Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Rabu, 07 Juli 2021

TAHU DIRI MELALUI KONSEP MAKHLUK DWIFUNGSi DAN DWIDIMENSI (PART 4 of 8)

 

 

F.  DIMENSI JASMANI DENGAN SIFAT, PERBUATAN DAN KEMAMPUAN SERTA SEGALA RAHASIA YANG MENYERTAINYA

 

Pertunjukkan pertama yang harus bisa kita renungkan saat hidup di muka bumi ini adalah bagaimana sperma yang jumlahnya begitu banyak memperebutkan satu indung telur yang terdapat di dalam rahim seorang ibu. Dan hanya sperma yang paling baiklah (yang paling superior, yang paling hebat dan yang paling super kualitasnya) yang bisa memenangkan pertandingan diantara sesama sperma, yang dibuktikan dengan terjadinya pembuahan sel telur dalam rahim seorang ibu oleh sperma yang terbaik. Dan kondisi ini sudah dipertontonkan kepada seluruh umat manusia yang di dalamnya menunjukkan hanya yang terbaiklah menjadi jasmani diri kita. Sadarkah kita dengan keadaan ini!

 

Setelah itu terjadi maka terjadilah sebuah proses lanjutan yang sangat luar biasa yang terjadi di dalam rahim seorang ibu, yang kesemuanya dicatat perkembangannya oleh Malaikat, yang dilanjutkan dengan adanya peniupan ruh ke dalam jasad, jika jasad sudah berumur 120 (seratus dua puluh) hari. Proses ini dikemukakan oleh Allah SWT di dalam surat As Sajdah (32) ayat 7-8-9 yang kami kemukakan berikut ini:. Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.

 

Dari sinilah kita mengetahui bahwa setiap manusia, termasuk diri kita, pasti terdiri dari unsur jasad (jasmani) dan juga unsur ruh. Ruh asalnya dari Allah SWT sedangkan jasmani asalnya dari tanah yang berasal dari saripati makanan dan minuman yang kita konsumsi. Dan ini menandakan atau menujukkan bahwa setiap manusia siapapun orangnya pasti adalah makhluk dwidimensi.

 

Adanya perbedaan asal usul dari jasmani dan ruhani  maka dapat dipastikan antara jasmani dan ruhani pasti memiliki sifat, perbuatan dan kemampuan yang berbeda serta cara perawatannya juga dapat dipastikan berbeda pula dan juga ketentuan yang mengikat keduanya pun berbeda pula. Jasmani memiliki sifat yang di dalam AlQuran diistilahkan dengan istilah insan, sedangkan perbuatan dari sifat jasmani (insan) disebut juga dengan ahwa (hawa nafsu). Adapun kemampuan jasmani untuk melakukan perbuatannya disebut juga dengan basyar. Sifat-sifat alamiah jasmani yang berasal dari saripati alam mencerminkan nilai nilai keburukan yang kesemuanya sangat dikehendaki oleh setan.

 

Lalu bagaimana dengan ruh? Ruh juga memiliki sifat alamiah seperti halnya jasmani, yang di dalam AlQuran dikemukakan sebagai Nass. Lalu perbuatan dari sifat alamiah ruhani (Nass) disebut juga dengan istilah Nafs/Anfuss sedangkan kemampuan dari ruh disebut juga dengan Ruh. Adapun sifat sifat alamiah ruhani yang berasal dari Nur Allah SWT mencerminkan nilai nilai kebaikan yang berasal dari Allah SWT yaitu cerminan dari asmaul husna.

 

Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa di dalam diri setiap manusia termasuk di dalam diri kita, pasti terdapat dua buah sifat, yaitu adanya nilai nilai keburukan yang berasal dari sifat alamiah jasmani dan juga adanya nilai nilai kebaikan yang berasal dari sifat alamiah ruhani. Lalu dengan adanya dua buah sifat yang berlainan dalam diri manusia maka akan memiliki dampak yang sangat berbeda dalam kehidupan manusia, yaitu adanya pengaruh buruk dari nilai nilai keburukan dan adanya pengaruh baik dari nilai nilai kebaikan dan yang tercermin dengan adanya tarik menarik diantara keduanya.

 

Lalu bisakah kita menghindarkan diri dari ketentuan dalam surat As Sajdah (32) ayat 9 di atas? Sepanjang diri kita masih disebut manusia maka sepanjang itu pula kita tidak bisa melepaskan diri dari ketentuan yang berlaku. Kita harus tetap berhadapan dengan nilai nilai keburukan (ahwa/hawa nafsu) yang ada di dalam jasmani manusia. Inilah yang kami istilahkan dengan musuh dalam selimut dan ingat musuh dalam selimut ini sangat dikehendaki oleh setan dan sudah pula diskenariokan oleh Allah SWT. Adanya musuh di dalam selimut yang terdapat di dalam jasmani, disinilah salah satu letak dari permainan yang sesungguhnya dimana diri kita yang sesungguhnya adalah ruhani harus mampu memanfaatkan dan mendayagunakan jasmani yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Dengan ketentuan gunakan dan manfaatkan jasmani untuk kepentingan ruh tetapi sifat sifat alamiahnya harus dihilangkan. Lalu diganti dengan sifat sifat alamiah ruh sehingga yang tampil menjadi perilaku kehidupan kita adalah nilai nilai kebaikan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.

 

Dilain sisi, hidup adalah saat dipersatukannya ruh dengan jasmani, sehingga pada saat hidup itulah terjadi apa yang dinamakan dengan tarik menarik antar dua buah sifat yang saling bertentangan dikarenakan jasmani dan ruhani berasal dari asal usul yang berbeda. Lalu dengan adanya tarik menarik di antara keduanya (jasmani dengan ruh) maka manusia dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

 

Pertama, Golongan yang dikalahkan, diperbudak, dibinasakan dan senantiasa berada di bawah perintah nafsunya (suatu keadaan dimana sifat sifat jasmani mampu mengalahkan sifat sifat ruhani) sehingga nilai nilai kebaikan mampu dikalahkan oleh nilai nilai keburukan, yang pada akhirnya  nilai nilai keburukan yang menjadi perilaku manusia (jiwa fujur). Allah SWT berfirman: “dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (surat Asy Syams (91) ayat 7 sampai 10)”. Golongan jiwa fujur akan dibedakan menjadi tiga, yaitu jiwa hewani, jiwa amarah dan jiwa mushawwilah.

