Saat
diri kita hidup di muka bumi ini, ketahuilah bahwa bumi tempat kita hidup bukan
kita yang menciptakan dan bukan pula kita yang miliki. Ini berarti: (1) Kita hanyalah orang yang sedang menumpang
yang tidak selamanya menumpang karena kita harus keluar dari muka bumi karena
hidup ada batasannya; (2) Kita adalah
obyek yang diciptakan oleh Allah SWT sehingga kedudukan obyek tidak sama dengan
kedudukan subyek; (3) Kita adalah
tamu yang tidak selamanya menjadi tamu sehingga tamu tidak bisa mensejajarkan
diri dengan tuan rumah dan tidak bisa berperilaku seperti layaknya tuan rumah
di langit dan di bumi ini. Sebagai orang yang menumpang, atau sebagai tamu
di muka bumi ini, atau sebagai perantau, maka kita tidak bisa menentukan
sendiri hukum, ketentuan, peraturan, aturan yang berlaku di muka bumi ini. Kita
hanyalah orang yang harus melaksanakan ketentuan dan juga orang yang akan
dinilai atas pelaksanaan dari ketentuan yang telah ditetapkan berlaku dan pada
akhirnya mengharuskan diri kita harus tahu diri.
Hal
ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh “Ali bin Abi Thalib ra”, tentang betapa pentingnya kita mengenal
diri sebagaimana akan kami kemukakan berikut ini:
1. Mengenal diri adalah ilmu yang paling berguna;
2. Aku heran dengan orang yang mencari barangnya
yang hilang padahal (di saat yang sama) ia kehilangan dirinya namun ia tidak
(berupaya) mencarinya;
3. Aku heran dengan orang yang tidak mengenali
dirinya bagaimana ia akan dapat me-ngenal Tuhannya?;
4. Puncak makrifat adalah pengenalan seseorang
atas dirinya;
5. Prestasi terbesar (bagi seseorang) adalah
manakala ia berjaya dalam mengenal dirinya;
6. Setiap kali bertambah pengetahuan seseorang,
maka akan bertambah pula perha-tiannya kepada dirinya dan ia akan mengerahkan
segenap upayanya untuk mengasah dan memper-baikinya.
Sebagai
orang yang telah Tahu Allah SWT yang sesungguhnya, jangan pernah bertindak
seolah- olah kita telah menjadi tuan rumah di rumah orang lain, atau bahkan
mengatur tuan rumah di rumah tuan rumah yang tidak pernah kita miliki atau
dengan kata lain kita hanyalah obyek yang tidak bisa mengatur subyek. Dan “Barangsiapa yang
mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya, dan barangsiapa yang mengenal
Tuhannya maka binasalah (fana) dirinya.” (Al Hadits). Dan hanya orang yang tahu dirilah yang bisa
menempatkan posisinya dihadapan Allah SWT sebagai tuan rumah, sehingga apabila
ini terjadi maka keharmonisan hidup di muka bumi ini dapat terlaksana dengan
baik. Untuk itu jadilah orang yang menumpang, atau jadilah tamu yang
menyenangkan lagi membanggakan tuan rumah (Allah SWT) saat kita hidup di muka
bumi ini dengan mengetahui aturan main yang berlaku di muka bumi ini dengan
sebaik baiknya yang tertuang dalam AlQuran dan Al Hadits.
Banyak manfaat yang melekat jika kita mampu mempelajari dan memahami serta memiliki ilmu
tentang diri sendiri (tahu diri). Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh “Allamah Thahathaba’i
dan Mirza Mahdi Isfahani, dalam bukunya “Wilayah dan Shalat: Perantara ke
Pendekatan Ilahi” berikut
ini:
1. Seorang yang cerdas
adalah yang mengenal dirinya dan melakukan segala sesuatu dengan ketulusan;
2. Mengenal diri itu
lebih bermanfaat daripada dua bentuk pengetahuan;
3. Orang yang banyak
tahu (arif) adalah dia yang mengenal dirinya, dan membebaskan dan menghindarkan
dari apapun yang akan menjauhkannya dari Allah SWT;
4. Kebodohan terbesar
adalah orang yang tidak mengenal dirinya dan kearifan terbesar adalah orang
yang mengenal dirinya;
5. Orang orang yang
paling kenal diri mereka, lebih memiliki rasa takut terhadap Tuhan mereka;
6. Aku heran kepada
orang yang bisa kehilangan sesuatu (miliknya) maka ia (langsung) mencarinya,
sementara kehilangn dirinya, ia tidak mencarinya;
7. Aku heran kepada
orang yang tidak mengenal dirinya, bagaimana bisa ia mengenal Tuhannya;
8. Intelektualitas
terbaik adalah pengenalan seseoang terhadap dirinya sendiri. Jadi, siapapun
yang mengenal dirinya maka ia adalah orang yang paling berilmu, sedangkan orang
yang tidak mengenal dirinya, akan jatuh tersesat;
9. Tujuan dari
pengetahuan bagi seseorang (berilmu) ialah untuk mengenal dirinya;
10. Bagaimana orang yang
tidak mengenal orang lain itu bisa mengenal dirinya sendiri;
11. Cukuplah dikatakan
berilmu seseorang ketika mengenal dirinya dan cukuplah di-katakan bodoh seseorang
ketika tidak mengenal dirinya;
12. Orang yang mengenal
dirinya tidak akan menjadi materialistis;
13. Orang yang mengenal
dirinya akan berjuang dengannya dan orang yang tidak mengenal dirinya akan
melalaikannya;
14. Orang yang mengenal
dirinya niscaya mengenal Tuhannya dan orang yang mengenal dirinya akan mulia
kedudukannya;
15. Orang yang tidak
mengenal dirinya akan lebih tidak mengenal orang lain dan orang yang mengenal
dirinya akan lebih mengenal orang lain;
16. Orang yang mengenal
dirinya berarti telah mencapai tujuan tertinggi dari setiap ilmu dan
pengetahuan;
17. Orang yang tidak
mengenal dirinya niscaya akan menjauh dari jalan keselamatan dan ia akan jatuh
ke dalam penyimpangan dan kebodohan;
18. Pengenalan diri
merupakan bentuk pengenalan yang bermanfaat dan orang orang yang meraih
pengenalan diri, akan meraih kemenangan terbesar; dan
19. Jangan sampai tidak
mengenal dirimu, karena orang yang tidak mengenal dirinya, ia tidak akan
mengenali segala sesuatu.
Berdasarkan uraian di atas ini, secara
keseluruhan, maksud dan tujuan dari pengenalan diri adalah jalan terbaik dan
yang terdekat menuju kesempurnaan, dan ini tidak perlu diragukan lagi.
Bagaimanapun, inilah metode dalam menapaki jalan keselamatan dan kesempurnaan
yang sesuai dengan kehendak Allah SWT dan jalan untuk menjadikan diri ini hidup
tenang mati senang dan berumur panjang.
Sekarang apa yang jamaah pikirkan setelah
membaca konsep tahu diri, yang diikuti dengan merenungi tentang pentingnya
mengenal diri. Lalu sudah sampai di posisi manakah kita menge-nal diri sendiri?
Apakah hanya sebatas jasmani dan ruh semata? Jika kita hanya tahu sebatas itu,
maka sebatas itu pula kita tahu diri sendiri. Padahal ilmu tentang jasmani dan
ruh sangatlah luas cakupannya dikarenakan banyak hal yang menyertai keduanya.
Dan ingat, adanya
jasmani dan ruh pada diri kita, baru menghantarkan diri kita sebagai manusia
biasa. Akan tetapi untuk menjadikan diri kita sukses menjalani hidup di muka bumi yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT sehingga mampu pulang kampung ke syurga, tidak
cukup hanya mengandalkan serta bermodalkan jasmani dan ruh semata. Akan tetapi
harus mampu pula melaksanakan Diinul Islam secara kaffah (secara keseluruhan),
dalam hal ini memahami tentang aturan main yang berlaku.
Adanya ilmu dan
pemahaman tentang jasmani dan juga ruh serta kondisi dasar dari manusia yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT melalui AlQuran dan hadits maka kita akan
memiliki sarana dan alat bantu untuk menjaga dan merawat keduanya sehingga
jasmani tetap sehat walau bertambah usia sedangkan ruh tetap terjaga
kefitrahannya dari waktu ke waktu. Alangkah nikmatnya hidup yang kita jalani,
alangkah nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT jika ruhi dalam kondisi fitrah
sedangkan jasmani masih dalam kondisi sehat. Kondisi ini menjadi penting kami kemukakan karena baik
jasmani maupun ruh memiliki karakteristik yang sangat berbeda sehingga kita
harus memiliki ilmu dan pemahaman tentang keduanya yang sesuai dengan kehendak
Allah SWT. Agar diri kita memiliki ilmu dan pemahaman tentang jasmani dan juga
tentang ruh maka kita harus mempelajari keduanya secara berbarengan yang sesuai
dengan konsep Allah SWT selaku pencipta, yaitu harus melalui AlQuran dan hadits
yang akhirnya dengan adanya kondisi ini maka sudah seharusnya kita sangat membutuhkan
AlQuran dan hadits.
Berikut ini akan
kami kemukakan beberapa ketentuan dasar yang berlaku bagi diri manusia yang wajib kita ketahui dan pahami dalam
kerangka melaksanakan konsep mengenal Allah dan mengenal diri dengan baik dan
benar, yakni:
A. SETIAP MANUSIA ADALAH MAKHLUK DWIFUNGSI DAN MAKHLUK
DWIDIMENSI.
Inilah kondisi dasar
yang harus kita ketahui saat diri kita hidup di dunia ini, yang mana diri kita
terikat dengan 2 (dua) buah konsep yang telah ditetapkan oleh Allah SWT yaitu
sebagai makhluk dwifungsi dan juga sebagai makhluk dwidimensi. Yang mana
keduanya harus berjalan seiring sejalan selama hayat masih di kandung badan.
1. Setiap Manusia adalah Makhluk Dwifungsi. Untuk dapat
menggambarkan peran dan maksud dan tujuan dari diciptakannya manusia sebagai
makhluk dwifungsi. Mari kita pelajari 2 (dua) buah firman-Nya berikut ini: Pertama,
Allah SWT berfirman: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari
mereka dan aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya
Allah Dialah Maha pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.
(surat Adz-Dzaariyaat (51) ayat 56-57-58). Berdasarkan
ketentuan ayat ini setiap manusia siapapun orangnya adalah seorang abd’ (hamba)
yang harus mengabdi kepada Allah SWT selaku Rabb bagi setiap umat manusia.
Adanya peran sebagai seorang abd’ (hamba) menunjukkan bahwa seorang abd’ (hamba)
terikat dengan ketentuan penghambaan seorang hamba kepada Allah SWT selaku
Tuhan bagi dirinya.
Kedua, setiap manusia
selain terikat sebagai seorang abd’ (hamba), ia juga terikat dengan ketentuan
sebagai seorang khalifah Allah SWT di muka bumi, yang bermakna perpanjangan
tangan Allah SWT di muka bumi sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut
ini: “ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:” Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata:” Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (surat Al Baqarah (2) ayat 30).” Adanya
kekhalifahan di muka bumi maka diharapkan terciptalah apa yang dinamakan dengan
ketenteraman,
ketertiban, serta terpeliharanya apa apa yang diciptakan oleh Allah SWT di muka
bumi sehingga terciptalah kehidupan “toto tenterem, gemah ripah loh jinawi”
oleh sebab keberadaan diri kita.
Allah SWT selaku
pencipta dan pemilik keberadaan manusia berkehendak kepada setiap manusia,
termasuk kepada diri kita, yang ada di muka bumi ini untuk menjadi makhluk yang
memiliki peran dwifungsi, yaitu mampu menjadi abd’ (hamba)-Nya dan juga mampu
menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Dan untuk lebih memperjelas kedudukan
manusia sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi,
perkenankan kami memberikan sebuah ilustrasi berikut ini: Menjadi seorang abd’
(hamba)-Nya yang juga adalah seorang khalifah-Nya di muka bumi dapat kami
ibaratkan diri kita adalah seorang duta besar dari negeri ini untuk negara
sahabat tertentu.
Sebagai seorang duta
besar maka kita wajib memiliki ilmu serta mampu memahami kondisi dari negara
yang mengutus diri kita untuk menjadi duta besar di negara tertentu, seperti
budayanya, ekonominya, sejarahnya, bahasanya, keberagaman suku dari penduduknya
serta mampu pula menampilkan budaya negeri ini di negara yang ia menjadi duta
besarnya. Sehingga dengan adanya keduataan besar negara ini maka negara lain
mampu mengetahui dan memahami tentang negeri ini dari duta besarnya sendiri. Sebagai
seorang duta besar dari negeri ini ketahuilah bahwa dalam diri duta besar akan
melekat 2 (dua) hal, yaitu:
a. Sebagai abdi negara
yang harus menunjukkan sebagai patriot bangsa sehingga kedaulatan bangsa ini
bisa dihargai oleh negara-negara lain dan siap melaporkan segala sesuatu yang
terjadi sehingga negara siap membantu duta besarnya jika mengalami hambatan dan
gangguan dalam hubungan diplomatik.
b. Pada setiap diri duta
besar secara otomatis adalah utusan bagi negara ini untuk memperjuangkan
kepentingan negara di negara lain yaitu di tempat tugasnya sehingga negara ini
tidak dilecehkan dalam kancah international serta terciptalah perdamaian dunia
oleh sebab keberadaan kedutaan besar dan juga mampu menunjukkan nilai nilai
kebangsaan dan juga kedaulatan dari negara ini kepada bangsa bangsa lainnya.
Sekarang bisakah
kondisi manusia yang telah dijadikan sebagai abd’ (hamba)-Nya dan yang juga
sebagai khalifah-Nya di muka bumi dianalogikan dengan mempergunakan konsep di
atas? Konsep di atas juga bisa diaplikasikan kepada diri kita sehingga setiap
manusia, laki laki ataupun perempuan, tidak lain adalah duta besar duta besar
Allah SWT di muka bumi yang mengemban tugas sebagai abd’ (hamba)-Nya dan juga
bertugas sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini. Sebagai abd’ (hamba)-Nya maka
kita wajib mengabdikan diri kepada Allah SWT selaku Tuhan bagi seluruh alam.
Adanya pengab-dian kepada Allah SWT akan menjadikan diri kita pasif, tunduk dan
patuh kepada apa apa yang dikehendaki Allah SWT. Sedangkan sebagai khalifah-Nya
di muka bumi berarti kita adalah perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi
dengan catatan kita tetap menjadi abd’ (hamba)-Nya yang taat dan patuh kepada
Allah SWT walaupun bertugas sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Dan melalui
tugas kekhalifahan di muka bumi ini maka terpeliharalah, terjagalah segala apa-apa
yang diciptakan oleh Allah SWT dari kerusakan, kepunahan, pencemaran dan lain
sebagainya.
Selain daripada itu melalui konsep dwifungsi di muka bumi ini
maka setiap manusia wajib aktif di dalam menampilkan penampilan-penampilan
Allah SWT (menampilkan perilaku yang sesuai dengan konsep asmaul husna) saat
diri kita hidup di dunia ini dan untuk menjalankan segala apa apa yang
dihekendaki Allah SWT serta wajib mempelajari, memahami, mengajarkan,
menyebarluaskan ilmu tentang Allah SWT sehingga melalui aktivitas mengajar
banyak orang yang memiliki ilmu mengenal Allah SWT (ma’rifatullah) secara
berkesinambungan.
Adanya konsep dwifungsi manusia yaitu
sebagai abd’ (hamba)-Nya dan juga sebagai khalifah-Nya di muka bumi maka
derajat laki-laki dan perempuan bukan terletak pada diri mereka sendiri, dan
juga tidak didasarkan jenis kelamin, melainkan dilihat dari segi kepasrahan dan
kepatuhan serta derajat pengabdiannya kepada Allah SWT serta peran aktifnya di
dalam melaksanakan fungsi penghambaan dan kekhalifahan yang ada di muka bumi. Selanjutnya untuk menunjukkan, untuk memperlihatkan
perilaku diri kita yang mencer-minkan perilaku dan perbuatan Allah SWT yang
kita wakilkan sehingga tindak tanduk diri kita sesuai dengan perbuatan Allah
SWT yang termaktub dalam konsep asmaul husna saat diri kita menjadi abd’
(hamba)-Nya dan yang juga menjadi khalifah-Nya
di muka bumi. Apa maksudnya?
Sekarang jika yang
mengutus diri kita adalah Allah SWT yang memiliki perbuatan Yang Maha Pengasih
dan Yang Maha Penyayang, berarti saat diri kita menjadi abd’ (hamba)Nya dan
yang juga khalifahNya di muka bumi maka kita harus bisa memperlihatkan, harus
bisa menunjukkan, dan harus bisa membuktikan dalam perilaku diri kita yang
sesuai dengan perbuatan Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Jika
sampai apa yang kami kemukakan di atas belum bisa kita laksanakan berarti diri
kita belum sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT, yaitu sebagai
seorang abd’ (hamba)-Nya dan seorang khalifah-Nya yang sesuai dengan konsep
awal penciptaan manusia. Hal yang samapun berlaku jika kita menjadi wakil (perpanjangan
tangan) Allah SWT yang memiliki perbuatan Maha Permberi Petunjuk, maka kitapun
harus pula memberikan petunjuk kepada yang membutuhkan petunjuk dari diri kita
sehingga dengan adanya petunjuk dari diri kita maka terbantulah masyarakat
luas. Demikian seterusnya, sesuai dengan nama nama Allah SWT yang indah lagi
baik. Lalu sudahkah kita tahu dan memahami konsep dasar ini saat hidup di
muka bumi ini!
2. Setiap manusia adalah
makhluk dwidimensi. Setiap
manusia dikatakan sebagai makhluk dwidimensi dikarenakan setiap manusia
siapapun orangnya pasti terdiri dari unsur jasmani dan unsur ruh. Jasmani
berasal dari saripati tanah sedangkan ruh berasal dan diciptakan oleh Allah SWT dan mulai dipersatukan saat masih di dalam rahim seorang ibu.
Sebagaimana dikemukakan dalam surat As Sajdah (32) ayat 7-8-9 berikut ini: Yang
memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai penciptaan
manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani).
Kemudian Dia menyempurna kannya dan meniupkan ruh (ciptaan)Nya ke dalam
(tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati bagimu,
(tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.”
Adanya konsep
dwidimensi pada diri manusia maka kita harus bisa merawat dan menjaga kesehatan
jasmani dan juga kefitrahan ruh dengan sebaik-baiknya tanpa saling mengorbankan
salah satunya. Kita tidak bisa hanya menjaga kesehatan jasmani dengan
mengorbankan kefitrahan ruh dan begitu sebaliknya kita tidak boleh hanya memper-hatikan
kefitrahan ruh dengan mengabaikan kesehatan jasmani. Jasmani harus sehat
sedangkan ruh harus tetap fitrah dari waktu ke waktu. Jasmai dijaga dan dirawat
melalui ilmu kesehatan dan ilmu gizi serta olah raga. Sedangkan ruh dijaga dan
dirawat melalui pelaksanaan Diinul Islam secara kaffah yang berasal dari Allah
SWT semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar