Dalam konteks masyarakat yang plural seperti di
Indonesia, nampaknya pengertian tentang Dosa, Maksiat dan juga Kejahatan harus
dipahami ulang sehingga tidak menimbulkan salah kaprah dan juga gangguan dalam
hubungan sosial antar agama. Dosa selama ini dipahami
oleh sebahagian umat Islam sebagai pelanggaran atas aturan-aturan yang telah
ditentukan oleh agama. Contoh-contoh berikut ini bisa menjadi semacam
ilustrasi. Jika seseorang tidak melaksanakan shalat Jum’at, atau shalat lima
waktu sebagaimana diwajibkan oleh ajaran Islam, maka ia telah berdosa. Seseorang
yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan,
dia berdosa. Seseorang yang tidak membayar zakat fitrah, ia berdosa. Seseorang
yang menghardik orang-tuanya, ia berdosa. Begitu pula jika seseorang mencuri
atau membunuh orang lain, maka ia juga berdosa. Seseorang yang menyerobot tanah
tetangganya, ia berdosa. Begitu seterusnya. Pemahaman seperti ini, dalam
konteks negara non-agama seperti Indonesia, jelas kurang tepat.
Untuk memberikan gambaran yang lebih tentang
definisi dosa, maksiat dan juga kejahatan, berikut ini kami kemukakan pengertian
yang dimaksud sebagaimana di bawah ini.
1.
Dosa adalah pelanggaran
hukum-hukum agama yang sama sekali tidak diatur oleh hukum positif negara. Jika
seseorang tidak melaksanakan shalat lima waktu, maka ia berdosa, tetapi ia tidak
melanggar hukum negara. Tetapi, jika seseorang mencuri, maka ia berdosa dan melakukan kejahatan sekaligus. Berdosa karena ia melanggar
ketentuan agama yang melarang pencurian, tetapi juga kejahatan, karena tindakan mencuri
melanggar hukum positif yang ditetapkan oleh negara.
2.
Maksiat adalah sebuah kategori
yang tidak jauh berbeda dengan dosa, yakni melanggar hukum-hukum agama yang tidak
diatur oleh hukum negara. Tetapi maksiat memiliki pengertian yang lebih khusus,
yakni pelanggaran hukum agama yang bersifat individualistik. Jika seseorang dengki,
atau ghibah yakni membicarakan kejelekan orang lain, maka dia melakukan
maksiat. Jika seseorang melakukan perbuatan syirik atau musyrik dengan menyekutukan Allah SWT maka ia melakukan
maksiat. Jika seseorang melakukan perbuatan riya maka ia melakukan perbuatan
maksiat. Jika seseorang memperturutkan ahwanya maka ia berbuat maksiat. Jika ia
bersekutu dengan jin atau syaitan maka ia berbuat maksiat. Jika ia tidak mau
melaksanakan tidak mau melaksanakan diinul islam secara kaffah maka ia bebuat
maksiat. Begitulah seterusnya. Tetapi keseluruhan tindakan itu tidak masuk
dalam ketegori kejahatan yang diatur oleh hukum positif yang ditetapkan negara.
3.
Kejahatan adalah tindakan melawan
hukum negara. Jika seseorang merampok atau korupsi, dia melakukan suatu
tindakan yang masuk dalam dua kategori sekaligus: kejahatan, karena melanggar
hukum positif, dan dosa karena melanggar hukum agama. Tetapi jika seseorang
melanggar hukum lalulintas, seperti menerabas marka jalan, maka dia hanya dapat
dikatakan melanggar hukum negara, tetapi dia tidak, atau sekurang-kurangnya
belum tentu berdosa, sebab dalam agama tak ada ketentuan larangan untuk
melanggar marka jalan. Agama sama sekali tak punya aturan khusus mengenai lalulintas,
sehingga dengan demikian pelanggar hukum lalulintas tidak bisa disebut berdosa.
Begitu pula jika seseorang melakukan pembajakan suatu karya, misalnya
menerbitkan sebuah buku karya orang lain tanpa memperoleh hak cipta, maka ia
melakukan kejahatan "intellectual
property", tetapi tidak berdosa dalam pandangan agama. Agama,
sekurang-kurangnya Islam, tak memiliki aturan khusus mengenai "intellectual property right".
Kalaupun ada aturan mengenai itu, paling jauh hanyalah merupakan hasil ijtihad
ulama modern. Dalam Al-Quran dan hadits sendiri tak ada aturan yang jelas
mengenai hak cipta intelektual.
Agar diri kita
terhindar dari perbuatan dosa, maksiat ataupun kejahatan, berikut ini akan kami
kemukakan beberapa dampak buruk yang ditimbulkan dari perbuatan dosa, maksiat
dan juga kejahatan, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam bukunya
Kitab Jawabul Kafi (Jawaban Lengkap Tentang Obat Mujarab), yaitu:
1.
Perbuatan maksiat mempunyai dampak
buruk lagi tercela, berbahaya bagi hati dan badan, baik di dunia maupun di
akhirat kelak. Dampak dari perbuatan maksiat hanya Allah-lah yang mengetahui
secara pasti. Dampak buruk maksiat diantaranya adalah terhalangnya ilmu, karena
ilmu adalah cahaya yang Allah SWT tempatkan di hati, sedangkan maksiat
mematikan cahaya tersebut.
2.
Perbuatan maksiat akan memberikan
dampak kepada rezeki seseorang. Seorang hamba terhalang rezekinya karena perbuatan
dosa dan maksiat yang dilakukannya, sebagaimana halnya taqwa kepada Allah SWT
dapat mendatangkan rezeki, maka meninggalkan taqwa dapat mendatangkan
kefakiran, Maka sebaik-baik jalan untuk mendapatkan rezeki adalah dengan
meninggalkan maksiat.
3.
Dampak
lain dari maksiat adalah adanya perasaan kekosongan bathin yang dirasakan oleh
orang yang berbuat maksiat, yang menyebabkan ia merasa jauh dari Allah, dan
sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan suatu kesenangan apapun, meski
seluruh kesenangan dunia terkumpul, kekosongan bathin tetap tidak akan terisi. Dan
hal ini tidak mungkin dapat dirasakan kecuali oleh orang yang memiliki hati
yang hidup, karena luka itu terasa sakit oleh orang yang hidup dan tidak dapat
dirasakan oleh orang mati. Maka jika dosa tidak terperosok kepada kekosongan
bathin, maka niscaya orang yang berakal akan merasa bebas untuk
meninggalkannya.
Seseorang
mengadu kepada orang bijak tentang kekosongan bathin yang ia dapatkan dalam
dirinya. Orang bijak itu berkata kepadanya, “Jika adan telah merasakan
kosongnya bathin karena dosa-dosa yang anda lakukan, maka tinggalkanlah
dosa-dosa tersebut, niscaya anda akan mendapatkan kebahagiaan. Karena
keterasingan hati yang disebabkan oleh dosa tidak dapat diusir dengan dosa dan
hanya kepada Allah-lah kita mohon pertolongan.
4. Dampak
lain dari pada maksiat adalah kesepian yang terjadi antara orang yang
bermaksiat dan oirang lain (keterasingan) yang dirasakan oleh orang yang
bermaksiat dari orang lain, apalagi terhadap orang baik. Orang yang suka
melakukan maksiat akan merasakan adanya jarak yang jauh sekali dari orang-orang
baik. Semakin kuat rasa keterasingan, semakin jauhlah dari mereka dan dari
kesempatan untuk bergaul dengan mereka, sehingga terjauhkan pula dari berkah
ilmu mereka yang sangat bermanfaat baginya. Semakin dekat jarak dengan golongan
syaitan maka semakin jauh jaraknya dengan golongan Allah Yang Maha Pengasih.
Rasa keterasingan ini dapat menjadi kuat sehingga menjadi rasa yang sangat
dominan, sehingga ia akan merasa keterasingan dari istrinya, dari anaknya,
kerabatnya, bahkan dengan dirinya sendiri, sehingga ia merasa asing dengan
dirinya sendiri.
5. Dampak
lain dari maksiat adalah segala urusan menjadi sulit untuk dilaksanakan dan
sukar dicarikan jalan keluarnya. Hal ini adalah kebalikan dari orang yang
bertaqwa. Orang yang bertaqwa kepada Allah, pasti Allah akan memudahkan segala
macam urusannya, Sebagai kebalikannya, siapa yang meninggalkan taqwa kepada-Nya
maka Allah akan menjadikan segala urusannya sulit.
6. Dampak
lain dari maksiat adalah kegelapan yang didapatkan dalam hatinya, yang
benar-benar ia rasakan sebagaimana ia merasakan gelap gulita dan kepekatan
malam. Maka kegelapan maksiat bagi hatinya menjadi seperti kegelapan inderawi
bagi matanya. Karena taat itu adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah
kegelapan. Semakin kuat kegelapan, semakin kuat pula kebingungannya, sehingga
ia terjerumus kepada perbuatan-perbuatan bid’ah, kesesatan-kesesatan dan
perkara-perkara yang membinasakan, sedang ia tidak merasakannya sebagaimana
seorang tuna netra yang dilepas berjalan sendiri di malam yang gelap gulita.
Kegelapan ini menjadi kuat hingga tampak dalam mata, kemudian menguat lagi
sehingga menyebar keselurh wajahnya, yang kemudian menjadi hitam yang dapat
dilihat oleh setiap orang.Abdullah bin Abbas, berkata, “Sesungguhnya kebaikan itu memiliki sinar dalam wajah dan hati,
kelapangan dalam rezeki, kekuatan dalam badan, dicintai oleh orang-orang. Dan
kejahatan memberikan kepekatan dalam wajah, dalam kubur dan dalam hati,
kelemahan badan, kekurangan dalam rezeki dan kebencian di hati orang-orang”.
7. Perbuatan
maksiat akan melemahkan hati dan badan.
Lemahnya hati adalah hal yang sangat jelas, bahkan secara terus menerus
melemahkannya hingga akhirnya sama sekali menyeretnya pada kematian. Sedang
lemahnya badan adalah karena seorang mukmin sumber kekuatannya itu adalah
hatinya. Semakin kuat hatinya semakin kuat pula badannya, Dan orang durhaka,
meski badannya kuat, ia sebetulnya makhluk yang paling lemah ketika ia
menghajatkan sesuatu. Maka kekuatannya itu akan mengkhianatinya ketika ia
sangat membutuhkan sesuatu. Perhatikan kekuatan fisik bangsa Persia dan Romawi,
sebagaimana kekuatan fisik mereka mengkhianati ketika mereka sangat memerlukannya,
sehingga mereka dapat dikalahkan oleh kaum Mu’minin dengan kekuatan fisik dan
hati mereka.
8. Perbuatan
maksiat yang kita lakukan akan mengakibatkan terhalangnya ketaatan seseorang,
meskipun dosa yang dilakukannya itu tidak mendatangkan hukuman, tetapi ia
menghalangi ketaatan sebagai penggantinya, dan memutus jalan taat yang lainnya.
9. Perbuatan
maksiat yang kita lakukan dapat memperpendek umur yang mengakibatkan hilangnya
keberkahan umur. Ingat, kebajikan dapat memperpanjang umur, sebaliknya durhaka
dapat memperpendek umur.
10. Perbuatan
maksiat akan menanam maksiat serupa dan maksiat yang satu akan melahirkan
maksiat yang lainnya. Sehingga seseorang akan merasa sangat sulit
meninggalkannya dan keluar daripadanya.
11. Perbuatan
maksiat yang kita kerjakan akan melemahkan kehendak (iradat) atau niat seseorang
untuk melakukan kebaikan sehingga maksiat dapat mewariskan kehinaan.
12. Dampak
negatif dari maksiat adalah hilangnya pandangan buruk dari hati terhadap
maksiat, sehingga maksiat telah menyatu dengan dirinya sehingga tidak malu
berbuat maksiat walaupun dilihat orang. Hal ini dimungkinkan karena tidak
merasa bahwa dirinya berbuat kejelekan walaupun orang orang membicarakannya.
13. Perbuatan
Maksiat mengakibatkan hinanya Allah SWT, kecilnya Allah SWT, tidak adanya Allah
SWT, dimata orang yang melakukannya.
14. Perbuatan
maksiat dapat merusak akal karena akal itu mempunyai cahaya dan maksiat
memadamkan cahaya akal. Jika cahaya akal sudah padam, maka kekuatannya pun
berkurang.
15. Perbuatan
maksiat adalah timbulnya berbagai kerusakan di muka bumi, seperti rusaknya air,
udara, tumbuhan, buah-buahan dan tempat-tempat tinggal.
16. Perbuatan
maksiat dapat memadamkan ghirah dalam hati yang berfungsi untuk hidup dan
kebaikan.
17. Perbuatan
maksiat dapat menghilang rasa malu yang merupakan substansi kehidupan. Rasa
malu adalah pokok dari segala kebaikan dan hilangnya rasa malu berarti
hilangnya semua kebaikan. Jika seseorang sampai kepada keadaan seperti ini maka
tidak bisa diharapkan lagi ia menjadi baik.
18. Perbuatan
maksiat dapat melemahkan hati dari pengagungan terhadap Allah SWT. Rasa hormat
kepada-Nya akan berkurang karena jika rasa pengagungan dan penghormatan masih
tetap teguh kepada-Nya niscaya dia tidak akan berani mendurhakai Allah SWT.
19. Perbuatan
maksiat dapat menyebabkan Allah SWT lupa akan hamba-Nya, Allah SWT
meninggalkannya dan tidak akan melindunginya lagi dan syaitan yang akan
mengganggunya.
20. Perbuatan
maksiat mengeluarkan pelakunya dari lingkaran kebaikan (ikhsan) dan
menghalanginya dari pahala orang-orang yang melakukan kebaikan Hal ini
dikarenakan jika kebaikan telah menguasai hati, maka kebaikan itu akan
mencegahnya dari perbuatan maksiat.
21. Perbuatan
maksiat dapat menghilangkan nikmat bertuhankan kepada Allah SWT dan
mendatangkan siksa.
22. Perbuatan
maksiat dapat menimbulkan rasa takut dan cemas yang Allah SWT timpakan kepada
hati pelakunya. Untuk lihatlah pelaku maksiat yang hidupnya selalu berada dalam
ketakutan dan kecemasan. Ingatlah bahwa ketaatan adalah benteng Allah SWT yang
paling kokoh, siapa saja yang memasukinya akan merasakan aman dari tertimpanya
hukuman dunia dan akhirat dan barangsiapa yang keluar daripadanya maka ia akan
dikepung oleh rasa takut dari segenap penjuru. Barangsiapa yang taat kepada
Allah SWT rasa takutnya akan berubah menjadi rasa aman. Demikian pula
sebaliknya, barangsiapa yang mendurhakai Allah SWT, rasa amannya berubah
menjadi rasa takut.
23. Perbuatan
maksiat dapat menjadikan jiwa seseorang menjadi kecil dan hina sehingga menjadi
sesuatu yang paling kecil dan paling hina, sebagaimana ketaatan dapat
menjadikan tumbuh, suci dan agung.
24. Perbuatan
maksiat menjadikan pelakunya untuk selamanya berada dalam tahanan syaitan,
dalam penjara syahwat dan dililit rantai ahwa sehingga menjadikan jiwanya dalam
kondisi jiwa fujur.
25. Perbuatan
maksiat dapat menjatuhkan kehormatan dan kedudukan seseorang pelakunya dalam
pandangan Allah SWT dan makhluk-Nya. Hal ini dikarenakan makhluk yang paling
mulia dalam pandangan Allah SWT adalah yang paling bertaqwa di antara mereka
dan yang paling dekat kedudukannya dengan Allah SWT adalah yang paling taat
kepada-Nya.
26. Perbuatan
maksiat dapat menjadikan pelakunya yang tadinya mulia dan terpuji menjadi
terhina dan tercela sehingga pelakunya menyandang gelar si pendurhaka, si
perusak, si koruptor, si pembunuh, si pengkhianat dan seterusnya.
27. Perbuatan maksiat memutuskan hubungan antara
seorang hamba dengan Allah SWT. Jika sudah demikian maka terputus pula
sebab-sebab kebaikan dan yang berhubungan dengannya adalah sebab-sebab
kejahatan.
28. Perbuatan
maksiat dapat melenyapkan berkah umur, berkah rezeki, berkah ilmu, berkah
pekerjaan dan berkah taat atau dengan kata lain kemaksiatan yang kita lakukan
melenyapkan berkah agama dan dunia.
29. Perbuatan
maksiat dapat menjadikan pelakunya hina setelah sebelumnya siap menjadi orang
yang terhormat.
30. Perbuatan
maksiat menjadikan musuh-musuh pelakunya dari berbagai lapisan makhluk berani
terhadapnya, yang mana dahulunya mereka takut. Diantaranya adalah syaitan,
setelah mengetahui bahwa seorang manusia melakukan maksiat, ia menjadi berani
menyesatkannya, menggoda, menakut-nakuti, memperdaya dan lain sebagainya.
31. Perbuatan
maksiat melemahkan pelakunya terhadap sesuatu yang diperlukan oleh dirinya
sendiri atau melemahkan pelakunya dihadapan dirinya sendiri. Setiap orang perlu
mengetahui apa yang bermanfaat bagi dirinya dan apa yang membahayakannya dalam
kehidupannya di dunia ini dan untuk kehidupannya di kemudian hari.
32. Perbuatan maksiat dapat membutakan hati.
Kalaupun tidak sampai buta, ia akan melemahkan bashirah dan juga akalnya. Jika
hati telah menjadi buta ataupun lemah daya kerjanya, maka hatinya tersebut
tidak akan dapat dipergunakan untuk mengetahui petunjuk dan hilang kekuatannya
untuk melaksanakannya. Selain daripada itu. pelaku maksiat tidak bisa membedakan
mana yang haq dan mana yang bathil karena hatinya telah tertutup oleh ulahnya
sendiri.
33. Hukuman
lain dari maksiat adalah merupakan sebagai tambahan musuh kepada pelakunya yang
dikirim oleh musuh utamanya untuk memperkuat balatentara yang lama dalam rangka
memeranginya. Jika manusia tidur maka sang musuh ini tidak keluar, Jika manusia
lengah sang musuh ini tidak lengah. Musuh dapat melihat dia sendiri tidak dapat
melihatnya. Serangan musuh ini dilancarkan dengan segala macam dan dalam segala
kesempatan. Dalam rangka mengalahkan musuhnya maka musuh juga bekerja sama
dengan makhluk sejenis yaitu syaitan-syaitan manusia dan juga syaitan-syaitan
jin. Dan Allah SWT tidak memberi
kekuasaan kepada sang musuh untuk mengalahkan hamba-Nya yang mukmin dimana ia
adalah makhluk yang paling dicintai-Nya.
34. Hukuman
lain daripada maksiat adalah menjadikan pelakunya lupa akan dirinya. Jika
seseorang sudah lupa akan dirinya, niscaya ia akan menyia-nyiakan dan
membinasakan dirinya sendiri.
35. Sebagai
hukuman dari perbuatan maksiat adalah menghilangkan nikmat kini dan memutuskan
nikmat yang akan datang sehingga nikmat yang telah diperoleh hilang sedang
nikmat yang akan datang terhalang. Ingat, nikmat-nikmat Allah SWT hanya dapat
diperlihara keberadaannya dengan melakukan taat kepada-Nya sebagaimana nikmat
yang hilang dapat dikembalikan dengan berlaku taat kepada karena semua yang
berada di sisi Allah SWT tidak dapat diperoleh kecuali dengan berlaku taat
kepada-Nya.
36. Perbuatan
maksiat menjadikan pelakunya jauh dari malaikat pelindung. Jika sang pelindung
ini sudah jauh maka mendekatlah musuhnya yang merupakan sejahat-jahat makhluk
baginya yaitu syaitan.
Hukuman lain dari pendosa dan maksiat
adalah rasa takut dan cemas yang Allah SWT timpakan kepada hati pelakunya. Untuk
itu lihatlah pelaku dosa dan maksiat yang senantiasa berada dalam ketakutan dan
kecemasan. Hal ini dikarenakan ketaatan adalah benteng Allah SWT yang paling
besar sehingga siapa yang memasukinya akan merasakan aman dari tertimpanya
hukuman dunia dan akhirat dan barangsiapa yang keluar dari ketaatan maka ia
akan dikepung oleh rasa takut dari segala penjuru. Selain daripada itu
perbuatan dosa akan menghilangkan nikmat dan mendatangkan siksa.
Sebagai
penutup, ada satu hal yang harus kita ketahui dan sikapi tentang adanya hukum
positif yang telah ditetapkan oleh negara dan adanya hukum agama yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT, dimana keduanya harus didudukkan dalam porsinya
masing-masing. Ingat, pada saat kita hidup di dunia yang diciptakan oleh Allah
SWT maka pada saat hidup itu kita menghadapi dua buah ketentuan hukum, yaitu
hukum positif yang ditetapkan oleh negara dan juga hukum agama yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT. Karena substansi dan kaidah ke dua hukum ini
sangatlah berbeda maka kita harus mensikapinya dengan berbeda pula. Katakan saat
kita hidup dunia, kita melakukan kejahatan karena melanggar hukum positif dan
hukum agama dan kemudian kita telah menerima hukuman dari kejahatan yang kita
lakukan. Untuk itu ketahuilah wahai para pelaku kejahatan bahwa hukum positif
atau hukum yang ditetapkan oleh negara tidak dapat menggantikan hukum yang
berasal dari Allah SWT. Sehingga apabila seseorang sudah dihukum oleh Negara tidak
serta merta seseorang terbebas dari hukum Allah SWT. Agar hukum positif bisa
sejalan dengan hukum Allah SWT maka kita harus mendahulukan hukum akhirat
dibandingkan dengan hukum dunia dengan melakukan terlebih dahulu taubatan
nasuha selama melaksanakan hukuman negara yang dilanjutkan dengan selalu
meminta ampun sebanyak mungkin disetiap kesempatan serta mengembalikan barang aniayaan
kepada pemiliknya.
Sabda Nabi dalam menceritakan firman Allah: Allah
telah mewahyukan kepadaku: "Wahai saudara para Rasul, wahai saudara para
pemberi peringatan! Berilah berita peringatan kepada kaummu, agar mereka jangan
memasuki satu rumahpun dari rumah-rumah-Ku (masjid), kecuali dengan hati
bersih, lidah yang benar, tangan yang suci, dan kemaluan yang bersih. Dan
janganlah mereka memasuki salah satu rumah-Ku (masjid) padahal mereka masih
tersangkut barang aniayaan hak orang lain. Sesungguhnya Aku tidak memberi
rahmat, selama ia berdiri di hadapan-Ku melakukan shalat, sampai ia
mengembalikan barang aniayaan itu kepada pemiliknya. Apabila ia telah
mengembalikannya, Aku akan jadi alat pendengarannya yang dengan itu ia
mendengar, dan Aku akan menjadi penglihatannya yang dengan itu ia memandang,
dan ia akan menjadi salah seorang wali dan orang pilihan-Ku dan akan menjadi
tetangga-Ku bersama para Nabi, para shiddikin dan para syuhada yang ditempatkan
di dalam syurga.
(Al Hadits Qudsi Riwayat Abu Nua'im,
Hakim, Ad-Dailami, dan Ibnu Asakir yang bersumber dari Hudzaifah)
Ingat
Allah SWT sudah menyatakan dengan jelas bahwa Allah SWT adalah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Sekarang bagaimana mungkin Allah SWT yang sudah
siap memberikan pengampunan kepada siapun juga sedangkan orang yang akan
diberikan pengampunan dari Allah SWT tidak mau mengakui kesalahan yang telah
diperbuatnya? Dilain sisi untuk mengakui kesalahan dan meminta ampunan kepada
Allah SWT tidak dipungut biaya oleh Allah SWT sebab Allah SWT tidak butuh
dengan pengampunan yang akan diberikannya karena Allah SWT sudah Maha
Selamanya. Sebagai orang yang membutuhkan pengampunan dari Allah SWT apakah
kesempatan dan fasilitas untuk meminta ampunan yang kita miliki saat ini akan
kita sia-siakan begitu saja berlalu tanpa kesan. Sedangkan orang-orang yang
sekarang di alam barzah (maksudnya yang di sijjin) berusaha dan meminta untuk
dikembalikan ke muka bumi kepada Allah SWT untuk melakukan pertaubatan karena
sudah merasakan azab dan ketidaknyamanan
berada di sijjin yang ada di alam barzah. Tidak ada jalan lain kecuali taubatan
nasuha dengan mengakui kesalahan yang telah diperbuat yang dilanjutkan dengan
selalu meminta ampun disetiap kesempatan yang ada kemudian melaksanakan Diinul
Islam secara Kaffah.