 

Kedua, Golongan yang dapat mengalahkan dan menundukkan nafsunya sehingga nafsunya taat dan menjalankan perintahnya (suatu keadaan dimana sifat sifat jasmani mampu dikalahkan oleh sifat sifat ruhani) sehingga nilai nilai kebaikan mampu mengalahkan nilai nilai keburukan  sehingga nilai nilai kebaikan yang menjadi perilaku manusia (jiwa taqwa). Adanya kondisi ini, dimanakah posisi diri kita saat ini, apakah yang termasuk di dalam jiwa fujur, ataukah yang termasuk di dalam jiwa taqwa? Semoga jiwa kita termasuk di dalam jiwa taqwa.

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, ketahuilah bahwa ahwa (hawa nafsu) dapat dipastikan akan menjerumuskan manusia kepada kebinasaan, menolong musuh, rakus terhadap sesuatu yang buruk, dan mengikuti kejahatan dan keburukan. Ahwa (hawa nafsu), sesuai dengan tabiatnya menyukai pelanggaran. Karena itu, nikmat yang tidak ada bandingnya adalah dapat lari darinya dan membebaskan diri dari perbudakan ahwa (hawa nafsu). Ahwa (hawa nafsu) juga adalah hijab atau penghalang terbesar antara hamba dengan Allah SWT. Dan manusia yang paling mengetahui nafsunya adalah manusia yang paling keras menegur dan membencinya. Disinilah letak dari pentingnya kita berjihad melawan hawa nafsu yang sesuai dengan  ketentuan hadits berikut ini: “Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya”  (Hadits shahih diriwayatkan oleh Ibnu Najjar dari Abu Dzarr).

 

Selain daripada itu, berdasarkan surat An Nazi’at (79) ayat 37 sampai 41 berikut ini: Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya)”. Berdasarkan ayat ini, ahwa (hawa nafsu) pada hakekatnya menyeru manusia untuk berbuat melampaui batas dan mengutamakan kehidupan dunia dengan mengesam-pingkan kehidupan akhirat. Sedangkan Allah SWT menyeru untuk bertaqwa dan tidak menuruti keinginan ahwa (hawa nafsu). Adanya kondisi ini menunjukkan di dalam diri manusia ada sesuatu yang saling kontroversial, namun dibalik kontroversial ini terdapat sebuah permainan yang harus kita laksanakan, yaitu mampukah diri kita berada sesuai dengan kehendak Allah SWT.

 

Di dalam ahwa (hawa nafsu) juga terdapat perilaku binatang, seperti keserakahan burung gagak, ketamakan anjing, kebodohan burung merak, kedurhakaan biawak, kedengkian unta, keganasan singa, kefasikan tikus, kekejian ular, kesiasiaan kera, penghimpunan lebah, makarnya srigala, kepandiran kupu kupu, dan tidurnya anjing hutan. Adanya perilaku binatang yang kami kemukakan di atas ini, bukanlah isapan jempol melainkan sesuatu yang nyata. Lihatlah orang yang mempertuhankan ahwa/hawa nafsunya perilakunya telah berubah tidak ubahnya seperti perilaku binatang. 

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, ketahuilah bahwa dalam jiwa setiap manusia, ada tiga penyeru yang saling tarik menarik, yaitu:

 

1.   Penyeru yang mendorong seseorang untuk berperilaku seperti perilaku setan, mi-salnya congkak, dengki, tinggi hati, melampaui batas, suka berbuat jahat, suka mencela, merusak dan suka menipu;

2.   Penyeru yang mendorong seseorang untuk berperilaku seperti perilaku binatang, yaitu penyeru yang menuntutnya untuk memenuhi tuntutan syahwat;

3.   Penyeru yang mendorong seseorang untuk berperilaku seperti perilaku malaikat, misalnya suka berbuat kebajikan, gemar memberi dan menerima nasehat, berbakti, cinta ilmu, dan selalu bersikap taat.

 

Untuk itu ketahuilah bahwa melatih nafsu (mengendalikan ahwa/hawa nafsu) lebih sulit daripada melatih singa. Singa, jika sudah dimasukkan ke dalam kerangkeng oleh pemiliknya, amanlah kita dari bahayanya. Adapun ahwa (hawa nafsu), walaupun sudah dipenjarakan, belum tentu kita aman dari bahayanya. Dan jihad melawan ahwa (hawa nafsu) wajib hukumnya bagi setiap manusia tanpa terkecuali. Jihad melawan ahwa (hawa nafsu) terdiri dari empat tahapan, yaitu:

 

1.   Melawannya dengan mempelajari petunjuk dan Agama yang benar. Agama yang keberuntungan dan kebahagiaan dalam hidup dan mati hanya dapat diraih dengan agama ini, Jika tidak mengetahui ajaran agama ini, maka seseorang akan merana di dunia dan akhirat.

2.    Melawannya dengan mengamalkan ajaran Islam setelah mengetahuinya. Jika tidak diamalkan, agama hanya menjadi pengetahuan yang tidak bermanfaat atau bahkan menjadi pengetahuan yang berbahaya.

3.  Melawannya dengan mengajak manusia kepada agama yang benar dan menga-jarkannya kepada yang belum mengetahui. Jika tidak melakukan hal ini, seseorang dapat dituduh telah menyembunyikan petunjuk dan keterangan yang diturunkan oleh Allah SWT. Ilmunya tidak bermanfaat, dan karenanya tidak dapat menyelamatkannya dari siksa api neraka.

4.  Melawannya dengan kesabaran dalam menghadapi kesulitan dan celaan ketika mengajak manusia ke jalan Allah dan semuanya harus dilakukan karena Allah SWT semata.

 

Agar diri kita mampu sukses melawan dan mengalahkan ahwa (hawa nafsu) maka Allah SWT berfirman dalam surat Al Ankabuut (29) ayat 69 berikut ini: “dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. Berdasarkan ayat ini, kesuksesan melawan ahwa (hawa nafsu) sangat tergantung kepada jihadnya (kesungguhannya) di dalam memerangi ahwa (hawa nafsu).

 

Oleh karena itu, orang yang paling sempurna pencapaiannya adalah orang yang paling keras jihadnya.Dan adapun jihad yang diwajibkan, secara berurutan dapat kami kemukakan adalah: (1) jihad melawan ahwa (hawa nafsu); (2) jihad melawan ego; (3) jihad melawan setan dan; (4) jihad melawan dunia. Barangsiapa berjihad melawan hal ini, Allah SWT akan membentangkan baginya jalan untuk meraih ridhaNya yang akan menghantarkannya ke syurga. Sementara orang yang meninggalkan jihad secara sengaja, akan kehilangan petunjuk sebesar jihad yang ditinggalkannya. Rasulullah SAW bersabda: “Jihad yang paling utama adalah orang yang berjihad melawan nafsunya karena Allah SWT”. Oleh karena itu, selama kita belum mampu menundukkan dan memaksa nafsunya sendiri untuk melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, seseorang tidak mungkin dapat memerangi musuh yang berada di luar dirinya.

 

Rasulullah SAW bersabda: Orang yang berjihad adalah orang yang menerangi nafsunya dalam taat kepada Allah, sedangkan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan larangan Allah. (Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah)”. Berdasarkan hadits ini, tidak mungkin seseorang dapat memerangi dan berada di tengah tengah musuh jika musuh yang berada di depannya masih menguasai dirinya. Sekedar keluar untuk menghadapinya, ia pun tidak akan mampu, kecuali jika ia menundukkan, atau mengalahkan nafsunya sendiri terlebih dahulu. Sedangkan menurut hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath Thirmidzi berikut ini: “Orang yang cerdas adalah orang yang dapat menundukkan nafsunya kemudian bekerja untuk kehidupannya setelah mati. Sementara orang yang lemah akalnya adalah orang yang menuruti hawa nafsunya kemudian berharap kepada Allah”.

 

Di lain sisi, manusia terbagi dua kelompok, yaitu : orang yang cerdas dan orang yang lemah akalnya. Orang yang cerdas adalah orang yang cerdik yang berpendirian teguh dan selalu memperhatikan akibat segala sesuatu. Ia dapat menundukkan dan menggunakan nafsunya untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan di akhirat. Orang yang lemah akalnya adalah orang yang dungu yang tidak berpengetahuan, yang tidak pernah memikirkan buah dari perbuatannya. Orang tersebut lebih suka mengikuti nafsunya yang cenderung kepada sesuatu yang membawa kenikmatan duniawi, meskipun sebenarnya kenikmatan itu membawa malapetaka bagi kehidupannya di akhirat, bahkan juga bagi kehidupannya di dunia.

 

Orang yang mengikuti keinginan ahwa (hawa nafsu)nya, dan ini yang biasanya terjadi, akan segera mendapatkan aib di dunia, akan segara jatuh martabatnya di mata Allah dan manusia, dan akan segera mendapatkan kehinaan. Dia tidak akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat yang berupa ilmu yang bermanfaat dan rezeki yang luas lagi berkah.Sedangkan orang yang melawan nafsunya serta tidak menuruti keinginannya, akan segera mendapatkan balasan di dunia serta berkahnya yang berupa ilmu, iman dan rezeki. Atau dengan kata lain, siapa saja yang mampu menguasai, mengalahkan dan menundukkan ahwanya (hawa nafsu-nya), maka ia akan menjadi orang yang mulia karena ia telah mengalahkan dan menawan musuhnya yang paling kuat serta mencegah kejahatannya.

 

Dan agar diri kita mampu mengalahkan musuh dalam selimut dengan cara yang bermartabat lagi terhormat. Prinsip perang ala “Sun Tzu” berikut ini bisa kita jadikan pedoman, yaitu: “Ia yang mengenal pihak lain (musuh) dan mengenal dirinya sendiri, tidak akan dikalahkan dalam seratus pertempuran. Ia yang tidak mengenal pihak lain (musuh) tetapi mengenal dirinya sendiri memiliki suatu peluang yang seimbang untuk menang atau kalah. Ia yang tidak mengenal pihak lain (musuh) dan dirinya sendiri cenderung kalah dalam setiap pertempuran.Jika Anda mengenal diri dan musuh Anda, Anda tidak akan kalah dalam seratus pertempuran. (Sun Tzu dalam The Art of War)”. Sekarang sudahkah kita mengenal diri dan mengenal musuh yang akan kita hadapi? Adalah sebuah yang tidak dapat dimengerti oleh akal sehat jika kita ingin mengalahkan musuh tanpa pernah memiliki ilmu tentang musuh (dalam hal ini ahwa (hawa nafsu) dan juga setan). Adanya prinsip perang ala “Sun Tzu” mengharuskan kita untuk mengetahui hakekat dan sifat sifat jasmani terlebih dahulu sehingga dengan kita mengetahui hal yang paling mendasar ini maka langkah untuk melawan dalam kerangka mengalahkan ahwa (hawa nafsu) menjadi lebih mudah (kenali terlebih dahulu apa yang dinamakan dengan musuh dalam selimut itu) yang dibarengi dengan diri kita tahu tentang diri sendiri yang ditunjang dengan tahu dan mengerti tentang Allah SWT.

 

Dan untuk lebih memudahkan diri kita belajar tentang ahwa (hawa nafsu) yang ada di dalam diri. Ada baiknya kita terlebih dahulu mempelajari sebuah pernyataan yang berasal dari Dorothy Law Nolte, Phd’ tentang anak-anak yang belajar dari lingkungannya, yaitu:

 

a.   Jika anak tumbuh di lingkungan yang sering mengkritik, ia belajar untuk menya-lahkan;

b.      Jika anak tumbuh di lingkungan yang penuh kekerasan, ia belajar untuk berkelahi;

c.     Jika anak tumbuh di lingkungan  yang sering menakutnakuti, ia belajar untuk mu-dah untuk khawatir;

d.    Jika anak tumbuh di lingkungan yang penuh kesedihan, ia belajar untuk mengasihi diri;

e.   Jika anak tumbuh di lingkungan yang sering mempermalukan, ia belajar menjadi pemalu;

f.     Jika anak tumbuh di lingkungan yang penuh kecemburuan, ia belajar untuk men-dendam;

g.     Jika anak tumbuh di lingkungan yang sering menyalahkan, ia dihantui rasa bersa-lah;

h.      Jika anak tumbuh di lingkungan yang memberi semangat, ia belajar untuk percaya diri;

i.        Jika anak tumbuh di lingkungan yang penuh toleransi, ia belajar untuk bersabar;

j.    Jika  anak  tumbuh di lingkungan yang memberi pujian, ia belajar untuk meng-hargai;

k.  Jika anak tumbuh di lingkungan yang menerima apa adanya, ia belajar untuk mencintai;

l.     Jika anak tumbuh di lingkungan yang memberikan dukungan, ia belajar untuk me-nyenangi dirinya;

m.  Jika anak tumbuh di lingkungan yang memberikan penghargaan, ia belajar memi-liki tujuan dan cita cita;

n.   Jika anak tumbuh di lingkungan yang menjunjung tinggi kejujuran, ia belajar un-tuk mencintai kebenaran;

o.   Jika anak tumbuh di lingkungan yang menghargai keadilan, ia belajar untuk ber-sikap adil;

p.    Jika anak tumbuh di lingkungan yang baik hati dan penuh tanggung jawab, ia be-lajar untuk menghormati;

q.    Jika anak tumbuh di lingkungan yang penuh rasa aman, ia belajar untuk memiliki keyakinan dan berbaik sangka;

r.     Jika anak tumbuh di lingkungan yang bersahabat, ia belajar untuk merasa bahwa dunia ini indah dan hidup ini begitu berharga.

 

Jika anak saja bisa berubah perilakunya dikarenakan adanya pengaruh lingkungan. Hal yang samapun berlaku pada diri kita, jika selalu berada di dalam lingkungan yang sama dengan anak tersebut (maksudnya jika kita selalu berada di dalam lingkungan nilai nilai keburukan yang berasal dari jasmani dan nilai nilai kebaikan yang berasal dari ruh), maka kitapun akan terpengaruh dengan lingkungan itu.

 

Sekarang mari kita pelajari lebih seksama lagi tentang salah satu dimensi yang ada di dalam diri kita sendiri, yaitu dimensi jasmani, sebagaimana dikemukakan oleh Bachtiar Ma’ani” dalam bukunya “Let’s Know At Tauhid : Kisi Kisi Pembelajaran Ilmu Tauhid”, sebagaimana berikut ini:

 

1.    Sifat Sifat Jasmani Manusia. Sekarang mari kita perhatikan lingkungan yang ada pada diri kita sendiri, yaitu saat diri kita masih hidup berarti kita sedang berhadapan langsung dengan dua buah lingkungan, yaitu: (a) lingkungan yang bercirikan nilai-nilai keburukan (insan) yang berasal dari sifat alamiah jasmani yang berasal dari alam yang kesemuanya sesuai dengan kehendak setan dan juga; (b) lingkungan yang bercirikan nilai- nilai kebaikan (nass) yang berasal dari sifat alamiah ruh yang berasal dari Allah SWT dan yang tentunya sesuai dengan kehendak Allah. Lalu di posisi manakah diri kita saat ini, apakah yang sesuai dengan kehendak setan ataukah yang sesuai dengan kehendak Allah SWT!. Untuk bisa menentukan dimana posisi kita saat ini, mari kita pelajari salah satu lingkungan yang melingkungi diri kita dalam hal ini adalah lingkungan yang berasal dari dalam jasmani diri kita sendiri yang bercirikan nilai nilai keburukan (insan), yaitu :

 

a.  Diciptakan Dengan Keadaan Lemah (Terbatas). Sekarang adakah sifat lemah (dhaif) di dalam diri manusia? Sifat lemah ada di dalam diri manusia sebagaimana dikemu-kakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya berikut ini: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (surat An Nisaa’ (4) ayat 28). Selain ayat di atas, adanya sifat lemah juga dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Ar Ruum (30) ayat 54 sebagaimana kami kemukakan berikut ini:Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.” Adanya sifat lemah dalam diri yang berasal dari sifat jasmani menunjukkan bahwa jasmani memiliki keterbatasan sehingga kemampuan jasmani manusia ada batasnya, tidak mampu selamanya kuat sehingga jasmani memiliki penurunan fungsi setelah mencapai titik optimalnya.

 

Jika sekarang jasmani memiliki sifat lemah (dhaif) berarti perbuatan jasmani (ahwa/hawa nafsu yang ada pada diri kita setiap manusia) adalah melemahkan diri kita. Sedangkan kekuatan dan kemampuan untuk melemahkan sangat tergantung dengan kemampuan sifat lemah tersebut di dalam mempengaruhi manusia.Dan jika sifat lemah mampu mempengaruhi atau mampu mengalahkan sifat ruh maka manusia (diri kita) dibuat malas untuk beraktifitas, hanya berorientasi jangka pendek, rendah motivasi, selalu bersikap pesimis dan lain sebagainya yang akhirnya manusia berada di dalam koridor nilai-nilai keburukan atau  berada di dalam suatu keadaan yang paling dikehendaki oleh syaitan.

 

Hal ini sangat bertentangan kehendak Allah SWT kepada diri kita yang selalu memerintahkan diri kita untuk selalu aktif berbuat kebaikan dimanapun dan kapanpun, yang beriorientasi jangka panjang (maksudnya tidak hanya untuk duniawi semata), selalu memiliki motivasi untuk maju dengan selalu bersikap optimis. Dan jika sampai diri kita mampu dipengaruhi oleh ahwa (hawa nafsu) berarti kita sendirilah yang memberikan kesempatan bagi setan untuk melaksanakan aksinya k epada diri kita.

 

b.    Keluh Kesah dan Kikir (Bakhil). Adakah sifat keluh kesah dan kikir lagi bakhil dalam diri manusia? Jawabannya dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al Ma’aarij (70) ayat 19-20-21 berikut ini: Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusuahan ia berkeluh kesah. Dan apabila dapat kebaikan ia amat kikir.”). Dan jika manusia memiliki sifat berkeluh kesah dan selalu kikir lagi bakhil berarti perbuatan jasmani (ahwa/hawa nafsu yang ada pada diri kita) adalah selalu merasa dirinya kekurangan sehingga memelitkan diri sendiri melalui enggan untuk berbagi kepada orang yang membutuhkan. Pada akhirnya orang seperti ini hanya mementingkan diri sendiri, keluarga dan kelompoknya saja tanpa pernah memperdulikan orang lain.

 

Hal ini terlihat jika manusia ditimpa kesusahan ia selalu berkeluh kesah dan jika ia mendapat kebaikan selalu merasa kurang dan akan kikir untuk berbagi kepada sesama. Jika di dalam diri kita sudah ada sifat demikian, bagaimanakah kita harus bersikap sedangkan di lain sisi kita harus berbagi kepada fakir miskin atau wajib menunaikan hak Allah SWT melalui zakat, infaq, shadaqah. Kedua keadaan tersebut di atas akan terus terjadi selama ruhani dan jasmani masih bersatu sehingga tarik menarik keduanya pasti akan terjadi. Jika Nilai-Nilai Ilahiah yang berasal dari ruhani dapat mengalahkan sifat-sifat jasmani yang berasal dari alam maka kita akan menjadi dermawan dan jika sebaliknya yang terjadi maka kikir dan bakhil serta mementingkan diri sendiri yang terjadi.

 

Selanjutnya apa yang akan terjadi jika sifat keluh kesah dan kikir sampai mempengaruhi diri kita atau jika ahwa (hawa nafsu) mempengaruhi diri kita melalui sifat keluh kesah dan kikir? Jika sifat ini mempengaruhi diri kita maka kita selalu merasa kekurangan sehingga tidak bisa menerima sesuatu secara ikhlas, selalu iri melihat orang lain sukses dan juga selalu mementingkan diri sendiri, susah untuk diajak berbagi untuk kepentingan bersama, demikian seterusnya yang kesemuanya berkesesuaian dengan kehendak setan. Kondisi ini sangat bertentangan dengan perintah Allah SWT kepada diri kita, seperti kita diharuskan ikhlas menerima sesuatu, mau berbagi, tidak mendahulukan kepentingan pribadi serta selalu bersyukur. Sekarang yang manakah perbuatan kita?

 

c.   Loba, Tamak Akan Harta. Adakah sifat loba, tamak akan harta dalam diri manusia? Jawabannya ada pada surat Al Fajr (89) ayat 17-18-19-20 yang kami kemukakan berikut ini: Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim. Dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin. Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil) dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” Dan jika manusia memiliki sifat loba, tamak atau rakus akan harta benda berarti perbuatan jasmani (ahwa (hawa nafsu) yang ada pada diri kita) adalah selalu merasa dirinya kekurangan sehingga semua ingin dimilikinya yang pada akhirnya ia berbuat tanpa memikirkan dari mana harta ataupun benda itu berasal, apakah halal ataupun haram semuanya dianggap sama rata.

 

Pernahkah anda merasakan sifat ini di dalam diri kita atau adakah sifat ini di dalam diri kita? Jika saat ini kita merasa memiliki sifat loba, tamak apakah akan kita pertahankan atau jika kita merasa tidak memiliki sifat loba, tamak apakah kita akan tetap mempertahankan nya? Ingat, tangan di atas selalu lebih baik dari tangan di bawah. Lalu, apa yang terjadi jika sifat loba, tamak, rakus akan harta sampai mempengaruhi diri manusia atau seperti apakah kondisi ahwa (hawa nafsu) di dalam mempengaruhi diri kita melalui sifat loba, tamak?  Jika sampai perbuatan loba, tamak akan harta menjadi perbuatan kita maka ahwa (hawa nafsu) dari itu semua membuat diri kita melakukan segala cara untuk mendapatkan sesuatu, halal dan haram bukanlah ukuran, melanggar ampo bukanlah masalah, yang penting apa yang diinginkan dapat tercapai. Selanjutnya kondisi inilah yang paling dikehendaki oleh setan sang laknatullah dan yang paling tidak disukai dan dibenci oleh Allah SWT.  

 

d.    Selalu Berburuk Sangka Dengan Allah SWT. Adakah sifat buruk sangka dalam diri manusia? Jawabannya ada pada surat Al Fajr (89) ayat 15-16 berikut ini: Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu memuliakanNya dan diberiNya kesenangan, maka dia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila TuhanNya mengujinya lalu membatasi rezkinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”.  Jika manusia selalu berburuk sangka ini adalah sifat jasmani berarti perbuatan dari sifat jasmani ini adalah memandang sesuatu hal dari sisi keburukan semata tanpa pernah mampu melihat dari sisi kebaikan atau isi positif sesuatu hal. Sehingga menjadikan seseorang menjadi orang yang pesimis. Dan saking pesimisnya ia berani untuk berburuk sangka kepada Allah SWT.

 

Sekarang pejamkan mata dan renungkan adakah sifat ini di dalam diri kita? Jika sifat itu ada di dalam diri kita, baikkah jika sifat ini kita pelihara dan kita lestarikan? Sekarang apa yang terjadi jika sifat buruk sangka sampai mempengaruhi perbuatan manusia melalui ahwa? Jika sifat buruk sangka menyerang diri kita maka diri kita akan selalu berprasangka buruk kepada siapapun, merasa diri kita benar sehingga orang lain selalu salah, merasa orang lain ingin mencelakakan diri kita padahal orang tersebut ingin menolong diri kita. Dan jika sifat ini terus mengendap di dalam diri maka ketenangan bathin di dalam diri sirna dikarenakan prasangka-prasangka buruk selalu menghantui diri, padahal apa yang kita sangkakan belum tentu benar adanya.

 

e.    Selalu Bermaksiat Terus Menerus. Adakah sifat selalu bermaksiat terus menerus ada dalam diri manusia?  Jawabannya ada pada surat Al Qiyamah (75) ayat 5 berikut ini: Bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus menerus.” Jika ini adalah sifat dari manusia maka perbuatan dari sifat jasmani (ahwa) ini adalah tidak pernah mau bersyukur atas apa apa yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada diri kita yang ada hanyalah kurang dan kurang. Selain tidak mau bersyukur, juga tidak mau mengalah atau selalu mau menang sendiri seperti halnya huku alam yang lemah selalu dikalahkan oleh yang kuat. Dan selama di alam itu ada maka hukum alam akan tetap berlaku dan terus berlaku. Adanya hukum alam maka sifat alam juga akan ada di dalam jasmani manusia. Jika manusia melakukan tindakan berbuat zhalim kepada sesama atau selalu menganiaya yang lemah atau selalu berbuat maksiat dengan tidak mau bersyukur maka hukum alam yang telah berlaku dan juga  merupakan sunnatullah telah menjadi perbuatan diri kita.

 

Selanjutnya jika hal ini terjadi di dalam diri kita, bagaimana kita harus menyikapinya? Jika kita ingin selalu berada di dalam kehendak Allah SWT maka tidak ada jalan lain kecuali kita menolak atau meniadakan atau tidak menjadikan hukum alam tersebut berlaku bagi diri kita.Sekarang apa jadinya jika sampai sifat jasmani yang selalu bermaksiat terus menerus sampai mempengaruhi diri manusia? Jika ini yang terjadi maka kenyamanan, ketentraman, kerukunan hidup di dalam masyarakat hilang, yang ada perasaan untuk mengintimidasi orang lain, tingginya rasa permusuhan di antara sesama, serta hilangnya kepercayaan di tengah masyara-kat. Adanya kondisi ini memudahkan setan memecah belah umat dan serta memudahkan setan menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa.

 

f.  Selalu Minta Perlindungan Kepada Makhluk. Adakah sifat meminta perlin-dungan kepada makhluk dalam diri manusia? Jawabannya dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al Jin (72) ayat 6 berikut ini: Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki diantara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” Adanya sifat ini dalam diri manusia maka akan menimbulkan yang lemah akan selalu meminta perlindungan atau akan selalu minta untuk dilindungi oleh yang kuat sehingga terjadilah adu kuat di antara mereka. Sekarang adakah kondisi yang terjadi di alam juga terjadi di dalam diri manusia? Di dalam diri setiap manusia juga terjadi hal yang sama jika terjadi pertentangan ataupun di dalam keadaan tertentu yang mengakibatkan manusia terjepit. Untuk itu manusia biasanya akan selalu meminta perlindungan kepada makhluk tertentu yang dianggap mampu untuk melindungi-nya. Di lain sisi Allah SWT sudah menyatakan dengan tegas bahwa Allah SWT akan menjadi penolong dan pelindung bagi hamba-Nya yang beriman. Sekarang jika kita mengalami hal tersebut di atas kemanakah kita mencari perlindungan? Semuanya terpulang kepada diri kita sendiri.

 

Selanjutnya apa yang terjadi jika sifat jasmani yang selalu meminta perlindungan kepada makhluk sampai mempengaruhi diri kita melalui jalan ahwa (hawa nafsu)? Jika ini yang terjadi maka akan ada manusia-manusia yang merasa dirinya jagoan, akan ada apa yang dinamakan jawara-jawara yang dapat dimintakan tolong baik untuk kebaikan maupun untuk keburukan. Adanya kondisi ini maka akan timbul di dalam masyarakat apa yang dinamakan rasa kebencian terhadap kelompok masyarakat tertentu, rasa mementingkan kelompok tertentu tumbuh di dalam masyarakat, stigma buruk dan jelek kepada kelompok tertentu tumbuh subur, yang pada akhirnya akan menghan-curkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa.

  

g.   Suka Membantah, Menantang dan Membangkang. Adakah sifat suka memban-tah, menantang dan membangkang ada dalam diri manusia? Jawabannya dikemukakan oleh Allah dalam surat Al Nahl (16) ayat 4 berikut ini: Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata.” Dan juga berdasarkan ketentuan surat Al Kahfi (18) ayat 54 yang kami kemukakan berikut ini: Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam AlQur’an ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” Kenapa timbul sifat ini di dalam diri manusia, padahal sebelumnya manusia itu tidak mempunyai kemampuan apa-apa pada waktu dilahirkan? Timbulnya sifat pembantah, penentang dan pembangkang di dalam diri setiap orang disebabkan di dalam diri manusia juga terdapat hawa panas yang berasal dari api. Sifat api atau hawa panas biasanya selalu ingin menang sendiri dan tidak mau tunduk kepada siapapun. Dan hawa panas biasanya akan langsung keok atau tidak dapat berbuat apa-apa jika bertemu dengan air. Sekarang perhatikan orang  pembangkang dan pembantah, dia baru akan terdiam jika sudah tersudutkan atau setelah di “skak-mat” baru tidak dapat membantah lagi. Lalu, pernahkah kita merasakan hal tersebut di atas. Sekarang apa jadinya jika sifat jasmani yang suka membantah, membangkang dan juga suka menantang sampai mempengaruhi diri manusia? Jika ini yang terjadi maka akan di dalam diri dan juga masyarakat rasa untuk memberontak, rasa tidak puas serta merasa diri jagoan, merasa diri benar orang lain salah dan seterusnya yang pada akhirnya akan selalu berada di dalam kehendak syaitan, tetapi tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT.

 

h.     Suka Ingkar. Adanya sifat ingkar dalam diri manusia dikemukakan Allah SWT dalam  surat Az Zukhruf  (43) ayat 15 berikut ini: Dan mereka menjadikan sebahagian dari hamba-hambaNya sebagai bahagian dari padaNya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap) rahmat Allah).”  Sekarang pernahkah anda merasakan atau mengalami hal tersebut di atas? Setiap manusia pasti mengalami apa yang dinamakan dengan ingkar, merasa kufur atas nikmat yang telah diberikan Allah SWT. Hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran diri akibat selalu mementingkan jasmani dibandingkan mementingkan ruh (ruh nomor sepatu, jasmani nomor satu). Sekarang apa jadinya jika sifat jasmani yang suka ingkar atau suka kufur nikmat sampai mempengaruhi diri manusia? Jika ini yang terjadi maka di dalam diri dan juga di dalam masyarakat, akan  timbul rasa tidak pernah puas dengan apa yang telah diperoleh, susah untuk bersyukur atau susah untuk mengakui kekalahan walaupun sudah menyatakan siap menang dan siap kalah. Hal ini sangat bertentangan dengan kehendak Allah SWT namun sesuai dengan kehendak setan. Sebagai khalifah di muka bumi yang baik, tentu kita tidak diperkenankan berbuat seperti apa yang kami kemukakan di atas, terkecuali diri kita merasa nyaman dengan kehendak setan.

 

i.     Suka Zhalim dan Tidak Mensyukuri Nikmat. Adakah sifat suka dzalim dan ti-dak mensyukuri nikmat dalam diri manusia? Jawabannya ada pada surat Ibrahim (14) ayat 34 berikut ini: Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung ni’mat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (ni’mat Allah).” Timbul pertanyaan, dari manakah asalnya sifat ini? Untuk itu lihatlah dan perhatikanlah dunia hewan, seekor  hewan buas ditolong oleh manusia apakah hewan tersebut berterima kasih kepada manusia yang telah menolongnya? Hewan buas setelah ditolong bukannya berterima kasih malah menyerang balik manusia yang telah menolongnya. Dan jika sekarang di dalam diri manusia terjadi hal yang serupa, apakah ini berarti manusia mengambil contoh dari apa yang terjadi di alam? Jasmani yang berasal dari alam tentunya mempunyai nilai-nilai tertentu yang diturunkan dari alam (ingat, kita juga senang mengkonsumsi hewan). Timbul pertanyaan manusiakah yang mengambil contoh atas perilaku hewan ataukah hewan yang mengikuti perilaku manusia?

 

Lalu apa jadinya jika sifat jasmani yang suka berbuat zhalim dan tidak suka bersyukur sampai mempengaruhi diri manusia? Jika ini yang terjadi maka di dalam diri dan juga di dalam masyarakat maka akan terjadilah apa yang dinamakan yang kuat menindas yang lemah, yang berkuasa menindak yang membutuhkan sesuatu, aparatur yang seharusnya melayani justru ingin dilayani serta rendahnya tingkat kesadaran di dalam masyarakat untuk berbuat kebaikan. Jika sampai hal ini terjadi rusaklah tatanan hidup di masyarakat bangsa dan negara dan kondisi ini sangat dinantikan oleh setan namun sangat dibenci oleh Allah SWT.

 

j.     Dalam Bahaya Ingat Allah SWT, Jika Selamat Lupa Untuk Bersyukur. Sifat ma-nusia yang seperti ini dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al israa’ (17) ayat 67 berikut ini: Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih.” Sifat jasmani yang seperti ini tidak ubahnya dengan sifat hewan buas, setelah ditolong menyerang balik penolongnya. Sekarang bagaimana dengan manusia dalam kehidupan sehari-hari? Manusia juga sering lupa siapa yang menolongnya. Lalu apa jadinya jika sifat jasmani yang ingat kepada Allah SWT hanya pada saat ada perlunya saja sampai mempengaruhi diri manusia? Jika ini yang terjadi maka di dalam diri dan juga di dalam masyarakat maka akan terjadi budaya pamrih, hilang rasa ikhlas di dalam bekerja dan berbuat sesuatu, tumbuh subur budaya udang di balik batu, tingkat produktifitas rendah karena kurang ikhlas di dalam bekerja dan berkarya. Kondisi sangat disukai oleh setan sang laknatullah namun sangat dibenci oleh Allah SWT dan semoga kita tidak termasuk orang-orang yang melakukan itu semua.

 

k.   Tergesa-gesa Tidak Sabaran dan Ingin Cepat. Adapun sifat lainnya yang ada di dalam diri manusia adalah suka tergesa-gesa, tidak sabaran dan selalu ingin cepat selesai. Keinginan ini biasanya akan tercermin pada saat kita diharuskan untuk mengantri atau berbaris satu persatu untuk mengambil sesuatu atau pada waktu terjadi kemacetan lalu lintas. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Allah SWT dalam firmanNya: dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa. (surat Al Isra’ (17) ayat 11).”  Selanjutnya apa yang terjadi pada tubuh kita setelah kita melakukan hal tersebut diatas? Biasanya kita akan mengumpat, menggerutu dan seterusnya dan sebaliknya kita akan senang jika orang lain dibuat susah.

 

Sekarang bagaimana jika ahwa (hawa nafsu) yang berasal dari sifat tergesa-gesa atau tidak sabaran atau ingin cepat mempengaruhi sifat ruh atau mempengaruhi perbuatan manusia? Jika sifat jasmani yang seperti ini sampai mempengaruhi perbuatan manusia maka manusia tersebut tidak akan mau disuruh mengantri, selalu meminta perlakuan khusus jika harus mengantri, tidak mau diatur di dalam kepentingan bersama secara urutan, sehingga apa yang dilakukan harus ia dahulu yang dilayani, harus ia dahulu yang memperoleh sesuatu sedangkan secara urutan ia memperoleh belakangan. Jangan sampai diri kita melakukan hal seperti ini dan jika sampai kita laksanakan berarti diri telah dipengaruhi atau telah memperturutkan ahwa (hawa nafsu).

 

l.     Tidak Mau Mensyukuri Nikmat Allah SWT. Adakah sifat tidak mau mensyu-kuri nikmat Allah SWT di dalam diri manusia? Jawabannya ada pada surat Al Hajj (22) ayat 66 berikut ini:“Dan dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, sesungguhnya manusia itu, benar-benar sangat mengingkari ni’mat.”. Jika ini yang terjadi dalam kehidupan diri kita berarti sifat jasmani yang tidak mau bersyukur, atau yang tidak mau mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Allah SWT sejalan dengan hukum pembagian dan juga hukum pengurangan yang mana kedua hukum ini adalah ketentuan yang sangat sulit dilaksanakan oleh manusia karena manusia sangat sulit untuk berbagi kepada sesama atau manusia paling tidak suka untuk mengurangi haknya kepada orang lain. Manusia lebih senang dan suka untuk selalu menambah dan mengalikan apa yang dimilikinya, dimana kondisi ini sangat bertentangan dengan hukum pembagian dan pengurangan. Sekarang yang manakah yang anda miliki dan yang anda laksanakan, apakah konsep pembagian dan pengurangan ataukah konsep perkalian dan penjumlahan!

 

m. Ditimpa Bahaya Berdoa, Senang Kafir. Adakah sifat ditimpa bahaya berdoa, senang menjadi kafir dalam diri manusia? Jawabannya telah dikemukakan oleh Allah SWT dalam firmanNya surat Asy Syuura (42) ayat 48 sebagaimana berikut ini: Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Sesungguhnya apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami dia bergembira ria karena rahmat itu. Dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena sesungguhnya manusia itu amat ingkar (kepada ni’mat).”  Selain ayat di atas, Allah SWT juga mengemukakan dalam surat Yunus (10) ayat 12 yang kami kemukakan berikut ini: “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo’a kepada kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” 

 

Berdasarkan ke dua ayat di atas, sifat manusia yang dipengaruhi oleh sifat alamiah jasmani adalah jika ditimpa bahaya, atau mengalami kekurangan, atau dalam posisi terjepit maka ia akan  akan selalu berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah SWT. Namun setelah doanya dikabulkan oleh Allah SWT maka ia lupa, ia lalai, merasa apa yang telah diperolehnya bukan atas bantuan Allah SWT.  Selanjutnya jika perbuatan yang kita lakukan seperti di atas ini, berarti apa yang kita lakukan sama dengan hewan buas yang telah kita tolong. Sekarang hewankah yang meniru kita atau kita kah yang meniru tingkah laku hewan?

 

n.    Selalu Dalam Kerugian. Adakah sifat manusia selalu dalam kerugian itu ada di dalam diri manusia? Jawabannya telah dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al Ashr (103) ayat 1 dan 2 sebagaimana berikut ini:Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian.”  Jika ini adalah sifat dari jasmani berarti perbuatan dari jasmani (ahwa/hawa nafsu) adalah menghabiskan dan menghambur hamburkan waktu dengan cara cara yang tidak berguna atau menganggap waktulah yang menunggunya.

 

Manusia berpikir bahwa waktu adalah sesuatu yang dapat dikendalikannya atau bahkan dapat dibelinya sehingga pada saat waktu itu telah habis atau akan berakhir barulah manusia itu sadar dan berharap waktu akan kembali lagi. Di sinilah letaknya jika manusia dikatakan selalu berada di dalam kerugian. Kerugian yang terjadi akibat kelalaian di dalam memanfaatkan waktu atau tidak mampunya kita memanfaatkan saat bersatunya ruh dengan jasmani sehingga fungsi dari kekhali-fahan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT kepada diri kita tidak dapat terlaksana dengan baik dan benar. 

 

Berdasarkan apa-apa yang telah kami kemukakan tentang 14 (empat belas) sifat-sifat alamiah jasmani, yang di dalam AlQuran disebut dengan insan. Tidak ada satupun sifat-sifat alamiah jasmani (insan) yang sesuai dengan nilai-nilai kebaikan yang berasal dari nilai-nilai Ilahiah.Dan sifat-sifat alamiah jasmani yang kami kemukakan di atas dan perbuatannya (ahwanya) kesemuanya mencerminkan nilai-nilai keburukan yang sangat dikehendaki oleh setan sang laknatullah. Lalu perlukah kita meratapi dan memperta-nyakan kembali sifat-sifat alamiah jasmani? Sifat sifat alamiah jasmani yang telah kami sebutkan diatas merupakan sunnatullah yang harus berlaku di muka bumi ini sama seperti sifat garam yaitu asin dan mengasinkan atau sifat gula yaitu manis dan memaniskan. Kita semua tidak dapat merubah sifat gula maupun sifat garam, yang dapat kita lakukan adalah meramu atau mencampur sifat gula dan sifat garam menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi hidup dan kehidupan.

 

Saat ini sifat-sifat jasmani sudah ada di dalam diri setiap manusia, lalu dapatkah sifat-sifat itu dirubah atau ditiadakan? Sifat-sifat alamiah jasmani yang ada pada jasmani tidak dapat ditiadakan atau dihilangkan. Akan tetapi harus kita jadikan rambu-rambu (larangan-larangan) yang tidak boleh dilanggar jika kita ingin selamat dan sukses menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi sehingga mampu menghantarkan diri kita pulang kampung ke  syurga.

 

Dan jika saat ini kita masih hidup tentu kondisi ini sedang kita alami, tinggal bagaimana kita menyikapi hal ini yang sunnatullah sudah berlaku di alam semesta ini. Perjalanan masih panjang. Jangan berhenti belajar. Jangan berhenti berjuang dan jangan pula berhenti berbuat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Selanjutnya, setelah diri kita mengetahui tentang sifat sifat alamiah jasmani (insan) maka langkah berikutnya adalah kita harus mengetahui pula pola kerja dari sifat sifat jasmani, atau cara kerja ahwa/hawa nafsu di dalam mempengaruhi diri manusia. Adanya pengetahuan tentang hal ini maka kita akan mengetahui cara mengatasi dan mengalahkan ahwa (hawa nafsu) secara bermartabat karena ahwa (hawa nafsu) tidak bisa dibunuh atau dihabisi total, atau tidak bisa dibuang habis dalam diri. Ahwa (hawa nafsu) akan tetap ada dalam diri manusia sepanjang jasmani dengan ruhani belum dipisahkan melalui proses kematian yang dilakukan oleh malaikat sang pencabut nyawa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar