F. DIMENSI JASMANI DENGAN SIFAT, PERBUATAN DAN
KEMAMPUAN SERTA SEGALA RAHASIA YANG MENYERTAINYA
Pertunjukkan pertama
yang harus bisa kita renungkan saat hidup di muka bumi ini adalah bagaimana
sperma yang jumlahnya begitu banyak memperebutkan satu indung telur yang
terdapat di dalam rahim seorang ibu. Dan
hanya sperma yang paling baiklah (yang paling superior, yang paling hebat dan
yang paling super kualitasnya) yang bisa memenangkan pertandingan diantara
sesama sperma, yang dibuktikan dengan terjadinya pembuahan sel telur dalam
rahim seorang ibu oleh sperma yang terbaik. Dan kondisi ini sudah
dipertontonkan kepada seluruh umat manusia yang di dalamnya menunjukkan hanya
yang terbaiklah menjadi jasmani diri kita. Sadarkah kita dengan keadaan ini!
Setelah itu terjadi
maka terjadilah sebuah proses lanjutan yang sangat luar biasa yang terjadi di
dalam rahim seorang ibu, yang kesemuanya dicatat perkembangannya oleh Malaikat,
yang dilanjutkan dengan adanya peniupan ruh ke dalam jasad, jika jasad sudah berumur
120 (seratus dua puluh) hari. Proses ini dikemukakan oleh Allah SWT di dalam
surat As Sajdah (32) ayat 7-8-9 yang kami kemukakan berikut ini:. “Yang
membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina (mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke
dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.”
Dari sinilah kita
mengetahui bahwa setiap manusia, termasuk diri kita, pasti terdiri dari unsur
jasad (jasmani) dan juga unsur ruh. Ruh asalnya dari Allah SWT sedangkan
jasmani asalnya dari tanah yang berasal dari saripati makanan dan minuman yang
kita konsumsi. Dan ini menandakan atau menujukkan bahwa setiap manusia siapapun
orangnya pasti adalah makhluk dwidimensi.
Adanya perbedaan asal usul dari jasmani dan
ruhani maka dapat dipastikan antara
jasmani dan ruhani pasti memiliki sifat, perbuatan dan kemampuan yang berbeda
serta cara perawatannya juga dapat dipastikan berbeda pula dan juga ketentuan
yang mengikat keduanya pun berbeda pula. Jasmani memiliki sifat yang di dalam AlQuran
diistilahkan dengan istilah insan, sedangkan perbuatan dari sifat jasmani
(insan) disebut juga dengan ahwa (hawa nafsu). Adapun kemampuan jasmani untuk
melakukan perbuatannya disebut juga dengan basyar. Sifat-sifat alamiah jasmani
yang berasal dari saripati alam mencerminkan nilai nilai keburukan yang
kesemuanya sangat dikehendaki oleh setan.
Lalu bagaimana dengan ruh? Ruh juga memiliki
sifat alamiah seperti halnya jasmani, yang di dalam AlQuran dikemukakan sebagai
Nass. Lalu perbuatan dari sifat alamiah ruhani (Nass) disebut juga dengan
istilah Nafs/Anfuss sedangkan kemampuan dari ruh disebut juga dengan Ruh.
Adapun sifat sifat alamiah ruhani yang berasal dari Nur Allah SWT mencerminkan
nilai nilai kebaikan yang berasal dari Allah SWT yaitu cerminan dari asmaul
husna.
Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa
di dalam diri setiap manusia termasuk di dalam diri kita, pasti terdapat dua
buah sifat, yaitu adanya nilai nilai keburukan yang berasal dari sifat alamiah
jasmani dan juga adanya nilai nilai kebaikan yang berasal dari sifat alamiah
ruhani. Lalu dengan adanya dua buah sifat yang berlainan dalam diri manusia
maka akan memiliki dampak yang sangat berbeda dalam kehidupan manusia, yaitu
adanya pengaruh buruk dari nilai nilai keburukan dan adanya pengaruh baik dari
nilai nilai kebaikan dan yang tercermin dengan adanya tarik menarik diantara
keduanya.
Lalu bisakah kita menghindarkan diri dari
ketentuan dalam surat As Sajdah (32) ayat 9 di atas? Sepanjang diri kita masih
disebut manusia maka sepanjang itu pula kita tidak bisa melepaskan diri dari
ketentuan yang berlaku. Kita harus tetap berhadapan dengan nilai nilai
keburukan (ahwa/hawa nafsu) yang ada di dalam jasmani manusia. Inilah yang kami
istilahkan dengan musuh dalam selimut dan ingat musuh dalam selimut ini sangat
dikehendaki oleh setan dan sudah pula diskenariokan oleh Allah SWT. Adanya
musuh di dalam selimut yang terdapat di dalam jasmani, disinilah salah satu
letak dari permainan yang sesungguhnya dimana diri kita yang sesungguhnya
adalah ruhani harus mampu memanfaatkan dan mendayagunakan jasmani yang sesuai
dengan kehendak Allah SWT. Dengan ketentuan gunakan dan manfaatkan jasmani
untuk kepentingan ruh tetapi sifat sifat alamiahnya harus dihilangkan. Lalu
diganti dengan sifat sifat alamiah ruh sehingga yang tampil menjadi perilaku
kehidupan kita adalah nilai nilai kebaikan yang sesuai dengan kehendak Allah
SWT.
Dilain sisi, hidup adalah saat dipersatukannya
ruh dengan jasmani, sehingga pada saat hidup itulah terjadi apa yang dinamakan
dengan tarik menarik antar dua buah sifat yang saling bertentangan dikarenakan
jasmani dan ruhani berasal dari asal usul yang berbeda. Lalu dengan adanya
tarik menarik di antara keduanya (jasmani dengan ruh) maka manusia dapat dibagi
menjadi dua golongan, yaitu:
Pertama, Golongan yang dikalahkan, diperbudak,
dibinasakan dan senantiasa berada di bawah perintah nafsunya (suatu keadaan
dimana sifat sifat jasmani mampu mengalahkan sifat sifat ruhani) sehingga nilai
nilai kebaikan mampu dikalahkan oleh nilai nilai keburukan, yang pada
akhirnya nilai nilai keburukan yang
menjadi perilaku manusia (jiwa fujur). Allah SWT berfirman: “dan
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (surat
Asy Syams (91) ayat 7 sampai 10)”. Golongan jiwa fujur akan dibedakan
menjadi tiga, yaitu jiwa hewani, jiwa amarah dan jiwa mushawwilah.
Kedua, Golongan yang dapat mengalahkan dan
menundukkan nafsunya sehingga nafsunya taat dan menjalankan perintahnya (suatu
keadaan dimana sifat sifat jasmani mampu dikalahkan oleh sifat sifat ruhani)
sehingga nilai nilai kebaikan mampu mengalahkan nilai nilai keburukan sehingga nilai nilai kebaikan yang menjadi
perilaku manusia (jiwa taqwa). Adanya kondisi ini, dimanakah posisi diri kita
saat ini, apakah yang termasuk di dalam jiwa fujur, ataukah yang termasuk di
dalam jiwa taqwa? Semoga jiwa kita termasuk di dalam jiwa taqwa.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus
khalifah-Nya di muka bumi, ketahuilah bahwa ahwa (hawa nafsu) dapat dipastikan
akan menjerumuskan manusia kepada kebinasaan, menolong musuh, rakus terhadap
sesuatu yang buruk, dan mengikuti kejahatan dan keburukan. Ahwa (hawa nafsu),
sesuai dengan tabiatnya menyukai pelanggaran. Karena itu, nikmat yang tidak ada
bandingnya adalah dapat lari darinya dan membebaskan diri dari perbudakan ahwa
(hawa nafsu). Ahwa (hawa nafsu) juga adalah hijab atau penghalang terbesar antara
hamba dengan Allah SWT. Dan manusia yang paling mengetahui nafsunya
adalah manusia yang paling keras menegur dan membencinya. Disinilah letak dari
pentingnya kita berjihad melawan hawa nafsu yang sesuai dengan ketentuan hadits berikut ini: “Jihad
yang paling utama adalah seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa
nafsunya” (Hadits shahih diriwayatkan
oleh Ibnu Najjar dari Abu Dzarr).
Selain daripada itu, berdasarkan surat An
Nazi’at (79) ayat 37 sampai 41 berikut ini: Adapun orang yang melampaui
batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, Maka Sesungguhnya nerakalah
tempat tinggal(nya).dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya
dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat
tinggal(nya)”. Berdasarkan ayat ini, ahwa (hawa nafsu) pada hakekatnya
menyeru manusia untuk berbuat melampaui batas dan mengutamakan kehidupan dunia
dengan mengesam-pingkan kehidupan akhirat. Sedangkan Allah SWT menyeru untuk
bertaqwa dan tidak menuruti keinginan ahwa (hawa nafsu). Adanya kondisi ini
menunjukkan di dalam diri manusia ada sesuatu yang saling kontroversial, namun
dibalik kontroversial ini terdapat sebuah permainan yang harus kita laksanakan,
yaitu mampukah diri kita berada sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Di dalam ahwa (hawa nafsu) juga terdapat
perilaku binatang, seperti keserakahan burung gagak, ketamakan anjing,
kebodohan burung merak, kedurhakaan biawak, kedengkian unta, keganasan singa,
kefasikan tikus, kekejian ular, kesiasiaan kera, penghimpunan lebah, makarnya
srigala, kepandiran kupu kupu, dan tidurnya anjing hutan. Adanya perilaku
binatang yang kami kemukakan di atas ini, bukanlah isapan jempol melainkan
sesuatu yang nyata. Lihatlah orang yang mempertuhankan ahwa/hawa nafsunya
perilakunya telah berubah tidak ubahnya seperti perilaku binatang.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus
khalifah-Nya di muka bumi, ketahuilah bahwa dalam jiwa setiap manusia, ada tiga
penyeru yang saling tarik menarik, yaitu:
1. Penyeru yang mendorong
seseorang untuk berperilaku seperti perilaku setan, mi-salnya congkak, dengki,
tinggi hati, melampaui batas, suka berbuat jahat, suka mencela, merusak dan
suka menipu;
2. Penyeru yang mendorong
seseorang untuk berperilaku seperti perilaku binatang, yaitu penyeru yang
menuntutnya untuk memenuhi tuntutan syahwat;
3. Penyeru yang mendorong
seseorang untuk berperilaku seperti perilaku malaikat, misalnya suka berbuat
kebajikan, gemar memberi dan menerima nasehat, berbakti, cinta ilmu, dan selalu
bersikap taat.
Untuk itu ketahuilah bahwa melatih nafsu
(mengendalikan ahwa/hawa nafsu) lebih sulit daripada melatih singa. Singa, jika
sudah dimasukkan ke dalam kerangkeng oleh pemiliknya, amanlah kita dari
bahayanya. Adapun ahwa (hawa nafsu), walaupun sudah dipenjarakan, belum tentu
kita aman dari bahayanya. Dan jihad melawan ahwa (hawa nafsu) wajib hukumnya
bagi setiap manusia tanpa terkecuali. Jihad melawan ahwa (hawa nafsu) terdiri
dari empat tahapan, yaitu:
1. Melawannya
dengan mempelajari petunjuk dan Agama yang benar. Agama yang keberuntungan dan
kebahagiaan dalam hidup dan mati hanya dapat diraih dengan agama ini, Jika
tidak mengetahui ajaran agama ini, maka seseorang akan merana di dunia dan
akhirat.
2. Melawannya
dengan mengamalkan ajaran Islam setelah mengetahuinya. Jika tidak diamalkan,
agama hanya menjadi pengetahuan yang tidak bermanfaat atau bahkan menjadi
pengetahuan yang berbahaya.
3. Melawannya
dengan mengajak manusia kepada agama yang benar dan menga-jarkannya kepada yang
belum mengetahui. Jika tidak melakukan hal ini, seseorang dapat dituduh telah
menyembunyikan petunjuk dan keterangan yang diturunkan oleh Allah SWT. Ilmunya
tidak bermanfaat, dan karenanya tidak dapat menyelamatkannya dari siksa api
neraka.
4. Melawannya
dengan kesabaran dalam menghadapi kesulitan dan celaan ketika mengajak manusia
ke jalan Allah dan semuanya harus dilakukan karena Allah SWT semata.
Agar diri kita mampu sukses melawan dan
mengalahkan ahwa (hawa nafsu) maka Allah SWT berfirman dalam surat Al Ankabuut
(29) ayat 69 berikut ini: “dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari
keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan
kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat
baik”. Berdasarkan ayat ini, kesuksesan melawan ahwa (hawa nafsu)
sangat tergantung kepada jihadnya (kesungguhannya) di dalam memerangi ahwa
(hawa nafsu).
Oleh karena itu, orang yang paling sempurna
pencapaiannya adalah orang yang paling keras jihadnya.Dan adapun jihad yang
diwajibkan, secara berurutan dapat kami kemukakan adalah: (1) jihad melawan ahwa (hawa nafsu); (2) jihad melawan ego; (3) jihad melawan setan dan; (4) jihad melawan dunia. Barangsiapa
berjihad melawan hal ini, Allah SWT akan membentangkan baginya jalan untuk
meraih ridhaNya yang akan menghantarkannya ke syurga. Sementara orang yang
meninggalkan jihad secara sengaja, akan kehilangan petunjuk sebesar jihad yang
ditinggalkannya. Rasulullah SAW bersabda: “Jihad yang paling utama adalah orang yang
berjihad melawan nafsunya karena Allah SWT”. Oleh karena itu, selama
kita belum mampu menundukkan dan memaksa nafsunya sendiri untuk melaksanakan
perintah dan meninggalkan larangan, seseorang tidak mungkin dapat memerangi
musuh yang berada di luar dirinya.
Rasulullah SAW bersabda: Orang yang berjihad adalah orang
yang menerangi nafsunya dalam taat kepada Allah, sedangkan orang yang berhijrah
adalah orang yang meninggalkan larangan Allah. (Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu
Majah)”. Berdasarkan hadits ini, tidak mungkin seseorang dapat
memerangi dan berada di tengah tengah musuh jika musuh yang berada di depannya
masih menguasai dirinya. Sekedar keluar untuk menghadapinya, ia pun tidak akan
mampu, kecuali jika ia menundukkan, atau mengalahkan nafsunya sendiri terlebih
dahulu. Sedangkan menurut hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath Thirmidzi
berikut ini: “Orang yang cerdas adalah orang yang dapat menundukkan nafsunya
kemudian bekerja untuk kehidupannya setelah mati. Sementara orang yang lemah
akalnya adalah orang yang menuruti hawa nafsunya kemudian berharap kepada
Allah”.
Di lain sisi, manusia terbagi dua kelompok,
yaitu : orang yang cerdas dan orang yang lemah akalnya. Orang yang cerdas adalah orang
yang cerdik yang berpendirian teguh dan selalu memperhatikan akibat segala
sesuatu. Ia dapat menundukkan dan menggunakan nafsunya untuk berbuat
sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan di akhirat. Orang yang lemah akalnya adalah
orang yang dungu yang tidak berpengetahuan, yang tidak pernah memikirkan buah
dari perbuatannya. Orang tersebut lebih suka mengikuti nafsunya yang
cenderung kepada sesuatu yang membawa kenikmatan duniawi, meskipun sebenarnya
kenikmatan itu membawa malapetaka bagi kehidupannya di akhirat, bahkan juga
bagi kehidupannya di dunia.
Orang yang mengikuti keinginan ahwa (hawa
nafsu)nya, dan ini yang biasanya terjadi, akan segera mendapatkan aib di dunia,
akan segara jatuh martabatnya di mata Allah dan manusia, dan akan segera
mendapatkan kehinaan. Dia tidak akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat
yang berupa ilmu yang bermanfaat dan rezeki yang luas lagi berkah.Sedangkan
orang yang melawan nafsunya serta tidak menuruti keinginannya, akan segera
mendapatkan balasan di dunia serta berkahnya yang berupa ilmu, iman dan rezeki.
Atau dengan kata lain, siapa saja yang mampu menguasai, mengalahkan dan
menundukkan ahwanya (hawa nafsu-nya), maka ia akan menjadi orang yang mulia
karena ia telah mengalahkan dan menawan musuhnya yang paling kuat serta
mencegah kejahatannya.
Dan agar diri kita mampu mengalahkan musuh
dalam selimut dengan cara yang bermartabat lagi terhormat. Prinsip perang ala “Sun Tzu” berikut ini bisa kita jadikan
pedoman, yaitu: “Ia yang mengenal pihak
lain (musuh) dan mengenal dirinya sendiri, tidak akan dikalahkan dalam seratus
pertempuran. Ia yang tidak mengenal pihak lain (musuh) tetapi mengenal dirinya
sendiri memiliki suatu peluang yang seimbang untuk menang atau kalah. Ia yang
tidak mengenal pihak lain (musuh) dan dirinya sendiri cenderung kalah dalam
setiap pertempuran.Jika Anda mengenal diri dan musuh Anda, Anda tidak akan
kalah dalam seratus pertempuran. (Sun Tzu dalam The Art of War)”. Sekarang sudahkah kita mengenal
diri dan mengenal musuh yang akan kita hadapi? Adalah sebuah yang tidak dapat
dimengerti oleh akal sehat jika kita ingin mengalahkan musuh tanpa pernah memiliki
ilmu tentang musuh (dalam hal ini ahwa (hawa nafsu) dan juga setan). Adanya
prinsip perang ala “Sun Tzu”
mengharuskan kita untuk mengetahui hakekat dan sifat sifat jasmani terlebih
dahulu sehingga dengan kita mengetahui hal yang paling mendasar ini maka
langkah untuk melawan dalam kerangka mengalahkan ahwa (hawa nafsu) menjadi
lebih mudah (kenali terlebih dahulu apa yang dinamakan dengan musuh dalam
selimut itu) yang dibarengi dengan diri kita tahu tentang diri sendiri yang
ditunjang dengan tahu dan mengerti tentang Allah SWT.
Dan untuk lebih memudahkan diri kita belajar
tentang ahwa (hawa nafsu) yang ada di dalam diri. Ada baiknya kita terlebih
dahulu mempelajari sebuah pernyataan yang berasal dari “Dorothy Law Nolte, Phd’
tentang anak-anak yang belajar dari lingkungannya, yaitu:
a. Jika anak tumbuh di
lingkungan yang sering mengkritik, ia belajar untuk menya-lahkan;
b. Jika anak tumbuh di lingkungan yang penuh
kekerasan, ia belajar untuk berkelahi;
c. Jika anak tumbuh di lingkungan yang sering menakutnakuti, ia belajar untuk
mu-dah untuk khawatir;
d. Jika anak tumbuh di lingkungan yang penuh
kesedihan, ia belajar untuk mengasihi diri;
e. Jika anak tumbuh di
lingkungan yang sering mempermalukan, ia belajar menjadi pemalu;
f. Jika anak tumbuh di
lingkungan yang penuh kecemburuan, ia belajar untuk men-dendam;
g. Jika anak tumbuh di
lingkungan yang sering menyalahkan, ia dihantui rasa bersa-lah;
h. Jika anak tumbuh di lingkungan yang memberi
semangat, ia belajar untuk percaya diri;
i. Jika anak tumbuh di
lingkungan yang penuh toleransi, ia belajar untuk bersabar;
j. Jika anak tumbuh di
lingkungan yang memberi pujian, ia belajar untuk meng-hargai;
k. Jika anak tumbuh di lingkungan yang menerima
apa adanya, ia belajar untuk mencintai;
l. Jika anak tumbuh di
lingkungan yang memberikan dukungan, ia belajar untuk me-nyenangi dirinya;
m. Jika anak tumbuh di lingkungan yang memberikan
penghargaan, ia belajar memi-liki tujuan dan cita cita;
n. Jika anak tumbuh di lingkungan yang menjunjung
tinggi kejujuran, ia belajar un-tuk mencintai kebenaran;
o. Jika anak tumbuh di lingkungan yang menghargai
keadilan, ia belajar untuk ber-sikap adil;
p. Jika anak tumbuh di lingkungan yang baik hati
dan penuh tanggung jawab, ia be-lajar untuk menghormati;
q. Jika anak tumbuh di lingkungan yang penuh rasa
aman, ia belajar untuk memiliki keyakinan dan berbaik sangka;
r. Jika anak tumbuh di
lingkungan yang bersahabat, ia belajar untuk merasa bahwa dunia ini indah dan
hidup ini begitu berharga.
Jika anak saja bisa berubah perilakunya
dikarenakan adanya pengaruh lingkungan. Hal
yang samapun berlaku pada diri kita, jika selalu berada di dalam lingkungan
yang sama dengan anak tersebut (maksudnya jika kita selalu berada di dalam
lingkungan nilai nilai keburukan yang berasal dari jasmani dan nilai nilai
kebaikan yang berasal dari ruh), maka kitapun akan terpengaruh dengan
lingkungan itu.
Sekarang mari kita pelajari lebih seksama lagi
tentang salah satu dimensi yang ada di dalam diri kita sendiri, yaitu dimensi
jasmani, sebagaimana dikemukakan oleh “Bachtiar Ma’ani” dalam bukunya “Let’s
Know At Tauhid : Kisi Kisi Pembelajaran Ilmu Tauhid”, sebagaimana
berikut ini:
1. Sifat Sifat Jasmani Manusia. Sekarang mari kita perhatikan lingkungan yang
ada pada diri kita sendiri, yaitu saat diri kita masih hidup berarti kita
sedang berhadapan langsung dengan dua buah lingkungan, yaitu: (a) lingkungan yang bercirikan nilai-nilai
keburukan (insan) yang berasal dari sifat alamiah jasmani yang berasal dari
alam yang kesemuanya sesuai dengan kehendak setan dan juga; (b) lingkungan yang
bercirikan nilai- nilai kebaikan (nass) yang berasal dari sifat alamiah ruh
yang berasal dari Allah SWT dan yang tentunya sesuai dengan kehendak Allah.
Lalu di posisi manakah diri kita saat ini, apakah yang sesuai dengan kehendak
setan ataukah yang sesuai dengan kehendak Allah SWT!. Untuk bisa menentukan
dimana posisi kita saat ini, mari kita pelajari salah satu lingkungan yang
melingkungi diri kita dalam hal ini adalah lingkungan yang berasal dari dalam
jasmani diri kita sendiri yang bercirikan nilai nilai keburukan (insan), yaitu
:
a. Diciptakan Dengan Keadaan Lemah (Terbatas). Sekarang adakah sifat lemah (dhaif) di dalam
diri manusia? Sifat lemah ada di dalam diri manusia sebagaimana dikemu-kakan
oleh Allah SWT dalam firman-Nya berikut ini: “Allah hendak memberikan keringanan
kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (surat An Nisaa’ (4) ayat 28).
Selain ayat di atas, adanya sifat lemah juga dikemukakan oleh Allah SWT
dalam surat Ar Ruum (30) ayat 54 sebagaimana kami kemukakan berikut ini: “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari
Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Keadaan lemah itu menjadi
kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan
beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha
mengetahui lagi Maha Kuasa.” Adanya
sifat lemah dalam diri yang berasal dari sifat jasmani menunjukkan bahwa
jasmani memiliki keterbatasan sehingga kemampuan jasmani manusia ada batasnya,
tidak mampu selamanya kuat sehingga jasmani memiliki penurunan fungsi setelah
mencapai titik optimalnya.
Jika sekarang jasmani memiliki sifat lemah
(dhaif) berarti perbuatan jasmani (ahwa/hawa nafsu yang ada pada diri kita
setiap manusia) adalah melemahkan diri kita. Sedangkan kekuatan dan kemampuan
untuk melemahkan sangat tergantung dengan kemampuan sifat lemah tersebut di
dalam mempengaruhi manusia.Dan jika sifat lemah
mampu mempengaruhi atau mampu mengalahkan sifat ruh maka manusia (diri kita)
dibuat malas untuk beraktifitas, hanya berorientasi jangka pendek, rendah
motivasi, selalu bersikap pesimis dan lain sebagainya yang akhirnya
manusia berada di dalam koridor nilai-nilai keburukan atau berada di dalam suatu keadaan yang paling
dikehendaki oleh syaitan.
Hal ini sangat bertentangan kehendak Allah SWT
kepada diri kita yang selalu memerintahkan diri kita untuk selalu aktif berbuat
kebaikan dimanapun dan kapanpun, yang beriorientasi jangka panjang (maksudnya
tidak hanya untuk duniawi semata), selalu memiliki motivasi untuk maju dengan
selalu bersikap optimis. Dan jika sampai diri kita mampu dipengaruhi oleh ahwa
(hawa nafsu) berarti kita sendirilah yang memberikan kesempatan bagi setan
untuk melaksanakan aksinya k epada diri kita.
b. Keluh Kesah dan Kikir (Bakhil). Adakah sifat keluh kesah dan kikir lagi bakhil dalam
diri manusia? Jawabannya dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al Ma’aarij
(70) ayat 19-20-21 berikut ini: Sesungguhnya manusia diciptakan
bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusuahan ia berkeluh kesah.
Dan apabila dapat kebaikan ia amat kikir.”). Dan jika manusia memiliki sifat berkeluh
kesah dan selalu kikir lagi bakhil berarti perbuatan jasmani (ahwa/hawa nafsu
yang ada pada diri kita) adalah selalu merasa dirinya kekurangan sehingga memelitkan
diri sendiri melalui enggan untuk berbagi kepada orang yang membutuhkan. Pada
akhirnya orang seperti ini hanya mementingkan diri sendiri, keluarga dan
kelompoknya saja tanpa pernah memperdulikan orang lain.
Hal ini terlihat jika manusia ditimpa kesusahan
ia selalu berkeluh kesah dan jika ia mendapat kebaikan selalu merasa kurang dan
akan kikir untuk berbagi kepada sesama. Jika di dalam diri kita sudah ada sifat
demikian, bagaimanakah kita harus bersikap sedangkan di lain sisi kita harus
berbagi kepada fakir miskin atau wajib menunaikan hak Allah SWT melalui zakat,
infaq, shadaqah. Kedua keadaan tersebut di atas akan terus terjadi selama
ruhani dan jasmani masih bersatu sehingga tarik menarik keduanya pasti akan
terjadi. Jika
Nilai-Nilai Ilahiah yang berasal dari ruhani dapat mengalahkan sifat-sifat
jasmani yang berasal dari alam maka kita akan menjadi dermawan dan jika
sebaliknya yang terjadi maka kikir dan bakhil serta mementingkan diri sendiri
yang terjadi.
Selanjutnya apa yang akan terjadi jika sifat
keluh kesah dan kikir sampai mempengaruhi diri kita atau jika ahwa (hawa nafsu)
mempengaruhi diri kita melalui sifat keluh kesah dan kikir? Jika sifat ini mempengaruhi diri kita maka
kita selalu merasa kekurangan sehingga tidak bisa menerima sesuatu secara
ikhlas, selalu iri melihat orang lain sukses dan juga selalu mementingkan diri
sendiri, susah untuk diajak berbagi untuk kepentingan bersama, demikian
seterusnya yang kesemuanya berkesesuaian dengan kehendak setan. Kondisi ini
sangat bertentangan dengan perintah Allah SWT kepada diri kita, seperti kita
diharuskan ikhlas menerima sesuatu, mau berbagi, tidak mendahulukan kepentingan
pribadi serta selalu bersyukur. Sekarang yang manakah perbuatan kita?
c. Loba, Tamak Akan Harta. Adakah sifat loba, tamak akan harta dalam diri
manusia? Jawabannya ada pada surat Al Fajr (89) ayat 17-18-19-20 yang kami
kemukakan berikut ini: “Sekali-kali tidak (demikian),
sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim. Dan kamu tidak saling mengajak
memberi makan orang miskin. Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur
baurkan (yang halal dan yang bathil) dan kamu mencintai harta benda dengan
kecintaan yang berlebihan.”
Dan jika manusia memiliki sifat loba, tamak atau rakus akan harta benda berarti
perbuatan jasmani (ahwa (hawa nafsu) yang ada pada diri kita) adalah selalu
merasa dirinya kekurangan sehingga semua ingin dimilikinya yang pada akhirnya
ia berbuat tanpa memikirkan dari mana harta ataupun benda itu berasal, apakah
halal ataupun haram semuanya dianggap sama rata.
Pernahkah
anda merasakan sifat ini di dalam diri kita atau adakah sifat ini di dalam diri
kita? Jika
saat ini kita merasa memiliki sifat loba, tamak apakah akan kita pertahankan
atau jika kita merasa tidak memiliki sifat loba, tamak apakah kita akan tetap
mempertahankan nya? Ingat, tangan di atas selalu lebih baik dari tangan
di bawah. Lalu, apa yang terjadi jika sifat loba, tamak, rakus akan harta
sampai mempengaruhi diri manusia atau seperti apakah kondisi ahwa (hawa nafsu)
di dalam mempengaruhi diri kita melalui sifat loba, tamak? Jika
sampai perbuatan loba, tamak akan harta menjadi perbuatan kita maka ahwa (hawa
nafsu) dari itu semua membuat diri kita melakukan segala cara untuk mendapatkan
sesuatu, halal dan haram bukanlah ukuran, melanggar ampo bukanlah masalah, yang
penting apa yang diinginkan dapat tercapai. Selanjutnya kondisi inilah yang
paling dikehendaki oleh setan sang laknatullah dan yang paling tidak disukai
dan dibenci oleh Allah SWT.
d. Selalu Berburuk Sangka Dengan Allah SWT. Adakah sifat buruk sangka dalam diri manusia?
Jawabannya ada pada surat Al Fajr (89) ayat 15-16 berikut ini: “Adapun
manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu memuliakanNya dan diberiNya
kesenangan, maka dia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila TuhanNya
mengujinya lalu membatasi rezkinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”. Jika
manusia selalu berburuk sangka ini adalah sifat jasmani berarti perbuatan dari
sifat jasmani ini adalah memandang sesuatu hal dari sisi keburukan semata tanpa
pernah mampu melihat dari sisi kebaikan atau isi positif sesuatu hal. Sehingga
menjadikan seseorang menjadi orang yang pesimis. Dan saking pesimisnya ia
berani untuk berburuk sangka kepada Allah SWT.
Sekarang pejamkan mata dan renungkan adakah
sifat ini di dalam diri kita? Jika sifat itu ada di dalam diri kita, baikkah
jika sifat ini kita pelihara dan kita lestarikan? Sekarang apa yang terjadi
jika sifat buruk sangka sampai mempengaruhi perbuatan manusia melalui ahwa? Jika sifat buruk sangka menyerang diri kita
maka diri kita akan selalu berprasangka buruk kepada siapapun, merasa diri kita
benar sehingga orang lain selalu salah, merasa orang lain ingin mencelakakan
diri kita padahal orang tersebut ingin menolong diri kita. Dan jika
sifat ini terus mengendap di dalam diri maka ketenangan bathin di dalam diri
sirna dikarenakan prasangka-prasangka buruk selalu menghantui diri, padahal apa
yang kita sangkakan belum tentu benar adanya.
e. Selalu Bermaksiat Terus Menerus. Adakah sifat selalu bermaksiat terus menerus ada
dalam diri manusia? Jawabannya ada pada
surat Al Qiyamah (75) ayat 5 berikut ini: “Bahkan
manusia itu hendak membuat maksiat terus menerus.” Jika ini adalah sifat dari manusia maka
perbuatan dari sifat jasmani (ahwa) ini adalah tidak pernah mau bersyukur atas
apa apa yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada diri kita yang ada hanyalah
kurang dan kurang. Selain tidak mau bersyukur, juga tidak mau mengalah atau
selalu mau menang sendiri seperti halnya huku alam yang lemah selalu dikalahkan
oleh yang kuat. Dan selama di alam itu ada maka hukum alam akan tetap berlaku
dan terus berlaku. Adanya hukum alam maka sifat alam juga akan ada di dalam
jasmani manusia. Jika manusia melakukan tindakan berbuat zhalim kepada sesama
atau selalu menganiaya yang lemah atau selalu berbuat maksiat dengan tidak mau
bersyukur maka hukum alam yang telah berlaku dan juga merupakan sunnatullah telah menjadi perbuatan
diri kita.
Selanjutnya jika hal ini terjadi di dalam diri
kita, bagaimana kita harus menyikapinya? Jika kita ingin selalu berada di dalam
kehendak Allah SWT maka tidak ada jalan lain kecuali kita menolak atau
meniadakan atau tidak menjadikan hukum alam tersebut berlaku bagi diri kita.Sekarang
apa jadinya jika sampai sifat jasmani yang selalu bermaksiat terus menerus
sampai mempengaruhi diri manusia? Jika ini yang terjadi maka kenyamanan,
ketentraman, kerukunan hidup di dalam masyarakat hilang, yang ada perasaan
untuk mengintimidasi orang lain, tingginya rasa permusuhan di antara sesama,
serta hilangnya kepercayaan di tengah masyara-kat. Adanya kondisi ini
memudahkan setan memecah belah umat dan serta memudahkan setan menghancurkan
persatuan dan kesatuan bangsa.
f. Selalu Minta Perlindungan Kepada Makhluk. Adakah sifat meminta perlin-dungan kepada makhluk
dalam diri manusia? Jawabannya dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al
Jin (72) ayat 6 berikut ini: “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki diantara jin, maka jin-jin itu menambah
bagi mereka dosa dan kesalahan.” Adanya
sifat ini dalam diri manusia maka akan menimbulkan yang lemah akan selalu
meminta perlindungan atau akan selalu minta untuk dilindungi oleh yang kuat
sehingga terjadilah adu kuat di antara mereka. Sekarang adakah kondisi yang
terjadi di alam juga terjadi di dalam diri manusia? Di dalam diri setiap
manusia juga terjadi hal yang sama jika terjadi pertentangan ataupun di dalam
keadaan tertentu yang mengakibatkan manusia terjepit. Untuk itu manusia
biasanya akan selalu meminta perlindungan kepada makhluk tertentu yang dianggap
mampu untuk melindungi-nya. Di lain sisi Allah SWT sudah menyatakan dengan
tegas bahwa Allah SWT akan menjadi penolong dan pelindung bagi hamba-Nya yang
beriman. Sekarang jika kita mengalami hal tersebut di atas kemanakah kita
mencari perlindungan? Semuanya terpulang kepada diri kita sendiri.
Selanjutnya apa yang terjadi jika sifat jasmani
yang selalu meminta perlindungan kepada makhluk sampai mempengaruhi diri kita
melalui jalan ahwa (hawa nafsu)? Jika ini
yang terjadi maka akan ada manusia-manusia yang merasa dirinya jagoan, akan ada
apa yang dinamakan jawara-jawara yang dapat dimintakan tolong baik untuk
kebaikan maupun untuk keburukan. Adanya kondisi ini maka akan timbul di
dalam masyarakat apa yang dinamakan rasa kebencian terhadap kelompok masyarakat
tertentu, rasa mementingkan kelompok tertentu tumbuh di dalam masyarakat,
stigma buruk dan jelek kepada kelompok tertentu tumbuh subur, yang pada
akhirnya akan menghan-curkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa.
g. Suka Membantah, Menantang dan Membangkang. Adakah sifat suka memban-tah, menantang dan
membangkang ada dalam diri manusia? Jawabannya dikemukakan oleh Allah dalam
surat Al Nahl (16) ayat 4 berikut ini: “Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah
yang nyata.” Dan juga berdasarkan ketentuan surat Al Kahfi (18) ayat 54
yang kami kemukakan berikut ini: “Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam
AlQur’an ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling
banyak membantah.” Kenapa
timbul sifat ini di dalam diri manusia, padahal sebelumnya manusia itu tidak
mempunyai kemampuan apa-apa pada waktu dilahirkan? Timbulnya sifat pembantah, penentang dan
pembangkang di dalam diri setiap orang disebabkan di dalam diri manusia juga
terdapat hawa panas yang berasal dari api. Sifat api atau hawa panas biasanya
selalu ingin menang sendiri dan tidak mau tunduk kepada siapapun. Dan hawa
panas biasanya akan langsung keok atau tidak dapat berbuat apa-apa jika bertemu
dengan air. Sekarang perhatikan orang
pembangkang dan pembantah, dia baru akan terdiam jika sudah tersudutkan
atau setelah di “skak-mat” baru tidak dapat membantah lagi. Lalu, pernahkah
kita merasakan hal tersebut di atas. Sekarang apa jadinya jika sifat jasmani
yang suka membantah, membangkang dan juga suka menantang sampai mempengaruhi
diri manusia? Jika ini yang terjadi maka
akan di dalam diri dan juga masyarakat rasa untuk memberontak, rasa tidak puas
serta merasa diri jagoan, merasa diri benar orang lain salah dan seterusnya
yang pada akhirnya akan selalu berada di dalam kehendak syaitan, tetapi
tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT.
h. Suka Ingkar. Adanya sifat ingkar dalam diri manusia dikemukakan
Allah SWT dalam surat Az Zukhruf (43) ayat 15 berikut ini: Dan mereka menjadikan sebahagian dari
hamba-hambaNya sebagai bahagian dari padaNya. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap) rahmat Allah).” Sekarang
pernahkah anda merasakan atau mengalami hal tersebut di atas? Setiap manusia
pasti mengalami apa yang dinamakan dengan ingkar, merasa kufur atas nikmat yang
telah diberikan Allah SWT. Hal ini terjadi karena
kurangnya kesadaran diri akibat selalu mementingkan jasmani dibandingkan
mementingkan ruh (ruh nomor sepatu, jasmani nomor satu). Sekarang
apa jadinya jika sifat jasmani yang suka ingkar atau suka kufur nikmat sampai
mempengaruhi diri manusia? Jika ini yang
terjadi maka di dalam diri dan juga di dalam masyarakat, akan timbul rasa tidak pernah puas dengan apa yang
telah diperoleh, susah untuk bersyukur atau susah untuk mengakui kekalahan
walaupun sudah menyatakan siap menang dan siap kalah. Hal ini sangat
bertentangan dengan kehendak Allah SWT namun sesuai dengan kehendak setan.
Sebagai khalifah di muka bumi yang baik, tentu kita tidak diperkenankan berbuat
seperti apa yang kami kemukakan di atas, terkecuali diri kita merasa nyaman
dengan kehendak setan.
i. Suka Zhalim dan Tidak Mensyukuri Nikmat. Adakah sifat suka dzalim dan ti-dak mensyukuri nikmat
dalam diri manusia? Jawabannya ada pada surat Ibrahim (14) ayat 34 berikut ini:
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang
kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung ni’mat Allah, tidaklah dapat
kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat
mengingkari (ni’mat Allah).” Timbul
pertanyaan, dari manakah asalnya sifat ini? Untuk itu lihatlah dan
perhatikanlah dunia hewan, seekor hewan
buas ditolong oleh manusia apakah hewan tersebut berterima kasih kepada manusia
yang telah menolongnya? Hewan buas setelah ditolong bukannya berterima kasih
malah menyerang balik manusia yang telah menolongnya. Dan jika sekarang di
dalam diri manusia terjadi hal yang serupa, apakah ini berarti manusia
mengambil contoh dari apa yang terjadi di alam? Jasmani yang berasal dari alam
tentunya mempunyai nilai-nilai tertentu yang diturunkan dari alam (ingat, kita
juga senang mengkonsumsi hewan). Timbul pertanyaan manusiakah yang mengambil contoh
atas perilaku hewan ataukah hewan yang mengikuti perilaku manusia?
Lalu apa jadinya jika sifat jasmani yang suka
berbuat zhalim dan tidak suka bersyukur sampai mempengaruhi diri manusia? Jika ini yang terjadi maka di dalam diri dan
juga di dalam masyarakat maka akan terjadilah apa yang dinamakan yang kuat
menindas yang lemah, yang berkuasa menindak yang membutuhkan sesuatu, aparatur
yang seharusnya melayani justru ingin dilayani serta rendahnya tingkat
kesadaran di dalam masyarakat untuk berbuat kebaikan. Jika sampai hal ini
terjadi rusaklah tatanan hidup di masyarakat bangsa dan negara dan kondisi ini
sangat dinantikan oleh setan namun sangat dibenci oleh Allah SWT.
j. Dalam Bahaya Ingat Allah SWT, Jika Selamat Lupa
Untuk Bersyukur.
Sifat
ma-nusia yang seperti ini dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al israa’ (17)
ayat 67 berikut ini: “Dan apabila kamu ditimpa bahaya di
lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia
menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak
berterima kasih.” Sifat
jasmani yang seperti ini tidak ubahnya dengan sifat hewan buas, setelah
ditolong menyerang balik penolongnya. Sekarang bagaimana dengan manusia dalam
kehidupan sehari-hari? Manusia juga sering lupa siapa yang menolongnya. Lalu
apa jadinya jika sifat jasmani yang ingat kepada Allah SWT hanya pada saat ada
perlunya saja sampai mempengaruhi diri manusia? Jika ini yang terjadi maka di dalam diri dan juga di dalam masyarakat
maka akan terjadi budaya pamrih, hilang rasa ikhlas di dalam bekerja dan
berbuat sesuatu, tumbuh subur budaya udang di balik batu, tingkat produktifitas
rendah karena kurang ikhlas di dalam bekerja dan berkarya. Kondisi sangat
disukai oleh setan sang laknatullah namun sangat dibenci oleh Allah SWT dan
semoga kita tidak termasuk orang-orang yang melakukan itu semua.
k. Tergesa-gesa
Tidak Sabaran dan Ingin Cepat.
Adapun sifat lainnya yang ada
di dalam diri manusia adalah suka tergesa-gesa, tidak sabaran dan selalu ingin
cepat selesai. Keinginan ini biasanya akan tercermin pada saat kita diharuskan
untuk mengantri atau berbaris satu persatu untuk mengambil sesuatu atau pada
waktu terjadi kemacetan lalu lintas. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Allah
SWT dalam firmanNya: “dan manusia mendoa untuk kejahatan
sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.
(surat Al Isra’ (17) ayat 11).” Selanjutnya
apa yang terjadi pada tubuh kita setelah kita melakukan hal tersebut diatas?
Biasanya kita akan mengumpat, menggerutu dan seterusnya dan sebaliknya kita
akan senang jika orang lain dibuat susah.
Sekarang bagaimana jika ahwa (hawa nafsu) yang
berasal dari sifat tergesa-gesa atau tidak sabaran atau ingin cepat
mempengaruhi sifat ruh atau mempengaruhi perbuatan manusia? Jika sifat jasmani yang seperti ini sampai
mempengaruhi perbuatan manusia maka manusia tersebut tidak akan mau disuruh
mengantri, selalu meminta perlakuan khusus jika harus mengantri, tidak mau
diatur di dalam kepentingan bersama secara urutan, sehingga apa yang dilakukan
harus ia dahulu yang dilayani, harus ia dahulu yang memperoleh sesuatu
sedangkan secara urutan ia memperoleh belakangan. Jangan sampai diri
kita melakukan hal seperti ini dan jika sampai kita laksanakan berarti diri telah
dipengaruhi atau telah memperturutkan ahwa (hawa nafsu).
l. Tidak Mau Mensyukuri Nikmat Allah SWT. Adakah sifat tidak mau mensyu-kuri nikmat Allah SWT
di dalam diri manusia? Jawabannya ada pada surat Al Hajj (22) ayat 66 berikut
ini: ““Dan dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan
kamu, sesungguhnya manusia itu, benar-benar sangat mengingkari ni’mat.”. Jika ini yang terjadi dalam kehidupan diri kita
berarti sifat jasmani yang tidak
mau bersyukur, atau yang tidak mau mensyukuri apa yang telah diberikan oleh
Allah SWT sejalan dengan hukum pembagian dan juga hukum pengurangan yang mana
kedua hukum ini adalah ketentuan yang sangat sulit dilaksanakan oleh manusia karena
manusia sangat sulit untuk berbagi kepada sesama atau manusia paling tidak suka
untuk mengurangi haknya kepada orang lain. Manusia lebih senang dan suka
untuk selalu menambah dan mengalikan apa yang dimilikinya, dimana kondisi ini
sangat bertentangan dengan hukum pembagian dan pengurangan. Sekarang
yang manakah yang anda miliki dan yang anda laksanakan, apakah konsep pembagian
dan pengurangan ataukah konsep perkalian dan penjumlahan!
m. Ditimpa Bahaya Berdoa, Senang Kafir.
Adakah sifat ditimpa bahaya
berdoa, senang menjadi kafir dalam diri manusia? Jawabannya telah dikemukakan
oleh Allah SWT dalam firmanNya surat
Asy Syuura (42) ayat 48 sebagaimana berikut ini: “Jika
mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka.
Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Sesungguhnya apabila
Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami dia bergembira ria
karena rahmat itu. Dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan
tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena sesungguhnya manusia itu
amat ingkar (kepada ni’mat).” Selain ayat di atas, Allah SWT juga
mengemukakan dalam surat Yunus
(10) ayat 12 yang kami kemukakan berikut ini: “Dan apabila manusia ditimpa bahaya
dia berdo’a kepada kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi
setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya
yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk
(menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang
melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.”
Berdasarkan ke dua ayat di atas, sifat manusia yang dipengaruhi oleh sifat
alamiah jasmani adalah jika ditimpa bahaya, atau mengalami kekurangan, atau
dalam posisi terjepit maka ia akan akan
selalu berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah SWT. Namun setelah doanya
dikabulkan oleh Allah SWT maka ia lupa, ia lalai, merasa apa yang telah
diperolehnya bukan atas bantuan Allah SWT.
Selanjutnya
jika perbuatan yang kita lakukan seperti di atas ini, berarti apa yang kita
lakukan sama dengan hewan buas yang telah kita tolong. Sekarang hewankah
yang meniru kita atau kita kah yang meniru tingkah laku hewan?
n. Selalu Dalam Kerugian. Adakah sifat manusia selalu dalam kerugian itu ada
di dalam diri manusia? Jawabannya telah dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat
Al Ashr (103) ayat 1 dan 2 sebagaimana berikut ini: “Demi
masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian.” Jika ini adalah sifat dari jasmani berarti perbuatan
dari jasmani (ahwa/hawa nafsu) adalah menghabiskan dan menghambur hamburkan
waktu dengan cara cara yang tidak berguna atau menganggap waktulah yang
menunggunya.
Manusia berpikir
bahwa waktu adalah sesuatu yang dapat
dikendalikannya atau bahkan dapat dibelinya sehingga pada saat waktu itu telah
habis atau akan berakhir barulah manusia itu sadar dan berharap waktu akan
kembali lagi. Di sinilah letaknya jika manusia dikatakan selalu berada di dalam
kerugian. Kerugian yang terjadi akibat kelalaian di dalam memanfaatkan waktu
atau tidak mampunya kita memanfaatkan saat bersatunya ruh dengan jasmani
sehingga fungsi dari kekhali-fahan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT kepada
diri kita tidak dapat terlaksana dengan baik dan benar.
Berdasarkan apa-apa yang telah kami kemukakan tentang 14 (empat belas)
sifat-sifat alamiah jasmani, yang di dalam AlQuran disebut dengan insan. Tidak
ada satupun sifat-sifat alamiah jasmani (insan) yang sesuai dengan nilai-nilai
kebaikan yang berasal dari nilai-nilai Ilahiah.Dan sifat-sifat alamiah jasmani
yang kami kemukakan di atas dan perbuatannya (ahwanya) kesemuanya mencerminkan
nilai-nilai keburukan yang sangat dikehendaki oleh setan sang laknatullah. Lalu perlukah kita meratapi dan memperta-nyakan
kembali sifat-sifat alamiah jasmani? Sifat sifat alamiah jasmani yang telah kami sebutkan
diatas merupakan sunnatullah yang harus berlaku di muka bumi ini sama seperti
sifat garam yaitu asin dan mengasinkan atau sifat gula yaitu
manis dan memaniskan. Kita semua tidak dapat merubah sifat gula maupun sifat
garam, yang dapat kita lakukan adalah meramu atau mencampur sifat gula dan
sifat garam menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi hidup dan kehidupan.
Saat ini sifat-sifat jasmani sudah ada di dalam
diri setiap manusia, lalu dapatkah sifat-sifat itu dirubah atau ditiadakan? Sifat-sifat alamiah
jasmani yang ada pada jasmani tidak dapat ditiadakan atau dihilangkan. Akan
tetapi harus kita jadikan rambu-rambu (larangan-larangan) yang tidak boleh
dilanggar jika kita ingin selamat dan sukses menjadi abd’ (hamba)-Nya yang
sekaligus khalifah-Nya di muka bumi sehingga mampu menghantarkan diri
kita pulang kampung ke syurga.
Dan jika saat ini kita masih hidup
tentu kondisi ini sedang kita alami, tinggal bagaimana kita menyikapi hal ini
yang sunnatullah sudah berlaku di alam semesta ini. Perjalanan masih panjang.
Jangan berhenti belajar. Jangan berhenti berjuang dan jangan pula berhenti
berbuat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Selanjutnya, setelah diri kita
mengetahui tentang sifat sifat alamiah jasmani (insan) maka langkah berikutnya
adalah kita harus mengetahui pula pola kerja dari sifat sifat jasmani, atau
cara kerja ahwa/hawa nafsu di dalam mempengaruhi diri manusia. Adanya pengetahuan tentang hal ini maka kita
akan mengetahui cara mengatasi dan mengalahkan ahwa (hawa nafsu) secara bermartabat
karena ahwa (hawa nafsu) tidak bisa dibunuh atau dihabisi total, atau tidak
bisa dibuang habis dalam diri. Ahwa (hawa nafsu) akan tetap ada dalam diri
manusia sepanjang jasmani dengan ruhani belum dipisahkan melalui proses
kematian yang dilakukan oleh malaikat sang pencabut nyawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar