Di dalam setiap diri manusia baik itu
laki-laki maupun perempuan pasti mempunyai Hubbul Riasah atau Keinginan untuk
Memimpin. Adanya Keinginan untuk Memimpin akan membuat manusia mempunyai Energi
untuk Bergerak atau Kekuatan atau Dorongan untuk maju ke depan untuk memimpin
atau menjadi pemuka atau menjadi yang terbaik atau menjadi ketua atau menjadi
pimpinan baik untuk skala kecil maupun besar atau keinginan untuk berumah
tangga atau menjadi kepala rumah tangga bagi laki-laki. Setelah mengetahui
bahwa diri kita mempunyai Keinginan untuk Memimpin apakah yang anda rasakan?
Adanya Keinginan untuk Memimpin akan mendorong
manusia untuk Mengatur atau Memberi Pengarahan kepada dirinya sendiri dan juga
kepada orang-orang untuk berbuat sesuatu atas arahan dan perintahnya sehingga
yang bersangkutan akan selalu Tampil Lebih dahulu dari yang lain atau berusaha
untuk menempatkan diri untuk selalu di muka. Sekarang jika sampai ALLAH SWT
tidak memberikan kepada kita Keinginan untuk Memimpin, timbul pertanyaan
dapatkah kita atau mampukah kita merasakan menjadi seorang atasan atau menjadi
seorang komandan atau menjadi seorang ketua atau menjadi seorang direktur atau
bahkan menjadi presiden yang memimpin sebuah bangsa ataupun perusahaan ataupun
kelompok tertentu?
Setelah mempunyai Keinginan untuk
Memimpin dapatkah Energi dan Dorongan
yang ada di dalam diri kita dipergunakan dengan cara-cara yang bertentangan
dengan Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari sifat-sifat dasar Ruhani atau
menghasilkan karya yang juga bertentangan dengan Nilai-Nilai Kebaikan?
Keinginan untuk Memimpin harus selalu dipergunakan dengan cara-cara yang
Sportif dan bertanggung jawab serta memenuhi azas demokrasi atau tidak dengan Cara-Cara Intimidasi, tidak dengan cara-cara melecehkan dan
merendahkan harkat dan martabat orang lain dengan melakukan kampanye hitam.
Dan bukan pula sebuah keberhasilan jika
Keinginan untuk Memimpin menjadikan diri kita berlaku sombong, congkak, angkuh
serta lupa akan janji-janji manis sewaktu kampanye atau menjadikan diri kita
hidup di menara gading yang jauh dari masyarakat atau menjadikan diri kita Suka
Pamer atau menjadikan diri kita dihujat
dan suka menghujat masyarakat sehingga terjadi kegaduhan di dalam masyarakat
yang pada akhirnya mengakibatkan saling bermusuh-musuhan, saling bantai
membantai, saling fitnah memfitnah dan saling adu jotos serta saling
mementingkan golongan.
Pemimpin dan Kepemimpinan yang dihasilkan
melalui proses penggunaan energi dan dorongan atas Keinginan untuk Memimpin
wajib memenuhi syarat dan ketentuan seperti
Jujur, Amanah, dapat dipercaya, berilmu yang tercermin dari ketajaman
otak dan kecerdasan pikiran, berpandangan luas, adil, memiliki kehalusan
perasaan, kedewasaan emosioanl, kekuatan ingatan, kekerasan kemauan,
kepribadian yang tinggi serta berbudi luhur. Selanjutnya Keberhasilan atas
penggunaan Energi dan Dorongan yang berasal dari Keinginan untuk Memimpin akan
terindikasi dari naiknya tingkat Kesejahteraan Masyarakat atau meningkatnya
Rasa Aman di tengah masyarakat atau semakin sempitnya jurang antara yang kaya
dan miskin atau makin tingginya tingkat keadilan ditengah masyarakat atau makin
berkurangnya Kolusi Korupsi Nepotisme dan angka Kriminalitas atau makin tumbuh
dan berkembangnya Keluarga Sakinan Wawaddah Warahhmah di tengah masyarakat.
Selanjutnya sebagai Khalifah di muka bumi, sudahkah kita mempergunakan
Keinginan untuk Memimpin di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan?
A. Hubbul
Riasah Yang Masih Fitrah
Sebagai Makhluk yang Terhormat kita harus
menyadari bahwa Hubbul Riasah atau Keinginan untuk Berkumpul yang berasal
dari Allah SWT, bukanlah barang Gratisan
sehingga Hubbul Riasah bisa
dipergunakan, bisa di dayagunakan dengan seenak-enaknya saja tanpa menghiraukan
maksud dan tujuan awal dari pemberian Hubbul Riasah tersebut. Selanjutnya agar
diri kita jangan sampai salah di dalam mempergunakan Hubbul Riasah, berikut ini
akan kami kemukakan beberapa kehendak Allah SWT yang yang dapat kita jadikan
pedoman di dalam mempergunakan Hubbul Riasah sehingga kita selalu berada di
dalam kehendak Allah SWT atau jika kita ingin mempertahankan kefitrahan Hubbul
Riasah, yaitu :
Doanya diijabah
oleh ALLAH SWT
Sebagai seorang pemimpin bertanyalah kepada
diri sendiri, apakah ketentuan hadits yang kami kemukakan dibawah ini, sudah
ada pada diri kita?
Abu Hurairah ra, berkata bahwasanya Nabi Muhammad SAW menerangkan
bahwa ada tiga orang yang sekali-kali tidak akan ditolak doanya oleh ALLAH SWT.
Pertama, orang yang berpuasa sehingga ia berbuka. Kedua, kepala negara yang
adil. Ketiga. Orang yan dianiaya. (HR Athturmudzi)
Jika ketentuan hadits di atas ini, belum ada
pada diri kita atau kita belum bisa menjadi pemimpin yang doanya diijabah oleh
ALLAH SWT, berarti ada sesuatu yang salah di dalam diri kita dan juga di dalam
kepemimpinan yang kita laksanakan. Segera perbaiki diri sehingga kita sesuai
dengan ketentuan hadits di atas, terkecuali jika kita mampu
mempertanggungjawabkan kepeminpinan yang kita laksakanan dihadapan ALLAH SWT.
Berani
Energi dan Dorongan atas penggunaan Keinginan
untuk Memimpin akan menghasilkan Pemimpin yang Berani berbuat untuk membela
yang benar atau Pemimpin yang dapat memberi contoh Suri Tauladan kepada
rakyatnya di dalam setiap tindakan. Hal yang harus diperhatikan adalah Berani
bukanlah berarti berbuat sesuatu melalui tindak Kekerasan atau Penindasan
ataupun perbuatan Melawan Hukum melainkan Berani yang dilandasi dengan prinsip
Kebenaran, Santun, Bijak serta Tidak melawan hukum yang berlaku.
Selain daripada itu, keberanian dapat
dijadikan sebagai modal dasar bagi kesuksesan seorang Pemimpin sepanjang
keberanian tersebut berada di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan. Jika saat ini
anda adalah seorang Pemimpin, baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar,
keberanian yang seperti apakah yang anda miliki saat ini, apakah yang sejalan
dan sesuai dengan Nilai-Nilai Keburukan
yang paling dikehendaki oleh Syaitan ataukah yang sesuai dengan Nilai-Nilai
Kebaikan yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT?
Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa
yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanyalah
kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal”.(surat At Taubah (9)
ayat 51)
Jawaban dari pertanyaan ini andalah yang Tahu,
namun yang harus kita jadikan pedoman adalah kita akan dimintakan
pertanggungjawaban atas penggunaan Hubbul Riasah oleh ALLAH SWT kelak. Sekarang
mampukah kita mempertanggung jawabkan itu semua dihadapan ALLAH SWT?
Pengabdi dan
Pelayan serta Tidak Memperdagangkan rakyat
Keinginan untuk memimpin harus bisa menjadikan
diri kita yang telah diangkat menjadi KHALIFAH di muka bumi menjadi seorang
pemimpin atau penguasa yang mampu menjadi pengabdi, pelayan yang tidak
memperdagangkan rakyat untuk kepentingan diri, kelompok tertentu dalam keadaan
apapun juga.
Khianat paling besar adalah bila seorang penguasa/pemimpin
memperdagangkan rakyatnya.
(HR Aththabarani)
Pemimpin suatu kaum adalah pengabdi atau pelayan mereka.
(HR Abu Na’im)
Pemimpin sebagai pelayan dan rakyat sebagai
tuan. Itulah kira-kira yang hendak disampaikan oleh hadits di atas. Meski tidak
secara terang-terangan hadits di atas menyebutkan rakyat sebagai tuan dan
pemimpin sebagai pelayan, namun setidaknya hadits ini hendak menegaskan bahwa
Islam memandang seorang pemimpin tidak lebih tinggi statusnya dari rakyat,
karena hakekat pemimpin ialah melayani kepentingan rakyat. Sebagai seorang
pelayan, ia tentu tidak beda dengan pelayan-pelayan lainnya yang bertugas
melayani kebutuhan-kebutuhan majikannya. Seorang pelayan rumah tangga,
misalkan, harus bertanggung jawab untuk melayani kebutuhan majikannya. Demikian
juga seorang pelayan kepentingan rakyat harus bertanggung jawab untuk melayani
seluruh kepentingan rakyatnya.
Dalam konteks Indonesia, sosok “pelayan” yang
bertugas untuk memenuhi kepentingan “tuan” rakyat ini adalah presiden, menteri,
dpr, mpr, ma, bupati, walikota, gubernur, kepala desa, dan semua birokrasi yang
mendukungnya. Mereka ini adalah orang-orang yang kita beri kepercayaan
(tentunya melalui pemilu) untuk mengurus segala kepentingan dan kebutuhan kita
sebagai rakyat. Karena itu, bila mereka tidak melaksanakan tugasnya sebagai
pelayan rakyat, maka kita sebagai “tuan” berhak untuk “memecat” mereka dari
jabatannya. Jika sampai apa yang kami kemukakan di atas ini tidak mampu kita
laksanakan, segeralah berhenti menjadi pemimpin saat ini juga karena ketentuan
hadits yang akan kemukakan di bawah ini menjadi berlaku kepada diri kita.
Barangsiapa yang diserahi kekuasaan urusan manusia lalu menghindar
atau mengelak melayani kaum lemah dan orang yang membutuhkannya maka Allah SWT
tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat. (HR Ahmad)
Sebagai pemimpin yang sedang memimpin
bersegeralah taubat jika ketentuan yang kami kemukakan di atas belum bisa kita
laksanakan sesuai dengan kehendak ALLAH SWT karena resiko yang akan kita hadapi
sangatlah besar yaitu dimasukkan ke dalam Neraka.
Tidak Menuntut
Suatu Jabatan
Berdasarkan ketentuan hadits dibawah ini,
penggunaan Hubbul Riasah tidak boleh ditunggangi oleh ambisi pribadi, karena
ambisi pribadi merupakan cerminan dari Nilai-Nilai Keburukan yang tidak lain
adalah sifat alamiah dari Jasmani yang sangat dikehendaki oleh Syaitan.
Rasulullah saw berkata kepada Abdurrahman bin Samurah, janganlah
engkau menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu maka
kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu
maka kamu akan ditolong mengatasinya. (HR Bukhari, Muslim)
Sebagai pemimpin, kita harus bisa
mengendalikan ambisi yang ada di dalam diri, karena ambisi dapat menghancurkan,
dapat meniadakan fasilitas bantuan yang siap diberikan oleh Allah SWT kepada
diri kita.
Jihad
Pengertian Jihad di dalam penggunaan Keinginan
untuk Memimpin bukanlah berarti Perang. Akan tetapi pengertian Jihad dimaksud
adalah sungguh sungguh di dalam melakukan suatu perbuatan atau sungguh-sungguh
melakukan tindakan nyata yang keluar dari diri sendiri tanpa ada paksaan
siapapun untuk memimpin, untuk melawan ahwa, untuk merubah diri secara total atau
melaksanakan sebuah pernyataan untuk memperbaiki diri dari keadaan yang
bergelimang dosa menjadi seorang yang berhasil keluar dari persoalan atau
keluar dari keadaan yang tidak di inginkan tersebut.
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang
sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim.
Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan
(begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu
dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah
sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah
pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. (surat
Al Hajj (22) ayat 78)
Contohnya menjadikan diri sebagai pemimpin
sejati, berhenti total dari ketergantungan Narkoba atau keluar dari Kemiskinan
dan Kebodohan atau berhenti total dari Judi dan tindakan Asusila sehingga
manusia tersebut terbebas dari itu semua. Selanjutnya Jihad yang keluar atas
keinginan dari diri sendiri dapat menjadi sebuah Motor Penggerak yang luar
biasa kekuatannya atau menjadi mesin pendorong bagi Keinginan manusia manusia
untuk keluar dari segala persoalan hidup, apakah itu ketergantungan Narkoba,
Kemiskinan, dan juga Kebodohan.
Semakin kuat Tekad dan Kesungguhan Hati untuk
keluar dari segala persoalan yang melilit dan mendera manusia maka semakin
besar pula kekuatan yang diperoleh manusia untuk terbebas dari segala
persoalan. Akan tetapi jika Keinginan dan Motivasi Jihad bukan atas kesadaran
dari diri sendiri maka manusia akan susah dan sangat menderita sewaktu akan
keluar dari segala persoalan tersebut dan yang lebih parah lagi manusia tersebut
akan tetap bergelimang dosa sampai akhir hayatnya. Selanjutnya ada apa dengan
Jihad tersebut sehingga Jihad dapat menjadi Motor Penggerak atau Mesin
Pendorong bagi manusia untuk keluar dari segala persoalan hidup?
Jihad yang dilakukan oleh manusia di dalamnya
terdapat Kekuatan yang berasal dari Allah
SWT sebab Allah SWT telah Menetapkan atas dirinya Kasih Sayang kepada Manusia
(lihat kembali surat Al An’aam (6) ayat 54) dengan demikian jika manusia
melakukan Jihad maka Allah SWT pasti memberikan Memberikan Jalan Keluar bagi
umatnya yang mau berjihad atau bersungguh-sungguh melakukan sesuatu di dalam
Nilai-Nilai Kebaikan. Jika saat ini anda seorang Pemimpin sudahkah anda melakukan Jihad di jalan Allah
SWT untuk kepentingan Masyarakat, Bangsa dan Negara atau apakah anda seorang
yang takut untuk melakukan Jihad?
Cepat Tanggap
Pemimpin yang baik adalah seorang pemimpin
yang mempunyai sifat dan sikap untuk selalu bersegera melakukan introspeksi
diri ataupun melakukan perbaikan terhadap hasil karyanya yang bertentangan
dengan kepentingan rakyat atau pemimpin yang selalu bersegera meminta maaf jika
melakukan kesalahan atau bersegera meminta ampun kepada Allah SWT jika kita
melakukan sebuah kesalahan ataupun dosa. Memohon ampun kepada Allah SWT,
Melakukan Permintaan maaf kepada rakyat, melakukan introspeksi diri, melakukan
perbaikan hasil karya wajib dilandasi dengan semangat untuk tidak mengulangi
perbuatan-perbuatan tersebut atau kesalahan-kesalahan tersebut di masa akan
datang. Selanjutnya bagaimana jika Pemimpin memiliki konsep Kapok Lombok?
Pemimpin yang Kapok Lombok bukanlah cermin kepemimpinan yang sesuai dengan
Nilai-Nilai Kebaikan dikarenakan tidak bisa menjadikan keledai sebagai
panutannya.
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa. (surat Ali ‘Imran (3) ayat 133)
Dimana keledai saja tidak akan masuk ke dalam
lubang yang sama untuk kedua kalinya. Jika saat ini anda adalah seorang
pemimpin yang masuk kategori Kapok Lombok berarti anda sudah di dalam koridor
Nilai-Nilai Keburukan yang sesuai dengan Kehendak Syaitan sang
laknatullah.
Saling Tolong
Menolong
Keinginan untuk Memimpin harus dilandasi
semangat untuk saling tolong menolong atau saling kasih mengasihi. Untuk itu
semangat tolong menolong harus dikembangkan dan dibina terus oleh setiap
Pemimpin dan sedapat mungkin di dalam
semangat Persatuan dan Kesatuan serta Kekeluargaan. Keberhasilan seorang
Pemimpin atau Kepemimpinan yang dilaksanakan akan tercermin dari banyaknya
permasalahan dan persoalan kemasyarakatan yang terselesaikan dari adanya
prinsip tolong menolong dan kasih mengasihi sesama manusia yang ditumbuh
kembangkan oleh Pemimpin tersebut saat Kepemimpinannya.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka
berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah
orang-orang yang benar. (surat Al Hujuraat (49) ayat 15)
Seorang Pemimpin atau suatu Kepimimpinan
diharuskan terlebih dahulu memiliki semangat untuk berkorban, kemudian harus
dapat menumbuhkan semangat gotong royong serta menghilangkan prinsip
mementingkan golongan, barulah hasil dari kepemimpinan yang dilakukannya dapat
dirasakan oleh masyarakat luas. Akan tetapi jika seorang pemimpin tidak mampu
menciptakan semangat kebersamaan bersiap-siaplah menuai hasil berupa kegagalan
di dalam memimpin.
Wakil ALLAH SWT
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam
kerangka besar untuk dijadikan Khalifah di muka bumi. Untuk mempertegas
pernyataan tersebut maka Allah SWT memberikan kepada setiap manusia apa yang
disebut dengan Keinginan untuk Memimpin. Keinginan untuk Memimpin akan
menghasilkan dan menjadikan manusia menjadi Pemimpin baik untuk skala kecil
menjadi kepala keluarga ataupun skala besar menjadi lurah atau presiden.
Pemimpin skala kecil mengayomi sebuah keluarga sedangkan pemimpin skala besar
dapat mengayomi sebuah Negara. Adanya kondisi ini dapat dikatakan bahwa tujuan
Allah SWT menjadikan Manusia sebagai khalifah di muka bumi serta diberikannya
Keinginan untuk Memimpin menandakan bahwa menjadikan manusia khalifah di muka
bumi atau Wakil Allah SWT di muka bumi atau Perpanjangan Tangan Allah SWT di
muka bumi dapat terlaksana dengan baik. Hal yang harus kita perhatikan adalah khalifah
artinya adalah pengatur, pemelihara, penjaga, pengayom, pengawas terhadap
apa-apa yang telah Allah SWT ciptakan di muka bumi.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui”. (surat Al Baqarah (2) ayat 30)
Selanjutnya dengan adanya khalifah di muka
bumi, maka khalifah tersebut secara tidak langsung adalah pelaksana tugas-tugas
sehari-hari Allah atau perpanjangan tangan Allah SWT (Ex Officio dari Allah
SWT) di muka bumi dengan demikian akan terciptalah kedamaian dan akan
terciptalah ketentraman di muka bumi oleh sebab adanya khalifah.
Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan
memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa yang memberi
syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya.
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (surat An Nisaa’ (4) ayat 85)
Jika sekarang kita menjadi Pemimpin baik dalam
skala kecil maupun skala nasional ataupun skala international, berarti kita
telah menjalankan fungsi kekhalifahan di muka bumi atau menjadi Wakil Allah SWT di muka bumi. Akan tetapi setelah
menjadi khalifah atau Wakil Allah SWT apakah Kedamaian, apakah Ketertiban dan
apakah Ketentraman dalam skala kecil maupun skala besar telah dinikmati oleh
masyarakat banyak oleh sebab kita dan anda menjadi khalifah atau Wakil Allah
SWT? Jika apa yang kami kemukakan belum terjadi atau tidak terjadi berarti ada
sesuatu yang salah saat diri kita menjadi khalifah di muka bumi atau ada
sesuatu yang salah saat diri mempergunakan Hubbul Riasah.
Selain 8(delapan) kondisi dasar yang telah
kami kemukakan di atas, berikut ini akan kami kemukakan ketentuan-ketentuan
lain yang berlaku bagi pemimpin dan kememimpinannya, yang kami ambil dari 40
Hadits tentang Pemimpin dan Kepemimpinan yang dihimpun oleh Masduki
Asbari, yaitu:
Hadits ke 1
Kesejahteraan
rakyat adalah Tanggungjawab seorang Pemimpin
Ibn umar r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw
bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban
atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta
pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan
ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah
tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang
pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya
juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan
akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya. (HR
Bukhari, Muslim)
Penjelasan:
Pada dasarnya, hadits di atas berbicara
tentang etika kepemimpinan dalam islam. Dalam hadits ini dijelaskan bahwa etika
paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun jawab. Semua orang yang hidup di
muka bumi ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya, sebagai pemimpin, mereka
semua memikul tanggung jawab, sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri.
Seorang suami bertanggung jawab atas istrinya, seorang bapak bertangung jawab
kepada anak-anaknya, seorang majikan betanggung jawab kepada pekerjanya,
seorang atasan bertanggung jawab kepada bawahannya, dan seorang presiden,
bupati, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya, dst.
Akan tetapi, tanggung jawab disini bukan
semata-mata bermakna melaksanakan tugas lalu setelah itu selesai dan tidak
menyisakan dampak (atsar) bagi yang dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang
dimaksud tanggung jawab di sini adalah lebih berarti upaya seorang pemimpin
untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang dipimpin. Karena kata ra ‘a
sendiri secara bahasa bermakna gembala dan kata ra-‘in berarti pengembala.
Ibarat pengembala, ia harus merawat, memberi makan dan mencarikan tempat
berteduh binatang gembalanya. Singkatnya, seorang penggembala bertanggung jawab
untuk mensejahterakan binatang gembalanya.
Cerita gembala hanyalah sebuah tamsil, dan
manusia tentu berbeda dengan binatang, sehingga menggembala manusia tidak sama
dengan menggembala binatang. Anugerah akal budi yang diberikan allah kepada
manusia merupakan kelebihan tersendiri bagi manusia untuk mengembalakan dirinya
sendiri, tanpa harus mengantungkan hidupnya kepada penggembala lain. Karenanya,
pertama-tama yang disampaikan oleh hadis di atas adalah bahwa setiap manusia
adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dirinya sendiri. Atau
denga kata lain, seseorang mesti bertanggung jawab untuk mencari makan atau
menghidupi dirinya sendiri, tanpa mengantungkan hidupnya kepada orang lain.
Dengan demikian, karena hakekat dari kepemimpinan adalah tanggung jawab dan
wujud tanggung jawab adalah kesejahteraan, maka bila orang tua hanya sekedar
memberi makan anak-anaknya tetapi tidak memenuhi standar gizi serta kebutuhan
pendidikannya tidak dipenuhi, maka hal itu masih jauh dari makna tanggung jawab
yang sebenarnya.
Demikian pula bila seorang majikan memberikan
gaji pekerja rumah tangga di bawah standar upah minimu provinsi, maka
majikan tersebut belum bisa dikatakan bertanggung jawab. Begitu pula bila
seorang pemimpin, katakanlah presiden, dalam memimpin negerinya hanya sebatas
menjadi “pemerintah” saja, namun tidak ada upaya serius untuk mengangkat
rakyatnya dari jurang kemiskinan menuju kesejahteraan, maka presiden tersebut
belum bisa dikatakan telah bertanggung jawab. Karena tanggung jawab seorang
presiden harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada rakyat
kecil dan kaum miskin, bukannya berpihak pada konglomerat dan teman-teman dekat.
Oleh sebab itu, bila keadaan sebuah bangsa masih jauh dari standar
kesejahteraan, maka tanggung jawab pemimpinnya masih perlu dipertanyakan lagi
atau bisa dikatakan gagal.
Hadits ke 2
Hukuman bagi
pemimpin yang menipu rakyat
Abu ja’la (ma’qil) bin jasar r.a berkata: saya telah mendengar
rasulullah saw bersabda: tiada seorang yang diamanati oleh allah memimpin
rakyat kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti
allah mengharamkan baginya surga. (HR Bukhari, Muslim)
Penjelasan:
Kejujuran adalah modal yang paling mendasar
dalam sebuah kepemimpinan. Tanpa kejujuran, kepemimpinan ibarat bangunan tanpa
fondasi, dari luar nampak megah namun di dalamnya rapuh dan tak bisa bertahan
lama. Begitu pula dengan kepemimpinan, bila tidak didasarkan atas kejujuran
orang-orang yang terlibat di dalamnya, maka jangan harap kepemimpinan itu akan
berjalan dengan baik. Namun kejujuran di sini tidak bisa hanya mengandalakan
pada satu orang saja, kepada pemimpin saja misalkan.
Akan tetapi semua komponen yang terlibat di
dalamnya, baik itu pemimpinnya, pembantunya, staf-stafnya, hingga struktur yang
paling bawah dalam kepemimpnan ini, semisal tukang sapunya, harus menjunjung
tinggi nilai-nilai kejujuran. Hal itu karena tidak sedikit dalam sebuah kepemimpinan,
atau sebuah organisasi, terdapat pihak yang jujur namun juga terdapat pihak
yang tidak jujur. Bila pemimpinnya jujur namun staf-stafnya tidak jujur, maka
kepemimpinan itu juga akan rapuh. Begitu pula sebaliknya.
Seorang pemimpin harus memberikan suri
tauladan yang baik kepada pihak-pihak yang dipimpinnya. Suri tauladan ini tentunya
harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan
pemimpin yang tidak menipu dan melukai hati rakyatnya. Pemimpin yang menipu dan
melukai hati rakyat, dalam hadis ini disebutkan, diharamkan oleh allah untuk
mengninjakkan kaki si sorga. Meski hukuman ini nampak kurang kejam, karena
hanya hukuman di akhirat dan tidak menyertakan hukuman di dunia, namun
sebenarnya hukuman “haram masuk syurga” ini mencerminkan betapa murkanya
allah terhadap pemimpin yang tidak jujur dan suka menipu rakayat.
Hadits ke 3 dan
ke 4
Pemimpin dilarang
bersikap birokratis dan bersikap otoriter
‘Aisjah r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda
di rumahku ini : ya allah siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku, lalu
mempersukar pada mereka, maka persukarlah baginya. Dan siapa yang mengurusi
umatku lalu berlemah lembut pada mereka, maka permudahlah baginya. (HR. Muslim)
‘Aidz bin amru r.a, ketika ia masuk kepada ubaidillah bin zijad
berkata: hai anakku saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: sesungguhnya
sejahat-jahat pemerintah yaitu yang kejam (otoriter), maka janganlah kau
tergolong daripada mereka. (HR. Bukhari, Muslim)
Penjelasan:
Hadits ini menerangkan tentang larangan
seorang pemimpin untuk bersikap arogan, elitis, represif dan birokratis atau
mempersulit urusan-urusan rakyatnya. Karena sebagaimana kita ketahui, tidak
sedikit pemimpin yang bersikap arogan dan mempersulit urusan-urusan rakyatnya.
Untuk mengurusi dokumen-dokumen kewarganegaraan saja misalkan, seperti ktp,
akta kelahiran, perijinan usaha, dsb, seorang rakyat harus melalui
tahapan-tahapan yang cukup rumit dan memakan waktu dan biaya yang tidak
sedikit.
Padahal, seorang pemimpin, menurut hadits ini,
harus memberikan pelayanan yang maksimal serta tidak menyulitkan warga atau
rakyat yang dipimpinnya. Bila semua urusan itu bisa dipermudah kenapa harus
dipersulit. Akibatnya, birokrasi yang sejatinya bertujuan untuk mempermudah,
berbalik menjadi mempersulit segala urusan rakyat. Oleh sebab itu, bila
sorang pemimpin suka mempersulit urusan rakyatnya, maka niscaya ALLAH SWT
selaku pemilik dan pencipta langit dan bumi akan mempersulit segala urusan dia
baik di dunia lebih-lebih di akhirat nanti dan bersiaplah merasakan azab dari
ALLAH SWT.
Hadits ke 5
Pemimpin harus
bersikap adil
Abu hurairah r.a: berkata: bersabda nabi saw: ada tujuh macam
orang yang bakal bernaung di bawah naungan allah, pada hati tiada naungan
kecuali naungan allah: Imam(pemimpin) yang adil, dan pemuda yang rajin ibadah
kepada allah. Dan orang yang hatinya selalu gandrung kepada masjid. Dan dua
orang yang saling kasih sayang karena allah, baik waktu berkumpul atau
berpisah. Dan orang laki yang diajak berzina oleh wanita bangsawan nan cantik,
maka menolak dengan kata: saya takut kepada allah. Dan orang yang sedekah
dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang
disedekahkan oleh tangan kanannya. Dan orang berdzikir ingat pada allah sendirian
hingga mencucurkan air matanya. (HR Bukhari, Muslim)
Penjelasan:
Meski hadits ini menjelaskan tentang tujuh
macam karakter orang yang dijamin keselamatannya oleh ALLAH SWT pada hari
kiamat, namun yang sangat ditekankan oleh hadits ini adalah karakter orang yang
pertama, yaitu pemimpin yang adil. Bukannya kita menyepelekan enam karakter
sesudahnya, akan tetapi karakter pemimpin yang adil memang menjadi tonggak bagi
kemaslahatan seluruh umat manusia. Tanpa pemimpin yang adil maka kehidupan ini
akan terjebak ke dalam jurang penderitaan yang cukup dalam. Untuk melihat
sejauh mana seorang peimimpin itu telah berlaku adil terhadap rakyatnya adalah
melalui keputusan-keputuasan dan kebijakan yang dikeluarkannya. Bila seorang
pemimpin menerapkan hukum secara sama dan setara kepada semua warganya yang
berbuat salah atau melanggar hukum, tanpa tebang pilih, maka pemimpin itu bisa
dikatakan telah berbuat adil. Namun sebaliknya, bila pemimpin itu hanya
menghukum sebagian orang (rakyat kecil) tapi melindungi sebagian yang lain
(elit/konglomerat), padahal mereka sama-ama melanggar hukum, maka pemimpin itu
telah berbuat dzalim dan jauh dari perilaku yang adil.
Hadits ke 6
Jaminan bagi
pemimpin yang adil
Abdullah bin ‘amru bin al ‘ash r.a berkata: rasulullah saw
bersabda: sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil, kelak disisi allah
ditempatkan diatas mimbar dari cahaya, ialah mereka yang adil dalam hukum
terhadap keluarga dan apa saja yang diserahkan (dikuasakan) kepada mereka. (HR
Muslim)
Penjelasan:
Bila hadits sebelumnya berbicara tentang
“garansi” Allah SWT atas pemimpin yang
berbuat adil, maka hadits ini lebih mengulas tentang “imbalan” bagi seorang
pemimpin yang adil. Dalam hadits ini disebutkan bahwa imbalan bagi pemimpin
yang adil adalah kelak di sisi Allah SWT akan ditempatkan di atas mimbar dari
cahaya. Secara harfiyah, mimbar berarti sebuah tempat khusus untuk orang-orang
yang hendak berdakwah atau berceramah di hadapan umum. Karenanya, mimbar jum’at
biasanya mengacu pada sebuah tempat khusus yang disediakan masjid untuk
kepentingan khatib.
Sementara cahaya adalah sebuah sinar
yang menerangi sebuah kehidupan. Kata cahaya biasanya mengacu pada
matahari sebagai penerang bumi, lampu sebagai penerang dari kegelapan, dsb.
Oleh sebab itu, kata mimbar dari cahaya di dalam hadits di atas tentu tidak
serta merta dimaknai secara harfiyah seperti mimbar yang dipenuhi hiasan
lampu-lampu yang bersinar terang, melainkan mimbar cahaya adalah sebuah metafor
yang menggambarkan sebuah posisi yang sangat terhormat di hadapan Allah SWT.
Posisi itu mencrminkan sebuah ketinggian status setinggi cahaya matahari.
Hadits ke 7
Syurga bagi
pemimpin yang adil
Ijadl bin himar r.a berkata: saya telah mendengar rasulullah saw
bersabda: orang-orang ahli surga ada tiga macam: raja yang adil, mendapat
taufiq hidayat ( dari allah). Dan orang belas kasih lunak hati pada sanak
kerabat dan orang muslim. Dan orang miskin berkeluarga yang tetap menjaga
kesopanan dan kehormatan diri. (HR Muslim).
Penjelaan:
Bila yang pertama tadi Allah SWT akan menjamin
pemimpin yang berbuat adil dengan jaminan naungan rahmat dari Allah SWT, dan
hadits selanjutnya menjamin dengan jaminan mimbar yang terbuat dari cahaya,
maka jaminan yang ke tiga ini adalah jaminan syurga. Ketiga jaminan di atas
tentunya bukan sekedar jaminan biasa, melainkan semua jaminan itu menunjukkan
betapa Islam sangat menekankan pentingnya sikap keadilan bagi seorang
peimimpin. Rasul SAW tidak mungkin memberikan jaminan begitu tinggi kepada
seseorang kecuali seseorang itu benar-benar dituntut untuk melakukan hal yang
sangat ditekankan dalam Islam. Dan keadilan adalah perkara penting yang sangat
ditekankan dalam islam. Oleh karena itu, siapa yang menjunjung tinggi keadilan,
niscaya orang tersebut akan mendapat jaminan yang tinggi dari Islam (Allah
SWT), baik di dunia, maupun di akhirat.
Hadits ke 8
Kepemimpinan
tidak mengenal warna kulit
Anas r.a berkata : bersabda rasulullah saw: dengarlah dan ta’atlah
meskipun yang terangkat dalam pemerintahanmu seorang budak habasyah yang kepalanya
bagaikan kismis. (HR Bukhari)
Penjelasan:
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin.
Begitu pula Nabi Muhammad SAW diutus sebagai nabi bukan hanya untuk orang arab
saja, melainkan untuk semua umat manusia. Karena itu, para pengikut nabi bukan
saja dari kalangan suku quraisy yang menjadi suku bergengsi saat itu, melainkan
juga dari suku-suku lainnya yang sebelum datang islam termasuk suku
“hina”. Bahkan kita mengenal salah seorang sahabat nabi yang bernama
Bilal bin Rabah yang warna kulitnya cukup hitam legam. Padahal, sebelum
datangnya ajaran Islam di Arab dulu, orang kulit hitam adalah termasuk kelompok
suku yang sebagian besar berprofesi sebagai budak. Mereka sama sekali tidak
dihargai dan tidak diperlakukan sebagaimana manusia yang lain. Akan tetapi
setelah turun ajaran Islam, semua batasan-batasan ras, warna kulit, dan
golongan itu dihapus, dan semua manusia adalah sama statsunya di muka allah,
hanya keimanan dan ketaqwaanlah yang membedakan mereka.
Pengakuan Islam terhadap dimensi kemanusian
universal bukan hanya dalam pergaulan sosial sehari-hari, melainkan Islam juga
mengakui semua orang berhak menjadi pemimpin. Tidak peduli mereka itu berkulit
hitam, coklat, merah, hijau, dsb, asalkan bisa memimpin secara adil, maka dia
berhak untuk menjadi pemimpin. Dalam konteks ini, keadilan dan kejujuran
menjadi kriteria paling pokok dalam menentukan seorang pemimpin, bukan warna
kulit atau asal golongan. Dan apabila yang terpilih sebagai pemimpin adalah
dari kalangan kulit hitam, Islam juga mewajibkan kita agar tidak boleh
meremehkan pemimpin itu. Akan tetapi kita juga harus mematuhi semua perintahnya
(selama tidak untuk ma’siyat) sebagaimana kita mematuhi perintah
pemimpin-pemimpin yang lain.
Hadits ke 9
Keseimbangan hak
rakyat dan tanggung jawab pemimpin
Abu hunaidah (wa’il) bin hadjur r.a. Berkata : salamah bin jazid
aldju’fy bertanya kepada rasulullah saw : ya rasulullah, bagaimana jika
terangkat diatas kami kepala-kepala yang hanya pandai menuntut haknya dan
menahan hak kami, maka bagaimanakah kau menyuruh kami berbuat? Pada mulanya
rasulullah mengabaikan pertanyaan itu, hingga ditanya kedua kalinya, maka
rasulullah saw bersabda : dengarlah dan ta’atlah maka sungguh bagi
masing-masing kewajiban sendiri-sendiri atas mereka ada tanggung jawab dan atas
kamu tanggung jawabmu. (HR Muslim)
Penjelasan:
Rakyat memiliki hak dan pemimpin memiliki
tanggung jawab. Begitu pula sebaliknya, rakyat memiliki tanggung jawab dan
pemimpin juga memiliki hak. Antara keduanya harus ada keseimbangan dan
kesetaraan. Yang satu tidak boleh mendominasi yang lain. Akan tetapi kekuasaan
sepenuhnya adalah tetap berada di tangan rakyat. Karena hakekat kepemimpinan
hanyalah amanat yang harus diemban oleh seorang pemimpin.
Bila sang pemimpin tidak bisa menjaga amanat
itu dengan baik, maka kekuasaan kembali berada di tangan rakyat. Oleh sebab
itu, mengingat kesetaraan poisi rakyat dan pemimpin ini, maka masing-masing
memilki hak dan tanggung jawabnya. Hadits di atas menjelaskan bahwa seorang
pemimpin jangan hanya bisa memenuhi haknya, dan mengebiri hak rakyatnya, akan
tetapi seorang pemimpin harus mengakui dan menjamin hak-hak rakyatnya secara
bebas.
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini,
mungkin kita sudah mengenal konsep hak azasi manusia (ham). Oleh sebab itu,
bila kita tarik hadits di atas dalam kontek saat ini, maka sebanarnya Nabi
Muhammad SAW jauh sebelumnya sudah mengajarkan prinsip-prinsip ham dalam
kehidupan politik rakyatnya. Betapa tidak, dari hadits di atas dapat kita gali
sebuah pesan bahwa Islam menjamin ham termasuk di dalamnya hak-hak sipil dan
politik (isipol) dan hak-hak ekonomi sosial dan budaya (ekosob). Karena itu,
bila seorang peimimpin tidak menjamin hak-hak azasi manusia (ham) warganya,
maka pemimpin itu telah keluar dari sunnah Nabi SAW.
Hadits ke 10
Allah membenci
pemimpin Yang mengejar jabatan
Abu said (abdurrahman) bin samurah r.a. Berkata: rasulullah saw
telah bersabda kepada saya : ya abdurrahman bin samurah, jangan menuntut
kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kau diserahi jabatan tanpa minta, kau
akan dibantu oleh allah untuk melaksanakannya, tetapi jika dapat jabatan itu
karena permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas bahumu atau kebijaksanaanmu
sendiri. Dan apabila kau telah bersumpah untuk sesuatu kemudian ternyata jika
kau lakukan lainnya akan lebih baik, maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan apa
yang lebih baik itu. (HR Bukhari, Muslim)
Penjelasan:
Dalam hadits lain Nabi Muhammad SAW juga
pernah bersabda: “barang siapa telah menyerahkan sebuah jabatan atau amanat
kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”. Kedua
hadits di atas sebenarnya mengajarkan kepada kita bahwa amanat itu tidak perlu
dicari dan jabatan itu tidak perlu dikejar. Karena bila kita mencari dan
mengejar amanat dan jabatan itu, maka niscaya Allah SWT tidak akan membantu
kita. Akan tetapi bila kita tidak menuntut dan tidak mencari amanat itu, maka
justru Allah SWT akan membantu untuk meringankan beban amanat itu sendiri.
Hadits di atas sebenarnya mengajarkan tentang
etika politik. Seoarang politisi tidak serta-merta bebas dari etika,
sebagaimana ditunjukkan oleh para politisi kita selama ini. Melainkan seorang
politisi dan kehidupan politik itu sendiri harus berdasarkan sebuah kode etik.
Bila kehidupan politik tidak berazaskan etika, maka kesan yang muncul kemudian
bahwa politik itu kotor. Padahal, tidak selamanya politik itu kotor, Nabi
Muhammad SAW sendiri pernah menjadi seorang politisi, tapi tidak pernah bermain
kotor.
Bila kita mencermati hadits di atas, maka akan
kita temukan bahwa citra “ke-kotoran” dari politik itu sebenarnya
bersumber dari sikap para pelakuknya yang ambisius. Dalam hal ini, ambisi
menjadi salah satu faktor utama dalam membentuk sikap dan pandangan politik
eseorang sehingga menjadi kotor. Betapa tidak, dari ambisi itu, seseorang bisa
saja membunuh orang lain yang menjadi pesaing politiknya.
Dan dari ambisi itu pula seseorang bisa
melakukan apa aja untuk meraih jabatan politik yang diinginkannya, baik melalui
korupsi, penipuan, pembunuhan, ke dukun, dsb. Oleh sebab itu, “menjaga ambisi”
adalah sebuah etika politik yang diajarkan Islam kepada umatnya, terutama
bagi mereka yang berkiprah di dunia politik.
Hadits ke 11
Amanat di balik
jabatan
Abu dzar ra, berkata : ya rasulallah tidakkah kau memberi jabatan
apa-apa kepadaku? Maka rasulullah memukul bahuku sambil berkata : hai abu dzar
kau seorang yang lemah, dan jabatan itu sebagai amanat yang pada hari
qiyamat hanya akan menjadi kemenyesalan dan kehinaan. Kecuali orang yang yang
dapat menunaikan hak dan kewajibannya, dan memenuhi tanggung jawabnya.
Abu hurairah r.a. Berkata : rasulullah saw bersabda : kamu akan
berebut pemerintahan, dan akan menjadi kemenyasalan pada hari kiamat. (H
Bukhari)
Penjelasan:
Hadits ini tidak jauh berbeda dengan hadits
sebelumnya. Bila hadits sebelumnya melarang kita agar tidak berambisi untuk
meraih jabatan, maka hadits ini lebih menekankan betapa beratnya amanat dalam
sebuah jabatan. Dan saking beratnya hingga Nabi Muhammad SAW mengatakan
bahwa kelak di hari kiamat kita merasakan penyesalan yang begitu dahsyat karena
kita telah bersedia mengemban amanat itu. Janganlah kita mengira bahwa menjadi
seorang peimimpin dengan sendirinya akan bergelimang harta dan
kehormatan. Padahal, harta dan kehormatan itu justru menjadi batu sandungan
yang bisa mengakibatkan seseorang terjerumus ke dalam jurang kenistaan.
Lihatlah misalnya, seorang presiden dengan
tanggung jawab yang begitu besar untuk mensejahterakan rakyatnya, atau seorang
suami yang begitu besar tanggung jawabnya untuk menafkahi istrinya, atau
seorang bapak yang memikul amanat untuk membesarkan anak-anaknya. Semua itu
merupakan amanat yang harus dijaga dan dilaksanakan sebaik-baiknya. Apabila
kita tidak bisa berbuat adil dan tidak mampu mewujudkan kehidupan yang lebih
baik bagi pihak yang kita pimpin, maka janganlah sekali-kali kita mencoba-coba
untuk mengemban amanat tersebut. Apabila seorang presiden tidak mampu mengemban
amanat untuk membawa kehidupan bangsanya dari keterpurukan menuju kesejahteraan
dan keadilan, maka janganlah kita kembali memilih presiden atau pemimpin itu
untuk kedua kalinya. Karena itu, amanat adalah ringan dikatakan namun berat
untuk dilaksanakan. Barang siapa hanya bisa mengatakan namun tidak bisa
melaksanakan, maka ia tidak layak untuk dijadikan pemimpin.
Hadits ke 12
Mewaspadai para
pembisik pemimpin
Abu si’id dan abu hurairah r.a. Berkata : rasulullah saw bersabda
: allah tiada mengutus seorang nabi atau mengangkat seorang khalifah, melainkan
ada dua orang kepercayaan pribadi, seseorang yang menganjurkan kebaikan, dan
seorang yang menganjurkan kejahatan. Sedang orang yang selamat ialah yang
dipelihara oleh allah. (HR Bukhari)
Penjelasan:
Setiap pemimpin tentunya memilki asisten
pribadi. Asisten ini biasanya menjadi kepercayaan seorang pemimpin dalam melakukan
banyak hal yang berkaitan dengan kebutuhan pemimpin. Akan tetapi, seorang
pemimpin juga harus waspada terhadap orang-orang kepercayaannya. Karena Nabi
Muhammad SAW telah mengingatkan diantara orang-orang kepercayaan pemimpin
tersebut tentu ada yang jujur dan ada yang tidak jujur. Seorang kepercayaan
pemimpin yang jujur pasti akan memberikan informasi yang benar terhadap
pemimpinnya, tetapi seorang kepercayaan yang tidak jujur tentu akan memberikan
informasi yang tidak benar kepada pemimpinnya.
Orang yang terakhir ini lah biasanya yang
selalu menghasut dan membisikkan informasi-informasi yang justru bukan
memperkuat kepemimpinannya, melainkan akan menurunkan integritas
kepemimpinannya. Karena itu, Islam sangat menganjurkan agar kita aspada
terhadap orang-orang yang pekerjaannya hanya membisikkan informasi-informasi
salah sehingga pemimpin terdorong untuk megeluarkan kebijakan yang merugikan
kepentingan rakyat banyak.
Hadits ke 13
Pemimpin perlu
“pembantu” yang jujur
‘Aisyah r.a. Berkata : rasulullah saw bersabda : jika allah
menghendaki kebaikan terhadap seorang raja, maka diberinya seorang menteri yang
jujur, jika lupa diingatkan, dan jika ingat dibantu. Dan jika allah menghendaki
sebaliknya dari itu, maka allah memberi padanya ,menteri yang tidak jujur,
hingga jika lupa tidak diingatkan dan jika ingat tidak dibantu. (HR Abu Dawud).
Penjelasan:
Seorang pemimpin pasti mengemban segudang
tugas dan amanat yang begitu berat yang harus dijalankan. Sementara untuk
melaksanakan semua tugas itu tidak mungkin dia sendiri melakukannya. Oleh sebab
itu dibutuhkan sejumlah pembantu untuk meringankan tugas sang pemimpin. Dalam
kehidupan politik modern, para pembantu presiden itu bisa disebut sebagai
menteri. Dan barangkali bukan hanya presiden, semua jabtan publik di negeri
ini, baik bupati, gubernur, wali kota, dpr, hingga kepala sekolah pun, juga
membutuhkan pembantu atau pendamping ahli yang bisa meringankan tugas-tugasnya.
Sehingga dalam konteks indoensia, kita tidak hanya mengenal menteri sebagai
pembantu presiden, melainkan juga terdapat apa yang kita kenal sebagai juru
bicara, asisten ahli, staf ahli, penasehat ahli, dsb.
Keberadan “orang-orang pendamping” ini
tentunya perlu kita apresiasi dengan baik, karena mereka membantu tugas-tugas
kepresidenan. Akan tetapi, kita juga perlu mencermati bahkan jika diperlukan
kita mesti waspada karena tidak semua “orang-orang pendamping” itu berniat
tulus untuk membantu. Akan tetapi lebih dari itu ada juga yang menyimpan
kepentingan tertentu dan menjadi “pembisik” yang licik. Tentunya banyak cara
yang dilakukan para pembantu pemimpin yang licik ini.
Salah satu contoh yang sering kita lihat dalam
kehidupan birokrasi kita adalah; melaporkan situasi yang tidak sebenarnya
kepada pemimpin yang bersangkutan. Bila yang terjadi di lapangan adalah
kelaparan, maka si pembantu hanya melaporkan kekuranagn gizi. Selain itu tidak
sedikit kita jumpai “orang-orang” yang pekerjaanya hanya membisikkan
informasi-informasi bohong kepada pemimpinnya sehingga pemimpin tersebut
mengeluarkan kebijakan berdasarkan informasi bohong yang ia peroleh. Akibatnay,
selain kebijakan itu tidak tepat, sang pemimpin itu juga jatuh kredibilitasnya.
Oleh sebab itu, memilih pendamping itu harus hati-hati dan waspada. Kedekatan
seseorang dengan pemimpin tersebut dan kepintaran seseorang tidak menjamin dia
akan berbuat jujur terhadap atasannya.
Hadits ke 14
Shalat mendorong
pemimpin berbuat adil
Rasulullah saw bersabda: akan ada para pemimpin yang kalian kenal
dan kalian ingkari. Siapa yang tidak menyukainya maka dia bebas dan barang
siapa yang mengingkarinya maka dia selamat, akan tetapi (dosa dan hukuman)
diberlakukan kepada orang yang yang ridha dan mengikuti para pemimpin itu. Para
sahabat bertanya: apakah kami boleh memeranginya wahai rasulullah saw. Beliau menjawab:
tidak boleh selama para pemimpin itu masih mengerjakan shalat. (HR Muslim)
Penjelasan:
Hidup adalah saat Nilai-Nilai Keburukan
seperti pelit, malas, lemah, selalu mementingkan diri sendiri dan kelompok,
selalu berkeluh kesah yang dibawa oleh Jasmani berebut dan bertarung dengan
Nilai-Nilai Kebaikan seperti dermawan, aktif, kuat, selalu dalam kasih sayang,
selalu di dalam kebersamaan, selalu sabar, yang dibawa oleh Ruhani. Selanjutnya
jika yang terjadi Jasmani mampu mengalahkan Ruhani maka Nilai-Nilai Keburukan
akan menjadi perilaku diri kita sehingga kondisi kejiwaan diri kita
dikelompokkan ke dalam Jiwa Fujur. Apa maksudnya?
Katakan jika pelit bin bakhil, tidak mau
berbagi yang dibawa oleh Jasmani mampu mengalahkan sifat dermawan yang di bawa oleh
Ruhani maka tindakan atau perbuatan manusia akan mementingkan diri sendiri,
akan berusaha dengan segala cara untuk mendapatkan sesuatu sehingga apa yang
diperbuat oleh manusia dikategorikan sebagai perbuatan keji dan mungkar.
Sekarang bagaimana jika Ruhani mampu mengalahkan Jasmani? Jika Ruhani mampu
mengalahkan Jasmani maka Nilai-Nilai Kebaikan akan menjadi perilaku diri kita
sehingga kondisi kejiwaan diri kita dikelompokkan ke dalam Jiwa Taqwa. Apa
maksudnya?
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan
bersifat lemah. (surat An Nisaa’ (4) ayat 28)
Bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus menerus. (surat Al
Qiyaamah (75) ayat 5)
Katakan sifat pelit mampu dikalahkan dengan
sifat dermawan, maka yang akan ada di dalam diri, ataupun masyarakat adalah
timbulnya kerukunan antar sesama manusia, angka kriminalitas menjadi rendah
serta jurang orang kaya dengan orang miskin semakin tipis.
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
Apabila ditimpa kesusuahan ia berkeluh kesah. Dan apabila dapat kebaikan ia
amat kikir. (surat Al Ma’aarij (70)
ayat 19-20-21)
Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu memuliakanNya dan
diberiNya kesenangan, maka dia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun
bila TuhanNya mengujinya lalu membatasi rezkinya maka dia berkata: “Tuhanku
menghinakanku”. (surat Al Fajr (89) ayat 15-16)
Apa yang kami kemukakan di atas, akan terus
terjadi sepanjang manusia terdiri dari Jasmani dan Ruhani, atau sepanjang ruh
belum tiba dikerongkongan, atau sampai dengan hari kiamat kelak. Sekarang,
timbul pertanyaan apa hubungannya antara Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh
Jasmani atau apa hubungannya perbuatan keji dan mungkar atau ketidakadilan
dengan shalat yang kita dirikan di dalam kepemimpinan?
Di dalam kehidupan sehari-hari, aktivitas
Mandi dan Gosok Gigi merupakan salah satu sarana untuk menghilangkan kuman dan
bakteri yang menempel di kulit akibat aktivitas kerja atau pengaruh udara kotor
atau akibat adanya keringat yang keluar dari tubuh kita. Adanya kegiatan mandi
dan gosok gigi yang kita lakukan dengan baik dan benar maka akan timbul dalam
diri apa yang dinamakan kesegaran dan kesehatan tubuh. Selanjutnya jika hal ini
adalah tujuan dari mandi dan gosok gigi, maka tidak salah jika kita membutuhkan
mandi dan gosok gigi.
Sekarang aktivitas mandi dan gosok gigi sudah
kita laksanakan tiap hari, lalu dapatkah diri kita dinyatakan telah sukses
melaksanakan mandi dan gosok gigi jika kuman dan bakteri masih ada di tubuh dan
gigi kita, atau setelah mandi kita masih menggaruk-garuk kegatalan akibat masih
banyaknya daki yang menempel di tubuh kita? Jika keadaan ini yang terjadi
setelah mandi berarti kegiatan mandi yang kita lakukan belum sesuai dengan
tujuan dari aktivitas mandi, atau ada sesuatu yang salah saat diri kita mandi
dan gosok gigi. Adanya kondisi ini berarti hasil akhir dari aktivitas mandi dan
gosok gigi sangat tergantung dari masing-masing individu apakah mau mandi dan
gosok gigi secara baik dan benar. Semakin baik dan benar mandi dan gosok yang
kita lakukan maka semakin baik pula kesehatan kulit dan gigi, demikian pula
sebaliknya.
Selanjutnya bagaimana dengan Shalat yang kita
dirikan sehari semalam lima waktu? Jika mandi yang baik dan benar saja bisa
mendatangkan kesegaran dan kesehatan tubuh maka apakah Shalat tidak memiliki
maksud dan tujuan yang mulia dibandingkan perintah mandi? Shalat yang tidak
lain adalah perintah Allah SWT pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu atau
mendirikan Shalat pasti akan memberikan dampak positif baik kepada Ruhani dan
juga kepada Jasmani manusia karena tidak mungkin perintah mendirikan Shalat
yang asalnya langsung dari Allah SWT berkualitas rendah. Apa maksudnya? Untuk
menerangkan hal ini ada sesuatu yang harus kita perhatikan yaitu setiap manusia
pasti terdiri dari Ruhani dan Jasmani. Adanya kondisi ini berarti baik Ruhani
maupun Jasmani tidak bisa dilepaskan dari perintah mendirikan Shalat.
Hal ini dikarenakan melalui Shalat yang kita
dirikan berarti kita telah berusaha untuk mempertemukan Ruhani yang berasal
dari Allah SWT dengan Allah SWT (maksudnya adalah berusaha untuk mempertemukan
Ruhani dengan Kemahaan dan Kebesaran Allah SWT) sehingga dengan adanya
pertemuan Ruhani dengan Allah SWT akan terjadi apa yang dinamakan dengan
sinergi antara Ruhani diri kita dengan Allah SWT yang mengakibatkan diri kita
selalu berada di dalam Kemahaan dan Kebesaran Allah SWT. Hasil akhir dari ini
adalah Ruhani mampu mengalahkan Jasmani, atau kondisi jiwa manusia masuk dalam
kategori Jiwa Taqwa. Selanjutnya jika ini yang terjadi maka pengaruh-pengaruh
negatif yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan yang berasal dari sifat-sifat
Jasmani dapat kita kalahkan, atau dapat kita hilangkan sehingga yang ada adalah
Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari Ruhani. Apa contohnya?
bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al
Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-
perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah
lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui
apa yang kamu kerjakan. (surat Al Ankaabut (29) ayat 45)
Ketidakadilan dan mementingkan diri sendiri
yang dibawa Jasmani hilang menjadi adil dan kebersamaan, Malas yang dibawa
Jasmani hilang menjadi Produktif, Pelit yang dibawa Jasmani hilang menjadi
Dermawan, Keji dan Mungkar yang dibawa Jasmani hilang menjadi Kasih Sayang
kepada sesama, demikian seterusnya sesuai dengan Asmaul Husna yang dimiliki
oleh Allah SWT. Jika sudah demikian keadaannya berarti Nila-Nilai Kebaikan akan
selalu menyertai individu-individu yang telah mendirikan Shalat yang sesuai
dengan kehendak pemberi perintah mendirikan Shalat. Selanjutnya dengan adanya
kondisi ini berarti modal awal bagi ketentraman dan ketertiban yang terjadi di
dalam masyarakat sudah kita miliki.
Selain daripada itu, Shalat juga memberikan
dampak positif kepada kesehatan Jasmani manusia, yaitu melalui gerakan-gerakan
yang terdapat di dalam Shalat seperti saat berdiri, saat takbiratul ihram, saat
rukuk, saat sujud, saat I'tidal (bangun dari rukuk), duduk di antara dua sujud,
saat duduk tasyahud awal, saat duduk tasyahud akhir dan saat salam, yang
kesemuanya memiliki manfaat ditinjau dari sudut kesehatan jasmani.
Adanya kondisi ini berarti mendirikan Shalat
memiliki dua manfaat bagi Jasmani, yaitu mampu menghilangkan, atau meniadakan
sifat-sifat Jasmani yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan akibat dari Ruhani
tersambung ,atau bersinergi dengan kemahaan dan kebesaran Allah SWT dan juga
mampu memberikan manfaat kepada Jasmani itu sendiri melalui gerakan Shalat.
Sekarang kita telah mengetahui bahwa manfaat Shalat tidak hanya untuk
kepentingan Ruhani saja, akan tetapi juga untuk kepentingan Jasmani.
Sekarang bagaimana jika setelah Shalat kita
dirikan, akan tetapi justru perbuatan korupsi, kolusi, nepotisme, pembalakan
liar, menipu, menyebarkan fitnah, melakukan tindakan keji dan mungkar,
mementingkan golongan tidak juga hilang dalam kehidupan kita, atau Nilai-Nilai
Keburukan yang disukai oleh Syaitan masih tetap kita lakukan bahkan kualitasnya
malah meningkat dari waktu ke waktu? Jika kita mengacu kepada perintah mandi
dan gosok, berarti Shalat yang kita dirikan belum sesuai dengan kehendak Allah
SWT selaku pemberi perintah mendirikan Shalat, atau ada sesuatu yang salah di
dalam Shalat yang kita dirikan, yaitu kita tidak bisa melaksanakan perintah
mendirikan Shalat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Untuk itu jika kita merasa sangat membutuhkan
Shalat seperti kita membutuhkan mandi dan gosok gigi maka kita harus
memperbaiki kualitas Shalat yang kita dirikan mulai saat ini juga sebelum Ruh
tiba dikerongkongan, atau segeralah memanfaatkan kesempatan ke dua yang telah
diberikan oleh Allah SWT sebelum Malaikat Izrail melaksanakan tugasnya
memisahkan Jasmani dan Ruhani diri kita.
Sebagai seorang khalifah berarti saat ini kita
adalah seorang pemimpin, untuk itu jadikanlah shalat yang dirikan sebagai
pedoman saat diri kita memimpin karena dengan shalat yang kita dirikan berarti
kita telah berjanji untuk tidak melakukan perbuatan keji dan munkar baik kepada
diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, sehingga mampu
menghantarkan masyarakat yang kita pimpin menjadi masyarakat yang madani.
Hadits ke
15
Pemimpin yang
bodoh
Rasulullah saw bersabda kepada ka’ab bin ujrah: mudah-mudahan
allah melindungimu dari para pemimpin yang bodoh (dungu). Ka’ab bin ujzah
bertanya: apa yang dimaksud dengan pemimpin yang dungu wahai rasulullah saw?
Beliau menjawab: mereka adalah para pemimpin yang hidup sepeninggalku. Mereka
tidak pernah berpedoman pada petunjukku, mereka tidak mengikuti sunnahku.
Barang siapa yang membenarkan kedustaan mereka ataupun mendukung atas kezaliman
mereka, maka orang itu tidak termasuk golonganku, karena aku bukanlah orang
seperti itu. Mereka juga tidak akan mendapatkan air minum dari telagaku. Wahai
ka’ab, sesungguhnya puasa adalah benteng, sedekah itu bisa menghapus kesalahan,
sedangkan shalat adalah upaya mendekatkan diri kepada allah (qurban) –dalam
riwayat lain burhan (dalil)- wahai ka’ab sesungguhnya tidak akan masuk surga
seonggok daging yang berasal dari barang haram. Dan api neraka lebih berhak
untuk melahapnya. Wahai ka’ab bin ujrah, manusia terpecah menjadi dua golongan:
pertama, orang yang membeli dirinya (menguasai dirinya), maka dia itulah yang
memerdekakan dirinya. Golongan yang menjual dirinya, maka dia itulah yang
membinasakan dirinya sendiri. (HR. Ahmad bin Hambal)
Penjelasan:
Hadits ini berbicara tentang “nasib”
kepemimpinan sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Bahwa pasca meninggalnya rasul,
kepemimpinan umat islam akan diwarnai tindakan-tindakan yang oleh rasul disebut
“bodoh”. Karena itu, rasul kemudian senantiasa berdo’a semoga umatnya
terlindungi dari “bahaya-bahaya” akibat pemimpin yang bodoh ini. Akan tetapi,
kita di sini tentunya tidak akan memaknai kata bodoh secara harfiyah. Karena
bisa jadi kita memiliki pemimpin yang pintar, cerdas, bergelar profesor atau
bahkan sekaligus ulama, namun jika pemimpin itu tidak berpegang teguh pada
sunnah rasul maka dia layak disebut sebagai yang bodoh atau dungu.
Lantas siapa yang dimaksud pemimpin yang
mengikuti sunnah rasul itu? Apakah pemimpin yang puasa sunnah senin kamis ?
Tentunya yang dimaksud pemimpin yang mengikuti sunnah rasul di sini adalah
pemimpin yang mengikuti jejak rasul dalam menjalankan kepemimpinannya. Kita
tahu, bahwa kepemimpinan rasul adalah kepemimpinan yang menjunjung tinggi
keadilan, toleransi, dan dekat dengan rakyat.
Apa yang kini kita kenal sebagai “piagam
madinah” adalah sebagai pedoman rasul dalam menjalankan kepemimpinannya
terhadap semua rakayat saat itu tanpa memandang latar belakang agama, etnis,
warna kulit dan jenis kelamin. Semua rakyat madinah yang plural itu dilindungi
dan dijamin haknya oleh rasul. Oleh sebab itu, bagi pemimpin pasca rasul yang
tidak mampu mengikuti jejak rasul seperti di atas maka dia disebut bodoh oleh
rasul.
Hadits 16
Pemimpin dzalim
dibenci Allah
Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya manusia yang paling dicintai
allah pada hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di sisi allah adalah
seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci allah dan
sangat jauh dari allah adalah seorang pemimpin yang zalim. (HR. Turmudzi)
Penjelasan:
Hadits ini sekali lagi menekankan bahwa
kriteria adil sangat penting bagi seorang pemimpin. Tanpa nilai-nilai keadilan
yang dijunjung tinggi oleh seorang pemimpin, maka sebuah kepemimpinan tidak
akan berhasil mengangkat kesejahteraan umatnya. Karena itu, bisa kita fahami
mengapa rasul berkali-kali menekankan akan pentingnya seorang pemimpin yang
adil. Dalam hadis ini, seorang pemimpin yang adil akan ditempatkan sangat dekat
sekali kedudukannya dengan allah, sedangkan pemimpin yang dzalim adalah sangat
dibenci sekali oleh allah. Kedua balasan (imbalan dan ancaman) ini tentunya
mencerminkan sebuah penghargaan allah yang begitu besar kepada pemimpin yang
mampu berbuat adil kepada rakyatnya.
Hadits 17
Kedzaliman
pemimpin mempercepat datangnya kiamat
Rasulullah saw bersabda: kiamat tidak akan terjadi sampai kalian
membunuh para pemimpin kalian, pedang-pedang kalian banyak sekali meminum
darah, dan agama kalian diwarisi (dikuasai) oleh orang-orang yang paling buruk
di antara kalian. (HR. Ahmad bin hambal)
Penjelasan:
Hadits ini mengilustarikan sebuah zaman dimana
bila seorang pemimpin bertindak sangat lalim dan rakyat melawannya hingga
membunuh pemimpin lalim itu, maka itu pertanda kiamat sudah dekat. Logikanya,
bila dalam sebuah zaman muncul perlawanan rakyat terhadap pemimpin, maka di
zaman itu berarti terdapat pemimpin yang dzalim nan lalim. Karena bila sebuah
kepemimpinan itu baik dan tidak ada kedzaliman, maka niscaya tidak mungkin akan
muncul perlawanan rakyat.
Oleh sebab itu, pesan pokok yang hendak
disampaikan oleh hadits ini adalah bahwa bila terjadi kedzaliman pemimpin di
mana-mana, maka itu berarti pertanda kiamat sudah dekat. Lalu bagaiman dengan
zaman kita saat ini, dimana sebagian besar pemimpin sedikit sekali yang berbuat
adil dan banyak sekali yang berbuat dzalim, serta perlawanan rakayat begitu
dahsyata hingga ada pemimpin yang dibunuh oleh rakyatnya, apakah zaman kita
sudah termasuk tanda-tanda kiamat ? Pertanyaan ini memang tidak bisa kita jawab
“ya” atau “tidak”. Karena yang maha mengetahui kapan kiamat itu terjadi adalah
allah. Akan tetapi, bila kita melihat kondisi kepemimpinan kita di zaman ini
akan nampak sekali tanda-tanda kiamat sebagaiman telah diseritakan rasul dalam
hadits di atas.
Hadits 18
Menjaga amanat
adalah bagian dari iman
Rasulullah saw bersabda: tidak beriman orang yang tidak bisa
menjaga amanah yang dibebankan padanya. Dan tidak beragama orang yang tidak
bisa menepati janjinya. (HR. Ahmad bin Hambal)
Penjelasan:
Mungkin kita hanya mengenal slogan-slogan
keagamaan semisal: kebersihan adalah bagian dari iman, malu adalah bagian dari
iman, dsb. Tapi kita jarang –atau mungkin tidak pernah- mengatakan bahwa
menjaga amanat adalah bagian dari iman. Padahal, rasul juga pernah bersabda
bahwa menjaga amanat adalah bagian dari dasar-dasar keimanan dan keagamaan. Dan
barang siapa yang tidak menjaga amanat maka rasul menyebut dia tidak sempurna
iman dan agamanya. Andai kita mengkampanyekan hadits ini ke masyarakat luas,
apalagi di saat-saat kampanye presiden, bupati, gubernur, dsb, maka kita
setidaknya telah menekan munculnya “potensi” penyelewengan amanat oleh pemimpin
kita, meskipun itu sekecil semut.
Hal itu karena dalam tradisi kepemimpinan
kita, upaya menjaga amanat itu sangat kecil. Sumpah jabatan sebagai mekanisme
penyerahan amanat ternyata tidak disertai sebuah mekanisme kontrol yang
ketat terhadap amanat itu. Oleh sebab itu, kampanye keagamaan untuk mendorong
seseorang (pemimpin) agar senantiasa menjaga amanat (kepemimpinanya) adalah
penting segera kita galakkan.
Hadits 19
Pemimpin
dianjurkan memberi suri tauladan yang baik (nasehat)kepada rakyatnya
Rasulullah saw bersabda: tidak ada yang berhak untuk memberikan
ceramah (nasehat/cerita hikmah) kecuali seorang pemimpin, atau orang yang
mendapatkan izin untuk itu (ma’mur), atau memang orang yang sombong dan
haus kedudukan. (HR. Muslim)
Penjelasan:
Hadits ini bukan berarti hanya pemimpin yang
berhak memberi nasehat kepada umat, melainkan hadis ini mengandung pesan bahwa
seorang pemimpin seharusnya bisa memberikan suri tauladan yang baik kepada
umatnya. Karena yang dimaksud ceramah disini bukan dalam arti ceramah lantas
memberi wejangan kepada umat, akan tetapi yang dimaksud ceramah itu adalah
sebuah sikap yang perlu dicontohkan kepada umatnya. Seorang penceramah yang
baik dan betul-betul penceramah tentunya bukan dari orang sembarangan,
melainkan dari orang-orang terpilih yang baik akhlaqnya. Begitu pula dalam
hadits ini, pemimpin yang berhak memberikan ceramah itu pemimpin yang memiliki
akhlaq terpuji sehingga akhlaqnya bisa menjadi tauladan bagi rakyatnya. Jadi
kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang penceramah, maka itu juga
harus dipenuhi oleh seorang pemimpin. Karena pada zaman rasul dulu, seorang
penceramah atau yang memberikan hikmah kepada umat adalah para penceramah ini,
sehingga rasul mengharuskan seorang pemimpin harus memiliki akhlaq yang sama
dengan penceramah ini.
Hadits 20
Jabatan Pemimpin
itu dekat dengan neraka
Rasulullah saw bersabda: setiap pemimpin yang memimpin
rakyatnya, pada hari kiamat pasti akan didatangkan. Kemudian malaikat
mencengkeram tengkuknya dan mengangkatnya sampai ke langit. Kalau ada perintah
dari allah: lemparkanlah, maka malaikat akan melemparkannya ke bawah yang
jauhnya adalah empat puluh tahun perjalanan. (HR. Ibnu Majah)
Penjelasan:
Hadits ini menggambarkan betapa jabatan
sebagai pemimpin itu berat dan seolah bediri diantara ranjau-ranjau neraka yang
sewaktu-waktu bila orang itu salah menginjaknya maka ranjau itu akan akan
meledak dan membunuh sang pemimpin itu. Mungkin kita memandang bahwa menjadi
pemimpin (presiden) itu serba enak; fasilitas dijamin, harta melimpah dan
kehormatan terpandang, sehingga semua orang bercita-cita ingin menjadi
presiden, padahal bila semua orang tahu bahwa pemimpin (presiden) itu berjalan
di atas jembatan yang dibawahnya berkobar api neraka, maka niscaya semua orang
mungkin tidak akan berharap akan menjadi presiden (pemimpin).
Posisi pemimpin yang cukup rentan ini
dikarenakan beratnya tanggung jawab yang harus dipikul seorang pemimpin. Sekali
ia lengah dan mengabaikan tanggung jawabnya, maka ia bisa tergelincir dan jatuh
ke jurang neraka selama-lamanya. Oleh sebab itu, tak heran bila rasul
mengambarkan poisi pemimpin itu sebagaimana digambarkan oleh hadits di atas.
Hadits 21
Pemimpin harus
membimbing rakyatnya
Rasulullah saw bersabda: setiap pemimpin yang menangani urusan kaum
muslimin, tetapi tidak berusaha semaksimal mungkin untuk mengurusi mereka dan
memberikan arahan kepada mereka, maka dia tidak akan bisa masuk surga bersama
kaum muslimin itu. (HR. Muslim)
Penjelasan:
Seorang pemimpin tidak bisa sekedar berpikir
dan bergulat dengan wacana sembari memerintah bawahannya untuk mengerjakan
perintahnya, melainkan pemimpin juga dituntut untuk bekerja keras mengurus
sendiri persoalan-persoalan rakyatnya. Salah seorang khulafau rasyidin yaitu
umar bin utsman pernah berkeliling keseluruh negeri untuk mencari tahu adakah
di antara rakyatnya masih kekurangan pangan. Jika ada, maka khalifah umar
tidak segan-segan untuk memberinya uang (bekal) untuk menunjang kehidupan
rakyatnya tadi. Bahkan khalifah Abu Bakar harus turun tangan sendiri untuk
memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat.
Semua peristiwa yang dilakukan oleh dua
sahabat nabi di atas adalah contoh betapa islam sangat menekankan kepada
pemimpin untuk selalu bekerja keras agar rakyatnya benar-benar terjamin kesejahteraannya.
Tidak bisa seorang pemimpin hanya duduk dan berceramah memberi sambutan di
mana-mana, tetapi semua tugas-tugas kepemim pinannya yang lebih kongkrit malah
diserahkan kepada bawahan-baahannya. Memang betul bahwa bawahan bertugas untuk
membantu meringankan beban atasannya, akan tetapi tidak serta-merta semua tugas
harus diserahkan kepada bawahan. Suatu pekerjaan yang memang menjadi tugas
seseorang dan dia mampu melakukannya, maka janganlah pekerjaan itu
diserahkan kepada orang lain.
Hadits 22
Situasi zaman
pasca kepemimpinan Rasul s.a.w
Abdullah berkata: akan datang pada kalian satu tahun (masa) yang
lebih buruk daripada tahun (masa) sebelumnya. Akan tetapi yang aku maksud
bukanlah sebuah tahun yang lebih subur daripada tahun yang lain, ataupun
seorang pemimpin yang lebih baik daripada pemimpin lainnya. Akan tetapi di masa
itu, telah hilang (wafat) para ulama, orang-orang terpilih dan para ahli fiqh
kalian. Dan kalian tidak menemukan pengganti mereka. Sehingga datanglah sebuah
kaum yang berdalil hanya dengan menggunakan rasio mereka. (HR. Ad darimi)
Penjelasan:
Membaca ramalan rasul di atas sungguh membuat
kita cemas akan datangnya suatu zaman yang oleh rasul dikatakan lebih buruk
dari zaman-zaman sebelumnya. Namun yang dimaksud lebih buruk di sini tentunya
bukan dalam pengertian kuantitas. Melainkan kualitas kehidupan yang tengah
berlangsung pada sebuah zaman. Kalau ukurannya adalah kuantitas, mungkin zaman
kita bisa dibilang lebih bagus karena, misalnya, kita saat ini bisa memproduksi
sebuah barang dengan hanya memakan waktu yang singkat namun menghasilkan barang
yang cukup banyak. Akan tetapi bila ukurannya adalah kualitas, maka zaman kita
saat ini lebih rendah dan lebih buruk dari zaman-zaman sebelumnya (zaman
rasul). Lihatlah misalnya kualitas arsitektur dan bangunan yang berkembang saat
ini, kemudian bandingkan dengan arsitektur dan bangunan pada tempo dulu,
seperti tembok cina, borobudur, dsb, tentu kualitasnya jauh sekali berbeda.
Mungkin di zaman ini kita tidak bisa lagi
menemukan orang yang mampu membangun semacam borobudur dengan kualitas
banunannya yang terjamin sebagaimana candi borobudur. Begitu pula dengan
kualitas kepemimpinan pada saat ini jauh lebih baik dari kulaitas kepemimpinan
pada masa-masa rasul dan sahabat. Meskipun pada masa sahabat juga penuh
diwarnai intrik politik yang mengakibatkan pertumpahan darah, akan tetapi
setidaknya sejarah telah mencatat bahwa dua sahabat periode pertama (abu bakar
dan umar) adalah potret zaman dimana kepemimpinan benar-benar dijalankan atas dasar
prinsip-prinsip keadilan. Meski saat ini kita mengembar-gemborkan sistem
demokrasi yang dianggap paling baik, namun ternyata negara tempat kelahiran
demokrasi juga tidak menerapkan nilai-nilai demokrasi yang sebenarnya.
Dan banyak sekali pihak yang mengatasnamakan
demokrasi namun menginjak-injak nilai-nilai demokrasi. Meskipun saat ini ada
yang namanya pemilu, namun semua sistem dan mekanisme demokrasi itu tidak
menjamin terwujudnya kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera. Kalau sudah
demikian, bisakah zaman kita ini disebut lebih baik dari zaman rasul.s.a.w ?
Hadits 23
Balasan bagi
pemimpin yang otoriter
Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya aku orang yang paling tahu
tentang tiga golongan yang pertama kali masuk surga: orang yang mati syahid,
seorang hamba yang menunaikan hak allah dan hak majikannya, dan orang fakir
yang menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik. Aku juga orang yang paling
tahu tentang tiga golongan yang pertama kali masuk neraka: seorang pemimpin
yang otoriter (sewenang-wenang), seorang kaya yang tidak menunaikan
kewajibannya, dan seorang fakir yang sombong. (HR. Ahmad)
Penjelasan:
Kepemimpinan otoriter adalah sebuah
kepemimpinan yang dijalankan atas dasar kesewenag-wenangan. Semua keputusan dan
kebijakan pemimpin harus ditaati oleh semua rakyat tanpa memberi ruang
terjadinya “negoisasi” dengan rakyat. Bila pemimpin berkata merah, maka rakyat
harus mengikuti merah. Demikianlah ciri-ciri sederhana sebuah kepemimpinan
otoriter.
Lalu bagaimana Islam menyikapi (ke)pemimpin(an)
yang otoriter ini? Islam jelas tidak pernah memberikan tempat, walau sejengkal,
kepada pemimpin yang otoriter ini. Sebagaimana pemimpin yang dzalim, pemimpin
otoriter juga diancam dengan hukuman neraka. Dan sebaliknya, islam justru
sangat menekankan pentingnya demokrasi (syura) dan partisipasi rakyat dalam
sebuah sistem kepemimpinan.
Rasul s.a.w telah memberikan contoh bagaimana
syura menjadi prinsip pokok dalam menjalankan roda kepemimpinan. Dalam syura
(demokrasi) semua rakyat, tanpa membedakan latar agama, etnis, arna kulit,
bahasa, jenis kelamin, berhak untuk terlibat dalam merumuskan arah dan
haluan sebuah kepemimpinan. Ketika rasul menjadi pemimpin politik di madinah,
rasul tidak segan-segan memberikan hak yang setara anatara kaum muhajirin dan
anshar. Bahkan dalam medan peperangan, Siti ‘Aisyah juga diberi hak untuk
mengukiti bahkan memimpin sebuah peperangan dengan kaum kafir. Dengan demikian,
cukup jelas sekali bahwa islam adalah agama yang “mengharamkan”
otoritariansme dan “mewajibkan” demokrasi (syura).
Hadits 24
Melawan pemimpin
dzalim adalah jihad akbar
Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya jihad yang paling besar
adalah mengungkapkan kalimat kebenaran di hadapan sultan yang zalim. (HR.
Turmudzi)
Hadits ke 25
Keputusan
pemimpin harus aspiratif
Apabila ada dua orang laki-laki yang meminta keputusan kepadamu
maka janganlah engkau memberikan keputusan kepada laki-laki yang pertama sampai
engkau mendengarkan pernyataan dari laki-laki yang kedua. Maka engkau akan tahu
bagaimana engkau memberikan keputusan. (HR. Turmudzi)
Penjelasan:
Hadits ini mengajarkan kita sebuah
kepemimpinan yang mau mendengar semua suara rakyat. Tidak peduli rakyat itu
pengemis, pemulung, orang penyandang cacat, perempuan, atau anak kecil
sekalipun, maka semua itu harus didengar suaranya oleh pemimpin. Artinya,
kepemimpinan itu, atau lebih tepatnya seorang pemimpin itu harus benar-benar
aspiratif. Karena bila kita dalam mengambil keputusan atau kebijakan hanya
berdasarkan suara kelompok tertentu, lebih-lebih suara kelompok yang dekat
dengan lingkungan kekuasaan (pemimpin) maka keputusan itu pasti akan jauh dari
rasa keadilan. Alasannya adalah karena suara satu kelompok itu belum tentu
mewakili suara kelompok yang lain. Sehingga bila ingin mencapai rasa keadilan bagi
eluruh rakyat, maka harus mendengar suara semua rakyat.
Hadis ini penting terutama dalam konteks
sistem demokrasi yang meniscayakan keterwakilan seperti di indoensia misalkan.
Dimana dpr (dewan perwakilan rakyat) memiliki wewenang untuk mewakili suara rakyat.
Bila dpr ini tidak menjaring aspirasi dari semua lapisan dan status masyarakat,
maka jangan harap kebijakan-kebijakan yang dihasilakannya akan memenuhi rasa
keadilan rakyat indonesia. Oleh sebab itu, agar rasa keadilan dalam sebuah
masyarakat itu benar-bnar terpenuhi, maka islam mewajibkan seorang pemimpin
untuk tidak mengambil keputusan hanya dari satu orang (satu kelompok suara),
tetapi lebih dari itu.
Hadits ke 26
Pemimpin harus
punya pedoman kepemimpinan
Ketika rasul mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bertanya: wahai
Mu’adz, bagaimana caramu memberikan putusan/hukum? Dia menjawab; aku
memutuskan/menghukumi berdasarkan ketentuan dari al-qur’an. Lalu rasul bertanya
lagi: bagaimana kalau tidak ada dalam al-quran? Mu’adz menjawab, maka aku
memutuskan berdasarkan sunnah rasul s.a.w. Rasul bertanya lagi: bagaimana bila
tidak kau temukan dalam sunnah rasul ? Mu’adz menjawab: maka aku berijtihad
berdasarkan pendapatku sendiri. Rasul bersabda: segala puji bagi allah yang
telah memberikan petunjuk/taufik kepada duta rasul saw
Penjelasan:
Hadits ini turun ketika salah seorang sahabat
rasul s.a.w, Mu’adz bin Jabal, hendak diutus rasul untuk menjadi gubernur di
Yaman. Namun sebelum Mu’adz berangkat ke Yaman, rasul terlebih dahulu
memanggilnya untuk di uji (fit and propertest) sejauh mana dia bisa diandalkan
menjadi gebernur. Akan tetapi materi test yang disampaikan rasul tidak
muluk-muluk, beliau hanya menanyakan tentang pedoman dia (Mu’adz) dalam
menjalankan roda kepemimpinannya.
Dalam pengakuan Mu’adz, dia akan menjalankan
roda kepemimpinanya sebagai gubernur yaman dengan berlandaskan pada al-qur’an,
sunnah, dan ijtihad (berpikir dan bekerja keras). Untuk jawaban yang pertama
dan kedua, rasul mungkin sudah bisa menebak jawaban yang akan diberikan Mu’adz,
akan tetapi untuk pertanyaan ketiga itulah rasul mencoba menggali sejauh mana
upaya Mu’adz bila sebuah keputusan tidak ada dasarnya dalam al-qur’an dan
sunnah. Dan ternyata nabi cukup bangga kepada Mu’adz karena dia bisa menjawab
pertanyaan ketiga itu dengan cukup memuaskan.
Ini artinya bahwa hadits di atas telah
memberikan isyarat kepada kita bahwa dalam menjalankan roda kepemimpinan kita
tidak bisa hanya mengandalkan pedoman al-qur’an dan sunnah, akan tetapi kita
juga harus pandai-pandai mencari alternatif pedoman yang lain yang bisa
mengilhami kita dalam mengeluarkan keputusan. Bukannya kita hendak mengatakan
bahwa al-qur’an dan sunnah tidak sempurna, akan tetapi untuk merespon semua
peristiwa yang terjadi di dunia ini kita dituntut untuk mencari dan mencari
segala macam alternatif solusinya. Apabila kita tidak menemukan dasarnya di
al-qur’an dan sunnah, mungkin kita bisa mencarinya di nilai-nilai kearifan
lokal yang telah tumbuh dan berkembang di dalam sebuah masyarakat. Karena
itulah kita juga mengenal apa yang oleh para ahli ushul fiqh dikenal dengan
‘urf atau kaidah fiqh yang berbunyi al-‘adah muhakkamah. Bahkan rasul pun
pernah bersabda: bila engkau menemukan kebijakan maka ambillah meski ia keluar
dari mulut anjing.
Hadits ke 27
Pemimpin harus
peka terhadap Kebutuhan rakyat
Setiap pemimpin yang menutup pintunya terhadap orang yang memiliki
hajat, pengaduan, dan kemiskinan maka allah akan menutup pintu langit terhadap
segala pengaduan, hajat dan kemiskinannya.
Penjelasan:
Kepemimpinan bukan saja menuntut kecerdasan
otak dan kekuatan otot, melainkan juga harus ditunjang oleh rasa sensifitas
yang tinggi terhadap persoalan-persoalan menyangkut rakyatnya. Sehingga apapun
persoalan yang menimpa rakyatnya, maka pemimpin harus peka dan segera
mencarikan solusinya. Di sinilah sebenarnya tugas pokok seorang pemimpin; yaitu
mendengar keluh kesah rakyat untuk kemudian mencarikan jalan keluarnya. Karena
itulah, Islam (melalui hadits di atas) memerintahkan seorang pemimpin untuk
membuka pintu terhadap segala keluh kesah rakyatnya. Tentunya, yang dimaksud
pintu disini bukan semata-mata berarti pintu rumah ataupun pintu istana,
melainkan lebih dari itu yang sangat ditekankan adalah pintu hati atau nurani
seorang pemimpin. Karena meski seorang pemimpin tinggal di istana megah dan
berpagarkan besi dan baja, bila pintu hatinya terbuka untuk kepentingan rakyat,
maka Allah SWT juga akan membukkaan “pintu hati-nya” untuk mendengar keluh
kesah sang pemimpin itu.
Hadits ke 28
Pemimpin dilarang
mengambil keputusan dalam keadaan emosional
Janganlah seorang pemimpin (hakim) itu menghukumi antara dua orang
yang berseteru dalam keadaan marah (emosional)
Penjelasan:
Keputusan seorang presiden adalah dasar dari
kebijakan sebuah negara. Begitu juga keputusan seorang pimpinan dalam sebuah
organisasi adalah acuan dalam menjalankan roda organisasi. Oleh sebab itu,
dalam mengambil keputusan atau mengeluarkan kebijakan, seorang pemimpin
sebaiknya tidak sedang dalam keadaan “panas”, marah, atau emosional. Hal ini
bukan saja ditentang oleh hadits nabi s.a.w melainkan juga dikutuk oleh teori
manajemen organisasi. Dalam teori manajemen organisasi dijelaskan bahwa
seseorang tidak boleh mengeluarkan atau membuat keputusan dalam keadaan marah
atau emosi yang tidak stabil.
Bila dipaksakan, maka keputusan itu dihasilkan
dari sebuah proses yang kurang matang dan terburu-buru sehingga dampaknya akan
sangat merugikan terhadap pelaksana keputusan tersebut. Meski di dalam hadits
ini yang disebutkan adalah hakim, namun secara substansial kita sepakat bahwa
dalam keadaan emosi labil, siapapun orangnya, baik hakim, pemimpin, maupun
orang awam sekalipun, sebaiknya tidak perlu mengambil keputusan. Bayangkan bila
kita sedang bertengkar dengan istri di rumah misalkan, tetapi setelah di tiba
di kantor kita disuguhi sebuah persoalan yang harus diputuskan, maka bisa jadi
sisa-sisa emosional kita di rumah, secara sadar atau tidak, akan ikut terbawa
hingga ke kantor dan mempengaruhi kita dalam memutuskan sebuah perkara. Oleh
sebab itu, bila kita hendak mengambil keputusan maka terlebih dahulu kita harus
mendinginkan suasana dan menengkan pikiran sehingga semua pertimbangan bisa
kita akomodir secara seimbang dan matang.
Hadits ke 29
Hukuman bagi
pemimpin yang suka money politic
Allah SWT melaknat penyuap, penerima suap dan yang memberi peluang
bagi mereka. (HR Ahmad)
Penjelasan:
Hadits ini sungguh sangat relevan untuk
konteks indoensia saat ini, di mana dalam setiap unsur birokrasi kita hampir
dipastikan tidak bisa lepas dari yang namanya “suap”. Mulai dari ngurus ktp di
tingkat rt, hingga ngurus tender proyek infrastruktur di tingkat presiden,
mulai dari pemilihan ketua rt hingga pemilihan presiden. Semuanya tidak steril
dari praktik suap-menyuap. Entah dari mana asal muasalnya, yang jelas praktik
suap ini sudah diperingatkan oleh rasul. Itu artinya, sejak kepemimpinan rasul
s.a.w, pratik suap ini sudah terjadi, dan rasul turun untuk memerangi pratik
kotor ini.
Bila kita memaknai ancaman “laknat” bagi
penyuap dan yang disuap sebagaiman hadits di atas, maka sebenarnya
ancaman itu menunjukkan sebuah ancaman yang cukup berat. Karena bahasa laknat
biasanya bukan hanya berarti hukuman tuhan di akhirat, melainkan juga terjadi
di dunia. Kita lihat misalkan dalam kasus kaum sodom yang dilaknat tuhan dengan
berbagai penyakit yang menyakitkan dan mematikan, demikian pula setelah di
akhirat nanti mereka juga akan kembali dilaknat dengan lebih kejam. Oleh sebab
itu, Allah SWT tidak akan bermain-main dengan praktik kotor yang menjijikkan
ini.
Namun anehnya, banyak diantara orang yang
tidak sadar kalau dirinya sudah disuap. Fenomena ini banyak kita temui ketika
menjelang pemilu, misalkan seorang kiai/ulama pemimpin pesantren yang diberi
(biasanya pakai bahasa disumbang) sejumlah dana oleh partai politik tertentu
agar pesantrennya mau mendukung parpol yang bersangkutan. Sang kia sering tidak
sadar (atau berpura-pura tidak sadar) bahwa dana sumbangan itu bisa
dikategorikan, yang dalam bahasa politiknya, sebagai money politic.
Memang praktik “sumbangan politik” ini tidak
terlalu kentara sebagai suap, namun bila sebuah sumbangan itu dilandasi oleh
kepentingan tetentu dan tuntutan tertentu, maka ia layak disebut suap. Lantas
muncul pertanyaan, bagaimana bila sumbangan dana itu tidak disertai tuntutan ?
Memang dalam setiap sumbangan, terutama menjelang pemilu, kepentingan dan
tuntutannya tidak mungkin dikatakan secara harfiyah atau gamblang. Bahkan bisa
jadi seorang politisi pemberi sumbangan itu tidak langsung mneyebutkan
kepentingannya dalam menyumbang. Akan tetapi, bila sumbangan itu turun
sementara situasi saat itu adalah pemilu, maka sudah bisa dipastikan bahwa
sumbangan itu adalah money politic. Oleh sebab itu, untuk menjaga kesyubhatan
sebuah sumbangan, sebaiknya kita perlu melacak dulu asbabul wurudnya.
Hadits ke 30
Wajib berkata
benar kepada pemimpin meski terasa pahit
Ada serombongan orang yang berkata kepada ibnu umar; kalau kami
bertemu dengan para pemimpin kami maka kami pasti mengatakan sesuatu yang sama
sekali berbeda dengan apa yang kami katakan bila tidak bertemu dengan mereka
(pemimpin). Ibnu umar berkata: hal itu kami anggap sebagai sebuah sikap
munafik. (HR Bukhari)
Penjelasan:
Ada satu tradisi buruk yang sering kita
lakukan ketika kita menghadap pimpinan, yaitu, selalu mengatakan yang
baik-baik, yang senang-senang, dan yang sukses-sukses. Tradisi ini bukan saja
dilakukan oleh para menteri ketika menghadap presiden, melainkan tidak jarang
juga dilakukan oleh rakyat biasa. Jelas, kalu menteri melakukan tradisi buruk
itu dengan tujuan menjilat dan mengharap pujian dari sang pemimpin (presiden).
Tapi yang tidak bisa kita fahami ternyata tidak sedikit rakyat biasa juga
melakukan praktik buruk tersebut.
Memang, bila rakyat biasa tidak separah
sebagaiman dilakukan menteri, akan tetapi sebuah sikap berdiam diri ketika
berhadapan dengan pemimpin adalah sebuah sikap yang oleh hadis di atas bisa
dikategorikan sebagai “munafik”. Padahal, bila kita bertemu pemimpin kita,
misalkan kita mendapat kesempatan bertemu langsung dengan presiden kita, maka
harus kita manfaatkan waktu pertemuan itu untuk mengatakan yang sebenarnya
tentang situasi atau kehidupan rakyat yang dipimpinnya.
Di hadapan pemimpin itulah justru sebuah
kesempatan untuk mengatakan bahwa, misalnya, rakyat sedang kekuranagn pangan,
rakyat butuh pendidikan gratis, rakyat butuh harga murah, dsb. Bila pemimpin
yang bersangkutan marah dan mengancaman sikap tegas kita, maka kita jangan
sekali-kali mundur, karena itu adalah kenyataan yang sebenarnya. Dan membohongi
kenyataan adalah sama dosanya dengan berbuat munafik. Oleh sebab itu, hadis ini
sangat relevan dengan situasi indoensia saat ini yang banyak diwarnai oleh
sikap kepura-puraan dalam berperilaku dan berkomunikasi dengan pimpinan.
.
Hadits ke 31
Sikap dengki
pemimpin sangat membahayakan
Muadz berkata: rasul s.a.w mengutusku pergi ke yaman. Ketika aku
berangkat kemudian rasul menyuruh orang untuk memanggilku pulang kembali.
Kemudian beliau berkata: tahukah engkau kenapa aku memanggilmu kembali ? Yaitu
agar engkau tidak terjerumus pada sesuatu yang tidak aku perbolehkan, yakni
sifat dengki, karena siapa yang dengki, maka kedengkiannya itu akan datang
kepadanya hari kiamat. Dengan maksud itulah aku memanggilmu, ingat itu…!
Sekarang kembalilah kamu ke wilayah kekuasaanmu.
Penjelasan:
Hadits ini turun ketika Rasul s.a.w telah
mengutus Mu’adz bin Jabal untuk menjadi gubernur di negeri Yaman. Sebagaimana
diceritakan dalam hadits di atas, bahwa kepentingan Rasul untuk sejenak
memanggil pulang kembali Mu’adz adalah untuk menasehati dia agar menghindari
sikap dengki, karena sikap itu akan menjerumuskan dia ke jurang kesesatan.
Mungkin kita tidak pernah berfikir bahwa sikap dengki itu cukup berbahaya.
Padahal dari sikap yang seolah remeh tersebut, bisa melahirkan sebuah sikap
yang dampaknya jauh lebih berbahaya dari sekedar dengki, terutama bila
dikaitkan dengan masalah kepemimpinan.
Bila seorang pemimpin selalu dihinggapi rasa
dengki, maka jangan harap kepemimpinannya akan sukses. Namun tentu yang
dimaksud dengki di sini bukan sekedar bermakna iri hati atau cemburu, akan tetapi
sebuah sikap ketidakpuasan seorang pemimpin atas kekuasaan yang dipegangnya.
Padahal, seorang pemimpin sudah diberi “kekuasaan”, diberi fasilitas, diberi
kehormatan, namun tidak sedikit masih banyak pemimpin yang merasa kurang dan
kurang lagi atas jabatan, kehormatan, status, harta, dan kakuasaan. Bila
seorang pemimpin tidak mampu menahan nafsu semacam ini, maka jangan harap
kepemimpinanya serta rakyat yang dipimpinnya akan hidup dengan sejahtera. Oleh
sebab itu, meski rasa dengki adalah masalah biasa , namun dampak negatifnya
menjadi luar biasa.
Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas
kepemimpinannya. Seorang imam pemimpin dan bertanggungjawab atas rakyatnya.
Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya.
Seorang istri pemimpin dan bertanggungjawab atas penggunaan harta suaminya.
Seorang pelayan (karyawan) bertanggungjawab atas harta majikannya. Seorang anak
bertanggungjawab atas penggunaan harta ayahnya. (HR Bukhari, Muslim)
Jika saat ini kita masih hidup di muka bumi
ini berarti saat ini kita adalah pemimpin dan sebagai pemimpin kita tidak bisa
terlepas dari pemanfaatan dan pendayagunaan Hubbul Riasah. Adanya kondisi ini
berarti segala ketentuan tentang pemimpin dan kepemimpinan yang kami kemukakan di
atas wajib berlaku pula bagi diri kita dan semoga kita mampu melaksanakan
apa-apa yang harus kita pimpin sesuai dengan kehendak Allah SWT.
B. Hubbul
Riasah Yang Sudah Tidak Fitrah
Berikut ini akan kami kemukakan kondisi dari
Keinginan untuk Memimpin yang sudah
tidak sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan atau kondisi Keinginan untuk Memimpin
yang di dalam pelaksanaannya sudah dikendalikan atau dibawah pengaruh
sifat-sifat dasar Jasmani atau Jasmani sudah menguasai Keinginan untuk
Memimpin. Adapun Keinginan untuk Memimpin yang sudah tidak Fitrah lagi dapat
kami kemukakan sebagai berikut:
Takabur
Pemimpin dan Kepemimpinan yang dilaksanakan di
dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan atau Keinginan untuk Memimpin yang
dikendalikan oleh sifat-sifat dasar Ruhani, tidak akan pernah menjadikan atau
menghasilkan Pemimpin atau Kepemimpinan yang mempunyai sifat Takabur, Sombong,
Riya, Tidak mau mengalah hanya mau menang sendiri dst atau menjadikan diri atau
orang lain menjadi Fir’aun-Fir’aun generasi baru. Jika hal ini yang terjadi
setelah mempergunakan Keinginan untuk Memimpin berarti kita telah
mengeksploitasi secara tidak benar dan telah keluar dari rel kebenaran atas
kepemilikan Hubbul Riasah yang ada di dalam diri.
Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan
menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka
pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke
lobang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang
berbuat kejahatan. (surat Al A’raaf (7) ayat 40)
Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat
dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu
ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri? (surat Az Zumar (39) ayat
60)
Selanjutnya adakah akibat yang ditimbulkan
dari sikap Takabur, Sombong dan Riya kepada diri kita? Allah SWT melalui surat
Al A’raaf (7) ayat 40 dan surat Az Zumar (39) ayat 60 menyatakan dengan tegas
tidak akan memberikan tempat sedikitpun bagi mereka untuk masuk ke dalam pintu
langit maupun pintu syurga sebelum unta masuk ke dalam lubang jarum sebab
tempat mereka adalah Neraka Jahannam.
Mulut Manis Hati
Busuk
Penggunaan Energi dan Dorongan dari Keinginan
untuk Memimpin tidak boleh menjadikan diri kita mulut manis hati busuk, jauh
panggang dari api, serta bentuk manis kualitas hancur. Jika sampai kondisi ini
terjadi pada diri kita maka ketentuan hadits yang kami kemukakan di bawah ini
berlaku kepada diri kita.
Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas
mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah
turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk
dari bangkai. (HR Aththabarani)
Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas
menunjukkan kepada diri kita bahwa bangkai saja bisa lebih baik dari diri kita
dan jika sekarang hati kita lebih busuk dari bangkai berarti bersiap-siaplah
menanggung segala resiko atas penggunaan Hubbul Riasah kepada Allah SWT.
Keras Hati
Penggunaan Energi dan Dorongan dari Keinginan
untuk Memimpin jika dipergunakan di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang
masih Fitrah tidak akan menjadikan dan membuat diri kita baik langsung ataupun
tidak langsung mempunyai sifat yang keras hati atau mempunyai sifat bebal atau
mempunyai sifat kepala batu. Hal ini dikarenakan Nilai-Nilai kebaikan akan
membuat manusia memiliki hati yang riang, bermuka manis serta selalu bersahaja
kepada siapapun dan selalu memberikan manfaat bagi sesama manusia.
Dzalim
Sifat Dzalim atau berperilaku yang tidak
manusiawi tidak akan pernah terjadi jika kita mempergunakan dan mendayagunakan
dengan baik Keinginan untuk Memimpin dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT. Akan tetapi Pemimpin atau Kepemimpinan yang
kita lakukan justru menghasilkan sifat
dan perbuatan dzalim ini berarti diri kita telah mempergunakan Nilai-Nilai
Syaitani sebagai acuan dasar saat menjadi khalifah di muka bumi.
Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum
(kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa
(kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka
mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman
(dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur
sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. (surat Ali
‘Imran (3) ayat 140)
Sifat dzalim dan perilaku dzalim sangat tidak
disukai oleh ALLAH SWT dan Neraka Jahannam-lah tempat kembali mereka semua. Hal
yang tidak akan mungkin terjadi adalah jika kita memiliki sifat dan perilaku
dzalim dapat menghantarkan diri kita pulang ke Kampung Kebahagiaan.
Durhaka kepada
Ibu Bapak
Perilaku Pemimpin yang baik yang sesuai dengan
ketentuan ALLAH SWT adalah Pemimpin yang berbakti kepada Ibu Bapak. Pemimpin
yang dapat berbakti kepada Ibu dan Bapak berarti Pemimpin tersebut tahu dari
mana ia berasal dan tahu bagaimana ia harus bersikap kepada Ibu Bapak. Jika ini
yang anda lakukan setelah anda menjadi Pemimpin maka anda telah mendapatkan
Ridha ALLAH SWT melalui Ridha orang tua dan juga berarti bahwa anda telah
memberikan kuasa kepada Ruhani untuk menjadi Komandan atas Keinginan untuk
Memimpin.
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (surat Al Israa’ (17) ayat 23)
Hal yang harus kita perhatikan adalah
sepanjang Ruhani menjadi penguasa atas Keinginan untuk Memimpin yang dilandasi
pelaksanaan Ikhsan sebagai satu kesatuan pelaksanaan Diinul Islam secara
Kaffah, tidak akan menghasilkan Pemimpin dan Kepemimpinan yang Durhaka kepada
Ibu Bapak seperti Malin Kundang yang durhaka kepada ibunya serta tidak
akan menjadikan pemimpin yang Durhaka
kepada rakyatnya, dikarenakan Pemimpin tersebut selalu melaksanakan Nilai-Nilai
Kebaikan yang berasal dari Nilai-Nilai Ilahiah.
Pemalas
Seorang Pemimpin di dalam melaksanakan Kepemimpinannya tidak akan
sukses jika yang bersangkutan dihinggapi atau dijangkiti atau mempunyai sifat
Pemalas. Pemimpin yang baik diharuskan dan diwajibkan mempunyai kedisiplinan
yang tinggi, rajin serta selalu mau belajar dan menjunjung tinggi azas
profesionalitas serta kekeluargaan. Pemalas berasal dari sifat-sifat Jasmani
dan jika sifat Malas ada di dalam diri Pemimpin maka Keinginan untuk Memimpin
yang anda miliki telah dijajah atau telah dieksploitasi oleh Jasmani. Hasil
akhir dari kepemimpinan jenis ini akan menghasilkan pemimpin yang ingin
dilayani oleh rakyatnya sendiri.
Kafir
Seorang Pemimpin dengan Kepemimpinan yang
dilakukannya belum dan tidak dapat dikatakan telah sukses mempergunakan
Keinginan untuk Memimpin jika menjadikan diri sang pemimpin menjadi Kafir dan
juga mengkafirkan orang lain. Contoh dari Pemimpin yang Kafir yang juga
mengharuskan orang lain menjadi Kafir adalah Fir’aun. Dimana Fir’aun
mempergunakan Hubbul Riasahnya di luar kepantasan dan kepatutan sehingga ia
menyatakan bahwa dirinya adalah Tuhan dan orang lain diharuskan untuk
mempertuhankan dirinya.
Dan jika (ada sesuatu) yang kamu herankan, maka yang patut
mengherankan adalah ucapan mereka: “Apabila kami telah menjadi tanah, apakah
kami sesungguhnya akan (dikembalikan) menjadi makhluk yang baru?” Orang-orang
itulah yang kafir kepada Tuhannya; dan orang-orang itulah (yang dilekatkan)
belenggu di lehernya; maka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (surat
Ar Ra’d (13) ayat 5)
Selanjutnya dengan adanya Keinginan untuk
Memimpin yang ada pada diri kita, tidak boleh serta tidak dapat pula dibenarkan
jika kita sampai menghasilkan
Fir’aun-Fir’aun generasi baru yang bertindak tanpa tahu malu, yang bertindak
diluar koridor hukum yang berlaku, yang bertindak melebihi umat-umat terdahulu
yang telah dihancur luluhlantahkan oleh Allah SWT sehingga merasa lebih hebat
dan lebih kuat daripada Allah SWTbahkan lebih t terdahulu yang telah dihancur
luluhlantah oleh Allah SWTlaku, yang bertindak melebihi umat-umat terdahulu a.
Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha
Pemurah. Dan adalah (hari itu), satu hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang
kafir. (surat Al Furqaan (25) ayat 26)
Jika kita sampai menghasilkan Fir’aun-Fir’aun
generasi baru yang berasal dari penggunaan Energi dan Dorongan atas Keinginan
untuk Memimpin maka kita telah gagal mendayagunakan Hubbul Riasah di dalam
koridor Nilai-Nilai Kebaikan atau kita telah menyerahkan kekuasaan dan
pengelolaan Hubbul Riasah kepada Jasmani. Hasil akhir dari ini semua akan
menghantarkan diri kita ke Neraka Jahannam.
|
Sebagai khalifah di muka bumi yang saat ini sedang mempergunakan
Hubbul Riasah (Keinginan untuk Memimpin), ada satu hal yang harus kita
perhatikan saat hidup di dunia ini, yaitu Allah SWT tidak membutuhkan apapun
juga dari penggunaan dan pendayagunaan Hubbul Riasah sebab Allah SWT sudah
Maha dan akan Maha selamanya. Allah SWT tidak memperdulikan apakah Hubbul
Riasah mau dipergunakan dengan cara-cara Ilahiah ataukah mau dipergunakan
dengan cara-cara Syaitani, yang pasti adalah Allah SWT akan meminta
pertanggungjawaban dari Hubbul Riasah
yang ada pada diri kita selama diri kita menjadi khalifah di muka
bumi.
Selanjutnya mari kita pelajari arti kata pemimpin yang terdapat
di dalam Al-Qur’an. Berdasarkan kitab suci Al-Qur’an terdapat tiga kata yang
diartikan atau diterjemahkan sebagai pemimpin. Berikut ini akan kami
kemukakan ketiga hal tersebut.
1.
Dalam arti
Khalifah
Pemimpin dalam arti kata Khalifah terdapat di surat Fathir (35)
ayat 39 dan surat Shaad (38) ayat 26 seperti yang kami kemukakan di bawah
ini. Adanya pengertian pemimpin yang diartikan sebagai khalifah berarti
setiap manusia yang ada di muka bumi ini adalah pemimpin. Hal ini
berkesesuaian dengan apa yang dikemukakan oleh Allah SWT di surat Al Baqarah
(2) ayat 30 yang akan menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.
Barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri.
dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah
kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak
lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka. (surat Faathir (35) ayat
39)
Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa)
di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan
mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
(surat Shaad (38) ayat 26)
Berdasarkan ketentuan di atas dan juga hadits yang kami
kemukakan di bawah ini, dapat
dikatakan bahwa setiap manusia yang ada di muka bumi adalah pemimpin, apakah ia seorang wanita ataukah
ia seorang pria. Tidak ada seorangpun di muka bumi ini yang tidak menjadi
pemimpin.
Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas
kepemimpinannya. Seorang imam pemimpin dan bertanggungjawab atas rakyatnya.
Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggungjawab atas
kepemimpinannya. Seorang istri pemimpin dan bertanggungjawab atas penggunaan
harta suaminya. Seorang pelayan (karyawan) bertanggungjawab atas harta
majikannya. Seorang anak bertanggungjawab atas penggunaan harta ayahnya. (HR
Bukhari, Muslim)
Hal yang membedakan kepemimpinan antara wanita
dan pria adalah setiap pria wajib mempertanggungjawabkan kepemimpinannya baik
untuk dirinya sendiri dan juga kepemimpinannya kepada keluarga, anak dan juga
kepada istrinya. Sedangkan istri bertanggungjawab atas penggunaan harta
suaminya. Lalu yang manakah yang harus menjadi pemimpin itu, jika kita
terdiri dari Jasmani dan Ruhani. Apakah Ruh/Ruhani yang menjadi pemimpin
ataukah Jasmani yang menjadi pemimpin itu? Yang menjadi pemimpin adalah
Ruh/Ruhani, yang tidak lain adalah jati diri kita yang sesungguhnya. Jika
Ruh/Ruhani yang menjadi pemimpin, bagaimanakah kedudukan dari jasmani dalam
kepemimpinan yang kita laksanakan? Jasmani dalam kepemimpunan yang kita
laksanakan adalah sesuatu yang harus dipimpin oleh Ruh/Ruhani itu sendiri.
Sekarang sudahkah diri kita menjadikan Ruh sebagai pemimpin bagi Jasmani diri
kita sendiri saat hidup di muka bumi?
2.
Pemimpin dalam
arti Imam
Pemimpin dalam arti kata Imam terdapat di
dalam surat Al Baqarah (2) ayat 124 di
bawah ini, dimana pengertian pemimpin dinyatakan sebagai imam atau kata imam
diartikan/diterjemahkan sebagai pemimpin. Hal ini terlihat jelas saat Nabi Ibrahim as, dijadikan Allah SWT
sebagai imam bagi seluruh manusia. Adanya pernyataan Allah SWT kepada Nabi
Ibrahim as, yang telah dinyatakan sebagai Imam bagi seluruh manusia berarti
di dalam diri Nabi Ibrahim as, terdapat figur atau contoh yang baik yang bisa
dijadikan suri tauladan bagi kepemimpinan yang ada di muka bumi ini.
dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji[87] Tuhannya dengan
beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah
berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh
manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari
keturunanku"[88]. Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai
orang yang zalim". (surat Al Baqarah (2) ayat 124)
[87] Ujian
terhadap Nabi Ibrahim a.s. diantaranya: membangun Ka'bah, membersihkan ka'bah
dari kemusyrikan, mengorbankan anaknya Ismail, menghadapi raja Namrudz dan
lain-lain.
[88] Allah
telah mengabulkan doa Nabi Ibrahim a.s., karena banyak di antara Rasul-rasul
itu adalah keturunan Nabi Ibrahim a.s
(ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat
dengan pemimpinnya; dan Barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan
kanannya Maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya
sedikitpun. (surat Al Israa (17) ayat 71)
Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang ada
mempunyai bukti yang nyata (Al Quran) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh
seorang saksi (Muhammad)[715] dari Allah dan sebelum Al Quran itu telah ada
kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat?. mereka itu beriman kepada Al
Quran. dan Barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan
sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al Quran, Maka nerakalah tempat yang
diancamkan baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap Al Quran
itu. Sesungguhnya (Al Quran) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan
manusia tidak beriman. (Surat Huud (11) ayat 17)
[715] Ada yang
menafsirkan saksi di sini dengan Jibril a.s. Adapula yang menafsirkan bahwa
yang dimaksud dengan saksi di sini ialah Al Quran itu sendiri karena Al Quran
itu adalah suatu mukjizat yang tidak dapat dibantah atau dibatalkan.
dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah
kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati
(Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (surat Al
Furqan (25) ayat 74)
Sekarang apa itu imam? Imâm berarti orang
yang diikuti, baik sebagai kepala, jalan, atau sesuatu yang membuat lurus dan
memperbaiki perkara. Selain itu, Imam juga bisa berarti sebagai Al-Qur’an,
Nabi Muhammad, khalifah, panglima tentara, dan sebagainya. Dengan demikian,
jelaslah bahwa kata imâm memiliki banyak makna, bisa bermakna: maju ke depan,
petunjuk dan bimbingan, kepantasan seseorang menjadi uswah hasanah, dan
kepemimpinan.
dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang
tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan
menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)[1112], (surat Al Qashash
(28) ayat 5)
[1112]
Maksudnya: negeri Syam dan Mesir dan negeri-negeri sekitar keduanya yang
pernah dikuasai Fir'aun dahulu. sesudah kerjaan Fir'aun runtuh, negeri-negeri
ini diwarisi oleh Bani Israil.
dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia)
ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. (surat Al Qashash
(28) ayat 41)
jika mereka merusak
sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, Maka
perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena Sesungguhnya
mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar
supaya mereka berhenti. (surat At Taubah (9) ayat 12)
Menurut Dhiauddin Rais, dari ayat-ayat
Al-Qur’an di atas, kita bisa memetik dua pengertian dari makna imâm, yaitu:
(1) Kata imâm tersebut yang sebagian besar digunakan dalam Al-Qur’an
membuktikan adanya indikasi yang bermakna “kebaikan”. Pada sisi lain, yaitu pada dua ayat terakhir di atas, bahwa
kata imâm menunjukkan makna jahat. Karena itu, imâm berarti seorang pemimpin
yang diangkat oleh beberapa orang dalam suatu kaum. Pengangkatan imâm
tersebut mengabaikan dan tidak memperdulikan, apakah ia akhirnya akan
berjalan ke arah yang lurus atau arah yang sesat. (2) Kata imâm dalam ayat-ayat
Al-Qur’an itu bisa mengandung makna penyifatan kepada nabi-nabi: Ibrahim,
Ishaq, Ya’qub, dan Musa, sebagaimana juga menunjukkan kepada orang-orang yang
bertakwa.
3.
Pemimpin dalam
arti Ulil Amri dan Amir
Pemimpin dalam arti kata ulil amri atau amir
terdapat di dalam surat An Nisaa (4)
ayat 59 dan ayat 83 serta surat Al Anbiyaa (21) ayat yang kami kemukakan di
bawah ini, dimana kata ulil amri atau amir diterjemahkan sebagai pemimpin di
antara umat manusia.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (surat An
Nisaa (4) ayat 59)
dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan
ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan ulil Amri[322] di antara mereka, tentulah orang-orang yang
ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul
dan ulil Amri)[323]. kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada
kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di
antaramu). (surat An Nisaa (4) ayat 83)
[322] Ialah:
tokoh-tokoh sahabat dan Para cendekiawan di antara mereka.
[323] Menurut
mufassirin yang lain Maksudnya Ialah: kalau suatu berita tentang keamanan dan
ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan ulil Amri, tentulah Rasul dan ulil
amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istimbat) dari berita itu.
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka
mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya
kepada kamilah mereka selalu menyembah, (surat Al Anbiyaa (21) ayat 73)
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai
pengertian ulil amri dalam ayat tersebut. Ibnul Jauzi menyatakan: “Mengenai
ulil amri terdapat empat pendapat. Pendapat pertama, ulil amri adalah para
pemimpin (umara’). Pendapat tersebut diungkapkan oleh Abu Hurairah, Ibnu
‘Abbas -dalam sebuah riwayat-, Zaid bin Aslam, as-Sudi dan Muqatil. Yang
kedua, mereka adalah para ulama. Pendapat ini diriwayatkan oleh Abu Thalhah
dari Ibnu ‘Abbas. Ini juga merupakan pendapat Jabir bin Abdullah, al-Hasan,
Abu ‘Aliyah, ‘Atha’, an-Nakha’i, adl-Dlahak, Khushaif juga meriwayatkannya
dari Mujahid. Yang ketiga, mereka adalah para shahabat Nabi radliyallahu
‘anhum. Ibnu Abi Najih meriwayatkannya dari Mujahid. Abu Bakar bin Abdullah
al-Muzani juga berpendapat demikian. Keempat, mereka adalah Abu Bakar, Umar.
Ini merupakan pendapat ‘Ikrimah.”[1]
Pendapat pertama yang menyatakan bahwa ulil
amri adalah pemimpin, merupakan pendapat yang paling tepat dan relevan dengan
ayat tersebut. Pasalnya, ayat ini memerintahkan kita untuk mentaati ulil
amri. Dalam Bahasa Arab, mentaati (atha’a) berarti lunak (laana) dan tunduk
(inqaada) kepada seseorang/pihak lain.[2] Dalam arti, segala perintah dan
larangannya harus dituruti. Maka dari itu, ayat ini mengandung perintah untuk
menuruti segala hal perintah dan larangan ulil amri, apapun perintah itu
selama bukan berupa kemaksiatan kepada Allah.
Dalam keempat kemungkinan makna ulil amri
yang disebutkan oleh Ibnul Jauzi, hanya pemimpin saja yang sepenuhnya relevan
dengan perintah untuk taat kepadanya. Sebab, jika ulil amri kita artikan
ulama, dan ketaatan kepada mereka diartikan sebagai ketundukan kepada segala
fatwa yang mereka keluarkan, maka kewajiban ini menjadi sangat sulit untuk
direalisasikan. Alasannya karena pendapat para ulama mengenai hukum atas
suatu masalah kadang beragam. Lantas ulama mana yang wajib ditaati oleh umat
Islam jika mereka memiliki perbedaan pendapat dalam satu masalah?
Lagi pula perintah untuk taat dalam ayat ini
tidak terbatas pada masalah tertentu. Ayat ini memerintahkan untuk taat
kepada ulil amri. Maka meski pun seandainya kita diperintahkan untuk
mengerjakan perkara yang mubah atau meninggalkan perkara yang mubah, maka
perintah dan larangan tersebut wajib ditaati. Inilah yang namanya taat. Kita
belum menjumpai pendapat yang menyatakan bahwa umat Islam punya kewajiban
untuk menuruti segala perintah dari seorang ulama. Maka, memaknai ulil amri
sebagai ulama nampaknya tidaklah tepat.
Jika ulil amri diartikan sebagai shahabat
secara umum atau Abu Bakar dan Umar radliyallahu ‘anhum saja secara khusus,
maka ia justru jauh lebih sulit untuk direalisasikan, atau lebih tepanya
tidak mungkin dilaksanakan oleh kita yang hidup pasca zaman shahabat.
Alasannya jelas, karena kita tidak pernah menjumpai mereka. Dengan demikian,
jika ulil amri di sini diartikan sebagai para shahabat atau Abu Bakar dan
Umar, maka ayat ini sudah tidak ada relevansinya bagi kita.
Adapun jika ulil amri kita artikan sebagai
pemimpin, maka ini merupakan pilihan makna yang paling pas. Hal ini didukung
oleh adanya beberapa hadits yang mewajibkan kaum muslimin untuk taat kepada
pemimpin mereka dalam segala hal yang dia perintahkan dan dia larang, selama
perintah itu boleh dilakukan dan bukan tergolong maksiat kepada Allah. Satu
di antara hadits-hadits tersebut adalah:
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Bagi setiap muslim, wajib taat dan mendengar
kepada pemimpin (penguasa) kaum muslimin dalam hal yang disukai maupun hal
yang tidak disukai (dibenci) kecuali jika diperintahkan dalam maksiat. Jika
diperintahkan dalam hal maksiat, maka boleh menerima perintah tersebut dan
tidak boleh taat.” (Muttafaqun ‘alaih)
Artinya, umat Islam wajib taat kepada
perintah para pemimpin, meski pun pada asalnya apa yang diperintahkan
tersebut hanyalah mubah. Maka seandainya pemimpin kaum muslimin mewajibkan
rakyatnya untuk mencatatkan pernikahan mereka ke kantor-kantor pemerintah,
maka hal ini menjadi kewajiban bagi umat, karena Allah mewajibkan mereka
untuk taat kepada perintah pemimpin kaum muslimin selama perintah itu bukan
maksiat. Keistimewaan ini hanya diberikan oleh syara’ kepada pemimpin kaum
muslimin, tidak diberikan kepada para shahabat ridlwanullah ‘alaihim maupun
para ulama. Jadi jelas, makna ulil amri dalam an-Nisa 59 ini tidak lain
adalah pemimpin/pemerintah. Hal ini sesuai dengan penjelasan ath-Thabari
mengenai makna ulil amri dalam ayat tersebut. Wallahu a’lam
Secara umum, ketiga gelar di atas (khalifah,
imam dan ulil amri) menunjukkan keharusan adanya kepemimpinan dalam Islam.
Bagi suatu kaum atau ummat, keberadaan seorang pemimpin merupakan suatu
keharusan yang tak mungkin dipungkiri. Menurut Imam Al-Mawardi dalam karyanya
Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah wa Al-Wilâyât Al-Dîniyyah, dalam lembaga negara dan
pemerintahan, seorang kepala atau pemimpin wajib hukumnya menurut ijma’.
Alasannya, karena kepala lembaga dan pemerintah dijadikan sebagai pengganti fungsi
kenabian dan menjaga agama serta mengatur urusan dunia. Al-Mawardi menyebut
tujuh syarat yang harus dipenuhi calon kepala negara (seorang pemimpin).
Syarat-syarat itu, antara lain: keseimbangan atau keadilan (al‘adâlah); punya
ilmu pengetahuan untuk berijtihad; punya panca indera lengkap dan sehat;
anggota tubuhnya tidak kurang untuk menghalangi gerak dan cepat bangun; punya
visi pemikiran yang baik untuk mendapatkan kebijakan yang baik; punya
keberanian dan sifat menjaga rakyat; dan punya nasab dari suku Quraisy.
Secara umum Al-Qur’an tidak menentukan corak
kepemimpinan politik tertentu yang harus diambil oleh ummat Islam, oleh
karena itu pada era modern, Pemerintahan negeri-negeri Islam mengambil bentuk
yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan probabilitasnya. Negeri-negeri
Sunni kebanyakan memilih bentuk Republik seperti negeri kita, sebagian
memilih bentuk kerajaan, baik dalam bentuk mamlakah yang dipimpin oleh malik,
atau kesultanan di bawah seorang sulthan, atau emirat di bawah seorang amir.
Sedangkan Iran sebagai satu-satunya negeri kaum Syi’ah, memiliki sistem
politik yang didasarkan atas konsep wilayat al faqih dimana ayatullah ‘uzma
memiliki otoritas keagamaan dan politik sekaligus.
Selanjutnya apabila kita ingin sukses
sebagai pemimpin atau ingin sukses dengan kepemimpinan yang kita laksanakan,
apakah itu sebagai khalifah, sebagai imam ataupun sebagai ulil amri (amir),
berikut ini akan kami kemukakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh
seorang pemimpin, yaitu:
Seorang pemimpin harus selalu mengikuti
tuntunan Allah SWT serta melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT.
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka
mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya
kepada kamilah mereka selalu menyembah, (surat Al Anbiyaa (21) ayat 73)
4.
Seorang
Pemimpin Yang Beriman kepada Allah SWT (tidak kafir)
Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.
Barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri.
dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah
kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak
lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka. (surat Faathir (35) ayat
39)
5.
Adil, Amanah,
tidak mengikuti Ahwa.
Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa)
di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan
mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
(surat Shaad (38) ayat 26)
Berkepribadian seperti Pribadi Seorang Rasul
(Rasully) seperti Siddiq, Toleran, Berpengalaman, mampu memberantas
kebathilan, sehat jasmani dan ruhani, berilmu, wibawa dan tabliq serta
fathanah.
dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji[87] Tuhannya dengan
beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah
berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh
manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari
keturunanku"[88]. Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai
orang yang zalim". (surat Al Baqarah (2) ayat 124)
[87] Ujian
terhadap Nabi Ibrahim a.s. diantaranya: membangun Ka'bah, membersihkan ka'bah
dari kemusyrikan, mengorbankan anaknya Ismail, menghadapi raja Namrudz dan
lain-lain.
[88] Allah
telah mengabulkan doa Nabi Ibrahim a.s., karena banyak di antara Rasul-rasul
itu adalah keturunan Nabi Ibrahim a.s.
Selanjutnya untuk mempertegas tentang
berkepribadian seperti pribadi seorang Rasul (Rasully) kita dapat bisa
mencontoh Nabi Ibrahim as, sebagai Suri Taulada Bagi Umat Manusia. Berikut
ini akam kami kemukakan figur Nabi Ibrahim as, dimaksud.
6.
Nabi Ibrahim
as, adalah figur pemimpin umat.
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan
teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif[843]. dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk
orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (surat An Nahl (16) ayat 120)
[843] Hanif
Maksudnya: seorang yang selalu berpegang kepada kebenaran dan tak pernah
meninggalkannya.
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada
Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada
kaum mereka: "Sesungguhnya Kami berlepas diri daripada kamu dari
daripada apa yang kamu sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan
telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya
sampai kamu beriman kepada Allah saja. kecuali Perkataan Ibrahim kepada
bapaknya[1470]: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan
aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata):
"Ya Tuhan Kami hanya kepada Engkaulah Kami bertawakkal dan hanya kepada
Engkaulah Kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah Kami kembali."
(surat Al Mumtahanah (60) ayat 4)
[1470] Nabi
Ibrahim pernah memintakan ampunan bagi bapaknya yang musyrik kepada Allah :
ini tidak boleh ditiru, karena Allah
tidak membenarkan orang mukmin memintakan ampunan untuk orang-orang kafir
(Lihat surat An Nisa ayat 48).
7.
Tunduk dan
patuh serta ikhlas hanya kepada Allah SWT serta selalu berserah diri kepada
Allah SWT
ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk
patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta
alam". (Surat Al Baqarah (2) ayat 131)
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani,
akan tetapi Dia adalah seorang yang lurus[201] lagi berserah diri (kepada
Allah) dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk golongan orang-orang musyrik. (surat
Ali Imran (3) ayat 67)
[201] Lurus
berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.
dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang
ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan,
dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim
menjadi kesayanganNya. (surat An Nisaa’ (4) ayat 125)
8.
Seorang
pemimpin harus mampu meneguhkan keyakinannya terlebih dahulu atas kebesaran
dan kekuasaan Allah SWT terhadap
dirinya sendiri.
260. dan
(ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku
bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman:
"Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah
meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah
berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu
cincanglah[165] semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan
diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian
panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (surat Al Baqarah
(2) ayat 260)
9.
Seorang
pemimpin harus menjadi penganut Islam yang konsisten dari waktu ke waktu
sehingga keimanannya tidak tergoyahkan.
Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang
diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq,
Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan Para
Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara
mereka dan hanya kepada-Nyalah Kami menyerahkan diri."
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk
orang-orang yang rugi. (surat Ali Imran (3) ayat 84-85)
10. Seorang pemimpin harus berusaha memperhatikan keamanan dan
kemakmuran bagi umat yang dipimpinnya.
dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku,
Jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta
anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. (surat Ibrahim (14) ayat 35)
dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku,
Jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari
buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan
hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun aku beri
kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah
seburuk-buruk tempat kembali".(surat Al Baqarah (2) ayat 126)
11. Pemimpin harus memiliki perbuatan-perbuatan baik dan ilmu yang
tinggi
dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub yang
mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.
Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan
(menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang Tinggi Yaitu selalu mengingatkan
(manusia) kepada negeri akhirat.
dan Sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar Termasuk
orang-orang pilihan yang paling baik.
(surat Shaad (38) ayat 45-47)
12. Pemimpin harus menghormati dan mendoakan generasi pendahulunya
dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya
tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada
bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah
musuh Allah, Maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim
adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi Penyantun. (surat At Taubah
(9) ayat 114)
13. Pemimpin harus memiliki pedoman Al-Quran dan al hikmah
ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran
karunia[311] yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah
memberikan kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah
memberikan kepadanya kerajaan yang besar.
[311] Yaitu: kenabian, Al Quran, dan kemenangan.
14. Pemimpin tidak pernah putus asa selalu mengharapkan rahmat dari
Allah SWT
Ibrahim berkata: "tidak ada orang yang berputus asa dari
rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat". (surat Al Hijr (15)
ayat 56)
15. Pemimpin harus memiliki toleransi dan kasih sayang kepada sesama
manusia
dan tatkala utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim
membawa kabar gembira[1150], mereka mengatakan: "Sesungguhnya Kami akan
menghancurkan penduduk negeri (Sodom) ini; Sesungguhnya penduduknya adalah
orang-orang yang zalim".
berkata Ibrahim: "Sesungguhnya di kota itu ada Luth".
Para Malaikat berkata: "Kami lebih mengetahui siapa yang ada di kota
itu. Kami sungguh-sungguh akan menyelamatkan Dia dan pengikut-pengikutnya
kecuali isterinya. Dia adalah Termasuk orang-orang yang tertinggal
(dibinasakan). (surat Al Ankabuut (29) ayat 31-32)
[1150]
Maksudnya: kabar bahwa Nabi Ibrahim a.s. akan mendapat putera.
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar