Nabi Ibrahim as, sebagai seorang Nabi yang keimanan dan ketaqwaannya begitu luar biasa, ia telah banyak mengalamai pengalaman hidup yang sangat hebat, mulai dibakar hidup hidup, lama menunggu untuk memiliki anak setelah anak lahir diperintahkan untuk pindah ke kota Makkah yang belum berpenghuni dan lalu setelah anak cukup umur diperintahkan untuk disembelih oleh Allah SWT. Namun segala ujian dan cobaan, semuanya mampu dilewati oleh Nabi Ibrahim as,.
Suatu hari Nabi Ibrahim as, melewati sebuah bangkai hewan yang telah menjadi tulang belulang. Beliau kemudian bertanya-tanya, bagaimana Allah SWT menghidupkan sesuatu yang telah mati. Lalu, pernahkah kita merenungkan dan membayangkan seorang Nabi Ibrahim as, yang menjadi bapak para nabi, diceritakan oleh Allah SWT sebagaimana firmanNya berikut: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman: “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya tetapi agar hatiku tenang (mantap).” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu ambillah empat ekor burung, lalu cincanlah olehmu kemudian letakkan di atas masing masing bukit itu satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (surat Al Baqarah (2) ayat 260)
Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 260 di atas, Nabi Ibrahim as, memanjatkan doa,"Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati," Allah kemudian berfirman kepada Nabi Ibrahim, as, "Belum peryakah kamu?" Nabi Ibrahim pun menimpali, "Aku percaya. Akan tetapi agar hatiku tenang (mantap) dalam keimanan dan ketaqwaan,". Inilah titik krusial dari ayat di atas, “Agar hatiku tenang (mantap)” dalam hal ini tenang lagi mantap dalam keimanan dan ketaqwaan. Lalu, apakah kisah Nabi Ibrahim yang terdapat dalam AlQuran ini hanya sekedar contoh yang kemudian diceritakan kembali oleh Allah SWT kepada umat manusia, ataukah hal ini juga bisa kita jadikan sebagai sebuah yurisdiksi (sebuah pegangan) bagi diri untuk melakukan hal yang sama kepada Allah SWT dengan meminta pembuktiaan tentang sesuatu hal sehingga hati kita menjadi tenang (mantap) dalam keimanan dan ketaqwaan?
Adanya kisah dari Nabi Ibrahim as, di atas menunjukkan bahwa meminta dan memohon agar dimantapkan hati, sehingga hati tenang dalam keimanan and ketaqwaan memang harus kita lakukan dengan meminta langsung kepada Allah SWT. Apalagi tidak larangan yang melarang diri kita untuk memohon sesuatu kepada Allah SWT seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as, dan sebaiknya jika kita ingin meminta pembuktian kepada Allah SWT, kita bisa melakukannya dalam konteks yang berbeda.
Allah SWT berfirman: “Katakanlah (Muhammad), “Setiap orang berbuat dengan pembawaan nya masing masing (‘ala syakilatih(i)).” Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (surat Al Israa’ (17) ayat 84). Adanya perbedaan di dalam diri setiap manusia, maka alangkah baiknya jika kita berniat untuk meminta sesuatu pembuktian kepada Allah SWT berdasarkan minat, bakat, kemampuan atau profesi (syakilatih) diri kita masing masing yang berbeda beda. Melalui keadaan yang seperti ini maka akan terasa nilai pembuktian itu dan karena nilai pembuktian yang kita peroleh merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh hati kita dan kita akan merasakan rasa diajarkan langsung oleh Allah SWT.
Katakan saat ini kita sedang dalam kegundahan (atau mengalami keadaan yang tidak mengenakkan), yang mengakibatkan hati ini terasa berat dan kotor sedangkan Allah SWT telah berjanji kepada diri kita bahwa jika kita berdzikir (mengingat) kepadaNya tenanglah hati ini. Adanya keadaan ini, mintalah kepada Allah SWT dengan memohon kepadaNya sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT sebagaimana 2 (dua) buah firmanNYa berikut ini: “Hai orang orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak banyaknya dan bertasbihlah kepadanya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikatNya (memohon ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang) dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang orang yang beriman. (surat Al Ahzab (33) ayat 41, 42, 43).”
Allah SWT berfirman: “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang orang yang lalai. (surat Al A’raaf (7) ayat 205).” Berdasarkan surat Al Ahzab (33) ayat 41,42,43 dan surat Al A’raf (7) ayat 205 yang kami kemukakan di atas ini, kita diperintahkan untuk selalu berdzikir (mengingat, menyebut nama Allah) sebanyak banyaknya dalam sehari semalam dengan cara merendahkan diri serta tidak mengeraskan suara. Semakin banyak kita berdzikir dengan mengingat dan menyebut nama Allah SWT berarti semakin banyak pula kita memasukkan ketenangan ke dalam diri (hati).
Lalu apakah dengan kita ingat kepada Allah dari waktu ke waktu maka kita sudah melaksanakan dzikir yang dikehendaki oleh Allah? Jika kita hanya mampu mengingat, menyebut nama Allah SWT tanpa melakukan tindakan atau perbuatan apapun yang sesuai dengan apa yang telah kita ingat dan kita sebut maka kondisi ini tidak ada bedanya dengan kita memanggil nama seseorang lalu orang yang kita sebut dan panggil diam saja tanpa memberikan reaksi apapun kepada kita. Sebagai contoh, kita berdzikir dengan menyebut nama Allah Ar Rahman, lalu kita sebut dan kita kemukakan Ar Rahman dalam dzikir kita. Namun kondisi ini tidak kita ikuti dengan perilaku dan perbuatan Ar Rahman seperti yang kita dzikirkan maka tindakan ini bukanlah sesuatu yang salah, tetapi termasuk dalam kategori dzikir tingkat terendah, walaupun kita melakukannya dalam jumlah yang banyak.
Apa yang kami kemukakan di atas merupakan pembuktian yang ditinjau dari sisi dzikir yang menenangkan hati. Kita juga bisa melakukan hal yang lain melalui persoalan yang kita hadapi. Katakan saat diri kita menjalankan profesi tertentu lalu mengalami sebuah permasalahan yang cukup rumit dan berat. Sedangkan kita tahu bahwa Allah SWT itu dekat, lebih dekat dari urat leher dan jika kondisi ini sudah kita imani. Mintalah bukti kepada Allah SWT tentang kedekatan ini dengan memohon kepadaNya untuk dicarikan jalan keluar yang terbaik dari permasalahan yang kita hadapi yang tentunya harus dilakukan dengan merendahkan diri serta dengan tidak mengeraskan suara.
Lalu rasakan, cara Allah SWT membantu dan menolong diri kita, yang disesuaikan dengan minat, bakat dan profesi kita masing masing. Sungguh luar biasa jika kita mampu merasakan pengajaran Allah STW. Sungguh terasa bahwa Allah SWT itu ada dan sungguh nikmat bertuhankan kepada Allah SWT. Dan akhirnya apa yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al Alaq (96) ayat 5 benar adanya, “Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” Apakah hal ini tidak pernah kita renungkan sedikitpun!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar