingin kembali lagi ke Makkah?
Hampir seluruhya menjawab, “Ingin.” Hanya segelintir yang menjawab, “Saya ingin
beribadah haji sekali saja, seperti Nabi SAW.”
Jawaban itu menunjukkan antusiasme umat umat Islam Indonesia untuk
beribadah haji. Sekilas, jawaban itu menunjukkan nilai positif. Karena ibadah
haji berkali-kali dianggap sebagai barometer ketaqwaan dan ketebalan kantong.
Tapi dari kacamata agama, itu tidak selamanya positif.
Kendati ibadah haji telah ada sejak masa Nabi Ibrahim, namun bagi umat
Islam, ia baru diwajibkan pada 6 H. Walau begitu, Nabi SAW dan para sahabat
belum dapat menjalankan ibadah haji, karena saat itu Makkah masih dikuasai kaum
musyrik. Setelah Nabi SAW menguasai Makkah (Fath
Makkah) pada 12 Ramadhan 8 H, sejak itu beliau berkesempatan beribadah
haji.
Tapi Nabi SAW tidak beribadah haji pada 8 H itu. Juga tidak pada 9 H.
Pada 10 H, Nabi SAW baru menjalankan ibadah haji. Tiga bulan kemudian Nabi SAW
wafat. Karenanya, ibadah haji beliau disebut haji wida’ (haji perpisahan). Itu artinya, Nabi SAW berkesempatan beribadah haji tiga kali, namun beliau
menjalaninya hanya sekali. Nabi SAW juga berkesempatan beribadah umrah ribuan
kali, namun beliau hanya melakukan umrah sunnah tiga kali dan umrah wajib
bersama haji sekali. Mengapa beliau hanya beribadah haji sekali, padahal
berkesempatan tiga kali? Mengapa beliau hanya beribadah umrah sunnah tiga kali,
padahal berkesempatan ribuan kali?
Sekiranya haji dan atau umrah berkali-kali itu baik, tentu Nabi SAW lebih
dahulu mengerjakannya, karena salah satu peran Nabi SAW adalah pemberi uswah
(teladan) bagi umatnya. Selama tiga kali Ramadhan, Nabi SAW juga tidak pernah
mondar-mandir menggiring jamaah umrah dri Madinah ke Makkah.
Dalam Islam, ada dua kategori ibadah, ibadah
qashirah (ibadah individual) yang manfaatnya hanya dirasakan pelakunya dan ibadah muta’addiyah (ibadah sosial) yang
manfaatnya pelakunya dan orang lain. Ibadah haji dan umrah termasuk ibadah qashirah. Karenanya, ketika pada
saat bersamaan terdapat ibadah qashirah
dan muta’addiyah, Nabi SAW tidak mengerjakan ibadah qashirah, melainkan ibadah muta’addiyah.
Menyatuni anak yatim, yang termasuk ibadah muta’addiyah misalnya, oleh
Nabi SAW penyantunnya dijanjikan surga, malah kelak hidup berdampingan dengan
beliau. Sementara untuk haji mabrur, Nabi SAW hanya menjanjikan surga, tanpa
janji berdampingan bersama beliau. Ini bukti ibadah sosial lebih utama
ketimbang ibadah individual.
Di Madinah banyak ‘mahasiswa’ belajar pada Nabi SAW. Mereka tinggal di
Shuffah Masjid Nabawi dan berjumlah ratusan. Mereka yang disebut ahl al-shuffah
itu adalah mahasiswa Nabi SAW yang tidak memiliki apa-apa kecuali dirinya
sendiri, seperti Abu Hurairah. Bersama para sahabat. Nabi SAW menanggung makan
mereka. Ibadah muta’addiyah seperti ini yang diteladankan beliau, bukan pergi
haji berkali-kali atau menggiring jamaah umrah tiap bulan. Karenanya para ulama
dari kalangan Tabiin seperti Muhammad bin Sirin, Ibrahim al-Nakha’i dan Malik
bin Anas berpendapat, beribadah umrah setahun dua kali hukumnya makruh (tidak
disukai), karena Nabi SAW dan ulama salaf tidak pernah melakukannya.
Dalam hadist Qudsi riwayat Imam Muslim ditegaskan, Allah SWT dapat
ditemui di sisi orang sakit, orang kelaparan, orang kehausan, dan orang
menderita. Nabi SAW tidak menyatakan Allah SWT dapat ditemyi di sisi Ka’bah.
Jadi, Allah SWT berada di sisi orang lemah dan menderita. Dengan kata lain,
Allah SWT dapat ditemui melalui ibadah sosial, bukan ibadah individual. Kaidah
fiqih menyebutkan, al-muta’addiyah afdhal
min al-qashirah (ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual)
Jumlah jamaah haji Indonesia yang tiap tahun di atas dua ratus ribu,
sekilas kondisi ini menggembirakan. Namun bila ditelaah lebih jauh, kenyataan
itu justru memprihatinkan, karena sebagian dari jumlah itu sudah beribadah haji
berkali-kali. Boleh jadi kepergian mereka yang berkali-kali itu bukan lagi
sunnah, melainkan makruh, bahkan haram.
Ketika banyak anak yatim terlantar, puluhan ribu orang menjadi tuna wisma
akibat bencana alama, banyak balita busung lapar, banyak rumah Allah SWT roboh,
banyak orang terkena pemutusan hubungan kerja, banyak orang yang makan nasi
aking, dan banyak rumah yatim dan bangunan pesantren terbengkalai, lalau kita
pergi haji kedua atau ketiga kalinya, maka kita patut bertanya pada diri
sendiri, apakah haji kita itu karena melaksanakan perintah Allah SWT? Ayat mana
yang menyuruh kita melaksanakan ibadah haji berkali-kali, sementara kewajiban
agama masih segudang di depan kita? Apakah haji kita untuk mengikuti Nabi SAW?
Kapan Nabi SAW memberi teladan atau perintah seperti itu? Atau sejatinya
mengikuti bisikan setan melalui hawa nafsu, agar di mata orang awam kita
disebut orang luhur di sisi Allah SWT? Apakah motivasi ini yang mendorong kita,
maka berarti kita berhaji bukan karena Allah SWT, melainkan karena perintah
setan.
Dan sayangnya, masih banyak orang yang beranggapan setan hanya menyuruh
kita berbuat kejahatan atau setan tidak pernah menyuruh beribadah. Mereka tidak
tahu, bahwa sahabat sahabat Abu Hurairah pernah disuruh setan untuk membaca
ayat kursi setiap malam. Mereka juga tidak tahu, bahwa ibadah yang dimotivasi
oleh rayuan setan bukan lagi menjadi ibadah melainkan maksiat.
Mereka juga tidak tahu, bahwa jam terbang Iblis dalam menggoda manusia
sudah sangat lama, sehingga ia tahu betul apa kesukaan manusia. Iblis tidak
akan menyuruh orang yang suka beribadah untuk minum khamr, tetapi iblis
menyuruhnya, antara lain, untuk beribadah haji berkali-kali. Dan ketika manusia
beribadah haji karena mengikuti rayuan iblis melalui bisikan hawa nafsunya,
maka pada saat itu tipologi haji pengabdi setan telah melekat pada dirinya.”
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi berhati-hatilah setelah diri kita kembali dari menunaikan ibadah haji (ibadah umroh) karena iblis beserta balatentaranya tidak akan pernah berdiam diri untuk menggoda diri kita. Kita akan terus menjadi target operasinya agar jangan sampai ibadah sosial yang seharusnya menjadi penampilan diri kita sepulang berhaji menjadi perbuatan diri kita, atau menjadi cerminan diri kita di tengah masyarakat. Iblis beserta balatentaranya akan senang kepada diri kita jika kita hanya mampu sibuk melaksanakan ibadah invidual lalu berpenampilan seperti penampilan orang-orang Arab seperti berjubah, bersurban dan lain sebagainya.
Hal ini penting kami
kemukakan karena jangan sampai kesempatan menunaikan ibadah haji yang mungkin
hanya bisa kita laksanakan sekali dalam seumur hidup, sirna begitu saja,
berlalu tanpa kesan, hilang seperti debu yang yang terkena hujan. Lalu apa yang
bisa kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar