Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Rabu, 07 Juli 2021

TAHU ALLAH SWT MELALUI PENDEKATAN ROUTE TO 1.6.7.99 (PART 3 of 3)

 

E.   DIMANAKAH ALLAH SWT?

 

Sebelum kami membahas tentang dimanakah Allah SWT berada, perkenankan kami mengemukakan ilustrasi sebagai berikut: Ibukota Negara Republik Indonesia adalah Jakarta. Presiden Republik Indonesia berkedudukan di ibukota, yaitu di Istana Negara, Jakarta. Jika wilayah territorial Indonesia membentang dari Sabang sampai Merauke berarti daerah kekuasaan dan juga daerah pengawasan serta tanggung jawab dari Presiden Republik Indonesia seluas itu juga. Adanya kondisi seperti ini dapat dikatakan, walaupun secara phisik Presiden Republik Indonesia ada di Jakarta, namun secara kekuasaan, secara pengawasan dan secara tanggung jawab, Presiden Republik Indonesia ada dari Sabang sampai Merauke. Timbul pertanyaan adakah Presiden Republik Indonesia di kota Merauke atau di kota Sabang? Secara phisik Presiden Republik Indonesia tidak ada di kota Merauke ataupun di kota Sabang, karena Presiden ada di Ibukota. Akan tetapi secara kekuasaan, secara tanggung jawab, secara pengawasan, keberadaan Presiden Republik Indonesia ada pada seantero wilayah teritoral Indonesia. 


Sekarang berapa jaraknya antara Presiden Republik Indonesia dengan warganegara Indonesia? Secara phisik antara Presiden Republik Indonesia dengan warganegara Indonesia memiliki jarak, semakin jauh dari ibukota semakin jauh jaraknya. Akan tetapi secara kekuasaan, secara pengawasan dan secara tanggung jawab Presiden Republik Indonesia dengan warganya sudah tidak berjarak lagi, sepanjang warganegara Indonesia mau mengakui keberadaan Presiden Republik Indonesia. 

 

Jika Presiden Republik Indonesia saja bisa seperti itu dengan warganegara Indonesia, sekarang bagaimana dengan Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dengan diri kita selaku ciptaanNya? Hal yang sama juga berlaku pada Allah SWT dengan diri kita yaitu  Dzat Allah SWT beserta seluruh sifat Salbiyah yang dimiliki-Nya, sifat Ma’ani yang dimiliki-Nya serta dan Asmaul Husna yang dimiliki-Nya, semuanya ada bersemayam di tempat dan kedudukan Allah SWT, dalam hal ini Arsy. Apa dasarnya? Berdasarkan surat Yunus (10) ayat 3 yang kami kemukakan berikut ini: “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian Itulah Allah, Tuhan kamu, Maka sembahlah Dia. Maka Apakah kamu tidak mengambil pelajaran? (surat Yunus (10) ayat 3).  

Dzat Allah SWT bersemayam di Arsy, atau Allah SWT berkedudukan tetap di Arsy dan melalui Arsy pula Allah SWT mengatur segala urusan yang menyangkut seluruh kepentingan makhluk yang diciptakannya, termasuk di dalamnya urusan diri kita dan urusan anak keturunan kita.

 

Lalu dimanakah letaknya Arsy itu dan berapakah jaraknya Arsy itu dengan bumi yang saat ini sedang kita tempati? Berdasarkan hadits Isra Mi’raj didapat keterangan Arsy itu berada di luar ciptaan Allah SWT (sehingga Dzat Allah SWT tidak berkedudukan yang sama dengan ciptaan-Nya), atau Arsy itu berada di atas Sidratul Muntaha (Sidratul Muntaha adalah suatu lapisan pemisah antara langit yang ke tujuh dengan Arsy) sehingga Arsy merupakan tempat yang paling tinggi dan disanalah Dzat Yang Maha Tinggi, yaitu Allah SWT bersemayam. Sedangkan berdasarkan surat Al Ma’aarij (70) ayat 4 Allah SWT juga berfirman:malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.[1510]

 

[1510] Maksudnya: malaikat-malaikat dan Jibril jika menghadap Tuhan memakan waktu satu hari. apabila dilakukan oleh manusia, memakan waktu limapuluh ribu tahun.

 

Berdasarkan ketentuan ayat di atas, dijelaskan bahwa jarak Arsy dengan bumi adalah sejauh lima puluh ribu tahun perjalanan cahaya. Adanya kondisi ini terlihat dengan jelas bahwa antara diri kita dengan tempat bersemayamnya Dzat Allah SWT memiliki jarak yang begitu jauh dan yang juga berarti bahwa Allah SWT tidaklah ghaib di alam semesta ini, namun sangat jauh jaraknya jika ditinjau dari sisi kedudukan dzatNya yang berada di Arsy.

 

Sekarang sanggupkah manusia menuju Arsy, atau adakah teknologi transportasi yang dapat menjangkau ke Arsy? Untuk itu mari kita perhatikan dengan seksama keterangan yang ada pada surat Yunus (10) ayat 3 dibandingkan dengan keterangan yang ada pada surat Al Baqarah (2) ayat 186 berikut ini: “dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (surat Al Baqarah (2) ayat 186).” dan juga berdasarkan surat Qaaf (50) ayat 16 berikut ini: “dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (surat Qaaf (50) ayat 16).” tentang dimanakah Allah SWT berada?


Jika kita perhatikan ketiga ayat yang kami kemukakan, akan terlihat dengan jelas ada sesuatu yang bersifat kontradiktif, atau ada sesuatu yang saling tidak berkesesuaian.  Di satu sisi Dzat Allah SWT ada di Arsy, di lain sisi Allah SWT dijelaskan sangat dekat dengan diri kita, sehingga lebih dekat daripada urat leher kita. Timbul pertanyaan, kenapa bisa begini, apa ada yang salah dengan Allah SWT? Apa yang dikemukakan oleh Allah SWT tidak ada yang salah sama sekali, semuanya benar adanya. Hal ini dikarenakan surat Yunus (10) ayat 3 menerangkan yang ada di Arsy itu adalah tempat bersemayamnya Dzat Allah SWT, dalam hal ini seperti halnya Presiden Republik Indonesia yang berkedudukan tetap di Ibukota, yaitu di Istana Negara, Jakarta. 

 

Sedangkan surat Al Baqarah (2) ayat 186 dan surat Qaaf (50) ayat 16 yang kami kemukakan di atas, bukanlah menerangkan tentang tempat dan kedudukan dari Dzat Allah SWT. Akan tetapi menerangkan tentang begitu dekatnya sifat Ma’ani dari Allah SWT dan juga Asmaul Husna dari Allah SWT kepada diri kita. Sehingga kita semua sudah berada di dalam dan bersama kekuasaan Allah SWT, sehingga kita semua sudah berada di dalam dan bersama pertolongan Allah SWT, sehingga kita semua sudah berada di dalam dan bersama ilmu Allah SWT, yang pada akhirnya kita semua yang ada di muka bumi ini tidak bisa melepaskan diri dari sifat Ma’ani dan Asmaul Husna yang dimiliki Allah SWT. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada kita semua bahwa keberadaan dan Allah SWT ada di mana-mana, ada di seluruh apa-apa yang telah diciptakan Allah SWT, sehingga diri kitapun tidak bisa terlepas dari keberadaan Allah SWT jika dilihat dari sisi sifat Ma’ani dan Asmaul Husna yang dimiliki-Nya.

 

Selanjutnya berdasarkan apa yang kami kemukakan di atas, kita dapat menyimpulkan 2(dua) hal penting tentang keberadaan Allah SWT ada dimana, yaitu:

 

1.   Allah SWT berada di Arsy jika ditinjau dari sisi Dzat-Nya, hal ini tidak ubahnya dengan Presiden Republik Indonesia yang berkedudukan tetap di Ibukota, Jakarta. Adanya kondisi ini berarti antara diri kita dengan Dzat Allah SWT memiliki jarak yang mustahil dapat kita jangkau, terkecuali Nabi kita,  Nabi Muhammad SAW yang pernah diundang langsung oleh Allah SWT melalui peristiwa Isra Mi’raj;

 

2.    Allah SWT ada bersama seluruh ciptaan-Nya sampai dengan kapanpun juga, jika ditinjau dari sisi sifat Ma’ani yang dimiliki-Nya serta berdasarkan Asmaul Husna yang termaktub di dalam Nama-Nama Allah SWT yang indah lagi baik. Jika ini yang terjadi maka  kekuasaan Allah SWT akan ada dimana-mana, pendengaran dan penglihatan akan ada dimana-mana, tanggung jawab Allah SWT akan ada di mana-mana, ilmu Allah SWT akan ada di mana-mana, kasih sayang Allah SWT akan ada di mana-mana. Hal ini tidak ubahnya dengan kekuasaan, tanggung jawab Presiden Republik Indonesia yang akan ada di seluruh teritorial Indonesia yaitu dari Sabang sampai Merauke. 

 

Sekarang sudah tahukah kita dengan kondisi ini, sudah mengertikah kita dengan kondisi ini, lalu sudahkah kita mampu menempatkan secara patut dan pantas dimana Allah SWT sudah berada di dalam kehidupan kita sehari-hari? Katakan saat ini kita telah mengetahui keberadaan Allah SWT ada di mana, baik ditinjau dari sisi Dzat maupun dari sisi sifat Ma’ani dan Asmaul Husna yang dimiliki-Nya. Timbul pertanyaan, berjarakkah kebesaran dan kemahaan sifat Ma’ani dan Asmaul Husna yang dimiliki Allah SWT dengan diri kita, atau berjarakkah pendengaran dan penglihatan Allah SWT dengan diri kita, memiliki jarakkah pertolongan Allah SWT dengan diri kita, berjarakkah ilmu Allah SWT yang akan diberikan kepada diri kita dengan diri kita sendiri, atau memiliki jarakkah kasih sayang Allah SWT kepada diri kita?

 

Seperti telah kita ketahui bersama bahwa setiap ciptaan yang telah diciptakan oleh Allah SWT tidak akan mungkin bisa dipisahkan dengan Allah SWT selaku penciptanya, karena setiap ciptaan diciptakan oleh Allah SWT berdasarkan adanya Kehendak, Kemampuan dan Ilmu yang dimiliki oleh Allah SWT. Adanya kondisi ini berarti setiap ciptaan yang diciptakan oleh Allah SWT merupakan Tanda-Tanda dari Kebesaran dan Kemahaan Allah SWT serta dibalik ciptaan itu tersembunyi Allah SWT, sehingga  disetiap ciptaan yang diciptakan oleh Allah SWT pasti tidak bisa dilepaskan dari Kebesaran dan Kemahaan Allah SWT itu sendiri. Lalu bagaimana dengan diri kita? 


Hal yang samapun berlaku pada diri kita, yaitu diri kita adalah ciptaan Allah SWT, dan diri kita juga adalah Tanda-Tanda dari Kebesaran dan Kemahaan Allah SWT serta dibalik diri kita tersembunyi Allah SWT sehingga kita juga tidak bisa melepaskan diri dari Kebesaran dan Kemahaan Allah SWT. Selanjutnya jika ini adalah kondisi dasar dari Allah SWT kepada setiap yang diciptakan-Nya berarti sampai dengan kapanpun juga Kebesaran dan Kemahaan Allah SWT akan selalu menyertai diri kita dimanapun kita berada, atau kita sudah berada di dalam Kebesaran dan Kemahaan Allah SWT kapanpun dan dimanapun juga.

 

Berjarak atau tidaknya Kebesaran dan Kemahaan Allah  SWT, atau berjarak atau tidaknya kekuasaan, pertolongan, ilmu, kasih sayang Allah SWT kepada diri kita sangat tergantung kepada diri kita sendiri. Apa maksudnya? Jika kita mengacu kepada ketentuan hadits qudsi yang kami kemukakan berikut ini: Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Aku selalu menurutkan persangkaan hamba-Ku terhadap diri-Ku, jika berprasangka baik, maka ia dapat balasannya, demikian pula bila ia berprasangka jahat, maka ia mendapat balasannya. (Hadits Qudsi Riwayat Ahmad, Muslim, Atthabarani, Ibn Annajjar: 272:73).”

 

Untuk itu ketahuilah bahwa persepsi kita, persangkaan kita, keyakinan kita sangat memegang peranan penting di dalam menentukan  berjarak, atau tidaknya antara diri kita dengan kekuasaan Allah SWT, dengan pertolongan Allah SWT, dengan Ilmu Allah SWT, dengan kasih sayang dan dengan perlindungan Allah SWT, atau dengan Allah SWT itu sendiri (maksudnya bukan dengan Dzat Allah SWT). Sekarang pilihan jarak keberadaan Allah SWT kepada diri kita ada pada diri kita sendiri, atau diri kita sendirilah yang menentukan. Jika pilihan diri kita bahwa Allah SWT itu berjarak maka jangan pernah salahkan Allah SWT jika apa yang sudah diperuntukkan untuk diri kita semuanya akan berjarak dan jika pilihan diri kita bahwa Allah SWT tidak berjarak maka apa yang sudah diperuntukkan oleh Allah SWT untuk diri kita semuanya tidak berjarak lagi.

 

Berhati-hatilah dengan persepsi kita kepada Allah SWT, berhati-hatilah dengan persangkaan kita kepada Allah SWT dan berhati-hatilah pula dengan keyakinan kita kepada Allah SWT, karena jika kita salah menempatkan, atau salah menetapkan persepsi, salah memper-sangkaan dan salah dalam keyakinan kita kepada Allah SWT maka apa yang seharusnya dapat kita peroleh justru menjadi gagal karena ulah kita sendiri yang tidak mampu menem-patkan dan meletakkan kemahaan dan kebesaran Allah SWT ada di mana sehingga kita tidak tahu Allah SWT ada dimana.

 

Selanjutnya ada hal penting lainnya yang harus kami kemukakan yaitu Allah SWT tidak Ghaib di alam dan Esa di alam. Apa maksudnya dan apa dasarnya? Berdasarkan surat Al A’raaf (7) ayat 7 yang kami kemukakan berikut ini: Maka Sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka). Allah SWT itu ada dan tidak pernah jauh dari makhluk-Nya. Sekarang bagaimana mungkin jika sampai Allah SWT tidak ada sedangkan segala apa yang diciptakan-Nya ada (maksudnya langit, bumi, udara, air, manusia, binatang, tumbuhan ada), atau apakah seluruh yang ada di alam semesta ini ada dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan?

 

Adanya hal ini menunjukkan kepada diri kita bahwa keberadaan diri kita ada di muka bumi saat ini karena Allah SWT itu ada, atau karena adanya Kemampuan (qudrat), Kehendak (iradat) dan Ilmu Allah SWT maka langit dan bumi dengan segala isinya ada. Di lain sisi jika Allah SWT menampakkan diri kepada ciptaannya, maka hancur luluh lantahlah seluruh alam semesta ini karena tidak mampu menahan Kebesaran dan Kemahaan Allah SWT. Dan jika sekarang ada Tuhan lain selain Allah SWT di alam semesta ini, apakah mungkin Tuhan lain itu memiliki sifat Salbiyah yang enam, sifat Ma’ani yang tujuh dan Asmaul Husna yang termaktub di dalam 99 (sembilan puluh sembilan) Nama-Nama Allah SWT Yang Indah? 


Yang pasti sampai dengan kapanpun juga hanya Allah SWTlah satu-satunya Tuhan yang ada di alam semesta ini. Lalu apakah Tuhan-Tuhan lain mampu menciptakan segala sesuatu seperti yang diciptakan oleh Allah SWT, katakan menciptakan nyamuk seperti nyamuk yang diciptakan oleh Allah SWT, atau menciptakan darah untuk manusia seperti darah yang diciptakan Allah SWT? Yang pasti sampai dengan kapanpun tidak akan ada Tuhan lain yang mampu menciptakan nyamuk dan darah seperti nyamuk dan darah yang diciptakan oleh Allah SWT.

 

Untuk itu jika kita bertemu, atau berjumpa dengan orang yang telah menyatakan dirinya Tuhan, atau jika ada orang yang mengaku-ngaku dirinya Tuhan, tolong buktikan apa yang dikatakannya tersebut dengan menyuruh orang tersebut menciptakan sesuatu seperti yang diciptakan oleh Allah SWT, apakah mereka mampu pula menerbitkan matahari dari barat? Sekiranya Tuhan lain itu tidak mampu menciptakan nyamuk seperti nyamuk yang Allah SWT ciptakan, suruhlah Tuhan tersebut Taubat sebelum Malaikat Izrail datang melaksana-kan tugasnya.   

 

Saat ini kebesaran dan kemahaan Allah SWT sudah dekat dengan diri kita dan juga sudah ada dimana-mana sehingga diri kita sudah berada dan bersama Allah SWT, lalu bisakah kita merasakan kedekatan dengan Allah SWT, atau adakah alat bantu yang ada pada diri kita guna merasakan kedekatan diri kita dengan Allah SWT? Sebelum kami menjawab pertanyaan ini, perkenankan kami mengemukakan hal berikut ini: Seperti kita ketahui bersama untuk dapat menikmati siaran televisi dengan baik, setiap pesawat televisi harus dilengkapi dengan antena yang baik pula. Hal ini dikarenakan antena memiliki fungsi untuk menerima  siaran yang dipancarkan oleh stasiun televisi dan yang menunjukkan kepada kita betapa pentingnya antena bagi televisi sehingga dengan adanya antena mampu memudahkan diri kita menikmati siaran televisi.

 

Sekarang bagaimana dengan diri kita, apakah di dalam diri kita ada alat bantu yang fungsinya seperti antena televisi sehingga mampu merasakan kedekatan diri kita dengan Allah SWT yang sudah begitu dekat dengan diri kita? Di dalam diri setiap manusia, tidak terkecuali dengan diri kita, juga memiliki alat bantu untuk merasakan kedekatan diri kita dengan Allah SWT. Apakah itu? Alat yang ada pada diri kita untuk merasakan keberadaan Allah SWT yang sudah dekat dengan diri kita adalah hati. Timbul pertanyaan, hati yang mana, apakah hati ruhani ataukah hati jasmani, karena manusia terdiri dari jasmani dan ruhani? Hati jasmani tidak akan bisa menjangkau, atau merasakan kedekatan diri kita dengan Allah SWT. Hal ini dikarenakan hati jasmani fungsinya bukan untuk itu, melainkan untuk: penawar racun; membunuh kuman; menguraikan sel-sel darah merah yang sudah rusak dalam sel-sel khusus yang disebut histiosit; memecah hemoglobin sel darah merah menjadi zat besi, globim dan hemin; menghasilkan enzim agrinasse yang berfungsi untuk mengurai asam amino arginin menjadi asam amino ornittin; menyimpan glikkogen, tembaga dan beberapa jenis vitamin; mengatur kadar gula dalam darah; mengubah provitamin A menjadi vitamin A; memproduksi zat antibody; Sebagai tempat pembentukan dan penguraian protein tertentu.

 

Selanjutnya jika hati jasmani tidak akan mampu menjangkau dan merasakan kedekatan diri kita dengan Allah SWT, maka hati yang dapat merasakan, atau yang dapat menjangkau keberadaan Allah SWT adalah hati ruhani. Apakah setiap hati ruhani manusia mampu merasakan keberadaan Allah SWT, atau apakah setiap hati ruhani mampu menjangkau, mampu merasakan kedekatan diri kita dengan Allah SWT? Berdasarkan Hadits Qudsi yang kami kemukakan berikut ini: “Wahab bin Munabih berkata: Allah ta’ala berirman: Sesungguh-nya langit-langit dan bumi tidak berdaya menjangkau-Ku. Aku telah dijangkau oleh Hati seorang Mukmin. (Hadits Qudsi Riwayat Ahmad dari Wahab bin Munabbih. 272:32). Tidak setiap hati ruhani manusia mampu menjangkau, mampu merasakan kedekatan dengan Allah SWT, atau tidak setiap hati ruhani mampu menjangkau kebesaran dan kemahaan Allah SWT. Jika ini keadaannya maka hati ruhani yang seperti apakah yang mampu melakukan itu semua? Berdasarkan hadits di atas, hanya hati ruhani orang mukmin (mukmin maksudnya adalah orang yang beriman dan beramal shaleh) sajalah yang mampu menjangkau kebesaran dan kemahaan Allah SWT, atau hanya hati ruhani orang mukmin adalah satu-satunya yang dapat merasakan kebesaran dan kemahaan sifat Ma’ani dan Asmaul Husna yang dimiliki oleh Allah SWT, atau hati ruhani orang mukmin merupakan sarana, atau alat bantu bagi diri kita untuk merasakan secara sendiri-sendiri nikmatnya bertuhankan Allah SWT sepanjang hati manusia tersebut memenuhi syarat untuk itu.

 

Timbul pertanyaan baru, komponen di dalam hati orang mukmin yang manakah yang bisa menjangkau dan merasakan kebesaran dan kemahaan Allah SWT? Berdasarkan surat  An Nahl (16) ayat 78 yang kami kemukakan berikut ini: “dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan perasaan (hati), agar kamu bersyukur.” Setiap manusia tanpa terkecuali pasti memiliki apa yang dinamakan dengan Af’idah (atau perasaan), yang diberikan bersamaan dengan peniupan ruh ke dalam rahim dan juga bersamaan dengan pemberian pendengaran dan penglihatan. Lalu Af’idah (atau perasaan) ini diletakkan oleh Allah SWT dalam hati ruhani manusia. Sekarang apa hubungannya Af’idah (atau perasaan) dengan hati orang mukmin?

 

Dalam kehidupan sehari-hari, hanya sesuatu yang sejenislah yang mampu bercampur satu dengan yang lainnya. Contohnya Air hanya bisa disatukan dengan Air. Air dan Minyak tidak akan bisa disatukan karena adanya berbedaan berat jenis. Berdasarkan kondisi ini maka hanya Af’idahlah yang bisa disambungkan untuk merasakan nikmatnya bertuhankan Allah SWT. Hal ini dikarenakan Af’idah asalnya dari Allah SWT sehingga dengan adanya kesamaan asal inilah maka Af’idah mampu menjangkau kebesaran dan kemahaan Allah SWT. Dan jika sekarang diri kita memiliki Af’idah (atau perasaan) maka melalui Af’idah inilah kita mampu merasakan rasa kedekatan diri kita kepada Allah SWT, atau merasakan rasa bertuhankan kepada Allah SWT sepanjang hati ruhani tempat diletakkannya Af’idah memenuhi syarat, dalam hal ini hati ruhani orang mukmin.

 

Berdasarkan uraian yang kami kemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa hati ruhani orang mukminlah merupakan tempat bersemayamnya kebesaran dan kemahaan Allah SWT yang termaktub di dalam sifat Ma’ani yang tujuh serta Asmaul Husna yang sembilan puluh sembilan, atau dapat juga dikatakan bahwa Allah SWT berada di dalam hati ruhani orang mukmin. Adanya kondisi ini berarti kedudukan hati ruhani orang mukmin dapat dikatakan lebih tinggi kedudukkannya dibandingkan dengan langit dan bumi, karena langit dan bumi tidak akan mampu menghalangi dengan cara apapun hati ruhani orang mukmin untuk menjangkau, untuk merasakan secara langsung kemahaan dan kebesaran Allah SWT dan juga karena langit dan bumi tidak bisa menjangkau Allah SWT. Yang menjadi persoalan saat ini adalah sudahkah hati ruhani diri kita memenuhi syarat dan ketentuan sebagai hati ruhani orang mukmin yang dikehendaki Allah SWT?

 

Sekarang kita telah mengetahui dengan pasti bahwa banyak manfaat dan kegunaan yang diletakkan Allah SWT di dalam hati, baik hati jasmani maupun hati ruhani. Adanya kondisi ini maka hati ruhani dapat dikatakan sebagai raja bagi diri manusia. Jika raja itu baik maka baiklah diri manusia dan jika raja itu rusak maka rusaklah diri manusia. Untuk itu kita harus mampu mempergunakan, atau mampu mendayagunakan hati jasmani dan hati ruhani sesuai dengan peruntukannya, atau sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah Allah SWT berikan. Sehingga kita bisa selamat di dalam hidup dan kehidupan, atau dapat menjadikan diri kita sukses menjadi Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi yang terhormat.

 

Untuk itu mulai saat ini juga, fungsikanlah hati jasmani dan hati ruhani sesuai dengan peruntukkannya, tempatkanlah hati ruhani sesuai dengan kodrat dan fitrahnya, peliharalah hati jasmani dan ruhani sesuai dengan kehendak Allah SWT dan jangan pernah sekalipun sembarangan mempergunakan hati jasmani maupun hati ruhani. Terkecuali jika kita tidak membutuhkan apapun dari Allah SWT melalui hati ruhani, kita sudah tidak ingin sehat lagi saat hidup di dunia.

 

Selanjutnya dalam rangka mengenal dan tahu tentang Allah SWT (ma’rifatullah) secara lebih mendalam lagi, ada baiknya kita mempelajari keadaan atau posisi Allah SWT kepada diri kita. Hal ini penting kami kemukakan dalam rangka menghantarkan diri kita kepada ma’rifatullah selama diri kita melaksanakan tugas baik abd’ (hamba) yang sekaligus adalah khalifah di muka bumi, atau selama hayat masih di kandung badan, yaitu :

 

1.   Allah SWT Berada Di Sekeliling Diri Kita. Allah SWT ada di belakang kita, Allah SWT ada di depan kita, Allah SWT ada di atas diri kita dan juga Allah SWT ada dihadapan kita, Allah SWT ada di sebelah kanan kita, serta Allah SWT ada di sebelah kiri kita, sebagaimana hadits yang kami kemukakan berikut ini: Tsauban ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Nabi Musa berdoa: Ya Rabbi, Dekatkah Engkau untuk saya bercakap-cakap atau jauhkah untuk saya panggil? Saya merasakan dan mendengarkan suara-Mu yang merdu, namun tidak bisa melihat-Mu, dimanakah Engkau? Allah berfirman: “Aku berada di belakangmu, di depanmu, di sebelah kananmu, dan di sebelah kirimu”. Wahai Musa, Aku teman hamba-Ku di waktu ia menyebut nama-Ku dan Aku bersama dia bila dia berdoa kepada-Ku”.(Hadits Qudsi Riwayat Addailami; 272:254) Berdasarkan ketentuan hadits ini berarti kita semua sudah berada di dalam kekuasaan Allah SWT, kita semua sudah berada di dalam pengawasan Allah SWT, atau kita semua sudah berada bersama Allah SWT sehingga kita tidak bisa melepaskan diri dari Allah SWT. Lalu mau kemana lagi kita mau pergi dan menghindar!

 

Lalu apanya yang ada didekat diri kita, atau yang ada bersama diri kita? Yang ada didekat diri kita, yang ada bersama diri kita bukanlah Dzat Allah SWT. Akan tetapi yang dekat dengan diri kita, yang bersama diri kita dan yang tidak berjarak lagi dengan diri kita adalah sifat Ma’ani Allah SWT yang 7(tujuh) serta Asmaul Husna yang berjumlah 99 (sembilan puluh sembilan), yang kesemuanya sudah diperuntukkan untuk seluruh makhluk yang diciptakan Allah SWT, termasuk diperuntukkan untuk diri kita. Jika hal ini adalah kondisi dasar Allah SWT kepada diri kita, apakah kita akan meminta pertolongan kepada selain Allah SWT jika kita mengalami cobaan atau musibah, atau apakah kita akan meminta petunjuk kepada selain Allah SWT jika kita mengalami kebuntuan pikiran, atau justru meminta bantuan kepada setan yang keberadaannya juga tidak berjarak dengan diri kita? Jika kita termasuk orang yang telah Tahu Diri, yaitu Tahu siapa diri kita yang sebenarnya dan Tahu siapa Allah SWT yang sebenarnya, maka sudah sepatutnya diri kita meminta pertolongan dan meminta petunjuk kepada Allah SWT semata. Sekarang tergantung diri kita apakah yang sudah dekat dan bersama diri kita ini kita jadikan berjarak?  

 

2.   Allah SWT Berada Dimanapun Diri Kita Berada. Berdasarkan surat Al Hadiid (57) ayat 4 yang kami kemukakan berikut ini: Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy[1453] Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya [1454]. dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”

 

[1453] Bersemayam di atas 'Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dsan kesucian-Nya.

[1454] Yang dimaksud dengan yang naik kepada-Nya antara lain amal-amal dan do´a-do´a hamba.

Sekarang Allah SWT sudah menyatakan selalu berada di manapun diri kita berada, atau sepanjang diri kita masih bernaung dan menjadi tamu di langit dan di bumi yang diciptakan dan yang dimiliki Allah SWT maka pasti Allah SWT akan selalu bersama diri kita dimanapun kita berada. Hal yang harus kita ingat adalah yang bersama dengan diri kita adalah bukanlah Dzat Allah SWT, akan tetapi yang selalu bersama diri kita adalah sifat Ma’ani Allah SWT yang tujuh dan Asmaul Husna yang berjumlah sembilan puluh sembilan. Adanya kondisi ini berarti dimanapun kita berada, dalam kondisi apapun kita, kita dapat berkomunikasi dengan Allah SWT, kita dapat meminta pertolongan kepada Allah SWT, kita dapat meminta petunjuk kepada Allah SWT, dengan catatan sepanjang diri kita mau dan mampu menempatkan Allah SWT adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disem-bah, atau sepanjang diri kita mau melaksanakan Diinul Islam yang kaffah (menyeluruh).

 

Lalu apakah kondisi Allah SWT yang sudah bersama diri kita dimanapun kita berada, akan kita acuhkan begitu saja, atau apakah segala fasilitas yang telah dipersiapkan oleh Allah SWT untuk diri kita kita sia-siakan berlalu, atau apakah segala kesempatan dari Allah SWT berlalu begitu saja sehingga kita justru beralih meminta bantuan kepada Syaitan yang juga sudah dekat dengan diri kita, atau apakah memang kita tidak butuh lagi dengan Allah SWT karena merasa sudah hebat?

 

3.   Allah SWT Mengetahui Apapun Yang Ada Di langit Dan Yang Ada Di bumi. Berdasarkan surat Ali Imran (3) ayat 5 berikut ini: “Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit.” dan juga berdasrkan surat Al An’am (6) ayat 59 yang kami kemukakan berikut ini: “dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)"  

 

Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari alam semesta ini, pasti mengetahui apapun juga yang ada di langit dan yang ada di bumi sepanjang semuanya diciptakan oleh Allah SWT. Jika ini kondisinya berarti Allah SWT adalah Yang Maha Tahu, Yang Maha Mengerti, Yang Maha Ahli dari apa-apa yang diciptakannya, termasuk di dalamnya Yang Maha Ahli tentang diri kita, tentang anak dan keturunan kita, tentang setan dan tentang Ahwa. Selanjutnya jika ini adalah kondisi dasar dari Allah SWT kepada seluruh apa yang diciptakan-Nya, lalu bagaimana sikap kita kepada Allah SWT jika kita mengalami persoalan hidup? Hal yang harus kita lakukan adalah meminta pertolongan langsung kepada Allah SWT tanpa perantara,karena sampai dengan kapanpun juga hanya Allah SWT sajalah Yang Maha Tahu, Yang Maha Ahli, dan yang mengerti tentang diri kita. Sekarang alangkah naifnya, alangkah lucunya, jika sampai diri kita meminta pertolongan kepada selain Allah SWT, yang tentunya bukan ahlinya tentang diri kita, hal ini tidak bedanya jika mobil Toyota yang kita miliki rusak yang kita panggil untuk memperbaiki adalah teknisi mobil Mercedec Benz atau bahkan bukan orang yang ahlinya yang kita panggil.

 

Inilah ironi yang sering terjadi di dalam kehidupan kita sehari-hari, yaitu sudah jelas bahwa hanya Allah SWT saja yang mampu menolong diri kita, tetapi Allah SWT justru yang kita tinggalkan, atau justru Allah SWT tidak kita yakini mampu untuk menolong diri kita, atau malah kita berseberangan dengan  Allah SWT. Hasil akhir dari ini semua adalah Allah SWT pasti tidak akan pernah mau menolong diri kita. Selanjutnya dapatkah kita mengalahkan setan yang jumlahnya sudah melebihi jumlah manusia dan juga mengalahkan ahwa (hawa nafsu) seorang diri? Jika sampai diri kita melakukan hal ini berarti kita merasa sudah paling tahu dan yang paling mengerti tentang setan dan juga ahwa (hawa nafsu) sehingga sudah tidak membutuhkan lagi Allah SWT.

 

4.  Allah SWT Menyaksikan dan Memperhatikan Diri Kita Dimanapun Kita Berada. Berdasarkan surat Al Mujaadilah (58) ayat 7 yang kami kemukakan berikut ini: “tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

 

Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari alam semesta ini telah menyatakan dengan tegas bahwa Allah SWT mampu menyaksikan diri kita dimanapun diri kita berada.Jika ini adalah kondisi dasar Allah SWT kepada diri kita, kemanakah kita akan bersembunyi, kemanakah kita akan lari? Untuk itu renungkanlah sekali lagi jika kita ingin berbuat sesuatu hal yang berada di dalam koridor Nilai-Nilai Keburukan yang paling sesuai dengan kehendak setan sang laknatullah, karena Allah SWT dapat dipastikan mampu menyaksikan apa yang kita lakukan. Dan jangan sampai diri kita merasa aman tidak akan diketahui oleh Allah SWT jika berbuat korupsi, jika menipu, atau merasa aman mengambil hak orang  lain baik sendiri-sendiri ataupun berjamaah. Ingat Allah SWT pasti mengetahui apa yang kita perbuat. Apa buktinya? Berdasarkan surat Thaahaa (20) ayat 46 berikut ini: “Allah berfirman: "Janganlah kamu berdua khawatir, Sesungguhnya aku beserta kamu berdua, aku mendengar dan melihat". Allah SWT dengan tegas menyatakan “Aku Mendengar dan Aku Melihat”, apa yang dilakukan oleh setiap  manusia.

 

Untuk itu jika saat ini kita sudah tidak malu-malu lagi mengambil hak orang lain melalui korupsi, melalui kolusi dan melalui nepotisme karena merasa Allah SWT tidak tahu dengan apa yang kita perbuat, ada baiknya kita belajar kepada kucing yang malu jika mengambil makanan dengan cara mencuri, atau carilah bumi dan langit lain diciptakan oleh selain Allah SWT sehingga bebas berbuat sekehendak hati kita. Sekarang siapakah yang lebih tahu diri dan tahu malu, antara kucing dengan manusia yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme saat hidup di muka bumi ini?

 

5.    Allah SWT Mengetahui Setiap Bisikan Hati Kita. Berdasarkan surat Qaaf (50) ayat 16 yang kami kemukakan berikut ini:  “dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari kekhalifaan di muka bumi, sangat hebat sifat Ma’ani yamh dimiliki-Nya sampai-sampai mampu mengetahui setiap bisikan hati diri kita. Adanya kondisi ini  mengharuskan diri kita agar selalu berhati-hati di dalam mempergunakan Iradat (kehendak) yang diletakkan di dalam hati ruhani karena setiap hasil akhir dari Iradat yang keluar dari hati ruhani baik yang jelek, ataupun yang bagus pasti diketahui oleh Allah SWT.

 

Dan agar diri kita mampu memper-tanggungjawabkan Iradat yang telah diberikan oleh Allah SWT, maka kita harus mampu mempergunakan, mampu memanfaatkan, mampu mendayagunakan Iradat (kehendak) atau bisikan yang keluar dari Hati Ruhani harus selalu sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT, terkecuali jika kita mampu mempertanggungjawabkan Iradat yang berasal dari Allah SWT di hari berhisab kelak.

 

Dari apa-apa yang telah kami kemukakan tentang Tahu Allah SWT melalui pendekatan Route to 1.67.99 di atas ini, semuanya sangat tergantung bagaimana diri kita menyikapinya, dan yang pasti adalah Allah SWT tidak butuh dengan diri kita, akan tetapi kitalah yang butuh dengan Allah SWT. Untuk itu segeralah tentukan sikap yang pasti terhadap Allah SWT, sebelum semuanya terlambat, karena kita tidak tahu kapan Malaikat Izrail datang melaksanakan tugasnya kepada diri kita dan pilihan untuk mati seperti apa ada di tangan kita juga dan ingat pilihannya hanya ada dua, mati secara husnul khatimah atau suul khatimah  Selain daripada itu,  dengan diri kita memiliki ilmu tentang Allah SWT (tahu Allah SWT) maka pernyataan tentang “Dahulu agama menghancurkan berhala. Kini agama jadi berhala, Tak kenal Tuhannya yang penting agamanya” menjadi tidak berlaku lagi. Kita memiliki dan mengerti Agama dan juga mengerti tentang Tuhan-Nya dan sekarang ayo segera rasakan betapa nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar