Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Rabu, 19 Oktober 2016

PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN YANG DIKEHENDAKI ALLAH SWT



Di dalam setiap diri manusia baik itu laki-laki maupun perempuan pasti mempunyai Hubbul Riasah atau Keinginan untuk Memimpin. Adanya Keinginan untuk Memimpin akan membuat manusia mempunyai Energi untuk Bergerak atau Kekuatan atau Dorongan untuk maju ke depan untuk memimpin atau menjadi pemuka atau menjadi yang terbaik atau menjadi ketua atau menjadi pimpinan baik untuk skala kecil maupun besar atau keinginan untuk berumah tangga atau menjadi kepala rumah tangga bagi laki-laki. Setelah mengetahui bahwa diri kita mempunyai Keinginan untuk Memimpin apakah yang anda rasakan?


Adanya Keinginan untuk Memimpin akan mendorong manusia untuk Mengatur atau Memberi Pengarahan kepada dirinya sendiri dan juga kepada orang-orang untuk berbuat sesuatu atas arahan dan perintahnya sehingga yang bersangkutan akan selalu Tampil Lebih dahulu dari yang lain atau berusaha untuk menempatkan diri untuk selalu di muka. Sekarang jika sampai ALLAH SWT tidak memberikan kepada kita Keinginan untuk Memimpin, timbul pertanyaan dapatkah kita atau mampukah kita merasakan menjadi seorang atasan atau menjadi seorang komandan atau menjadi seorang ketua atau menjadi seorang direktur atau bahkan menjadi presiden yang memimpin sebuah bangsa ataupun perusahaan ataupun kelompok tertentu?


Setelah mempunyai Keinginan untuk Memimpin  dapatkah Energi dan Dorongan yang ada di dalam diri kita dipergunakan dengan cara-cara yang bertentangan dengan Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari sifat-sifat dasar Ruhani atau menghasilkan karya yang juga bertentangan dengan Nilai-Nilai Kebaikan? Keinginan untuk Memimpin harus selalu dipergunakan dengan cara-cara yang Sportif dan bertanggung jawab serta memenuhi azas demokrasi atau  tidak dengan Cara-Cara Intimidasi,  tidak dengan cara-cara melecehkan dan merendahkan harkat dan martabat orang lain dengan melakukan kampanye hitam.


Dan bukan pula sebuah keberhasilan jika Keinginan untuk Memimpin menjadikan diri kita berlaku sombong, congkak, angkuh serta lupa akan janji-janji manis sewaktu kampanye atau menjadikan diri kita hidup di menara gading yang jauh dari masyarakat atau menjadikan diri kita Suka Pamer atau  menjadikan diri kita dihujat dan suka menghujat masyarakat sehingga terjadi kegaduhan di dalam masyarakat yang pada akhirnya mengakibatkan saling bermusuh-musuhan, saling bantai membantai, saling fitnah memfitnah dan saling adu jotos serta saling mementingkan golongan.


Pemimpin dan Kepemimpinan yang dihasilkan melalui proses penggunaan energi dan dorongan atas Keinginan untuk Memimpin wajib memenuhi syarat dan ketentuan seperti  Jujur, Amanah, dapat dipercaya, berilmu yang tercermin dari ketajaman otak dan kecerdasan pikiran, berpandangan luas, adil, memiliki kehalusan perasaan, kedewasaan emosioanl, kekuatan ingatan, kekerasan kemauan, kepribadian yang tinggi serta berbudi luhur. Selanjutnya Keberhasilan atas penggunaan Energi dan Dorongan yang berasal dari Keinginan untuk Memimpin akan terindikasi dari naiknya tingkat Kesejahteraan Masyarakat atau meningkatnya Rasa Aman di tengah masyarakat atau semakin sempitnya jurang antara yang kaya dan miskin atau makin tingginya tingkat keadilan ditengah masyarakat atau makin berkurangnya Kolusi Korupsi Nepotisme dan angka Kriminalitas atau makin tumbuh dan berkembangnya Keluarga Sakinan Wawaddah Warahhmah di tengah masyarakat. Selanjutnya sebagai Khalifah di muka bumi, sudahkah kita mempergunakan Keinginan untuk Memimpin di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan?


A.  Hubbul Riasah Yang Masih Fitrah

Sebagai Makhluk yang Terhormat kita harus menyadari bahwa Hubbul Riasah atau Keinginan untuk Berkumpul yang berasal dari  Allah SWT, bukanlah barang Gratisan sehingga Hubbul Riasah  bisa dipergunakan, bisa di dayagunakan dengan seenak-enaknya saja tanpa menghiraukan maksud dan tujuan awal dari pemberian Hubbul Riasah tersebut. Selanjutnya agar diri kita jangan sampai salah di dalam mempergunakan Hubbul Riasah, berikut ini akan kami kemukakan beberapa kehendak Allah SWT yang yang dapat kita jadikan pedoman di dalam mempergunakan Hubbul Riasah sehingga kita selalu berada di dalam kehendak Allah SWT atau jika kita ingin mempertahankan kefitrahan Hubbul Riasah,  yaitu :


Doanya diijabah oleh ALLAH SWT

Sebagai seorang pemimpin bertanyalah kepada diri sendiri, apakah ketentuan hadits yang kami kemukakan dibawah ini, sudah ada pada diri kita?

Abu Hurairah ra, berkata bahwasanya Nabi Muhammad SAW menerangkan bahwa ada tiga orang yang sekali-kali tidak akan ditolak doanya oleh ALLAH SWT. Pertama, orang yang berpuasa sehingga ia berbuka. Kedua, kepala negara yang adil. Ketiga. Orang yan dianiaya. (HR Athturmudzi)

Jika ketentuan hadits di atas ini, belum ada pada diri kita atau kita belum bisa menjadi pemimpin yang doanya diijabah oleh ALLAH SWT, berarti ada sesuatu yang salah di dalam diri kita dan juga di dalam kepemimpinan yang kita laksanakan. Segera perbaiki diri sehingga kita sesuai dengan ketentuan hadits di atas, terkecuali jika kita mampu mempertanggungjawabkan kepeminpinan yang kita laksakanan dihadapan ALLAH SWT.


Berani

Energi dan Dorongan atas penggunaan Keinginan untuk Memimpin akan menghasilkan Pemimpin yang Berani berbuat untuk membela yang benar atau Pemimpin yang dapat memberi contoh Suri Tauladan kepada rakyatnya di dalam setiap tindakan. Hal yang harus diperhatikan adalah Berani bukanlah berarti berbuat sesuatu melalui tindak Kekerasan atau Penindasan ataupun perbuatan Melawan Hukum melainkan Berani yang dilandasi dengan prinsip Kebenaran, Santun, Bijak serta Tidak melawan hukum  yang berlaku.

Selain daripada itu, keberanian dapat dijadikan sebagai modal dasar bagi kesuksesan seorang Pemimpin sepanjang keberanian tersebut berada di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan. Jika saat ini anda adalah seorang Pemimpin, baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar, keberanian yang seperti apakah yang anda miliki saat ini, apakah yang sejalan dan sesuai  dengan Nilai-Nilai Keburukan yang paling dikehendaki oleh Syaitan ataukah yang sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT?

Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal”.(surat At Taubah (9) ayat 51)

Jawaban dari pertanyaan ini andalah yang Tahu, namun yang harus kita jadikan pedoman adalah kita akan dimintakan pertanggungjawaban atas penggunaan Hubbul Riasah oleh ALLAH SWT kelak. Sekarang mampukah kita mempertanggung jawabkan itu semua dihadapan ALLAH SWT?

 
Pengabdi dan Pelayan serta Tidak Memperdagangkan rakyat

Keinginan untuk memimpin harus bisa menjadikan diri kita yang telah diangkat menjadi KHALIFAH di muka bumi menjadi seorang pemimpin atau penguasa yang mampu menjadi pengabdi, pelayan yang tidak memperdagangkan rakyat untuk kepentingan diri, kelompok tertentu dalam keadaan apapun juga.

Khianat paling besar adalah bila seorang penguasa/pemimpin memperdagangkan rakyatnya.
(HR Aththabarani)

Pemimpin suatu kaum adalah pengabdi atau pelayan mereka.
(HR Abu Na’im)


Pemimpin sebagai pelayan dan rakyat sebagai tuan. Itulah kira-kira yang hendak disampaikan oleh hadits di atas. Meski tidak secara terang-terangan hadits di atas menyebutkan rakyat sebagai tuan dan pemimpin sebagai pelayan, namun setidaknya hadits ini hendak menegaskan bahwa Islam memandang seorang pemimpin tidak lebih tinggi statusnya dari rakyat, karena hakekat pemimpin ialah melayani kepentingan rakyat. Sebagai seorang pelayan, ia tentu tidak beda dengan pelayan-pelayan lainnya yang bertugas melayani kebutuhan-kebutuhan majikannya. Seorang pelayan rumah tangga, misalkan, harus bertanggung jawab untuk melayani kebutuhan majikannya. Demikian juga seorang pelayan kepentingan rakyat harus bertanggung jawab untuk melayani seluruh kepentingan rakyatnya.

Dalam konteks Indonesia, sosok “pelayan” yang bertugas untuk memenuhi kepentingan “tuan” rakyat ini adalah presiden, menteri, dpr, mpr, ma, bupati, walikota, gubernur, kepala desa, dan semua birokrasi yang mendukungnya. Mereka ini adalah orang-orang yang kita beri kepercayaan (tentunya melalui pemilu) untuk mengurus segala kepentingan dan kebutuhan kita sebagai rakyat. Karena itu, bila mereka tidak melaksanakan tugasnya sebagai pelayan rakyat, maka kita sebagai “tuan” berhak untuk “memecat” mereka dari jabatannya. Jika sampai apa yang kami kemukakan di atas ini tidak mampu kita laksanakan, segeralah berhenti menjadi pemimpin saat ini juga karena ketentuan hadits yang akan kemukakan di bawah ini menjadi berlaku kepada diri kita.

Barangsiapa yang diserahi kekuasaan urusan manusia lalu menghindar atau mengelak melayani kaum lemah dan orang yang membutuhkannya maka Allah SWT tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat. (HR Ahmad)

Sebagai pemimpin yang sedang memimpin bersegeralah taubat jika ketentuan yang kami kemukakan di atas belum bisa kita laksanakan sesuai dengan kehendak ALLAH SWT karena resiko yang akan kita hadapi sangatlah besar yaitu dimasukkan ke dalam Neraka.


Tidak Menuntut Suatu Jabatan

Berdasarkan ketentuan hadits dibawah ini, penggunaan Hubbul Riasah tidak boleh ditunggangi oleh ambisi pribadi, karena ambisi pribadi merupakan cerminan dari Nilai-Nilai Keburukan yang tidak lain adalah sifat alamiah dari Jasmani yang sangat dikehendaki oleh Syaitan.

Rasulullah saw berkata kepada Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu maka kamu akan ditolong mengatasinya. (HR Bukhari, Muslim)

Sebagai pemimpin, kita harus bisa mengendalikan ambisi yang ada di dalam diri, karena ambisi dapat menghancurkan, dapat meniadakan fasilitas bantuan yang siap diberikan oleh Allah SWT kepada diri kita.


Jihad


Pengertian Jihad di dalam penggunaan Keinginan untuk Memimpin bukanlah berarti Perang. Akan tetapi pengertian Jihad dimaksud adalah sungguh sungguh di dalam melakukan suatu perbuatan atau sungguh-sungguh melakukan tindakan nyata yang keluar dari diri sendiri tanpa ada paksaan siapapun untuk memimpin, untuk melawan ahwa, untuk merubah diri secara total atau melaksanakan sebuah pernyataan untuk memperbaiki diri dari keadaan yang bergelimang dosa menjadi seorang yang berhasil keluar dari persoalan atau keluar dari keadaan yang tidak di inginkan tersebut.

Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. (surat Al Hajj (22) ayat 78)


Contohnya menjadikan diri sebagai pemimpin sejati, berhenti total dari ketergantungan Narkoba atau keluar dari Kemiskinan dan Kebodohan atau berhenti total dari Judi dan tindakan Asusila sehingga manusia tersebut terbebas dari itu semua. Selanjutnya Jihad yang keluar atas keinginan dari diri sendiri dapat menjadi sebuah Motor Penggerak yang luar biasa kekuatannya atau menjadi mesin pendorong bagi Keinginan manusia manusia untuk keluar dari segala persoalan hidup, apakah itu ketergantungan Narkoba, Kemiskinan, dan juga Kebodohan.

Semakin kuat Tekad dan Kesungguhan Hati untuk keluar dari segala persoalan yang melilit dan mendera manusia maka semakin besar pula kekuatan yang diperoleh manusia untuk terbebas dari segala persoalan. Akan tetapi jika Keinginan dan Motivasi Jihad bukan atas kesadaran dari diri sendiri maka manusia akan susah dan sangat menderita sewaktu akan keluar dari segala persoalan tersebut dan yang lebih parah lagi manusia tersebut akan tetap bergelimang dosa sampai akhir hayatnya. Selanjutnya ada apa dengan Jihad tersebut sehingga Jihad dapat menjadi Motor Penggerak atau Mesin Pendorong bagi manusia untuk keluar dari segala persoalan hidup?

Jihad yang dilakukan oleh manusia di dalamnya terdapat Kekuatan yang berasal dari  Allah SWT sebab Allah SWT telah Menetapkan atas dirinya Kasih Sayang kepada Manusia (lihat kembali surat Al An’aam (6) ayat 54) dengan demikian jika manusia melakukan Jihad maka Allah SWT pasti memberikan Memberikan Jalan Keluar bagi umatnya yang mau berjihad atau bersungguh-sungguh melakukan sesuatu di dalam Nilai-Nilai Kebaikan. Jika saat ini anda seorang Pemimpin  sudahkah anda melakukan Jihad di jalan Allah SWT untuk kepentingan Masyarakat, Bangsa dan Negara atau apakah anda seorang yang takut untuk melakukan Jihad?

Cepat Tanggap


Pemimpin yang baik adalah seorang pemimpin yang mempunyai sifat dan sikap untuk selalu bersegera melakukan introspeksi diri ataupun melakukan perbaikan terhadap hasil karyanya yang bertentangan dengan kepentingan rakyat atau pemimpin yang selalu bersegera meminta maaf jika melakukan kesalahan atau bersegera meminta ampun kepada Allah SWT jika kita melakukan sebuah kesalahan ataupun dosa. Memohon ampun kepada Allah SWT, Melakukan Permintaan maaf kepada rakyat, melakukan introspeksi diri, melakukan perbaikan hasil karya wajib dilandasi dengan semangat untuk tidak mengulangi perbuatan-perbuatan tersebut atau kesalahan-kesalahan tersebut di masa akan datang. Selanjutnya bagaimana jika Pemimpin memiliki konsep Kapok Lombok? Pemimpin yang Kapok Lombok bukanlah cermin kepemimpinan yang sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan dikarenakan tidak bisa menjadikan keledai sebagai panutannya.

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (surat Ali ‘Imran (3) ayat 133)

Dimana keledai saja tidak akan masuk ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya. Jika saat ini anda adalah seorang pemimpin yang masuk kategori Kapok Lombok berarti anda sudah di dalam koridor Nilai-Nilai Keburukan yang sesuai dengan Kehendak Syaitan sang laknatullah. 


Saling Tolong Menolong

Keinginan untuk Memimpin harus dilandasi semangat untuk saling tolong menolong atau saling kasih mengasihi. Untuk itu semangat tolong menolong harus dikembangkan dan dibina terus oleh setiap Pemimpin  dan sedapat mungkin di dalam semangat Persatuan dan Kesatuan serta Kekeluargaan. Keberhasilan seorang Pemimpin atau Kepemimpinan yang dilaksanakan akan tercermin dari banyaknya permasalahan dan persoalan kemasyarakatan yang terselesaikan dari adanya prinsip tolong menolong dan kasih mengasihi sesama manusia yang ditumbuh kembangkan oleh Pemimpin tersebut saat Kepemimpinannya.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. (surat Al Hujuraat (49) ayat 15)

Seorang Pemimpin atau suatu Kepimimpinan diharuskan terlebih dahulu memiliki semangat untuk berkorban, kemudian harus dapat menumbuhkan semangat gotong royong serta menghilangkan prinsip mementingkan golongan, barulah hasil dari kepemimpinan yang dilakukannya dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Akan tetapi jika seorang pemimpin tidak mampu menciptakan semangat kebersamaan bersiap-siaplah menuai hasil berupa kegagalan di dalam memimpin.


Wakil ALLAH SWT

Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam kerangka besar untuk dijadikan Khalifah di muka bumi. Untuk mempertegas pernyataan tersebut maka Allah SWT memberikan kepada setiap manusia apa yang disebut dengan Keinginan untuk Memimpin. Keinginan untuk Memimpin akan menghasilkan dan menjadikan manusia menjadi Pemimpin baik untuk skala kecil menjadi kepala keluarga ataupun skala besar menjadi lurah atau presiden. Pemimpin skala kecil mengayomi sebuah keluarga sedangkan pemimpin skala besar dapat mengayomi sebuah Negara. Adanya kondisi ini dapat dikatakan bahwa tujuan Allah SWT menjadikan Manusia sebagai khalifah di muka bumi serta diberikannya Keinginan untuk Memimpin menandakan bahwa menjadikan manusia khalifah di muka bumi atau Wakil Allah SWT di muka bumi atau Perpanjangan Tangan Allah SWT di muka bumi dapat terlaksana dengan baik. Hal yang harus kita perhatikan adalah khalifah artinya adalah pengatur, pemelihara, penjaga, pengayom, pengawas terhadap apa-apa yang telah Allah SWT ciptakan di muka bumi.

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (surat Al Baqarah (2) ayat 30)

Selanjutnya dengan adanya khalifah di muka bumi, maka khalifah tersebut secara tidak langsung adalah pelaksana tugas-tugas sehari-hari Allah atau perpanjangan tangan Allah SWT (Ex Officio dari Allah SWT) di muka bumi dengan demikian akan terciptalah kedamaian dan akan terciptalah ketentraman di muka bumi oleh sebab adanya khalifah.

Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa yang memberi syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (surat An Nisaa’ (4) ayat 85)

Jika sekarang kita menjadi Pemimpin baik dalam skala kecil maupun skala nasional ataupun skala international, berarti kita telah menjalankan fungsi kekhalifahan di muka bumi atau menjadi Wakil  Allah SWT di muka bumi. Akan tetapi setelah menjadi khalifah atau Wakil Allah SWT apakah Kedamaian, apakah Ketertiban dan apakah Ketentraman dalam skala kecil maupun skala besar telah dinikmati oleh masyarakat banyak oleh sebab kita dan anda menjadi khalifah atau Wakil Allah SWT? Jika apa yang kami kemukakan belum terjadi atau tidak terjadi berarti ada sesuatu yang salah saat diri kita menjadi khalifah di muka bumi atau ada sesuatu yang salah saat diri mempergunakan Hubbul Riasah. 

Selain 8(delapan) kondisi dasar yang telah kami kemukakan di atas, berikut ini akan kami kemukakan ketentuan-ketentuan lain yang berlaku bagi pemimpin dan kememimpinannya, yang kami ambil dari 40 Hadits tentang Pemimpin dan Kepemimpinan yang dihimpun oleh Masduki Asbari, yaitu:

Hadits ke 1
Kesejahteraan rakyat adalah Tanggungjawab  seorang Pemimpin


Ibn umar r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban  perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya. (HR Bukhari, Muslim)

Penjelasan:

Pada dasarnya, hadits di atas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam islam. Dalam hadits ini dijelaskan bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun jawab. Semua orang yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya, sebagai pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab, sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung jawab atas istrinya, seorang bapak bertangung jawab kepada anak-anaknya, seorang majikan betanggung jawab kepada pekerjanya, seorang atasan bertanggung jawab kepada bawahannya, dan seorang presiden, bupati, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya, dst.

Akan tetapi, tanggung jawab disini bukan semata-mata bermakna melaksanakan tugas lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah lebih berarti upaya seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang dipimpin. Karena kata ra ‘a sendiri secara bahasa bermakna gembala dan kata ra-‘in berarti pengembala. Ibarat pengembala, ia harus merawat, memberi makan dan mencarikan tempat berteduh binatang gembalanya. Singkatnya, seorang penggembala bertanggung jawab untuk mensejahterakan binatang gembalanya.

Cerita gembala hanyalah sebuah tamsil, dan manusia tentu berbeda dengan binatang, sehingga menggembala manusia tidak sama dengan menggembala binatang. Anugerah akal budi yang diberikan allah kepada manusia merupakan kelebihan tersendiri bagi manusia untuk mengembalakan dirinya sendiri, tanpa harus mengantungkan hidupnya kepada penggembala lain. Karenanya, pertama-tama yang disampaikan oleh hadis di atas adalah bahwa setiap manusia adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dirinya sendiri. Atau denga kata lain, seseorang mesti bertanggung jawab untuk mencari makan atau menghidupi dirinya sendiri, tanpa mengantungkan hidupnya kepada orang lain. Dengan demikian, karena hakekat dari kepemimpinan adalah tanggung jawab dan wujud tanggung jawab adalah kesejahteraan, maka bila orang tua hanya sekedar memberi makan anak-anaknya tetapi tidak memenuhi standar gizi serta kebutuhan pendidikannya tidak dipenuhi, maka hal itu masih jauh dari makna tanggung jawab yang sebenarnya.

Demikian pula bila seorang majikan memberikan gaji pekerja rumah tangga  di bawah standar upah minimu provinsi, maka majikan tersebut belum bisa dikatakan bertanggung jawab. Begitu pula bila seorang pemimpin, katakanlah presiden, dalam memimpin negerinya hanya sebatas menjadi “pemerintah” saja, namun tidak ada upaya serius untuk mengangkat rakyatnya dari jurang kemiskinan menuju kesejahteraan, maka presiden tersebut belum bisa dikatakan telah bertanggung jawab. Karena tanggung jawab seorang presiden harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil dan kaum miskin, bukannya berpihak pada konglomerat dan teman-teman dekat. Oleh sebab itu, bila keadaan sebuah bangsa masih jauh dari standar kesejahteraan, maka tanggung jawab pemimpinnya masih perlu dipertanyakan lagi atau bisa dikatakan gagal. 

Hadits ke 2
Hukuman bagi pemimpin yang menipu rakyat


Abu ja’la (ma’qil) bin jasar r.a berkata: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: tiada seorang yang diamanati oleh allah memimpin rakyat  kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti allah mengharamkan baginya surga. (HR Bukhari, Muslim)

Penjelasan:

Kejujuran adalah modal yang paling mendasar dalam sebuah kepemimpinan. Tanpa kejujuran, kepemimpinan ibarat bangunan tanpa fondasi, dari luar nampak megah namun di dalamnya rapuh dan tak bisa bertahan lama. Begitu pula dengan kepemimpinan, bila tidak didasarkan atas kejujuran orang-orang yang terlibat di dalamnya, maka jangan harap kepemimpinan itu akan berjalan dengan baik. Namun kejujuran di sini tidak bisa hanya mengandalakan pada satu orang saja, kepada pemimpin saja misalkan.

Akan tetapi semua komponen yang terlibat di dalamnya, baik itu pemimpinnya, pembantunya, staf-stafnya, hingga struktur yang paling bawah dalam kepemimpnan ini, semisal tukang sapunya, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Hal itu karena tidak sedikit dalam sebuah kepemimpinan, atau sebuah organisasi, terdapat pihak yang jujur namun juga terdapat pihak yang tidak jujur. Bila pemimpinnya jujur namun staf-stafnya tidak jujur, maka kepemimpinan itu juga akan rapuh. Begitu pula sebaliknya.

Seorang pemimpin harus memberikan suri tauladan yang baik kepada pihak-pihak yang dipimpinnya. Suri tauladan ini tentunya harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan pemimpin yang tidak menipu dan melukai hati rakyatnya. Pemimpin yang menipu dan melukai hati rakyat, dalam hadis ini disebutkan, diharamkan oleh allah untuk mengninjakkan kaki si sorga. Meski hukuman ini nampak kurang kejam, karena hanya hukuman di akhirat dan tidak menyertakan hukuman di dunia, namun sebenarnya  hukuman “haram masuk syurga” ini mencerminkan betapa murkanya allah terhadap pemimpin yang tidak jujur dan suka menipu rakayat.

Hadits ke 3 dan ke 4
Pemimpin dilarang bersikap birokratis dan bersikap otoriter
 
‘Aisjah r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda di rumahku ini : ya allah siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku, lalu mempersukar pada mereka, maka persukarlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku lalu berlemah lembut pada mereka, maka permudahlah baginya. (HR. Muslim)

‘Aidz bin amru r.a, ketika ia masuk kepada ubaidillah bin zijad berkata: hai anakku saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: sesungguhnya sejahat-jahat pemerintah yaitu yang kejam (otoriter), maka janganlah kau tergolong daripada mereka. (HR. Bukhari, Muslim)

Penjelasan:

Hadits ini menerangkan tentang larangan seorang pemimpin untuk bersikap arogan, elitis, represif dan birokratis atau mempersulit urusan-urusan rakyatnya. Karena sebagaimana kita ketahui, tidak sedikit pemimpin yang bersikap arogan dan mempersulit urusan-urusan rakyatnya. Untuk mengurusi dokumen-dokumen kewarganegaraan saja misalkan, seperti ktp, akta kelahiran, perijinan usaha, dsb, seorang rakyat harus melalui tahapan-tahapan yang cukup rumit dan memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.

Padahal, seorang pemimpin, menurut hadits ini, harus memberikan pelayanan yang maksimal serta tidak menyulitkan warga atau rakyat yang dipimpinnya. Bila semua urusan itu bisa dipermudah kenapa harus dipersulit. Akibatnya, birokrasi yang sejatinya bertujuan untuk mempermudah, berbalik menjadi mempersulit  segala urusan rakyat. Oleh sebab itu, bila sorang pemimpin suka mempersulit urusan rakyatnya, maka niscaya ALLAH SWT selaku pemilik dan pencipta langit dan bumi akan mempersulit segala urusan dia baik di dunia lebih-lebih di akhirat nanti dan bersiaplah merasakan azab dari ALLAH SWT.

Hadits ke 5
Pemimpin harus bersikap adil


Abu hurairah r.a: berkata: bersabda nabi saw: ada tujuh macam orang yang bakal bernaung di bawah naungan allah, pada hati tiada naungan kecuali naungan allah: Imam(pemimpin) yang adil, dan pemuda yang rajin ibadah kepada allah. Dan orang yang hatinya selalu gandrung kepada masjid. Dan dua orang yang saling kasih sayang karena allah, baik waktu berkumpul atau berpisah. Dan orang laki yang diajak berzina oleh wanita bangsawan nan cantik, maka menolak dengan kata: saya takut kepada allah. Dan orang yang sedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. Dan orang berdzikir ingat pada allah sendirian hingga mencucurkan air matanya. (HR Bukhari, Muslim)

Penjelasan:

Meski hadits ini menjelaskan tentang tujuh macam karakter orang yang dijamin keselamatannya oleh ALLAH SWT pada hari kiamat, namun yang sangat ditekankan oleh hadits ini adalah karakter orang yang pertama, yaitu pemimpin yang adil. Bukannya kita menyepelekan enam karakter sesudahnya, akan tetapi karakter pemimpin yang adil memang menjadi tonggak bagi kemaslahatan seluruh umat manusia. Tanpa pemimpin yang adil maka kehidupan ini akan terjebak ke dalam jurang penderitaan yang cukup dalam. Untuk melihat sejauh mana seorang peimimpin itu telah berlaku adil terhadap rakyatnya adalah melalui keputusan-keputuasan dan kebijakan yang dikeluarkannya. Bila seorang pemimpin menerapkan hukum secara sama dan setara kepada semua warganya yang berbuat salah atau melanggar hukum, tanpa tebang pilih, maka pemimpin itu bisa dikatakan telah berbuat adil. Namun sebaliknya, bila pemimpin itu hanya menghukum sebagian orang (rakyat kecil) tapi melindungi sebagian yang lain (elit/konglomerat), padahal mereka sama-ama melanggar hukum, maka pemimpin itu telah berbuat dzalim dan jauh dari perilaku yang adil.


Hadits ke 6
Jaminan bagi pemimpin yang adil


Abdullah bin ‘amru bin al ‘ash r.a berkata: rasulullah saw bersabda: sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil, kelak disisi allah ditempatkan diatas mimbar dari cahaya, ialah mereka yang adil dalam hukum terhadap keluarga dan apa saja yang diserahkan (dikuasakan) kepada mereka. (HR Muslim)

Penjelasan:

Bila hadits sebelumnya berbicara tentang “garansi” Allah SWT  atas pemimpin yang berbuat adil, maka hadits ini lebih mengulas tentang “imbalan” bagi seorang pemimpin yang adil. Dalam hadits ini disebutkan bahwa imbalan bagi pemimpin yang adil adalah kelak di sisi Allah SWT akan ditempatkan di atas mimbar dari cahaya. Secara harfiyah, mimbar berarti sebuah tempat khusus untuk orang-orang yang hendak berdakwah atau berceramah di hadapan umum. Karenanya, mimbar jum’at biasanya mengacu pada sebuah tempat khusus yang disediakan masjid untuk kepentingan khatib.

Sementara cahaya adalah sebuah sinar yang  menerangi sebuah kehidupan. Kata cahaya biasanya mengacu pada matahari sebagai penerang bumi, lampu sebagai penerang dari kegelapan, dsb. Oleh sebab itu, kata mimbar dari cahaya di dalam hadits di atas tentu tidak serta merta dimaknai secara harfiyah seperti mimbar yang dipenuhi hiasan lampu-lampu yang bersinar terang, melainkan mimbar cahaya adalah sebuah metafor yang menggambarkan sebuah posisi yang sangat terhormat di hadapan Allah SWT. Posisi itu mencrminkan sebuah ketinggian status setinggi cahaya matahari.


Hadits ke 7
Syurga bagi pemimpin yang adil


Ijadl bin himar r.a berkata: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: orang-orang ahli surga ada tiga macam: raja yang adil, mendapat taufiq hidayat ( dari allah). Dan orang belas kasih lunak hati pada sanak kerabat dan orang muslim. Dan orang miskin berkeluarga yang tetap menjaga kesopanan dan kehormatan diri. (HR Muslim).

Penjelaan:

Bila yang pertama tadi Allah SWT akan menjamin pemimpin yang berbuat adil dengan jaminan naungan rahmat dari Allah SWT, dan hadits selanjutnya menjamin dengan jaminan mimbar yang terbuat dari cahaya, maka jaminan yang ke tiga ini adalah jaminan syurga. Ketiga jaminan di atas tentunya bukan sekedar jaminan biasa, melainkan semua jaminan itu menunjukkan betapa Islam sangat menekankan pentingnya sikap keadilan bagi seorang peimimpin. Rasul SAW tidak mungkin memberikan jaminan begitu tinggi kepada seseorang kecuali seseorang itu benar-benar dituntut untuk melakukan hal yang sangat ditekankan dalam Islam. Dan keadilan adalah perkara penting yang sangat ditekankan dalam islam. Oleh karena itu, siapa yang menjunjung tinggi keadilan, niscaya orang tersebut akan mendapat jaminan yang tinggi dari Islam (Allah SWT), baik di dunia, maupun di akhirat.

Hadits ke 8
Kepemimpinan tidak mengenal warna kulit

Anas r.a berkata : bersabda rasulullah saw: dengarlah dan ta’atlah meskipun yang terangkat dalam pemerintahanmu seorang budak habasyah yang kepalanya bagaikan kismis. (HR Bukhari)

Penjelasan:

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Begitu pula Nabi Muhammad SAW diutus sebagai nabi bukan hanya untuk orang arab saja, melainkan untuk semua umat manusia. Karena itu, para pengikut nabi bukan saja dari kalangan suku quraisy yang menjadi suku bergengsi saat itu, melainkan juga dari suku-suku lainnya yang sebelum datang islam termasuk suku “hina”.  Bahkan kita mengenal salah seorang sahabat nabi yang bernama Bilal bin Rabah yang warna kulitnya cukup hitam legam. Padahal, sebelum datangnya ajaran Islam di Arab dulu, orang kulit hitam adalah termasuk kelompok suku yang sebagian besar berprofesi sebagai budak. Mereka sama sekali tidak dihargai dan tidak diperlakukan sebagaimana manusia yang lain. Akan tetapi setelah turun ajaran Islam, semua batasan-batasan ras, warna kulit, dan golongan itu dihapus, dan semua manusia adalah sama statsunya di muka allah, hanya keimanan dan ketaqwaanlah yang membedakan mereka.

Pengakuan Islam terhadap dimensi kemanusian universal bukan hanya dalam pergaulan sosial sehari-hari, melainkan Islam juga mengakui semua orang berhak menjadi pemimpin. Tidak peduli mereka itu berkulit hitam, coklat, merah, hijau, dsb, asalkan bisa memimpin secara adil, maka dia berhak untuk menjadi pemimpin. Dalam konteks ini, keadilan dan kejujuran menjadi kriteria paling pokok dalam menentukan seorang pemimpin, bukan warna kulit atau asal golongan. Dan apabila yang terpilih sebagai pemimpin adalah dari kalangan kulit hitam, Islam juga mewajibkan kita agar tidak boleh meremehkan pemimpin itu. Akan tetapi kita juga harus mematuhi semua perintahnya (selama tidak untuk ma’siyat) sebagaimana kita mematuhi perintah pemimpin-pemimpin yang lain.


Hadits ke 9
Keseimbangan hak rakyat dan tanggung jawab pemimpin

Abu hunaidah (wa’il) bin hadjur r.a. Berkata : salamah bin jazid aldju’fy bertanya kepada rasulullah saw : ya rasulullah, bagaimana jika terangkat diatas kami kepala-kepala yang hanya pandai menuntut haknya dan menahan hak kami, maka bagaimanakah kau menyuruh kami berbuat? Pada mulanya rasulullah mengabaikan pertanyaan itu, hingga ditanya kedua kalinya, maka rasulullah saw bersabda : dengarlah dan ta’atlah maka sungguh bagi masing-masing kewajiban sendiri-sendiri atas mereka ada tanggung jawab dan atas kamu tanggung jawabmu. (HR Muslim)

Penjelasan:

Rakyat memiliki hak dan pemimpin memiliki tanggung jawab. Begitu pula sebaliknya, rakyat memiliki tanggung jawab dan pemimpin juga memiliki hak. Antara keduanya harus ada keseimbangan dan kesetaraan. Yang satu tidak boleh mendominasi yang lain. Akan tetapi kekuasaan sepenuhnya adalah tetap berada di tangan rakyat. Karena hakekat kepemimpinan hanyalah amanat yang harus diemban oleh seorang pemimpin.

Bila sang pemimpin tidak bisa menjaga amanat itu dengan baik, maka kekuasaan kembali berada di tangan rakyat. Oleh sebab itu, mengingat kesetaraan poisi rakyat dan pemimpin ini, maka masing-masing memilki hak dan tanggung jawabnya. Hadits di atas menjelaskan bahwa seorang pemimpin jangan hanya bisa memenuhi haknya, dan mengebiri hak rakyatnya, akan tetapi seorang pemimpin harus mengakui dan menjamin hak-hak rakyatnya secara bebas.

Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, mungkin kita sudah mengenal konsep hak azasi manusia (ham). Oleh sebab itu, bila kita tarik hadits di atas dalam kontek saat ini, maka sebanarnya Nabi Muhammad SAW jauh sebelumnya  sudah mengajarkan prinsip-prinsip ham dalam kehidupan politik rakyatnya. Betapa tidak, dari hadits di atas dapat kita gali sebuah pesan bahwa Islam menjamin ham termasuk di dalamnya hak-hak sipil dan politik (isipol) dan hak-hak ekonomi sosial dan budaya (ekosob). Karena itu, bila seorang peimimpin tidak menjamin hak-hak azasi manusia (ham) warganya, maka pemimpin itu telah keluar dari sunnah Nabi SAW.


Hadits ke 10
Allah membenci pemimpin Yang mengejar jabatan

Abu said (abdurrahman) bin samurah r.a. Berkata: rasulullah saw telah bersabda kepada saya : ya abdurrahman bin samurah, jangan menuntut kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kau diserahi jabatan tanpa minta, kau akan dibantu oleh allah untuk melaksanakannya, tetapi jika dapat jabatan itu karena permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri. Dan apabila kau telah bersumpah untuk sesuatu kemudian ternyata jika kau lakukan lainnya akan lebih baik, maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan apa yang  lebih baik itu. (HR Bukhari, Muslim)

Penjelasan:

Dalam hadits lain Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda: “barang siapa telah menyerahkan sebuah jabatan atau amanat kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”. Kedua hadits di atas sebenarnya mengajarkan kepada kita bahwa amanat itu tidak perlu dicari dan jabatan itu tidak perlu dikejar. Karena bila kita mencari dan mengejar amanat dan jabatan itu, maka niscaya Allah SWT tidak akan membantu kita. Akan tetapi bila kita tidak menuntut dan tidak mencari amanat itu, maka justru Allah SWT akan membantu untuk meringankan beban amanat itu sendiri.

Hadits di atas sebenarnya mengajarkan tentang etika politik. Seoarang politisi tidak serta-merta bebas dari etika, sebagaimana ditunjukkan oleh para politisi kita selama ini. Melainkan seorang politisi dan kehidupan politik itu sendiri harus berdasarkan sebuah kode etik. Bila kehidupan politik tidak berazaskan etika, maka kesan yang muncul kemudian bahwa politik itu kotor. Padahal, tidak selamanya politik itu kotor, Nabi Muhammad SAW sendiri pernah menjadi seorang politisi, tapi tidak pernah bermain kotor.

Bila kita mencermati hadits di atas, maka akan kita temukan bahwa citra “ke-kotoran” dari politik itu sebenarnya  bersumber dari sikap para pelakuknya yang ambisius. Dalam hal ini, ambisi menjadi salah satu faktor utama dalam membentuk sikap dan pandangan politik eseorang sehingga menjadi kotor. Betapa tidak, dari ambisi itu, seseorang bisa saja membunuh orang lain yang menjadi pesaing politiknya.

Dan dari ambisi itu pula seseorang bisa melakukan apa aja untuk meraih jabatan politik yang diinginkannya, baik melalui korupsi, penipuan, pembunuhan, ke dukun, dsb. Oleh sebab itu, “menjaga ambisi” adalah sebuah etika politik yang diajarkan Islam  kepada umatnya, terutama bagi mereka yang berkiprah di dunia politik. 
Hadits ke 11
Amanat di balik jabatan

Abu dzar ra, berkata : ya rasulallah tidakkah kau memberi jabatan apa-apa kepadaku? Maka rasulullah memukul bahuku sambil berkata : hai abu dzar kau seorang yang lemah, dan jabatan itu sebagai  amanat yang pada hari qiyamat hanya akan menjadi kemenyesalan dan kehinaan. Kecuali orang yang yang dapat menunaikan hak dan kewajibannya, dan memenuhi tanggung jawabnya.

Abu hurairah r.a. Berkata : rasulullah saw bersabda : kamu akan berebut pemerintahan, dan akan menjadi kemenyasalan pada hari kiamat. (H Bukhari)

Penjelasan:

Hadits ini tidak jauh berbeda dengan hadits sebelumnya. Bila hadits sebelumnya melarang kita agar tidak berambisi untuk meraih jabatan, maka hadits ini lebih menekankan betapa beratnya amanat dalam sebuah jabatan. Dan saking  beratnya hingga Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa kelak di hari kiamat kita merasakan penyesalan yang begitu dahsyat karena kita telah bersedia mengemban amanat itu. Janganlah kita mengira bahwa menjadi seorang peimimpin dengan sendirinya akan bergelimang harta dan  kehormatan. Padahal, harta dan kehormatan itu justru menjadi batu sandungan yang bisa mengakibatkan seseorang terjerumus ke dalam jurang kenistaan.

Lihatlah misalnya, seorang presiden dengan tanggung jawab yang begitu besar untuk mensejahterakan rakyatnya, atau seorang suami yang begitu besar tanggung jawabnya untuk menafkahi istrinya, atau seorang bapak yang memikul amanat untuk membesarkan anak-anaknya. Semua itu merupakan amanat yang harus dijaga dan dilaksanakan sebaik-baiknya. Apabila kita tidak bisa berbuat adil dan tidak mampu mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi pihak yang kita pimpin, maka janganlah sekali-kali kita mencoba-coba untuk mengemban amanat tersebut. Apabila seorang presiden tidak mampu mengemban amanat untuk membawa kehidupan bangsanya dari keterpurukan menuju kesejahteraan dan keadilan, maka janganlah kita kembali memilih presiden atau pemimpin itu untuk kedua kalinya. Karena itu, amanat adalah ringan dikatakan namun berat untuk dilaksanakan. Barang siapa hanya bisa mengatakan namun tidak bisa melaksanakan, maka ia tidak layak untuk dijadikan pemimpin.

Hadits ke 12
Mewaspadai para pembisik pemimpin

Abu si’id dan abu hurairah r.a. Berkata : rasulullah saw bersabda : allah tiada mengutus seorang nabi atau mengangkat seorang khalifah, melainkan ada dua orang kepercayaan pribadi, seseorang yang menganjurkan kebaikan, dan seorang yang menganjurkan kejahatan. Sedang orang yang selamat ialah yang dipelihara oleh allah. (HR Bukhari)

 Penjelasan:

Setiap pemimpin tentunya memilki asisten pribadi. Asisten ini biasanya menjadi kepercayaan seorang pemimpin dalam melakukan banyak hal yang berkaitan dengan kebutuhan pemimpin. Akan tetapi, seorang pemimpin juga harus waspada terhadap orang-orang kepercayaannya. Karena Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan diantara orang-orang kepercayaan pemimpin tersebut tentu ada yang jujur dan ada yang tidak jujur. Seorang kepercayaan pemimpin yang jujur pasti akan memberikan informasi yang benar terhadap pemimpinnya, tetapi seorang kepercayaan yang tidak jujur tentu akan memberikan informasi yang tidak benar kepada pemimpinnya.

Orang yang terakhir ini lah biasanya yang selalu menghasut dan membisikkan informasi-informasi yang justru bukan memperkuat kepemimpinannya, melainkan akan menurunkan integritas kepemimpinannya. Karena itu, Islam sangat menganjurkan agar kita aspada terhadap orang-orang yang pekerjaannya hanya membisikkan informasi-informasi salah sehingga pemimpin terdorong untuk megeluarkan kebijakan yang merugikan kepentingan rakyat banyak.


Hadits ke 13
Pemimpin perlu “pembantu” yang jujur

‘Aisyah r.a. Berkata : rasulullah saw bersabda : jika allah menghendaki kebaikan terhadap seorang raja, maka diberinya seorang menteri yang jujur, jika lupa diingatkan, dan jika ingat dibantu. Dan jika allah menghendaki sebaliknya dari itu, maka allah memberi padanya ,menteri yang tidak jujur, hingga jika lupa tidak diingatkan dan jika ingat tidak dibantu. (HR Abu Dawud).


Penjelasan:

Seorang pemimpin pasti mengemban segudang tugas dan amanat yang begitu berat yang harus dijalankan. Sementara untuk melaksanakan semua tugas itu tidak mungkin dia sendiri melakukannya. Oleh sebab itu dibutuhkan sejumlah pembantu untuk meringankan tugas sang pemimpin. Dalam kehidupan politik modern, para pembantu presiden itu bisa disebut sebagai menteri. Dan barangkali bukan hanya presiden, semua jabtan publik di negeri ini, baik bupati, gubernur, wali kota, dpr, hingga kepala sekolah pun, juga membutuhkan pembantu atau pendamping ahli yang bisa meringankan tugas-tugasnya. Sehingga dalam konteks indoensia, kita tidak hanya mengenal menteri sebagai pembantu presiden, melainkan juga terdapat apa yang kita kenal sebagai juru bicara, asisten ahli, staf ahli, penasehat ahli, dsb.

Keberadan “orang-orang pendamping” ini tentunya perlu kita apresiasi dengan baik, karena mereka membantu tugas-tugas kepresidenan. Akan tetapi, kita juga perlu mencermati bahkan jika diperlukan kita mesti waspada karena tidak semua “orang-orang pendamping” itu berniat tulus untuk membantu. Akan tetapi lebih dari itu ada juga yang menyimpan kepentingan tertentu dan menjadi “pembisik” yang licik. Tentunya banyak cara yang dilakukan para pembantu pemimpin yang licik ini.

Salah satu contoh yang sering kita lihat dalam kehidupan birokrasi kita adalah; melaporkan situasi yang tidak sebenarnya kepada pemimpin yang bersangkutan. Bila yang terjadi di lapangan adalah kelaparan, maka si pembantu hanya melaporkan kekuranagn gizi. Selain itu tidak sedikit kita jumpai “orang-orang” yang pekerjaanya hanya membisikkan informasi-informasi bohong kepada pemimpinnya sehingga pemimpin tersebut mengeluarkan kebijakan berdasarkan informasi bohong yang ia peroleh. Akibatnay, selain kebijakan itu tidak tepat, sang pemimpin itu juga jatuh kredibilitasnya. Oleh sebab itu, memilih pendamping itu harus hati-hati dan waspada. Kedekatan seseorang dengan pemimpin tersebut dan kepintaran seseorang tidak menjamin dia akan berbuat jujur terhadap atasannya.

Hadits ke 14
Shalat mendorong pemimpin berbuat adil

Rasulullah saw bersabda: akan ada para pemimpin yang kalian kenal dan kalian ingkari. Siapa yang tidak menyukainya maka dia bebas dan barang siapa yang mengingkarinya maka dia selamat, akan tetapi (dosa dan hukuman) diberlakukan kepada orang yang yang ridha dan mengikuti para pemimpin itu. Para sahabat bertanya: apakah kami boleh memeranginya wahai rasulullah saw. Beliau menjawab: tidak boleh selama para pemimpin itu masih mengerjakan shalat. (HR Muslim)

Penjelasan:

Hidup adalah saat Nilai-Nilai Keburukan seperti pelit, malas, lemah, selalu mementingkan diri sendiri dan kelompok, selalu berkeluh kesah yang dibawa oleh Jasmani berebut dan bertarung dengan Nilai-Nilai Kebaikan seperti dermawan, aktif, kuat, selalu dalam kasih sayang, selalu di dalam kebersamaan, selalu sabar, yang dibawa oleh Ruhani. Selanjutnya jika yang terjadi Jasmani mampu mengalahkan Ruhani maka Nilai-Nilai Keburukan akan menjadi perilaku diri kita sehingga kondisi kejiwaan diri kita dikelompokkan ke dalam Jiwa Fujur. Apa maksudnya?

Katakan jika pelit bin bakhil, tidak mau berbagi yang dibawa oleh Jasmani mampu mengalahkan sifat dermawan yang di bawa oleh Ruhani maka tindakan atau perbuatan manusia akan mementingkan diri sendiri, akan berusaha dengan segala cara untuk mendapatkan sesuatu sehingga apa yang diperbuat oleh manusia dikategorikan sebagai perbuatan keji dan mungkar. Sekarang bagaimana jika Ruhani mampu mengalahkan Jasmani? Jika Ruhani mampu mengalahkan Jasmani maka Nilai-Nilai Kebaikan akan menjadi perilaku diri kita sehingga kondisi kejiwaan diri kita dikelompokkan ke dalam Jiwa Taqwa. Apa maksudnya?

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (surat An Nisaa’ (4) ayat 28)

Bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus menerus. (surat Al Qiyaamah (75) ayat 5)

Katakan sifat pelit mampu dikalahkan dengan sifat dermawan, maka yang akan ada di dalam diri, ataupun masyarakat adalah timbulnya kerukunan antar sesama manusia, angka kriminalitas menjadi rendah serta jurang orang kaya dengan orang miskin semakin tipis.

Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusuahan ia berkeluh kesah. Dan apabila dapat kebaikan ia amat kikir.  (surat Al Ma’aarij (70) ayat 19-20-21)

Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu memuliakanNya dan diberiNya kesenangan, maka dia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila TuhanNya mengujinya lalu membatasi rezkinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”. (surat Al Fajr (89) ayat 15-16)

Apa yang kami kemukakan di atas, akan terus terjadi sepanjang manusia terdiri dari Jasmani dan Ruhani, atau sepanjang ruh belum tiba dikerongkongan, atau sampai dengan hari kiamat kelak. Sekarang, timbul pertanyaan apa hubungannya antara Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Jasmani atau apa hubungannya perbuatan keji dan mungkar atau ketidakadilan dengan shalat yang kita dirikan di dalam kepemimpinan?

Di dalam kehidupan sehari-hari, aktivitas Mandi dan Gosok Gigi merupakan salah satu sarana untuk menghilangkan kuman dan bakteri yang menempel di kulit akibat aktivitas kerja atau pengaruh udara kotor atau akibat adanya keringat yang keluar dari tubuh kita. Adanya kegiatan mandi dan gosok gigi yang kita lakukan dengan baik dan benar maka akan timbul dalam diri apa yang dinamakan kesegaran dan kesehatan tubuh. Selanjutnya jika hal ini adalah tujuan dari mandi dan gosok gigi, maka tidak salah jika kita membutuhkan mandi dan gosok gigi. 

Sekarang aktivitas mandi dan gosok gigi sudah kita laksanakan tiap hari, lalu dapatkah diri kita dinyatakan telah sukses melaksanakan mandi dan gosok gigi jika kuman dan bakteri masih ada di tubuh dan gigi kita, atau setelah mandi kita masih menggaruk-garuk kegatalan akibat masih banyaknya daki yang menempel di tubuh kita? Jika keadaan ini yang terjadi setelah mandi berarti kegiatan mandi yang kita lakukan belum sesuai dengan tujuan dari aktivitas mandi, atau ada sesuatu yang salah saat diri kita mandi dan gosok gigi. Adanya kondisi ini berarti hasil akhir dari aktivitas mandi dan gosok gigi sangat tergantung dari masing-masing individu apakah mau mandi dan gosok gigi secara baik dan benar. Semakin baik dan benar mandi dan gosok yang kita lakukan maka semakin baik pula kesehatan kulit dan gigi, demikian pula sebaliknya.

Selanjutnya bagaimana dengan Shalat yang kita dirikan sehari semalam lima waktu? Jika mandi yang baik dan benar saja bisa mendatangkan kesegaran dan kesehatan tubuh maka apakah Shalat tidak memiliki maksud dan tujuan yang mulia dibandingkan perintah mandi? Shalat yang tidak lain adalah perintah Allah SWT pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu atau mendirikan Shalat pasti akan memberikan dampak positif baik kepada Ruhani dan juga kepada Jasmani manusia karena tidak mungkin perintah mendirikan Shalat yang asalnya langsung dari Allah SWT berkualitas rendah. Apa maksudnya? Untuk menerangkan hal ini ada sesuatu yang harus kita perhatikan yaitu setiap manusia pasti terdiri dari Ruhani dan Jasmani. Adanya kondisi ini berarti baik Ruhani maupun Jasmani tidak bisa dilepaskan dari perintah mendirikan Shalat.

Hal ini dikarenakan melalui Shalat yang kita dirikan berarti kita telah berusaha untuk mempertemukan Ruhani yang berasal dari Allah SWT dengan Allah SWT (maksudnya adalah berusaha untuk mempertemukan Ruhani dengan Kemahaan dan Kebesaran Allah SWT) sehingga dengan adanya pertemuan Ruhani dengan Allah SWT akan terjadi apa yang dinamakan dengan sinergi antara Ruhani diri kita dengan Allah SWT yang mengakibatkan diri kita selalu berada di dalam Kemahaan dan Kebesaran Allah SWT. Hasil akhir dari ini adalah Ruhani mampu mengalahkan Jasmani, atau kondisi jiwa manusia masuk dalam kategori Jiwa Taqwa. Selanjutnya jika ini yang terjadi maka pengaruh-pengaruh negatif yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan yang berasal dari sifat-sifat Jasmani dapat kita kalahkan, atau dapat kita hilangkan sehingga yang ada adalah Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari Ruhani. Apa contohnya?

bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (surat Al Ankaabut (29) ayat 45)

Ketidakadilan dan mementingkan diri sendiri yang dibawa Jasmani hilang menjadi adil dan kebersamaan, Malas yang dibawa Jasmani hilang menjadi Produktif, Pelit yang dibawa Jasmani hilang menjadi Dermawan, Keji dan Mungkar yang dibawa Jasmani hilang menjadi Kasih Sayang kepada sesama, demikian seterusnya sesuai dengan Asmaul Husna yang dimiliki oleh Allah SWT. Jika sudah demikian keadaannya berarti Nila-Nilai Kebaikan akan selalu menyertai individu-individu yang telah mendirikan Shalat yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan Shalat. Selanjutnya dengan adanya kondisi ini berarti modal awal bagi ketentraman dan ketertiban yang terjadi di dalam masyarakat sudah kita miliki. 

Selain daripada itu, Shalat juga memberikan dampak positif kepada kesehatan Jasmani manusia, yaitu melalui gerakan-gerakan yang terdapat di dalam Shalat seperti saat berdiri, saat takbiratul ihram, saat rukuk, saat sujud, saat I'tidal (bangun dari rukuk), duduk di antara dua sujud, saat duduk tasyahud awal, saat duduk tasyahud akhir dan saat salam, yang kesemuanya memiliki manfaat ditinjau dari sudut kesehatan jasmani.

Adanya kondisi ini berarti mendirikan Shalat memiliki dua manfaat bagi Jasmani, yaitu mampu menghilangkan, atau meniadakan sifat-sifat Jasmani yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan akibat dari Ruhani tersambung ,atau bersinergi dengan kemahaan dan kebesaran Allah SWT dan juga mampu memberikan manfaat kepada Jasmani itu sendiri melalui gerakan Shalat. Sekarang kita telah mengetahui bahwa manfaat Shalat tidak hanya untuk kepentingan Ruhani saja, akan tetapi juga untuk kepentingan Jasmani.

Sekarang bagaimana jika setelah Shalat kita dirikan, akan tetapi justru perbuatan korupsi, kolusi, nepotisme, pembalakan liar, menipu, menyebarkan fitnah, melakukan tindakan keji dan mungkar, mementingkan golongan tidak juga hilang dalam kehidupan kita, atau Nilai-Nilai Keburukan yang disukai oleh Syaitan masih tetap kita lakukan bahkan kualitasnya malah meningkat dari waktu ke waktu? Jika kita mengacu kepada perintah mandi dan gosok, berarti Shalat yang kita dirikan belum sesuai dengan kehendak Allah SWT selaku pemberi perintah mendirikan Shalat, atau ada sesuatu yang salah di dalam Shalat yang kita dirikan, yaitu kita tidak bisa melaksanakan perintah mendirikan Shalat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.

Untuk itu jika kita merasa sangat membutuhkan Shalat seperti kita membutuhkan mandi dan gosok gigi maka kita harus memperbaiki kualitas Shalat yang kita dirikan mulai saat ini juga sebelum Ruh tiba dikerongkongan, atau segeralah memanfaatkan kesempatan ke dua yang telah diberikan oleh Allah SWT sebelum Malaikat Izrail melaksanakan tugasnya memisahkan Jasmani dan Ruhani diri kita.

Sebagai seorang khalifah berarti saat ini kita adalah seorang pemimpin, untuk itu jadikanlah shalat yang dirikan sebagai pedoman saat diri kita memimpin karena dengan shalat yang kita dirikan berarti kita telah berjanji untuk tidak melakukan perbuatan keji dan munkar baik kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, sehingga mampu menghantarkan masyarakat yang kita pimpin menjadi masyarakat yang madani.


Hadits ke  15
Pemimpin yang bodoh

Rasulullah saw bersabda kepada ka’ab bin ujrah: mudah-mudahan allah melindungimu dari para pemimpin yang bodoh (dungu). Ka’ab bin ujzah bertanya: apa yang dimaksud dengan pemimpin yang dungu wahai rasulullah saw? Beliau menjawab: mereka adalah para pemimpin yang hidup sepeninggalku. Mereka tidak pernah berpedoman pada petunjukku, mereka tidak mengikuti sunnahku. Barang siapa yang membenarkan kedustaan mereka ataupun mendukung atas kezaliman mereka, maka orang itu tidak termasuk golonganku, karena aku bukanlah orang seperti itu. Mereka juga tidak akan mendapatkan air minum dari telagaku. Wahai ka’ab, sesungguhnya puasa adalah benteng, sedekah itu bisa menghapus kesalahan, sedangkan shalat adalah upaya mendekatkan diri kepada allah (qurban) –dalam riwayat lain burhan (dalil)- wahai ka’ab sesungguhnya tidak akan masuk surga seonggok daging yang berasal dari barang haram. Dan api neraka lebih berhak untuk melahapnya. Wahai ka’ab bin ujrah, manusia terpecah menjadi dua golongan: pertama, orang yang membeli dirinya (menguasai dirinya), maka dia itulah yang memerdekakan dirinya.  Golongan yang menjual dirinya, maka dia itulah yang membinasakan dirinya sendiri. (HR. Ahmad bin Hambal)

Penjelasan:

Hadits ini  berbicara tentang “nasib” kepemimpinan sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Bahwa pasca meninggalnya rasul, kepemimpinan umat islam akan diwarnai tindakan-tindakan yang oleh rasul disebut “bodoh”. Karena itu, rasul kemudian senantiasa berdo’a semoga umatnya terlindungi dari “bahaya-bahaya” akibat pemimpin yang bodoh ini. Akan tetapi, kita di sini tentunya tidak akan memaknai kata bodoh secara harfiyah. Karena bisa jadi kita memiliki pemimpin yang pintar, cerdas, bergelar profesor atau bahkan sekaligus ulama, namun jika pemimpin itu tidak berpegang teguh pada sunnah rasul maka dia layak disebut sebagai yang bodoh atau dungu.

Lantas siapa yang dimaksud pemimpin yang mengikuti sunnah rasul itu? Apakah pemimpin yang puasa sunnah senin kamis ? Tentunya yang dimaksud pemimpin yang mengikuti sunnah rasul di sini adalah pemimpin yang mengikuti jejak rasul dalam menjalankan kepemimpinannya. Kita tahu, bahwa kepemimpinan rasul adalah kepemimpinan yang menjunjung tinggi keadilan, toleransi, dan dekat dengan rakyat.

Apa yang kini kita kenal sebagai “piagam madinah” adalah sebagai pedoman rasul dalam menjalankan kepemimpinannya terhadap semua rakayat saat itu tanpa memandang latar belakang agama, etnis, warna kulit dan jenis kelamin. Semua rakyat madinah yang plural itu dilindungi dan dijamin haknya oleh rasul. Oleh sebab itu, bagi pemimpin pasca rasul yang tidak mampu mengikuti jejak rasul seperti di atas maka dia disebut bodoh oleh rasul.

Hadits 16
Pemimpin dzalim dibenci Allah

Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya manusia yang paling dicintai allah pada hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di sisi allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci allah dan sangat jauh dari allah adalah seorang pemimpin yang zalim. (HR. Turmudzi)

Penjelasan:

Hadits ini sekali lagi menekankan bahwa kriteria adil sangat penting bagi seorang pemimpin. Tanpa nilai-nilai keadilan yang dijunjung tinggi oleh seorang pemimpin, maka sebuah kepemimpinan tidak akan berhasil mengangkat kesejahteraan umatnya. Karena itu, bisa kita fahami mengapa rasul berkali-kali menekankan akan pentingnya seorang pemimpin yang adil. Dalam hadis ini, seorang pemimpin yang adil akan ditempatkan sangat dekat sekali kedudukannya dengan allah, sedangkan pemimpin yang dzalim adalah sangat dibenci sekali oleh allah. Kedua balasan (imbalan dan ancaman) ini tentunya mencerminkan sebuah penghargaan allah yang begitu besar kepada pemimpin yang mampu berbuat adil kepada rakyatnya.

Hadits 17
Kedzaliman pemimpin mempercepat datangnya kiamat

Rasulullah saw bersabda: kiamat tidak akan terjadi sampai kalian membunuh para pemimpin kalian, pedang-pedang kalian banyak sekali meminum darah, dan agama kalian diwarisi (dikuasai) oleh orang-orang yang paling buruk di antara kalian. (HR. Ahmad bin hambal)

Penjelasan:

Hadits ini mengilustarikan sebuah zaman dimana bila seorang pemimpin bertindak sangat lalim dan rakyat melawannya hingga membunuh pemimpin lalim itu, maka itu pertanda kiamat sudah dekat. Logikanya, bila dalam sebuah zaman muncul perlawanan rakyat terhadap pemimpin, maka di zaman itu berarti terdapat pemimpin yang dzalim nan lalim. Karena bila sebuah kepemimpinan itu baik dan tidak ada kedzaliman, maka niscaya tidak mungkin akan muncul perlawanan rakyat.

Oleh sebab itu, pesan pokok yang hendak disampaikan oleh hadits ini adalah bahwa bila terjadi kedzaliman pemimpin di mana-mana, maka itu berarti pertanda kiamat sudah dekat. Lalu bagaiman dengan zaman kita saat ini, dimana sebagian besar pemimpin sedikit sekali yang berbuat adil dan banyak sekali yang berbuat dzalim, serta perlawanan rakayat begitu dahsyata hingga ada pemimpin yang dibunuh oleh rakyatnya, apakah zaman kita sudah termasuk tanda-tanda kiamat ? Pertanyaan ini memang tidak bisa kita jawab “ya” atau “tidak”. Karena yang maha mengetahui kapan kiamat itu terjadi adalah allah. Akan tetapi, bila kita melihat kondisi kepemimpinan kita di zaman ini akan nampak sekali tanda-tanda kiamat sebagaiman telah diseritakan rasul dalam hadits di atas.

Hadits 18
Menjaga amanat adalah bagian dari iman

Rasulullah saw bersabda: tidak beriman orang yang tidak bisa menjaga amanah yang dibebankan padanya. Dan tidak beragama orang yang tidak bisa menepati janjinya. (HR. Ahmad bin Hambal)

Penjelasan:

Mungkin kita hanya mengenal slogan-slogan keagamaan semisal: kebersihan adalah bagian dari iman, malu adalah bagian dari iman, dsb. Tapi kita jarang –atau mungkin tidak pernah- mengatakan bahwa menjaga amanat adalah bagian dari iman. Padahal, rasul juga pernah bersabda bahwa menjaga amanat adalah bagian dari dasar-dasar keimanan dan keagamaan. Dan barang siapa yang tidak menjaga amanat maka rasul menyebut dia tidak sempurna iman dan agamanya. Andai kita mengkampanyekan hadits ini ke masyarakat luas, apalagi di saat-saat kampanye presiden, bupati, gubernur, dsb, maka kita setidaknya telah menekan munculnya “potensi” penyelewengan amanat oleh pemimpin kita, meskipun itu sekecil semut.

Hal itu karena dalam tradisi kepemimpinan kita, upaya menjaga amanat itu sangat kecil. Sumpah jabatan sebagai mekanisme penyerahan amanat  ternyata tidak disertai sebuah mekanisme kontrol yang ketat terhadap amanat itu. Oleh sebab itu, kampanye keagamaan untuk mendorong seseorang (pemimpin) agar senantiasa menjaga amanat (kepemimpinanya) adalah penting segera kita galakkan. 


Hadits 19
Pemimpin dianjurkan memberi suri tauladan yang baik (nasehat)kepada rakyatnya
 
Rasulullah saw bersabda: tidak ada yang berhak untuk memberikan ceramah (nasehat/cerita hikmah) kecuali seorang pemimpin, atau orang yang mendapatkan izin untuk itu (ma’mur), atau memang orang yang sombong  dan haus kedudukan. (HR. Muslim)

Penjelasan:

Hadits ini bukan berarti hanya pemimpin yang berhak memberi nasehat kepada umat, melainkan hadis ini mengandung pesan bahwa seorang pemimpin seharusnya bisa memberikan suri tauladan yang baik kepada umatnya. Karena yang dimaksud ceramah disini bukan dalam arti ceramah lantas memberi wejangan kepada umat, akan tetapi yang dimaksud ceramah itu adalah sebuah sikap yang perlu dicontohkan kepada umatnya. Seorang penceramah yang baik dan betul-betul penceramah tentunya bukan dari orang sembarangan, melainkan dari orang-orang terpilih yang baik akhlaqnya. Begitu pula dalam hadits ini, pemimpin yang berhak memberikan ceramah itu pemimpin yang memiliki akhlaq terpuji sehingga akhlaqnya bisa menjadi tauladan bagi rakyatnya. Jadi kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang penceramah, maka itu juga harus dipenuhi oleh seorang pemimpin. Karena pada zaman rasul dulu, seorang penceramah atau yang memberikan hikmah kepada umat adalah para penceramah ini, sehingga rasul mengharuskan seorang pemimpin harus memiliki akhlaq yang sama dengan penceramah ini.

Hadits 20
Jabatan Pemimpin itu dekat dengan neraka

Rasulullah saw bersabda: setiap pemimpin yang memimpin rakyatnya,  pada hari kiamat pasti akan didatangkan. Kemudian malaikat mencengkeram tengkuknya dan mengangkatnya sampai ke langit. Kalau ada perintah dari allah: lemparkanlah, maka malaikat akan melemparkannya ke bawah yang jauhnya adalah empat puluh tahun perjalanan. (HR. Ibnu Majah)

Penjelasan:

Hadits ini menggambarkan betapa jabatan sebagai pemimpin itu berat dan seolah bediri diantara ranjau-ranjau neraka yang sewaktu-waktu bila orang itu salah menginjaknya maka ranjau itu akan akan meledak dan membunuh sang pemimpin itu. Mungkin kita memandang bahwa menjadi pemimpin (presiden) itu serba enak; fasilitas dijamin, harta melimpah dan kehormatan terpandang, sehingga semua orang bercita-cita ingin menjadi presiden, padahal bila semua orang tahu bahwa pemimpin (presiden) itu berjalan di atas jembatan yang dibawahnya berkobar api neraka, maka niscaya semua orang mungkin tidak akan berharap akan menjadi presiden (pemimpin).

Posisi pemimpin yang cukup rentan ini dikarenakan beratnya tanggung jawab yang harus dipikul seorang pemimpin. Sekali ia lengah dan mengabaikan tanggung jawabnya, maka ia bisa tergelincir dan jatuh ke jurang neraka selama-lamanya. Oleh sebab itu, tak heran bila rasul mengambarkan poisi pemimpin itu sebagaimana digambarkan oleh hadits di atas.
           
Hadits 21
Pemimpin harus membimbing rakyatnya

Rasulullah saw bersabda: setiap pemimpin yang menangani urusan kaum muslimin, tetapi tidak berusaha semaksimal mungkin untuk mengurusi mereka dan memberikan arahan kepada mereka, maka dia tidak akan bisa masuk surga bersama kaum muslimin itu. (HR. Muslim)

Penjelasan:

Seorang pemimpin tidak bisa sekedar berpikir dan bergulat dengan wacana sembari memerintah bawahannya untuk mengerjakan perintahnya, melainkan pemimpin juga dituntut untuk bekerja keras mengurus sendiri persoalan-persoalan rakyatnya. Salah seorang khulafau rasyidin yaitu umar bin utsman pernah berkeliling keseluruh negeri untuk mencari tahu adakah di antara rakyatnya masih kekurangan pangan. Jika ada, maka khalifah umar  tidak segan-segan untuk memberinya uang (bekal) untuk menunjang kehidupan rakyatnya tadi. Bahkan khalifah Abu Bakar harus turun tangan sendiri untuk memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat.
Semua peristiwa yang dilakukan oleh dua sahabat nabi di atas adalah contoh betapa islam sangat menekankan kepada pemimpin untuk selalu bekerja keras agar rakyatnya benar-benar terjamin kesejahteraannya. Tidak bisa seorang pemimpin hanya duduk dan berceramah memberi sambutan di mana-mana, tetapi semua tugas-tugas kepemim pinannya yang lebih kongkrit malah diserahkan kepada bawahan-baahannya. Memang betul bahwa bawahan bertugas untuk membantu meringankan beban atasannya, akan tetapi tidak serta-merta semua tugas harus diserahkan kepada bawahan. Suatu pekerjaan yang memang menjadi tugas seseorang dan dia mampu melakukannya, maka janganlah  pekerjaan itu diserahkan kepada orang lain.


Hadits 22
Situasi zaman pasca kepemimpinan Rasul s.a.w

Abdullah berkata: akan datang pada kalian satu tahun (masa) yang lebih buruk daripada tahun (masa) sebelumnya. Akan tetapi yang aku maksud bukanlah sebuah tahun yang lebih subur daripada tahun yang lain, ataupun seorang pemimpin yang lebih baik daripada pemimpin lainnya. Akan tetapi di masa itu, telah hilang (wafat) para ulama, orang-orang terpilih dan para ahli fiqh kalian. Dan kalian tidak menemukan pengganti mereka. Sehingga datanglah sebuah kaum yang berdalil hanya dengan menggunakan rasio mereka. (HR. Ad darimi)

Penjelasan:

Membaca ramalan rasul di atas sungguh membuat kita cemas akan datangnya suatu zaman yang oleh rasul dikatakan lebih buruk dari zaman-zaman sebelumnya. Namun yang dimaksud lebih buruk di sini tentunya bukan dalam pengertian kuantitas. Melainkan kualitas kehidupan yang tengah berlangsung pada sebuah zaman. Kalau ukurannya adalah kuantitas, mungkin zaman kita bisa dibilang lebih bagus karena, misalnya, kita saat ini bisa memproduksi sebuah barang dengan hanya memakan waktu yang singkat namun menghasilkan barang yang cukup banyak. Akan tetapi bila ukurannya adalah kualitas, maka zaman kita saat ini lebih rendah dan lebih buruk dari zaman-zaman sebelumnya (zaman rasul). Lihatlah misalnya kualitas arsitektur dan bangunan yang berkembang saat ini, kemudian bandingkan dengan arsitektur dan bangunan pada tempo dulu, seperti tembok cina, borobudur, dsb, tentu kualitasnya jauh sekali berbeda.

Mungkin di zaman ini kita tidak bisa lagi menemukan orang yang mampu membangun semacam borobudur dengan kualitas banunannya yang terjamin sebagaimana candi borobudur. Begitu pula dengan kualitas kepemimpinan pada saat ini jauh lebih baik dari kulaitas kepemimpinan pada masa-masa rasul dan sahabat. Meskipun pada masa sahabat juga penuh diwarnai intrik politik yang mengakibatkan pertumpahan darah, akan tetapi setidaknya sejarah telah mencatat bahwa dua sahabat periode pertama (abu bakar dan umar) adalah potret zaman dimana kepemimpinan benar-benar dijalankan atas dasar prinsip-prinsip keadilan.  Meski saat ini kita mengembar-gemborkan sistem demokrasi yang dianggap paling baik, namun ternyata negara tempat kelahiran demokrasi juga tidak menerapkan nilai-nilai demokrasi yang sebenarnya.

Dan banyak sekali pihak yang mengatasnamakan demokrasi namun menginjak-injak nilai-nilai demokrasi. Meskipun saat ini ada yang namanya pemilu, namun semua sistem dan mekanisme demokrasi itu tidak menjamin terwujudnya kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera. Kalau sudah demikian, bisakah zaman kita ini disebut lebih baik dari zaman rasul.s.a.w ?

Hadits 23
Balasan bagi pemimpin yang otoriter


Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya aku orang yang paling tahu tentang tiga golongan yang pertama kali masuk surga: orang yang mati syahid, seorang hamba yang menunaikan hak allah dan hak majikannya, dan orang fakir yang menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik. Aku juga orang yang paling tahu tentang tiga golongan yang pertama kali masuk neraka: seorang pemimpin yang otoriter (sewenang-wenang), seorang kaya yang tidak menunaikan kewajibannya, dan seorang fakir yang sombong. (HR. Ahmad)

Penjelasan:

Kepemimpinan otoriter adalah sebuah kepemimpinan yang dijalankan atas dasar kesewenag-wenangan. Semua keputusan dan kebijakan pemimpin harus ditaati oleh semua rakyat tanpa memberi ruang terjadinya “negoisasi” dengan rakyat. Bila pemimpin berkata merah, maka rakyat harus mengikuti merah. Demikianlah ciri-ciri sederhana sebuah kepemimpinan otoriter.

Lalu bagaimana Islam menyikapi (ke)pemimpin(an) yang otoriter ini? Islam jelas tidak pernah memberikan tempat, walau sejengkal, kepada pemimpin yang otoriter ini. Sebagaimana pemimpin yang dzalim, pemimpin otoriter juga diancam dengan hukuman neraka. Dan sebaliknya, islam justru sangat menekankan pentingnya demokrasi (syura) dan partisipasi rakyat dalam sebuah sistem kepemimpinan.

Rasul s.a.w telah memberikan contoh bagaimana syura menjadi prinsip pokok dalam menjalankan roda kepemimpinan. Dalam syura (demokrasi) semua rakyat, tanpa membedakan latar agama, etnis, arna kulit, bahasa, jenis kelamin, berhak untuk  terlibat dalam merumuskan arah dan haluan sebuah kepemimpinan. Ketika rasul menjadi pemimpin politik di madinah, rasul tidak segan-segan memberikan hak yang setara anatara kaum muhajirin dan anshar. Bahkan dalam medan peperangan, Siti ‘Aisyah juga diberi hak untuk mengukiti bahkan memimpin sebuah peperangan dengan kaum kafir. Dengan demikian, cukup jelas sekali  bahwa islam adalah agama yang “mengharamkan” otoritariansme dan “mewajibkan” demokrasi (syura).


Hadits 24
Melawan pemimpin dzalim adalah jihad akbar

Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya jihad yang paling besar adalah mengungkapkan kalimat kebenaran di hadapan sultan yang zalim. (HR. Turmudzi)



Hadits ke 25
Keputusan pemimpin harus aspiratif

Apabila ada dua orang laki-laki yang meminta keputusan kepadamu maka janganlah engkau memberikan keputusan kepada laki-laki yang pertama sampai engkau mendengarkan pernyataan dari laki-laki yang kedua. Maka engkau akan tahu bagaimana engkau memberikan keputusan. (HR. Turmudzi)

Penjelasan:

Hadits ini mengajarkan kita sebuah kepemimpinan yang mau mendengar semua suara rakyat. Tidak peduli rakyat itu pengemis, pemulung, orang penyandang cacat, perempuan, atau anak kecil sekalipun, maka semua itu harus didengar suaranya oleh pemimpin. Artinya, kepemimpinan itu, atau lebih tepatnya seorang pemimpin itu harus benar-benar aspiratif. Karena bila kita dalam mengambil keputusan atau kebijakan hanya berdasarkan suara kelompok tertentu, lebih-lebih suara kelompok yang dekat dengan lingkungan kekuasaan (pemimpin) maka keputusan itu pasti akan jauh dari rasa keadilan. Alasannya adalah karena suara satu kelompok itu belum tentu mewakili suara kelompok yang lain. Sehingga bila ingin mencapai rasa keadilan bagi eluruh rakyat, maka harus mendengar suara semua rakyat.

Hadis ini penting terutama dalam konteks sistem demokrasi yang meniscayakan keterwakilan seperti di indoensia misalkan. Dimana dpr (dewan perwakilan rakyat) memiliki wewenang untuk mewakili suara rakyat. Bila dpr ini tidak menjaring aspirasi dari semua lapisan dan status masyarakat, maka jangan harap kebijakan-kebijakan yang dihasilakannya akan memenuhi rasa keadilan rakyat indonesia. Oleh sebab itu, agar rasa keadilan dalam sebuah masyarakat itu benar-bnar terpenuhi, maka islam mewajibkan seorang pemimpin untuk tidak mengambil keputusan hanya dari satu orang (satu kelompok suara), tetapi lebih dari itu. 


Hadits ke 26
Pemimpin harus punya pedoman kepemimpinan

Ketika rasul mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bertanya: wahai Mu’adz, bagaimana caramu memberikan putusan/hukum? Dia menjawab; aku memutuskan/menghukumi berdasarkan ketentuan dari al-qur’an. Lalu rasul bertanya lagi: bagaimana kalau tidak ada dalam al-quran? Mu’adz menjawab, maka aku memutuskan berdasarkan sunnah rasul s.a.w. Rasul bertanya lagi: bagaimana bila tidak kau temukan dalam sunnah rasul ? Mu’adz menjawab: maka aku berijtihad berdasarkan pendapatku sendiri. Rasul bersabda: segala puji bagi allah yang telah memberikan petunjuk/taufik kepada duta rasul saw

Penjelasan:

Hadits ini turun ketika salah seorang sahabat rasul s.a.w, Mu’adz bin Jabal, hendak diutus rasul untuk menjadi gubernur di Yaman. Namun sebelum Mu’adz berangkat ke Yaman, rasul terlebih dahulu memanggilnya untuk di uji (fit and propertest) sejauh mana dia bisa diandalkan menjadi gebernur. Akan tetapi materi test yang disampaikan rasul tidak muluk-muluk, beliau hanya menanyakan tentang pedoman dia (Mu’adz) dalam menjalankan roda kepemimpinannya.

Dalam pengakuan Mu’adz, dia akan menjalankan roda kepemimpinanya sebagai gubernur yaman dengan berlandaskan pada al-qur’an, sunnah, dan ijtihad (berpikir dan bekerja keras). Untuk jawaban yang pertama dan kedua, rasul mungkin sudah bisa menebak jawaban yang akan diberikan Mu’adz, akan tetapi untuk pertanyaan ketiga itulah rasul mencoba menggali sejauh mana upaya Mu’adz bila sebuah keputusan tidak ada dasarnya dalam al-qur’an dan sunnah. Dan ternyata nabi cukup bangga kepada Mu’adz karena dia bisa menjawab pertanyaan ketiga itu dengan cukup memuaskan.

Ini artinya bahwa hadits di atas telah memberikan isyarat kepada kita bahwa dalam menjalankan roda kepemimpinan kita tidak bisa hanya mengandalkan pedoman al-qur’an dan sunnah, akan tetapi kita juga harus pandai-pandai mencari alternatif pedoman yang lain yang bisa mengilhami kita dalam mengeluarkan keputusan. Bukannya kita hendak mengatakan bahwa al-qur’an dan sunnah tidak sempurna, akan tetapi untuk merespon semua peristiwa yang terjadi di dunia ini kita dituntut untuk mencari dan mencari segala macam alternatif solusinya. Apabila kita tidak menemukan dasarnya di al-qur’an dan sunnah, mungkin kita bisa mencarinya di nilai-nilai kearifan lokal yang telah tumbuh dan berkembang di dalam sebuah masyarakat. Karena itulah kita juga mengenal apa yang oleh para ahli ushul fiqh dikenal dengan ‘urf atau kaidah fiqh yang berbunyi al-‘adah muhakkamah. Bahkan rasul pun pernah bersabda: bila engkau menemukan kebijakan maka ambillah meski ia keluar dari mulut anjing.


Hadits ke 27
Pemimpin harus peka terhadap Kebutuhan rakyat

Setiap pemimpin yang menutup pintunya terhadap orang yang memiliki hajat, pengaduan, dan kemiskinan maka allah akan menutup pintu langit terhadap segala pengaduan, hajat dan kemiskinannya.

Penjelasan:

Kepemimpinan bukan saja menuntut kecerdasan otak dan kekuatan otot, melainkan juga harus ditunjang oleh rasa sensifitas yang tinggi terhadap persoalan-persoalan menyangkut rakyatnya. Sehingga apapun persoalan yang menimpa rakyatnya, maka pemimpin harus peka dan segera mencarikan solusinya. Di sinilah sebenarnya tugas pokok seorang pemimpin; yaitu mendengar keluh kesah rakyat untuk kemudian mencarikan jalan keluarnya. Karena itulah, Islam (melalui hadits di atas) memerintahkan seorang pemimpin untuk membuka pintu terhadap segala keluh kesah rakyatnya. Tentunya, yang dimaksud pintu disini bukan semata-mata berarti pintu rumah ataupun pintu istana, melainkan lebih dari itu yang sangat ditekankan adalah pintu hati atau nurani seorang pemimpin. Karena meski seorang pemimpin tinggal di istana megah dan berpagarkan besi dan baja, bila pintu hatinya terbuka untuk kepentingan rakyat, maka Allah SWT juga akan membukkaan “pintu hati-nya” untuk mendengar keluh kesah sang pemimpin itu.  


Hadits ke 28
Pemimpin dilarang mengambil keputusan dalam keadaan emosional

Janganlah seorang pemimpin (hakim) itu menghukumi antara dua orang yang berseteru dalam keadaan marah (emosional)

Penjelasan:

Keputusan seorang presiden adalah dasar dari kebijakan sebuah negara. Begitu juga keputusan seorang pimpinan dalam sebuah organisasi adalah acuan dalam menjalankan roda organisasi. Oleh sebab itu, dalam mengambil keputusan atau mengeluarkan kebijakan, seorang pemimpin sebaiknya tidak sedang dalam keadaan “panas”, marah, atau emosional. Hal ini bukan saja ditentang oleh hadits nabi s.a.w melainkan juga dikutuk oleh teori manajemen organisasi. Dalam teori manajemen organisasi dijelaskan bahwa seseorang tidak boleh mengeluarkan atau membuat keputusan dalam keadaan marah atau emosi yang tidak stabil.

Bila dipaksakan, maka keputusan itu dihasilkan dari sebuah proses yang kurang matang dan terburu-buru sehingga dampaknya akan sangat merugikan terhadap pelaksana keputusan tersebut. Meski di dalam hadits ini yang disebutkan adalah hakim, namun secara substansial kita sepakat bahwa dalam keadaan emosi labil, siapapun orangnya, baik hakim, pemimpin, maupun orang awam sekalipun, sebaiknya tidak perlu mengambil keputusan. Bayangkan bila kita sedang bertengkar dengan istri di rumah misalkan, tetapi setelah di tiba di kantor kita disuguhi sebuah persoalan yang harus diputuskan, maka bisa jadi sisa-sisa emosional kita di rumah, secara sadar atau tidak, akan ikut terbawa hingga ke kantor dan mempengaruhi kita dalam memutuskan sebuah perkara. Oleh sebab itu, bila kita hendak mengambil keputusan maka terlebih dahulu kita harus mendinginkan suasana dan menengkan pikiran sehingga semua pertimbangan bisa kita akomodir secara seimbang dan matang. 

Hadits ke 29
Hukuman bagi pemimpin yang suka money politic

Allah SWT melaknat penyuap, penerima suap dan yang memberi peluang bagi mereka. (HR Ahmad)

Penjelasan:

Hadits ini sungguh sangat relevan untuk konteks indoensia saat ini, di mana dalam setiap unsur birokrasi kita hampir dipastikan tidak bisa lepas dari yang namanya “suap”. Mulai dari ngurus ktp di tingkat rt, hingga ngurus tender proyek infrastruktur di tingkat presiden, mulai dari pemilihan ketua rt hingga pemilihan presiden. Semuanya tidak steril dari praktik suap-menyuap. Entah dari mana asal muasalnya, yang jelas praktik suap ini sudah diperingatkan oleh rasul. Itu artinya, sejak kepemimpinan rasul s.a.w, pratik suap ini sudah terjadi, dan rasul turun untuk memerangi pratik kotor ini.

Bila kita memaknai ancaman “laknat” bagi penyuap dan yang disuap sebagaiman hadits di atas, maka sebenarnya  ancaman itu menunjukkan sebuah ancaman yang cukup berat. Karena bahasa laknat biasanya bukan hanya berarti hukuman tuhan di akhirat, melainkan juga terjadi di dunia. Kita lihat misalkan dalam kasus kaum sodom yang dilaknat tuhan dengan berbagai penyakit yang menyakitkan dan mematikan, demikian pula setelah di akhirat nanti mereka juga akan kembali dilaknat dengan lebih kejam. Oleh sebab itu, Allah SWT tidak akan bermain-main dengan praktik kotor yang menjijikkan ini.

Namun anehnya, banyak diantara orang yang tidak sadar kalau dirinya sudah disuap. Fenomena ini banyak kita temui ketika menjelang pemilu, misalkan seorang kiai/ulama pemimpin pesantren yang diberi (biasanya pakai bahasa disumbang) sejumlah dana oleh partai politik tertentu agar pesantrennya mau mendukung parpol yang bersangkutan. Sang kia sering tidak sadar (atau berpura-pura tidak sadar) bahwa dana sumbangan itu bisa dikategorikan, yang dalam bahasa politiknya, sebagai money politic.

Memang praktik “sumbangan politik” ini tidak terlalu kentara sebagai suap, namun bila sebuah sumbangan itu dilandasi oleh kepentingan tetentu dan tuntutan tertentu, maka ia layak disebut suap. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana bila sumbangan dana itu tidak disertai tuntutan ? Memang dalam setiap sumbangan, terutama menjelang pemilu, kepentingan dan tuntutannya tidak mungkin dikatakan secara harfiyah atau gamblang. Bahkan bisa jadi seorang politisi pemberi sumbangan itu tidak langsung mneyebutkan kepentingannya dalam menyumbang. Akan tetapi, bila sumbangan itu turun sementara situasi saat itu adalah pemilu, maka sudah bisa dipastikan bahwa sumbangan itu adalah money politic. Oleh sebab itu, untuk menjaga kesyubhatan sebuah sumbangan, sebaiknya kita perlu melacak dulu asbabul wurudnya.


Hadits ke 30
Wajib berkata benar kepada pemimpin meski terasa pahit

Ada serombongan orang yang berkata kepada ibnu umar; kalau kami bertemu dengan para pemimpin kami maka kami pasti mengatakan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa yang kami katakan bila tidak bertemu dengan mereka (pemimpin). Ibnu umar berkata: hal itu kami anggap sebagai sebuah sikap munafik. (HR Bukhari)

Penjelasan:

Ada satu tradisi buruk yang sering kita lakukan ketika kita menghadap pimpinan, yaitu, selalu mengatakan yang baik-baik, yang senang-senang, dan yang sukses-sukses. Tradisi ini bukan saja dilakukan oleh para menteri ketika menghadap presiden, melainkan tidak jarang juga dilakukan oleh rakyat biasa. Jelas, kalu menteri melakukan tradisi buruk itu dengan tujuan menjilat dan mengharap pujian dari sang pemimpin (presiden). Tapi yang tidak bisa kita fahami  ternyata tidak sedikit rakyat biasa juga melakukan praktik buruk tersebut.

Memang, bila rakyat biasa tidak separah sebagaiman dilakukan menteri, akan tetapi sebuah sikap berdiam diri ketika berhadapan dengan pemimpin adalah sebuah sikap yang oleh hadis di atas bisa dikategorikan sebagai “munafik”. Padahal, bila kita bertemu pemimpin kita, misalkan kita mendapat kesempatan bertemu langsung dengan presiden kita, maka harus kita manfaatkan waktu pertemuan itu untuk mengatakan yang sebenarnya tentang situasi atau kehidupan rakyat yang dipimpinnya.
Di hadapan pemimpin itulah justru sebuah kesempatan untuk mengatakan bahwa, misalnya, rakyat sedang kekuranagn pangan, rakyat butuh pendidikan gratis, rakyat butuh harga murah, dsb. Bila pemimpin yang bersangkutan marah dan mengancaman sikap tegas kita, maka kita jangan sekali-kali mundur, karena itu adalah kenyataan yang sebenarnya. Dan membohongi kenyataan adalah sama dosanya dengan berbuat munafik. Oleh sebab itu, hadis ini sangat relevan dengan situasi indoensia saat ini yang banyak diwarnai oleh sikap kepura-puraan dalam berperilaku dan berkomunikasi dengan pimpinan.
.
Hadits ke 31
Sikap dengki pemimpin sangat membahayakan

Muadz berkata: rasul s.a.w mengutusku pergi ke yaman. Ketika aku berangkat kemudian rasul menyuruh orang untuk memanggilku pulang kembali. Kemudian beliau berkata: tahukah engkau kenapa aku memanggilmu kembali ? Yaitu agar engkau tidak terjerumus pada sesuatu yang tidak aku perbolehkan, yakni sifat dengki, karena siapa yang dengki, maka kedengkiannya itu akan datang kepadanya hari kiamat. Dengan maksud itulah aku memanggilmu, ingat itu…!
Sekarang kembalilah kamu ke wilayah kekuasaanmu.

Penjelasan:

Hadits ini turun ketika Rasul s.a.w telah mengutus Mu’adz bin Jabal untuk menjadi gubernur di negeri Yaman. Sebagaimana diceritakan dalam hadits di atas, bahwa kepentingan Rasul untuk sejenak memanggil pulang kembali Mu’adz adalah untuk menasehati dia agar menghindari sikap dengki, karena sikap itu akan menjerumuskan dia ke jurang kesesatan. Mungkin kita tidak pernah berfikir bahwa sikap dengki itu cukup berbahaya. Padahal dari sikap yang seolah remeh tersebut, bisa melahirkan sebuah sikap yang dampaknya jauh lebih berbahaya dari sekedar dengki, terutama bila dikaitkan dengan masalah kepemimpinan.

Bila seorang pemimpin selalu dihinggapi rasa dengki, maka jangan harap kepemimpinannya akan sukses. Namun tentu yang dimaksud dengki di sini bukan sekedar bermakna iri hati atau cemburu, akan tetapi sebuah sikap ketidakpuasan seorang pemimpin atas kekuasaan yang dipegangnya. Padahal, seorang pemimpin sudah diberi “kekuasaan”, diberi fasilitas, diberi kehormatan, namun tidak sedikit masih banyak pemimpin yang merasa kurang dan kurang lagi atas jabatan, kehormatan, status, harta, dan kakuasaan. Bila seorang pemimpin tidak mampu menahan nafsu semacam ini, maka jangan harap kepemimpinanya serta rakyat yang dipimpinnya akan hidup dengan sejahtera. Oleh sebab itu, meski rasa dengki adalah masalah biasa , namun dampak negatifnya menjadi luar biasa.

Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Seorang imam pemimpin dan bertanggungjawab atas rakyatnya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Seorang istri pemimpin dan bertanggungjawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pelayan (karyawan) bertanggungjawab atas harta majikannya. Seorang anak bertanggungjawab atas penggunaan harta ayahnya. (HR Bukhari, Muslim)

Jika saat ini kita masih hidup di muka bumi ini berarti saat ini kita adalah pemimpin dan sebagai pemimpin kita tidak bisa terlepas dari pemanfaatan dan pendayagunaan Hubbul Riasah. Adanya kondisi ini berarti segala ketentuan tentang pemimpin dan kepemimpinan yang kami kemukakan di atas wajib berlaku pula bagi diri kita dan semoga kita mampu melaksanakan apa-apa yang harus kita pimpin sesuai dengan kehendak Allah SWT.

B.  Hubbul Riasah Yang Sudah Tidak Fitrah

Berikut ini akan kami kemukakan kondisi dari Keinginan untuk Memimpin  yang sudah tidak sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan atau kondisi Keinginan untuk Memimpin yang di dalam pelaksanaannya sudah dikendalikan atau dibawah pengaruh sifat-sifat dasar Jasmani atau Jasmani sudah menguasai Keinginan untuk Memimpin. Adapun Keinginan untuk Memimpin yang sudah tidak Fitrah lagi dapat kami kemukakan sebagai berikut:

Takabur

Pemimpin dan Kepemimpinan yang dilaksanakan di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan atau Keinginan untuk Memimpin yang dikendalikan oleh sifat-sifat dasar Ruhani, tidak akan pernah menjadikan atau menghasilkan Pemimpin atau Kepemimpinan yang mempunyai sifat Takabur, Sombong, Riya, Tidak mau mengalah hanya mau menang sendiri dst atau menjadikan diri atau orang lain menjadi Fir’aun-Fir’aun generasi baru. Jika hal ini yang terjadi setelah mempergunakan Keinginan untuk Memimpin berarti kita telah mengeksploitasi secara tidak benar dan telah keluar dari rel kebenaran atas kepemilikan Hubbul Riasah yang ada di dalam diri.

Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lobang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. (surat Al A’raaf (7) ayat 40)
  
Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri? (surat Az Zumar (39) ayat 60)

Selanjutnya adakah akibat yang ditimbulkan dari sikap Takabur, Sombong dan Riya kepada diri kita? Allah SWT melalui surat Al A’raaf (7) ayat 40 dan surat Az Zumar (39) ayat 60 menyatakan dengan tegas tidak akan memberikan tempat sedikitpun bagi mereka untuk masuk ke dalam pintu langit maupun pintu syurga sebelum unta masuk ke dalam lubang jarum sebab tempat mereka adalah Neraka Jahannam.

Mulut Manis Hati Busuk

Penggunaan Energi dan Dorongan dari Keinginan untuk Memimpin tidak boleh menjadikan diri kita mulut manis hati busuk, jauh panggang dari api, serta bentuk manis kualitas hancur. Jika sampai kondisi ini terjadi pada diri kita maka ketentuan hadits yang kami kemukakan di bawah ini berlaku kepada diri kita.

Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai. (HR Aththabarani)

Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas menunjukkan kepada diri kita bahwa bangkai saja bisa lebih baik dari diri kita dan jika sekarang hati kita lebih busuk dari bangkai berarti bersiap-siaplah menanggung segala resiko atas penggunaan Hubbul Riasah kepada Allah SWT.

Keras Hati

Penggunaan Energi dan Dorongan dari Keinginan untuk Memimpin jika dipergunakan di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang masih Fitrah tidak akan menjadikan dan membuat diri kita baik langsung ataupun tidak langsung mempunyai sifat yang keras hati atau mempunyai sifat bebal atau mempunyai sifat kepala batu. Hal ini dikarenakan Nilai-Nilai kebaikan akan membuat manusia memiliki hati yang riang, bermuka manis serta selalu bersahaja kepada siapapun dan selalu memberikan manfaat bagi sesama manusia.

Dzalim

Sifat Dzalim atau berperilaku yang tidak manusiawi tidak akan pernah terjadi jika kita mempergunakan dan mendayagunakan dengan baik Keinginan untuk Memimpin dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Akan tetapi Pemimpin atau Kepemimpinan yang kita lakukan justru  menghasilkan sifat dan perbuatan dzalim ini berarti diri kita telah mempergunakan Nilai-Nilai Syaitani sebagai acuan dasar saat menjadi khalifah di muka bumi.

Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. (surat Ali ‘Imran (3) ayat 140)

Sifat dzalim dan perilaku dzalim sangat tidak disukai oleh ALLAH SWT dan Neraka Jahannam-lah tempat kembali mereka semua. Hal yang tidak akan mungkin terjadi adalah jika kita memiliki sifat dan perilaku dzalim dapat menghantarkan diri kita pulang ke Kampung Kebahagiaan.  

Durhaka kepada Ibu Bapak

Perilaku Pemimpin yang baik yang sesuai dengan ketentuan ALLAH SWT adalah Pemimpin yang berbakti kepada Ibu Bapak. Pemimpin yang dapat berbakti kepada Ibu dan Bapak berarti Pemimpin tersebut tahu dari mana ia berasal dan tahu bagaimana ia harus bersikap kepada Ibu Bapak. Jika ini yang anda lakukan setelah anda menjadi Pemimpin maka anda telah mendapatkan Ridha ALLAH SWT melalui Ridha orang tua dan juga berarti bahwa anda telah memberikan kuasa kepada Ruhani untuk menjadi Komandan atas Keinginan untuk Memimpin.
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (surat Al Israa’ (17) ayat 23)

Hal yang harus kita perhatikan adalah sepanjang Ruhani menjadi penguasa atas Keinginan untuk Memimpin yang dilandasi pelaksanaan Ikhsan sebagai satu kesatuan pelaksanaan Diinul Islam secara Kaffah, tidak akan menghasilkan Pemimpin dan Kepemimpinan yang Durhaka kepada Ibu Bapak seperti Malin Kundang yang durhaka kepada ibunya serta tidak akan  menjadikan pemimpin yang Durhaka kepada rakyatnya, dikarenakan Pemimpin tersebut selalu melaksanakan Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari Nilai-Nilai Ilahiah.

Pemalas

Seorang Pemimpin di dalam melaksanakan Kepemimpinannya tidak akan sukses jika yang bersangkutan dihinggapi atau dijangkiti atau mempunyai sifat Pemalas. Pemimpin yang baik diharuskan dan diwajibkan mempunyai kedisiplinan yang tinggi, rajin serta selalu mau belajar dan menjunjung tinggi azas profesionalitas serta kekeluargaan. Pemalas berasal dari sifat-sifat Jasmani dan jika sifat Malas ada di dalam diri Pemimpin maka Keinginan untuk Memimpin yang anda miliki telah dijajah atau telah dieksploitasi oleh Jasmani. Hasil akhir dari kepemimpinan jenis ini akan menghasilkan pemimpin yang ingin dilayani oleh rakyatnya sendiri. 

Kafir

Seorang Pemimpin dengan Kepemimpinan yang dilakukannya belum dan tidak dapat dikatakan telah sukses mempergunakan Keinginan untuk Memimpin jika menjadikan diri sang pemimpin menjadi Kafir dan juga mengkafirkan orang lain. Contoh dari Pemimpin yang Kafir yang juga mengharuskan orang lain menjadi Kafir adalah Fir’aun. Dimana Fir’aun mempergunakan Hubbul Riasahnya di luar kepantasan dan kepatutan sehingga ia menyatakan bahwa dirinya adalah Tuhan dan orang lain diharuskan untuk mempertuhankan dirinya.

Dan jika (ada sesuatu) yang kamu herankan, maka yang patut mengherankan adalah ucapan mereka: “Apabila kami telah menjadi tanah, apakah kami sesungguhnya akan (dikembalikan) menjadi makhluk yang baru?” Orang-orang itulah yang kafir kepada Tuhannya; dan orang-orang itulah (yang dilekatkan) belenggu di lehernya; maka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (surat Ar Ra’d (13) ayat 5)

Selanjutnya dengan adanya Keinginan untuk Memimpin yang ada pada diri kita, tidak boleh serta tidak dapat pula dibenarkan jika kita sampai  menghasilkan Fir’aun-Fir’aun generasi baru yang bertindak tanpa tahu malu, yang bertindak diluar koridor hukum yang berlaku, yang bertindak melebihi umat-umat terdahulu yang telah dihancur luluhlantahkan oleh Allah SWT sehingga merasa lebih hebat dan lebih kuat daripada Allah SWTbahkan lebih t terdahulu yang telah dihancur luluhlantah oleh Allah SWTlaku, yang bertindak melebihi umat-umat terdahulu a.

Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah (hari itu), satu hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang kafir. (surat Al Furqaan (25) ayat 26)

Jika kita sampai menghasilkan Fir’aun-Fir’aun generasi baru yang berasal dari penggunaan Energi dan Dorongan atas Keinginan untuk Memimpin maka kita telah gagal mendayagunakan Hubbul Riasah di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan atau kita telah menyerahkan kekuasaan dan pengelolaan Hubbul Riasah kepada Jasmani. Hasil akhir dari ini semua akan menghantarkan diri kita ke Neraka Jahannam.

Sebagai khalifah di muka bumi yang saat ini sedang mempergunakan Hubbul Riasah (Keinginan untuk Memimpin), ada satu hal yang harus kita perhatikan saat hidup di dunia ini, yaitu Allah SWT tidak membutuhkan apapun juga dari penggunaan dan pendayagunaan Hubbul Riasah sebab Allah SWT sudah Maha dan akan Maha selamanya. Allah SWT tidak memperdulikan apakah Hubbul Riasah mau dipergunakan dengan cara-cara Ilahiah ataukah mau dipergunakan dengan cara-cara Syaitani, yang pasti adalah Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban dari Hubbul Riasah  yang ada pada diri kita selama diri kita menjadi khalifah di muka bumi. 

Selanjutnya mari kita pelajari arti kata pemimpin yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Berdasarkan kitab suci Al-Qur’an terdapat tiga kata yang diartikan atau diterjemahkan sebagai pemimpin. Berikut ini akan kami kemukakan ketiga hal tersebut.

1.      Dalam arti Khalifah

Pemimpin dalam arti kata Khalifah terdapat di surat Fathir (35) ayat 39 dan surat Shaad (38) ayat 26 seperti yang kami kemukakan di bawah ini. Adanya pengertian pemimpin yang diartikan sebagai khalifah berarti setiap manusia yang ada di muka bumi ini adalah pemimpin. Hal ini berkesesuaian dengan apa yang dikemukakan oleh Allah SWT di surat Al Baqarah (2) ayat 30 yang akan menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka. (surat Faathir (35) ayat 39)

Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
(surat Shaad (38) ayat 26)

Berdasarkan ketentuan di atas dan juga hadits yang kami kemukakan di bawah ini,  dapat dikatakan bahwa setiap manusia yang ada di muka bumi adalah  pemimpin, apakah ia seorang wanita ataukah ia seorang pria. Tidak ada seorangpun di muka bumi ini yang tidak menjadi pemimpin.

Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Seorang imam pemimpin dan bertanggungjawab atas rakyatnya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Seorang istri pemimpin dan bertanggungjawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pelayan (karyawan) bertanggungjawab atas harta majikannya. Seorang anak bertanggungjawab atas penggunaan harta ayahnya. (HR Bukhari, Muslim)

Hal yang membedakan kepemimpinan antara wanita dan pria adalah setiap pria wajib mempertanggungjawabkan kepemimpinannya baik untuk dirinya sendiri dan juga kepemimpinannya kepada keluarga, anak dan juga kepada istrinya. Sedangkan istri bertanggungjawab atas penggunaan harta suaminya. Lalu yang manakah yang harus menjadi pemimpin itu, jika kita terdiri dari Jasmani dan Ruhani. Apakah Ruh/Ruhani yang menjadi pemimpin ataukah Jasmani yang menjadi pemimpin itu? Yang menjadi pemimpin adalah Ruh/Ruhani, yang tidak lain adalah jati diri kita yang sesungguhnya. Jika Ruh/Ruhani yang menjadi pemimpin, bagaimanakah kedudukan dari jasmani dalam kepemimpinan yang kita laksanakan? Jasmani dalam kepemimpunan yang kita laksanakan adalah sesuatu yang harus dipimpin oleh Ruh/Ruhani itu sendiri. Sekarang sudahkah diri kita menjadikan Ruh sebagai pemimpin bagi Jasmani diri kita sendiri saat hidup di muka bumi?


2.      Pemimpin dalam arti Imam

Pemimpin dalam arti kata Imam terdapat di dalam  surat Al Baqarah (2) ayat 124 di bawah ini, dimana pengertian pemimpin dinyatakan sebagai imam atau kata imam diartikan/diterjemahkan sebagai pemimpin. Hal ini terlihat jelas saat  Nabi Ibrahim as, dijadikan Allah SWT sebagai imam bagi seluruh manusia. Adanya pernyataan Allah SWT kepada Nabi Ibrahim as, yang telah dinyatakan sebagai Imam bagi seluruh manusia berarti di dalam diri Nabi Ibrahim as, terdapat figur atau contoh yang baik yang bisa dijadikan suri tauladan bagi kepemimpinan yang ada di muka bumi ini.

dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji[87] Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku"[88]. Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (surat Al Baqarah (2) ayat 124)

[87] Ujian terhadap Nabi Ibrahim a.s. diantaranya: membangun Ka'bah, membersihkan ka'bah dari kemusyrikan, mengorbankan anaknya Ismail, menghadapi raja Namrudz dan lain-lain.
[88] Allah telah mengabulkan doa Nabi Ibrahim a.s., karena banyak di antara Rasul-rasul itu adalah keturunan Nabi Ibrahim a.s

(ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan Barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya Maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun. (surat Al Israa (17) ayat 71)
Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang ada mempunyai bukti yang nyata (Al Quran) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad)[715] dari Allah dan sebelum Al Quran itu telah ada kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat?. mereka itu beriman kepada Al Quran. dan Barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al Quran, Maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap Al Quran itu. Sesungguhnya (Al Quran) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman. (Surat Huud (11) ayat 17)

[715] Ada yang menafsirkan saksi di sini dengan Jibril a.s. Adapula yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan saksi di sini ialah Al Quran itu sendiri karena Al Quran itu adalah suatu mukjizat yang tidak dapat dibantah atau dibatalkan.

dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (surat Al Furqan (25) ayat 74)

Sekarang apa itu imam? Imâm berarti orang yang diikuti, baik sebagai kepala, jalan, atau sesuatu yang membuat lurus dan memperbaiki perkara. Selain itu, Imam juga bisa berarti sebagai Al-Qur’an, Nabi Muhammad, khalifah, panglima tentara, dan sebagainya. Dengan demikian, jelaslah bahwa kata imâm memiliki banyak makna, bisa bermakna: maju ke depan, petunjuk dan bimbingan, kepantasan seseorang menjadi uswah hasanah, dan kepemimpinan.

dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)[1112], (surat Al Qashash (28) ayat 5)

[1112] Maksudnya: negeri Syam dan Mesir dan negeri-negeri sekitar keduanya yang pernah dikuasai Fir'aun dahulu. sesudah kerjaan Fir'aun runtuh, negeri-negeri ini diwarisi oleh Bani Israil.

dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. (surat Al Qashash (28) ayat 41)

 jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti. (surat At Taubah (9) ayat 12)

Menurut Dhiauddin Rais, dari ayat-ayat Al-Qur’an di atas, kita bisa memetik dua pengertian dari makna imâm, yaitu: (1) Kata imâm tersebut yang sebagian besar digunakan dalam Al-Qur’an membuktikan adanya indikasi yang bermakna “kebaikan”. Pada sisi lain,  yaitu pada dua ayat terakhir di atas, bahwa kata imâm menunjukkan makna jahat. Karena itu, imâm berarti seorang pemimpin yang diangkat oleh beberapa orang dalam suatu kaum. Pengangkatan imâm tersebut mengabaikan dan tidak memperdulikan, apakah ia akhirnya akan berjalan ke arah yang lurus atau arah yang sesat. (2) Kata imâm dalam ayat-ayat Al-Qur’an itu bisa mengandung makna penyifatan kepada nabi-nabi: Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, dan Musa, sebagaimana juga menunjukkan kepada orang-orang yang bertakwa.

3.      Pemimpin dalam arti Ulil Amri dan Amir

Pemimpin dalam arti kata ulil amri atau amir  terdapat di dalam surat An Nisaa (4) ayat 59 dan ayat 83 serta surat Al Anbiyaa (21) ayat yang kami kemukakan di bawah ini, dimana kata ulil amri atau amir diterjemahkan sebagai pemimpin di antara umat manusia. 

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (surat An Nisaa (4) ayat 59)

dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[322] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri)[323]. kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (surat An Nisaa (4) ayat 83)

[322] Ialah: tokoh-tokoh sahabat dan Para cendekiawan di antara mereka.
[323] Menurut mufassirin yang lain Maksudnya Ialah: kalau suatu berita tentang keamanan dan ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan ulil Amri, tentulah Rasul dan ulil amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istimbat) dari berita itu.

Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah, (surat Al Anbiyaa (21) ayat 73)


Para ulama telah berbeda pendapat mengenai pengertian ulil amri dalam ayat tersebut. Ibnul Jauzi menyatakan: “Mengenai ulil amri terdapat empat pendapat. Pendapat pertama, ulil amri adalah para pemimpin (umara’). Pendapat tersebut diungkapkan oleh Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas -dalam sebuah riwayat-, Zaid bin Aslam, as-Sudi dan Muqatil. Yang kedua, mereka adalah para ulama. Pendapat ini diriwayatkan oleh Abu Thalhah dari Ibnu ‘Abbas. Ini juga merupakan pendapat Jabir bin Abdullah, al-Hasan, Abu ‘Aliyah, ‘Atha’, an-Nakha’i, adl-Dlahak, Khushaif juga meriwayatkannya dari Mujahid. Yang ketiga, mereka adalah para shahabat Nabi radliyallahu ‘anhum. Ibnu Abi Najih meriwayatkannya dari Mujahid. Abu Bakar bin Abdullah al-Muzani juga berpendapat demikian. Keempat, mereka adalah Abu Bakar, Umar. Ini merupakan pendapat ‘Ikrimah.”[1]

Pendapat pertama yang menyatakan bahwa ulil amri adalah pemimpin, merupakan pendapat yang paling tepat dan relevan dengan ayat tersebut. Pasalnya, ayat ini memerintahkan kita untuk mentaati ulil amri. Dalam Bahasa Arab, mentaati (atha’a) berarti lunak (laana) dan tunduk (inqaada) kepada seseorang/pihak lain.[2] Dalam arti, segala perintah dan larangannya harus dituruti. Maka dari itu, ayat ini mengandung perintah untuk menuruti segala hal perintah dan larangan ulil amri, apapun perintah itu selama bukan berupa kemaksiatan kepada Allah.

Dalam keempat kemungkinan makna ulil amri yang disebutkan oleh Ibnul Jauzi, hanya pemimpin saja yang sepenuhnya relevan dengan perintah untuk taat kepadanya. Sebab, jika ulil amri kita artikan ulama, dan ketaatan kepada mereka diartikan sebagai ketundukan kepada segala fatwa yang mereka keluarkan, maka kewajiban ini menjadi sangat sulit untuk direalisasikan. Alasannya karena pendapat para ulama mengenai hukum atas suatu masalah kadang beragam. Lantas ulama mana yang wajib ditaati oleh umat Islam jika mereka memiliki perbedaan pendapat dalam satu masalah?

Lagi pula perintah untuk taat dalam ayat ini tidak terbatas pada masalah tertentu. Ayat ini memerintahkan untuk taat kepada ulil amri. Maka meski pun seandainya kita diperintahkan untuk mengerjakan perkara yang mubah atau meninggalkan perkara yang mubah, maka perintah dan larangan tersebut wajib ditaati. Inilah yang namanya taat. Kita belum menjumpai pendapat yang menyatakan bahwa umat Islam punya kewajiban untuk menuruti segala perintah dari seorang ulama. Maka, memaknai ulil amri sebagai ulama nampaknya tidaklah tepat.

Jika ulil amri diartikan sebagai shahabat secara umum atau Abu Bakar dan Umar radliyallahu ‘anhum saja secara khusus, maka ia justru jauh lebih sulit untuk direalisasikan, atau lebih tepanya tidak mungkin dilaksanakan oleh kita yang hidup pasca zaman shahabat. Alasannya jelas, karena kita tidak pernah menjumpai mereka. Dengan demikian, jika ulil amri di sini diartikan sebagai para shahabat atau Abu Bakar dan Umar, maka ayat ini sudah tidak ada relevansinya bagi kita.

Adapun jika ulil amri kita artikan sebagai pemimpin, maka ini merupakan pilihan makna yang paling pas. Hal ini didukung oleh adanya beberapa hadits yang mewajibkan kaum muslimin untuk taat kepada pemimpin mereka dalam segala hal yang dia perintahkan dan dia larang, selama perintah itu boleh dilakukan dan bukan tergolong maksiat kepada Allah. Satu di antara hadits-hadits tersebut adalah:

Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Bagi setiap muslim, wajib taat dan mendengar kepada pemimpin (penguasa) kaum muslimin dalam hal yang disukai maupun hal yang tidak disukai (dibenci) kecuali jika diperintahkan dalam maksiat. Jika diperintahkan dalam hal maksiat, maka boleh menerima perintah tersebut dan tidak boleh taat.” (Muttafaqun ‘alaih)

Artinya, umat Islam wajib taat kepada perintah para pemimpin, meski pun pada asalnya apa yang diperintahkan tersebut hanyalah mubah. Maka seandainya pemimpin kaum muslimin mewajibkan rakyatnya untuk mencatatkan pernikahan mereka ke kantor-kantor pemerintah, maka hal ini menjadi kewajiban bagi umat, karena Allah mewajibkan mereka untuk taat kepada perintah pemimpin kaum muslimin selama perintah itu bukan maksiat. Keistimewaan ini hanya diberikan oleh syara’ kepada pemimpin kaum muslimin, tidak diberikan kepada para shahabat ridlwanullah ‘alaihim maupun para ulama. Jadi jelas, makna ulil amri dalam an-Nisa 59 ini tidak lain adalah pemimpin/pemerintah. Hal ini sesuai dengan penjelasan ath-Thabari mengenai makna ulil amri dalam ayat tersebut. Wallahu a’lam

Secara umum, ketiga gelar di atas (khalifah, imam dan ulil amri) menunjukkan keharusan adanya kepemimpinan dalam Islam. Bagi suatu kaum atau ummat, keberadaan seorang pemimpin merupakan suatu keharusan yang tak mungkin dipungkiri. Menurut Imam Al-Mawardi dalam karyanya Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah wa Al-Wilâyât Al-Dîniyyah, dalam lembaga negara dan pemerintahan, seorang kepala atau pemimpin wajib hukumnya menurut ijma’. Alasannya, karena kepala lembaga dan pemerintah dijadikan sebagai pengganti fungsi kenabian dan menjaga agama serta mengatur urusan dunia.                      Al-Mawardi menyebut tujuh syarat yang harus dipenuhi calon kepala negara (seorang pemimpin). Syarat-syarat itu, antara lain: keseimbangan atau keadilan (al‘adâlah); punya ilmu pengetahuan untuk berijtihad; punya panca indera lengkap dan sehat; anggota tubuhnya tidak kurang untuk menghalangi gerak dan cepat bangun; punya visi pemikiran yang baik untuk mendapatkan kebijakan yang baik; punya keberanian dan sifat menjaga rakyat; dan punya nasab dari suku Quraisy.

Secara umum Al-Qur’an tidak menentukan corak kepemimpinan politik tertentu yang harus diambil oleh ummat Islam, oleh karena itu pada era modern, Pemerintahan negeri-negeri Islam mengambil bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan probabilitasnya. Negeri-negeri Sunni kebanyakan memilih bentuk Republik seperti negeri kita, sebagian memilih bentuk kerajaan, baik dalam bentuk mamlakah yang dipimpin oleh malik, atau kesultanan di bawah seorang sulthan, atau emirat di bawah seorang amir. Sedangkan Iran sebagai satu-satunya negeri kaum Syi’ah, memiliki sistem politik yang didasarkan atas konsep wilayat al faqih dimana ayatullah ‘uzma memiliki otoritas keagamaan dan politik sekaligus.

Selanjutnya apabila kita ingin sukses sebagai pemimpin atau ingin sukses dengan kepemimpinan yang kita laksanakan, apakah itu sebagai khalifah, sebagai imam ataupun sebagai ulil amri (amir), berikut ini akan kami kemukakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu:

Seorang pemimpin harus selalu mengikuti tuntunan Allah SWT serta melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT.

Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah, (surat Al Anbiyaa (21) ayat 73)

4.      Seorang Pemimpin Yang Beriman kepada Allah SWT (tidak kafir)

Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka. (surat Faathir (35) ayat 39)

5.      Adil, Amanah, tidak mengikuti Ahwa. 

Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
(surat Shaad (38) ayat 26)

Berkepribadian seperti Pribadi Seorang Rasul (Rasully) seperti Siddiq, Toleran, Berpengalaman, mampu memberantas kebathilan, sehat jasmani dan ruhani, berilmu, wibawa dan tabliq serta fathanah.

dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji[87] Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku"[88]. Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (surat Al Baqarah (2) ayat 124)

[87] Ujian terhadap Nabi Ibrahim a.s. diantaranya: membangun Ka'bah, membersihkan ka'bah dari kemusyrikan, mengorbankan anaknya Ismail, menghadapi raja Namrudz dan lain-lain.
[88] Allah telah mengabulkan doa Nabi Ibrahim a.s., karena banyak di antara Rasul-rasul itu adalah keturunan Nabi Ibrahim a.s.

Selanjutnya untuk mempertegas tentang berkepribadian seperti pribadi seorang Rasul (Rasully) kita dapat bisa mencontoh Nabi Ibrahim as, sebagai Suri Taulada Bagi Umat Manusia. Berikut ini akam kami kemukakan figur Nabi Ibrahim as, dimaksud.

6.      Nabi Ibrahim as, adalah figur pemimpin umat.

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif[843]. dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (surat An Nahl (16) ayat 120)

[843] Hanif Maksudnya: seorang yang selalu berpegang kepada kebenaran dan tak pernah meninggalkannya.

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya Kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. kecuali Perkataan Ibrahim kepada bapaknya[1470]: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata): "Ya Tuhan Kami hanya kepada Engkaulah Kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah Kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah Kami kembali."
(surat Al Mumtahanah (60) ayat 4)

[1470] Nabi Ibrahim pernah memintakan ampunan bagi bapaknya yang musyrik kepada Allah : ini tidak boleh ditiru, karena Allah tidak membenarkan orang mukmin memintakan ampunan untuk orang-orang kafir (Lihat surat An Nisa ayat 48).

7.      Tunduk dan patuh serta ikhlas hanya kepada Allah SWT serta selalu berserah diri kepada Allah SWT

ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam". (Surat Al Baqarah (2) ayat 131)

Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi Dia adalah seorang yang lurus[201] lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk golongan orang-orang musyrik. (surat Ali Imran (3) ayat 67)

[201] Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.

dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya. (surat An Nisaa’ (4) ayat 125)

8.      Seorang pemimpin harus mampu meneguhkan keyakinannya terlebih dahulu atas kebesaran dan kekuasaan Allah SWT  terhadap dirinya sendiri.

260. dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah[165] semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (surat Al Baqarah (2) ayat 260)

9.      Seorang pemimpin harus menjadi penganut Islam yang konsisten dari waktu ke waktu sehingga keimanannya tidak tergoyahkan.

Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan Para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah Kami menyerahkan diri."
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi. (surat Ali Imran (3) ayat 84-85)

10.  Seorang pemimpin harus berusaha memperhatikan keamanan dan kemakmuran bagi umat yang dipimpinnya.

dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. (surat Ibrahim (14) ayat 35)

dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali".(surat Al Baqarah (2) ayat 126)

11.  Pemimpin harus memiliki perbuatan-perbuatan baik dan ilmu yang tinggi

dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.
Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang Tinggi Yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
dan Sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar Termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.
(surat Shaad (38) ayat 45-47)

12.  Pemimpin harus menghormati dan mendoakan generasi pendahulunya

dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, Maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi Penyantun. (surat At Taubah (9) ayat 114)

13.  Pemimpin harus memiliki pedoman Al-Quran dan al hikmah

ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia[311] yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.
[311] Yaitu: kenabian, Al Quran, dan kemenangan.

14.  Pemimpin tidak pernah putus asa selalu mengharapkan rahmat dari Allah SWT

Ibrahim berkata: "tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat". (surat Al Hijr (15) ayat 56)

15.  Pemimpin harus memiliki toleransi dan kasih sayang kepada sesama manusia

dan tatkala utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira[1150], mereka mengatakan: "Sesungguhnya Kami akan menghancurkan penduduk negeri (Sodom) ini; Sesungguhnya penduduknya adalah orang-orang yang zalim".
berkata Ibrahim: "Sesungguhnya di kota itu ada Luth". Para Malaikat berkata: "Kami lebih mengetahui siapa yang ada di kota itu. Kami sungguh-sungguh akan menyelamatkan Dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya. Dia adalah Termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). (surat Al Ankabuut (29) ayat 31-32)

[1150] Maksudnya: kabar bahwa Nabi Ibrahim a.s. akan mendapat putera.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar